Anda di halaman 1dari 11

PAPER

RICE RAGGED STUNT VIRUS (RRSV)


Disusun untuk memenuhi tugas praktikum pengantar virologi tumbuhan

Naziatul Asna A34160084


Athena Ilda Novanti A34160092
Ridfa Azahidah A34160097
Irma Nurhidayah A34160104
Adrian Triandi A34160106

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
Nomenklatur, Arti Penting, Sebaran, dan Gejala RRSV
Penyakit kerdil hampa pada padi yang disebabkan oleh rice ragged stunt virus
(RRSV), dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1976 (Chen dan Chiu 1982).
Rice ragged stunt virus ini termasuk kedalam family Reoviridae dan jenis spesies dari genus
Oryzavirus (Upadhyaya et al. 1997). Tanaman padi yang terserang akan menunjukkan
berbagai macam gejala yaitu pertumbuhan terhambat dan tanaman kerdil, tepi daun tidak rata
atau bergerigi (ragged), berlekuk-lekuk atau sobek-sobek, daun hijau pendek dan
kekuningan (klorosis), terjadi pembengkakan tulang daun atau pembentukan puru yang
berwarna kuning pucat sampai coklat serta terjadi pembelitan daun, malai tidak dapat keluar
dengan sempurna dan gabahnya hampa. Berlekuk-lekuknya daun ini adalah ciri khas penyakit
kerdil hampa (Cabauatan 2009). Pembelitan daun biasanya terjadi pada bagian atas
daun. Gejala ini berkembang 10-20 hari setelah terjadi infeksi. Rice ragged stunt virus
pertama kali diidentfikasi di Indonesia pada 1976. Kemudian, diidentifikasi juga di Malaysia,
Vietnam, Thailand, China, Jepang, Philipina, Sri Lanka, Taiwan. Secara umum virus RRTV
menyerang tanaman padi di daerah asia tenggara, asia timur, dan sebagian kecil asia barat.
Outbreak RRTV paling parah terjadi di Vietnam pada 2006 (Hoang 2011).

Rice ragged stunt virus (RRSV)

Virus classification

Group: Group III (dsRNA)

Order: Unassigned

Family: Reoviridae

Subfamily: Spinareovirinae

Genus: Oryzavirus

Type species

Rice ragged stunt virus

Species
Echinochloa ragged stunt virus
Rice ragged stunt virus

Synonyms

Rice infectious gall virus

Gambar 1. Klasifikasi RRSV

Menurut Hoang (2011) pada tingkat serangan yang tinggi, penyakit kerdil hampa
dapat menyebabkan penurunan produksi sampai 50%. Di India kerugian hasil mencapai 80-
100%. Hasil survei di Indonesia menunjukkan apabila tanaman terinfeksi 34-76% maka
kehilangan hasil dapat mencapai 53-82%.

Deteksi dan Inaktivasi


Informasi tentang epidemiologi penyakit kerdil hampa sangat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pengendalian, tetapi hal ini belum banyak diteliti di Indonesia.
Deteksi dini suatu patogen dari tanaman, benih, dan serangga penular juga sangat membantu
upaya pengendaliannya baik secara langsung maupun mencegah penularan penyakit. Deteksi
virus patogen seperti RRSV menggunakan uji kisaran inang memerlukan aktu yang lama,
sehingga perlu dikembangkan teknik yang cepat dan akurat. Enzyme-linked Immunosorbent
Assay (ELISA) merupakan salah satu teknik serologi yang dapat digunakan untuk
mendeteksi patogen tanaman secara efektif dan efisien (Halk dan De Boer 1985). Teknik
ELISA dan perangkat deteksinya menggunakan antibodi poliklonal (PAb) atau McAb telah
dikembangkan secara komersial untuk deteksi virus dan bakteri patogen tanaman (Martin
1985; Van Regelmorten 1986). Teknik ELISA juga telah di adopsi di Indonesia, tetapi
perangkatnya masih harus diimpor dengan harga mahal. Sejak tahun anggaran 1995/1996 di
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor telah dirintis
produksi antibodi dan pembuatan perangkat ELISA (Machmud et al,. 1999)

Penggunaan PAb untuk uji ELISA memiliki beberapa kelemahan sehingga sejak
tahun 1975, teknologi produksi antibodi monokolan (McAb) telah dikembangkan (Kohler
dan Milsten 1975; Carter dan Ter Meulen 1984; Gigerli dan Fries 1983). McAb dari PAb
diantaranya (1) reaksi McAb dapat dibuat spesifik strain, dari suatu patogen dapat dibuat
beberapa McAb dengan spesifikasi tertentu sesuai kebutuhan (2) antibodi yang dihasilkan
mempunyai kualitas yang stabil serta berkesinambungan (3) pasokan antibodi dalam jumlah
besar mudah dilakukan (4) teknologi McAb hanya modal aal yang relatif mahal tetapi
selanjutnya menjadi murah (Jordan 1990). McAB telah diproduksi untuk berbagai patogen
tanaman termasuk virus, fitoplasma, dan bakteri (Converse dan Martin 1990).

Tahapan produksi McAb meliputi imunisasi mencit, penyediaan dan fusi sel limpa
dan sel mieloma, dan seleksi hibridoma penghasil McAb yang nantinya dapat digunakan
untuk deteksi dan identifikasi RRSV. Selain menggunakan metode ELISA, RRSV dapat
dideteksi dengan metode RT-PCR. Tahapan deteksi ini terdiri atas ekstraksi RNA total,
sintesis cDNA, dan amplifikasi DNA target. Ekstraksi RNA total dilakukan dengan metode
Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) (Doyle 1990). Sedangkan sintesis cDNA
menggunakan RNA total sebagai templat dalam reaksi transkrip balik. Setelah semua proses
selesai, maka akan didapat DNA hasil amplifikasi yang kemudian akan dirunut sikuennya
untuk membandingkan sikuen virus target dengan sikuen nukleotida virus asal negara lain
yang terdaftar pada Genbank. Analisis sikuen nukleotida virus padi telah banyak dilaporkan
untuk virus tungro (Kano et al. 1992; Ordiz et al. 2010), tetapi masih sangat terbatas untuk
virus kerdil pada padi. Pencarian sikuen RRSV pada Genbank berhasil mendapatkan 4 sikuen
isolat virus. Upadhyaya (1995) melaporkan baha RRSV isolat Thailand memiliki homologi
yang tinggi dengan RRSV isolat India yaitu 94,6% dan 99,4% berturut-turut untuk sikuen
nukleotida dan asam amino (King et al. 2012). Hal tersebut menunjukan adanya hubungan
kekerabatan yang dekat antara isolat negara Thailand dan India. Menurut Senboklc et al
(1980), RRSV mengalami ketahanan in vitro pada suhu 4⁰C selama 17 hari dengan batas
pengenceran 10−5 (daun) dan 10−6 (serangg). Serta mengalami panas inaktivasi pada suhu
60⁰C dan pada pH 6-9 virus masih tahan.

Deteksi dilakukan pada sampel tanaman dari lapangan dan pada beberapa sampel
tanaman hasil uji penularan. Deteksi RRSV dan RGSV dengan metode Reverse
Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Tahapan deteksi terdiri atas ekstraksi
RNA total dengan metode Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) (Doyle dan Doyle
1990), sintesis cDNA, amplifikasi DNA target, dan visualisasi DNA. Ekstraksi RNA total.
Sebanyak 0.1 g daun digerus di dalam mortar dengan penambahan nitrogen cair. Bufer
ekstraksi yang mengandung 1% 2-β- mercaptoethanol ditambahkan ke dalam mortar
sebanyak 500 µL dan dicampurkan hingga merata. Ekstrak tanaman tersebut dimasukkan ke
tabung mikro 1.5 µL dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit. Setiap 10 menit
tabung mikro dibolakbalik. Sebanyak 500 µL campuran Chloroform:isoamilalcohol (24:1)
ditambahkan ke dalam tabung, kemudian tabung disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm
selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditempatkan ke dalam tabung mikro yang baru,
ditambahkan Sodium Asetat sebanyak 1/10 dari total volume supernatan, Tambahkan
Isopropanol sebanyak 2/3 dari jumlah total volume supernatant (Amelia 2015).

Tabung mikro kembali disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 13 000 rpm
sehingga terbentuk pelet RNA. Pelet RNA dicuci dengan menambahkan Etanol 70%
sebanyak 600 µL, selanjutnya tabung mikro disentrifugasi dengan kecepatan 8 000 rpm
selama 5 menit. Cairan dibuang, lalu pelet RNA dikeringanginkan, selanjutnya ditambahkan
50 µL bufer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8.0 mM EDTA. Sintesis cDNA. RNA total
digunakan sebagai templet dalam reaksi transkripsi balik (reverse transcription/RT) untuk
menghasilkan cDNA. Reaksi RT (10 µL) terdiri atas 2 µL bufer RT, 1 µL dNTP 10 mM, 1
µL DTT 50 mM, 0.50 µL RNAse Inhibitor (Thermo Scientific, US), 0.50 µL M-MuLV
(Thermo Scientific, US), 2 µL H2O bebas nuklease, 1 µL Oligo d(T) 10 mM, dan 2 µL
templet RNA. Pertama-tama RNA total dan Oligo d(T) diinkubasi dalam penangas air selama
5 menit pada suhu 60 oC. Bahan pereaksi lainnya kemudian ditambahkan kedalam tabung
mikro, selanjutnya tabung mikro disentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 1 000 rpm.
Tabung mikro dinkubasi pada suhu 42 oC selama 60 menit , selanjutnya diinkubasi pada suhu
70 oC selama 5 menit . Amplifikasi DNA target. Setelah diperoleh cDNA dilanjutkan dengan
amplifikasi DNA target. Setiap reaksi amplifikasi (25µL) terdiri atas 1 µL cDNA, 1 µL
primer F 10 µM, 1 µL primer R 10 µM, 12.5 µL GTG Master mix, dan 2H2O sebanyak 9.5
µL. Primer yang digunakan adalah primer spesifik RGSV dan RRSV, yaitu primer RGSV-
S3-F (5’-AGAATTTTTATGTCACTTAG-3’) dan RGSV-S3- R (5’-TATCCAGATTCCAG
GTGC-3’) dengan target amplikon ±738 pb untuk RGSV; RRSV-S9-F (5’-
ATGAAGCGCTCGGAACCAA-3’) dan RRSV-S9-R (5’- GCGTCTAGTCCCGTATGG-3’)
dengan target amplikon ±445 pb untuk RRSV. Amplikasi cDNA dimulai dengan tahapan
pradenaturasi pada suhu 94 oC selama 5 menit sebanyak 1 siklus, dilanjutkan dengan
amplifikasi sebanyak 35 siklus dengan tahapan denaturasi pada suhu 94 oC selama 1 menit,
aneling selama 1 menit pada suhu 50 oC untuk RGSV atau 56 oC untuk RRSV, dan
pemanjangan utas baru pada suhu 72 oC selama 1 menit , dan diakhiri dengan 1 siklus
pemanjangan akhir pada suhu 72 C selama 7 menit (Amelia 2015)

Visualisasi DNA. Visualisasi produk amplifikasi dilakukan dengan elektroforesis


pada 1% gel agarosa (0.5xTris-Borate EDTA /TBE). Elektroforesis dilakukan pada 50 volt
selama 50 menit, selanjutnya gel agarosa diinkubasi pada zat pewarna yang berisi Etidium
Bromida (1%) selama 15 menit, lalu dicuci dengan H2O selama 10 menit. Pengambilan
gambar dilakukan menggunakan UV transiluminator dan didokementasikan dengan kamera
digital (Amelia 2015).

Penularan Rice Ragged Stunt Virus (RRSV) dan Pengendalian

Penyakit virus kerdil hampa ditularkan oleh wereng batang cokelat (WBC) secara
persisten. Penyakit tersebut akhir-akhir ini menjadi masalah di Indonesia dan beberapa
negara, seperti China, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Pengendalian penyakit virus kerdil
hampa sampai saat ini dilakukan terhadap vektornya (WBC) menggunakan insektisida,
sehingga sering kali mencemari lingkungan. Alternatif pengendalian lain yang ramah
lingkungan adalah penggunaan varietas tahan. Dampak perubahan iklim global dewasa ini
antara lain meningkatnya serangan hama dan penyakit pada tanaman padi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa pemanasan global berkontribusi terhadap ledakan wereng batang
cokelat (WBC) di beberapa wilayah pertanaman padi di Asia, dan tingkat keparahannya
cenderung meningkat pada kondisi perubahan iklim yang ekstrim. Selain dampak perubahan
iklim, penggunaan insektisida berlebihan juga menjadi faktor terjadinya ledakan WBC,
karena menimbulkan efek merugikan terhadap musuh alami. Penggunaan pupuk nitrogen
dosis tinggi, khususnya pada padi hibrida, juga telah meningkatkan potensi ledakan WBC.
WBC merupakan salah satu hama utama padi yang secara langsung merusak tanaman dengan
menghisap cairan tanaman yang menyebabkan tanaman kering dan mati (hopperburn), dan
secara tidak langsung menjadi vektor penyebaran penyakit virus kerdil rumput (Rice grassy
stunt virus) dan kerdil hampa (Rice ragged stunt virus). Kedua penyakit ini sulit
dikendalikan, sehingga tanaman padi dapat gagal panen (Bahagiawati 2012).

Rice Ragged Stunt Virus (RRSV) termasuk dalam Famili Reoviridae, Genus
Oryzavirus. Virus kerdil hampa ini mempunyai partikel yang berbentuk polihedral dengan
ukuran antara diameter 50-70 nm. Hibino et al. (1977) melaporkan bahwa penyakit kerdil
hampa disebabkan oleh virus yang berbentuk bulat dengan ukuran 60 nm. Penularan RRSV
melalui wereng batang cokelat memerlukan periode makan akuisisi minimal selama 24 jam,
dengan periode laten 2 jam, periode makan inokulasi 6 jam serta periode retensi selama hidup
serangga vektor. Wereng batang cokelat dapat menularkan penyakit virus kerdil hampa
sampai akhir masa hidupnya, tetapi tidak dapat menularkan kepada keturunannya lewat telur.
N. lugens merupakan hama utama sekaligus vektor virus kerdil pada tanaman padi di Asia
Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain berperan dalam penularan virus,
wereng batang cokelat menyebabkan kerusakan yang serius yang disebut hopper burn,
dengan menghisap cairan tanaman, wereng batang cokelat menyebabkan tanaman menguning
diikuti pengeringan yang cepat. Sebagian besar wereng batang cokelat dapat berkembang di
bagian pangkal tanaman (Mueller 1974).
Panjang tubuh serangga dewasa 2 – 4.4 mm. Serangga dewasa mempunyai 2 bentuk,
yaitu bersayap pendek (brakhiptera) dan bersayap panjang (makroptera). Serangga
makroptera mempunyai kemampuan untuk terbang, sehingga dapat bermigrasi cukup jauh.
Wereng batang cokelat adalah serangga monofag, inangnya terbatas pada padi dan padi liar
(Oryza parennis dan O. spontanea) (BPTP 2010). Wereng batang cokelat berkembangbiak
secara seksual, masa pra peneluran 3-4 hari untuk brakiptera (bersayap pendek) dan 3-8 hari
untuk makroptera (bersayap panjang). Satu ekor betina mampu meletakkan telur 100- 500
butir. Telur diletakkan berkelompok, satu kelompok telur terdiri dari 3-21 butir. Telur
menetas setelah 9 hari di daerah tropis. Telur biasanya diletakkan pada jaringan pangkal
pelepah daun, tetapi jika populasinya tinggi telur diletakkan di ujung pelepah daun dan tulang
daun. Nimfa mengalami lima instar, dan ratarata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
periode nimfa adalah 12-13 hari (Badan litbangtan 2010). Wereng batang cokelat menyukai
lingkungan dengan kelembapan tinggi (70-80%), suhu siang hari optimum (28-30 C),
intensitas cahaya matahari rendah, pemupukan N tinggi, tanaman rimbun, lahan basah, angin
lemah (BPTP 2010).
Perkembangan penyakit kerdil hampa di Indonesia terjadi pada tahun 1970-an. Sejak
tahun 1976/1977, penyakit kerdil hampa tercatat menyerang pertanaman padi di Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lombok, Kalimantan
Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pada tanaman stadia vegetatif, serangan virus kerdil hampa
menyebabkan daun tanaman rusak, tercabik atau bergerigi, kadang berwarna putih, tanaman
tumbuh kerdil, keluar malai terlambat sampai 10 hari, malai tidak normal (tidak keluar
penuh), daun bendera pendek, pengisian biji tidak terjadi sehingga gabah menjadi hampa.
Penyebaran penyakit virus kerdil hampa dapat diminimalisasi dengan cara pengendalian
vektornya menggunakan insektisida, dan sanitasi lahan segera setelah panen untuk
menurunkan sumber inoculum (Suprihanto 2016). Alternatif pengendalian lain yang ramah
lingkungan adalah penggunaan varietas tahan, baik tahan terhadap vektornya (WBC), tahan
terhadap virusnya, maupun terhadap keduanya (Baehaki 2009). Beberapa varietas padi telah
diketahui memiliki latar belakang ketahanan terhadap WBC, seperti IR64, Ciherang, IR42,
Inpari 1, Inpari 2, dan Inpari 13 (Baehaki dan Mejaya 2014), tetapi belum diketahui
ketahanannya terhadap virus kerdil hampa. Varietas Swarnalata juga telah diidentifikasi
mengandung gen bph6 dan biasanya dipakai dalam uji biotipe WBC (Chaerani et al. 2014).
Bahkan varietas ini diketahui mempunyai tingkat ketahanan antibiosis yang tinggi terhadap
WBC, dan tahan terhadap WBC biotipe 4 (Qiu et al. 2011, Cheng et al. 2013), tetapi belum
diketahui tingkat ketahanannya terhadap virus yang ditularkan WBC.
Virus kerdil hainpa tidak dapat ditularkan secara mekanik, melalui biji atau melalui
organisme dalam tanah tetapi hanya dapat ditularkan oleh wereng coklat (Nilaparvata
lugens). Ketiga "biotipe" wereng coklat dapat menularkan virus ini dengan efektivitas yang
sama
(Ou 1985). Nubungan virus dengan vektornya adalah secara persisten. Periode makan
akuisisi terpendek lebih kurang delapan jam dan periode latennya rata-rata lebih kurang
sembilan hari
(2 - 33 hari). Periode makan inokulasi minimum lebih kurang satu jarm dan bila periode
makan inokulasinya diperpanjang sampai satu hari maka tanman yang terinfeksi akan
bertambah banyak. Periode retensinya berkisar antara 3 sampai 35 hari (rata-rata 15 hari) atau
13 sarnpai 35% dari lama hidupnya. Penularan virus ini adalah transtadial tetapi tidak
transovarial. Periode inkubasinya dalam tanaman 2-3 minggu. Hibino dkk., (1977)
melaporkan bahwa tanaman yang terserang kerdil hampa menunjukkan suatu penyembuhan
sementara, karena gejala dapat hilang tetapi akan timbul kembali.
Pengendalian virus ini perlu dilakukan secara terpadu yang meliputi: Penggunaan
varietas yang resisten, bibit di pembibitan diusahakan agar bebas dari vektor, eradikasi
tanaman ymg terinfeksi, pola dan waktu tanam diatur sedemikian rupa sehingga dapat
mematahkan siklus hidup vektor (padi - palawija - padi), dan penggunaan insektisida yang
tepat untuk mengurangi populasi vektor.
Deteksi dini suatu virus patogen dari tanaman, benih, dan serangga penular juga
sangat membantu upaya pengendaliannya baik secara langsung maupun mencegah penularan
penyakit. Deteksi virus patogen seperti RRSV menggunakan uji kisaran inang memerlukan
waktu lama, sehingga perlu dikembangkan teknik yang cepat dan akurat. Enzyme-linked
Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan salah satu teknik serologi yang dapat digunakan
untuk mendeteksi patogen tanaman secara efektif dan efisien (Halk dan De Boer, 1985).
Beberapa upaya pengendalian dapat dilakukan seperti perbaikan pengendalian vektor
virus, perbaikan teknik budidaya, dan pengunaan agensia hayati. Pengendalian vektor virus
dapat dilakukan dengan kultur teknis yaitu membersihkan gulma serta penggunaan
insektisida. Perbaikan teknik budidaya yang dikombinasikan dengan penggunaan bibit sehat
pada area pertanaman juga dapat menjadi solusi alternatif dalam usaha pengendalian penyakit
tumbuhan. System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu pendekatan teknik
budidaya padi yang 2 menekankan pada aspek manajemen pengolahan tanah, tanaman dan
kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan . Bibit sehat adalah bibit yang
memiliki karakteristik sehat secara morfologi, fisiologi dan bebas dari adanya OPT. Bibit
sehat dapat dicapai dengan cara pemilihan benih yang berkualitas dan penggunaan teknik
pembibitan yang terkontrol sehingga ketika bibit ditanam dapat memiliki pertumbuhan dan
produktivitas yang tinggi serta bebas dari gangguan OPT. Selain itu seiring dengan ilmu
pengetahuan yang semakin berkembang, penggunaan agensia hayati juga menjadi terobosan
baru dalam bidang perlindungan tanaman karena lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan
konsep pertanian yang berkelanjutan. Salah satu teknik yang dikembangkan untuk
pengendalian penyakit tanaman adalah dengan menginduksi ketahanan sistemik yang
terdapat pada tanaman dengan memanfaatkan agensia hayati salah satunya Plant Growth
Promoting Rizhobacteria (PGPR).
Bacillus sp. merupakan salah satu kelompok dalam golongan bakteri PGPR yang
banyak dimanfaatkan sebagai agensia pengendali penyakit tumbuhan. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa penggunaan Bacillus sp. mampu mengendalikan penyakit layu bakteri
nilam dan penyakit layu bakteri pada tanaman tembakau . Penggunaan bibit sehat, agens
hayati Bacillus sp. dan sistem tanaman SRI dalam usaha pengendalian penyakit kerdil padi
sangat mendukung konsep pengendalian terpadu karena lebih ramah lingkungan. Namun
hingga saat ini belum diketahui pengaruh penggunaan teknik semai padi tetutup, agensia
hayati Bacillus sp dan sistem budidaya SRI terhadap keberadaan penyakit kerdil padi,
pertumbuhan padi, dan hasil panen padi sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hal
tersebut.

Daftar Pustaka

Amelia FBD. 2015. Efisiensi Wereng Hijau dan Wereng Batang Cokelat Sebagai Vektor
Virus

pada Tanaman Padi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Bahagiawati, AH. 2012. Kontribusi teknologi marka molekuler dalam pengendalian wereng
coklat. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 5(1):1-18.

[BPTP] Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2010. Hama Wereng
Batang
Cokelat (Nilaparvata lugens Stal.) dan Pengendaliannya. Jawa Barat (ID): Balai
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Cabauatan PQ, Cabunagan RC, Choi IR. 2009. Rice viruses transmitted by the brown
planthopper
Nilaparvata lugens Stal. Di dalam Heong KL, Hardy B, editor. Planthoppers: New
Threats to the Sustainability of Intensive Rice Production Systems in Asia. Los Banos
(PH): International Rice Research Institute.
Carter MJ, Ter Meulen. 1984. The application of monoclonal antibodies in the study of
viruses.
London (US): Academic Press.
Converse R H. Martin R R. 1990. ELISA methods for plant viruses. In Hampton, R., E. Ball,
and
S. De Boer (Eds.). Serological Methods for Detection and Identification of Viral and
bacterial Plant Patogens. APS Press, St Paul, Minn. p. 179-196
Doyle JJ .1990 . A rapid total DNA preparation procedure for fresh plant tissue. J. Focus. 12:
13-15
Gigerli P, Fries. 1983. Characteriation of monoclonal antibodies to potato virus Y and their
use for virus detection. J.Gen Virol. 64: 2471-2477
Halk EL, De Boer SH. 1985. Monoclonal antibodies in plant disease research. Annu. Rev. J.
Phytopathol. 23: 321-350
Hibino H, Roechan M, Sudarisman S, tantera DM. 1977. A virus disease of rice (kerdil
hampa)
transmitted by brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal. In Indonesia. Contribute
centre research Institute Agriculture Bogor. 35.15pp.
Hoang, A. T., Zhang, H.-M., Yang, J., Chen, J.-P., Hébrard, E., Zhou, G.-H., Vinh, V. N., and
Cheng, J.-A. 2011. Identification, characterization, and distribution of Southern rice
black-streaked dwarf virus in Vietnam. Plant Dis. 95:1063-1069
Kano H, Kozumi HM, Noda H, Hibino H, Ishikavva K, Omura T, Cabauatan PQ,
Koganezavva H .1992 . Nucleotide sequence of capsid protein gen of Rice tungro
baciliform virus. J. Arch Virol. 124: 157-163
King AMQ, Adam MJ, Carstens EB, Lefkovvit EJ. 2012. Virus Taxonomy Classification and
Nomenclature of viruses. Birmingham (UK): Elsevier Academic Pr.
Kohler, Milsten. 1975. Continous culture of fused cell producing antibodies of predefined
specificity. J.Science. 256:495-497
Machmud M, Jumanto Y, Suryadi MA, Suhendar dan I Manzila. 1999. Pengembangan teknik
produksi. Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 1998/1999. Balai Penelitian
Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor. 72hlm.
Martin RR. 1985. Recent advances in virus detection. Hort. Science 20:8
Ordiz MI, Magnenat L, Barbas CF, Beachy RN. 2010. Negative regulation of the RTBV
promoterby designed zinc finger proteins. J. Plant Mol Biol. 72(6): 621-630
Qiu, Y., J. Guo, S. Jing, M. Tang, L. Zhu, and G. He. 2011. Identification of antibiosis and
tolerance in rice varieties carrying brown planthopper resistance genes. Entomologia
Experimentalis et Applicata 141:224-231.
Randles JW. Hodgson R A J. Weffels E. 1996. The rapid and sensitive detection of plant
patogens
by molecular methods. Australasian Plant Pathol. 25:7185.
Senboklc TTG, Gou, E Slzikara. 1980. Soi-ne pliysical properties of Rice ragged stunt virus.
J.Annals of the Phytopathological Society of Japan. 45: 735-737.
Suprihanto, Susamto S, Sedyo H, dan Trisyono. 2016. Preferensi Wereng Batang Cokelat

terhadap Varietas Padi dan Ketahanan Varietas Padi terhadap Virus Kerdil Hampa.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan vol. 35 no. 1

Thomas J E. Wong W C. Goanlock D H. 1989. Modern methods for the detection of plant
pathogens. Queensland Agric. J. Jan-Feb 1989. p. 49-53
Upadhyaya NM. 1995. Molecular analysis of Rice ragged stunt oryavirus segment 9 and
sequence conservation among isolates from Thailand and India. J. Arch Virol.
140(11):1945-1956
Van Regelmorten MHV. 1986. The potential for using monoclonal antibodies in the
detection of plant viruses. Great Britain (UK): Lavenham Press

Anda mungkin juga menyukai