Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistim Peradilan melalui produk peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya


KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diundangkan dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981) yang menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim Peradilan
Pidana, belum benar-benar mencantumkan isyarat dalam UUD 1945 dan falsafah negara
Pancasila. Isyarat tersebut merupakan perlindungan hukum kepada setiap warga negara tanpa
membeda-bedakan.

Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana sebagai
basis penyelesaian perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana selaku
pencari keadilan, seorang korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat dari
sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa dilibatkan secara aktif
seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat langsung mengajukan sendiri perkara
pidana ke pengadilan melainkan harus melalui instansi yang ditunjuk yakni kepolisian dan
kejaksaan.

Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak
menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai
figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam
kenyataannya korban suatu tindak pidana oleh masyarakat dianggap sama dengan korban
bencana alam, terutama tindak pidana pencurian sehingga korban mengalami kerugian
materiil, bahkan dengan jumlah yang sangat besar. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah
siapa yang mengganti kerugian materi, yang diderita oleh korban ?

Melihat uraian di atas, posisi korban dalam suatu tindak pidana dapat dikatakan tidak
mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang
begitu mendapat perhatian, tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada

1
bagaimana memberikan hukuman kepada si pelaku tindak pidana, dan hal itu masih melekat
pada fenomena pembalasan belaka.

Hal ini disebabkan kurangnya pengaturan secara tegas dan jelas tentang perlindungan
hukum terhadap korban dalam KUHAP. Sistem peradilan pidana lebih mengedepankan
bagaimana penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku. Sementara perlindungan hukum terhadap
korban dalam pemeriksaan pengadilan kurang diperhatikan.

Permasalahan korban (victim) menjadi permasalahan hukum yang membutuhkan satu


pemikiran yang serius. Korban sebagai pihak yang dirugikan langsung, tidak memiliki akses
yang kuat untuk dapat menentukan sikap yang berhubungan apa yang sedang dialaminya.
Menguatnya perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dalam KUHAP ternyata hingga
saat ini belum diimbangi dengan perhatian yang sama terhadap nasib korban kejahatan yang
juga mengalami nasib yang sama, yaitu terabaikannya oleh sistem peradilan pidana.Oleh
sebab itu kami mencoba untuk menguraikan tipologi korban dalam tindak pidana.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korban dalam tindak pidana ?
2. Apa saja tipologi korban dalam tindak pidana ?

C. Tujuan Masalah
Memahami pengertian korban dalam tindak pidana dan mengetahui tipologi korban
dalam tindak pidana (Viktimologi)

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Viktimologi

Secara sederhana, viktimologi merupakan ilmu pengetahuan tentang korban


(kejahatan) yang berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti
ilmu. Secara terminologis, viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban,
penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah
manusia sebagai kenyataan sosial. (Rena Yulia, 2010:43).

Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5)
bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,
kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang
mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak
pidana.

Pengertian korban juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006


tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ( selanjutnya disingkat UUPSK ) , yakni korban
adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Adapun unsur-unsur yang disebut korban adalah:

1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

3. Kerugian ekonomi,

4. Akibat tindak pidana.

3
Namun Korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan
tetapi korban tidak langsung pun juga  mengalami  penderitaan  yang  dapat  diklarifikasikan 
sebagai korban suatu kejahatan tidaklah harus berupa individu atau perorangan, tetapi bisa
berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan  hukum. Bahkan pada kejahatan
tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya.Seperti tumbuhan, hewan
atau ekosistem.Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap
lingkungan.1

B. Tipologi Korban dalam Tindak Pidana

a) Pengertian Tindak Pidana

Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH,
yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni
perbuatan pidana adalah:

”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”  2

Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang
dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu
perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang
oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan
kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang
melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap
setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat
dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana.
Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang
erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga
mempunyai hubungan yang erat pula. Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana Prof.
DR. Bambang Poernomo, SH, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana
akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:

1
http://kumpulanmakalah123.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-tentang-viktimologi-ruang.html
2
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 54
4
 “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”3

b) Tipologi Korban dalam Tindak Pidana

Secara etimologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik
kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak
pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana
(sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai
akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat
pengalamannya sebagai target / sasaran tindak pidana. Konsepsi korban Tindak Pidana
terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power, yaitu :

1. Korban tindak pidana (Victim of Crime) meliputi


a. Korban Langsung (Direct Victims)
              Yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya
tindak pidana dengan karakteristik sebagai berikut :
1)      Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.
2)      Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan
pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia.
3)      Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana.
4)       Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.

b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims)


              Yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu
korban langsung (direct victims) atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi
dia sendiri menjadi korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada
korban langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat.

2. Victims of abuse of power


Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka
fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap
pokokpokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang belum
3
Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal 130
5
merupakan pelanggaran undang-undang pidana Nasional tetapi norma-norma diakui secara
internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia (Bambang Djoyo Supeno,
SH, Mhum, 1997 : 14)

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen


Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban:
1.   Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini,
kesalahan ada pada pelaku
2.  Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain
untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam
terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3.  Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua,
orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan sebagainya
merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat
disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4.  Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa
korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan
tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui
kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu :

 Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap penanggulangan


kejahatn.
 Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga
cenderung menjadi korban.
 Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan
 Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya
menjadi korban.
 False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya
sendiri.

Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer
mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :

6
 Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan
menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya
berada di pihak korban.
 Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu
terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan
pelaku secara bersama-sama.
 Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong
pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan
tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk
merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
 Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban
seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban
kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah
setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.
 Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat
bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu,
pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
 Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu)
atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada
korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
 Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini
tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.41

Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan
Wolfgang, yaitu sebagai berikut :

 Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan kelompok).


 Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
 Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
 No victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang
tertipu dalam menggunakan produksi masyarakat.4

4
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-korban/14757/2 . Diakses pada Selasa 07 Oktober 2018
pukul 18.00 WIB

7
Pengelompokan korban menurut sellin dan wolfgang, yaitu sebagai berikut.

a.    Primary victimizization, yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan


kelompok).

b.    Secondary victimization yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.

c.    Tertiary victimization yaitu korban masyarakat luas.

d.   No victimization yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang
tertipu dalam menggunakan suatu produksi.

Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang di klasifikasikan menjadi 6 tipe, tipologi


yang dimaksud adalah sebagai berikut , beserta contoh yang terjadi disekitar kita :

a.       The “completely innocent victim”. Korban yang sama sekali tidak bersalah oleh
Mendelshon dianggap sebagai korban “ideal” yang cenderung terjadi pada anak-anak dan
mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.

b.    The “victim whit minor guilty” and victim due to his ignorance”. Korban dengan
kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian

c.    The “victim as guilty as offender” and “ voluntary victim”. Korban sama salahnya


dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe
sebagai berikut.

1) bunuh diri “dengan melemparkan uang logam”;

2) bunuh diri dengan adhesi;

3) euthanasia;

4)  bunuh diri yang dilakukan suami isteri (misalnya pasangan suami isteri yang putus asa
karena salah satu pasangan sakit).

d.    The “victim more guilty than the offender”. Dalam hal korban kesalahnaya lebih besar
daripada pelaku ini ada dua tipe yakni :

1)  korban yang memancing dan atau menggoda seeorang untuk berbuat jahat;

2)  korban lalai yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan.

8
e.    The “most guilty victim” and the “ victim as is gultu alone”. Korban yang sangat salah
dan korban yang salah sendirian misalnya terjadi pada korban yang sangat agresif terlebih
dahulu melakukan kejahatan namun akirnya justeru ia sendiri yang menjadi korban (misalnya
penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari orang lain yang diserang).

f.     The “simulating victim” and the “imagine as victim”. Korban pura-pura dan korban
imajinasi oleh Mandesohn dicontohkan pada mereka yang mengaku menjadi korban demi
kepentingan tertentu atau orang yang menjadi paranoid, hysteria atau pikun.(Iswanto
dan Angkasa 2010:28).5

Hans Von Hentig membuat tipologi korban dalam 12 tipe dengan memakai kalsifikasi sosio
biologi dengan mendasarkan pada faktor psikologis, sosial dan biologis. Diantaranya :
1.  The Young. Seorang yang mudah lebih cenderung lemah dalam jasmani dan
kepribadiannya pun belum matang.

2.  The Female. Wanita yang dianggap lebih lemah ketimbang kaum pria lebih sering
menjadi korban dalam tindak pidana seperti pembunuhan, serangan atau pelecehan seksual
maupun perampokan.

3.  The Old. Orang tua yang secara fisik cenderung lebih lemah ketimbang anak muda, hal
ini yang dimanfaatkan oleh beberapa pelaku kejahatan untuk melancarkan aksinya

4. The Mentally Defective and Other Mentally Deranged. Orang yang memiliki gangguan
kejiwaan maupun sedang dalam keadaan tidak sadar akan sulit untuk bisa terhindar dari
tindakan kejahatan. Seperti halnya orang gila, pemabuk maupun pecandu obat-obatan yang
dalam hal tidak sadar akan mudah menjadi korban

5. Immigrants. Seorang atau sekelompok pendatang akan mudah menjadi korban karena
kesulitan-kesulitan beradaptasi terhadap bahasa dan lingkungan baru serta berbagai macam
penolakan yang hadir.

6. Minoritas. Minoritas yang notabene berjumlah lebih sedikit menjadi bagian kecil dalam
masyarakat yang juga sangat rentan menjadi korban tindak kejahatan seperti diskriminasi
maupun hal-hal yang bersifat rasial

5
http://hukumolan1992.blogspot.com/2014/07/tipelogi-kejahatan-menurut-medelsohn.html. Diakses pada
Selasa 07 Oktober 2018 pukul 18.00 WIB

9
7. Dull Normals. Rendahnya IQ seseorang juga dapat menjadi potensi dirinya menjadi
korban tindak kejahatan

8. The Depressed. Orang yang mengalami depresi atau tertekan secara psikologis dapat
dengan mudah menjadi korban karena merosotnya kekuatan fisik maupun mental nya.

9. The Acquisitive. Sifat keserakahan seseorang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang jahat.

10. The Wanton. Orang yang ceroboh dapat dengan mudah menjadi korban kejahatan

11. The Lonesome and Heartbroken. Seorang yang kesepian dan patah hati menjadi sangat
rentan menjadi korban kejahatan dikarenakan kondisi psikologis dan mentalnya yang lemah
dapat dimanfaat kan oleh orang-orang jahat seperti pada kasus Jack The Ripper yang
mengambil keuntungan dari rasa keesepian dan patah hati para korbannya

12. Tormentors. Sifat menyiksa seseorang akan menimbulkan dendam bagi si korban
penyiksaan yang dapat berujung pada tindakan jahat korban tersebut sehingga si penyiksa ini
dapat menjadi korban atas dendam korban nya pada dahulu. Seperti halnya seorang ayah
yang kerap menyiksa istrinya yang disaksikan oleh anaknya, dan anaknya pun akhirnya
membunuh ayahnya.6

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
6
http://fauzysroom.blogspot.com/2012/01/viktimologi.html. Diakses pada Selasa 07 Oktober 2018 pukul 18.00
WIB

10
11

Anda mungkin juga menyukai