Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih dahulu bersuci atau
disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalam hukum Islam bersuci dan segala
seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting terutama karena
diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan melaksanakan
sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga
thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat
menjalankan ibadah.

Sebagai mana kita ketahui bahwa unsur utama yang harus di penuhi untuk memenuhi
syarat-syarat ibadah seperti sholat dan lain sebagai nya hendak lah di awali dengan bersuci.
Bersuci adalah syarat utama untuk mendirikan sholat atau thawaf di baitullah al-haram. Bersuci
bukan hanya menjadi pintu gerbang utama dalam melakukan ibadah kepada Allah SWT.
berwudhu, mandi junub atau tayammum adalah cara bersuci yang allah terangkan dalam al
qur’an dengan jelas.

Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam thaharah, kita sebagai muslim harus dan
wajib mengatahui cara-cara bersuci karna bersuci adalah dasar ibadah bagi ummat islam, dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hal-hal yang kotor sehingga sebelum memulai
aktifitas kita menghadap tuhan atau beribadah haruslah dimulai dengan bersuci baik dengan cara
berwudhu, mandi maupun bertayammum. kalau kita melihat dan membaca dengan teliti hamper
seluruh kitab-kitab fiqih akan diawali dengan bab thaharah ini menunjukan kan kepada kita
betapa thaharah menjadi hal yang mendasar dan menjukkan kepada kita betapa pentingnya
masalah thaharah ini.

Namun, walau pun menjadi hala yang mendasara bagi ummat islam namun masih banyak
dari ummat islam yang tidak faham tentang thaharah, najis-najis dan jenis-jenis air yang di
gunakan untuk bersuci. makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih ibadah
sekaligus mudah-mudahan dapat membuat teman-teman Perbandingan Mazhab paham masalah
yang mendasar ini dan media belajar dan mempelajari masalah-masalah thaharah
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Taharah (Bersuci)?

2. Sebutkan pembagian thaharah?

3. Benda apa sajakah yang najis?

4. Sebutkan pembagian najis?

5. Bagaimana cara-cara bersuci dari hadas dan najis?

7. Bagaimana tata cara mengusap khuff

C. TUJUAN

1. Ingin mengetahui tentang thaharah.

2. Ingin mengetahui pembagian thaharah.

3. Ingin mengetahui macam-macam air dan pembagiannya.

4. Ingin memahami benda-benda yang menyebabkan najis.

5. Ingin mengetahui pembagian najis.

6. Memahami cara-cara bersuci dari hadas dan najis.

7. Memahami tat cara mengusp Khuff


BAB II

PEMBAHASAN

A. THAHARAH

1. Pengertian Thaharah (Bersuci)

Thaharah menurut bahasa ialah bersih dan bersuci dari segala kotoran, baik yang nyata
seperti najis, maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut istilah para fuqaha’ berarti
membersihkan diri dari hadas dan najis, seperti mandi berwudlu dan bertayammum. (Saifuddin
Mujtaba’, 2003:1)

Suci dari hadas ialah dengan mengerjakan wudlu, mandi dan tayammum. Suci dari najis ialah
menghilangkan najis yang ada di badan, tempat dan pakaian.

Urusan bersuci meliputi beberapa perkara sebagai berikut:

a. Alat bersuci seperti air, tanah, dan sebagainya.

b. Kaifiat (cara) bersuci.

c. Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.

d. Benda yang wajib disucikan.

e. Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.

Adapun thaharah dalam ilmu fiqh ialah:

a. Menghilangkan najis.

b. Berwudlu.

c. Mandi.

d. Tayammum.

َ‫إِ َّن هللاَ يُ ِحبُّ التَّوَّابِ ْينَ َوي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang
mensucikan diri.” (al-Baqarah ayat 222)

Diwajibkan membersihkan badan, pakaian, dan tempat jika terkena najis, berdasarkan firman
Allah ta’ala :

ْ‫َوثِيَابَكَ فَطَهِّر‬

Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.” [al-Muddatstsir ayat 4]

‫طهِّ َرا بَ ْيتِ َي لِلطَّائِفِ ْينَ َو ْال َعا ِكفِ ْينَ َوالرُّ َّك ِع ال ُّسجُوْ ِد‬
َ ‫أَ ْن‬

Artinya: “Bersihkanlah (wahai Ibrahim dan Isma’il) rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf,
i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [al-Baqarah ayat 125]

Alat yang terpenting untuk bersuci ialah air. Jika tidak ada air maka tanah, batu dan sebagainya
dijadikan sebagai alat pengganti air.

Macam-macam air

Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci ada tujuh macam:

1. Air hujan.

2. Air sungai.

3. Air laut.

4. Air dari mata air.

5. Air sumur.

6. Air salju.

7. Air embun.
Pembagian air

Air tersebut dibagi menjadi 4, yaitu :

Ditinjau dari segi hukumnya, air dapat di bagi dalam empat bagian:

a. Air suci dan mensucikan,

Air mutlak artinya air yang masih sewajarnya dikatakan air atau air yang masih murni,
dapat digunakan untuk bersuci tanpa ada makruh padanya. Air seperti ini disebut sebagai air
mutlaq karena jika ia dimutlakkan (pengertiannya tidak dibatasi), maka masih tetap dinamakan
air dan kondisinya serta karakternya sebagai air tidak berubah, tetap pada kondisi aslinya. Jadi
yang air mutlak (air yang suci mensucikan) adalah air yang suci zat dan esensinya yaitu ketika
dimasuki zat lain ia tidak menjadi najis. Air yang termasuk dalam kategori ini ada tujuh macam
yaitu air hujan, air sumur, air laut, air sungai, air salju, air telaga, air embun. Pada initinya jika
air itu masih tetap dalam kondisi dan karakter awal sebagai air, tidak berubah satupun dari rasa,
warna dan bau maka hukum menggunakan air ini adalah suci mensucikan tanpa ada keraguan
padanya.

b. Air yang suci dan tidak menyucikan

‫اهريره‬l‫ا اب‬l‫ي‬:‫الوا‬l‫وجنب فق‬l‫دائم وه‬ll‫دكم فى الماءال‬ll‫ل اح‬ll‫ال ال يغس‬l‫عن ابى هريره رصى هللا عنه ان النبى صلى هللا علىه و سلم ق‬
)‫كيف يفعل ؟ يتناوله تناوال(رواه مسلم‬

Artinya :dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda : tidak seorang pun diantara kalian
mandi dalam air tergenang dalam keadaan junub.orang-orang bertanya : hai Abu Hurairah
bagaimana nabi mandi, ia menjawab : beliau mengambil air dengan hati-hati (HR-Muslim 283)

Air suci tapi tidak mensucikan atau air musta’mal yaitu air yang telah digunakan untuk
menghilangkan najis meskipun rasa, warna, dan bau tidak berubah. Air musta’mal tidak dapat
digunakan untuk bersuci karena tidak bisa menyucikan zat lain karena fungsi awalnya adalah
sebagai air suci mensucikan,namun setelah dipakai untuk bersuci maka fungsi tersebut telah
hilang,bergantilah ia menjadi air musta’amal yaitu air hasil atau bekas dari bersuci, Meskipun air
tersebut masih tetap dalam kondisi dan karakter awal dari sebuah air. Namun jika air musta’mal
tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga mencapai dua qullah maka hukumnya menjadi suci
mensucikan. Air yang mencapai dua qullah tidak menjadi najis karena ada najis di dalamnya
kecuali jika perubahan karakter sebuah air telihat dengan jelas maka air tersebut menjadi najis.
Contoh lain dari air ini adalah air suci namun hanya tersedia dalam jumlah sedikit. Misalnya
segelas atau hanya segayung.

b. Air makruh yaitu air suci,

Dapat mensucikan namun makruh di gunakan. Air yang masuk dalam kategori ini adalah
air musyammas yaitu air yang menjadi panas atau di panaskan dengan matahari dalam bejana
logam, besi atau tembaga selain emas dan perak. Hukum makruh yang di maksud adalah jika
penggunaan air musyammas digunakan untuk badan. Jika digunakan untuk tujuan lain seperti
cuci baju, menyiram bunga dan lain-lain maka hukumnya tidak makruh alias boleh-boleh saja.
Karena menurut dugaan menggunakan air musyammas dapat menyebabkan penyakit kusta.

c. Air mutanajis

Air najis yaitu air yang terkena najis sedang jumlahnya kurang dari qullah. Atau
mencapai dua qullah atau lebih tapi karakternya sebagai air sudah berubah dengan jelas, baik
dari segi rasa, warna ataupun bau. Air dua qulllah atau air yang banyak menurut kebiasaan tidak
menjadi najis hanya karena ada najis yang memasukinya kecuali jika terjadi perubahan pada air
tersebut meskipun sedikit. Maka air ini tidak suci dan tidak mensucikan. Jika perubahan terjadi
dengan hilangnya perubahan karena najis maka air tersebut menjadi suci, jika perubahan tersebut
karena penambahan air suci lain. Namun jika karena hal lain misalnya minyak kesturi, minyak,
debu dan lain-lain maka air tersebut tetap dalam keadaa tidak suci.,Sedangkan air yang tidak
mencapai dua qullah jika kemasuka najis maka air itu dihukumi najis, meskipun air tersebut
tidak berubah sifatnya sama sekali. Ada beberapa pengecualian suatu air tidak menjadi najis
meskipun air tersebut kurang dari dua qullah. pengecualiannya sebagai berikut:

2. Macam-Macam Thaharah

a. Bersuci dari dosa (bertaubat).

Bertaubat kepada Allah yang merupakan thaharah ruhaniah, juga sebagai metode
mensucikan diri dari dosa-dosa yang besar maupun yang kecil kepada Allah. Jika dosa yang
dimaksudkan berhubungan dengan manusia, sebelum bertaubat ia harus meminta maaf kepada
semua orang yang disakitinya. Sebab Allah akan menerima taubat hamba-Nya secara langsung
jika berhubungan dengan dosa-dosa yang menjadi hak Allah.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang Artinya :

“Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya
Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan
Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu
berpaling maka sungguh Aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat) (Qs
Hud : 3)”.

Yang dimaksud dengan taubat nashuha adalah taubat yang sesungguhnya. Ciri-cirinya adalah:

a. Menyesal dengan perbuatan yang telah dilakukan.

b. Berjanji tidak akan mengulanginya.

c. Selalu meminta ampunan kepada Allah dan berzikir.

d. Berusaha terus menerus untuk memperbaiki diri dengan memperbanyak perbuatan baik
dengan mengharap keridhoan dari Allah SWT.

b. Bersuci menghilangkan najis.

Najis menurut bahasa ialah apa saja yang kotor, baik jiwa, benda maupun amal
perbuatan. Sedangkan menurut fuqaha’ berarti kotoran (yang berbentuk zat) yang mengakibatkan
sholat tidak sah.

Benda-benda najis

a Bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalang)

b Darah

c Babi

d Khamer dan benda cair apapun yang memabukkan

e Anjing

f Kencing dan kotoran (tinja) manusia maupun binatang

g Susu binatang yang haram dimakan dagingnya

h Wadi dan madzi

i Muntahan dari perut


B. WUDLU

1. Pengertian Wudlu

Wudlu secara bahasa berarti keindahan dan kecerahan. Sedangkan menurut istilah syara’
bersuci dengan air dalam rangka menghilangkan hadas kecil yang terdapat pada wajah, kedua
tangan, kepala dan kedua kaki disertai dengan niat.

2. Rukun Wudlu

Antara lain:

a. Niat

b. Membasuh muka

c. Membasuh dua tangan sampai siku

d. Mengusap sebagian kepala

e. Membasuh kaki sampai mata kaki

f. Tertib, artinya urut.

3. Sunnah Wudlu

a. Membaca basmallah

b. Membasuh tangan sampai pergelangan terlebih dahulu

c. Berkumur-kumur

d. Membersihkan hidung

e. Menyela-nyela janggut yang tebal

f. Mendahulukan anggota yang kanan

g. Mengusap kepala

h. Menyela-nyela jari tangan dan jari kaki

i. Megusap kedua telinga

j. Membasuh sampai tiga kali

k. Berturut-turut

l. Berdo’a sesudah wudlu


4. Hal-hal yang membatalkan wudlu

a. Keluarnya sesuatu dari dua jalan

b. Tertidur dengan posisi tidak duduk yang tetap

c. Hilangnya akal (gila, pingsan, mabuk dan sebagainya)

d. Tersentuh kemaluan dengan telapak tangan

e. Tersentuhnya kulit laki-laki dengan kulit perempuan yang bukan muhrim dan tidak beralas

C. TAYAMMUM

1. Pengertian

Tayammum adalah salah satu cara bersuci, sebagai ganti berwudlu atau mandi apabila
berhalangan memakai air. (Imam Zarkasyi, 1995:20)

2. Syarat tayammum

a. Islam

b. Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya, tetapi tidak bertemu

c. Berhalangan mengguankan air, misalnya karena sakit yang apabila menggunakan air akan
kambuh sakitnya

d. Telah masuk waktu shalat

e. Dengan debu yang suci

f. Bersih dari Haid dan Nifas

3. Rukun tayammum

a. Niat

b. Mengusap muka dengan debu dari tangan yang baru dipukulkan atau diletakkan ke debu

c. Mengusap kedua tangan sampai siku, dengan debu dari tangan yang baru dipukulkan atau
diletakkan ke debu, jadi dua kali memukul.

d. Tertib

4. Sunnah tayammum
a. Membaca basmallah

b. Mendahulukan anggota kanan

c. Menipiskan debu di telapak tangan

d. Berturut-turut

5. Hal-hal yang membatalkan tayammum

a. Semua yang membatalkan wudlu

b. Melihat air, bagi yang sebabnya ketiadaan air

c. Karena murtad

D. HADAST

Hadas menurut makna bahasa “peristiwa”. Sedangkan menurut syara’ adalah perkara
yang dianggap mempengaruhi anggora-anggota tubuh sehingga menjadikan sholat dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah karenanya, karena tidak ada sesuatu
yang meringankan atau sesuatu yang menyebabkan seseorang harus bersuci. Hadas dibagi
menjadi dua :

1.) Hadas kecil, adalah perkara-perkara yang dianggap mempengaruhi empat anggota tubuh
manusia yaitu wajah, dua tangan dan dua kaki. Lalu menjadikan sholat dan semisalnya tidak sah.
Hadas kecil ini hilang dengan cara berwudlu.

2.) Hadas besar, adalah perkara yang dianggap mempengaruhi seluruh tubuh lalu menjadikan
sholat dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah. Hadas besar ini bisa
hilang dengan cara mandi besar.

E. IZALATUN NAJASAH

 Najis adalah sesuatu yang datang dari dalam diri (tubuh) manusia ataupun dari luar manusia,
yang dapat menyebabkan tidak sahnya badan, pakaian, atau tempat untuk dipakai beribadah;
dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Najis Mukhaffafah (najis ringan): misalnya air kecing bayi yang belum berumur 2 tahun
dan belum makan apa pun selain air susu ibu.
2. Najis Mutawasithah (najis sedang):
a. Hukmiyah: benda suci yang terkena benda najis dan masih bisa disucikan (dengan air,
dll.).
b. Ainiyah: benda yang pada asalnya dihukumi najis dan tidak bisa disucikan.
3. Najis Mughalladhoh (najis berat): misalnya air liur/air kencingnya anjing atau babi, dan
atau keturunanya..

Najis yang dimaafkan

1 Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir seperti nyamuk, kutu, dan sebagainya.

2 Najis yang sangat sedikit.

3 Darah bisul dan sebangsanya.

4 Kotoran binatang yang mengenai biji-bijian yang akan ditebar, kotoran binatang ternak
yang mengenai susu ketika diperah.

5 Kotoran ikan d dalam air.

6 Darah yang mengenai tukang jagal.

7 Darah yang masih ada pada daging.

c. Bersuci dari hadas

F. MENGUSAP KHUFF

Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap?

Khuf adalah alas kaki dari kulit yang menutupi mata kaki

Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (‫ْح‬ِ ‫“ ) َمس‬mash” yaitu tangan yang dalam keadaan
basah bergerak menyentuh sesuatu. Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf
dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari
membasuh kedua kaki saat berwudhu.

Dalil Pensyariatan Khuf

Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di
antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,

ُ ‫ ْد َرأَي‬lَ‫ْح ِم ْن أَ ْعالَهُ َوق‬


‫ا ِه ِر‬llَ‫ ُح َعلَى ظ‬l‫ يَ ْم َس‬-‫لم‬ll‫ه وس‬ll‫لى هللا علي‬ll‫ص‬- ِ ‫و َل هَّللا‬l‫ْت َر ُس‬ ِ ‫لَوْ َكانَ الدِّينُ بِالر َّْأ‬
ِ ‫ى لَ َكانَ أَ ْسفَ ُل ْال ُخفِّ أَوْ لَى بِ ْال َمس‬
‫خفَّ ْي ِه‬.
ُ
“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk
diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”

Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya,
“Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullah
shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua
khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat
Al Maidah berikut,

‫ق َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُءو ِس ُك ْم َوأَرْ ُجلَ ُك ْم إِلَى ْال َك ْعبَي ِْن‬


ِ ِ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬
َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)

Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih
dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu
sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan
setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu
masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam
surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di
sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.

Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf diriwayatkan lebih dari 80 sahabat
radhiyallahu ‘anhum, di antara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk
surga.

Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda pendapat di kalangan sahabat akan
bolehnya mengusap khuf. Karena setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari
bolehnya hal itu, dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan
mengusap khuf.”

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui riwayat dari salaf yang
mengingkari bolehnya mengusap khuf kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam
Malik adalah beliau membolehkan mengusap khuf.”

Hukum Mengusap Khuf

Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih
afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan)
dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh
(keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut
ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh
dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang
sama-sama disyari’atkan.

Hikmah Mengusap Khuf

Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi
setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan
mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin.
Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-
gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.

Syarat Bolehnya Mengusap Khuf

Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan
khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits
Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air.
Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin
melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
‫ فَ َم َس َح َعلَ ْي ِه َما‬. » ‫ فَإِنِّى أَدْخَ ْلتُهُ َما طَا ِه َرتَ ْي ِن‬، ‫َد ْعهُ َما‬

“Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan
bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja.[14] Syarat ini yaitu
mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati
oleh para ulama.

Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi
kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka
tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya
pendapat tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan
diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan,
sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa
dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.”
Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan)
selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.

Bagian Mana yang Diusap?

Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah
yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian
khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi
lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” ( ‫ْح‬
ِ ‫ ) َمس‬yang sudah
disebutkan di awal.

Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ ْد َرأَي‬lَ‫ْح ِم ْن أَ ْعالَهُ َوق‬


‫ا ِه ِر‬llَ‫ ُح َعلَى ظ‬l‫ يَ ْم َس‬-‫لم‬ll‫ه وس‬ll‫لى هللا علي‬ll‫ص‬- ِ ‫و َل هَّللا‬l‫ْت َر ُس‬ ِ ‫لَوْ َكانَ الدِّينُ بِالر َّْأ‬
ِ ‫ى لَ َكانَ أَ ْسفَ ُل ْال ُخفِّ أَوْ لَى بِ ْال َمس‬
‫خفَّ ْي ِه‬.
ُ

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk
diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”

Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf

Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh
ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam
(1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).

Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,


‫وْ ٍل‬llَ‫ ٍط َوالَ ب‬lِ‫ا ِم ْن غَائ‬ll‫ا َوالَ ن َْخلَ َعهُ َم‬llَ‫فَأ َ َم َرنَا أَ ْن نَ ْم َس َح َعلَى ْال ُخفَّي ِْن إِ َذا نَحْ نُ أَدْخَ ْلنَاهُ َما َعلَى طُه ٍْر ثَالَثا ً إِ َذا َسافَرْ نَا َويَوْ ما ً َولَ ْيلَةً إِ َذا أَقَ ْمن‬
‫َوالَ نَوْ ٍم َوالَ ن َْخلَ َعهُ َما إِالَّ ِم ْن َجنَابَ ٍة‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf
yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya
adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami
tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak
mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”

Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan
menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau
bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,

‫ ثَالَثَةَ أَي ٍَّام َولَيَالِيَه َُّن لِ ْل ُم َسافِ ِر َويَوْ ًما َولَ ْيلَةً لِ ْل ُمقِ ِيم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َج َع َل َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu
mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”

Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)?

Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian
pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini
menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika
mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.

Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00,
wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat
akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi
Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi
Ahmad usai.

Cara Mengusap Khuf

Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala
ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki.
Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama
3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas
sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.

Berakhirnya waktu mengusap khuf.

Terkena junub.

Melepas sepatu.

Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka
tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang
memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.

Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib
baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu.
Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.

Catatan penting: Jika salah satu pembatal mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti
wudhunya batal jika memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakho’i, Al
Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah.

G. HIKMAH BERSUCI

1. Thaharah termasuk tuntutan fitrah.

2. Memelihara kehormatan dan harga diri orang Islam.

3. Memelihara kesehatan.

4. Menghadap Allah dalam keadaan suci dan bersih.

5. Thaharah berfungsi menghilangkan hadas dan najis juga berfungsi sebagai penghapus dosa
kecil dan berhikmah membersihkan kotoran indrawi.
BAB III

PENUTUP

Kebersihan yang sempurna menurut syara’ disebut thaharah, merupakan masalah yang
sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam beribadah yang menghantarkan
manusia berhubungan dengan Allah SWT. Tidak ada cara bersuci yang lebih baik dari pada cara
yang dilakukan oleh syarit Islam, karena syariat Islam menganjurkan manusia mandi dan
berwudlu. Walaupun manusia masih dalam keadaan bersih, tapi ketika hendak melaksanakan
sholat dan ibadah-ibadah lainnya yang mengharuskan berwudlu, begitu juga dia harus pula
membuang kotoran pada diri dan tempat ibadahnya dan mensucikannya karena kotoran itu
sangat menjijikkan bagi manusia

Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa thaharah sangat penting bagi
seorang orang muslim dalam menjalani kehidupannya. Karena pada dasarnya manusia itu
fitrahnya adalah bersih dan membenci hal –hal yang kotor. Oleh karena itu wajarlah jika ajaran
islam menyuruh untuk berthaharah dan menjaga kebersihan. Selain itu dengan thaharah
seseorang diajarkan untuk sadar dan mandiri dalam menjaga dirinya dari hal-hal kotor
memahami arti dari sopan santun karena seorang muslim harus suci ketika berhadapan dengan
Allah dalam sholatnya,karena Allah menyukai orang-orang yang taubat dan membersihkan
dirinya.

Mudah-mudahan ulasan dan penjelasan tentang thaharah, dasar hukum, jenis air dan jenis
najis yang di paparkan pada makalah ini menjadi pengetahuan dan tambahan bagi kita dan
mengingatkan kepada kita bahwa jauh-jauh hari islam telah mengajarkan kepada kita tentang
kebersihan oleh karna sudah layak dan pantas lah kita sebagai kaum muslimin menjadi pelopor
dalam menjaga kebersihan baik itu kebersihan badan kita maupun kebersihan di sekitar kita.

Mungkin dalam makalah ini banyak sekali kesalahan dan kesilapan penyusun. Dengan
rendah hati kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan menjadi manfaat bagi
kita semua.Walhamdulillahirabbil ‘alamin
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim

Az zuhaili,Prof .Dr. Wahbah.2010.Fiqih Imam Syafi’I. Jakarta. Almahira

Az Zuhaili Prof. Dr .Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok. Gema Insani.

Darajat, Prof. Dr. Zakiyah.1995. Ilmu Fiqih. Jakarta. dana bakti wakaf.

Drs.Babudin.S.Ag dan Tim Penyusun Kementrian Agama Republik Indonesia.2005.Fiqih Untuk


X madrasah aliyah, Jakarta. intimedia ciptanusantara

H.Abd.Kholiq Hasan. 2008. Tafsir Ibadah. Yogyakarta. Pustaka Pesantren.

Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarah Al Muhadzab,Pustaka Azzam, Jakarta , 2009

Al-Imam ibnu Qudamah Al Maqdisi. 2012Mukhtasar Minhajul Qasidin. Jakarta.Darul Haq.

Nasution,DRS. LahmuddinM.Ag. fiqh 1. Logos.

Rifa’I .Moh. 2001. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang. PT.Karya Toha Putra.

Ulfa,Maria.Risalah Fikih Wanita.Surabaya.Terbi Terang

Uwaidah,Muhammad.Kamil.Fiqih Wanita.Jakarta. Al-Kautsar

Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2010.
Fiqh Ibadah. Jakarta. Amzah
MAKALAH
TENTANG MASALAH BERSUCI (WUDHU, HADAST, TAYAMUM,
IJALATUN NAJASAH DAN MENGUSAF KHUFF/SEPATU)

Dosen Pengampu : Abdul Malik Habe, S.pd.i, M.pd

OLEH KELOMPOK 5 :

 LAELA AMALIA SAFITRI

 LALU M. AGUS SUKRIANDI

 LUKMAN JAUHARI AKBAR


PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS STIA MUHAMMADIYAH SELONG
2021

Anda mungkin juga menyukai