PERANCANGAN KONTRAK
Tentang
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM KONTRAK
Disusun oleh
KELOMPOK 3
Muhammad Khalid Miftahhakim : 1813010017
Rahmat Nandipinto : 1813010019
Muhammad Iqbal Yolanda : 1813010020
Nurul Izzati : 1813010021
Dosen Pembimbing :
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian Perjanjian Kontrak.........................................................................................
b. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Kontrak...........................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung : CV Mandar Maju, 2012), h. 1
sehingga mengikat kedua belah pihak.2 Dalam membuat suatu perjanjian atau
kontrak sangat diperlukan pemahaman akan ketentuan-ketentuan hukum
perikatan, selain itu juga diperlukan keahlian para pihak dalam pembuatan
kontrak akan terhindar dari sengketa atau perselisihan yang sulit untuk
diselesaikan. Oleh karena itu kontrak menjadi sangat penting sebagai pedoman
kerja bagi para pihak yang terkait.
Prakontraktual yang dilakukan perlu dilandasi oleh itikat baik para
pihak sebagai acuan filosofisnya dan kepatutan atau kebiasaan yang baik
sebagai acuan sosiologisnya, sehingga dapat menghasilkan rancangan
perjanjian/kontrak yang mengakomodasi dan memfasilitasi kehendak dan
pertukaran kepentingan bisnis para pihak dengan pasti dan efesien, serta
menjamin terwujudnya keadilan dalam proses pengayaan kekayaan di antara
para pihak yang akan membuat perjanjian/kontrak.
Pada era reformasi ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dalam
kerjasama di bidang jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin
banyak mengikatkan dirinya dengan masyarakat lainnya, sehingga timbul
perjanjian salah satunya adalah perjanjian sewa menyewa. Perjanjian sewa
menyewa banyak di gunakan oleh para pihak pada umumnya, karena dengan
adanya perjanjian sewa menyewa ini dapat membantu para pihak, baik itu dari
pihak penyewa maupun pihak yang menyewakan. Penyewa mendapatkan
keuntungan dari benda yang disewanya sedangkan yang menyewakan akan
memperoleh keuntungan dari harga sewa yang telah diberikan oleh pihak
penyewa.
Secara yuridis pengertian perjanjian diatur dalam buku ketiga tentang
perikatan. Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. 1 Sewa menyewa merupakan perbuatan perdata
yang dapat dilakukan oleh suatu subyek hukum (orang dan badan hukum).
Perjanjian sewa menyewa di atur dalam Pasal 1548- 1600 KUHPerdata.
Rumusan Pasal 1381 KUH Perdata mengatur sepuluh (10) cara
hapusnya/berakhirnya perikatan, yaitu:
a) karena pembayaran,
2
gus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komesial, (Yogyakarta : Laks
Bang Mediatama, 2008), h. 1-2.
b) karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan,
c) karena pembaharuan utang,
d) karena perjumpaan utang atau kompensasi,
e) karena percampuran utang,
f) karena pembebasan utang,
g) karena musnahnya barang yang terutang,
h) karena kebatalan atau pembatalan,
i) karena berlakunya suatu syarat batal dan
j) karena lewat waktu, sebagaimana yang diatur dalam buku keempat
KUH Perdata.
Hukum kontrak atau perjanjian di Indonesia masih menggunakan
peraturan pemerintah kolonial Belanda yang terdapat dalam Buku III
Burgerlijk Wetboek. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perata menganut
sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan
kontrak dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya,
maupun bentuk kontraknya baik secara tertulis maupun lisan. Disamping itu,
diperkenankan membuat kontrak, baik yang telah dikenal dalam KUH Peedata
maupun di luar KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam perancangan
atau pembuatan kontrak hal penting yang harus diperhatikan oleh para pihak
adalah syarat sahnya perjanjian atau kontrak sebagaimana diatur dalam pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang pada intinya mengatur
tentang:
1. Sepakat para pihak
2. Kecakapan para pihak
3. Objek tertentu
4. Sebab yang halal
4 Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek
pembuat kontrak. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat subyektif maka
kontrak dapat dibatalkan (vernietigbaar), artinya akan dibatalkan atau tidak,
terserah pihak yang berkepentingan. Syarat 3 dan 4 disebut syarat obyektif,
karena menyangkut obyek kontrak. Akibat hukum jika tidak dipenuhi syarat
obyektif maka kontrak itu batal demi hukum, artinya kontrak itu sejak semula
dianggap tidak pernah ada. Juga perjanjian yang bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum adalah batal demi hukum.
Asas konsensualitas: Perjanjian itu lahir atau terjadi atau timbul,
berlaku sejak saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak tanpa perlu
adanya formalitas tertentu. Asas ini disimpulkan dari kata “perjanjian yang
dibuat secara sah“ dalam Ps 1338 Ayat (1) yo Ps 1320 Angka (1) KUHPerdata.
Oleh karena dalam ps tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di
samping kesepakatan yang telah tercapai, maka dapat disimpulkan bahwa
setiap perjanjian itu sudah sah dalam arti mengikat para pihak, apabila sudah
tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok atau hal yang menjadi
obyek perjanjian itu. Dalam membuat kontrak pada umumnya para pihak tidak
terikat pada bentuk tertentu. Kontrak dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.
Bentuk tertulis secara yuridis hanya dimaksudkan untuk alat bukti tentang
terjadinya perjanjian tersebut.
Asas Pacta Sunt Servanda. Asas ini dapat disimpulkan dari kata “
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya “ dalam Ps
1338 Ayat (1) KUHPerdata. Para pihak harus mematuhi dan menghormati
perjanjian yang dibuatnya karena perjanjian tersebut merupakan Undang-
undang bagi kedua belah pihak. Hal ini dikuatkan oleh Ps 1338 Ayat (2) :
perjanjian-perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak atau karena alasan 92 Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015)
alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Asas pacta sunt
servanda berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas ini sering disebut asas
kepastian hukum. Dengan asas ini tersimpul adanya larangan bagi hakim untuk
mencampuri isi perjanjian. Disinilah makna asas kepastian hukum itu. Asas
itikat baik (te goeder trouw / in good faith). Asas ini ada dua yaitu subyektif
dan obyektif, diatur di dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik subyektif
adalah kejujuran pada diri seseorang atau niat baik yang bersih dari para pihak,
sedangkan asas itikad baik obyektif merupakan pelaksanaan perjanjian itu
harus berjalan di atas rel yang benar, harus mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan. Asas itikad baik ini secara teoritis sering dikatakan
sebagai “ blanket norm “ atau “ norma kabur “, sehingga di dalam praktek
sampai sekarang masih menyisakan perdebatan tentang definisi “ itikad baik “
tersebut. Hoge RaadBelanda mengatakan bahwa doktrin “te gorder trouw “
sebenarnya merupakan doktrin yang merujuk kepada kerasionalan dan
kepatutan (redelijkheid en billijkheid) yang hidup dalam masyarakat. Jadi
melaksanakan perjanjian dengan itikad baik berarti melaksanakan perjanjian
menurut dasar kerasionalan dan kepatutan (volgens de eisen van redelijkheid
en billijkheid).
Di Amerika dan Belanda dalam menghadapi ketidakrasionalan dan
ketidakpatutan baik dalam negosiasi dan penyusunan kontrak, telah dianut
perluasan asas itikad baik ke dalam hubungan pra kontraktual, dengan
menggunakan doktrin undue influence atau misbruik van omstandigheden dan
unconscionability, karena terjadinya perjanjian yang mengandung unsur
tekanan yang tidak patut, tetapi tidak dapat diketegorikan pada paksaan.
Misbruik van omstandigheden terjadi manakala seseorang di dalam suatu
perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalangi untuk melakukan
penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat
mengambil putusan yang independen. Dalam hukum kontrak, itikad baik
memiliki tiga fungsi :
1) Fungsi standard: Semua kontrak harus ditafsirkan
sesuai dengan itikad baik;
2) Fungsi menambah (aanvullende werking van de te
goeder trouw). Hakim dpt menambah isi perjanjian dan
menambah kata-kata peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perjanjian itu;
3) Fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en
derogerende werking van de te gorder trouw). Hakim
dapat mengesampingkan isi perjanjian atau peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian
jika terjadi perubahan keadaan yang dapat
mengakibatkan ketidakadilan.
B. Rumusan masalah
3
Sudikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal.97.
4
Ibid, hal. 97-98.
5
Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hal.36.
6
R. Setiawan, 1987, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, hal.49
7
Sri Sofwan Masjchoen, op.cit, hal.1
lebih (Pasal 1313 KUHPerdata).
Kontrak dalam prakteknya selalu dibuat tertulis dan harus memenuhi syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian, yaitu Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pembuatan sebuah kontrak,
selain memenuhi syarat sahnya perjanjian maka pemahaman tentang hukum kontrak harus
dikuasai karena dalam pembuatan kontrak kepentingan para pihak akan diakomodir dalam
suatu perjanjian. Penyusunan kontrak merupakan persoalan tentang perancangan dan analisa
terhadap kepentingan hukum para pihak yang melakukan kesepakatan. Karena setiap kontrak
mempunyai resiko yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan para pihak, maka suatu
kontrak harus disusun sesuai dengan ketentuan serta dilakukan analisa terhadap kontrak
tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan perancangan kontrak?
Dalam kamus Bahasa Indonesia, perancangan berarti proses, cara atau perbuatan
merancang. Perancangan kontrak (contract drafter, ada juga yang menyebut legal drafter)
adalah suatu bentuk perbuatan merancang dengan melakukan persiapan pembuatan,
penyusunan kontrak yang dimulai dari pengumpulan bahan-bahan hukum, penafsiran dan
menuangkan keinginan para pihak dalam kontrak. Merancang kontrak adalah mengatur dan
merencanakan struktur, anatomi, dan substansi kontrak yang dibantu oleh para pihak. Dalam
melakukan perancangan kontrak, terutama kontrak bisnis, harus memahami asas-asas,
prinsip-prinsip dan sumber hukum kontrak menurut hukum posistif Indonesia seperti KUH
Perdata dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan substansi kontrak.
Sebelum kontrak ditandatangani untuk disetujui oleh para pihak, yang mesti dilakukan lebih
dulu adalah menganalisa kontrak. Analisa/penelaahan/kajian/interprestasi/penafsiran terhadap
suatu rancangan kontrak adalah dengan melihat apakah terpenuhi syarat syarat sahnya
kontrak, penerapan azas-azas hukum, ketentuan perundang-undangan yang terkait, keinginan
para pihak serta bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri
dalam kontrak tersebut.
B. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Kontrak
Dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian atau suatu kontrak terdapat hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya, hal yang harus diperhatikan dalam
kontrak pada dasarnya dibuat oleh para pihak yang berwenang dan berlaku sebagai
undang-undang yang membuatnya. Dalam pembuatan kontrak tidak ada ketentuan
hukum yang sah mengatur tentang format pembuatan kontrak tersebut. Pada dasarnya
kontrak dibuat secara tertulis. Kontrak yang dibuat secara tertulis yang memang telah
diperintahkan berdasarkan undang-undang dengan ancaman bahwa kontrak tersebut
tidak mengikat jika tidak dibuat secara tertulis, atau biasa disebut dengan perjanjian
formal, biasanya sudah ada format tertentu yang telah disiapkan oleh notaris kalau
kontrak tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
Tetapi perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian formal, dalam arti tidak
diwajibkan oleh undang-undang untuk dibuat secara tertulis, kontrak semacam inilah
yang biasanya dirundingkan secara langsung oleh para pihak. Namun ada pula yang
dibuat dalam bentuk perjanjian kontrak atau kontrak standar.8
8
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 147.
9
Salim HS, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, 2004, Sinar Grafika, Jakarta, hal 34
i. Untuk memberikan sesuatu;
ii. Untuk berbuat sesuatu;
iii. Untuk tidak berbuat sesuatu;
iv. Perikatan manasuka;
v. Perikatan fakultatif;
vi. Perikatan generic dan spesifik;
vii. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
viii. Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus;
Perikatan pokok & tambahan (principale & accessoir);
2) Dilihat dari daya kerjanya:
i. Perikatan dengan ketetapan waktu;
ii. Perikatan bersyarat.
B. Menurut Undang-undang:
1) Perikatan untuk memberikan sesuatu (Pasal 1235 – 1238 KUH Perdata)
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termaktub kewajiban yang berutang
untuk menyerahkan harta benda yang bersangkutan dan merawatnya sebagaimana
bapak rumah tangga yang baik, sampai pada saat penyerahannya. Perikatan ini
prestatie-nya adalah untuk memberikan sesuatu (menyerahkan) yang dikenal juga
dengan istilah levering dan merawatnya. Kewajiban menyerahkan adalah kewajiban
pokok, sedangkan kewajiban merawat adalah kewajiban preparatoir, yang dilaksanakan
oleh debitur menjelang pemenuhan kewajiban pokoknya.
Contoh perikatan untuk memberikan sesuatu adalah Jual Beli, Sewa Beli, Tukar
Menukar.
2) Perikatan untuk berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal
1239 -1242 KUH Perdata).
KUH Perdata tidak memberikan pernyataan secara tegas tentang perikatan untuk
berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.(Lihat lebih lanjut ketentuan
Pasal 1239 s/d 1242 KUH Perdata). Pasal 1239 KUH Perdata sebagai pasal awal – pada
bagian ketiga dari Bab Kesatu tentang Perikatan-perikatan umum menyatakan bahwa,
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila
berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam
kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Ketentuan
Pasaltersebut di atas, memberikan pengaturan tentang tuntutan ganti rugi yang dapat
diajukan oleh si yang berpiutang, ketika yang berutang tidak memenuhi perikatannya. 10
3) Perikatan Bersyarat (Pasal 1253, 1259 – 1267 KUH Perdata).
Pasal 1253 KUH Perdata menyatakan bahwa “Perikatan adalah bersyarat jika
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang
dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan
perikatan, sehingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut”. Syarat tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam
perikatan. Namun batasan terhadap syarat tersebut telah diatur dalam undang-undang
yaitu:
i. Bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilaksanakan;
ii. Bertentangan dengan kesusilaan;
(dilarang undang-undang;
iii. Pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang yang
terikat.
10
R. Subekti., & R. Tjitrosudibio., 1994, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Cetakan ke dua puluh enam,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Pasal 1266 KUH Perdata memberikan pengaturan tentang
“Ingkar janji yang merupakan syarat batal dalam suatu
perjanjian timbal balik”.
4) Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 – 1271 KUH Perdata).
Perikatan dengan ketetapan waktu adalah suatu perikatan yang tidak menangguhkan
perikatan, hanya menangguhkan pelaksanaannya.
5) Perikatan Manasuka/Alternative (Pasal 1272 – 1277 KUH Perdata).
Dalam perikatan alternative ini, debitur dibebaskan jika ia
menyerahkan salah satu barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat
memaksa yang berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian
dari barang yang lain.
6) Perikatan Tanggung Renteng/ Tanggung Menanggung (Pasal 1278 – 1303 KUH
Perdata).
Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng terjadi antara beberapa orang
berpiutang, jika di dalam perjanjian secara tegas kepada masing-masing diberikan hak
untuk menuntut pemenuhan seluruh hutang, sedangkan pembayaran yang dilakukan
kepada salah satu membebaskan orang yang berhutang meskipun perikatan menurut
sifatnya dapat dipecah atau dibagi antara orang yang berpiutang tadi. Tanggung renteng
dibedakan yang aktif dan pasif. Tanggung renteng aktif adalah perikatan tanggung
menanggung yang pihaknya terdiri dari beberapa kreditur. Sedangkan yang pasif adalah
terjadinya suatu perikatan tanggung menanggung diantara orang-orang yang berutang
yang mewajibkan mereka melakukan suatu hal yang sama. salah seorang dari kreditur
dapat ditunut untuk seluruhnya, dan pemenuhan dari salah seorang membebaskan
orang-orang berutang lainnya terhadap si berpiutang/kreditur.11
7) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296 –1303 KUH
Perdata).
Pada perikatan ini, objeknya adalah mengenai suatu barang yang penyerahannya, atau
suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi, baik secara nyata ataupun
perhitungan.
8) Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUH Perdata).
Ancaman hukuman adalah suatu keterangan, yang sedemikian rupa disampaikan oleh
seseorang untuk adanya jaminan pelaksanaan perikatan. Maksud adanya ancaman
hukuman ini adalah :
a. untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar dipenuhi;
b. untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila terjadi wanprestasi dan untuk
menghindari pertengkaran tentang hal tersebut. Ancaman hukuman ini bersifat
accessoir. Batalnya perikatan pokok mengakibatkan batalnya ancaman
hukuman.Batalnya ancamanhukuman tidak berakibat batalnya perikatan pokok.
Schuld & Haftung dalam Perikatan.
Schuld adalah kewajiban kreditur untuk menyerahkan prestasi kepada debitur.
Sedangkan Haftung adalah kewajiban debitur untukmenyerahkan harta kekayaannya
untuk diambil kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan hutang si debitur,
apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utang tersebut. Antara Schuld
dan haftung adalah dapat dibedakan namun tidak terpisahkan. Salah satupasal yang
memberikan pengaturan tentang schuld dan haftung ini adalah Pasal 1131 KUH Perdata
11
I.G Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak
(Contact Drafting), 2003, Megapoin, Jakarta hlm 26
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan”.
Selain syarat sahnya perjanjian, hal yang penting yang harus diperhatikan oleh
para pihak adalah unsur-unsur perjanjian, yakni unsur esensialia, unsur aksidentalia,
dan unsur naturalia.
§ Unsur esensialia; dalam perjanjian ini sangat terkait dengan syarat hal
tertentu dalam perjanjian, karena unsur esensialia merupakan unsur pokok
yang harus ada dalam suatu perjanjian. Misalnya unsur pokok dalam
perjanjian jual beli adalah adanya barang yang sudah ditentukan atau dapat
ditentukan dan adanya harga barang. Sedangkan klausul-klausul lainnya yang
bukan merupakan hal pokok dalam kontrak itulah yang disebut unsur
aksidentalia.
§ Unsur aksidentalia; biasanya baru akan ada jika diperjanjikan oleh para
pihak, termasuk di dalamnya cara pembayaran, tempat pembayaran, tempat
dan cara penyerahan, dan lain-lain. Apabila tidak dicantumkan oleh para
pihak, pengaturannya diatur dalam undang-undang yang biasa disebut unsur
naturalia.
§ Unsur naturalia; merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam
perjanjian, dalam arti apabila para pihak tidak mengaturnya, maka
pengaturannya diatur dalam undang-undang.12
Dalam sumber lain disebutkan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan oleh
para pihak yang akan mengadakan dan membuat kontrak adalah:
1. Kemampuan hukum para pihak
Kemampuan para pihak yaitu kecapakatan dan kemampuan para pihak
untuk mengadakan dan membuat kontrak. Dalam KUHPerdata ditentukan
bahwa orang yang bercakap atau mampu untuk melawan hukum adalah orang
yang telah dewasa, yakni mereka yang telah berumur 21 tahun atau pernah
menikah. Orang di bawah umur atau di bawah pengampuan tidak wenang
membuat kontrak, sehingga apabila mereka membuat dan menandatangi
kontrak dengan orang yang sudah dewasa maka kontrak tersebut dapat
memintakan pembatalan kepada pengadilan.
2. Perpajakan
12
Ibid., hal. 151.
Pada dasarnya didalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak
mengandung kewajiban untuk membayar pajak pada negara, baik itu PPh,
BPHTB, dan bea materai. Pengenaan pajak ini disesuaikan dengan objek
kontrak.
3. Alas hak yang sah
Alas hak adalah peristiwa hukum yang merupakan dasar penyerahan
barang, seperti tukar menukar, jual beli, dan sebagainya. Alas hak yang sah ini
berkaitan dengan cara seseorang memperoleh atau menguasai suatu benda
dengan cara yang sah. Sehingga sebelum disetujui kontrak para pihak harus
memperhatikan objek kontraknya, apakah objek kontrak tersebut milik yang
sah dari para pihak atau tidak.
4. Masalah keagrariaan
Perancang kontrak juga harus memperhatikan masalah-masalah
yang berkenaan dengan hukum agraria, apabila objek kontrak atau
perjanjian berupa tanah atau semacamnya.
5. Pilihan hukum
Dalam suatu kontrak yang berlaku secara internasional, pilihan
hukum menjadi sangat penting dalam perancangan kontrak. Pilihan
hukum ini berkaitan dengan hukum apakah yang akan digunakan.
Apabila terjadi sengketa antara para pihak.
6. Penyelesaian sengketa
Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu, dalam setiap kontrak perlu dimasukkan
klausul mengenai sengketa apabila salah satu pihak ingkar janji
(wanprestasi).
7. Pengakhiran kontrak
Dalam Pasal 1266 KUHPerdata ditentukan bahwa: “Tiap-tiap
pihak yang akan mengakhiri kontrak harus dengan keputusan
pengadilan yang mempunyai yurisdiksi atas kontrak.” Ketentuan ini
bertujuan melindungi pihak yang lemah.
8. Bentuk perjanjian standar
Perjanjian standar atau biasa disebut dengan standard
contract adalah perjanjian yang ditentukan oleh satu pihak dan
dituangkan dalam bentuk formulir.
Seperti telah diuraikan pada bagian di atas, bahwa dalam
menyusun sebuah perancangan kontrak seorang contract drafter perlu
memahami dan menguasai hukum kontrak yang ada di Indonesia.
Hukum kontrak yang ada di Indonesia diatur di dalam Buku III KUH
Perdata, yang terdiri dari 18 bab dan 631 pasal, dari Pasal 1233 sampai
dengan Pasal 1864. Pengaturan perancangan kontrak di Buku III KUH
Perdata meliputi:
a. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 KUH Perdata - Pasal 1312 KUH Perdata)
b. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 KUH Perdata - Pasal 1352
KUH Perdata)
c. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 KUH Perdata - Pasal 1456 KUH Perdata)
d. Jual beli (Pasal 1457 KUH Perdata - 1540 KUH Perdata)
e. Tukar menukar (Pasal 1541 KUH Perdata - Pasal 1546 KUH Perdata)
f. Sewa menyewa (Pasal 1548 KUH Perdata - Pasal 1600 KUH Perdata)
g. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601 KUH Perdata - Pasal 1617
KUH Perdata)
h. Persekutuan (Pasal 1618 KUH Perdata - Pasal 1652 KUH Perdata)
i. Badan Hukum (Pasal 1653 KUH Perdata - Pasal 1665 KUH Perdata)
j. Hibah (Pasal 1666 KUH Perdata - Pasal 1693 KUH Perdata) 36
k. Penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata - Pasal 1739 KUH Perdata)
l. Pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata - Pasal 1753 KUH Perdata).
m. Pinjam meminjam (Pasal 1754 KUH Perdata - Pasal 1769 KUH Perdata).
n. Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 KUH Perdata - Pasal 1773 KUH Perdata)
o. Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 KUH Perdata - Pasal 1791 KUH
Perdata)
p. Pemberian Kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata - Pasal 1819 KUH Perdata)
q. Penanggungan utang (Pasal 1820 KUH Perdata - Pasal 1850 KUH Perdata)
r. Perdamaian (Pasal 1851 KUH Perdata - Pasal KUH Perdata).
Dari seluruh pasal di atas sesungguhnya tidak disebutkan pasal berapa yang secara
pasti menjadi acuan dalam merancang sebuah kontrak. Namun bila melihat Pasal 1338
ayat(1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjajian yang dibuat secara sah berlakusebagai
undang-undang ‘’ bagi mereka yang membuatnya’’, maka para pihak diberi kebebasan untuk
dapat:
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun.
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.
4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Kebebasan membuat kontrak ini tidak serta merta membebaskan para pihak untuk
membuat kontrak sebebas-bebasnya sesuai yang diinginkan. Kontrak apapun yang dibuat
harus tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan serta
memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata sebagai syarat sahnya sebuah perjanjian.
Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, kontrak yang dibuat oleh para pihak
mengikat mereka selayaknya mentaati suatu peraturan peundang-undangan. Oleh karena itu,
untuk membuat kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak yang membuat
suatu perjanjian atau kontrak.13 Adapun dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak ada
beberapa hal yang minimal harus dicantumkan dalam kontrak tersebut:
1. Adanya para pihak (disebutkan kedudukan masing-masing);
2. Obyek perjanjian (hal apa yang yang menjadi dasar kerja sama);
3. Hak dan kewajiban para pihak;
4. Jangka waktu perjanjian atau kapan perjanjian dikatakan berakhir;
5. Ketentuan tentang ingkar janji dan akibatnya;
6. Ketentuan tentang keadaan memaksa atau hal-hal diluar dugaan (overmacht);
7. Ketentuan penyelesaian perselisihan,
8. Tandatangan para pihak.
Adapun mengenai anatomi suatu perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak
secara strukturnya adalah sebagai berikut:
a. Judul kontrak, dimana dalam suatu kontrak judul harus dibuat dengan
singkat, padat, jelas dan sebaiknya memberikan gambaran yang ditangkan
dalam perjanjian tersebut. Contohnya Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa
menyewa
b. Awal kontrak, dalam awal kontrak dibuat secara ringkas dan banyak
digunakan seperti berikut :”Yang bertanda tangan di bawah ini” atau “Pada
hari Senin, tanggal satu bulan Febrauri, tahun 2015, telah terjadi perjanjian
jual-beli ….. antara para pihak .”
c. Para pihak yang membuat kontrak, di bagian ini disebutkan para pihak yang
13
Salim HS, Hukum Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 105
mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Penyebutan para pihak
mencakup nama, pekerjaan, usia, jabatan, alamat, serta bertindak untuk
siapa.
d. Premis (Recital) merupakan penjelasan mengenai latar belakang dibuatnya
suatu perjanjian. Pada bagian ini diuraikan secara ringkas tentang latar
belakang terjadinya kesepakatan.
e. Isi kontrak, dalam isi perjanjian biasa diwakili dalam pasal-pasal dan dalam
setiap pasal diberi judul. Isi suatu perjanjian biasanya meliputi 3 unsur yaitu:
essensalia, naturalia, accidentalia dan ketiga unsur tersebut harus ada pada
setiap perjanjian. Unsur lain yang terpenting yang harus ada adalah
penyebutan tentang upaya-upaya penyelesaian apabila terjadi perselisihan atau
sengketa.
f. Akhir kontrak (penutup), pada bagian akhir perjanjian berisi pngesahan kedua
belah pihak dan saksi-saksi sebagai alat bukti dan tujuan dari perjanjian.
BAB II
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. SARAN
Kami dari penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh
dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu kami berharap kepada
pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan Saranya
terhadap makalah yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA