Anda di halaman 1dari 12

PUBLIC ADMINISTRATION JOURNAL OF RESEARCH Volume 2 (1), Januari – Maret 2020

MANAJEMEN PEMBANGUNAN DESA DAERAH PERBATASAN KOTA


1Budiman Widodo, 2Winarti
Pengutipan: Widodo, Budiman & Winarti. (2020), Manajemen Pembangunan Desa Daerah
Perbatasan Kota, Public Administration Journal of Research, 2 (1), 40-51.
1
Program Pasca Sarjana Universitas Surakarta
2
FISIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Email: Budimanwidodo5@gmail.com
(Submitted: 10-01-2019 , Revised: 25-02-2019, Accepted: 10-10-2019)

ABSTRAK
Desa Yang berbatasan dengan kota akan memiliki karakteristik yang berbeda dengan
desa yang lain, aktivitas penduduk desa ini lebih berorientasi ke kota terdekat dari pada pusat
kota kabupaten, baik aktivitas sosial, ekonomi, maupun budaya. Konsep manajemen
pembangunan yang diterapkan cenderung membiarkan perkembangan desa bergerak secara
bebas tanpa adanya perencanaan pembangunan yang ditetapkan melaui rencana umum tata
ruang kota (RUTRK). Kebijakan yang dilakukan menjadikan desa sebagai daerah penyangga
perkembangan kota terdekat, dengan mengorbankan daerah pertanian. Tujuan penelitian ini
adalah mencari model manajemen pembangunan daerah perbatasan dengan konsep
pembangunan terintegrasi antar daerah menjadi alternatif, untuk menghindari terjadinya konflik
kepentingan yang bersifat ego sektoral. Untuk itu perlu adanya pemikiran baru dalam
peningkatan serta penggalangan kerjasama pembangunan antar daerah melaui konsep
“Regional Management”. Adapun metode yang digunakan adalah dengan metode analisis
kualitatif melalui interview mendalam dan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukan,
bahwa terjadi konflik kepentingan antara pemerintah kota dan kabupaten yang berakibat pada
tidak terintregasinya pembangunan di daerah sub urban.
Kata Kunci : Manajemen Pembangunan, Desa Perbatasan, Manajemen Daerah.

VILLAGE DEVELOPMENT MANAGEMENT OF REGION CITY BORDERLAND

ABSTRACT
The villages bordering the city will have different characteristics from other villages,
the activities of the villagers are more oriented to the nearest town than the center of the
regency city, both social, economic, and cultural activities. The applied development
management concept tends to allow village development to move freely without the
development planning determined through the general urban spatial plan (RUTRK). The policy
is to make the village a buffer zone for the development of the nearest town, at the expense of
the agricultural area. The purpose of this study is to find a model for developing border
management with the concept of integrated development between regions as an alternative, to
avoid conflict of interests that are sectoral egos. For this reason, there is a need for new ideas
in promoting and promoting inter-regional development cooperation through the concept of
"Regional Management". The method used is a qualitative analysis method through in-depth
interviews and secondary data. The results of this study indicate, that there is a conflict of
interest between the city and district governments which results in integrated development in
sub-urban areas.
Keywords: Development Management, Border Village, Regional Management.

40
Budiman Widodo & Winarti : Manajemen Pembangunan Desa Daerah Perbatasan Kota

1. PENDAHULUAN
Problem di daerah perbatasan kota dengan kabupaten adalah tidak adanya kerjasama
yang integral antara satu kota dengan kabupaten yang berbatasan satu sama lainnya, dalam
mendesain tata ruangnya. Permasalahan penataan ruang di perbatasan seringkali diketemukan
tidak memiliki kesinkronisasian masing-masing daerah yang bersangkutan.
Fenomena ketidaksinkronnya penataan ruang di perbatasan kota dengan kabupaten
terjadi di daerah tepian kota (sub urban). Kota biasanya mempunyai perbatasan dengan wilayah
kabupaten sekitarnya yang notabenya adalah daerah pertanian. Problem perkotaan di dominasi
oleh keterbatasan lahan yang berakibat pada tingginya harga tanah perkotaan. Kondisi
demikian mendorong penduduk bergeser ke wilayah tepian kota, akhirnya mendesak lahan
pertanian di daerah sekitarnya. Desain penataan ruang di kabupaten tidak menyentuh hingga ke
wilayah pedesaan. Dalam konsep penataan ruang kabupaten melalui rencana detail tata ruang
kota hanya sampai pada tingkat ibu kota kecamatan. Akhirnya daerah tepian kota yang
merupakan daerah perbatasan dengan kota bergerak liar, tanpa konsep penataan ruang yang
jelas.
Kekosongan penataan tata ruang di daerah perbatasan nampak jelas tidak adanya desain
pembangunan yang berkelanjutan. Peran negara dalam hal perencanaan pemanfaatan dan
pengendalian tata guna lahan menjadi berkurang. Kondisi demikian dimanfaatkan swasta untuk
mengembangkan konsep bisnisnya. Perkembangan daerah perbatasan (tepian kota) banyak
diwarnai oleh tumbuhnya permukiman baru berupa perumahan maupun pusat-pusat kawasan
bisnis, restoran, hotel yang banyak memanfaatkan lahan di daerah perbatasan karena
pertimbangan masih tersedia lahan yang murah, aksesibilitas dengan kota yang mudah dengan
infrastruktur yang memadai dan proses perijinan lebih mudah dibandingkan dengan kota.
Fenomena tumbuhnya kawasan perumahan dan jasa hampir merata dijumpai di daerah-daerah
perbatasan kota dengan kabupaten.
Letak geografis yang strategis adalah perbatasan kota dengan desa yang secara
administratif termasuk wilayah kabupaten disekitarnya merupakan alasan yang logis, dimana
masyarakat cenderung bergerak ke arah area ini (Sub urban). Pergerakan penduduk dari Kota
ke Desa dilandasi untuk mencari tempat pemukiman yang relatif terjangkau baik dari sisi jarak
maupun harga tanah, sedangkan pergerakan penduduk dari Desa perbatasan ke Kota adalah
sebagai komuter untuk mencari nafkah atau bekerja ke Kota. Dari segi kependudukkan para
komuter tidak membebani wilayah kota karena tidak bermukim di Kota.

41
PUBLIC ADMINISTRATION JOURNAL OF RESEARCH Volume 2 (1), Januari – Maret 2020

Kondisi demikian mengharuskan para pembuat kebijakan di dua wilayah (Kota dan
Kabupaten) melakukan sinergitas agar kepentingan kedua wilayah tersebut dapat
terakomondasi. Di satu sisi tumbuhnya pemukiman di area subur dan tidak menggeser fungsi
lahan pertanian, di sisi lain area ini dapat sebagai pusat pertumbuhan kawasan ekonomi dalam
skala Desa atau Kecamatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk di area ini.
Realita menyamakan persepsi diantara kedua pejabat pembuat kebijakan tidaklah mudah karena
penerima mamfaat dari pertumbuhan di area ini lebih di nikmati oleh Pemerintah Kota dalam
hal mengurangi beban kepadatan penduduk. Dilihat dari sisi Pemerintah Kabupaten ada
kecenderungan membiarkan area ini. Hal ini ditandai tidak adanya rencana detail tata ruang
yang mengatur sampai di Kecamatan.
Regulasi yang menjembatani kepentingan dua pemerintahan Kota dan Kabupaten
mendesak untuk dibuat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya benturan kepentingan.
Regulasi yang mengakomondasi dua kepentingan wilayah Kota dan Kabupaten tidaklah
mudah, sekarang yang muncul adalah kepentingan yang bersifat ego sektoral. Dietz (1998:11)
mengemukakan konflik-konflik agraria meliputi 3 dimensi, pertama menyangkut siapa yang
dapat memiliki, menggunakan dan mengelola, kedua siapa yang dapat mengontrol akses atas
sumber-sumber agraria, dan ketiga siapa yang memperoleh mamfaat darinya.
Konflik kepentingan yang muncul di lokasi penelitian (Kab Karanganyar bagian barat
berbatasan dengan Kota Solo bagian barat) adalah Kecamatn Colomadu Kab Karanganyar
adalah area pertanian produktif beralih fungsi non pertanian seperti perumahan, hotel,
perkantoran dan kawasan bisnis, padahal pemerintah Kabupaten Karanganyar menetapkan
wilayah ini sebagai area pertanian sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).
Pemerintah Kabupaten Karanganyar memiliki 22.700 Ha lahan pertanian dan 747,24 Ha ada di
Kecamatan Colomadu yang merupakan sentra produksi beras, hingga upaya untuk
mempertahankan lahan pertanian menjadi arah kebijakan Pemkab Karanganyar dalam upaya
menjaga ketahanan pangan nasional.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Pengembangan Kota
Perluasan kota atau pemekaran kota merupakan suatu kebijakan yang dirancang untuk
mengatasi masalah pembangunan dan pertumbuhan penduduk kota yang diatur dalam UU No.
5 Th 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah Pasal 4 Ayat 3, menyebutkan bahwa usaha
penyesuaian batas administrasi daerah kota dalam kaitanya dengan pengembangan jangka

42
Budiman Widodo & Winarti : Manajemen Pembangunan Desa Daerah Perbatasan Kota

panjang dimungkinkan dengan tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah, perubahan


nama dan pemindahan ibu kota.
Pesatnya pertumbuhan penduduk dikota akan mendesak lahan sekitarnya atau daerah
tepian kota yang mayoritas adalah daerah lahan pertanian produktif. Hasil penelitian Soegiharto
(1993) tentang pengaruh perkembangan kota terhadap mutasi Tata Guna Lahan di Yogyakarta
menemukan bahwa pertumbuhan penduduk kota yang pesat didorong oleh tingkat urbanisasi
yang tinggi, serta adanya perbedaan penggunaan lahan yang besar antara wilayah perkotaan
dan perdesaan. Hal tersebut menyebabkan permintaan lahan perkotaan semakin meningkat.
Karena luas lahan tetap, maka sebagai alternatif penduduk menyebar ke daerah pinggiran kota.
Kecenderungan pola penyebaran seperti ini adalah wajar mengingat harga lahan diluar kota
jauh lebih murah bila dibandingkan dengan lahan di perkotaan, sehingga memungkinkan
mendapatkan bidang lahan yang lebih luas. Akibat daerah-daerah pinggiran kota terdebut
terjadi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi lahan pemukiman.
Ketersediaan lahan untuk pemukiman menjadi masalah yang sangat krusial mengingat
keterbasan lahan, padahal pertumbuhan penduduk di perkotaan idealnya harus diimbangi
dengan daya tampung permukiman. Tetapi bila melihat proporsi penduduk kota yang terus
bertambah, kemampuan daya tampung permukiman tidak bisa mengimbangi, data yang
diketengahkan oleh Eko Budiharjo menunjukkan, bahwa pada tahun 1390 an penduduk kota
hanya 15 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Satu dekade kemudian penduduk kota sudah
mencapai 20 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Selanjutnya data dari BPS menunjukkan
perkotaan menjadi 30 persen pada tahun 1990an dan diperkiraan menjadi 40 persen pada tahun
2000 an. (BPS:2000)
Konsekwensi dari pesatnya penduduk perkotaan menuntut ketersediaan tempat tinggal
dan fasilitas kota beserta kebutuhan sarana dan prasarana lainnya, akan tetapi ketersediaan
perumahan sebagai sarana permukiman menjadi yang paling utama. Pembangunan permukiman
akan menjadi penyumbang paling besar terhadap berkurangnya lahan pertanian. Hasil
penelitian Joko Pramono (2005 : 110) tentang Evaluasi Kebijakan Pembangunan Kawasan
Perumahan di Desa Gumpang Kecamatan Kartosuro Kabupaten Sukoharjo menunjukkan,
implikasi dibangunnya kawasan perumahan Gumpang Baru di Kecamatan Kartosuro
Kabupaten Sukoharjo dibutuhkanlahan 57.001 m² yang menggunakan lahan pertanian
produktif. Ditambah lagi permasalahan bahwa secara Administratif telah terjadi pelanggaran
oleh pengembang (developer) mengenai batas maksimal yang boleh diijinkan untuk areal

43
PUBLIC ADMINISTRATION JOURNAL OF RESEARCH Volume 2 (1), Januari – Maret 2020

permukiman yakni seharusnya 60 persen tetapi realitanya menggunakan sebesar 68 persen


lahan yang tersedia untuk kaveling.
Bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatkan jumlah
penduduk maupun tuntutan hidup telah mengakibatkan volume dan frekwensi kegiatan
penduduk bertambah. Kekurangan untuk memenuhi kebutuhan menjadi problema di sebagian
besar kota-kota di Indonesia, yakni menyangkut keterbatasan akan ruang terbuka yang
jumlahnya amat sedikit di wilayah perkotaan. Oleh sebab itu pembangunan di kota dengan
strategi intensifikasi fungsi maupun membangun secara vertikal menjadi pilihan. Namun
strategi ini belum lah cukup efektif untuk mengimbangi aktivitas penduduk di kota. Alternatif
lain bagi sementara penduduk yang tidak mampu menjangkau, mengalihkan perhatiannya di
bagian daerah pinggiran kota yang ketersediaan lahan masih banyak.
Kebijakan pengembangan kota yang ditempuh oleh kota-kota dalam usaha mengatasi
keterbatasan lahan adalah dengan ekstensifikasi yakni melalui pemekaran kota, yang sudah di
upayakan sejak tahun 70an, dampak dari kebijakan ini adalah terdesaknya daerah pinggiran
kota yang peruntukannya adalah daerah pertanian sehingga pemekaran kota hanya melihat satu
sisi keuntungan dari perkotaan tanpa memikirkan daerah yang menjadi obyek pengembangan
kota apalagi secara administrasi berada diluar wilayah kota pengembangan.
Menurut Soegiharto (1993), dalam hal pemekaran kota akan terjadi suatu perluasan
wilayah kota sebagai usaha mengimbangi pertumbuhan kota. Perkara wilayah kota harus benar-
benar dipertimbangkan berdasarkan perhitungan serta kriteria yang tepat serta tetap dalam
rangkaian kebijaksaan yang akan memberikan fungsi dan peranan kota sebagai pusat
pengembangan dari hiterlendnya lebih luas. Dengan berpedoman pada kebijakan umum
tersebut maka suatu usaha perluasan wilayah kota itu sendiri sebagai suatu enklave. Mustain,
(2007)
Konsekuensi dari perkembangan kota yang cenderung businessoriented adalah
mendesak daerah permukiman dan institusi sektor yang berpotensi kuat akan merebut lokasi
strategis dan sektor yang berpotensi lemah akan terdesak ke lokasi yang derajat aksesbilitasnya
jauh lebih rendah dan kurang bernilai ekonomi. Burges (Yunus; 2000:5-6) dalam sebuah
teorinya mengemukakan sebuah contoh kasus kota Chicago, bahwa kota telah berkembang
demikian pesatnya, dengan teori konsentrasinya ia membagi menjadi wilayah menjadi 5 zone
dengan titik konsentrasi pada Central District Busines (CDB) dimana CDB merupakan pusat
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik dalam suatu kota sehingga pada zona ini terdapat
bangunan utama untuk kegiatan sosial, ekonomi, dan politik.

44
Budiman Widodo & Winarti : Manajemen Pembangunan Desa Daerah Perbatasan Kota

Terdapat hubungan anatar nilai lahan (Land Value) dengan jarak kota. Hubungan yang
dimaksud dapat berupa harga terhadap suatu lahan, tentu saja terdapat perbedaan harga yang
signifikan antara lahan di kota dengan di pedesaan. Realitas menunjukkan bahwa terjadi
pergeseran harga yang sangat tinggi pada kawasan yang berlokasi pada tepian kota (sub urban).
Hal ini terjadi karena perkembangan kota yang secara alami tidak mampu menyediakan
fasilitas bagi aktivitas perekonomian penduduknya, maka perkembangan kota akan bergerak ke
arah wilayah di sekitarnya hingga akan menaikkan posisi tawar harga tanah bagi kawasan
tepian kota dan akan merubah pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian. Hal ini
tentu saja memerlukan pemikiran ulang bagi daerah yang mempunyai lokasi berbatasan
langsung dengan kota sebagai Daerah Pusat Konsentrasi Bisnis. Pertanyaannya apakah daerah
yang terkena imbas dari perkembangan kota akan tetap mempertahankan sebagai daerah
pertanian produktif melalui cara pengaturan yang ketat terhadap alih fungsi lahan atau
membiarkan kawasan tersebut berubah menjadi daerah non pertanian seperti permukiman,
pusat perbelanjaan, industri yang tentu saja akan merubah RUTRK/RDRTK yang ada.
Dari permasalahan tersebut akan memunculkan konflik kepentingan antara tetap
sebagai lahan pertanian produktif atau kawasan bisnis. Mensikapi fenomena yang dilematis
tersebut diperlukan sebuah kebijakan (policy) yang dapat mengantisipasi dengan peraturan
yang flexibel, sebab bagaimanapun juga kita harus memperhitungkan untung dan ruginya (cost
and benefit). Konsekuensi dari perkembangan kota bagi kawasan tepian kota merupakan
sesuatu yang logis dan alamiah.
William Alonso (1971) mengatakan bahwa nilai lahan dan penggunaannya ditentukan
oleh harga sewa (beli) akan menaikkan harga tanah bagi wilayah tepian kota bila dibandingkan
dengan penggunaan lahan untuk pertanian dengan demikian penggunaan lahan apakah untuk
pertanian atau bisnis tergantung pada penawaran harga yang paling tinggi, selanjutnya tingkat
harga akan menentukan penggunaan lahan itu sendiri artinya harganya harus dibayarkan untuk
sebuah lahan secara ekonomis harus menghasilkan out-put yang tinggi pula. Pertanyaannya
adalah lahan bernilai ekonomis tinggi bila digunakan sebagai lahan pertanian apakah mampu
menghasilkan sesuai dengan dibayarkan, bila jawaban tidak maka penggunaan lahan akan
beralih fungsi bisnis atau industri yang mampu membeli tanah dengan harga tinggi.
Sinclair membagi nilai lahan ke dalam dua tipe yang berbeda yaitu nilai lahan pertanian
(Agricultural Lan Values) dan nilai lahan Spekulatif (Speculative Land Value). Nilai lahan
spekulatif adalah nilai lahan yang muncul pada areal sebagai akibat adanya derajad antisipasi
terhadap perluasdan fisik kota yang meningkat pada areal yang bersangkutan sehingga

45
PUBLIC ADMINISTRATION JOURNAL OF RESEARCH Volume 2 (1), Januari – Maret 2020

penentuan besarnya nilai selalu dikaitkan dengan kepentingan non agraris. Karena gejala
perluasan kota dianggap sebagai sesuatu yang berjalan terus, walau lambat namun pasti maka
para petani mempunyai penilaian, bahwa nilai lahan pertaniannya semakin mendekati lahan
kota semakin mneurun, sedangkan nilai spekulasinya makin tinggi. Makin dekat dengan daerah
telah dibangun (built up area) makin awal pula daerah pertanian yang bersangkutan berubah
menjadi lahan non pertanian.Faktor inilah yang mengakibatkan penurunan "agricultural land
values". Kondisi ini mungkin terjadi pada daerah perkotaan yang tidak dipengaruhi oleh Boal
(1970:85) " Mengatakan campur tangan pemerintah dalam hal ini dengan diterapkannya "Land
Use Control"(pembatasan -pembatasan tentang penggunaan lahan) khususnya konservasi lahan
pertanian ke non pertanian dengan program penentu zona zona pertanian atau distrik distrik
pertanian dan sejenisnya. Distribusi nilai lahan akan mengalami perubahan pada daerah tertentu
di "Urban fringe area" dimana pembatasan penggunaan lahan diberlakukan akan
menghilangkan atau setidaknya mengurangi spekulasi terhadap lahan tersebut. Hal ini wajar,
karena dengan diberlakukannya peraturan-peraturan tersebut pada daerah yang bersangkutan
hampir sama sekali tidak ada konversi lahan pertanian ke non pertanian atau pembangunan
struktur-struktur kekotaan, padahal "spekulative value" hanya muncul dimana derajat antisipasi
terhadap tranformasi ke ruangan menjadi besar. Justru pada daerah terkena "Land Use Control"
akan muncul nilai penggunaan lahan pertanian baru yang menggantikan "speculative value",
karena pada sebagian lahan di daerah pinggiran kota yang tidak terkena "Land Use Control"
malah terjadi peningkatan "spekulative value", karena pada daerah tersebut memang diarahkan
untuk perkembangan areal kekotaan dan pada waktu yang sama kehilangan nilai
agriculturalnya. Lahan pertanian yang ada sudah mengalami tekanan perkembangan lahan
kekotaan. Kepastian penggunaan lahan kekotaan ini juga terlihat pada daerah perkotaan itu
sendiri, sehingga beberapa bagian daerah yang sudah jelas peruntukannya akan meningkatkan
nilai spekulatifnya, makin dekat dengan pusat kota ternyata nilai spekulatifnya makin
meningkat.
"Land Use Control" merupakan salah satu bentuk alat control(intervensi), pemerintah
untuk mengatur daerah yang dipandang potensial untuk lahan potensial (produktif) bila tidak
menghendaki wilayahnya berubah menjadi lahan non pertanian, sedangkan berubah menjadi
area non pertanian tidak memberikan kontribusi secara ekonomis atau bahkan mengacaukan
Rencana Untuk Tata Ruang Kota (RUTRK-RDTRK) yang mempunyai visi yang jelas bagi
pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan (suistainable). Meskipun banyak ditemui
kendala yang datang khususnya dari para "spekulan tanah" yang secara alamiah tidak dapat

46
Budiman Widodo & Winarti : Manajemen Pembangunan Desa Daerah Perbatasan Kota

dipisahkan dari perkembangan areal fisik lahan perkotaan ke daerah pinggiran, dengan makin
banyaknya muncul gejala merembetnya lahan perkotaan ke arah daerah daerah perkotaan di
sekitarnya telah menimbulkan dampak terhadap kehidupan petani pemilik lahan yang ada
bersifat mendua (mangro) antara mempertahankan lahan pertanian atau mengubah lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian atau menjual lahan pertanian hal ini dikarenakan :
1. Terdapat gangguan terhadap usaha taninya.
2. Terdapat "tekanan pembangunan" terhadap lahan pertanian.
3. Terdapat teror harga yangb jual lebih tinggi daripada hasil pertanian.
Tekanan yang disebabkan oleh pembangunan di kota ternyata berpengaruh terhadap
sikap mental petani, behkan merupakan sikap mental mereka dari petani murni yang relatif pola
hidupnya sederhana menjadi petani yang bergaya hidup kota sehingga akan semakin berat
menanggung beban hidup dan akhirnya menjual lahan pertanian atau bahkan bertindak sebagai
"Spekulan lahan" dengan menukar lahan pertanian di areal tepian kota ke lahan pertanian yang
jauh dari kota dengan luas yang lebih besar.

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


INFORMASI
FAKTOR PENGEMBANGAN KESIMPULAN
BIROKRAT PETANI
/PENGUSAHA
Faktor Lokasi I. KECAMATAN COLOMADU Strategis - Berhimpitan Dari ketiga
dengan informan yaitu
Strategis / peruntukan perumahan
Cocok untuk Birokrat, pengem-
- Perumahan perumahan karena - Petani generasi
bang dan petani
dekat dengan Solo penerus enggan
- Gudang menggarap menunjukkan
bebas polusi dapat lahan faktor letak lokasi
- Pariwisata
meningkatkan PAD. pertanian, peruntukkan peng-
- Pertanian karena faktor gunaan tanah lebih
Dari ke 4 peruntukkan tersebut Pandangan mereka keahlian, cocok untuk Non
diatas perumahan menempati terhadap Rencana tenaga, dan pertanian, sehingga
rangking paling itnggi dan paling Tata Ruang Kota waktu
RUTRK kurang
banyak terjadi perubahan fungsi sebaiknya pertanian - Lebih
mendapatkan
adalah kawasan pertanian, yang dicarikan menggantungk
pandangannya terhadap RUTRK an secara dukungan dari
tempat pengganti finansial kalau ketiga elemen
yang ada, tidak mempersalahkan,
lahan pertanian/ sawah berubah dijual tersebut diatas.
fungsi asal tidak menyalahi - Berkurangnya
peruntukan seperti peternakan, pasokan air - Perubahan status/
industri, dan sebagainya ygmasih karena pengeringan
dalam batas ketentuan seperti banyaknya dimungkinkan
tersebut diatas yaitu utuk gudang, perumahan karena embrio
pariwisata dan perumahan yang membuat sudah terbentuk
sumur pompa - Terdapat timpang
II. KABUPATEN KARANGANYAR - Meraja lelanya tindih antara
- Rekomendasi perubahan status/ hama walang BPN dengan
pengeringan atas dasar sangit, wereng Perda tentang

47
PUBLIC ADMINISTRATION JOURNAL OF RESEARCH Volume 2 (1), Januari – Maret 2020

pertimbangan bahwa embrio sudah karena IPPT


terbentuk tidak dapat menghalangi banyaknya
apabila persyaratan sudah lampu
terpenuhi, keputusan yang diambil penerangan Kawasan
bersifat flexibel karena tidak adanya perumahan dan Colomadu bukan
ketegasan peraturan kawasan itu jalan-jalan kawasan lidung
boleh atau tidak digunakan untuk - Kenaikan biaya tetapi sebagai
kawasan tertentu, istilah yang produksi dan kawasan budidaya
digunakan adalah potensi yang terbatasnya hal ini sangat
berarti belum pasti. Disamping itu tenaga/buruh menyulitkan
terdapat ambivalensi dengan Perda tani pengaturan
tentang Ijin Peruntukkan penggunaan tanah.
Penggunaan Tanah (IPPT) yang Dilain pihak Bupati
diketuai Bupati Karanganyar
menyatakan bahwa
III. PEMKAB KARANGANYAR lahan sawah di
- Sebagai pengendali pemanfaatan Colomadu sebagai
lahan dan kawasan tertentu. daerah resapan.
Pengendalian dan penataan ruang
didasarkan pada dua kriteria yaitu
:
1. Pola ruang dibagi menjadi
a. Kawasan lindung
b. Budidaya
2. Struktur ruang seperti jalan,
perkantoran, pasar dan
sebagainya.
Kawasan lindung peruntukkannya
dilindungi oleh peraturan Bupati
seperti cagar budaya, daerah
resapan, sedang budidaya untuk
kegiatan penunjang
perekoNomian, industri dan
sebagainya.
Peran BAPPEDA, BPN, Camat dan Kades, Pengembang dan Petani bersifat Tekanan dari
Strategis Kantor Pelayanan terpadu pengusaha mangro untuk berbagai kelompok
Kelompok mempunyai posisi lahan pertanian Strategis tidak
- Dilandasi semangat kepentingan tawar yang tinggi dan atau kawasan menguntungkan
sektoral koordinasi menjadi lemah menentukan karena bisnis, pilihan terhadap
ketika tidak adanya leading sektor
dukungan dana kuat adalah implementasi
para pejabat cenderung
mementingkan sektor makro yakni finansial dan prospek menjual tanah RUTRK yang ada.
pertumbuhan ekonomi. usaha yang bagus sawahnya karena
sehingga membuat tergiur harga
harga tanah tinggi, tinggi petani
karena nilai dalam posisi lebih
ekoNomis lahan menekan
untuk pemukiman kebijakan
yang makin mahal RUTRK sebagai
berbading terbalik kawasan hijau,
dengan hasil olahan karena partisipasi
lahan, sehingga yang rendah.
pemilik sawah tergiur
melepas lahannya.

Sumber Daya Pengetahuan tentang RUTRK sangat Kemampuan lebih Keterbatasan Komitmen
Manusia kurang, kemampuan mengimplemen- berorientasi atau SDM secara terhadap RUTRK
tasikan rendah jumlah personil hanya fokus pada teknis internal, yang ada sangat
ditingkat Kecamatan ke atas (jumlah pembangunan kurangnya tenaga rendah
terbatas dibandingkan area yang harus perumahan sampai untuk implementasi
dikover) seperti dalam pengurusan ijin pamasaran dalam mengerjakan RUTRK terkendala
pengeringan, IPPT, IMB, Petugas tidak menarik minat lahan pertanian, faktor SDM,
penghuni. buruh tani dan meliputi

48
Budiman Widodo & Winarti : Manajemen Pembangunan Desa Daerah Perbatasan Kota

atau jarang turun ke lapangan Pengetahuan adanya sebagainya. Rata- pengetahuan,


RUTRK rendah. rata petani tidak jumlah dan skill
memahami
RUTRK yang ada

Koordinasi Terdapat beberapa instansi yang Secara teknis Hanya Dinas Tidak adanya
menangani atau berkaitan dengan pengembang dalam Pertanian melalui Leading sektor
pengendalian perubahan peruntukkan mengurus ijin PPL dan yang berperan
lahan seperti BPN, KPT, dan BPPEDA, pengeringan, IPPT kelompok tani mengkoordinasikan
untuk urusan ijinpengeringan, IPPT dan dan IMB dapat yang melakukan berbagai peraturan
IMB. dengan mudah sosialisasi yang ada sehingga
dilakukan, karena peruntukkan RUTRK menjadi
prosedur dan lahan pertanian. tidak efektif.
persyaratan mereka
dapat memenuhinya

Komunikasi Disamping komunikasi internal antar Interprestasi Terbatasnya Frekuensi


instansi terkait melalui rapat pengembang sosialisasi kepada komunikasi untuk
koordinasi, dibutuhkan komunikasi terhadap kawasan masyarakat mensosialisasikan
eksternal yang intens kepada stake lahan pertanian yang (petani) RUTRK sangat
holder dan masyarakat. Jarang sekali diperuntukkan menjadikan rendah sehingga
dilakukan komunikasi ini, baik lewat sebagai kawasan petani tidak pemahaman
media cetak, elektronik, spnduk atau hijau sangat flexibel mengetahui terhadap RUTRK
brosur-brosur. Sehingga pemahaman karena adanya adanya RUTRK sangat minim dan
masyarakat sangat minim. toleransi yang lebih yang ada. menimbulkan
dari pengambil interprestasi yang
kebijakan sehingga berbeda.
dalam
implementasinya
dilapangan dimana
toleransi hanya 4%
dari keseluruhan
lahan yang ada,
prakteknya mencapai
10% lebih, hal ini
dikarenakan tidak
adanya komunikasi
dua arah antara
pengambil kebijakan
dengan pengembang.

Pengawasan - Ada tiga alat yang dapat digunakan Semua prosedur dan - Prosedur dan Pengawasan lewat
sebagai pengawasan yang bersifat persyaratan telah persyaratan beberapa perijinan
preventif yaitu : dipenuhi ijin cukup efektif,
perubahan namun hanya
2. Ijin pengeringan/ perubahan status bersifat formal
status yang dikeluarkan oleh dipenuhi tidak ada usaha
BPN.
mencegah
3. Ijin Peruntukkan Penggunaan
Tanah (IPPT) yang dikeluarkan terjadinya
oleh Bupati. perubahan status
4. Ijin Mendirikan Bangunan lahan pertanian
(IMB) yang dikeluarkan oleh yang tidak
Bupati atau pejabat yang terkendali.
Pengemabng telah
ditunjuk.
- Pengawasan yang lain adalah mendapatkan IPPT - Petani
dan IMB - Hasil laporan
monitoring yang dilakukan oleh sudah monitoring tidak
BAPPEDA dengan membuat tidak ada tindak lanjut
laporan kepada Bupati setiap akhir bertangg (Follow up) dari
Tahun.

49
PUBLIC ADMINISTRATION JOURNAL OF RESEARCH Volume 2 (1), Januari – Maret 2020

- Pengawasan yang bersifat represif ung Bupati.


yaitu adanya pelanggaran atau jawab - Payung hukum
belum diurusnya IMB akan terhadap tidak tegas
dikenakan tindakan hukum pada karena tidak
perubaha
palanggarannya. menyebut tidak
n status boleh dialih
tanah. fungsikan untuk
peruntukkan lain
bukan kawasan
lindung tetapi
termasuk
kawasan yang
dapat
dibudidayakan

5. KESIMPULAN
Dasar hukum dibuatnya RUTRK-RDTRK 1991-2012 Kecamatan Colomadu Kabupaten
Karanganyar telah sesuai dengan peraturan hukum diatasnya yakni memperhatikan faktor
wilayah kebijakan dari segi : potensi, kebijakan umum perencanaan kebijakan , fungsi khusus
lokasi. Dalam pelaksanaannya sebuah kebijakan dibutuhkan dukungan agar kebijakan dalam
implementasikan untuk itu perlu dikawal sampai sejauh mana implementasinya dapat
dilakukan. Dibutuhkan pihak dapat menjalankan fungsinya seperti :
a. BPN : Memperketat ijin pengeringan
b. BAPPEDA : Memonitoring terjadinya penyimpanan atas dasar laporan dari Kecamatan
c. CAMAT : Melaporkan bila terjadi penyimpangan selaku penguasa wilayah kepada Bupati
d. DPU : Perintah menghentikan berdirinya bangunan yang tidak memenuhi persyaratan
atau menyalahi aturan
e. KPT : Kantor Pelayanan terpadu melakukan seleksi administrasi persyaratan
Disamping itu dukungan dari masyarakat yang berupa aspek faktor-faktor sosial sebagai
penentu keberhasilan sebuah kebijakan perlu mendapatkan porsi perhatian hasil penelitian
menunjukkan kurangnya sentuhan pendekatan sosial menyebabkan rendahnya partisipasi
sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Alonso, W, 1964. Location and Land Use, Cambridge. Haward University Press
Boal, F, W, 1970.Urban Grouth and Land Value Pattern, Goverment Influence, in Profesional
Geographers. 22, PP 79-82
BPS: 2000
Mustain, 2007, Petani Vs Negara, Gerakan Petani Melawan Hegemoni Negara, Ar-Ruzzmedia,
Yogyakarta.

50
Budiman Widodo & Winarti : Manajemen Pembangunan Desa Daerah Perbatasan Kota

Pramono, J, 2005 Evaluasi Kebijakan Pembangunan Kawasan Perumahan. Thesis Program


Pascasarjana-UNS, Surakarta.
Soegiharto, 1993, Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Mutasi Tata Guna Lahan di
Yogyakarta.
Yunus. S, 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar Offset, Yoyakarta.

51

Anda mungkin juga menyukai