Kelompok 4 :
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan karuniaNya,kami
dapat menyelesaikan makalah kami tepat waktu. kemudian sholawat beriringan
salam tidak lupa pula kita kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang mana
telah membawa kita ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti apa
yang kita rasakan sekarang ini.
Kemudian kami juga berterima kasih kepada Dosen Pengampu kami yaitu M.
TOYIB, S.Ag, M.Pd.I . Karena telah memberi kesempatan kepada kelompok kami
untuk menyelesaikan makalah kami ini. Kami menyadari bahwasanya kami masih
memiliki banyak kekurangan, maka dari itu, kami menerima semua saran dan
masukan dari teman-teman sekalian.
Sebagaimana kita ketahui, Al-qur’an adalah kitab suci umat islam yang menjadi
sumber hukum peratamanya. Dari kecil kita juga di ajarkan bagaimana cara
membaca al-qur’an dengan baik, yang dimulai dari iqro, dan disini kami akan
membahas tentang “Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dalam islam”
semoga pembahasan kami kali ini dapat membantu menambah wawasan kita
semua.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Para ulama’ membagi dalil hukum syara’ menjadi dua, 1) dalil yang disepakati
(muttafaq), dan 2) dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil yang disepakati
dibagi menjadi 4, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Mareka juga menyepakati
bahwa keempatnya harus digunakan secara berurutan dan tidak melompat-
lompat. Jika terjadi suatu peristiwa, maka dilihat lebih dulu hukumnya dalam al-
Qur’an, jika tidak ditemukan dilihat hukumnya di dalam hadits, jika di dalam
hadits belum juga ditemukan atau kurang jelas, maka mencari hukumnya
dalam ijma’, jika belum ditemukan juga di dalam ijma’, maka berijtihad untuk
mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas2. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa/4:59)
1 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 20.
2 Ibid, hlm. 21.
Selanjutnya dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf), menurut Wahbah Zuhaeli
dibagi menjadi tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab, urf,
mazhab sahabi, syar’u man qoblana, dan saddu al-zariah3. Tetapi, menurut
Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, dengan menghilangkan saddu al-zariah,
maka menurutnya keseluruhan adillah syar’iyyah berjumlah 10 macam.4
Dan pada makalah ini, penulis akan memaparkan makna al-Qur’an, bagaimana
kehujjahannya, dalalah al-Qur’an, serta isi kandungan dan hukum-hukum yang
dimuat di dalamnya.
B. RUMUSAN MASALAH
3 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, 1986, Cet. ke-1, Juz: 1, hlm. 417.
4 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 22.
5 Abdul wahhab Khallaf, terj., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 18.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Qur’an
Lafadz al-Qur’an dalam bahasa Arab diambil dari kata Qara’a ( )ق رأseperti
lafadz Al-ghufran yang diambil dari kata ghafara ()غفر. Dikatakan qira’a, yaqra’u,
qira’atan dan qur’anan (- ق رأة- يقرؤ-) ق رأ. 6Diantaranya adalah firman Allah SWT:
Dan dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih, dikatakan bahwa lafadz al-Qur’an merupakan
bentuk mashdar dari qara’a (قر
) أyang sepadan dengan kata fu’lan. Ada dua
pengertian al-Qur’an dalam bahasa Arab, yairu qur’an ( )ق رآنberarti bacaan, dan
apa yang tertulis padanya, maqru ()مقرؤ, isim fa’il (subjek)dari qara’a (al-
Qiyamah (75) ayat 17-18).7
Secara terminologi, ada beberapa definisi dari pengertian al-Qur’an, antara lain:
6Ibid, hlm. 18
7Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:
Penerbit Amzah 2009, hlm. 6
membacanya adalah ibadah, dimulai dengan Surah al-Fatihah dan diakhiri
dengan Surah an-Nas.8
3. Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan
oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dengan lafadz
berbahasa Arab dangan makna yang benar sebagai hujjah bagi Rasul, sebagai
pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya.9
8 Ibid, hlm. 7
9 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 23
10 Drs. Muin Umar, Dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 70
Bukti dari kemukjizatan al-Qur’an tidak dilihat dari segi lafadznya saja, tetapi juga
makna dan isinya. Di dalamnya berisi rahasia-rahasia alam yang hingga kini masih
banyak yang belum terungkap. Ayat-ayat di dalamnya merupakan kalam Allah
yang indah yang tak dapat ditandingi oleh siapapun (lihat QS (2):23, (28):49-50 ).
Al-Qur’an telah lengkap dalam melakukan tantangan, dan terdapat pula motivasi
bagi orang yang menantangnya untuk melawan, dan tidak suatu penghalang bagi
mereka. Kendati demikian, mereka tidak sanggup melawannya dan juga
mendatangkan yang semisal al-Qur’an.12
Aspek kemukjizatan al-Qur’an yang dapat dicapai oleh akal, antara lain:
11 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 21
12 Ibid, hlm.21
d. Kefasihan lafadz al-Qur’an, kepetahan redaksinya, dan kuatnya
pengaruhnya.13
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa
dia membolehkan shalat dengan bahasa menggunakan selain arab, misalnya:
Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madharat.
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan
maknanya berasal dari Allah SWT . ia bukan makhluk, Karena kalam Allah
termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang orang yang
menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau
berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang
yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal
leher orang itu,”. Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama
Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit
mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber islam yang paling
pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah
karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Sehingga seakan akan beliau
menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam
Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dan Sunnah, namun kedudukan As-Sunnah
Dengan demikian tak heran bila Imam syafi’I dalam berbagai pendapatnya sangat
mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan
ibadah ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa arab bagi
mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an , pendapat
Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa
bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain arab. Misalnya dengan
bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok
hukum islam, kemudian disusun oleh As-Sunnah. Namun seperti halnya Imam As-
Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa sunnah mempunyai kedudukan
yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa
sumber hukum itu adalah nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-
Sunnah dahulu tapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul
mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). 14
Berdasarkan terjemahan Departemen Agama RI, al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114
surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
14 (Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.)
Kandungan pokok dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
اكعي
وأقيموا الصالة وآتوا ال زكاة واركعوا مع ال ر ر
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-
orang yang rukuk.”
يا أيها الذين آمنوا كت ب عليكم الصيام كما كتب عىل الذين من قبلكم لعلكم تتقون
➢ Larangan memakan harta orang lain dengan bathil (QS. al-Baqarah: 188):
وال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إل الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس باإلثم وأنتم
تعلمون
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. ”
النب إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة واتقوا هللا ربكم ال تخرجوهن من
يا أيها ي
يأتي بفاحشة مبينة وتلك حدود هللا ومن يتعد حدود هللا فقد ظلم نفسه
بيوتهن وال يخرجن إال أن ر
ال تدري لعل هللا يحدث بعد ذلك أمرا
يسألونك عن األنفال قل األنفال هلل والرسول فاتقوا هللا وأصلحوا ذات بينكم وأطيعوا هللا ورسوله إن
مؤمني
ر كنتم
15 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009, Cet. ke-3, hlm. 84-
92
D. Dalalah Ayat al-Qur’an
Dalil dalam bahasa Arab ad-dalil ( )الدليلjamaknya al-adillah ()األدلة, dan secara
terminologi berarti:
“petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material
(maknawi).”
“Sesuatu yang dapat (mungkin) kita sampai dengan mempergunakan yang benar
kepada sesuatu hasil yang bersifat khabar (hukum).”
“Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh
hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun
zhanni (relatif).”16
16 Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:
Penerbit Amzah 2009, hlm. 54-55
17 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36
b. Nash yang zhanni dalalahnya terhadap hukumnya.
Nash yang qath’i dalalahnya ialah nash yang menunjukkan kepada makna yang
pemahaman makna itu dari nash tersebut telah tertentu dan tidak mengandung
takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nash itu.
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak.” (Q.S an-Nisaa: 12)
Ayat ini menjelaskan bahwa bagian suami dalam kondisi seperti ini adalah
seperdua (qath’i).
Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan atas
suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau
dipalingkan dari makna ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya. Seperti
firman Allah swt.:
Kata quru’ dalam bahasa Arab disebut lafadz musytaraq yaitu satu kata yang
memiliki dua makna atau lebih. Maka kata quru’ bermakna suci dan haid.18
Ketiga: hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari
mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan
pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh al-Qur’an. Dan inilah yang
dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.
§ Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan
ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya (habluminallah).
Menurut istilah modern, hukum muamalat telah dibagi menurut sesuatu yang
berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi beberapa
macam;
3. Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan tindak criminal yang
timbul dari seorang mukallaf dan hukuman yang dijatuhkan atas pelakunya.
Hukum ini dimaksudkan untuk memelihara kehidupan manusia, harta mereka,
kehormatan mereka, dan hak-hak mereka, serta menentukan hubungan antara
pelakunya, korban tindak kriminal, dan umat.
Menurut Muhammad Khuderi Bek dalam bukunya “Tarikh Tasyri’ al-Islami”, ada
tiga prinsip yang melandasi hukum dalam al-Qur’an20:
Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum al-Qur’an itu bersifat memudahkan.
Pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Sehingga
hukum itu tidak menjadi beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Qur’an,
diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185:
Contoh prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan berbuka puasa
bagi orang yang sedang dalam perjalanan, dan hukum boleh melaksanakan
shalat sesuai kemampuan.
b. Menyedikitkan beban
Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam melakukan perintah Allah swt. itu
harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak melakukan
penambahan dan pengurangan, seperti dalam firman Allah dalam surat al-
Maidah ayat 102:
Artinya: “janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang jika dia diterangkan
kepadamu akan menyusahkan kamu.”
20 Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Predana Media Group, cet. ke-1 2011,
hlm. 49-52
Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali seumur hidup
bagi yang mampu.
c. Berangsur-angsur
Salah satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang tidak
sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap, sehingga tidak
memberatkan dan lebih memberikan kelonggaran. Karena al-Qur’an sangat
memperhatikan proses perubahan sosial budaya yang berkembang di
masyarakat. Contohnya dalam tahapan pengharaman khamr.21
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
3. al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Kandungan isi dalam al-Qur’an yang utama yaitu;
a. Nash-nash yang qath’I dalalahnya, yaitu jika suatu ayat dalam al-Qur’an
yang maknanya qath’I (pasti) dan tidak memerlukan penjelasan dari sumber lain
(missal: as-Sunnah).
b. Nash-nash yang zhanni dalalahnya, adalah jika suatu ayat dalam al-Qur’an
itu lafadznya pasti, tapi masih memerlukan penjelasan, karena merupakan
kalimat yang masih memungkinkan untuk ditakwil.
2. Akhlaq dan moral, yaitu sesuatu yang harus dijadikan perhiasan mukallaf
dan menghindari hal-hal yang hina.
Demikian makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih
banyak kesan kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang kontruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalh
kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang
membaca dan membahasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Wahhab Khallaf Abdul (terj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, dkk), Ilmu Ushul
Fiqh, Dina Utama, Semarang 1994
Drs. Shidiq Sapiudin, M.A., Ushul Fiqh, Kencana Predana Media Group, Jakarta
2011
Drs. Jumantoro Totok, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul
Fikih, Penerbit Amzah, Jakarta 2009
Drs. Umar Muin, Dkk., Ushul Fiqh I, Departemen Agama RI, Jakarta 1986