PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana sebagai
basis penyelesaian perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana selaku
pencari keadilan, seorang korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat dari
sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa dilibatkan secara aktif
seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat langsung mengajukan sendiri perkara
pidana ke pengadilan melainkan harus melalui instansi yang ditunjuk yakni kepolisian dan
kejaksaan.
Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak
menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai
figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam
kenyataannya korban suatu tindak pidana oleh masyarakat dianggap sama dengan korban
bencana alam, terutama tindak pidana pencurian sehingga korban mengalami kerugian
materiil, bahkan dengan jumlah yang sangat besar. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah
siapa yang mengganti kerugian materi, yang diderita oleh korban ?
Melihat uraian di atas, posisi korban dalam suatu tindak pidana dapat dikatakan tidak
mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang
begitu mendapat perhatian, tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada
1
bagaimana memberikan hukuman kepada si pelaku tindak pidana, dan hal itu masih melekat
pada fenomena pembalasan belaka.
Hal ini disebabkan kurangnya pengaturan secara tegas dan jelas tentang perlindungan
hukum terhadap korban dalam KUHAP. Sistem peradilan pidana lebih mengedepankan
bagaimana penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku. Sementara perlindungan hukum terhadap
korban dalam pemeriksaan pengadilan kurang diperhatikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korban dalam tindak pidana ?
2. Apa saja tipologi korban dalam tindak pidana ?
C. Tujuan Masalah
Memahami pengertian korban dalam tindak pidana dan mengetahui tipologi korban
dalam tindak pidana (Viktimologi)
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Viktimologi
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5)
bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,
kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang
mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak
pidana.
1. Setiap orang,
3. Kerugian ekonomi,
3
Namun Korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan
tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan
sebagai korban suatu kejahatan tidaklah harus berupa individu atau perorangan, tetapi bisa
berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan
tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya.Seperti tumbuhan, hewan
atau ekosistem.Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap
lingkungan.1
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH,
yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni
perbuatan pidana adalah:
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.” 2
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang
dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu
perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang
oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan
kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang
melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap
setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat
dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana.
Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang
erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga
mempunyai hubungan yang erat pula. Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana Prof.
DR. Bambang Poernomo, SH, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana
akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
1
http://kumpulanmakalah123.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-tentang-viktimologi-ruang.html
2
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 54
4
“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”3
Secara etimologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik
kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak
pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana
(sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai
akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat
pengalamannya sebagai target / sasaran tindak pidana. Konsepsi korban Tindak Pidana
terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power, yaitu :
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui
kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu :
Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer
mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
6
Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan
menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya
berada di pihak korban.
Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu
terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan
pelaku secara bersama-sama.
Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong
pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan
tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk
merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban
seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban
kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah
setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.
Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat
bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu,
pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu)
atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada
korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini
tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.41
Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan
Wolfgang, yaitu sebagai berikut :
4
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-korban/14757/2 . Diakses pada Selasa 07 Oktober 2018
pukul 18.00 WIB
7
Pengelompokan korban menurut sellin dan wolfgang, yaitu sebagai berikut.
d. No victimization yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang
tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
a. The “completely innocent victim”. Korban yang sama sekali tidak bersalah oleh
Mendelshon dianggap sebagai korban “ideal” yang cenderung terjadi pada anak-anak dan
mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.
b. The “victim whit minor guilty” and victim due to his ignorance”. Korban dengan
kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian
3) euthanasia;
4) bunuh diri yang dilakukan suami isteri (misalnya pasangan suami isteri yang putus asa
karena salah satu pasangan sakit).
d. The “victim more guilty than the offender”. Dalam hal korban kesalahnaya lebih besar
daripada pelaku ini ada dua tipe yakni :
1) korban yang memancing dan atau menggoda seeorang untuk berbuat jahat;
8
e. The “most guilty victim” and the “ victim as is gultu alone”. Korban yang sangat salah
dan korban yang salah sendirian misalnya terjadi pada korban yang sangat agresif terlebih
dahulu melakukan kejahatan namun akirnya justeru ia sendiri yang menjadi korban (misalnya
penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari orang lain yang diserang).
f. The “simulating victim” and the “imagine as victim”. Korban pura-pura dan korban
imajinasi oleh Mandesohn dicontohkan pada mereka yang mengaku menjadi korban demi
kepentingan tertentu atau orang yang menjadi paranoid, hysteria atau pikun.(Iswanto
dan Angkasa 2010:28).5
Hans Von Hentig membuat tipologi korban dalam 12 tipe dengan memakai kalsifikasi sosio
biologi dengan mendasarkan pada faktor psikologis, sosial dan biologis. Diantaranya :
1. The Young. Seorang yang mudah lebih cenderung lemah dalam jasmani dan
kepribadiannya pun belum matang.
2. The Female. Wanita yang dianggap lebih lemah ketimbang kaum pria lebih sering
menjadi korban dalam tindak pidana seperti pembunuhan, serangan atau pelecehan seksual
maupun perampokan.
3. The Old. Orang tua yang secara fisik cenderung lebih lemah ketimbang anak muda, hal
ini yang dimanfaatkan oleh beberapa pelaku kejahatan untuk melancarkan aksinya
4. The Mentally Defective and Other Mentally Deranged. Orang yang memiliki gangguan
kejiwaan maupun sedang dalam keadaan tidak sadar akan sulit untuk bisa terhindar dari
tindakan kejahatan. Seperti halnya orang gila, pemabuk maupun pecandu obat-obatan yang
dalam hal tidak sadar akan mudah menjadi korban
5. Immigrants. Seorang atau sekelompok pendatang akan mudah menjadi korban karena
kesulitan-kesulitan beradaptasi terhadap bahasa dan lingkungan baru serta berbagai macam
penolakan yang hadir.
6. Minoritas. Minoritas yang notabene berjumlah lebih sedikit menjadi bagian kecil dalam
masyarakat yang juga sangat rentan menjadi korban tindak kejahatan seperti diskriminasi
maupun hal-hal yang bersifat rasial
5
http://hukumolan1992.blogspot.com/2014/07/tipelogi-kejahatan-menurut-medelsohn.html. Diakses pada
Selasa 07 Oktober 2018 pukul 18.00 WIB
9
7. Dull Normals. Rendahnya IQ seseorang juga dapat menjadi potensi dirinya menjadi
korban tindak kejahatan
8. The Depressed. Orang yang mengalami depresi atau tertekan secara psikologis dapat
dengan mudah menjadi korban karena merosotnya kekuatan fisik maupun mental nya.
9. The Acquisitive. Sifat keserakahan seseorang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang jahat.
10. The Wanton. Orang yang ceroboh dapat dengan mudah menjadi korban kejahatan
11. The Lonesome and Heartbroken. Seorang yang kesepian dan patah hati menjadi sangat
rentan menjadi korban kejahatan dikarenakan kondisi psikologis dan mentalnya yang lemah
dapat dimanfaat kan oleh orang-orang jahat seperti pada kasus Jack The Ripper yang
mengambil keuntungan dari rasa keesepian dan patah hati para korbannya
12. Tormentors. Sifat menyiksa seseorang akan menimbulkan dendam bagi si korban
penyiksaan yang dapat berujung pada tindakan jahat korban tersebut sehingga si penyiksa ini
dapat menjadi korban atas dendam korban nya pada dahulu. Seperti halnya seorang ayah
yang kerap menyiksa istrinya yang disaksikan oleh anaknya, dan anaknya pun akhirnya
membunuh ayahnya.6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
6
http://fauzysroom.blogspot.com/2012/01/viktimologi.html. Diakses pada Selasa 07 Oktober 2018 pukul 18.00
WIB
10
11