Anda di halaman 1dari 50

1

TINJAUAN KASUS
Nama : Jerry Tjoanatan
Moderator : Tiene Rostini
Hari/Tanggal : Rabu / 24 November 2021
Departemen/KSM Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Acute Liver Failure + Drug Induced Liver Injury ec OAT +


Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms +
TB mammae Dextra + Hipoglikemia

I. Uraian Kasus
1. Identitas pasien
Nama : Ny. D.D.R
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 09 Desember 1992 (26 tahun)
Alamat : Kp Bbk Tanjung. Majalaya. Kab. Bandung
Rekam Medik : 0001747913
Asal Ruangan /Bagian : IGD Transit
Masuk RS : 27 Februari 2019
Keluar RS : 03 Maret 2019 (meninggal dunia)
Lama perawatan : 5 hari
Status : JKN PBI

2. Anamnesis (autoanamnesis)

Keluhan utama: Mata kuning


Pasien datang dengan keluhan mata kuning sejak 4 hari SMRS.
Pasien juga mengatakan warna air kencingnya pekat seperti air teh
namun tidak ada buang air besar seperti dempul. Pasien juga
mengeluh demam dirasakan sejak 7 hari SMRS disertai pusing dan
timbul ruam kemerahan pada kulit, kulit seperti bersisik, terasa gatal
dan mengelupas sejak 4 hari SMRS. Pipi bengkak dan kedua kaki
2

bengkak. Keluhan disertai mual tanpa disertai muntah. Pasien riwayat


ada benjolan di payudara kanan sejak 3 bulan SMRS dan didiagnosis
TB payudaran dan saat ini sedang dalam terapi obat anti tuberculosis
(OAT) sejak 1 bulan SMRS. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus
disangkal

3. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Sakit sedang, BB: 40 kg TB: 150 cm


Kesadaran : Compos Mentis (CM) Indeks Massa Tubuh:17,8
(Kurang)
Tanda vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit, irama regular, isi
cukup
Detak jantung(Heart rate/HR): 100 x/menit, irama regular
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,0°C

Kepala : Konjungtiva tidak anemis , sklera ikterik (+), facial


pallor (+), frenulum lingueae ikterik (+), pernapasan
cuping hidung (-)
Leher : Jugular Venous Pressure (JVP) 5+2 cmH2O,
kelenjar getah bening (KGB) tidak teraba
membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
Thoraks : Bentuk dan pergerakan simetris
Cor : Bunyi jantung S1 dan S2 normal, Kardiomegali (-)
Pulmo : Vesicular Breath Sound (VBS) kanan = kiri, ronchi -/-,
wheezing -/-

Abdomen : Datar, lembut, nyeri tekan epigastrium (+), bising


usus (+) , hepar teraba 4 jari di bawah arcus costa,
tepi rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba
3

membesar
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema
pitting (-/-), maculopapular eritema (+)
Status dermatologis : distribusi generalisata
Pada perut, leher, lengan kiri dan kanan, tungkai kiri dan kanan
terdapat lesi multiple, sebagian konfluens, bentuk ireguler dengan
ukuran 0,2x0,2 cm, Seluas perut kering, rata dengan permukaan kulit
berupa purpura, makula eritama disertai skuama diaskopi(+) pada
bercak merah di lengan

4. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium di IGD RSHS tgl 27 Februari 2019 (H-
1) 2-10

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Interpretasi


1. Hematologi
Hemoglobin 9,4 P: 12,3-15,3 g/dl 
27,2 P: 36-45 % 
Hematokrit 
Eritrosit 3,96 P: 4,2-5,5 juta/uL ↑
Leukosit 23.530 4.500-11.000 /mm3 ↑
Trombosit 534.000 150.000-450.000 /mm3 
MCV 68,7 80-96 fl 
MCH 23,7 27,5-33,2 pg N
MCHC 34,6 33,4-35,5 %
Hitung Jenis Leukosit N
Basofil 0 0-1 % ↑
Eosinofil 14 0-4 % N
0 3-5 % 
Neutrofil Batang
29 45-73 % N
Neutrofil Segmen
39 18-44 % N
Limfosit
Monosit 4 3-8 %
Tersangka Blast 14 %

Morfologi Darah Tepi


Eritrosit : Normokrom anisopoikilositosis (target cell, cigar shape, burr cell) ditemukan
normoblast 1/100 leukosit
Leukosit : Jumlah meningkat, limfosit atipik (+), ditemukan tersangka blast dengan
sitoplasma sedikit s/d sedang, kromatin inti halus, anak inti tidak jelas s/d 2
Trombosit : Jumlah meningkat, tersebar
Kesan : Reaksi leukemoid dd/ tersangka leukemia

2. Kimia
Glukosa Sewaktu 63 <140 mg/dL N
SGOT(AST) 433 15-37 U/L ↑
SGPT(ALT) 1155 14-59 U/L ↑
Bilirubin Total 13,266 0,100-1,000 mg/dL ↑
9,884 0,100-0,300 mg/dL ↑
4

Bilirubin Direk 3,382 0,200-0,800 mg/dL ↑


Bilirubin Indirek 16,0 15,0-39 mg/dL N
Ureum 0,75 0,80-1,30 mg/dL N
Kreatinin 129 135-145 mEq/L 
Natrium
3. Urinalisis Rutin:
Makroskopis
Warna Kuning tua Kuning N
Kejernihan Agak Keruh Jernih AbN
Kimia Urine
Berat Jenis 1.020 1.001-1.035 N
pH 6,5 5.0-8.0 N
Nitrit Negatif Negatif N
Protein Negatif Negatif N
Glukosa Negatif Negatif N
Keton 2+ Negatif ↑
Urobilinogen Normal Normal N
Bilirubin 3+ Negatif ↑
Leukosit esterase 3+ Negatif ↑
Eritrosit 3+ Negatif ↑
Mikroskopis Urine
Eritrosit 10-19 0-3 / LPB ↑
Lekosit 5-9 0-5 / LPB ↑
Sel epitel 5-9 0-1 / LPK ↑
Bakteri Negatif Negatif / LPK N
Kristal Negatif Negatif / LPK N
Silinder Negatif Negatif / LPK N
Keterangan: N: Normal; A: abnormal; : meningkat; : menurun

Foto Rontgen Thoraks:


Tidak tampak kardiomegali
Tidak tampak proses spesifik
Elevasi diafragma kiri

Electrocardiography (EKG):
Sinus takikardi, rate 109 x/menit

4.Diagnosis kerja
Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms + TB mammae Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 +
Hipoglikemia ec Iiver involvement + Hiponatremia ec low intake

5.Tata Laksana
5

- IVFD D10% 100 cc / 24 jam


- Vas Albumin 2x / hari
- Bedrest
- Diet 1250 kkal/ hari (KH:L=60:40; Protein 1 g/kgBB/hari)
- Cetirizine 1x 10 mg po
- Metilprednisolone 0,8 mg/kgBB/hari ( 40 mg-0-0)
- N acetylcystein 3x 200 mg po
- Vaselin albumin 2x per hari
- Cek GDS, ALP, GGT, PT/INR, albumin, HBsAg, anti HCV
- USG Abdomen
- Stop OAT
- Cek SGOT dan SGPT / 3 hari
- Rawat ruang biasa

6. Pemantauan
Pemantauan pasien selama perawatan pada Tabel 2.

7. Diagnosis akhir
Acute Liver Failure + Drug Induced Liver Injury ec OAT + Drug
reaction with eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae
Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec liver
involvement + Hiponatremia ec low intake

8. Prognosis: quo ad vitam et functionam dubia ad bonam


6

Tabel 2. Follow up selama perawatan di Fresia 2


28/02/2019 (Hari ke-2) 01/03/2019 (Hari ke-3)
Subjektif mata kuning(+), nyeri ulu hati (+), mual (-) , muntah (-) mata kuning(+), nyeri ulu hati (+), mual (-) , muntah (-), demam (+)
naik turun

Objektif - KU: Sakit sedang - Kesadaran: CM - KU: Sakit sedang - Kesadaran: CM


- TD: 110/70 mmHg - RR: 20 x/menit - TD: 100/70 mmHg - RR: 20 x/menit
- HR: 80 x/menit - S: 37 °C - HR: 88 x/menit - S: 36,7 °C

Assesment Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction with Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction with
eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae Dextra on OAT eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae Dextra on
kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver involvement OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver involvement

Planning Terapi sesuai catatan pengobatan - Inj Omeprazole 1x40 mg iv


- CaCO3 3x50 mg po
- Lain-lain sesuai catatan
pengobatan
Hasil Lab Hemostasis Kimia
PT : 55,30 detik (↑) (N: 9,1-13,1) GDP : 44 mg/dL (↓) (N: 70-100)
INR : 5,43 (↑) (N: 0,8-1,2) SGOT(AST) : 438 U/L (↑) (N: 15-37 )
APTT : 91,20 detik (↑) (N: 14,2-34,2) SGPT(ALT) : 829 U/L (↓) (N: 1 4-59 )
GD2PP : 134 mg/dL (N: < 140)
Kimia
GGT : 233 U/L (↑) (N: 5-55)
ALP : 134 U/L (↑) (N: 46-116)
Total Protein : 5,3 g/dL (↓) (N: 6,4-8,2)
Albumin : 1,66 g/dL (↓) (N: 3,4-5,0)
Globulin : 3,6 g/dL
Ratio A/G : 0,46
Imunoserologi
HBsAg Kromatografi :Non Reaktif (N: Non Reaktif)
Anti HCV Rapid :Non Reaktif (N: Non Reaktif)
Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun
Tabel 3. Follow up selama perawatan di Fresia 2
02/03/2019 (Hari ke-4) 03/03/2019 (Hari ke-5)
Subjektif mata kuning(+), demam (+) naik turun, gatal seluruh tubuh, - mata kuning(+), mual muntah (-), demam (+) naik turun, gatal
gelisah seluruh tubuh, gelisah

Objektif - KU: Sakit sedang - Kesadaran: CM - KU: Sakit sedang - Kesadaran: sopor
- TD: 120/80 mmHg - RR: 16 x/menit - TD: 110/70 mmHg - RR: 24 x/menit
- HR: 84 x/menit - S: 36,8 °C - HR: 100 x/menit - S: 36,9 °C

Assesment Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction Penurunan kesadaran ec metabolic + Drug Induced Liver Injury ec
with eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae OAT + Possible Drug reaction with eosinophilia and systemic
Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver symptoms + TB mammae Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 +
involvement Hipoglikemia ec Iiver involvement

Planning - Lain-lain sesuai catatan pengobatan - Pro konsul MIC


- IVFD NaCL 0,9% 1500 cc/24 jam
- O2 3 LPM/ nasal kanul
- Pasang NGT
- Lain-lain sesuai catatan pengobatan
Hasil Lab Kimia Hematologi
GDP :120 mg/dL (↑) (N: 70-100) Hemoglobin : 8,5 g/dL (↓) (N: 12,3-15,3)
GD2PP :117 mg/dL (N: < 140) Hematokrit : 25,5 % (↓) (N: 36-45)
Eritrosit : 3,66 x 106 /uL (↓) (N: 4,2-5,5)
Leukosit : 14.210 /uL (↑) (N: 4.500-11.000)
Trombosit : 594.000/uL (↑) (N: 150.000-450.000)
MCV : 69,7 fL (↓) (N: 80-96)
MCH : 23,2 pg (↓) (N: 27,5-33,2)
MCHC : 33,3% (↓) (N: 33,4-35,5)
Kimia
GDP : 238 mg/dL (↑) (N: 70-100)
Bilirubin Total : 15,570 mg/dL (↑) (N: 0,100-1,000)
GD2PP : 112 mg/dL (N: < 140)
Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun
02/03/2019 (Hari ke-4) 03/03/2019 (Hari ke-5)
Ureum : 7,0 mg/dL (↓) (N: 15-39)
Hasil Lab : 1,06 mg/dL (↑)
Kreatinin (N: 0,6-1,0)
Natrium : 141 mEq/L (N: 135-145)
Kalium : 4,1 mEq/L (N: 3,5-5,1)
Kalsium : 5,37 mEq/L (N: 4,5-5,6)
Analisis Gas Darah
(Arteri)
Nilai Gas Darah
pH : 7,343 (↓) (N: 7,35-7,45)
PCO2 : 18,4 mmHg (↓) (N: 35-45)
PO2 : 33,1 mmHg (↓) (N: 80-105)
Status Asam Basa
HCO3 : 10,1 mmol/L (↓) (N: 22-26)
tCO2 : 10,6 mmol/L (↓) (N: 23,05-27,35)
Standar BE-b : -13,0 mmol/L (↓) (N: (-2)-(+2))
Saturasi O2 : 56,5 % (↓) (N: 95-100)
Interpretasi :
Asidosis metabolik terkompensasi sebagian dengan
hipoksemia dan kadar Oksigen rendah
Hemostasis
PT : > 120 detik (↑) (N: 9,1-13,1)
INR : > 9 (↑) (N: 0,8-1,2)
APTT : 146,40 detik (↑) (N: 14,2-34,2)
Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun
Tabel 4. Follow up selama perawatan di MIC
03/03/2019 (Hari ke-5) 03/03/2019 (Hari ke-5)
Subjektif - Pkl 19.15 : Penurunan kesadaran, sesak napas(+), - Pkl 19.38 : pasien henti napas
demam(+)
Objektif - KU: Sakit berat - Kesadaran: Coma - Nadi tidak teraba
-TD: 110/70 mmHg - RR: 30 x/menit - Tidak ada respirasi spontan
- HR: 124 x/menit - S: 38,8 °C
- SpO2 88 % dengan 15 LPM/ NRM

Assesment Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction - Cardiac arrest
with eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae
Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver
involvement

Planning - Pro intubasi - Code blue


- Inform consent keluarga - Resusitasi jantung paru  EKG : asistol, pupil midriasis maksimal
- Pro CT scan kepala reflek cahaya (-)
- Pasien dinyatakan meninggal dunia pukul 19.50

Hasil Lab - -

Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun


10

II. Analisis Kasus


Pasien datang dengan keluhan mata kuning sejak 4 hari SMRS.
Pasien juga mengatakan warna air kencingnya pekat seperti air teh
namun tidak ada buang air besar seperti dempul. Pasien juga mengeluh
demam dirasakan sejak 7 hari SMRS disertai pusing dan timbul ruam
kemerahan pada kulit, kulit seperti bersisik, terasa gatal dan mengelupas
sejak 4 hari SMRS. Pipi bengkak dan kedua kaki bengkak. Keluhan
disertai batuk berdahak warna kehijauan, dan mual tanpa disertai muntah.
Pasien riwayat ada benjolan di payudara kanan sejak 3 bulan SMRS dan
didiagnosis TB payudaran dan saat ini sedang dalam terapi obat anti
tuberculosis (OAT) sejak 1 bulan SMRS. Riwayat hipertensi, diabetes
mellitus disangkal

Mata kuning atau ikterik adalah tanda yang dijumpai pada sklera yang
menandakan adanya hiperbilirubinemia. Kondisi hiperbilirubinemia atau
jaundice didefinisikan sebagai perubahan warna kuning pada jaringan
tubuh akibat akumulasi bilirubin yang berlebih. Deposit bilirubin hanya
terjadi bila ada kelebihan bilirubin, dan disebabkan akibat peningkatan
produksi atau gangguan ekskresi. Pada kondisi normal, kadar bilirubin
serum kurang dari 1 mg/dL. Gambaran klinis ikterus dengan dijumpai
deposit pada jaringan subkutan seperti kulit, membran mukosa dan sklera
ikterik terjadi ketika kadar bilirubin serum melebihi 3 mg/dl. Apabila kadar
bilirubin serum terus meningkat akan terjadi perubahan warna kulit secara
progresif mulai dari kuning lemon hingga hijau apel, terutama jika
prosesnya berlangsung lama dimana warna hijau disebabkan karena
adanya biliverdin. (Joseph & Samant; Sargent)

Bilirubin memiliki dua komponen: bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin


indirek) dan terkonjugasi (bilirubin direk). Peningkatan salah satu
komponen ini dapat menyebabkan jaundice. Ikterus bertindak sebagai
indikator klinis penting untuk penyakit hati, terlepas dari berbagai
gangguan lainnya. Terdapat beberapa etiologi dari jaundice berdasarkan
11

peningkatan komponen bilirubin yang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
(Joseph & Samant, Vasudevan)

Tabel 2.1 Klasifikasi Jaundice dan Penyebabnya


Tipe Bilirubin Klasifikasi Jaundice Penyebab
Indirek Pre-hepatik atau Eritrosit yang abnormal; antibodi; obat-obatan
hemolitik dan toksin; thalasemia; hemoglobinopati.
sindrom Gilbert;Sindrom Crigler-Najjar
Mixed Hepatik atau Hepatitis virus; hepatitis toksik; kolestasis
hepatoseluler intrahepatik
Direk Post-hepatik Kolestasis ekstrahepatik; batu empedu; tumor
saluran empedu; karsinoma pankreas;
pembesaran kelenjar getah bening di vena
porta hepatitis
Disadur dari Vasudevan

Jaundice yang muncul selama beberapa hari hingga seminggu


berhubungan dengan hepatitis, baik yang disebabkan oleh obat, toksin,
virus atau bakteri (contoh, leptospirosis). (stillman). Pada pasien tidak
didapati keluhan gastrointestinal seperti diare maupun gangguan BAB
namun didapati adanya riwayat penggunaan obat anti tuberculosis (OAT)
sehingga adanya jaundice perlu dipikirkan kemungkinan efek hepatotoksik
dari OAT. (PMK Kemkes)
Pasien juga mengeluhkan buang air kecil nya berwarna seperti air teh
pekat dimana perubahan warna ini disebabkan karena adanya
peningkatan bilirubin direk yang larut dalam air dan diekresikan melalui
urine. Hal ini menunjukkan kemungkinan jaundice karena kerusakan
hepatoseluler/ hepatik dan post-hepatik ataupun obstruksi. (Vasuvedan).
Peningkatan bilirubin ini dapat menimbulkan keluhan mual dan muntah
seperti yang dialami oleh pasien.
Pasien juga mengalami demam sejak 7 hari SMRS. Demam adalah
peningkatan suhu inti tubuh di atas rentang normal yaitu 35,3-37,7°C
dimana terjadi peningkatan set point suhu tubuh yang dipicu oleh
pelepasan pirogen. Demam umunya merupakan tanda dari sebagian
besar infeksi tetapi dapat juga ditemukan pada sejumlah penyakit tidak
12

menular seperti pada keganasan, reaksi obat-obatan, gangguan sistem


saraf pusat (SSP), penyakit inflamasi, penyakit autoimun atau penyakit
lainnya. Pendekatan diagnosis pada demam didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium. Pada demam dengan pertama-
tama diperlukan pendekatan dan evaluasi terarah untuk mencari
penyebab yang mungkin pada pasien ini. (Shuman) Demam dengan
jangka waktu 7 hari digolongkan sebagai demam akut. Pada pasien,
demam terjadi disertai dengan jaundice yang dapat disebabkan oleh
hepatitis akut.
Hepatitis akut adalah peradangan akut parenkim hati atau cedera
pada hepatosit yang mengakibatkan peningkatan fungsi hati. Secara
umum, hepatitis diklasifikasikan sebagai akut berdasarkan durasi
peradangan dan kerusakan parenkim hati. Apabila periode peradangan
atau cedera hepatoseluler berlangsung kurang dari enam bulan, ditandai
dengan normalisasi tes fungsi hati, itu disebut hepatitis akut. Penyebab
infeksi hepatitis akut yang paling sering adalah akibat dari infeksi virus
(hepatitis virus akut). Namun hepatitis akut dapat diakibatkan oleh
berbagai penyebab noninfeksi seperti obat-obatan (hepatitis yang
diinduksi obat), alkohol (hepatitis alkoholik), imunologi (hepatitis autoimun,
kolangitis bilier primer) atau akibat dari gangguan sekunder akibat
disfungsi saluran empedu (hepatitis kolestatik), disfungsi hati terkait
kehamilan, syok atau penyakit metastasis. (Schaefer). Pasien memiliki
riwayat penggunaan OAT yang mempunyai efek hepatotoksik sehingga
perlu dipikirkan kemungkinan hepatitis akibat drug-induced liver injury
(DILI). Penyebab DILI dapat dilihat pada tabel berikut ini.(sandhu and
navaro)
13

Tabel 2.2 Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan hati


Pola kerusakan /perlukaan hati
Hepatoseluler Kolestatik Mixed
Nama High  Asetaminofen(APAP  Amoxicillin/klavulanat  Azathioprine
obat Risk )  Trimethoprim/  Flavacoxib
 Isoniazid sulfamethoxazole  Sulfasalazine
 Makrolides  Steroid yang  Fenitoin
 Minosikline mengan-dung  Carbamazepine
 Nitrofurantoin Anabolik /androgen  Allopurinol
 Anestesi inhalasi  Chlorpromazine  Amiodarone
 Fenitoin  Azathioprine  Fluoroquinolones
 Carbamazepine  Fenitoin
 Asam Valproat  Fluroquinolones
 Sulfonamide  Carbamazepine
 Amiodarone  Amiodarone
Low  Sulfasalazine
 Allopurinol
Risk  NSAIDs
 Fluroquinolones
Disadur dari Naemat Sandhu dkk
Ket : NSAIDs : nonsteroidal anti-inflammatory drugs

Kerusakan atau perlukaan hati ditandai dari hasil penanda biokimia


hati yang abnormal dengan atau tanpa gejala klinis terkait. Penanda
biokimia hati ini membantu dalam deteksi dini, prediksi, dan stratifikasi
risiko kasus dugaan DILI. Roussel Uclaf Causality Assessment Method
(RUCAM) yang diperbarui menggunakan peningkatan alanine
aminotransferase (ALT) >5 kali batas atas normal (BAN) dan/atau alkaline
phosphatase (ALP) >2 kali BAN untuk mengidentifikasi perlukaan hati.
Patogenesis dari DILI adalah adanya kerusakan langsung hepatosit akibat
obat/metabolit nya atau akibat tidak langsung dari respon yang dimediasi
oleh sistem imun yang dapat dilihat pada gambar berikut ini (sandhu and
navaro)
14

Gambar 2.1 Patofisiologi DILI


Dikutip dari Naemat Sandhu dkk

Pada pengobatan OAT seringkali terjadi DILI terutama disebabkan


karena efek hepatotoksik dari isoniazid (INH), rifampicin (RIF) dan
pirazinamid (PZA) yang termasuk dalam lini OAT kategori I yang juga
digunakan pasien ini untuk terapi kasus TB mammae nya.
Hepatotoksiksitas dari INH dan PZA dapat berat dan berlanjut walaupun
sudah dihentikan. Onset ALF akibat INH dan RIF dapat terjadi dalam
waktu 10 hari setelah inisiasi OAT, sedangkan pada PZA berkembang
lebih lama. (Ichai et all)
Pada pasien juga dikeluhkan adanya lesi kulit dimana terdapat
kemerahan pada tubuh disertai dengan bengkak, terasa gatal, kulit
menjadi seperti bersisik dan mengelupas. Pada status dermatologis
pasien didapatkan lesi dengan distribusi generalisata pada perut, leher,
15

lengan kiri dan kanan, tungkai kiri dan kanan, lesi multiple, sebagian
konfluens, bentuk ireguler dengan ukuran 0,2x0,2 cm, Seluas perut kering,
rata dengan permukaan kulit berupa purpura, makula eritema disertai
skuama diaskopi(+) pada bercak merah di lengan. Gambaran kelainan
kulit ini merupakan gambaran eritema multiformis (EM). Eritema
Multiformis adalah sebuah reaksi hipersensitivitas mukokutaneus akut
yang disebabkan oleh berbagai penyebab seperti konsumsi obat-obatan
(erupsi obat) dan oleh beberapa infeksi, khususnya infeksi virus herpes
simplex (70% penyebab pada kasus EM). Pada EM akibat virus herpes
simplex terjadi kerusakan pada sel epitel akibat respon imun seluler
dimana terjadi influks makrofag dan limfosit T CD8, yang melepaskan
berbagai sitokin yang memediasi inflamasi dan mengakibatkan kematian
sel. Pada EM akibat reaksi hipersensitivitas obat, gambaran patologis
diawali dengan nekrosis keratinosit. (Hafsi Badri)
Lesi EM yang dialami oleh pasien baru muncul dalam 7 hari SMRS,
hal ini berimplikasi pada kemungkinan infeksi virus maupun akibat reaksi
hipersensitivitas obat. Obat-obatan yang terkait dengan EM adalah
antibiotik golongan penisilin, sefalosporin, makrolida, sulfonamid, agen
anti tuberkuloid, antipiretik. Namun pada dugaan akibat reaksi
hipersensitivitas obat, onset lesi kulit merupakan onset yang lambat
dikarenakan pasien hanya meminum obat OAT sejak 1 bulan yang lalu
dan pada kecurigaan akibat parasetamol tidak didapatkan riwayat alergi
sehingga dicurigai reaksi hipersensitivitas ini diakibatkan dari OAT yang
sudah diminum sejak 1 bulan yang lalu. Salah satu penyebab lesi kulit
dengan onset lambat dan gambaran menyerupai EM adalah drug
reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). (Blume)
Patogenesis DRESS adalah akibat defisiensi enzim detoksifikasi
akibat genetik yang menyebabkan akumulasi metabolit obat. Selanjutnya
metabolit berikatan kovalen dengan makromolekul sel yang menyebabkan
kematian atau menginduksi respon imun sekunder. Aktivasi eosinofilik dan
kaskade inflamasi diinduksi oleh pelepasan interleukin-5 dari sel T
16

spesifik. Pada pasien ini diagnosis DRESS ditegakkan karena memenuhi


kriteria klasifikasi Registry of Severe Cutaneous Adverse Reactions
(RegiSCAR) dimana memenuhi lima dari enam kriteria utama yaitu : (i)
demam >38 °C, (ii) eosinofilia: > 20%, (iii) keterlibatan kulit (luasnya ruam
kulit), (iv) keterlibatan organ (hati), dan (v) eksklusi potensi penyebab lain
kecuali kriteria ke (vi) yaitu resolusi dalam > 15 hari Atau adanya 7 kriteria
dari Japanese group’s criteria for DRESS/DIHS yang dapat dilihat pada
tabel berikut ini (Blume, Choudary)

Tabel 2.3 Kriteria DRESS menurut RegiSCAR dan Japanese group’s


RegiSCAR Japanese group’s criteria
Hospitalisasi Ruam maculopapular yang terjadi > 3
minggu setelah meminum obat yang
dicurigai
Tersangka reaksi terkait obat Gejala menetap 2 minggu setelah
menghentikan obat yang dicurigai
Ruam/rash akut Demam > 38 °C
Demam > 38 °C* Gangguan fungsi hati (kadar Alanin
aminotransferase > 1000 u/L)
Pembesaran kelenjar getah bening ≥2 Leukositosis
lokasi*
Keterlibatan organ min 1 organ* Hitung jenis leukosit abnormal
Hitung jenis leukosit abnormal* Limfosit atipik (>5%)
Limfositosis atau limfopenia Eosinofilia (> 1,5x109/L)
Eosinofilia Limfadenopati
Trombositopenia Reaktivasi Human Herpes 6
Ket : RegiSCAR : 3 dari 4 kriteria dengan tanda *; Japanese group’s criteria : adanya min. 7 kriteria
Disadur dari : Choudhary et all

Pasien juga mengalami gangguan kesadaran pada hari ke 4 perawatan


yaitu mulai gelisah dan terjadi koma pada hari perawatan ke 5. Gangguan
kesadaran dapat didefinisikan sebagai berkurangnya kewaspadaan,
kemampuan untuk menanggapi rangsangan, atau kesadaran akan diri
sendiri dan lingkungan. Sedangkan penurunan / hilangnya kesadaran
adalah gangguan kesadaran dimana refleks protektif hilang dan respons
terhadap sensori juga hilang. Penurunan kesadaran .umumnya
disebabkan oleh gangguan sementara atau permanen baik reticular
activating system (RAS) di batang otak, kedua hemisfer otak, atau
17

thalamus. Penyebab penurunan kesadaran dibedakan menjadi kelainan


struktural lokal di otak atau kelainan sistemik. Penurunan kesadaran
meliputi koma, keadaan vegetatif dan minimally conscious state yang
ditandai oleh penurunan kesadaran dimana pasien tetap bangun namun
dengan kesadaran yang partial/ berkurang. Koma adalah keadaan tidak
sadar yang dalam dan biasanya dapat persisten dimana pasien tidak
responsif bahkan dengan rangsangan yang kuat. Penurunan kesadaran
dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang
awalnya dibuat untuk menilai penurunan kesadaran akibat traumatis.
Skala ini terkait Glasgow Outcome Scale (GOS), pada koma didapatkan
skor yang lebih rendah pada GCS dan berimplikasi prognosis serta hasil
outcome yang buruk pada GOS. (Bauer ; Eapen)
Patofisiologi terjadinya penurunan kesadaran disebabkan oleh tiga
mekanisme utama adalah lesi otak struktural, disfungsi saraf difus
sekunder akibat gangguan sistemik, dan penyebab yang jarang yaitu
psikiatri. (Bauer) Etiologi dan diagnosis banding dari penurunan
kesadaran dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 2.4 Diagnosis banding penurunan kesadaran


Neurologikal Metabolik Disfungsi saraf difus Psikiatri
- Stroke Iskemik - Hipoglikemia - Kejang - Koma psikiatri
- Perdarahan - Hiperglikemia - Intoksikasi alcohol - Malingering
intraserebral - Hiponatremia - Intoksikasi opioid
- Perdarahan - Hypernatremia - Overdosis obat
subarachnoid - Hiperkalsemia - Keracunan
- Perdarahan subdural - Krisis Addison - Hipotermia
- Tumor otak - Hipotiroidism - Sindrom neuroleptik
- Limfoma serebri - Uremia maligna
- Metastasis otak - Hiperkapnia - Sindrom serotonin
- Infeksi susunan - Sepsis
saraf pusat - Ensefalopati
- Abses serebri
- Edema serebri
- Hidrosefalus
- PRES
- Trauma
Disadur dari : Cooksley and Holland
18

Pada pasien ini penurunan kesadaran yang paling mungkin adalah


akibat metabolik dan disfungsi saraf difus yaitu ensefalopati hepatik dan
hipoglikemia. Ensefalopati hepatik adalah spektrum kelainan neuropsikiatri
pada pasien dengan disfungsi hati, setelah menyingkirkan kemungkinan
kelainan struktural ataupun penyakit susunan saraf pusat. Ensefalopati
hepatik ditandai dengan perubahan kepribadian, gangguan intelektual,
dan penurunan tingkat kesadaran. Ensefalopati hepatic yang terjadi
bersamaan dengan disfungsi hepatik akut yang berat, merupakan tanda
gagal hati akut/acute liver failure (ALF). (Wolf David)
Patogenesis ensefalopati pada ALF mirip dengan sirosis, namun
edema otak lebih menonjol pada ALF daripada pada sirosis. Edema otak
pada ALF diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas sawar otak,
gangguan osmoregulasi di otak, dan peningkatan aliran darah otak.
Edema otak yang terjadi berpotensi fatal.(Wolf David)
Gagal hati akut adalah kondisi kerusakan fungsi hati yang cepat,
menyebabkan koagulopati, (rasio normalisasi internasional (INR) > 1,5),
dan perubahan status mental dari individu yang sebelumnya sehat.
Kondisi ini cukup jarang terjadi namun sering terjadi orang muda dan
motalitasnya sangat tinggi. Gagal hati akut mencakup gagal hati fulminan
dan gagal hati subfulminan (atau gagal hati onset lambat). Gagal hati
fulminan terjadi bila ensefalopati terjadi dalam waktu 8 minggu dari pasien
yang sebelumnya sehat sedangkan gagal hati subfulminan apabila
ensefalopati terjadi hingga 26 minggu. Gejala dan tanda dari ALF adalah
(1) Ensefalopati; (2) Edema serebri; (3) Jaundice: sering dijumpai namun
tidak mutlak; (4) Ascites; (5) Nyeri tekan kuadran kanan atas; (6)
Perubahan ukuran hati: dapat mengecil karena nekrosis hati atau mungkin
membesar seperti pada hepatitis virus, gagal jantung, atau sindrom Budd-
Chiari; (7) Hematemesis-melena; (8) Hipotensi dan takikardia akibat
penurunan resistensi vaskular sistemik.(Sood)
Awalnya gejala pada ALF tidak spesifik seperti kelelahan, lesu,
19

mual/muntah, anoreksia, pruritus, nyeri kuadran kanan atas, dan distensi


abdomen akibat asites. Setelah gagal hati berlanjut, pasien mengalami
jaundice dan gangguan status mental (ensefalopati) yang dinilai
berdasarkan tingkat keparahan pada skala dari 0 hingga IV. Grading
ensfalopati hepatik berdasarkan West Haven Criteria dapat dilihat pada
tabel berikut ini (Maher)

Tabel 2.5 Grading ensefalopati hepatik (HE) berdasarkan West Haven


Criteria
Grade Keterangan
Covert 0 Minimal HE Tidak ada manifestasi klinis
I HE ringan Kurang perhatian/ atensi, euforia/
kecemasan, perubahan pola tidur, penurunan
ambang perhatian/atensi
Overt II HE sedang Kelesuan, perubahan perilaku, disorientasi
waktu, asteriksis, perubahan kepribadian,
Deep Tendone Reflex hipoaktif
III HE Berat Somnolen sampai semistupor, responsif
terhadap rangsangan, disorientasi waktu dan
tempat, asteriksis, Deep Tendone Reflex
hiperaktif
IV Koma Hepatik Koma
Disadur dari Ohnemus

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai ikterus, nyeri pada kuadran


kanan atas abdomen, hepatomegali, asites, dan tanda deplesi volume
intravascular seperti hipotensi ortostatik. Langkah terpenting dalam
penilaian pasien ALF adalah mengidentifikasi penyebab karena kondisi
tertentu memerlukan pengobatan segera dan spesifik serta
mempengaruhi prognosis. Hepatitis virus dan hepatitis akibat obat adalah
2 penyebab paling umum ALF di seluruh dunia. Patofisiologi ALF
bergantung pada etiologinya. Pada sebagian besar kasus ALF akan
terjadi nekrosis hepatosit masif dan/atau apoptosis yang berujung pada
gagal hati. Nekrosis hepatosit terjadi karena deplesi ATP yang
menyebabkan pembengkakan sel dan gangguan membran sel.
Patofisiologi edema serebral dan ensefalopati hepatik yang terlihat pada
20

ALF adalah multi-faktorial yang meliputi perubahan sawar darah-otak


(Blood brain barrier (BBB)) sekunder terhadap mediator inflamasi yang
menyebabkan aktivasi mikroglial, akumulasi glutamin sekunder terhadap
amonia yang melintasi BBB dan stres oksidatif berikutnya yang mengarah
ke penipisan adenosin trifosfat (ATP) dan guanosin trifosfat (GTP) yang
akhirnya menyebabkan pembengkakan astrosit dan edema serebral.(shah
et all)
Pada ALF dengan klinis maupun laboratoris menunjukan hepatitis akut
dengan klinis sedang sampai berat harus dilakukan pengukuran waktu
protrombin (PT) dan evaluasi status mental secara cermat. Selain INR
meningkat ≥ 1,5, sering terjadi peningkatan bilirubin dan
aminotransferase, trombositopenia, anemia, hipoglikemia, peningkatan
amonia dan gambaran cedera ginjal akut (dengan peningkatan kreatinin
serum), dan gangguan elektrolit (hipokalemia, hipofosfatemia). Selain itu
ALF dapat menimbulkan komplikasi yaitu : (Maher)
1. Edema serebri
Edema serebri disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), yang pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan perfusi.
Edema serebri memiliki mortalitas 80% pada ALF. Kondisi ini perlu
dicurigai apabila terjadi ensefalopati hepatic, hipertensi sistemik,
bradikardia, dan gangguan depresi pernapasan, yang dikenal sebagai
triad Cushing.
2. Infeksi
Pasien ALF berada pada peningkatan risiko infeksi bakteri dan jamur
akibat disfungsi imun, karena hati berperan dalam fungsi leukosit,
makrofag, dan sistem komplemen. Risiko infeksi semakin meningkat
dengan adanya disfungsi multi-organ, peradangan sistemik.
3. Koagulopati dan perdarahan
Kondisi ini disebabkan karena sintesis dari faktor koagulasi menurun
tapi terjadi konsumsi faktor pembekuan dan trombosit. Meskipun
terjadi peningkatan INR, hemostasis keseluruhan normal karena
21

beberapa mekanisme kompensasi. Selanjutnya juga terjadi


berkurangnya sintesis prokoagulan (misalnya, protein C dan protein S)
yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostasis, terjadi disfungsi
trombosit kualitatif dan kuantitatif,penurunan faktor II, V, VII, IX, X,
serta fibrinogen. Selain itu terjadi peningkatan kadar kompleks
trombin-antitrombin III, sehingga koagulasi intravaskular diseminata
(DIC) dapat terjadi.
4. Gagal ginjal
Terjadi pada 56 - 70% pasien ALF dan berkontribusi terhadap
kematian serta prognosis yang lebih buruk. Kerusakan yang terjadi
multifaktorial, termasuk azotemia prerenal (penurunan asupan oral,
muntah, diare,
sepsis, iskemia) serta toksisitas ginjal akibat obat (asetaminofen,
diuretik, aminoglikosida, dan lain sebagainya). Sindrom hepatorenal
dapat terjadi pada ALF.
5. Komplikasi kardiopulmonal
Terjadi akibat gangguan hemodinamik pada ALF, resistensi vascular
sistemik rendah dan vasodilatasi sistemik, yang mengakibatkan
hipotensi dan kegagalan sistem multiorgan. Pada komplikasi pulmonal
dapat terjadi atelektasis, aspirasi, perdarahan paru, dan sindrom
distres pernapasan akut
6. Gangguan asam basa dan metabolisme.
Pada ALF terjadi beberapa gangguan metabolik seperti alkalosis pada
tahap awal dan asidosis metabolik pada tahap akhir akibat asidosis
laktat. Hiponatremia sering juga terjadi karena hipoperfusi jaringan,
antidiuretik, pelepasan hormone antidiuretik, dan gangguan fungsi
ginjal. Hipoglikemia terjadi akibat gangguan glukoneogenesis serta
penipisan simpanan glikogen hati. Selain itu dapat terjadi gangguan
elektrolit seperti kalsium, kalium, fosfat, dan magnesium.

Pada pasien juga mengalami hipoglikemia yang dapat terjadi


22

sebagai komplikasi dari ALF. Hipoglikemia ini dapat berkontribusi


dalam perubahan status mental, dan dapat mengaburkan tingkat
sebenarnya dari ensefalopati hepatik. Seperti yang sudah diketahui
bahwa hati sangat penting dalam metabolisme karbohidrat dan lipid.
Sekitar 30-60% karbohidrat yang dicerna diambil hati dan disimpan
sebagai glikogen. Selain itu hati berperan sebagai "buffering organ"
dalam metabolisme karbohidrat untuk menjaga kadar glukosa darah
dalam keadaan fisiologis. Mekanisme dari hipoglikemia pada ALF
meliputi 2 mekanisme yaitu: (1) gangguan glukoneogenesis pada
hati yang cedera pada ALF; dan (2) penurunan ambilan insulin oleh
hepatosit akibat resistensi insulin. Hal ini selanjutnya meningkatkan
kadar insulin dalam darah perifer (hiperinsulinemia) yang
mengakibatkan hipoglikemia. (Tsukamoto, Murali & Munon).
Mekanisme terjadinya hipoglikemia pada ALF pada dasarnya mirip
dengan pada kondisi sirosis karena disebabkan karena kerusakan
hepatosit yang menghasilkan jumlah hepatosit yang berkurang,
mekanisme tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.2 Mekanisme hipoglikemia pada acute liver failure dan sirosis
Disadur dari Garcia
23
III. Analisis Hasil Laboratorium

Pada hari pertama perawatan pasien didapatkan kadar


hemoglobin rendah (11,2 g/dL), hematokrit (34,5%), eritrosit
(3,87 juta/µL), MCV (89,2 fL), dan MCH (29,1 pg). Hasil
morfologi darah tepi didapatkan normokrom anisopoikilositosis
pada eritrosit. Anemia merupakan suatu kondisi jumlah
eritrosit tidak mencukupi kebutuhan tubuh sehingga terjadi
penurunan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen.
Anemia dapat disebabkan karena penurunan hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah eritrosit.27 Klasifikasi anemia menurut
WHO dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Klasifikasi Anemia Menurut WHO


Anemia (g/dL)
Populas Ringan Sedang Berat
i
Umur 6-59 bulan 10-10,9 7,0-9,9 <7,0
Umur 5-11 tahun 11,0- 8,0-10,9 <8,0
11,4
Umur 12-14 tahun 11,0- 8,0-10,9 <8,0
11,9
Wanita tidak hamil (≥ 15 tahun) 11,0- 8,0-10,9 <8,0
11,9
Wanita hamil 10,0- 7,0-9,9 <7,0
10,9
Laki-laki (≥15 thn) 11,0- 8,0-10,9 <8,0
12,9
Disadur dari:
WHO27
Pada pasien ini dikategorikan anemia ringan normokrom
normositer, kemungkinan disebabkan adanya inflamasi.
Pemantauan kadar hemoglobin pasien selama perawatan
ditunjukkan pada Grafik 3.1.

Hemoglobin (g/dL)
18

16

14

11,7
12 10,7 10,8 10,9
10,1
10 11,2 11,2

6
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 5 Hari 7 Hari 8 Hari 9

Hemoglobin (g/dL)

Grafik 3.1 Kadar Hb Pasien


Selama Perawatan

Pada penyakit Grave’s, anemia yang terjadi memiliki kadar


MCV yang normal sampai rendah. Sedangkan kadar Fe pada
penyakit Grave’s seringkali menunjukkan nilai dalam batas
normal. Kadar eritropoietin pada penyakit Grave’s
menunjukkan dalam batas normal dengan sumsum tulang
yang hiperselular atau normoselular dan cadangan zat besi
dalam jumlah normal. Penyebab anemia pada penyakit
Grave’s belum jelas, namun kemungkinan disebabkan karena
adanya eritropoiesis inefektif pada sumsum tulang yang
hiperselular akibat keadaan hipertiroid sehingga
menyebabkan nilai MCV rendah. Anemia yang terjadi pada
sumsum tulang dapat disebabkan karena sekuestrasi eritrosit
oleh limpa untuk mengurangi eritrosit karena reaksi autoimun
atau karena adanya disfungsi dari hematopoietic stem cell,
sehingga menghasilkan eritrosit yang berukuran kecil
sehingga nilai MCV menjadi rendah.28
Pada pemeriksaan hematologi pada hari pertama
perawatan didapatkan jumlah leukosit yang tinggi
(15.640/mm3). Peningkatan jumlah leukosit pada pasien ini
diakibatkan oleh infeksi bakteri yang terjadi pada paru-paru.
Leukositosis merupakan salah satu parameter laboratorium
yang mendukung diagnosis CAP. Selain keadaan leukositosis,
pemeriksaan kultur dan Gram sputum juga diperlukan dalam
mendiagnosis CAP.22,23 Pemeriksaan kultur yang
direkomendasikan adalah sebelum pemberian antibiotik.26
Pada pasien ini, kultur sputum diperiksa pada perawatan hari
ketiga setelah pemberian antibiotik di hari kedua perawatan.
Dari hasil kultur sputum pasien ditemukan Streptococcus
pneumoniae. Patogen penyebab CAP yang terbanyak adalah
Streptococcus pneumoniae yaitu sebanyak 42%. Faktor
predisposisi yang paling penting pada CAP akibat S.
pneumoniae adalah respon imun pasien terhadap S.
pneumoniae. Pada keadaan pasien dengan respon imun yang
baik, sistem imun dapat melakukan klirens dari patogen
seperti S.pneumoniae sebelum patogen tersebut
menimbulkan suatu gejala atau menginfeksi tubuh. Usia
memegang peranan penting pada sistem imun dalam
mengeliminasi infeksi dari S. pneumoniae. Sehingga pasien
anak-anak dan orang tua (>50 tahun) memiliki risiko lebih
tinggi mengalami infeksi karena S. pneumoniae.37
Hasil pemeriksaan jumlah trombosit pasien selama dirawat
sejak hari pertama selalu rendah, hal ini dikarenakan proses
inflamasi yang terjadi. Proses imunogenik pada Grave’s
disease menyebabkan umur trombosit memendek. Pada
keadaan tirotoksikosis, masa hidup komponen darah
berkurang akibat efek hormon tiroid dengan mekanisme β-
adrenergik atau dengan stimulasi sistem retikulo-endotel.
Tirotoksikosis mungkin secara langsung menekan
hematopoiesis di sumsum tulang. Pada beberapa kasus
thyroid storm, jumlah trombosit akan meningkat secara
bertahap ketika fungsi tiroid kembali normal, menunjukkan
bahwa efek langsung dari hormon tiroid pada umur sel darah
kemungkinan menjadi mekanisme yang mendasari terjadinya
trombositopenia pada tirotoksikosis.5,29 Pemantauan jumlah
trombosit pasien selama perawatan ditunjukkan pada Grafik
3.2.
Trombosit (/mm3)
450.000
400.000

350.000

300.000

250.000

200.000
150.000
14500 146000
0
129.000 134000 141000 143000
100.000
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 5 Hari 7 Hari 8 Hari 9

Trombosit
(/mm3)

Grafik 3.2 Jumlah Trombosit Pasien Selama Perawatan

Interpretasi analisis gas darah pasien adalah alkalosis


respiratorik kompensasi sebagian dengan hiperoksemia dan
saturasi oksigen tinggi. Kondisi alkalosis respiratorik
menyebabkan ketidakseimbangan pH. Rentang pH normal
adalah 7,35- 7,45 dan pH pasien adalah 7,524 sehingga pH
pasien adalah basa (alkalosis). Alkalosis respiratorik adalah
kondisi pH tubuh diatas 7,45 yang disebabkan gangguan pada
pernapasan. Sistem pH buffer tubuh adalah HCO3/CO2 yang
didapatkan dari keseimbangan berikut ini:
H + HCO3 ↔ H2CO3 ⇌ CO2 + H2O
Bikarbonat (HCO3) berfungsi sebagai komponen basa
sedangkan karbondioksida (CO2) berfungsi sebagai
komponen asam sehingga peningkatan HCO3 atau penurunan
CO2 akan membuat darah lebih alkalosis. Karbondioksida
pasien di bawah nilai normal yaitu 27,0 mmHg sehingga darah
pasien lebih alkalosis. Kadar CO2 diatur oleh sistem
pernapasan melalui proses respirasi, sedangkan kadar HCO3
diatur oleh sistem ginjal melalui proses reabsorpsi; penurunan
kadar CO2 pada alkalosis respiratorik akibat proses
hiperventilasi.18
Hiperventilasi dapat diakibatkan oleh gangguan sistem
sentral, kondisi hipoksemia, gangguan pada traktus
respiratorius serta iatrogenik pada pasien yang dipasang
ventilator. Gangguan sistem sentral dapat diakibatkan oleh
kondisi hipertiroid. Gangguan pada traktus respiratorius dapat
diakibatkan oleh pneumonia. Pasien mengalami kondisi
hipertiroid disertai CAP sehingga terjadi hiperventilasi dan
penurunan kadar CO2. Dapat terjadi kompensasi metabolik
oleh ginjal terhadap kondisi alkalosis respiratorik yang terjadi
dengan menurunkan kadar HCO 3 bila kondisi ginjal baik.
Kadar bikarbonat pasien di bawah nilai normal yaitu 17,3
mmol/L, namun perubahan pH tidak mencapai normal,
sehingga kondisi pasien termasuk ke dalam alkalosis
respiratorik kompensasi sebagian.18
Kadar kreatinin yang meningkat pada pasien yaitu 1,27
mg/dL. Terjadi hiperkatabolisme protein pada otot akibat
pengaruh dari hormon tiroid. Hormon tiroid meningkatkan
aktivitas pelepasan asam amino melalui proteolisis serat otot
sehingga terjadi peningkatan kadar kreatinin di sirkulasi.4
Pada hari ketiga perawatan, terdapat penurunan kalium
dari 4,1 mEq/L pada hari kedua perawatan; menjadi 3,3
mEq/L. Kation utama intraselular adalah kalium, yang
berperan dalam regulasi keseimbangan cairan, homeostasis
asam basa, dan konduksi elektrik pada otot.32 Kondisi
hipokalemia pada pasien ini dapat disebabkan oleh pemberian
deksametason dan kondisi paralisis periodik hipokalemia yang
dapat terjadi pada keadaan tirotoksikosis. Kortikosteroid
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan
peningkatan ekskresi kalium dan hidrogen di dalam tubulus
ginjal, sehingga kadar kalium intravaskular menurun. 33 Pasien
ini mendapatkan terapi deksametason sejak hari pertama dan
pada hari keempat terapi deksametason dihentikan karena
terjadi hipokalemia. Pada kondisi tirotoksikosis dapat terjadi
paralisis periodik hipokalemia. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan aktivitas Na/K-ATPase oleh β-adrenergik
sehingga terjadi penurunan efluks kalium dan terjadi inaktivasi
channel natrium; kalium tetap berada pada intraseluler
sehingga terjadi hipokalemia kemudian terjadi depolarisasi
paradoksikal sel otot. Depolarisasi paradoksikal ini
menyebabkan kelemahan otot hingga paralisis.24,25
Pemeriksaan elektrolit pada pasien ini pada hari pertama
perawatan menunjukkan keadaan hiponatremia (133 mEq/L).
Penyebab terjadinya hiponatremia salah satunya adalah
inflamasi, yang pada pasien ini dapat disebabkan karena CAP
maupun Grave’s disease. Pada proses inflamasi, sitokin
proinflamasi disekresikan ke dalam sirkulasi termasuk
interleukin-6 (IL-6). Interleukin-6 merangsang kelenjar pituitari
posterior mensekresikan vasopresin yang berperan dalam
homeostasis cairan., sehingga volume plasma meningkat
akibat terganggunya ekskresi cairan dan menyebabkan
terjadinya hiponatremia.21
Peningkatan kadar glukosa sewaktu pada pasien ini
disebabkan karena peningkatan metabolisme basal.
Peningkatan metabolisme basal menyebabkan aktivasi proses
glikogenolisis di hepar dan lipolisis yang akan menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar glukosa, asam lemak dan laktat
di sirkulasi.12,22 Hormon tiroid juga mengaktivasi sistem
adenilat siklase dan meningkatkan cyclic adenosine
monophosphate (AMP) yang menginduksi metabolisme sel
dan memproduksi kondisi hipermetabolik.11
Pada hari kedua perawatan hasil laboratorium pemeriksaan
tiroid pasien didapatkan T3 2,5 ng/mL (N: 0,8-2 ng/mL), fT4
5,1 ng/dL (N: 0,8-1,7 ng/dL), dan TSH < 0,02 uIu/mL (N: 0,3-
5,0 uIu/mL). Peningkatan kadar T3 dan fT4 disertai kadar TSH
rendah menunjukkan keadaan hipertiroid pada pasien. Pasien
belum pernah berobat sebelumnya dan tidak dilakukan
pemeriksaan kembali terhadap hormon tiroid setelah
pemberian terapi selama perawatan.
Kelenjar tiroid berfungsi mensekresikan jumlah hormon
tiroid yang cukup, terutama T4 sebanyak 85 % yang dikonversi
menjadi T3 melalui 5-monodeiodinasi di liver, ginjal dan otot
skelet. Pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid dipengaruhi
oleh Hypothalamic-Pituitary-Thyroid axis (HPT axis), dimana
Hypothalamic Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus
akan merangsang sintesis dan pelepasan TSH, yang
kemudian memicu sekresi hormon tiroid dan pertumbuhan sel-
sel oleh kelenjar tiroid.9 Mekanisme Hypothalamic-Pituitary-
Thyroid axis dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini:
Increased metabolism

Gambar 3.1 Mekanisme Umpan Balik Hypothalamic-Pituitary-


Thyroid Axis
Dikutip dari : G Boran30

Pada pasien ini ditemukan kadar hormon tiroid yang tinggi


dan TSH yang rendah, pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang menunjang ke arah hipertiroid, maka pasien ini
didiagnosis struma difusa toksik. Struma pada tiroid dibedakan
menjadi 2, yaitu toksik dan non toksik. Struma toksik adalah
keadaan dimana terjadi pembesaran kelenjar tiroid disertai
adanya gejala hipertiroidisme. Sedangkan struma non toksik
adalah keadaan dimana terjadi pembesaran kelenjar tiroid
tanpa disertai gejala hipertiroidisme. Hipertiroid adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan kadar hormon tiroid yang
dapat disebakan karena peningkatan sintesis dari hormon
tiroid. Manifestasi klinis dari hipertiroid bervariasi mulai dari
asimptomatik sampai dengan gejala berat seperti krisis tiroid.
Diagnosis hipertiroid dikonfirmasi dengan pemeriksaan TSH,
fT4 dan T3.10,12 Kadar hormon tiroid yang tinggi dan kadar TSH
yang rendah menunjukkan kondisi kelenjar tiroid yang
hiperaktif pada hipertiroid primer, sedangkan kadar hormon
tiroid yang tinggi
disertai kadar TSH yang tinggi terjadi pada hipertiroid sekunder.8,14
Saat kadar TSH rendah maka kadar fT4 akan tinggi pada
hipertiroid. Kadar TSH yang rendah disertai kadar fT4 dan T3
yang normal menunjukkan keadaan hipertiroid subklinis.8
Peningkatan kadar T3 dan T4 dengan kadar TSH rendah dapat
diakibatkan
oleh adanya hormon tiroid ektopik atau akibat kerusakan
parenkim tiroid pada tiroiditis baik yang disebabkan oleh
autoimun maupun infeksi virus sehingga terjadi pelepasan
hormon tiroid akan memperlihatkan uptake iodin radioaktif
yang rendah atau normal oleh sel tiroid. Kemudian dilakukan
pemeriksaan tiroglobulin antibodi (TgAb). Autoimmune thyroid
diasease berkaitan dengan adanya anti-thyroid antibodies
yaitu TSH receptor antibody (TRAb), tiroid peroksidase
antibodi (TPOAb), dan tiroglobulin antibodi (TgAb).10 Akses
TRAb terhadap TSH receptor tanpa merusak tirosit, akses
TPOAb terhadap TPO terjadi setelah kerusakan tirosit dan
akses TgAb terhadap Tg terjadi dengan atau tanpa kerusakan
tirosit. Kadar TRAb yang tinggi >85% terdapat pada Grave’s
disease, kadar TgAb yang tinggi
>85% terdapat pada tiroiditis Hashimoto dan kadar TPOAb
yang tinggi terdapat pada tiroiditis Hashimoto dan Grave’s
disease.8,10 Pasien tidak diperiksa panel laboratorium untuk
tiroid autoimun. Untuk menegakkan diagnosis hipertiroidisme,
perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4
bebas, dan iodine radioaktif seperti pada gambar algoritma
hipertiroid sebagai berikut di bawah ini.
Gambar 3.2 Algoritma Diagnosis Hipertiroid
Dikutip dari : Ghandour 31

Pemeriksaan parameter C-reactive protein (CRP), feritin,


dan prokalsitonin dilakukan pada pasien ini karena ketiga
parameter ini merupakan acute phase reactant. Terjadi
peningkatan pada ketiga parameter ini di mana kadar CRP
kuantitatif 5,72 mg/dL, prokalsitonin 9,13 mg/dL, feritin 368,2
mg/dL. Penyakit kardiovaskular sering disertai dengan
peningkatan beberapa acute phase reactant seperti CRP dan
ferritin.34 Parameter CRP berperan penting dalam proses
inflamasi pada penyakit kardiovaskular seperti pada thyroid
heart disease yaitu dalam pelepasan sitokin proinflamasi,
ekspresi monocyte chemotactic protein-1, intercellular
adhesion molecule-1, dan vascular cellular adhesion
molecule-1. Sedangkan prokalsitonin merupakan reaktan fase
akut yang berperan khususnya pada infeksi bakterial. Kadar
prokalsitonin 2-10 ng/mL menunjukkan adanya infeksi sistemik
khususnya bakterial. Peningkatan kadar prokalsitonin pada
pasien ini disebabkan karena pneumonia akibat infeksi
bakteri. Penelitian kadar prokalsitonin lebih dari 5 ng/mL
menunjukkan 65-70% kemungkinan pneumonia akibat bakteri
34-36
IV. SIMPULAN
Seorang pria (56 tahun) datang dengan keluhan sesak
napas disertai batuk berdahak putih kekuningan sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dan menjadi
lebih berat sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan timbul setelah
aktivitas berat sejak 2 bulan terakhir. Pasien lebih nyaman
tidur dengan dua bantal. Pasien mengaku terdapat riwayat
demam 1 hari SMRS namun tidak diukur suhu tubuhnya.
Sejak 1 tahun SMRS, pasien merasa lebih cepat lelah, tangan
gemetar, badan sering berkeringat, dan lebih nyaman berada
di tempat dingin. Pasien mengeluhkan penurunan berat badan
10 kg dalam 6 bulan terakhir. Keluhan berdebar mulai
dirasakan pasien sejak 1 tahun SMRS, berdebar dirasakan
hilang timbul, muncul terutama saat aktivitas, namun
berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh terdapat
benjolan pada leher sebelah kanan sejak 1 tahun SMRS
namun tidak berobat. Pasien diketahui menderita hipertiroid
sejak 2 minggu SMRS namun pasien tidak membawa hasil
laboratoriumnya. Pasien juga mengeluh terdapat mata
menonjol dan riwayat darah tinggi dikatakan oleh dokter sejak
1 tahun yang lalu. Pasien belum pernah berobat rutin untuk
keluhannya. Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki
keluhan yang sama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan denyut
nadi dan respirasi, exoftalmus. Teraba pembesaran kelenjar
tiroid berukuran diameter 4x2 cm, permukaan rata, kenyal,
tidak teraba nodul dan ikut bergerak saat menelan, nyeri
tekan, bruit (+). Terdapat kardiomegali dan ronchi pada paru
sebelah kanan. Berdasarkan penilaian kriteria Burch-
Wartofsky pada pasien ini didapatkan skor 50 (thyroid storm).
Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kadar fT4 dan
T3 disertai penurunan kadar TSHS. Terdapat leukositosis.
Pasien menderita anemia sedang dengan normokrom
anisopoikilositosis pada sediaan apus darah tepi. Pasien
mengalami hiponatremia, dan hipokalemia. Pasien ini
didiagnosis awal Thyroid Heart Disease (Decompensatio
Cordis Fc II) + Struma Difusa Toksik dengan Thyroid Storm
ec. Grave’s Disease +Community Acquired Pneumonia.
Pasien dipulangkan pada hari ke-10 perawatan dalam
keadaan perbaikan. Pasien didiagnosis akhir Thyroid Heart
Disease (Decompensatio Cordis Fc II) + Struma
Difusa Toksik dengan Thyroid Storm ec. Grave’s Disease
(perbaikan) + Community Acquired Pneumonia (perbaikan).

V. PERMASALAHAN
 Tidak dilakukan pemeriksaan T3, T4,TSHs setelah pemberian
PTU
 Tidak dilakukan pemeriksaan yang menunjang ke arah tiroid
autoimun.
 Tidak dilakukan pemeriksaan sidik tiroid
 Pemeriksaan kultur sputum dilakukan setelah pemberian
antibiotik.
 Tidak dilakukan pemeriksaan AGD untuk peninjauan
kembali keadaan pasien.
 Pemeriksaan kreatinin tidak diperlukan pengulangan
terus-menerus karena tidak ditemukan tanda-tanda
adanya gangguan ginjal.

VI. SARAN
 Pemeriksaan pemeriksaan T3, T4,TSHs kembali
pasca pemberian PTU 4- 6 minggu.
 Pemeriksaan TSH-R, Anti TPO, Anti Tg saat awal masuk
rumah sakit.
 Pemeriksaan radio-active iodine uptake (RAIU) atau
pemeriksaan sidik tiroid untuk melihat aktivitas sel
tiroid dalam menangkap iodium.
 Pemeriksaan kultur sputum dilakukan sebelum
pemberian antibiotik pada hari pertama perawatan.
 Pemeriksaan AGD sebelum pasien pulang.
36

Skema Analisis Kasus


DAFTAR
PUSTAKA

1. Klein I, Danzi S. Thyroid Disease and the Heart.


Circulation. 2007;116:1725-35.
2. Tae Jung Kim HSL, Je-Young Shin, Dong-Gun Kim, Sung-
Min Kim, Jung- Joon Sung, Kwang-Woo Lee. A Case of
Thyrotoxic Myopathy with Extreme Type 2 Fiber
Predominance. Experimental Neurobiology.
2013;22(3):232-4.
3. Stassi G, De Maria R. Autoimmune thyroid disease: new
models of cell death in autoimmunity. Nature Reviews
Immunology. Review Article. 2002 03/01/online;2:195.
4. Tae Jung Kim HSL, Je-Young Shin, Dong-Gun Kim, Sung-
Min Kim, Jung- Joon Sung, Kwang-Woo Lee. A Case of
Thyrotoxic Myopathy with Extreme Type 2 Fiber
Predominance. Experimental Neurobiology.
2013;22(3):232-4.
5. Tokushima Y, Sakanishi Y, Nagae K, Tokushima M, Tago
M, Tomonaga M, Yoshioka T, Hyakutake M, Sugioka T,
Yamashita SI. Thyroid storm complicated by bicytopenia
and disseminated intravascular coagulation. The American
journal of case reports. 2014;15:312.
6. P Crooks J, Murray C, Wayne E. Statistical Methods
Applied To The Clinical Diagnosis of Thyrotoxicosis.
Quarterly Journal of Medicine. 1959;28:211-34.
7. Harrison TR, Resnick WR, Wintrobe MM, Thorn GW,
Adams RD, Beeson PB, et al. Harrison's Principle of
Internal Medicine. Dalam: Michaud GE, Stevenson WG,
editor. Edisi ke-19. United States of America: McGraw-Hill
Companies; 2015. hlm. 1476-89, 2293-9.
8. Laurence M. Demers CS. The Thyroid: Pathophysiology
and Thyroid Function Testing. Dalam: Carl A. Burtis ERA,
David E. Bruns, editor. Tietz Textbook of Clinical Chemistry
and Molecular Diagnostics Fourth Edition. USA: Elsevier
Saunders; 2006. hlm. 1053-2087.
9. Endocrinology TISo. Task Force on Thyroid Diseases.
Journal of the ASEAN Federation of Endocrine Societies.
2012;27(1):1-5.
10. Eleonore Fröhlich RW. Thyroid Autoimmunity: Role of Anti-
thyroid Antibodies in Thyroid and Extra-Thyroidal Diseases.
Frontiers in Immunology. 2017;8:1-16.
11. Tae Jung Kim HSL, Je-Young Shin, Dong-Gun Kim, Sung-
Min Kim, Jung- Joon Sung, Kwang-Woo Lee. A Case of
Thyrotoxic Myopathy with

37
38
12

Extreme Type 2 Fiber Predominance. Experimental


Neurobiology. 2013;22(3):232-4.
12. Tomer Y, Huber A. The etiology of autoimmune thyroid
disease: a story of genes and environment. Journal of
autoimmunity. 2009 May-Jun;32(3- 4):231-9.
13. Jodi K. Sangster DLP, Jonathan A. Abbott. Cardiovascular
Effects of Thyroid Disease. Compendium. 2013;35(7):1-10.
14. Association TAT. Grave’s Disease. The American Thyroid
Association 2017:1-2.
15. Sanjay Kalra SKK, Aakshit Goyal. Clinical Scoring Scales in
Thyroidology
: A Compendium. Indian Journal of Endocrinology and
Metabolism 2011;15(2):89-94.
16. Richard Carroll GM. Endocrine and Metabolic
Emergencies: Thyroid Storm. Therapeutic Advances in
Endocrinology and Metabolism. 2010;1(3):139-45.
17. Alessandro Bacuzzi GD, Luca Guzzetti, Alessandro Ivan De
Martino, Paolo Severgnini, Salvatore Cuffari. Predictive
Features Associated with Thyrotoxic Storm and
Management. Gland Surgery. 2017;6(5):546-51.
18. Joshua E. Brinkman SS. Physiology, Alkalosis, Respiratory.
USA: StatPearls Publishing;2018. hlm. 100-108.
19. Davis Kibirige DSK, Richard Sanya, Edrisa Mutebi.
Cholestatic Hepatic Injury due to a Thyroid Storm: a Case
Report from a Resource Limited Setting. Thyroid Research.
2012;5(6):1-4.

20. rm.
Idrose AM. Acute and Emergency Care for Thyrotoxicosis
Thyroid Sto 40
Acute Medicine & Surgery 2015;2:147-57.
21. Reinout M. Swart EJH, Michiel G. Betjes, Robert Zietse.
Hyponatremia and Inflammation: the Emerging Role of
Interleukin-6 in Osmoregulation. Nephron Physiology.
2011;118:45-51.
22. Rene Chiolero J-PF, Jean-Pierre Revelly, Eric Jequier.
Effects of Catecholamines on Oxygen Consumption and
Oxygen Delivery in Critically Ill Patients. CHEST Journal.
39
12

1991:1-9.
23. Sethi S. Community-Acquired Pneumonia. Merck Manual.
2016. [Diunduh
8 Januari 2017]. Tersedia dari:
http://www.merckmanuals.com/en-
pr/professional/pulmonary-
disorders/pneumonia/community-acquired- pneumonia
24. Shih-Hua C-LH. Mechanism of Thyrotoxic Periodic
Paralysis. Journal of the American Society of Nephrology.
2012;23(6):985-8.
25. Lien Y-HH. Paradoxical Hypokalemia: Where has All the
Potassium Gone? The American Journal of Medicine.
2015;128(3):217-8.
26. Anil N. Makam ADA, Michael A. Steinman. Blood Culture
Use in the Emergency Department in Patients Hospitalized
for Community-Acquired Pneumonia. JAMA Internal
Medicine. 2014;174(5):803-6.
27. WHO. Haemoglobin Concentrations for The Diagnosis of
Anemia and Assessment of Severity. Vitamin and Mineral
Nutrition System 2011:1-6.
28. Mohamed Osama Hegazi SA. Atypical Clinical Manifestations
of Grave’s
Disease : An Analysis in Depth. Journal of Thyroid Research.
2012:1-8.
29. Yasemin Ustundag Budak MP, Kagan Huysal. The Use of
Platelet Indices, Plateletcrit, Mean Platelet Volume and
Platelet Distribution Width in Emergency Non-Traumatic
Abdominal Surgery: a Systematic Review. Biochemia
Medica. 2016;26(2):178-93.
30. G Boran JS. Drug Effects on the Hypothalamic-Pituitary-
Thyroid Axis and Thyroid Hormone Concentration. CPD
Clinical Biochemistry. 2013;11(3):92-8.
31. Kravets I. Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment.
American Family Physician. 2016;93(5):363-70.
32. Chernecky CC, Berger BJ. Laboratory Tests and Diagnostic
Procedures. Edisi ke-6. USA: Elsevier Saunders;2013. hlm.
694, 895-6.
33. Veltri KT, Mason C. Medication-Induced Hypokalemia.
Pharmacovigilance Forum. 2015;40(3):185-90.
34. Ahmed MS, Jadhav AB, Hassan A, Meng QH. Acute phase
reactants as novel predictors of cardiovascular disease.
ISRN inflammation. 2012;2012.
35. Hyuck L. Procalcitonin as a Biomarker of Infectious
Disease. Korean J Intern Med. 2013;28(3):285-91.
36. Chanu R, Michael KM. Procalcitonin Use in Lower
Respiratory Tract Infections.UptoDate. 2021.
37. Lavida RKB, George IM. Streptococcus pneumoniae’s
Virulence and Host Immunity: Aging, Diagnostics, and
Prevention. Front Immunol. 2018;9:1366i
i

Anda mungkin juga menyukai