Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH STUDI ALQUR’AN DAN HADITS

ALQUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM PERTAMA DALAM ISLAM

Dosen pengampu : M.Toyib,S.Ag,M.Pd.I

Kelompok 4 :

Ike putri islamia (208200002)

Riska meilani (208200021)

M.Amin hudori (208200042)

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan karuniaNya,kami
dapat menyelesaikan makalah kami tepat waktu. kemudian sholawat beriringan
salam tidak lupa pula kita kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang mana
telah membawa kita ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti apa
yang kita rasakan sekarang ini.

Kemudian kami juga berterima kasih kepada Dosen Pengampu kami yaitu M.
TOYIB, S.Ag, M.Pd.I . Karena telah memberi kesempatan kepada kelompok kami
untuk menyelesaikan makalah kami ini. Kami menyadari bahwasanya kami masih
memiliki banyak kekurangan, maka dari itu, kami menerima semua saran dan
masukan dari teman-teman sekalian.

Sebagaimana kita ketahui, Al-qur’an adalah kitab suci umat islam yang menjadi
sumber hukum peratamanya. Dari kecil kita juga di ajarkan bagaimana cara
membaca al-qur’an dengan baik, yang dimulai dari iqro, dan disini kami akan
membahas tentang “Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dalam islam”
semoga pembahasan kami kali ini dapat membantu menambah wawasan kita
semua.

JAMBI, 19 OKTOBER 2020


BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Abdul Wahab Khallaf, kata adillah syar’iyyah (sumber hukum


Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-ahkam, al-mashadir
al-tasyri’iyyah lil-al-ahkam. 1

Para ulama’ membagi dalil hukum syara’ menjadi dua, 1) dalil yang disepakati
(muttafaq), dan 2) dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil yang disepakati
dibagi menjadi 4, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Mareka juga menyepakati
bahwa keempatnya harus digunakan secara berurutan dan tidak melompat-
lompat. Jika terjadi suatu peristiwa, maka dilihat lebih dulu hukumnya dalam al-
Qur’an, jika tidak ditemukan dilihat hukumnya di dalam hadits, jika di dalam
hadits belum juga ditemukan atau kurang jelas, maka mencari hukumnya
dalam ijma’, jika belum ditemukan juga di dalam ijma’, maka berijtihad untuk
mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas2. Allah SWT berfirman:

‫شء فردوه إل هللا‬


‫وأول األمر منكم فإن تنازعتم يف ي‬
‫ي‬ ‫يا أيها الذين آمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول‬
‫خي وأحسن تأويال‬
‫والرسول إن كنتم تؤمنون باهلل واليوم اآلخر ذلك ر‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa/4:59)

1 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 20.
2 Ibid, hlm. 21.
Selanjutnya dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf), menurut Wahbah Zuhaeli
dibagi menjadi tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab, urf,
mazhab sahabi, syar’u man qoblana, dan saddu al-zariah3. Tetapi, menurut
Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, dengan menghilangkan saddu al-zariah,
maka menurutnya keseluruhan adillah syar’iyyah berjumlah 10 macam.4

Sebagai dalil muttafaq, al-Qur’an menempati urutan yang utama karena


merupakan kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantaraan malaikat
Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafazh yang
berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi
Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi
manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka
beribadah dengan membacanya.5

Dan pada makalah ini, penulis akan memaparkan makna al-Qur’an, bagaimana
kehujjahannya, dalalah al-Qur’an, serta isi kandungan dan hukum-hukum yang
dimuat di dalamnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian al-Qur’an itu?

2. Apa bukti kehujjahan al-Qur’an?

3. Apa saja kandungan isi al-Qur’an?

4. Apa saja dalalah dari ayat-ayat al-Qur’an itu?

5. Apa saja hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an?

3 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, 1986, Cet. ke-1, Juz: 1, hlm. 417.
4 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 22.
5 Abdul wahhab Khallaf, terj., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 18.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Qur’an

Lafadz al-Qur’an dalam bahasa Arab diambil dari kata Qara’a (‫ )ق رأ‬seperti
lafadz Al-ghufran yang diambil dari kata ghafara (‫)غفر‬. Dikatakan qira’a, yaqra’u,
qira’atan dan qur’anan (-‫ ق رأة‬-‫ يقرؤ‬-‫) ق رأ‬. 6Diantaranya adalah firman Allah SWT:

Dan dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih, dikatakan bahwa lafadz al-Qur’an merupakan
bentuk mashdar dari qara’a (‫قر‬
‫ ) أ‬yang sepadan dengan kata fu’lan. Ada dua
pengertian al-Qur’an dalam bahasa Arab, yairu qur’an ( ‫ )ق رآن‬berarti bacaan, dan
apa yang tertulis padanya, maqru (‫)مقرؤ‬, isim fa’il (subjek)dari qara’a (al-
Qiyamah (75) ayat 17-18).7

Secara terminologi, ada beberapa definisi dari pengertian al-Qur’an, antara lain:

1. Menurut ahli Ushul, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada


Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang berbahasa Arab, telah
dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan jalan mutawatir, dimulai dengan
Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas, yang kita beribadah dengan
membacanya.

2. Ali Ash-Shabuni, membatasi pengertian al-Qur’an sebagai berikut:

“al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan


kepada Nabi atau Rasul-Nya yang penghabisan dengan perantaraan Malaikat
Jibril yang ditulis pada mushaf-mushaf, dinukilkan kepada kita secara mutawatir,

6Ibid, hlm. 18
7Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:
Penerbit Amzah 2009, hlm. 6
membacanya adalah ibadah, dimulai dengan Surah al-Fatihah dan diakhiri
dengan Surah an-Nas.8

3. Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan
oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dengan lafadz
berbahasa Arab dangan makna yang benar sebagai hujjah bagi Rasul, sebagai
pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya.9

Dari beberapa pengertian al-Qur’an di atas, secara umum al-Qur’an adalah


wahyu atau firman Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui
perantaraan malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, untuk pedoman
bagi umat manusia, merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw yang terbesar,
dinukilkan kepada kita secara mutawatir dan dinilai ibadah bagi yang
membacanya.

B. Bukti Kehujjahan al-Qur’an

Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Qur’an sebagai


berikut: “Bukti bahwa al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-
hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk
mengikutinya, ialah karena al-Qur’an datang dari Allah swt. dan dibawa kepada
manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kebenarannya. Sedang
bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah swt adalah bahwa al-Qur’an
membuat orang-orang tidak mampu membuat atau mendatangkan sesuatu
seperti al-Qur’an (kemukjizatan al-Qur’an).”10

8 Ibid, hlm. 7
9 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 23
10 Drs. Muin Umar, Dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 70
Bukti dari kemukjizatan al-Qur’an tidak dilihat dari segi lafadznya saja, tetapi juga
makna dan isinya. Di dalamnya berisi rahasia-rahasia alam yang hingga kini masih
banyak yang belum terungkap. Ayat-ayat di dalamnya merupakan kalam Allah
yang indah yang tak dapat ditandingi oleh siapapun (lihat QS (2):23, (28):49-50 ).

I’jaz, maksudnya menetapkan ketidakmampuan orang lain, tidak akan terealisir


kecuali apabila tiga hal terpenuhi:

a. Adanya tantangan, maksudnya permintaan untuk beradu, saling


menjatuhkan, dan berlawanan.

b. Adanya motivasi yang mendorong kepada penantang untuk mengajukan


tantangan dan perlawanan.

c. Tidak ada penghalang yang menghalanginya dari perlawanan ini.11

Al-Qur’an telah lengkap dalam melakukan tantangan, dan terdapat pula motivasi
bagi orang yang menantangnya untuk melawan, dan tidak suatu penghalang bagi
mereka. Kendati demikian, mereka tidak sanggup melawannya dan juga
mendatangkan yang semisal al-Qur’an.12

Aspek kemukjizatan al-Qur’an yang dapat dicapai oleh akal, antara lain:

a. Keharmonisan struktur redaksinya, maknanya, hukum-hukumnya, dan


teori-teorinya (Q.S, an-Nisa’: 82).

b. Persesuaian ayat al-Qur’an dengan teori ilmiah yang dikemukakan ilmu


pengetahuan (Q.S, Fushshilat: 52-53).

c. Pemberitahuan al-Qur’an terhadap berbagai peristiwa yang hanya


diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui terhadap hal-hal yang gaib (Q.S,
Hud : 49).

11 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 21
12 Ibid, hlm.21
d. Kefasihan lafadz al-Qur’an, kepetahan redaksinya, dan kuatnya
pengaruhnya.13

Dasar-Dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum Menutut Imam Madzhab :

1. Pandangan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa
dia membolehkan shalat dengan bahasa menggunakan selain arab, misalnya:
Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madharat.

2. Pandangan Imam Malik

Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan
maknanya berasal dari Allah SWT . ia bukan makhluk, Karena kalam Allah
termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang orang yang
menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau
berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang
yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal
leher orang itu,”. Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama
Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit
mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT.

3. Pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber islam yang paling
pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah
karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Sehingga seakan akan beliau
menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam
Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dan Sunnah, namun kedudukan As-Sunnah

13 Ibid, hlm. 26-33


itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an yang keduanya berasal dari Allah
SWT.

Dengan demikian tak heran bila Imam syafi’I dalam berbagai pendapatnya sangat
mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan
ibadah ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa arab bagi
mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an , pendapat
Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa
bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain arab. Misalnya dengan
bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.

4. Pandangan Imam Ibnu Hambal

Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok
hukum islam, kemudian disusun oleh As-Sunnah. Namun seperti halnya Imam As-
Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa sunnah mempunyai kedudukan
yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa
sumber hukum itu adalah nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-
Sunnah dahulu tapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul
mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). 14

C. Isi Kandungan al-Qur’an

Berdasarkan terjemahan Departemen Agama RI, al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114
surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.

14 (Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.)
Kandungan pokok dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut:

• Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang


ghaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar, yaitu
mentauhidkan Allah swt.
• Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang mewujudkan dan
menghidupkan iman di dalam hati dan jiwa.
• Janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), yaitu janji dengan balasan yang
baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan ancaman, yaitu siksa
bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji dan ancaman di akhirat berupa
surga dan neraka.
• Riwayat, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik itu sejarah bangsa-
bangsa, tokoh-tokoh, maupun nabi-nabi utusan Allah swt.
• Akhlak, yaitu perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf
dengan menjalankan hal-hal yang utama dan menghindarkan diri dari hal-
hal yang menghinakan.
• Muamalah, yaitu hukum-hukum yang termasuk di dalamnya hukum
badan pribadi, perdata, pidana,, hukum acara, hukum tata Negara,
hukum internasional, hukum ekonomi, dan keuangan.

Berdasarkan turunnya, ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu;

• Makiyyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada masa sebelum Rasul


hijrah ke Madinah. Ayat makiyyah ini mempunyai cirri-ciri yang menonjol,
yaitu; 1) kandungannya berbicara tentang masalah keimanan (akidah),
dalam rangka meluruskan keyakinan umat pada masa Jahiliyah dan
menanamkan ajaran tauhid. Karena tanpa mengajarkan tauhid terlebih
dahulu syariat Islam akan sulit untuk diterima. Misalnya dalam Q.S al-
Anbiya’ ayat 25;

‫نوح إليه أنه ال إله إال أنا فاعبدون‬


‫ي‬ ‫وما أرسلنا من قبلك من رسول إال‬
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan
Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan
Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” 2) Berbicara tentang kisah-
kisah umat terdahulu sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW.

• Madaniyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada masa setelah hijrahnya


Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ayat-ayat Madaniyah mempunyai ciri
yaitu berupa masalah hukum dengan berbagai aspeknya. Contohnya
sebagai berikut:
➢ Perintah membayar zakat (Q.S. al-Baqarah : 43)

‫اكعي‬
‫وأقيموا الصالة وآتوا ال زكاة واركعوا مع ال ر ر‬

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-
orang yang rukuk.”

➢ Perintah puasa (Q.S. al-Baqarah: 183)

‫يا أيها الذين آمنوا كت ب عليكم الصيام كما كتب عىل الذين من قبلكم لعلكم تتقون‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

➢ Perintah haji (Q.S. al-Baqarah: 196)

‫…وأتموا الحج والعم رة هلل‬

Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…”

➢ Larangan memakan harta orang lain dengan bathil (QS. al-Baqarah: 188):

‫وال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إل الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس باإلثم وأنتم‬
‫تعلمون‬

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. ”

➢ Talak (QS. at-Talak: 1)

‫النب إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة واتقوا هللا ربكم ال تخرجوهن من‬
‫يا أيها ي‬
‫يأتي بفاحشة مبينة وتلك حدود هللا ومن يتعد حدود هللا فقد ظلم نفسه‬
‫بيوتهن وال يخرجن إال أن ر‬
‫ال تدري لعل هللا يحدث بعد ذلك أمرا‬

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah


kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

➢ Tentang warisan (QS. an-Nisa’: 11-12)


➢ Cara pembagian harta rampasan perang 15(QS. al-Anfal: 1):

‫يسألونك عن األنفال قل األنفال هلل والرسول فاتقوا هللا وأصلحوا ذات بينكم وأطيعوا هللا ورسوله إن‬
‫مؤمني‬
‫ر‬ ‫كنتم‬

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan


perang. Katakanlah: harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh
sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara
sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-
orang yang beriman.”

15 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009, Cet. ke-3, hlm. 84-
92
D. Dalalah Ayat al-Qur’an

Dalil dalam bahasa Arab ad-dalil (‫ )الدليل‬jamaknya al-adillah (‫)األدلة‬, dan secara
terminologi berarti:

“petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material
(maknawi).”

Adapun pengertian dalil secara terminologi menurut ushul fiqh:

“Sesuatu yang dapat (mungkin) kita sampai dengan mempergunakan yang benar
kepada sesuatu hasil yang bersifat khabar (hukum).”

Wahbah az-Zuhaili, dalam Ushul al-Fiqh al-Islami, memberikan batasan


dengan:

“Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh
hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun
zhanni (relatif).”16

Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan


ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita17. Artinya,
semua ayat al-Qur’an yang kita baca adalah pada hakikatnya nash yang
diturunkan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw., karena apabila surat atau ayat
turun, maka Rasulullah saw. membacakan kemudian ditulis oleh para sahabat
yang ditugaskan untuk menuliskannya, dan dihafal serta dibaca ketika shalat.

Adapun nash-nash al-Qur’an itu dari segi dalalahnya terhadap hukum-


hukum yang dikandungnya, maka ia terbagi menjadi dua bagian:

a. Nash yang qath’i dalalahnya terhadap hukumnya,

16 Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:
Penerbit Amzah 2009, hlm. 54-55
17 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36
b. Nash yang zhanni dalalahnya terhadap hukumnya.

Nash yang qath’i dalalahnya ialah nash yang menunjukkan kepada makna yang
pemahaman makna itu dari nash tersebut telah tertentu dan tidak mengandung
takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nash itu.

Misalnya firman Allah swt.:

‫…ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد‬

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak.” (Q.S an-Nisaa: 12)

Ayat ini menjelaskan bahwa bagian suami dalam kondisi seperti ini adalah
seperdua (qath’i).

Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan atas
suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau
dipalingkan dari makna ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya. Seperti
firman Allah swt.:

‫…والمطلقات رييبصن بأنفسهن ثالثة قروء‬

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)


selama tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)

Kata quru’ dalam bahasa Arab disebut lafadz musytaraq yaitu satu kata yang
memiliki dua makna atau lebih. Maka kata quru’ bermakna suci dan haid.18

E. Macam-macam Hukum al-Qur’an

18 Ibid, hlm. 37-39


Hukum yang dikandung oleh al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu 19:

Pertama: hukum-hukum I’tiqadiyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus


dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai Allah, malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.

Kedua: hukum moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu yang harus


dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan
menghindarkan diri dari hal yang hina.

Ketiga: hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari
mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan
pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh al-Qur’an. Dan inilah yang
dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.

Hukum-hukum amaliyyah di dalam al-Qur’an terdiri dari dua macam, yaitu;

§ Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan
ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya (habluminallah).

§ Hukum muamalat, seperti akad, pembelanjaan, hukuman, pidana, dan lainnya


yang bukan ibadah dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan antar sesama
mukallaf, baik sebagai individu, bangsa, atau kelompok (habluminannas).

Menurut istilah modern, hukum muamalat telah dibagi menurut sesuatu yang
berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi beberapa
macam;

1. Hukum keluarga, yaitu hukum yang berhubungan dengan keluarga, mulai


dari pembentukannya, dan ia dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara
suami istri dan kerabat satu sama lain.

19 Ibid, hlm. 34-36


2. Hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian dengan perhubungan hukum
antara individu-individu dan pertukaran mereka, baik berupa jual-beli,
penggadaian, jaminan, persekutuan, utang piutang, dan memenuhi janji dengan
disiplin. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan harta kekayaan
individu dan memelihara hak masing-masing yang berhak.

3. Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan tindak criminal yang
timbul dari seorang mukallaf dan hukuman yang dijatuhkan atas pelakunya.
Hukum ini dimaksudkan untuk memelihara kehidupan manusia, harta mereka,
kehormatan mereka, dan hak-hak mereka, serta menentukan hubungan antara
pelakunya, korban tindak kriminal, dan umat.

4. Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian,


dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur usaha-usaha untuk
mewujudkan keadilan di antara manusia.

5. Hukum perundang-undangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan


pengaturan pemerintahan dan pokok-pokoknya. Hukum ini dimaksudkan untuk
menentukan hubungan penguasa dan rakyat, dan menetapkan hak-hak individu
dan masyarakat.

6. Hukum tata Negara, yaitu hukum yang bersangkutan dengan hubungan


antara Negara Islam dengan negara lainnya, hubungan dengan orang-orang non-
Islam yang berada di Negara Islam. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan
hubungan Negara Islam dengan Negara non-Islam, baik dalam keadaan damai
maupun dalam suasana peperangan, serta menentukan hubungan antara umat
Islam dengan non-Islam di berbagai Negara Islam.

7. Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan


orang miskin, baik yang meminta-minta maupun yang tidak, berkenaan dengan
harta orang kaya, dan pengaturan berbagai sumber dan perbankan. Hukum ini
dimaksudkan untuk mengatur hubungan kekayaan antara orang-orang dan
orang-orang kafir, dan antar Negara dan rakyat.

Menurut Muhammad Khuderi Bek dalam bukunya “Tarikh Tasyri’ al-Islami”, ada
tiga prinsip yang melandasi hukum dalam al-Qur’an20:

a. Tidak memberatkan (‫)عدم التدرج‬

Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum al-Qur’an itu bersifat memudahkan.
Pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Sehingga
hukum itu tidak menjadi beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Qur’an,
diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185:

… ‫…يريد هللا بكم اليرس وال يريد بكم العرس‬.

Artinya: “… Allah menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki


kesulitan…”

Contoh prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan berbuka puasa
bagi orang yang sedang dalam perjalanan, dan hukum boleh melaksanakan
shalat sesuai kemampuan.

b. Menyedikitkan beban

Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam melakukan perintah Allah swt. itu
harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak melakukan
penambahan dan pengurangan, seperti dalam firman Allah dalam surat al-
Maidah ayat 102:

Artinya: “janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang jika dia diterangkan
kepadamu akan menyusahkan kamu.”

20 Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Predana Media Group, cet. ke-1 2011,
hlm. 49-52
Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali seumur hidup
bagi yang mampu.

c. Berangsur-angsur

Salah satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang tidak
sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap, sehingga tidak
memberatkan dan lebih memberikan kelonggaran. Karena al-Qur’an sangat
memperhatikan proses perubahan sosial budaya yang berkembang di
masyarakat. Contohnya dalam tahapan pengharaman khamr.21

BAB 3

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Al-Qur’an secara terminologi adalah mashdar yang bermakna qiro’ah


(bacaan dan apa yang ditulis di dalamnya). Sedangkan makna al-Qur’an secara
etimologi berarti kalam Allah swt. yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada kita dengan jalan yang mutawattir,
jika membacanya dihukumi ibadah, dan diawali dengan Surat Al-Fatihah dan
diakhiri Surat an-Naas.

2. Bukti kehujjahan Al-Qur’an adalah, al-Qur’an diturunkan dari Allah swt.,


disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat
keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan manusia dalam

21 Lihat Q.S. al-Baqarah: 219, Q.S. an-Nisaa: 43, Q.S. al-Maidah: 90


penyusunannya. Hal ini mengandung arti bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat
yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.

3. al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Kandungan isi dalam al-Qur’an yang utama yaitu;

a. Tauhid, adalah tentang kepercayaan yang benar, yaitu pentauhidan


terhadap keesaan Allah swt.

b. Ibadat, berisi amalan-amalan yang memperkokoh keimanan seseorang.

c. Janji dan ancaman, yaitu janji dengan pahala/balasan terhadap amalan


yang baik yang dilakukan oleh seorang mukallaf, dan ancaman yang berupa
peringatan bagi seseorang yang berbuat maksiat, berupa balasan dengan
siksa/adzab.

d. Riwayat, yaitu kisah-kisah umat terdahulu yang berisi hikmah.

e. Akhlaq, adalah perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh seorang


mukallaf.

f. Muamalah, hukum-hukum yang termasuk di dalamnya hukum perdata,


pidana, dan sebagainya.

Berdasarkan turunnya, kandungan isi al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu;

a. Makiyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Qur’an yang turun


selama periode sebelum hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi tentang ketauhidan
kepada pengesaan Allah swt.

b. Madaniyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Qur’an yang turun


selama periode setelah hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi tentang hukum-
hukum yang berlaku sampai saat ini.
4. Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan
ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita. Nash-nash
al-Qur’an dari segi dalalahnya dibagi menjadi dua;

a. Nash-nash yang qath’I dalalahnya, yaitu jika suatu ayat dalam al-Qur’an
yang maknanya qath’I (pasti) dan tidak memerlukan penjelasan dari sumber lain
(missal: as-Sunnah).

b. Nash-nash yang zhanni dalalahnya, adalah jika suatu ayat dalam al-Qur’an
itu lafadznya pasti, tapi masih memerlukan penjelasan, karena merupakan
kalimat yang masih memungkinkan untuk ditakwil.

5. Hukum-hukum dalam al-Qur’an di antaranya;

1. Hukum-hukm I’tiqadiyyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan


keimanan seseorang.

2. Akhlaq dan moral, yaitu sesuatu yang harus dijadikan perhiasan mukallaf
dan menghindari hal-hal yang hina.

3. Hukum-hukum amaliyyah, yaitu hukum-hukum yang bersangkutan dengan


sesuatu yang timbul dari mukallaf (fiqh al-Qur’an)

Tiga prinsip yang melandasi hukum al-Qur’an;

a. Tidak memberatkan: hukum-hukum dalam al-Qur’an bersifat


memudahkan, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan seseorang.

b. Menyedikitkan beban: dalam al-Qur’an, hukum-hukumnya memperhatikan


objek dan tidak melakukan penambahan dan pengurangan.

c. Berangsur-angsur: cara penetapan hukum-hukum dalam Islam tidak


sekaligus, tapi berangsur-angsur dan bertahap.
B. PENUTUP

Demikian makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih
banyak kesan kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang kontruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalh
kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang
membaca dan membahasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Mutholib Al Jabali Abdul, Al-Fiqhu wa Ushuluhu, Maktab Idarah as-Syu’un ad-


Diniyyah, Jawa Tengah 2011

Prof. Wahhab Khallaf Abdul (terj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, dkk), Ilmu Ushul
Fiqh, Dina Utama, Semarang 1994

Drs. Shidiq Sapiudin, M.A., Ushul Fiqh, Kencana Predana Media Group, Jakarta
2011

Drs. Jumantoro Totok, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul
Fikih, Penerbit Amzah, Jakarta 2009

Drs. Umar Muin, Dkk., Ushul Fiqh I, Departemen Agama RI, Jakarta 1986

Anda mungkin juga menyukai