Anda di halaman 1dari 85

DIMENSI BUTA DALAM AL-QUR’AN: STUDI AYAT-AYAT A’MĀ

DENGAN APLIKASI METODE TAFSIR TEMATIK AL-FARMĀWĪ

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H./2019 M.
DIMENSI BUTA DALAM AL-QUR’AN: STUDI AYAT-AYAT A’MĀ
DENGAN APLIKASI METODE TAFSIR TEMATIK AL-FARMĀWĪ

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009

Pembimbing,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA


NIP. 19711003 199903 2 001

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H./2019 M.
SURAT PERNYATAAN

Penulis yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Al-Ikhsan Saing


NIM : 1113034000009
Judul skripsi : “Dimensi Buta Dalam Al-Qur’an: Studi Ayat-Ayat A’mā
Dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī”

menyatakan bahwa: 1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang

diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2) Semua sumber yang penulis gunakan dalam

penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 3) Apabila ternyata dikemudian hari tidak benar

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 01 Juli 2019


Yang menyatakan,

Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009

ii
TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:

Hari, tanggal : Rabu, 14 Agustus 2019

Pukul : 13.15-14.30 WIB

Tempat : Lantai VII Ruang Munaqasyah Fak. Ushuluddin

Pembimbing : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA

Ketua Sidang : Kusmana, MA.,Ph.D

Sekretaris : Fahrizal Mahdi, Lc.,MIRKH

Tim Penguji : 1. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA

2. Hasanuddin Sinaga, MA

iii
ABSTRAK
Al-Ikhsan Saing (1113034000009), “Dimensi Buta dalam Al-Qur’an: Studi
Ayat-Ayat A’mā dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī”.
Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

“Buta” diartikan tidak dapat melihat karena rusak matanya (atau disebut
dengan tunanetra). Buta juga dimaknai tidak tahu atau tidak mengerti sedikitpun
tentang sesuatu. Ada juga yang memaknai tidak melihat tanda-tanda kebesaran
Allah. Lebih luas lagi, buta juga dimaknai orang-orang bodoh tidak dapat
mengerti lagi keras kepala dan buruk (watak) perangainya. Untuk itu, penelitian
ini didasari bahwa al-Qur’an menyebutkan arti buta dalam lafadz a’mā dan
derivasinya. Dari kata (lafadz) ini memiliki arti atau sebuah konsep dan
mempunyai makna yang lebih luas. Yang dimaksud dengan buta dalam penelitian
ini yakni bukan hanya sesuatu yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Artinya
ada kemungkinan pemaknaan lain sehingga menjadi unsur pemahaman terhadap
maksud tertentu. Maka, pokok masalah yang menjadi bahasan dalam skripsi ini
adalah: bagaimana konsep buta dalam perspektif al-Qur’an?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
pengumpulan data menggunakan library research. Khusus dalam pembahasan
penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis. Adapun metode yang
dipakai merupakan metode mawḍū’i yang dirumuskan al-Farmāwī. Metode
mawḍū’i dipilih karena dinilai paling tepat untuk mengkaji konsep-konsep al-
Qur’an tentang suatu masalah, bila diharapkan suatu hasil yang utuh dan
komprehensif. Sumber primer yang penting adalah Ibnu Kathīr, al-Marāghī dan
al-Mishbah. Kolaborasi ketiga tafsir ini diharapkan menemukan interpretasi baru
terhadap konsep buta.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa al-Qur’an mengkonstruk atau
membangun sistem makna dari term a’mā (‫ )أعمى‬dan derivasinya terlahir makna-
makna yang lebih luas. Buta dalam al-Qur’an banyak perhatiannya terhadap kaum
yang dianggap buta secara Psikis (batiniah) dan sebagai bentuk apresiasi al-
Qur’an sebagian kecil disebutkan buta secara Fisik (lahiriah).
Kata Kunci: buta, a’mā, al-farmāwī, al-qur’an.

v
KATA PENGANTAR

   

Kita diwajibkan belajar, bukan diwajibkan untuk memjadi pintar. Kita


diwajibkan bekerja, tidak diwajibkan untuk berhasil. Kita diwajibkan
berikhtiyar semampu kita, tapi tidak diwajibkan meraih sesuai keinginan kita.
Sehebat apapun manusia ia tetap tak mampu mengalahkan kuasa Allah. Allah
memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat, yakni

hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang indahnya alam

semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya.

Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Ṣalawat serta salam

semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li al-‘Ālamīn, cahaya di atas

cahaya, manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup para

Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman

menutup mata.

Alḥamdulillāh, berkat rahmat dan ‘inayah Allah swt. penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena keterlibatan

berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan terselesaikan. Kepada

beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya.

Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan

karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan

skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan

vi
ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, beserta para Wakil Dekan.

3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir. Fahrizal Mahdi, MIRKH, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Al-Qur’an dan Tafsir.

4. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku pembimbing yang selalu

memberikan dedikasinya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan

bimbingannya selama penulis berada di bawah bimbingannya. Juga

melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga penulis

ada gairah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada Tim Penguji, Kusmana, MA,Ph.D., Dr. Faizah Ali Syibromalisi,

MA, dan Hasanuddin Sinaga, MA yang telah memberikan saran dan

kritikan terhadap penulisan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dedikasinya

mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan

kepada penulis selama masa perkuliahan.

7. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Muhammad Saing Mamang dan

ibunda Nur ‘Ain Nurdin, yang telah mengarahkan, dengan penuh kasih

sayang tanpa pamrih, tak pernah lelah dan tak bosan dalam memberikan

vii
dukungan moral maupun materil, serta do’a yang selalu membanjiri hati

buah hatimu ini.

8. Adik-adik tercinta Nahda Saing, Ridhallah Saing, Mulia Ghina Nafsi

Saing, Mukhlas Saing, serta tante Aminah dan om Irfan yang mana

kalian senantiasa memberikan dukungan dan do’a.

9. Seluruh teman-teman Tafsir Hadis Angkatan 2013 khususnya kelas A,

Salman Alfarisi, Halim Tarmidzi, Muslih Muhaimin, Iqbal Firdaus, Iqbal

Sahid, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan. Kalian lah yang selalu

memberi indahnya persahabatan.

10. kepada Al-Ahsan Sakino yang selalu memberi masukan yang

bermanfaat, Luqman Ahmad yang selalu memberikan support, kepada

teman seperjuangan di Madinah, ustadz Luqman Hakim, Faisal Abdan,

Faris dan seterusnya yang selalu kompak memberikan warna-warni

indahnya persahabatan.

11. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses

penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa

mengurangi rasa terima kasih penulis.

Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi

pembaca dan semoga Allah swt. selalu memberkahi dan membalas semua

kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.

Āmīn yā Rabb al-Ālamīn.

Ciputat, 01 Juli 2019

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan
‫’═ء‬ ‫═ز‬z ‫═ق‬q
‫═ب‬b ‫═س‬s ‫═ك‬k
‫═ت‬t ‫ ═ ش‬sh ‫═ل‬l
‫ ═ ث‬th ‫═ص‬ṣ ‫═م‬m
‫═ج‬j ‫═ض‬ḍ ‫═ن‬n
‫═ح‬ḥ ‫═ط‬ṭ ‫═و‬w
‫ ═ خ‬kh ‫═ظ‬ẓ ‫ه‬/‫ ═ ة‬h
‫═د‬d ‫( ‘ ═ ع‬ayn) ‫═ي‬y
‫ ═ ذ‬dh ‫ ═ غ‬gh
‫═ر‬r ‫═ف‬f
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong

َ ═a ‫ ═ َ —ا‬ā ‫ى‬ ِ ═ī

ِ ═i ‫ ═ َ —ى‬á ‫ْوو‬ َ ═ aw

ُ ═u ‫ ═ ُ —و‬ū ‫ ═ َ ْو‬ay
‫ي‬

C. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ‫( ال‬alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
(‫ )الجزية‬al-jizyah, (‫ )اآلثار‬al-āthār dan (‫ )الذمة‬al-dhimmah. Kata sandang ini
menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭaʽ.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai
dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.

ix
DAFTAR ISI

PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................... i


LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii
TIM PENGUJI SKRIPSI ............................................................................ iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ............................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Indentifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 7
D. Metode Penelitian ..................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 15
BAB II AL-FARMĀWĪ DAN METODE TAFSIR TEMATIKNYA ... 17
A. Biografi Al-Farmāwī ................................................................ 17
B. Sejarah Perkembangan Tafsir Tematik .................................... 21
C. Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī ........................................ 24
BAB III KLASIFIKASI DAN KATEGORISASI KATA A’MĀ ............ 31
A. Pengertian Kata A’mā dalam Al-Qur’an ................................. 33
B. Penggunaan Kata A’mā dalam Al-Qur’an ................................ 36
C. Kategorisasi Kata A’mā dalam Al-Qur’an ............................... 39
BAB IV DIMENSI BUTA DALAM AL-QUR’AN .................................. 41
A. Buta Fisik (Lahiriah) ................................................................ 41
1. Perlakuan terhadap Orang Buta (Tunanetra) ....................... 41
B. Buta Psikis (Batiniah) ............................... 51
1. Buta Tidak Melihat Tanda-tanda Kebenaran Al-Qur’an ..... 51

x
2. Buta Mata Hati ………………………................................. 61
BAB V PENUTUP ..................................................... 67
A. Kesimpulan ............................................... 67
B. Saran ......................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................... 70

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad melalui Malaikat Jibril, di dalamnya terdapat segudang rahasia

kehidupan, baik itu melalui masa yang lalu maupun berkaitan dengan masa yang

akan datang, itulah salah satu keistimewaan yang dimiliki al-Qur‟an. Al-Qur‟an

merupakan kitab suci terakhir yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad

saw. untuk dijadikan sebagai pedoman hidup (way of life) bagi umat manusia, dan

sekaligus sebagai sumber nilai norma disamping al-Sunnah. Al-Qur‟an juga telah

memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudān li al-nās. Al-Qur‟an pada

dasarnya adalah kitab keagamaan yang berfungsi sebagai petunjuk (hidāyah)

kepada umat manusia, baik secara teoritis maupun praktis dalam menjalani

kehidupan di dunia ini.1

Kandungan ajaran al-Qur‟an yang memandang manusia sama derajatnya

di sisi Allah kecuali hanya derajat ketaqwaannya menunjukkan semangat

humanisme yang sangat tinggi. Kiranya sangat indah bila ajaran tersebut mampu

diaktualisasikan umat Islam untuk menciptakan keharmonisan hidup

bermasyarakat. Banyak ayat-ayat yang secara jelas menyinggung persoalan

tersebut. Salah satunya adalah Surat „Abasa yang berisi teguran Allah terhadap

Nabi atas sikap beliau yang telah bermuka masam terhadap penyandang tunanetra.

1
Muhammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmi (Yogyakarta: Menara Kudus dan Rasail, 2004), h.
23.

1
2

Ayat tersebut sebenarnya sangat jelas, namun yang menjadi persoalan mengapa

ayat tersebut tidak banyak teraktualisasikan?2

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati dan

menghargai hak-hak orang penyandang difabel. Begitu perhatiannya terhadap

penyandang cacat, Allah swt. pernah mengingatkan Rasulullah saw. dalam surat

„Abasa tersebut ketika beliau bermuka masam kepada sahabat „Abdullāh Ibn

Ummi Maktūm yang buta (tunanetra). Di ayat lain juga, Allah telah

menginformasikan bahwa tidak ada hinaan atau celaan mengundang orang difabel

untuk makan bersama (QS. al-Nūr [24]: 61).3

Ayat di atas sebagai sikap manusia agar senantiasa memperlakukan kaum

tunanetra (buta) atau difabel dengan baik. Islam mengajarkan semua manusia

sama derajatnya di sisi Allah, kecuali ketakwaannya. Dengan demikian, sebagai

ulasan awal di atas, penelitian ini tidak hanya mengarah pada perhatian al-Qur‟an

terhadap penyandang tunanetra. Artinya, perlu pelacakan lebih serius agar

ditemukan bahwa al-Qur‟an memberikan gambaran luas terhadap konsep buta

secara utuh dan komprehensif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “buta” diartikan tidak dapat

melihat karena rusak matanya (atau disebut dengan tunanetra). Buta juga

dimaknai tidak tahu atau tidak mengerti sedikitpun tentang sesuatu.4 Dalam al-

2
Hindatulatifah, “Apresiasi al-Qur‟an terhadap Penyandang Tunanetra: Kajian Tematik
terhadap QS. „Abasa.”, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IX, No. 2 Desember
2008, h. 91.
3
Siti Nurhayah Dahliana, “Perlakuan terhadap Penyandang Difabel Perspektif Al-Qur‟an:
Analisis Penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an” (Skripsi Program Studi Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 1.
4
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.
3

Qur‟an, kata buta disebutkan berulang-ulang kali, salah satunya adalah kata

‘umyun (‫ )عمي‬yang dimaknai tidak melihat tanda-tanda kebesaran Allah (QS. al-

Baqarah [2]: 18). Ayat ini ditegaskan sebagai wujud peringatan Allah kepada

manusia juga sebagai wujud anugerah yang berbentuk alat-alat (pancaindera)

supaya manusia menggunakannya untuk memperoleh petunjuk.5 Selain itu, buta

dalam al-Qur‟an disebut ummīyūn (‫ )أ ُ ِميُّون‬dalam QS. al-Baqarah [2]: 78, kata ini

dimaknai orang-orang bodoh tidak dapat mengerti lagi keras kepala dan buruk

(watak) perangainya.6 Makna lain juga disebutkan bahwa ummīyūn (‫)أ ُ ِميُّون‬

diartikan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kitab suci atau

bahkan mereka yang buta huruf.7 Akan tetapi, M. Quraish Shihab memaknai kata

ummīy tidak hanya buta huruf, akan tetapi lebih dari itu. Untuk memperluas arah

pembahasannya, M. Quraish Shihab mengkelompokan kata ummīy menjadi tiga,

antara lain; ummīy-nya Yahudi, ummīy-nya masyarakat Arab, dan ummīy-nya

Nabi Muhammad saw itu sendiri. Pada pembahasan berikutnya, penulis hanya

membahas ummīy-nya Yahudi.

Pemaknaan di atas menunjukan adanya konsep buta memiliki arti atau

makna yang luas. Untuk memperkuat argumen tersebut, Eva Nugraha dalam

artikelnya sebagaimana ia mengutip pendapat al-Qurṭūbī, bahwa buta lebih

tepatnya disebut ummīy. Selain pada QS. al-Baqarah [2]: 78, kata tersebut juga

terdapat pada QS al-A‟rāf [7]: 157-158, ayat ini dinisbahkan kepada al-ummah al-

ummīyah, atau umat yang sejak awal tidak mengetahui apapun sebagaimana saat

5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 114.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 239.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 240.
4

bayi baru lahir. Mereka belum mempelajari cara membaca dan menulis. Riwayat

Ibn „Umar menegaskan bahwa ummah ummīyah adalah kondisi ketidakmampuan

membaca dan menulis. Kesimpulan ini merupakan argumen atas QS. al-„Ankabūt

[29]: 48.8 Dalam hal ini ummīy di sini dimaknai sebagai buta huruf.9

Perbincangan mengenai konsep ummīy sebenarnya bukan merupakan suatu

yang baru dalam pengkajian Islam. Konsep itu telah menjadi salah satu wacana

intelektual semenjak ulama salaf (terdahulu). Meskipun demikian, telaah

terhadapnya masih tetap merupakan tema yang menarik sampai sekarang.

Persoalan ummīy menjadi menarik ketika dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw.

yang dikatakan tidak dapat membaca dan menulis atau yang disebut buta huruf.10

Akan tetapi, dalam penelitian ini, penulis mencoba lebih jauh membicarakan

konsep buta secara keseluruhan dalam al-Qur‟an. Dari pelacakan penulis,

penyebutan al-Qur‟an yang mengandung arti buta di sini ditemukan lafadz a’mā

dan derivasinya. Dari kata (lafadz) ini memiliki arti penting dan mempunyai

makna yang lebih luas. Yang dimaksud dengan konsep buta dalam penelitian ini

yakni bukanlah sesuatu yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Artinya ada

kemungkinan pemaknaan lain sehingga menjadi unsur pemahaman terhadap

maksud tertentu.

8
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm”,
Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2, Oktober 2011, h. 103.
9
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1984), h. 40.
10
Dalam tulisan Usep Dedi Rostandi dalam tulisannya, pendapat yang masyhur
mengatakan bahwa yang dimaksud ummīy dalam semua konteks, baik berkaitan dengan Nabi,
masyarakat Arab, maupun Yahudi adalah buta huruf. Lihat Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi
dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis)”, Falasifa: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol. 5,
No. 2 September 2014, h. 291-292.
5

Dari pemaparan di atas, maka penelitian skripsi ini layak untuk dilakukan

dengan beberapa alasan; pertama, belum ada peneliti sebelumnya yang membahas

secara utuh tentang konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an. Kedua, ada beberapa

peneliti baik dari kalangan orientalis11 maupun akademisi yang fokus membahas

terhadap konsep ummīy, sekaligus penelitian lain fokus membahas perhatian al-

Qur‟an terhadap kaum difabel/disabilitas atau tunanetra dalam perspektif al-

Qur‟an. Ketiga, kebanyakan orang awam memahami bahwa buta adalah sesuatu

atau perkara yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata. Keempat, penelitian ini

bertujuan untuk menemukan cara al-Qur‟an mengkonstruk sistem makna dari kata

(lafadz) yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, penulis memilih judul “Dimensi

Buta dalam al-Qur‟an: Studi Ayat-Ayat A’mā dengan Aplikasi Metode Tafsir

Tematik Al-Farmāwī” dengan harapan dapat memberikan pemikiran yang luas

baik terhadap penulis dan para pembaca.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari topik yang diuraikan di atas, ada beberapa masalah yang dapat

diidentifikasikan, diantaranya:

a. Kebanyakan penelitian yang sudah ada fokus membahas perhatian al-

Qur‟an terhadap kaum difabel/disabilitas atau tunanetra dalam

11
Eva Nugraha dalam artikelnya menyebutkan nama-nama orientalis seperti Samuel
Marinus Zwemer, Isaiah Goldfeld dan Khalil Athamina yang mempertanyakan apakah Nabi
Muhammad bisa menulis dan membaca. Lihat Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan
Implikasinya pada Penulisan Rasm,” Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2,
Oktober 2011, h. 101. Sedangkan Usep Dedi Rostandi menyebutkan R. Paret dan Philip K. Hitti.
Lihat Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis).” Jurnal Falasifa,
Vol. 5, No. 2 September 2014, h. 291.
6

perspektif al-Qur‟an. Maka, penelitian ini perlu peninjauan kembali

untuk menyisir kata a’mā dari berbagai derivasinya.

b. Kebanyakan kalangan/orang awam memahami bahwa buta adalah

sesuatu atau perkara yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata.

c. Secara sempit, buata adalah kehilangan sebagian atau seluruh

kemampuan untuk melihat, sedangkan pengertian dalam arti luas

adalah kehilangan penglihatan.

d. Dalam al-Qur‟an sebagaimana mufassir yang ada memaknai bahwa

buta tidaklah sesuatu yang dapat dilihat oleh kasat mata (lihat poin b),

artinya buta di sini memiliki makna-makna lain. Maka, penelitian ini

bertujuan untuk menemukan cara al-Qur‟an mengkonstruk sistem

makna dari kata (lafadz) a’mā.

2. Pembatasan Masalah

Hasil pelacakan dalam al-Qur‟an yang menunjukkan arti buta yakni term

a’mā (‫ )أعمى‬dan serta derivasinya. Berdasarkan hasil penelusuran Mu’jam al-

Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm terulang sebanyak 34 kali dalam 30 ayat

serta tersebar dalam 27 surat. Term ini terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 18,

171; QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50, 104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64, QS.

Yūnus [10]: 43, QS. Hūd [11]: 24 & 28, QS. al-Ra‟d [13]: 16, 19, QS. al-Isrā‟

[17]: 72, 97, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-Ḥajj [22]: 46, QS. al-Nūr [24]: 61,

QS. al-Furqān [25]: 73, QS. al-Naml [27]: 66, 81, QS. al-Qaṣaṣ [28]: 66, QS. al-

Rūm [30]: 53, QS. Fāṭir [35]: 19, QS. Ghāfir [40]: 58, QS. Fuṣṣilat [41]: 17 & 44,
7

QS. al-Zukhruf [43]: 40, QS. Muḥammad [47]: 23, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS.

„Abasa [80]: 2.12

Dari term yang digunakan al-Qur‟an tersebut, penulis membatasi hanya

pada QS. al-Baqarah [2]: 18, QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50 dan

104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64, QS. Yūnus [10]: 43, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-

Nūr [24]: 61, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS. „Abasa [80]: 2. Alasan penulis membatasi

ayat-ayat terpilih ini sebagai pokok bahasan, karena ayat-ayat ini memberi

informasi atau ulasan terkait pemaknaan buta dalam arti luas dibanding ayat-ayat

yang lain sebagaimana tema yang dibahas dalam skripsi ini, dan ayat-ayat yang

lain sebagai pelengkap jika ada kaitannya dengan munasabah ayat. Selain itu,

ayat-ayat terpilih nantinya akan dianalisis yang akhirnya terbentuk sebuah konsep

yang utuh.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah skripsi ini

adalah; bagaimana konsep buta dalam perspektif al-Qur’an?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan permasalahan di atas, orientasi penelitian ini diarahkan

pada upaya memahami serta menganalisis kandungan ayat dalam penafsiran

ulama. Dengan mengetahui pandangan atau pendapat ulama, jelasnya penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an secara

utuh dan komprehensif. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan cara

12
Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm
(Kairo: Dār al-Ḥadīth, 1364 H), h. 488-489.
8

al-Qur‟an mengkonstruk sistem makna dari kata (lafadz) a’mā (‫ )أعمى‬dan

derivasinya sehingga terlahir makna-makna yang lebih luas.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini:

1. Memberikan gambaran secara menyeluruh atau ideal terkait konsep buta

dalam perspektif al-Qur‟an.

2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk para peneliti al-Qur‟an

terkait tentang konsistensi penggunaan kata (lafadz) dalam al-Qur‟an. Dari

penelitian tersebut nantinya akan membuat rumusan konsep-konsep

tertentu yang utuh.

D. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode

pengumpulan data menggunakan library research¸ yaitu penelitian yang datanya

didasarkan pengambilan data dari kajian pustaka atau literatur.13 Hal ini berarti

semua data penelitian diperoleh dari bahan-bahan yang tertulis yang bertemakan

dengan tema yang dibahas di dalamnya. Karena penelitian ini berkaitan langsung

dengan al-Qur‟an, maka sumber penelitian pertama adalah al-Qur‟an.

Data primer merupakan data yang diperoleh dari obyek penelitian.14 Data

pokok yang menjadi rujukan pembahasan skripsi ini berupa penafsiran ayat-ayat

buta dalam al-Qur‟an yang terdapat dalam tafsir Ibnu Kathīr, al-Marāghī dan al-

Mishbah, dan serta diperkuat tafsir-tafsir lain untuk memperkuat argument jika

13
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 10.
14
Jujun S Sumantri dan Tim Lembaga Penelitian IKIP Jakarta, “Prosedur Penelitian Ilmu,
Filsafat dan Agama”, Jurnal Ilmu dan Penelitian Parameter, IKIP Jakarta, h. 45.
9

diperlukan. Alasan penulis mengambil ketiga tafsir ini adalah adanya perbedaan

masa penulisan pada kitab tafsir tersebut, yaitu tafsir Ibnu Kathīr pada masa

klasik, al-Marāghī pada masa modern dan al-Mishbah pada masa kontemporer.

Supaya dapat diketahui apakah ada perbedaan penafsiran ayat-ayat tentang konsep

buta antara penafsiran pada masa klasik, modern sampai sekarang ini.

2. Metode pembahasan

Dalam pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan metode

deskriptif-analisis. Adapun metode yang dipakai merupakan metode mawḍū’ī.

Lebih spesifik, penulis memakai langkah operasional15yang dipakai adalah

sebagai berikut:

a. Memilih atau menetapkan topik (obyek) kajian yang akan dibahas

berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an.16

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema buta

yang telah ditetapkan.17

c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa

turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.

d. Mengetahui kolerasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing

suratnya.

15
Dalam penerapan metode mawḍū’i„, penulis merujuk pada: „Abd al-Hayy al-Farmāwī,
Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i. Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 45.
16
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji ayat yang terdapat kata kunci yaitu: a’mā (‫)أعمى‬
dan derivasinya, dengan menelusuri kitab karya Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H).
17
Dalam pelacakan ini, penulis menggunakan Aplikasi al-Qur‟an digital – Qur‟an
Kemenag RI (www.quran.kemenag.go.id)
10

e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,

sempurna dan utuh.

f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila perlu, sehingga

pembahasan menjadi semakin jelas.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan

cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,

mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang

muṭlaq dan muqayyad, mengsingkronkan ayat-ayat yang lahirnya

tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nāsikh dan mansūkh, sehingga

semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan

kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada

makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.

Dengan langkah tersebut, penulis menggambarkan secara cermat ayat-ayat

yang sudah ditentukan, dengan merujuk kepada tafsir-tafsir yang disebutkan di

atas dan kemudian penulis juga menganalisis pesan-pesan yang terkandung di

dalamnya.

3. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam penelitan ini mengacu pada Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2017,18 kecuali pedoman transliterasi. Teknik penulisannya menggunakan model

APA (American Psychology Association), Turabian dan MLA (Modern Language

Association). Model-model tersebut merupakan sistem sitasi yang banyak

18
Lihat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11

digunakan dalam penulisan artikel ilmiah baik makalah, jurnal, tesis, dan

disertasi.19

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an belum

ditemukan, hanya saja terkait perlakuan terhadap penyandang cacat atau difabel

dalam al-Qur‟an telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk artikel, skripsi dan

tesis sebagai berikut:

Siti Nurhayah Dahliana menulis skripsi dengan judul Perlakuan terhadap

Penyandang Difabel Perspektif Al-Qur’an (Analisis Penafsiran Sayyid Qutb

dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an.20 Penelitian ini mencoba mengkaji penafsiran

ayat-ayat al-Qur‟an tentang perlakuan terhadap penyandang difabel dengan

memakai tafsiran Sayyid Quṭb. Tujuan dari tulisan Dahliana ini dapat

menumbuhkan sikap kepedulian terhadap penyandang difabel dan meminimalisasi

sikap abai terhadap mereka. Skripsi yang hampir sama juga ditulis oleh

mahasiswa UIN Yogyakarta yakni, Cici Afridawati menulis dengan judul Respon

Al-Qur’an terhadap Difabilitas (Kajian Tematik terhadap Ayat-ayat Difabel).21

Tak jauh dari penelitian Dahliana, penelitian Cici Afridawati juga mengulas

bagaimana respon al-Qur‟an terkait difabilitas, sebab menurut Afridawati kaum

difabilitas selalu termaginalkan dan masih banyak paradigma-paradigma negatif

19
Lihat Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018, h. 26.
20
Siti Nurhayah Dahliana, “Perlakuan terhadap Penyandang Difabel Perspektif Al-
Qur‟an: Analisis Penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsīr Fī Zilāl al-Qur’ān” (Skripsi Program Studi
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016)
21
Cici Afridawati, “Respon Al-Qur‟an terhadap Difabilitas (Kajian Tematik terhadap
Ayat-ayat Difabel)” (Skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018).
12

lain yang diberikan kepada kaum minoritas ini. Ada juga artikel karya

Hindatulatifah dengan judul Apresiasi al-Qur’an terhadap Penyandang

Tunanetra: Kajian Tematik terhadap QS. ‘Abasa.22 Hindatulatifah menegaskan

bahwa al-Qur‟an menghormati penyandang difabel dan tidak ada diskriminasi

perlakuan terhadap mereka. Penyandang difabel mendapatkan hak pribadi dan

sosial yang sama dengan yang non-difabel. Hindatulatifah mendasarkan

kesimpulannya pada surat „Abasa dengan menggunakan metode tematik dalam

penjelasannya.

Selain tulisan Dahliana, Cici Afridawati, dan Hindatulatifah, penelitian

serupa juga dilakukan Rofi‟atul Khoiriyah dengan judul Difabilitas dalam Al-

Qur’an.23 Skripsi ini hendak mengulas eksistensi difabel dan perhatian al-Qur‟an

terhadap al-Qur‟an. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa al-Qur‟an menyebutkan

dua jenis difabel yaitu tunanetra dan tunadaksa, yang dalam al-Qur‟an

memberikan perhatian penuh terhadap kaum difabel, yakni dengan tidak

membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, baik seseorang dalam

keadaan cacat atau sempurnanya.

Sebagai pelengkap karya di atas, penelitian lain yang serupa juga

dilakukan Sri Handayana dengan judul Difabel dalam Al-Qur’an.24 Tulisan ini

bertujuan mendeskripsikan pandangan serta sikap al-Qur‟an terhadap difabel.

Penafsiran dimulai dari menelusuri ayat-ayat yang berhubungan dengan difabel

22
Hindatulatifah, “Apresiasi al-Qur‟an terhadap Penyandang Tunanetra: Kajian Tematik
terhadap QS. „Abasa.”, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IX, No. 2 Desember
2008.
23
Rofi‟atul Khoiriyah, “Difabilitas dalam Al-Qur‟an” (Skripsi Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, 2015).
24
Sri Hadayana, “Difabel dalam Al-Qur‟an”, INKLUSI: Journal of Disability Studies,
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2016.
13

dan selanjutnya dihubungkan dengan realitas sosial. Sekalipun al-Qur‟an

mengajarkan kesetaraan dan keragaman, sikap umat Islam terhadap difabel

mungkin saja berbeda tergantung perspektif mereka terhadap difabel dan

lingkungan sosial di mana mereka berada. Tulisan ini juga mencoba untuk

mengeksplorasi secara mendalam pesan-pesan sosial tersembunyi dari al-Qur‟an

terkait difabel sehingga dapat diimplementasikan pada zaman sekarang.

Penelitian di atas membuktikan bahwa judul-judul terkait difabel atau

disabilitas dalam al-Qur‟an ataupun sejenisnya sudah banyak yang dilakukan.

Seperti Khairunnas Jamal dkk. menulis artikel dengan judul Eksistensi Kaum

Difabel dalam Perspektif Al-Qur’an.25 Tulisan ini berusaha untuk melihat

bagaimana al-Qur‟an berbicara mengenai penyandang cacat serta eksistensinya

dalam tatanan hukum dan sosial. Terminologi yang digunakan al-Qur‟an untuk

menunjukkan keberadaan penyandang cacat adalah a’ma, akmah, bukm, dan

shum.

Penelitian sejenis dengan mengkolaborasikan pada aspek pendekatan nilai

hukumnya dilakukan M. Khoirul Hadi dengan judul Fikih Disabilitas: Studi

Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ.26 Penelitian ini berbasis penelitian

pustaka untuk mengangkat tema disabilitas dalam kajian hukum Islam. Khoirul

Hadi menguraikan hukum Islam yang tengah menghadapi sejumlah problem

kontemporer seperti ketidakadilan gender, lingkungan, terorisme dan lainnya.

25
Khairunnas Jamal dkk., “Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif Al-Qur‟an”, Jurnal
Ushuluddin, Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017.
26
M. Khoirul Hadi, “Fikih Disabilitas: Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ.”
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.
14

Artikel ini menyimpulkan satu bahwa isu disabilitas telah didiskusikan sejak lama

dalam kitab fikih meskipun pembahasannya masih samar.

Sebagai pelengkap judul-judul di atas, jenis penelitian lapangan dilakukan

Sastya Eka Pravitasari dkk. dengan judul Pemberdayaan Bagi Penyandang

Tunanetra Guna Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Pada UPT

Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang).27 Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui dan menganalisis pemberdayaan yang dilaksanakan oleh UPT

Rehabilitasi Sosial Cacat Netra (RSCN) Malang bagi penyandang tunanetra guna

meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan penyandang

tunanetra merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban

serta peran yang sama di segala aspek kehidupan sehingga mereka perlu

diberdayakan agar hidup mandiri.

Selain tulisan-tulisan di atas, penulis juga menemukan pembahasan pada

satu konsep dengan mengambil dari satu term yang sudah banyak dilakukan

antara lain: Pertama, karya Muji Basuki dengan judul “Ummī dalam Al-Qur‟an

Kajian Tematik Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab.”28 Di dalam karya

tulis ini hendak membahas tentang hakikat makna ummī dalam al-Qur‟an

berdasarkan perspektif M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah.

Tujuan dari tulisan ini memberi gambaran secara lebih luas mengenai golongan

yang disebut ummī dalam al-Qur‟an. Ummī yang dalam al-Qur‟an tidak bisa

27
Sastya Eka Pravitasari dkk, “Pemberdayaan Bagi Penyandang Tunanetra Guna
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Pada UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra
Malang).” Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, (tth)
28
Muji Basuki, “Ummī dalam Al-Qur‟an Kajian Tematik Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish Shihab.” (Tesis Program Studi Ilmu Keislaman Program Pascasarjana Iinstitut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013).
15

diukur dengan standar kebutahurufan (kebodohan) pada masa sekarang. Kedua,

karya Wan Z. Kamaruddin bin Wan Ali, “Konsep Ummī Nabi Muhammad saw

dari Perspektif Al-Qur‟an.”29 Ketiga, Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam

Al-Qur‟an (Telaah Tematis).”30 Keempat, Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-

Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm.”31 Kelima, Mukmin, “Konsep

Keummian Nabi Muhammad dalam Al-Qur‟an (Tela‟ah Kritis terhadap pemikiran

Agus Mustofa dalam perspektif ilmu balaghah).”32 Keenam, Aris Fauzan, “Al-

Nabiy al-Ummiy dalam Telaah Historis-Semiotik.”33

Penelitian-penelitian di atas hanya mewakili sebagai tinjaun pustaka.

Sebetulnya masih banyak karya lain terkait difabel atau disabilitas, konsep ummī,

ataupun sejenisnya yang dirasa tidak perlu ditampilkan, karena penelitan-

penelitian tersebut tidak memberikan informasi atau pemikiran yang menyeluruh

dari penulisan skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

Adapun penulisan ini dilakukan dengan membagi beberapa bab dan sub-

bab. Masing-masing bab dan sub-bab memiliki keterkaitan yang erat dan tak

terpisahkan. Demikian pula antar masing-masing bab. Singkatnya, skripsi penulis

terbagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

29
Wan Z. Kamaruddin bin Wan Ali, “Konsep Ummi Nabi Muhammad saw dari
Perspektif Al-Qur'an.” Jurnal Ushuluddin, Vol. 7, 1998.
30
Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis).” Jurnal
Falasifa, Vol. 5, No. 2 September 2014.
31
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2, Oktober 2011.
32
Mukmin, “Konsep Keummian Nabi Muhammad dalam Al-Qur‟an (Tela‟ah Kritis
terhadap pemikiran Agus Mustofa dalam perspektif ilmu balaghah),” Prosiding Konferensi
Nasional Bahasa Arab III, Malang, 7 Oktober 2017.
33
Aris Fauzan, “Al-Nabiy al-Ummiy dalam Telaah Historis-Semiotik.” Fokus: Jurnal
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 01, Juni 2018.
16

Bab I, Pendahuluan, mendiskusikan latar belakang masalah, identifikasi,

perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II, Al-Farmāwī dan Metode Tafsir Tematiknya mencakup biografi al-

Farmāwī, sejarah perkembangan tafsir tematik, dan metode tafsir tematik al-

Farmāwī.

Bab III, Klasifikasi dan Kategorisasi Kata A’mā. Pada bab ini penting

dibahas untuk menguraikan secara detail penggunaan kata a’mā. Kata ini akan

ditelusuri satu per satu ayat ayat. Pembahasannya terdiri dari pengertian kata a’mā

dalam al-Qur‟an, penggunaan kata a’mā dalam al-Qur‟an, dan kategorisasi kata

a’mā dalam al-Qur‟an.

Bab IV, Wawasan Al-Qur‟an tentang Buta. Pembahasan bab ini

menghasilkan dua kategorisasi; Pertama, buta fisik (lahiriah), yang

menggambarkan perlakukan terhadap orang buta (tunanetra); Kedua, buta psikis

(batiniah), buta tidak melihat tanda-tanda kebenaran al-Qur‟an, dan buta mata

hati.

Bab V, Penutup, menjawab persoalan permasalahan ini dan memberikan

saran untuk studi labih lanjut.


BAB II

AL-FARMĀWĪ DAN METODE TAFSIR TEMATIKNYA

A. Biografi Al-Farmāwī

„Abd al-Ḥayy Hussein al-Farmāwī lahir pada tahun 1942 di Desa Kafr

Tablouha, Distrik Tala, Provinsi Menoufia, Mesir. Pendidikan awalnya dimulai di

salah satu kuttāb di desanya. Setelah berhasil menamatkan hafalan untuk seluruh

al-Qur‟an, ia kemudian mendaftar pada jenjang pendidikan dasar di Ahmadi

Institute, Tanta, pada tahun 1955. Selanjutnya setelah menamatkan pendidikan

menengah atas di tahun 1965, ia mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas

Ushuluddin Universitas al-Azhar di Assiut, dan lulus sebagai sarjana jurusan

Tafsir Hadis pada tahun 1969. Ia kemudian bekerja sebagai staff pembantu di

universitas sambil melanjutkan Program Master di bidang Tafsir dan „Ulum al-

Qur‟an yang diselesaikannya pada tahun 1972, dan setelah itu ia diangkat menjadi

asisten dosen. Ketika ia menyelesaikan program doktor di bidang Tafsir dan

„Ulum al-Qur‟an pada tahun 1975, maka barulah ia diangkat sebagai dosen penuh.

Ia kemudian dipromosikan untuk jabatan Asisten Professor pada tahun 1980, dan

baru diangkat sebagai professor penuh sejak tahun 1985 hingga akhir hidupnya. Ia

wafat pada dinihari Jumat tanggal 12 Mei 2017, meninggalkan empat anak

perempuan dan dua orang anak lelaki.

Dalam perkembangan karirnya, jabatan tertinggi yang pernah dipegangnya

adalah sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar di Kairo.

Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

Universitas Al-Azhar di Kairo, anggota Lajnah al-Ilmiyyah al-Da‟imah yang

17
18

bertugas mempromosikan jabatan profesor di Universitas al-Azhar, anggota senat

Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo, anggota Komisi Pengembangan

Kurikulum Universitas-universitas Islam dalam Asosiasi Universitas Islam,

Sekretaris Jenderal pada anggota klub fakultas di Universitas Al-Azhar, Penasihat

Agama Federasi Organisasi Mahasiswa Negara Islam, Anggota Dewan Tertinggi

Urusan Islam (Mesir), Anggota Majelis Rakyat Republik Arab Mesir, dan

Anggota Dewan Tertinggi Orangtua dan Guru di Al-Azhar Al-Sharif. Sementara

itu, beberapa rihlah ilmiyah yang dilakukannya antara lain sabbatical leave

selama dua periode di Universitas Umm al-Qura, Makkah selama empat tahun

antara tahun 1978-1982; dan enam tahun antara tahun 1995-2000; serta menjadi

profesor tamu (visiting professor) untuk masa selama tiga bulan pada tahun 1992

di Universitas Imam Muhammad Ibn Sa‟ud di Madinah.1

Menurut Moh. Anwar Syarifuddin dalam tulisannya, tercatat sedikitnya

ada tiga puluh judul karya yang ditulis oleh Farmāwī dalam rentang kajian Islam

kontemporer. Berikut ini karya-karyanya, antara lain:2

1. “‫ ”األخىح… غزٌق اىظؼذا‬al-Ikhwah Ṭarīq al-Su’adā’;

2. “ ً‫ ثٍِ اىفزض واىزفط فً ٍٍشاُ اإلطال‬..‫ ”اإلرهبة‬al-Irhāb bayn al-Farḍ wa al-

Rafḍ fī Mīzān al-Islām;

1
Moh. Anwar Syarifuddin, “Teori Penafsiran Tematik „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī (1942-
2017)” diakses pada 17 Agustus 2019 dari
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2018/04/04/teori-penafsiran-tematik-abd-al-
%E1%B8%A5ayy-al-farmawi-1942-2017/
2
Moh. Anwar Syarifuddin, “Teori Penafsiran Tematik „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī (1942-
2017)” diakses pada 17 Agustus 2019 dari
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2018/04/04/teori-penafsiran-tematik-abd-al-
%E1%B8%A5ayy-al-farmawi-1942-2017/
19

3. “ ‫ وّدبح فً اَخزح‬،‫ فالذ فً اىذٍّب‬..‫ ”االطتقبٍخ‬al-Istiqāmah Falāḥ fī al-Dunyā

wa Najāh fī al-Ākhirah;

4. “ً‫ ”اىجذاٌخ فً اىتفظٍز اىَىظىػ‬al-Bidāyah fī al-Tafsīr Mawḍū’ī;

5. “ٌٌ‫ ”تذوٌِ اىقزآُ اىنز‬Tadwīn al-Qur’ān al-Karīm;

6. “(‫ وتؼيٍق‬,‫ ”تهذٌت تفظٍٍز اثِ مثٍز(تحقٍق‬Tahdzīb Tafsīr Ibn Katsīr (editor);

7. “ ‫ ثٍِ اىتشزٌغ اإلطالًٍ واىىاقغ اىَؼبصز‬..‫ ”خزاحخ اىتدٍَو‬Jarāḥat al-Tajmīl

bayna al-Tasyrī’ al-Islāmī wa al-Wāqi’ al-Mu’āṣir;

8. “ ً‫ أطجبة وأحنب‬..ً‫ ”حزة اىخيٍح فً ٍٍشاُ اإلطال‬Ḥarb al-Khalīj fī Mīzān al-

Islām, Asbāb wa Aḥkām;

9. “ ‫ صىرهب – أطجبثهب – ػالخهب‬..‫ ”اىخالفبد اىشوخٍخ‬al-Khilafāt al-Zawjiyyah:

Ṣuwaruhā, Asbābuhā, ‘Ilājuhā;

10. “ ‫ ”دروص تزثىٌخ ٍِ اىهدزح اىْجىٌخ‬Ḍurūs Tarbawiyyah min al-Hijrah al-

Nabawiyyah;

11. “ ٍِ‫ ”رطٌ اىَصحف ثٍِ اىَؤٌذٌِ واىَؼبرظ‬Rasm al-Muṣḥaf bayn al-

Mu’ayyidīn wa al-Mu’āṣirīn;

12. “( ‫ ”ساد اىذػبح ٍِ هذي اىقزآُ اىنزٌٌ (ثالثخ أخشاء‬Zād al-Da’wah min Hady al-

Qur’ān al-Karīm (3 volume);

13. “ ‫ ثٍِ اىتشزٌغ اإلطالًٍ واىىاقغ اىَؼبصز‬..‫ ”سٌْخ اىَزآح‬Zīnat al-Mar’ah: bayna al-

Tasyrī’ al-Islāmī wa al-Wāqi’ al-Mu’āṣir;

14. “ً‫ ”اىظالً فً اإلطال‬al-Salām fī al-Islām;

15. “( ‫ سمً ّدٍت ٍحَىد‬.‫ ”صحىح فً ػبىٌ اىَزأح (رد ػيى د‬Ṣaḥwah fī ‘Ālam al-

Mar’ah (Radd „alā Duktūr Zakī Najīb Maḥmūd);

16. “‫ ”اىصزثٍىُ… خْبسٌز أوروثب‬al-Ṣarbiyyūn Khānāzir al-Urūba;


20

17. “‫ اىتىثخ إىى هللا‬..‫ ”غزٌق اىظؼبدح‬Ṭarīq al-Sa’ādah al-Tawbah ilā Allāh;

18. “ ً 1994 ‫ ”ػشز ٍخبىفبد شزػٍخ فً وثٍقخ ٍؤتَز اىظنبُ واىتٍَْخ – اىقبهزح‬Asyr

Mukhālafāt Syar’iyyah fī Watsīqah Mu’tamar al-Sukkān wa al-

Tanmiyyah, Kairo 1994;

19. “( ‫ ”قصص األّجٍبء ىإلٍبً اثِ مثٍز (تحقٍق‬Qaṣaṣ al-Anbiyā’ li al-Imām Ibn

Kathīr;

20. “ ‫ ”قصخ اىْقػ واىشنو فً اىَصحف اىشزٌف‬Qiṣṣat al-Nuqṭ wa al-Syakl fī al-

Muṣḥaf al-Sharīf;

21. “( ‫ ”متبثخ اىقزآُ ثبىزطٌ اإلٍالئً أو اىحزوف اىالتٍٍْخ (اقتزاحبد ٍزفىظخ‬Kitābat al-

Qur’ān bi al-Rasm al-Imlā’ī aw al-Ḥurūf al-Lātiniyyah (Iqtirāḥāt

Marfūḍah);

22. “‫ فً اىنتبة واىظْخ‬..‫ ”ىٍيخ اىقذر‬Laylat al-Qadr fī al-Kitāb wa al-Sunnah;

23. “‫ ”اىَظيَىُ ثٍِ األسٍخ واىْهعخ‬al-Muslimūn bayn al-Azmah wa al-Nahḍah;

24. “‫ ”ٍشزوع ثزّبٍح تزثىي إلصالذ اىْفض‬Masyrū’ Barnāmij Tarbawī li Iṣlāḥ al-

Nafs;

25. “‫ ”ٍقذٍخ فً ػيٌ اىتفظٍز‬Muqaddimah fī ‘Ilm al-Tafsīr;

26. “( ‫ ىإلٍبً اثِ اىدشري (تحقٍق‬..ٍِ‫ ”ٍْدذ اىَقزئٍِ وٍزشذ اىطبىج‬Munjid al-Muqri’īn

wa Mursyid al-Ṭālibīn li al-Imām Ibn al-Jazarī (editor);

27. “ًٍ‫ ”اىَىد فً اىفنز اإلطال‬al-Mawt fī al-Fikr al-Islāmī;

28. “( ‫ ىإلٍبً اىغشاىً (تحقٍق‬..‫ ”اىَىد وأهىاه اىقٍبٍخ‬Al-Mawt wa Aḥwāl al-Qiyāmah

li al-Imām al-Ghāzāli (editor);

29. “1‫ ”ٍىطىػخ اىتفظٍز اىَىظىػً ج‬Mawsū’ah al-Tafsīr al-Mawḍū’ī; dan

30. “‫ ”وصبٌب طىرح اإلطزاء‬Waṣāyā Sūrah al-Isrā’.


21

Dari judul-judul karya di atas, nampak bahwa perhatian utama Farmāwī

berada dalam disiplin ilmu al-Qur‟an dan tafsīr, meskipun juga didapati karya-

karya populer Islam dan karya-karya di bidang dakwah dan hukum Islam, juga

tasawwuf. Terkait dengan bahasan tafsir tematik, ada dua dari karyanya yang

dapat dimasukkan ke dalam kategori ini yaitu; Al-bidāyah fī al-tafsīr al-mawḍū’ī

dan Mawsū’ah al-Tafsīr al-Mawḍū’ī. Al-Bidāyah ditulis selepas ia lulus program

doktor dan kemudian diangkat menjadi dosen secara penuh di universitas al-

Azhar. Sementara itu, tidak ada informasi yang menerangkan tentang karya yang

kedua, yang nampaknya hanya merupakan koleksi karya-karya yang dapat

dikategorikan sebagai karya penafsiran tematik al-Qur‟an.

Khusus al-Bidāyah fī al-Tafsīr Mawḍū’ī, karya al-Farmāwī ini ditulis dan

disajikan dengan penekanan pada pembahasan metodologis, dan karya ini

menitikberatkan pada pembahasan dan uraian mengenai metode tafsir mawḍū‟ī

beserta cara-cara pembahasan yang digunakan di dalam metode ini. Di dalam

kitab ini juga dijelaskan bagaimana cara mengungkap dan menyajikan segala

masalah yang dikandung oleh al-Qur‟an, serta bagaimana cara menggali dan

memahami segala petunjuknya.3

B. Sejarah Perkembangan Tafsir Tematik

Menurut Didi Junaedi dan Aisyah dalam artikelnya, bahwa dasar-dasar

tafsir mawḍū‟ī telah dimulai oleh Nabi saw.4 sendiri ketika menafsirkan ayat

3
Sebuah pengantar, „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī:
Dirāsah Manhajiah Mawḍū’īyah, terj. Suryan A. Jamrah, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu
Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. XVI.
4
Contoh tafsir mawḍū‟ī pada masa Nabi ialah seperti penafsiran beliau terhadap kata al-
ẓulm dalam ayat 82 surat al-An‟ām: “ ُ‫”اىذٌِ أٍْىا وىٌ ٌيجظىا إٌَبّهٌ ثظيٌ اوىئل ىهٌ األٍِ وهٌ ٍهتذو‬. Yang
beliau tafsirkan dengan kemusyrikan yang terdapat dalam ayat 13 surat Luqmān: “ ٌ‫إُ اىشزك ىظي‬
22

dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’thūr. Seperti

yang dikemukakan al-Farmāwī bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa

dipandang sebagai tafsir mawḍū’ī dalam bentuk awal. Menurut M. Quraish

Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru

besar jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Maḥmūd

Shaltūt, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsīr al-Qur’ān

al-Karīm. Sedangkan tafsir mawḍū‟ī berdasarkan subjek digagas pertama kali

oleh Aḥmad Sayyid al-Kūmīy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan

Syaikh Maḥmūd Shaltūt, Jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas Al-

Azhar, dan menjadi Ketua Jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini

digagas pada tahun 1960-an. Buah dari tafsir model ini menurut M. Quraish

Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad seperti; al-

Insān fī al-Qur’ān, al-Mar’ah fī al-Qur’ān, dan karya Abul A‟lā al-Mawdūdī, al-

Ribā fī al-Qur’ān. Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan

lebih sistematis oleh „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, pada tahun 1977, dalam kitabnya

al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī: Dirāsah Manhajiyah Mawḍū‘iyah.5

Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qur‟an, Badr al-Dīn

Muḥammad al-Zarkashī (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhān fī

‘Ulūm al-Qur’ān misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang

menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah.

ٌٍ‫”ػظ‬. Dengan penafsiran Nabi tersebut, telah menanamkan benih tafsir mawḍū‟ī dan
mengisyaratkan bahwa lafadz-lafadz sesuatu ayat yang sukar diketahui maksudnya perlu dicari
penjelasannya dari lafadz-lafadz ayat yang lain. Lihat Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada
Masa Kini: Sebuah Studi Perbandingan (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 87.
5
Didi Junaedi, “Mengenal Lebih Dekat Metode Tafsir Maudlu‟i”, Diya al-Afkar, Vol. 4
No.01 Juni 2O16, h. 25.
23

Demikian juga al-Suyūṭī (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān. Sementara tematik berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn

Qayyim al-Jauzīyah (1292- 1350H.), ulama besar dari mazhab Ḥanbalî, yang

berjudul al-Bayān fī Aqsām al-Qur’ān; Majāz al-Qur’ān oleh Abū „Ubaid;

Mufradāt al-Qur’ān oleh al-Rāghib al-Isfahānī; Asbāb al-Nuzūl oleh Abū al-

Ḥasan al-Wahīdī al-Naisābūrī (w. 468/1076).6

Adapun kedudukan tafsir mawḍū‟i, Abdul Djalal menjelaskan bahwa tafsir

mawḍū‟ī adalah tafsir yang memamakai metode khusus, yang mengumpulkan

beberapa ayat yang membicarakan satu judul/topik, yang satu ditafsirkan dengan

ayat yang lain. Sehingga tafsir mawḍū‟ī ini termasuk tafsir bi al-ma‟thūr yang

paling tinggi tingkatannya, karena merupakan tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an

atau tafsir ayat dengan ayat.

Abdul Djalal pun menegaskan bahwa dalam hal ini tidak ada seorangpun

yang menambah keistimewaan metode tafsir mawḍū‟ī ini, dan metode ini lebih

baik daripada metode-metode tafsir yang lain. Sebab tafsir mawḍū‟ī ini memakai

sumber penafsiran yang paling tinggi dan paling baik, karena memakai sumber

ayat-ayat al-Qur‟an yang sudah barang tentu lebih tinggi dan lebih baik daripada

sumber hadis, atau riwayat sahabat maupun riwayat tabi‟in.7

Menurut al-Farmāwī dan Abdul Djalil sebagaimana mereka mengutip

Ahmad Mihna bahwa cukup banyak para penafsir di tahun-tahun terakhir ini yang

menulis karya tafsir berdasar metode tafsir ini. Begitu juga pendapat Maḥmūd

Shaltūt, bahwa metode tafsir mawḍū‟ī adalah metode tafsir yang paling ideal,
6
Aisyah, “Signifikansi Tafsir Maudhu'i dalam Perkembangan Penafsiran al-Qur'an”,
Tafsere, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013, h. 27-28.
7
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini, h. 93.
24

yang perlu diperkenalkan kepada khalayak umum dengan maksud untuk

membimbing mereka mengenal macam-macam petunjuk yang dikandung oleh al-

Qur‟an, dan untuk menegaskan kepada mereka bahwa masalah-masalah yang

dikandung oleh al-Qur‟an tersebut tidak melulu bersifat teoritis semata tanpa

memiliki hubungan yang riil dengan apa yang dialami oleh individu dan

masyarakat serta segala aspek kehidupan mereka.8

C. Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī

Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos, yang berarti cara atau

jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, sedangkan bangsa Arab

menerjemahkannya dengan ṭarīqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata

tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai

maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem

untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang

ditentukan.9

Adapun pengertian tafsir, menurut Manna‟ al-Qaṭṭān, kata tafsir adalah

bentuk taf’il dari kata fassara, artinya menerangkan, membuka, dan menjelaskan

(al-bayān). Dalam bahasa Arab, kata al-fasru berarti membuka arti yang sukar

sedang kata al-tafsīr berarti membuka atau menjelaskan arti yang dimaksudkan

dari lafal-lafal yang sulit. Sementara al-Zarkashī mengatakan, kata tafsir berasal

dari kata tafsirah, artinya steteskop, yaitu alat yang dipakai oleh dokter untuk

memeriksa para pesien, fungsinya adalah membuka dan menjelaskan. Dengan alat

8
„Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī, h. 48. Lihat juga Abdul
Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini, h. 94.
9
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), h. 97.
25

tersebut seorang dokter dapat menjelaskan penyakit yang diderita oleh seorang

pasien. Demikian pula seorang mufassir, dengan tafsir ia dapat menjelaskan ayat-

ayat al-Qur‟an.10

Adapun pembagiannya, tafsir dapat diklasifikasikan melalui tiga tinjauan

yakni dari segi sumber, metode, dan corak. Dari segi sumber tafsir dapat

dikategorikan menjadi dua yakni al-tafsīr bi al-mathūr dan al-tafsīr bi al-ra’yi.

Kemudian dari segi metodologinya, tafsir dapat dibagi menjadi empat yaitu al-

tafsīr al-taḥlīlī, al-tafsīr al-ijmālī, al-tafsīr al-muqarran dan al-tafsīr al-mawḍū’ī.

Sementara dari segi corak, setidaknya ada beberapa corak yang sering disebutkan

oleh para ulama antara lain tafsir bercorak hukum (fiqh), sastra budaya (al-adāb

al-ijtimā’ī), ilmiah (al-ilmī), sufistik (al-ishārī/al-ṣūfī), dan filsafat (al-falsafī).11

Khusus metode tafsir tematik. Tematik dalam bahasa Arab disebut

mawḍū’ī. Al-Farmāwī dalam al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī: Dirāsah

Manhajiah Mawḍū’īyah menjelaskan bahwa tafsir mawḍū‟ī adalah istilah baru

dari ulama zaman sekarang dengan pengertian menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an

yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu

topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-

ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan

serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya

ini dengan metode mawḍū’ī, dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh

seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh

penyaji untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami


10
Alimin Mesra (ed.), Ulumul Qur’an (Jakarta Selatan: Pusat Studi Wanita [PSW] UIN
Jakarta, 2005), h. 216.
11
Alimin Mesra (ed.), Ulumul Qur’an, h. 218-219.
26

permasalahan tersebut dengan mudah dan bentul-betul menguasainya, sehingga

memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat

menolak segala kritik.12

Menurut M. Sja‟roni, di masa sekarang ini, tafsir tematik memegang peran

penting, karena dapat menyelesaikan problem-problem yang dihadapi masyarakat.

Persoalan-persoalan yang muncul dibelahan bumi dapat di lihat solusinya lewat

pendekatan penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan metode tematik.

Penafsiran al-Qur‟an dengan metode tematik sangat meluas di era informasi dan

globalisasi, karena disamping disusun secara praktis dan sistematis dengan

mengikuti kronologi turunnya ayat juga dapat menjawab tantangan zaman, karena

itu dapat dikatakan ṣaḥīḥ likulli zamān wa makān, dapat mengikuti perkembangan

zaman dengan menyesuaikan disegala tempat, situasi dan kondisi.13

Untuk mengetahui teori penggunaan metode mawḍū’ī yang dirumuskan al-

Farmāwī lebih spesifik langkah operasionalnya adalah sebagai berikut:14

a. Memilih atau menetapkan topik (obyek) kajian yang akan dibahas

berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an.15

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema buta

yang telah ditetapkan.16

12
„Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī, h. 36-37.
13
M. Sja‟roni, “Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I Edisi 12,
Tahun 10, 2014, h. 1.
14
Dalam penerapan metode mawḍū’i„, penulis merujuk pada: „Abd al-Hayy al-Farmāwī,
Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i. Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 45-46.
15
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji ayat yang terdapat kata kunci yaitu: a’mā (‫)أػَى‬
dan derivasinya, dengan menelusuri kitab karya Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H).
16
Dalam pelacakan ini, penulis menggunakan Aplikasi al-Qur‟an digital – Qur‟an
Kemenag RI (www.quran.kemenag.go.id)
27

c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa

turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.

d. Mengetahui kolerasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing

suratnya.

e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,

sempurna dan utuh.

f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila perlu, sehingga

pembahasan menjadi semakin jelas.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan

cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,

mengkompromikan antara pengertian yang ‘ām (ً‫)ػب َا ٌّم‬17 dan khāṣ

ْ ٍُ )19 dan muqayyad (‫) ٍُقَاٍَّذ‬,20


( ‫)خب َا ٌّم‬,18 antara yang muṭlaq (‫طيَاق‬

mengsingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif,

menjelaskan ayat nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat tersebut

17
‘Ām ialah naṣ yang memberikan pengertian umum. Yakni yang menunjukkan kepada
lebih dua hakikat, tanpa hingga atau mencakup segala afrad-nya, seperti perkataan al-rijāl (orang
laki-laki) atau al-nās (manusia). Kata itu mengenai lebih dari dua orang dengan umum; yakni
mengenai ini dan mengenai itu sekaligus. Keumuman pentunjuknya kepada lebih dari dua orang,
dinamai umum. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 167.
18
Khāṣ ialah naṣ yang menunjuk kepada yang tertentu, seperti perkataan Aḥmad. Dan
juga dipandang khās kalimat yang umum dari satu jurusan, menjadi khāṣ dari jurusan yang lain,
seperti perkataan mu’minūn (orang-orang mukmin). Dari jurusan ini dinamai ‘ām. Tetapi
perkataan itu memisahkan orang-orang yang tidak beriman, maka dari jurusan ini khāṣ namanya.
Tegasnya, kata khāṣ ialah kata yang hanya menunjuk kepada satu golongan saja, tidak yang lain.
Yakni kata yang tidak mengenai dua benda sekaligus. Lihat TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah &
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 167.
19
Muṭlaq ialah nāṣ yang menunjuk kepada satu saja, tetapi tidak dikaitkan dengan sesuatu
pengaitnya. Umpamanya, perkataan seorang budak saja tetapi tidak ditentukan budak yang
bagaimana. Dari jurusan tidak dikaitkan, ia menyerupai umum. Tetapi dari jurusan mengenai
seorang saja, dinamakan muṭlaq. Petunjuk demikian dinamai iṭlaq. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 168.
20
Muqayyad ialah naṣ yang menunjuk kepada satu yang dikaitkan dengan sesuatu sifat.
Umpamanya, seseorang berkata: “Seorang budak yang beriman”. Naṣ ini mengeluarkan budak
yang tidak beriman. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
h. 168.
28

bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau

tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang

sebenarnya tidak tepat.

Dengan langkah tersebut, dapat digambarkan secara cermat ayat-ayat yang

telah ditentukan, dan kemudian akan dianalisis pesan-pesan yang terkandung di

dalamnya.

Adapun teori tematik yang dirumuskan al-Farmāwī ini dikembangan oleh

Abdul Mustaqim dengan hasil macam-macam jenis penelitian. Menurutnya,

memakai metode tematik dapat mengontrol bias-bias ideologi yang dipaksakan

dalam penafsiran al-Qur‟an. Sebab akurasi sebuah penafsiran al-Qur‟an dapat

dilacak dengan mempertimbangkan struktur logis dan hubungan ayat-ayat yang

se-tema yang sedang menjadi obyek kajian. Dengan begitu, maka gagasan non-

qur‟ani dalam penafsiran al-Qur‟an dapat dieliminir sedemikian rupa.21 Dengan

demikian, Abdul Mustaqim menyebutkan bahwa macam-macam penelitian

tematik antara lain:

1. Tematik surat, yakni model kajian tematik dengan meneliti surat-surat

tertentu. Misalnya, meneliti tema “Penafsiran surat al-Ma‟un: Kajian

tentang Pesan Moral dalam Surat al-Ma‟un”. Hal yang dilakukan

adalah bagaimana menjelaskan penafsiran ayat-ayat surat al-Ma‟un,

dimana asbab al-nuzulnya, bagaimana situasi dan konteks yang

melingkupi di saat ayat itu turun, dan apa saja isi pokok pikiran dari

surat al-Ma‟un tersebut dan apa pesan-pesan moral di dalamnya.

21
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press
Yogyakarta, 2017), h. 60-61.
29

Pendekatan yang dipakai juga tergantung obyek formal yang hendak

dikaji. Hal ini dapat menggunakan pendekatan linguistik misalnya

pragmatik, atau stalistika al-Qur‟an, dan atau hermeneutika.

2. Tematik term, yakni model kajian tematik yang secara khusus meneliti

term (istilah-istilah) tertentu dalam al-Qur‟an. Misalnya, meneliti

dengan judul “Penafsiran Term Fitnah dalam al-Qur‟an”.22 Berapa kali

kata tersebut disebut dalam al-Qur‟an? Apa saja maknanya, dan dalam

konteks apa saja kata tersebut disebut di dalam al-Qur‟an. Hal-hal ini

yang harus dicermati dan diuraikan. Pendekatan semantik dalam

konteks riset ini menjadi tepat untuk dipilih. Sebab dalam pendekatan

semantik akan tampak dinamika perkembangan makna fitnah, baik

sinkroni maupun diakronik, bagaimana pula jejaring makna dalam

medan semantik dapat dieksplorasi dengan baik, kemudian dapat

menangkap world view (pandangan dunia) al-Qur‟an tentang term

fitnah.

3. Tematik konseptual, yakni riset ada konsep-konsep tertentu yang

secara eksplisit tidak disebut dalam al-Qur‟an. Tetapi secara subtansial

ide tentang konsep itu ada dalam al-Qur‟an. Misalnya tema, “Difabel

dalam perspektif al-Qur‟an”. Term difabel jelas tidak disebut secara

eksplisit dalam al-Qur‟an, tetapi ayat yang berbicara tentang difabel

dapat ditemukan di berbagai ayat al-Qur‟an. Cara pelacakannya adalah

22
Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Lilik Ummi Kaltsum dengan judul
“Fitnah dalam Al-Qur‟an (Suatu Kajian Tafsir Tematik)” Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998. Atau dapat dilihat di
https://independent.academia.edu/LilikUmmiKaltsum/CurriculumVitae
30

melalui term al-a’mā (orang buta), al-ṣum (tuli), al-bukm (bisu) dan

lain-lain.

4. Tematik tokoh, yakni kajian tematik yang dilakukan melalui tokoh.

Misalnya, ada tokoh yang punya pemikiran tentang konsep-konsep

tertentu dalam al-Qur‟an. Seperti contoh “Konsep poligami menurut

Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabir”, dan lain sebagainya.23

Melihat langkah-langkah operasional tafsir mawḍū‟ī di atas tampak lebih

mudah dan sederhana. Padahal, pada praktiknya terasa berat, sulit, dan rumit.

Karena itu, menurut Ahmad Izzan sebagaimana ia setuju dengan M. Quraish

Shihab yang mengingatkan bahwa menerapkan metode mawḍū‟ī memerlukan

keahlian akademis sehingga sikap hati-hati dan tekun sangat diperlukan.24

23
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, h. 61-63.
24
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 116.
BAB III

KLASIFIKASI DAN KATEGORISASI KATA A’MĀ

Dengan bantuan aplikasi al-Qur‟an digital (Qur‟an Kementerian Agama)

versi 1.3.3.91 dengan menginput kosa kata kategori buta didapat informasi bahwa

dalam al-Qur‟an digunakan beberapa kata untuk menunjukkan penyandang cacat,

‫) ُع‬, ummīy ( ‫)أ ُع ِم ُّي‬, akmah (َ ‫ )أ َ ْ َم‬dan berbagai


yaitu a’mā (‫ )أ ْع َمى‬atau ‘umyun ( ‫ع ْم ٌي‬

derivasinya serta ṭamsa (‫ )طمس‬untuk menunjukkan makna buta (tunanetra). Akan

tetapi pada penelitian ini hanay mengulas term a’mā (‫ )أعمى‬dan derivasinya

sehingga terlahir makna-makna yang lebih luas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, buta diartikan tidak dapat melihat

karena rusak matanya (atau disebut dengan tunanetra). Buta juga dimaknai tidak

tahu atau tidak mengerti sedikitpun tentang sesuatu.2 Dari Persatuan Tunanetra

Indonesia (Pertuni) 2004 mendefinisikan tunanetra ialah mereka yang tidak

memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki

sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk

membaca tulisan dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan

kacamata. Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai

penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan

gelap. Orang dengan kondisi ini kita katan sebagai “buta total”. Di pihak lain, ada

tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatannya sehingga mereka

masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan berbagai

1
www.quran.kemenag.go.id
2
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.

31
32

kegiatan sehari-hari termasuk membaca tulisan berukuran besar setelah dibantu

dengan kacamata.3

Pengertian tunanetra atau buta di sini memiliki pengertian secara luas,

pengertian tunanetra secara sempit adalah kehilangan sebagian atau seluruh

kemampuan untuk melihat, sedangkan pengertian dalam arti luas adalah

kehilangan penglihatan demikian banyak sehingga tidak dapat dibantu dengan

kacamata biasa. Jadi, tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan atau

kerusakan pada satu atau kedua matanya sehingga tidak dapat berfungsi secara

optimal.4 Orang tunanetra yang masih mempunyai sisa penglihatan yang

fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang “kurang awas” atau lebih dikenal

dengan sebutan low vision.5

Dalam sub-bab ini juga penulis akan menguraikan secara detail klasifikasi

dan kategorisasi kata a’mā (‫)أعمى‬. Kata ini akan ditelusuri satu persatu ayat-

ayatnya. Masing-masing ayat akan diklasifikasikan dalam dua hal yaitu

penggunaan bentuk kata isim dan fi’il yang dipergunakan, kemudian

dikategorisasikan ayat-ayat yang terkait buta fisik (lahiriah) dan psikis (batiniah).

Pelacakan bentuk kata mengacu kepada gramatikal bahasa Arab. Kalimat dalam

bahasa Arab terdiri dari tiga yaitu isim, fi’il, dan huruf. Namun penelitian pada

bab ini hanya membahas isim dan fi’il saja. Isim menurut bahasa ialah sesuatu

3
Ardhi Wijaya, Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta:
Javalitera, 2012), h. 12.
4
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak
Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 36.
5
Low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu mata harus didekatkan, atau mata
harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandangan kabur ketika
melihat objek. Untuk mengatasi permasalahan penglihatannya, para penderita low vision ini
menggunkan kacamata atau kontak lensa. Lihat Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, h. 36.
33

yang menunjukkan benda atau nama. Menurut istilah pakar nahwu, isim adalah

kata yang menunjukkan atas makna pada dirinya sendiri tanpa terikat dengan

zaman atau waktu tertentu.6 Fi’il menurut bahasa adalah kejadian yang baru.

Sedangkan menurut istilah pakar nahwu ialah kata kerja yang menunjukkan

maksud atau makna dengan terikat waktu tertentu.7 Tujuan dari pelacakan bentuk

kata diperlukan untuk memperoleh data bentuk kata yang paling sering dipakai al-

Qur‟an. Banyaknya pengulangan bentuk kata dapat memberikan indikator makna

dari ayat-ayat tersebut. Maka, dari cara penelusuran kata-kata tersebut akan

terlahir makna-makna yang lebih luas.

Disamping penggunaan bentuk kata (fi’il dan isim), penelusuran

dilanjutkan pada pencarian kategorisasi ayat-ayat buta. Dari hasil pelacakan ini,

maka pentingnya dalam pembahasan bab ini akan dapat ditemukan ayat mana

yang mengulas atau mencakup tentang buta secara fisik dan ayat mana yang

mencakup buta secara psikis.

A. Pengertian Kata A’mā dalam Al-Qur’an

Term a’mā (‫ )أعمى‬atau ‘umyūn ( ‫ع ْم ٌي‬


‫) ُع‬. Berdasarkan hasil penelusuran

Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm terulang sebanyak 33 kali dalam

30 ayat serta tersebar dalam 21 surat. Term ini terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]:

18, 171; QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50, 104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64,

6
Muḥammad Muḥy al-Dīn „Abd al-Ḥamid, al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah: Fī Qawāid al-Naḥw wa al-I’rāb (Damaskus: Mu‟assasah al-
Risalah Nāsyirun, 1393 H/2016), h. 39. Lihat juga Muḥammad Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Syarh al-
Ājurumiyyah (Riyād: Maktabah al-Rusyd Nāsyirun, 2003), h. 36. Lihat juga Muh. Haris
Zubaidillah, Pengantar Ilmu Nahwu: Belajar Bahasa Arab Sampai Bisa (Hulu Sungai Utara:
Penerbit Hemat, t.t), h. 10.
7
Muḥammad Muhy al-Dīn „Abd al-Ḥamid, al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah, h. 39. Muḥammad Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Syarh al-Ājurumiyyah, h.
36. Muh. Haris Zubaidillah, Pengantar Ilmu Nahwu, h. 10.
34

QS. Yūnus [10]: 43, QS. Hūd [11]: 24, QS. al-Ra‟d [13]: 16, 19, QS. al-Isrā‟ [17]:

72, 97, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-Ḥaj [22]: 46, QS. al-Nūr [24]: 61, QS. al-

Furqān [25]: 73, QS. al-Naml [27]: 66, 81, QS. al-Qaṣaṣ [28]: 66, QS. al-Rūm

[30]: 53, QS. Fāṭir [35]: 19, QS. Ghāfir [40]: 58, QS. Fuṣṣilat [41]: 17, QS. al-

Zukhruf [43]: 40, QS. Muḥammad [47]: 23, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS. „Abasa

[80]: 2.8

Kata a’mā (‫ )أعمى‬secara literal berarti orang yang buta secara fisik.
9
‘Umyūn ( ‫ع ْم ٌي‬
‫ ) ُع‬secara etimologi berarti hilangnya daya penglihatan, begitu juga

dalam kitab Lisān al-‘Arāb disebutkan bahwa ‘umyūn ( ‫ع ْم ٌي‬


‫ ) ُع‬berarti hilangnya

penglihatan pada kedua mata. Dalam al-Qur‟an term ini mempunyai dua arti, yaitu

difabel secara fisik (orang yang cacat fisiknya) dan difabel mental (orang yang

cacat teologinya).

Mengambil dari penjelasan QS. Ṭāhā [20]: 124 terkait pemaknaan buta,

Ibn Katsīr menjelaskan term buta pada ayat di atas yakni mereka yang selama

hidupnya berpaling dari peringatan Allah orang yang menyalahi perintah yang

telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, melupakannya, dan mengambil selain

petunjuk dari Rasul-Nya. Nanti mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta

mata lahir dan batin.10 Al-Marāghī menjelaskan term buta dimaksudkan buta

terhadap surga, karena kejahilan yang pernah dilakukan di dunia akan tetap

8
Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm
(Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H), h. 488-489.
9
CD ROM Maktabah Syamilah, Al-Mu’jam al-Wasith, juz. 1, h. 1086.
10
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisir al-Alliy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
terj. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 3, h. 275.
35

melekat di akhirat kelak.11 M. Quraish Shihab juga memaknai term buta dengan

buta terhadap jalan menuju surga. Kehidupan yang sempit adalah kehidupan yang

sulit dihadapi, lahir dan batin. Kehidupan yang sedemikian menjadikan seseorang

tidak pernah merasa puas, dan selalu gelisah, karena tidak menoleh kepada hal-hal

yang bersifat rohaniah, tidak merasakan kenikmatan ruhani karena mata hatinya

buta dan jiwanya terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat material.12 Seseorang

yang dianggap buta, dalam al-Qaṣaṣ [28]: 66 disebutkan tidak melihat sesuatu

serta gelap baginya alam raya ini. Dari sini buta yang dimaksud dapat dipahami

dalam arti gelap atau tidak melihat. Yang dimaksud adalah mereka tidak

menemukan jawaban.13

Penjelasan lain terkait pemaknaan term buta diungkapkan Ibn Kathīr

dengan merujuk QS. Fāṭir [35]: 19 sebagai bentuk perumpamaan kaum muslimin

dan kaum kafir. Kaum mukmin bagaikan orang yang hidup, sedangkan kaum kafir

bagaikan orang yang mati. Keduanya tidaklah sama. Orang mukmin dapat melihat

dan berjalan di dunia dan di akhirat sehingga dia sampai di surga. Sementara

orang kafir itu buta tuli dan berjalan dalam kesesatan sehingga ia sampai pada

neraka.14 Begitu juga pendapat al-Maraghi yang menyimpulkan bahwa buta pada

QS. Fāṭir [35]: 19 merupakan perumpamaan orang-orang kafir yang berjalan

dalam kegelapan-kegelapan, dia tak bisa keluar dari padanya. Sehingga ia terseret

menuju neraka. Sedang orang yang melihat adalah orang mukmin, mendengarkan

11
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), Jilid 16, h. 295.
12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 11, h. 700.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 10, h. 387.
14
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisirul al-Alliyul Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 3, h. 963.
36

dan berhati terang. Dia dapat berjalan pada jalan yang lurus di dunia dan akhirat,

sehingga memantapkan keadaannya sampai masuk ke surga.15

Pendapat Ibn Kathīr dan al-Marāghī juga dikuatkan M. Quraish Shihab,

bahwa kata buta pada ayat di atas merupakan keadaan orang-orang kafir. Orang

kafir yang disamakan dengan orang buta. Seorang yang buta bisa saja mengetahui

sesuatu, tetapi pengetahuannya atas dasar pandangannya sama sekali nihil hingga

pada akhirnya pengetahuannya sangat kurang dan diliputi oleh ketidakpastian.

Kafir, kalaupun mengetahui sesuatu, yang diketahuinya hanyalah fenomena

kehidupan duniawi, bukan fenomena kehidupan ukhrawi, karena ia tidak dapat

memiliki pandangan hati yang mampu menunjukkan kepadanya makna hidup

ukhrawi itu.16 Begitu juga pendapat Maulana Muhammad „Ali. Ia berpendapat

bahwa a’mā (‫ )أعمى‬atau buta itu secara ibarat dapat digunakan sehubungan dengan

jiwa, dalam arti sesat; adapun hubungan antara dua arti itu ialah tidak menemukan

jalan kebenaran, tidak mengambil jalan kebenaran, atau buta jiwanya.17

B. Penggunaan Kata A’mā dalam Al-Qur’an

Kata ‫( أ َ ْع َمى‬a’mā) atau ‫ع ْم‬


‫‘( ُع‬umyun). Secara literal kata ‫( أ َ ْع َمى‬a’mā) atau

‫ع ْم‬
‫‘( ُع‬umyun) ini berasal dari mufradat bahasa Arab dalam bentuk fi’il (kata kerja)

‫ع َمى‬
َ (fi’il māḍī), ‫( يَ ْع َمى‬fi’il muḍāri’), sedangkan bentuk fā’il-nya (subjek) adalah

‫ أ َ ْع َمى‬dan ‫ع ْم‬
‫ ُع‬adalah bentuk maṣdar-nya (infinitive), dimana kosa kata ini

memiliki makna hilangnya seluruh pengelihatan,18 membutakan atau menjadikan

15
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, Jilid 22, h. 212.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 11, h. 48.
17
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur’an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XXIV, h. 1315.
18
Ibnu Mazhūr, Lisān al-‘Arāb, jilid 4 (Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 2010), h. 3115.
37

buta.19 Pengertian ini sesuai dengan kata „buta atau tunanetra‟ dalam bahasa

Indonesia.20 Sedangkan dalam Qāmūs Mushthalahāt al-‘Ulūm al-Ijtimā’iyah al-

Injilizī wa al-‘Arābī, kata a’ma berarti suatu keadaan terhambatnya pengelihatan

yang mencakup kebutaan total maupun keadaan-keadaan lain yang mendekatinya,

yang dalam bahasa Inggris disebut blindness.21 Dalam al-Qur‟an term ini

mempunyai dua arti, yaitu difabel secara fisik (orang yang cacat fisiknya) dan

difabel mental (orang yang cacat teologinya). Maka, untuk mengetahui pembagian

term a‟mā dan derivasinya berdasarkan bentuk kata (fi’il) dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Kata Jumlah Ayat Fi‟il


Māḍī Muḍāri‟ Amr
A’mā (‫)أعمى‬ - - - -
‫عموا‬ 2 kali dalam 1 al-Mā‟idah [5]: 71 (2) - -
ayat
َ ‫ع ِمم‬
َ 1 kali dalam 1 al-An‟ām [6]: 104 - -
ayat
ْ َ ‫ع ِم ِّمم‬
َ 1 kali dalam 1 al-Qaṣaṣ [28]: 66 - -
ayat
ْ َ ‫ع ِم ِّمم‬
‫ُع‬ 1 kali dalam 1 Hūd [11]: 28 - -
ayat
‫تعمى‬ 2 kali dalam 1 - al-Ḥajj [22]: -
ayat 46 (2)

Yang kedua, kata a’mā (‫ )أعمى‬dan derivasinya berdasarkan bentuk isim

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Kata Jumlah Ayat Isim


Maṣdar Fā‟il Maf‟ūl
A’mā (‫ )أعمى‬14 kali dalam - al-An‟ām [6]: 50, -
14 ayat, Hūd [11]: 24, al-
tersebar Ra‟d [13]: 16 &
19
Lihat aplikasi al-Ma’ānī Likulli Rasm Ma’nā
20
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.
21
Muslih al-Shālih, Qāmūs Musthalahāt al- ‘Ulum al-Ijtimā’iyah Injilizī wa al-‘Arābī
(Riyāḍ: Dār al-„Alam al-Kutūb, 1419 H), h. 69.
38

dalam 11 19, al-Isrā‟ [17]:


surat 72 (2), Ṭāhā [20]:
124-125, al-Nūr
[24]: 61, Fāṭir
[35]: 19,
Muḥammad [47]:
23, al-Fatḥ [48]:
17, Ghāfir [50]:
58, „Abasa [80]: 2
‫ عم ٌي‬6 kali dalam al-Baqarah [2]: 18 - -
6 ayat, dan & 171, Yūnus
tersebar [10]: 43, al-Naml
dalam 5 surat [27]: 81, al-Rūm
[30]: 53, al-
Zukhruf [43]: 40
‫ عم ا‬2 kali dalam - - al-Isrā‟
2 ayat [17]: 97,
al-Furqān
[25]: 73
‫ ااعَ َم ٰىى‬1 kali dalam Fuṣṣilat [41]: 17 - -
1 ayat
‫مى‬‫ع ًى‬ َ 1 kali dalam Fuṣṣilat [41]: 44 - -
1 ayat
َ‫ع ِمم ْه‬ َ 1 kali dalam - al-A‟rāf [7]: 64 -
1 ayat
‫ عمون‬1 kali dalam - al-Naml [27]: 66 -
1 ayat

Tabel di atas menunjukkan bahwa secara garis besar al-Qur‟an

menggunakan kata a’mā (‫ )أعمى‬serta derivasinya dalam dua bentuk yaitu, bentuk

fi’il dan isim. Fi’il adalah kata kerja yang memiliki waktu tertentu yaitu waktu

lampau (māḍī), sekarang atau akan datang (muḍāri’) dan kata kerja perintah

(amr). Sedangkan isim adalah kata benda. Ada tiga bentuk kata benda yaitu kata

kerja yang dibendakan (maṣdar), bentuk yang menunjukkan subyek (fā’il), dan

bentuk yang menunjukkan obyek (maf’ūl). Hasil penelusuran penelitian ini

menunjukkan bahwa al-Qur‟an menggunakan kata a’mā (‫ )أعمى‬dalam bentuk fi’il-


39

māḍī tidak ditemukan, hanya 5 kali ditemukan dalam bentuk derivasi kata, serta

ditemukan 2 kali dalam bentuk fi’il-muḍāri’.

Adapun dalam bentuk isim, kata a’mā (‫ )أعمى‬ditemukan 16 kali dalam 16

ayat tersebar dalam 13 surat dalam bentuk isim-fā’il, serta derivasi kata a’mā

(‫ )أعمى‬ditemukan 2 kali dalam 2 ayat-surat dalam bentuk isim-maṣdar dan 2 kali

dalam 2 ayat-surat dalam bentuk isim-maf’ūl. Namun, dalam penelitian ini tidak

ditelusuri siapakah subyak (fā’il) dan obyek (maf’ūl)nya jika melalui ketiga kata

tersebut. Akan tetapi, dalam penelitian ini hanya akan ditelusuri kategorisasi ayat-

ayat buta secara fisik (lahiriah) dan psikis (batiniah). Hal ini akan dibahas pada

sub bab berikutnya.

C. Kategorisasi Kata A’mā dalam Al-Qur’an

Pada bahasan sub bab ini akan ditelusuri kategorisasi ayat-ayat buta dalam

al-Qur‟an. Tujuan penelusuran ini untuk mengetahui seberapa banyak terulang

atau dominasi penggunaan kata a’mā (‫ )أعمى‬dan derivasinya dalam penggunaan

ayat buta secara fisik/ lahiriah dan ataukah psikis/ batiniahnya yang ada dalam al-

Qur‟an. Banyaknya pengulangan bentuk kata dapat memberikan indikator makna-

makna lain dari ayat-ayat tersebut. Untuk mengetahuinya dapat melihat tabel

sebagai berikut ini:

Kata Ayat-ayat Buta


Fisik (lahiriah) Psikis (batiniah)
A’mā (‫)أعمى‬ al-Nūr [24]: 61, al- al-Baqarah [2]: 18 & 171, al-Mā‟idah [5]:
Fatḥ [48]: 17, 71 (2), al-An‟ām [6]: 50 & 104, al-A‟rāf
„Abasa [80]: 2 [7]: 64, Yūnus [10]: 43, Hūd [11]: 24 & 28,
al-Ra‟d [13]: 16 & 19, al-Isrā‟ [17]: 72 (2)
& 97, Ṭāhā [20]: 124-125, al-Ḥajj [22]: 46
(2), al-Furqān [25]: 73, al-Naml [27]: 66 &
81, al-Qaṣaṣ [28]: 66, al-Rūm [30]: 53, Fāṭir
40

[35]: 19, Fuṣṣilat [41]: 17 & 44, al-Zukhruf


[43]: 40, Muḥammad [47]: 23, Ghāfir [50]:
58.

Tabel di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat buta pada term a’mā (‫)أعمى‬

dan derivasinya disebutkan kurang lebih 30 kali. Artinya term a’mā (buta) dalam

al-Qur‟an lebih banyak perhatiannya terhadap kaum yang dianggap buta secara

psikis. Dalam hal ini baik secara perilaku, isi pikiran, alam perasaan, kebiasaan

dan pengetahuan yang dianggap ingkar/sesat terhadap petunjuk/ayat-ayat al-

Qur‟an. Kaum yang dimaksud adalah para penentang atas peringantan Allah dan

nabinya, yakni kaum kafir, Yahudi, musyrikin, orang munafir, pendusta, dan lain

sebagainya. Adapun dalam al-Qur‟an sendiri perhatiannya terhadap kaum yang

buta secara fisik terulang 7 kali. Kendati demikian, bahwa al-Qur‟an

membuktikan dirinya sebagai peringatan/petunjuk yang nyata bagi umat manusia.


BAB IV

DIMENSI BUTA DALAM AL-QUR’AN

Hasil penelusuran al-Qur‟an menggunakan term a‟mā (ً‫ )أعو‬dalam

beberapa bentuk kata terulang 34 kali dalam 30 ayat serta tersebar dalam 27 surat

yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya telah menghasilkan sampling

sebagai pembahasan berikut:

A. Buta Fisik (Lahiriah)

1. Perlakuan terhadap Orang Buta (Tunanetra)

                 

           


          

            

  


          
 

             

    


Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak
(pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama
mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di
rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang
perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu
yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah)
yang kamu miliki kuncinya) atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada
halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila
kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada
penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam

41
42

yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-
ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.
Terkait ayat di atas, al-Ṭabarī menyebutkan sebuah riwayat, bahwa pernah

diceritakan kepadaku dari al-Ḥusain, ia berkata: Aku mendengaar Abū Mū‟adh

berkata: Ubayd memberitahukan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar al-

Ḍaḥḥāk berkata tentang firman Allah, “ ‫ ”ليس علً األعوً حرج‬tidak ada halangan

bagi orang buta. bahwa sebelum diutusnya Nabi saw., penduduk Madinah tidak

makan bercampur dengan orang-orang buta dan orang-orang sakit. Sebagian

berkata, “Mereka menjijikkan dan kotor.” Sebagian lain berkata, “Orang-orang

sakit itu tidak sempurna dalam makan mereka, sebagaimana orang yang sehat

menyempurnakan makan mereka. Mereka yang pincang tertahan karena tidak

mampu mendesak-desakan dalam makan, sedangkan yang buta tidak dapat

melihat makanan yang baik.” Allah lalu menurunkan firman-Nya yang berisi

tentang tidak ada dosa bagimu untuk makan bersama orang sakit, orang pincang,

dan orang buta.”1

Riwayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur‟an hadir dalam bentuk kritik

sosial terhadap realitas sosial yang berkembang saat itu seperti dalam QS. al-Nūr

[24]: 61 yang merombak kebiasaan masyarakat Madinah yang makan secara

terpisah dari orang pincang, sakit, dan buta. Dari ayat ini terlihat bagaimana Islam

sebagai perintis dalam memenuhi hak-hak difabel kendati menurut Maysaa S.

Bazna dan Tarek A. Hatab, konsep difabel yang berkembang saat ini tidak

1
Abū Ja‟far Muḥammad bin Jarir al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān „an Ta‟wil Ayi al-Qur‟ān,
terj. Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), juz 19, h. 265-266.
43

ditemukan di dalam al-Qur‟an.2 Ibn Kathīr sendiri menjelaskan bahwa ahli tafsir

berbeda pendapat tentang alasan pemberian dispensasi kepada orang buta, orang

pincang dan orang sakit.3

Menurut Ibn Kathīr, munasabah QS. al-Nūr [24]: 61 dapat disamakan

dengan QS. al-Fatḥ [48]: 17 yang berkenaan dengan masalah jihad. Yakni, tidak

ada dosa atas mereka untuk meninggalkan jihad karena kelemahan dan

ketidakmampuan mereka. Permasalahan ini juga dikuatkan pada QS. al-Tawbah

[9]: 91-92.4

                 

             

 
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas
orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). dan Barangsiapa yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling
niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.
Sebagai penguat pendapat di atas, al-Ṭabarī menyebutkan sebuah riwayat;

pertama, al-Ḥasan bin Yaḥyā menceritakan kepada kami, ia berkata. „Abd al-

Razzaq memberitahukan kepada kami dari Ma‟mar, ia berkata: Aku berkata

kepada al-Zuhrī tentang firman Allah, “ ‫ ”ليس علً األعوً حرج‬tidak ada halangan

bagi orang buta. Mengapa orang-orang yang buta, sakit, dan pincang disebutkan

di dalam ayat ini? Dia berkata, „Abdullāh bin „Abdullāh memberitahukanku

2
Sri Handayana, "Difabel dalam Al-Qur'an", INKLUSI: Journal of Disability Studies,
Vol. 3, No. 2 Jul-Des 2016, h. 268.
3
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 18, h. 85.
4
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 18, h. 85.
44

bahwa jika kaum muslimin berperang, maka mereka meninggalkan orang-orang

cacat itu dan memberikan kunci-kunci rumah mereka. Mereka berkata, “Telah

kami halalkan bagimu untuk makan makanan yang ada di dalam rumah kami.”

Orang-orang cacat itu merasa berdosa dengan hal itu, maka mereka berkata, “Kita

tidak akan masuk ke dalam rumah, karena mareka tidak ada.” Allah kemudian

menurunkan ayat ini sebagai rukhṣah bagi mereka.5

Kedua, Ibn Abdil A‟lā menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibn Tsaur

menceritakan kepada kami dari Ma‟mar, dari Qatadah, tentang firman Allah “ ‫ليس‬

‫ ”علً األعوً حرج وال علً األعرج حرج وال علً الوريض حرج‬Tiada dosa atas orang-orang

yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak

ikut berperang. Dia berkata, ini seluruhnya pada masalah jihad.

Ketiga, Bishr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan

kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari Qatadah, dia

berkata: Kemudian Allah menerima udzur orang-orang yang memiliki udzur. Dia

berfirman, “ ‫ ”ليس علً األعوً حرج وال علً األعرج حرج وال علً الوريض حرج‬Tiada dosa

atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang

sakit (apabila tidak ikut berperang.

Keempat, diceritakan kepadaku dari Ḥusain, ia berkata: Aku mendengar

Abū Mu‟adh berkata: Ubayd mengabarkan kepada kami, ia berkata: Aku

mendengar al-Ḍaḥḥāk berkata tentang firman Allah, “ ً‫ليس علً األعوً حرج وال عل‬

‫ ”األعرج حرج وال علً الوريض حرج‬Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas

5
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 19, h. 268.
45

orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang.

Maksudnya adalah dalam perang.6

QS. al-Fatḥ [48]: 17 mengancam orang-orang yang enggan memenuhi

ajakan pergi berjihad, hanya saja mengecualikan beberapa kelompok dengan

menyatakan: Tiada dosa atas orang yang buta bila tidak memenuhi ajakan itu dan

tidak juga atas orang pincang yakni cacat dan demikian juga tidak atas orang sakit

dengan jenis penyakit apapun. Maka barangsiapa di antara mereka tidak

memenuhi ajakan itu, maka hal tersebut dapat ditoleransi baginya dan barangsiapa

yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menyambut ajakan itu – baik yang

sehat maupun yang memiliki baragam uzur yang dibenarkan; niscaya Allah

memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawah istana-istana-nya,

sungai-sungai, dan barangsiapa yang berpaling enggan menyambut ajakan itu

niscaya akan disiksa-Nya dengan siksa yang pedih.

Aḥmad Musṭafā al-Marāghī menjelaskan perkara serupa dengan pendapat

Ibn Kathīr, bahwa tidak berdosa bagi orang yang mempunyai udzur apabila

mereka tidak ikut berjuang dan menyaksikan peperangan bersama orang-orang

mukmin apabila mereka bertemu musuh mereka, karena cacat-cacat yang ada

pada mereka maupun sebab-sebab lain yang mencegah mereka dari ikut berperang

seperti buta, pincang dan penyakit lainnya.7

M. Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat di atas tidak menggunakan

redaksi pengecualian yakni tidak menyatakan bahwa kecuali orang buta dan

seterusnya. Ini untuk mengisyaratkan bahwa kecuali orang buta dan seterusnya.
6
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 23, h. 589-591.
7
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj.Bahrun Abu Bakar dkk (Semarang:
PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 169.
46

Ini untuk mengisyaratkan bahwa sejak awal mereka sudah tidak dibebani untuk

pergi berperang – sehingga kelompok ini bukan kelompok yang dikecualikan.

Namun demikian, pernyataan tidak ada dosa tanpa menyebut dalam hal apa

ketiadaan dosa itu untuk mengisyaratkan bahwa kehadiran mereka tidak terlarang,

karena kehadiran mereka yang memiliki udzur itu sedikit atau banyak dapat

membantu dan memberi dampak positif bagi kaum muslimin.8

Al-Qur‟an sendiri mengembangkan sikap positif terhadap orang buta.

Sebagai bukti, al-Qur‟an memberikan akomodasi khusus (rukhsah) terhadap orang

buta juga tergambar dari QS. al-Nūr [24]: 61. Namun pada ayat ini

menggambarkan tidak hanya bagi orang buta, tapi juga merepresentasikan semua

jenis difabilitas. Handicap diwakili oleh difabel netra, kecelakaan (kehilangan

salah satu anggota tubuh) dipresentasikan oleh pincang, dan orang sakit

menggambarkan bentuk difabel lainnya. Ayat ini mengizinkan orang-orang

dengan kondisi fisik tertentu untuk tidak ikut berperang.9

Menurut Khairunnas Jamal dkk, bahwa dalam ilustrasi budaya Arab saat

itu, buta, termasuk bisu, tuli mewakili individu atau kelompok yang secara sosial

diasingkan serta dimarjinalkan, yakni gololongan yang rendah dan hina.

Penyandang cacat dipandang sebelah mata dan tidak memiliki kedudukan di

tengah masyarakat. Berdasarkan catatan sejarah dan tinjauan antropologis,

kehidupan bangsa Arab pra Islam berada pada suatu keadaan yang sangat keras

8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 13, h. 196-197.
9
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 277.
47

disebabkan perwatakan yang keras dan pemberani hasil bentukan kondisi

geografis yang cadas.10

Bangsa Arab segan makan bersama dengan orang buta. Dalam hal ini,

bangsa Arab adalah sama dengan bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Begitu

juga, sampai sekarang bangsa Hindu suka makan sendirian. Maka Islam

meletakkan jalan tengah. Orang Islam boleh makan sendiriam, boleh makan

bersama orang cacat dan sebagainya, dan boleh makan di rumah sanak kerabat,

atau di rumah kawan. Bagian terkahir ayat ini menerangkan bahwa orang Islam

dianjurkan supaya bersikap ramah-tamah terhadap sanak kerabat, sehingga orang

boleh saja ikut makan di rumah mereka, sekalipun tak mendapat undangan

khusus.11

             

   


Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang
buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari
dosa), Atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya?
Difabel juga menempati posisi mulia ketika „Abdullāh ibn Ummi Maktūm

menjadi penyebab Allah menegur Rasulullah saw. Dalam asbāb al-nuzūl QS.

„Abasa [80]: 1-4 dijelaskan bahwa Rasulullah saw bermuka masam dan

mengabaikan seorang buta bernama „Abdullāh ibn Ummi Maktūm yang ingin

10
Khairunnas Jamal, Nasrulah Fatah dan Wilaela: Eksistensi Kaum Difabel dalam
Perspektif Al-Qur‟an, Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017, h. 227.
11
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur‟an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XVIII, h. 996.
48

belajar Islam dan lebih memfokuskan perhatiannya pada pembesar Quraisy.12

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum difabel juga berhak mendapatkan kesempatan

untuk mempelajari Islam.13 Ibn Kathīr menjelaskan tentang kondisi yang

dilakukan Nabi bermuka masam sangat beralasan; bahwa „Abdullāh ibn Ummi

Maktūm merupakan salah seorang yang memeluk Islam lebih awal, dan Nabi

sendiri berharap dan berkeinginan untuk memberi petunjuk kepadanya, hanya saja

Nabi saw mungkin tidak banyak waktu untuk berbicara kepadanya; fokus

perhatian Nabi kepada pembesar Quraisy adalah berharap mereka mau memeluk

Islam. Akan tetapi tiba-tiba muncul „Abdullāh ibn Ummi Maktūm untuk bertanya

kepada beliau tentang suatu permasalahan seraya mendesak beliau.14

Pendapat Ibn Kathīr di atas juga dikuatkan Maulana Muhammad „Ali. M.

Muhammad „Ali beralasan bahwa Nabi Muhammad tidak langsung menanggapi

pertanyaan „Abdullāh ibn Ummi Maktūm atas kejadian itu karena beliau

menerima wahyu. Peristiwa ini menunjukkan bahwa sumbernya wahyu bukanlah

dari batin Nabi Muhammad sendiri. Pertama, tak ada perlakukan sewenang-

wenang yang menyebabkan Nabi merasa menyesal, sebagaimana dikira oleh

Rodwell bahwa Nabi berlaku sewenang-wenang terhadap orang buta itu. Bahwa

Nabi tak menaruh perhatian kepada orang yang mengganggu, selagi beliau belum

selesai dalam pembicaraan, adalah wajar. Lagi pula beliau tak marah kepada

orang yang mengganggu itu, tetapi hanya menunjukkan sikap tak senang dan tak

12
Dalam sebuah riwayat, pembesar tersebut adalah Utbah bin Rabi‟ah, Abū Jahl bin
Hisyām dan „Abbās bin „Abd al-Muthālib. Nabi Muhammad saw. mengharapkan mereka masuk
Islam, karena mereka memiliki pengaruh yang cukup besar, sehingga mereka bisa memperkuat
agama Islam. Lihat Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1999), Jilid 8, h. 320.
13
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 268.
14
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 30, h. 398.
49

memberi jawaban kepadanya, sebagaimana terang ayat di atas. Kedua, sekalipun

orang yang mengganggu beliau menyesal karena tak memberi jawaban kepada

orang buta itu, maka cukuplah seandainya beliau memanggil dan

memperlakukannya dengan lebih ramah. Setidak-tidaknya, jika itu diserahkan

kepada pendapat mufassir, maka bukan beliaulah yang terus-menerus mencela

perbuatan sendiri. Oleh karena itu, sumbernya wahyu yang diterima Nabi

Muhammad adalah diluar batin beliau sendiri atau diluar keinginan beliau.15

Perlu kiranya penulis mengenalkan surat „Abasa. Namanya yang paling

populer adalah surat „Abasa (cemberut). Ada juga yang menamainya surat al-

Shākhkhah (yang memekakkan telinga), surat al-Safarah (para penulis kalam

Ilahi) dan surat al-A‟mā (sang tunanetra) yang kesemuanya diambil dari kata-kata

yang terdapat dalam surat ini. M. Quraish Shihab mengutip pendapat Ibn al-„Arābī

dalam tafsirnya Aḥkām al-Qur‟ān bahwa surat ini dinamakan surat Ibn Ummi

Maktūm, karena awal surat ini turun berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang

buta itu.16

Al-Qur‟an menjelaskan segala hal yang dibutuhkan umat manusia,

petunjuk, dan rahmat (memberikan kebaikan). Oleh karena itu, menjadi suatu

kewajaran dan keharusan jika al-Qur‟an dikaji terus menerus dan (idealnya)

dihubungkan dengan realitas sosial. Respon al-Qur‟an terhadap kebiasaan

masyarakat Madinah dan Ibn Maktūm yang buta di atas mengindikasikan bahwa

al-Qur‟an peka dengan fenomena sosial yang berkembang. Tugas seorang

15
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur‟an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XXX, h. 1666.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Volume 15, h. 57.
50

pengkaji al-Qur‟an adalah menangkap pesan-pesan sosial di balik teks yang

diwahyukan empat belas abad lalu agar dapat diimplementasikan pada zaman

sekarang.17

Islam memang memberikan keringanan bagi kaum difabel. Namun

berbeda dari pelacakan Sri Handayana yang mengutip sebuah hadis berikut

memberikan sudut pandang berbeda ketika Rasulullah menolak permintaan

seorang sahabatnya yang buta untuk tidak salat berjamaah ke masjid. Sebaliknya,

Rasulullah menyuruhnya untuk salat berjamaah ke masjid sama seperti yang

lainnya:

ُ ‫س ِِل قَائِ ٌد يَ ُق‬


‫ودِِن إِ َِل‬ ِِ
َ ‫ال ََي َر ُس ْو َل هللا إنَّوُ لَْي‬
َ ‫َِّب ﷺ َر ُج ٌل أَ ْع َمى فَ َق‬َّ ِ‫ال أَتَى الن‬
َ َ‫َع ْن أَِِب ُى َريْ َرةَ ق‬
َ ‫َّص لَوُ فَ لَ َّما َوَِّل َد َعاهُ فَ َق‬ ِِ ِ ‫هللا ﷺ أَ ْن ي رِّخص لَو فَ ي‬ ِ ‫ول‬ َ ‫ فَ َ أ ََل َر ُس‬.‫ال َْم ْ ِ ِد‬
‫ال‬ َ ‫صلّ َى ِِف بَ ْيتو فَ َرخ‬ َ ُ ُ َ َُ
« ْ ‫َج‬ ِ ‫ال »فَأ‬َ َ‫ ق‬. ْ َ َ‫ال ن‬ َ ‫لص َ ِة« فَ َق‬
َّ ِ ‫اا‬ ِ
َ ‫» َى ْل تَ ْ َم ُ النّ َد‬
Hadis dari Abū Hurairah, ia mengatakan bahwa seorang buta menemui Rasulullah
saw. Ia mengadu bahwa tidak ada yang bisa menuntunnya untuk datang ke masjid
(melaksanakan shalat berjamaah). Ia meminta kepada Rasulullah untuk
memberikan keringanan sehingga bisa melaksanakan shalat di rumah. Rasulullah
lalu memberikan izin. Ketika ia beranjak pergi, Rasulullah lalu memanggilnya
kembali seraya bertanya, “Apakah kamu mendengar suara azan dari masjid?”
Orang buta tersebut menjawab, “Ya”. Rasulullah merespon, “Maka wajib (untuk
datang ke masjid).” (HR. Muslim, Kitāb al-Masājid, Bāb Yajibu Ityān al-Masjid
„ala Man Sami„a al-Nidā‟, Hadis no. 1518).
Di satu sisi, mungkin anjuran Rasul ini dianggap sedikit keras, tetapi hadis

ini memberikan sebuah pemahaman sosial alternatif, yakni integrasi. Dengan

menganjurkan orang buta tersebut untuk salat ke masjid, Rasulullah mencoba

untuk menciptakan integrasi melalui interaksi sosial. Hadir dan turut berpartisipasi

dalam aktivitas sosial secara simultan akan menghapus pengasingan dan anggapan

orang cacat sebagai the others. Interaksi sosial juga mereduksi stigma negatif dan

17
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 269.
51

dalam cakupan yang lebih luas mampu mengurangi gap antara “normal” dan

“tidak normal”.18

B. Buta Psikis (Batiniah)

1. Buta Tidak Melihat Tanda-tanda Kebenaran Al-Qur’an

      


Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.
Menurut al-Ṭabarī, dari ayat di atas dapat ditakwilkan dengan beberapa

riwayat di bawah ini: Pertama, Muḥammad bin Ḥamid menceritakan kepada

kami, katanya; Salamah menceritakan kepada kami dari Muḥammad bin Isḥāk

dari Muḥammad bin Abī Muḥammad pembantu Zayd bin Thābit dari Ikrimah

‫ ” ُص ّۢمن ُص ْك ٌمن ُص‬yaitu


atau dari Sa‟id bin Jubair dari Ibn „Abbās tentang firman Allah: “ ‫ع ْكو ٌم‬

tuli, bisu dan buta dari kebijakan.

Kedua, al-Muthannā bin Ibrāhīm menceritakan kepadaku, katanya,

„Abdullāh bin Ṣaliḥ menceritakan kepaa kami dari Muawiyah bin Ṣaliḥ dari „Alī

‫ ” ُص ّۢمن ُص ْك ٌمن ُص‬mereka tidak


bin Abī Ṭalḥah dari Ibn „Abbās tentang firman Allah: “ ‫ع ْكو ٌم‬

mendengar petunjuk, tidak melihatnya dan tidak memahaminya.

Ketiga, Bishr bin Mū‟adh al-Aqadī menceritakan kepada kami, katanya:

Yazid bin Zurai‟ menceritakan kepada kami dari Sa‟id dari Qatadah tentang

firman Allah: “ ‫ ” ُص ّۢمن ُص ْك ٌمن ُص‬yakni tuli dari kebenaran sehingga tidak
‫ع ْكو ٌم‬

mendengarnya, buta dari kebenaran sehingga tidak melihatnya dan bisu dari

kebenaran sehingga tidak dapat mengucapkannya.19

18
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 280.
19
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 1, h. 402-403.
52

M. Quraish Shihab menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: ayat 18 dengan

menitikberatkan terhadap mereka (orang kafir atau munafik) yang tidak

memanfaatkan potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya sehingga mereka tuli

tidak mendengar petunjuk, bisu tidak mengucapkan kalimat hak, dan buta tidak

melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Dengan demikian, semua alat-alat yang

dianugerahkan oleh Allah untuk digunakan memperoleh petunjuk (mata, telinga,

lidah, dan hati) telah lumpuh, sehingga pada akhirnya mereka tidak dapat kembali

insaf dan menyadari kesesatan mereka.20 QS. al-Baqarah [2]: 18 adalah

sambungan dari al-Baqarah ayat 17 yang menerangkan tentang ‫أضاء‬/‫ًىر‬

(bersinar/cahaya) sebagai perumpamaan (‫ )هثل‬atas petunjuk-petunjuk al-Qur‟an.

Tetapi karena sinar tersebut tidak mereka manfaatkan, maka Allah menutupi

cahaya yang menerangi mereka. Al-Qur‟an tidak dapat pergi atau ditutupi, tetapi

yang menjauh dari mereka adalah pantulan dari sinar yang terang benderang itu.

Al-Qur‟an tetap berada di tengah mereka, tetapi cahaya petunjuknya menjauh dari

mereka.21 Begitu juga Ibn Kathīr juga mengumpamakan bahwa keadaan QS. al-

Baqarah [2]: ayat 18 Dalam perumpamaan ini terdapat bukti bahwa orang-orang

munafik itu pertama kali beriman kemudian kafir. Maka makna “‫ ” ُص ٌّمن‬tuli tidak

dapat mendengar kebaikan, “‫ ” ُص ْك ٌمن‬bisu tidak dapat membicarakan apa yang

bermanfaat bagi mereka, dan “ ‫ع ْكو ٌم‬


‫ ” ُص‬buta yaitu berada dalam kesesatan dan

kebutahan hati.22 Pemaknaan ini dikuatkan oleh QS. al-Ḥajj [22]: 46 yang

20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 114.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 113.
22
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 1, h. 73-74.
53

menerangkan bahwa al-Qur‟an berulangkali membicarakan orang buta, orang tuli

dan orang mati dengan arti buta rohaninya, tuli rohaninya dan mati rohaninya.23

   


         

 
       
Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi bencana apa pun (terhadap
mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), karena itu mereka menjadi buta dan
tuli, kemudian Allah menerima tobat mereka, lalu banyak di antara mereka buta
dan tuli. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Ta‟wil dari QS. al-Mā‟idah [5]: 71 disebutkan al-Ṭabarī sebagai berikut:

Pertama, Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan

pada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan pada kami dari Qatadah, mengenai

firman Allah, “ ...‫ ”وحسبىا أال ت ىى فتٌت‬ia berkata, “kaum bani Isrā‟il mengira tidak

akan ada suatu bencanapun, „maka mereka menjadi buta dan tuli‟, setiap kali

terjadi bencana yang menimpa mereka, dan mereka pun binasa karenanya.

Kedua, Muḥammad bin al-Ḥasan menceritakan pada kami, ia berkata:

Aḥmad bin al-Mufaḍḍal menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbaṭ

menceritakan kepada kami dari al-Suddī, tentang ayat, “ ‫وحسبىا أال ت ىى فتٌت فعوىا‬

‫ ”و وىا‬ia berkata, “Mereka mengira diri mereka tidak akan mendapat bencana,

maka mereka menjadi buta dan tuli dari kebenaran.”

Ketiga, al-Muthannā menceritakan padaku, ia berkata: Abū Ḥudzaifah

menceritakan kepada kami, ia berkata: Shibil menceritakan kepada kami dari Ibn

Abī Najiḥ, dari Mujāhid, mengenai firman Allah, “‫ ”وحسبىا أال ت ىى فتٌت فعوىا و وىا‬ia

berkata, “maksudnya adalah orang-orang Yahudi.”

23
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur‟an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XVII, h. 943.
54

Keempat, al-Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: al-Ḥusain

menceritakan kepada kami, ia berkata: Ḥajjāj menceritakan kepadaku dari Ibn

Juraij, dari Mujāhid, tentang ayat, “‫ ”فعوىا و وىا‬ia berkata, “Mereka adalah orang-

orang Yahudi.” Ditegaskan bahwa Ibn Juraij meriwayatkan dari „Abdullāh bin

Kathīr, ia berkata, “ayat ini untuk Bani Isrā‟il.”24

QS. al-Mā‟idah [5]: 71 sebagai peringatan atau kecaman kepada Bani

Isrā‟īl yang ditunjukkan kepada Ahl al-Kitāb yang tidak melaksanakan tuntunan

Allah dan tidak mempercayai utusan-utusan-Nya dan tidak mengikuti nabi

terakhir Muhammad saw. ketika diutus. Sebelumnya, Allah mengutus para Nabi

kepada Bani Isrā‟īl antara lain; Yusya‟ Ibn Nūn, Armniyā‟, Hazqiyāl, Dā‟ūd,

Mūsā dan „Īsā as. Setiap datang seorang utusan, tidak ada yang mereka terima dan

justru mereka tentang, dan lebih parahnya para utusan tersebut mereka bunuh.

Dengan demikian, mereka mendapat bencana akibat dari ulah mereka.

Justru dari bencana tersebut, mereka pahami sebagai bencana duniawi yang dirasa

ringan dan sebentar. Dugaan itu lahir akibat keyakinan mereka yang keliru

sebagai bangsa atau umat pilihn yang dicintai Tuhan, sehingga mereka lupa

daratan – dan menjadikan mereka buta dan tuli, seperti bunyi ayat di atas.25

Akibat dari ulah Bani Isrā‟īl tersebut, Allah menjadikan mereka buta tidak

dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah, dan tuli, tidak mendengar petunjuk

dan peringantan-peringatan-Nya, sehingga jatuhlah bencana atas mereka

kemudian, mereka akhirnya sadar dan bertaubat, maka Allah menerima taubat

24
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 9, h. 224-225.
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3, h. 160.
55

mereka, tetapi itu hanya sementara kaena tidak lama kemudian kebanyakan dari

mereka buta dan tuli lagi.26

Ayat 71 di atas –dari segi redaksinya– menginformasikan bahwa mereka

dua kali buta dan tuli. Dari pembacaan semiotika dua kali buta dan tuli, yakni dua

kali berpaling dari tuntunan Ilahi. M. Quraish Shihab mengutip pendapat Fakhr al-

Dīn al-Rāzī yang berpendapat bahwa yang pertama, terjadi pada Zakariyyā,

Yaḥya dan „Īsā as., kemudian sebagian dari mereka bertaubat, lalu setelah Nabi

Muhammad saw diutus, banyak di antara mereka buta dan tuli, yakni tidak

melihat tanda-tanda kebesaran Allah karena menolak risalah Nabi Muhammad

saw.

Lebih tepatnya, sebagaimana pendapat Muḥammad Sayyid Thanṭāwi yang

dikutip M. Quraish Shihab bahwa ayat ini menggambarkan betapa mereka

berpaling dari tuntunan Allah, dan hal demikian telah menjadi sifat yang

mendarah daging di antara mereka.27

                

  



Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu. Barangsiapa
melihat (kebenaran itu),28) maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan
barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka dialah yang rugi. Dan aku
(Muhammad) bukanlah penjaga-(mu).
Dari ayat di atas dapat dijelaskan dengan beberapa riwayat antara lain:

Pertama, Yūnus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibn Wahb mengabarkan

26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3, h. 158-159.
27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3, h. 161-162.
304) Barangsiapa mengetahui kebenaran dan mengerjakan kebajikan, serta
memperoleh petunjuk, maka dia telah mencapai puncak kebahagiaan.
56

kepada kami, ia berkata: Ibn Zayd berkata, tentang firman Allah swt., “ ‫قد جاءكن‬

‫ ” صائر هي ر ن‬al-Baṣāir adalah petunjuk, yakni petunjuk yang ada di dalam hati

mereka terhadap agama, bukan mata yang ada di atas kepala mereka. Ayat ini juga

dikaitkan dengan QS. al-Ḥajj [22]: 46, bahwa pandangan dan pendengaran agama

itu adalah di dalam hati.

Kedua, Bishr bin Mū‟adh menceritakan kepada kami, ia berkata: Yāzid

menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari

Qatadah, tentang firman Allah swt., “ ‫ ”قد جاءكن صائر هي ر ن‬adalah sebagai wujud

bukti. Al-Ṭabarī menegaskan bahwa barangsiapa tidak menjadikannya sebagai

bukti, serta tidak membenarkan isi yang terkandung di dalam-Nya, yakni

keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, Allah swt menyatakan, “ia hanya berbuat

buruk kepada dirinya.29

Pada QS. al-An‟ām [6]: 104 sebagai wujud pemanfaatan pancaindera yang

dikaruniakan Allah untuk manusia. Sebagai bukti Nabi Muhammad saw. ketika

dapat menerima kebenaran (wahyu) karena beliau diberi kesempurnaan akal,

kesucian jiwa, keluhuran budi serta kekuatan tekadnya dan kedekatannya kepada

Allah. Artinya, barangsiapa melihat suatu kebenaran (al-Qur‟an) dengan mata

hatinya, maka untuk dirinya sendiri manfaat penglihatannya, bukan untuk orang

lain; dan barangsiapa buta tidak melihat kebenaran itu, maka mudharat

kebutaannya (tidak merasakan kemanfaatan) hanya menimpa atas dirinya sendiri

29
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 10, h. 355-356.
57

bukan orang lain.30 Ayat ini adalah penyampaian nasehat Nabi Muhammad saw.

kepada kaumnya.

Dalam ayat ini ada dua kata yang berbeda pengertian menurut ulama,

antara kata baṣar (‫ ) صر‬dan baṣīrah (‫) صيرة‬. Untuk penglihatan melalui mata

kepala digunakan kata baṣar, sedang untuk mata digunakan kata baṣīrah/baṣā‟ir.

Terlepas dari dari benar tidaknya pembedaan itu yang jelas bahwa bukti-bukti

yang terhampar di alam raya atau tercantum dalam kitab suci al-Qur‟an, hanya

dapat berfungsi dengan baik jika mata hatinya digunakan, baik dalam arti akal

pikiran maupun intuisi dan kesucian jiwa.

Konteks ayat ini adalah makna dalil-dalil yang dikandung oleh ayat-ayat

al-Qur‟an yang bila digunakan dengan baik dan benar akan mengantarkan kepada

penggunanya kepada sebuah pembenaran akal dan hati terhadap apa yang

disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.31 Ibn Kathīr menjelaskan bahwa Nabi

Muhammad saw menyampaikan atau menerangkan kepada kaum yang

mengetahui kebenaran sehingga mereka mengikutinya dan mengikuti kebathilan

sehingga menjauhinya. Sesungguhnya Allah swt mempunyai hikmah yang

sempurna dalam penyesatan terhadap orang-orang tersebut dan pemberian

penjelasan tentang kebenaran kepada yang lainnya.32

            

        


Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
30
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 7, h. 269-270.
31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 4, h. 228-229.
32
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 7, h. 270.
58

dalam Keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau


menghimpunkan aku dalam Keadaan buta, Padahal aku dahulunya adalah
seorang yang melihat?"
Para ahli tafsir berselisih pendapat mengenai sifat buta yang disebutkan

Allah dalam ayat di atas. Seperti al-Ṭabarī berpendapat bahwa buta yang

dimaksud adalah buta dari ḥujjah (alasan), buka buta dari penglihatan. Riwayat-

riwayat lain yang berbeda pendapat terkait makna buta sebagai berikut:

Pertama, Muḥammad bin Ismā‟il al-Aḥmasī menceritakan kepada kami, ia

berkata: Muḥammad bin Ubayd menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyān al-

Thaurī menceritakan kepada kami dari Ismā‟il bin Abī Khalid, dari Abū Ṣaliḥ,

mengenai firman Allah, “ ً‫ يىم القياهت أعو‬,ٍ‫”وًحشر‬, dan Kami akan

menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Maksdunya adalah ia

tidak memiliki ḥujjah.

Kedua, Muḥammad bin „Amr menceritakan kepadaku, ia berkata, Abū

Aṣim menceritakan kepada kami, ia berkata: „Īsā menceritakan kepada kami, al-

Ḥārith menceritakan kepadaku, ia berkata: al-Ḥasan menceritakan kepada kami, ia

berkata: Waraqa menceritakan kepada kami, semuanya dari Abn Abī Najiḥ, dari

Mujāhid, menganai firman Allah “ ً‫ يىم القياهت أعو‬,ٍ‫”وًحشر‬. Maksudnya adalah buta

dari ḥujjah.

Ketiga, al-Qāsim menceitakan kepada kami, ia berkata: al-Ḥusain

menceritakan kepada kami, ia berkata: Ḥajjāj menceritakan kepadaku dari Ibn

Juraij, dari Mujāhid, riwayat yang sama. Dikatakan, ia dibangkitkan dalam

keadaan buta penglihatan.


59

Al-Ṭabarī menegaskan bahwa pendapat yang benar adalah sebagaimana

ayat selanjutnya, bahwa ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta dari ḥujjah dari

buta dari melihat segala sesuatu. Seperti yang diinformasikan Allah “ ‫قال رب لن‬

‫ ”حشرتًٌ أعوً وقد كٌت صيرا‬Katakanlah ia, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau

menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah

seorang yang melihat?”33

Sebagaimana di ayat 124 di atas, QS. Ṭāhā [20]: 125 ini juga berselisih

pendapat mengenai makna buta. Adapun riwayat yang dapat memberi penjelasan

antara lain: Pertama, Ibn Bashshar menceritakan kepada kami, ia berkata: „Abd

al-Raḥmān menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyān menceritakan kepada

kami dari Ibn Abī Najiḥ, dari Mujāhid, mengenai firman Allah “ ًٌ‫قال رب لن حشرت‬

ً‫ ”أعو‬Berkatalah ia, Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam

keadaan buta?” Ia berkata, maksudnya adalah, aku tidak memiliki ḥujjah.

Kedua, Muḥammad bin „Amr menceritakan kepadaku, ia berkata, Abū

Aṣim menceritakan kepada kami, ia berkata: „Īsā menceritakan kepada kami, al-

Ḥārith menceritakan kepadaku, ia berkata: al-Ḥasan menceritakan kepada kami, ia

berkata: Waraqa menceritakan kepada kami, semuanya dari Abn Abī Najiḥ, dari

Mujāhid, menganai firman Allah “ ‫”وقد كٌت صيرا‬. Padahal aku dahulunya adalah

seorang yang melihat?. Maksudnya adalah di dunia.

Ketiga, Bishr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazīd menceritakan

kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari Qatadah, mengenai

firman Allah, “ ‫ ”قال رب لن حشرتًٌ أعوً وقد كٌت صيرا‬Katakanlah ia, “Ya Tuhanku,

33
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 17, h. 1015-1016.
60

mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku

dahulunya adalah seorang yang melihat?”. Maksudnya adalah, ia tidak dapat

berpandangan jauh ke depan, pendek penglihatan, dan buta dari kebenaran.34

QS. Ṭāhā [20]: 124-125 sebagai peringatan karena tidak melaksanakan

petunjuk. Barangsiapa berpaling dari peringatan Allah, yakni tidak melaksanakan

petunjuk Allah yang disampaikan melalui para nabi maka sesungguhnya baginya

penhidupan yang sempit yang menjadikan ia walau memili aneka kenikmatan

duniawi tidak pernah merasa puas dengan perolehannya, tidak juga rela dan

pasrah menerika ketetapan Allah dan mereka yang demikian itu akan

dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Tuhanku,

mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu

ketika hidup di dunia dan ketika bangkit dari kubur adalah seorang yang melihat?”

Dia berfirman menjawab keluhan orang itu: “Demikianlah, yakni benar apa yang

engkau ucapkan, tetapi telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, ketika kamu

masih hidup di dunia maka kamu memperlakukannya perlakuan orang yang

melupakannya dan engkau membuta tidak melihatnya sehingga terabaikan olehmu

dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan sehingga dibangkitkan dalam

keadaan buta dan tersiksa di neraka.35

Ibn Kathīr menjelaskan kata buta pada ayat di atas yakni mereka yang

selama hidupnya berpaling dari peringatan Allah orang yang menyalahi perintah

yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, melupakannya, dan mengambil

selain petunjuk dari Rasul-Nya. Nanti mereka akan dibangkitkan dalam keadaan

34
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 17, h. 1017.
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, h. 392-393.
61

buta mata lahir dan batin.36 Al-Marāghī menjelaskan kata buta dimaksudkan buta

terhadap surga, karena kejahilan yang pernah dilakukan di dunia akan tetap

melekat di akhirat kelak.37

Kehidupan yang sempit adalah kehidupan yang sulit dihadapi, lahit dan

batin. Kehidupan yang demikian menjadikan seseorang tidak pernah merasa puas,

dan selalu gelisah, karena ia tidak menoleh kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah,

tidak merasakan kenikmatan ruhani karena mata hatinya buta dan jiwanya

terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat material. Seorang yang buta hatinya, akan

dibangkitkan buta di hari kemudian.38

2. Buta Mata Hati

                

 
                
Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib dan aku
tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku hanya mengikuti
apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta
dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?”
Ayat di atas dapat dimaknai dengan beberapa riwayat-riwayat, antara lain:

Pertama, Muḥammad bin „Amr menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū

Āṣim menceritakan kepada kami, dia berkata: „Īsā menceritakan kepada kami dari

Ibn Abū Najiḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah swt., “ ً‫قل هل يستىي األعو‬

36
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisir al-Alliy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Kathīr,
terj. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 3, h. 275.
37
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), Jilid 16, h. 295.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, h. 393.
62

‫ ”والبصير‬maksudnya adalah orang yang tersesat dengan orang yang berada di atas

petunjuk.

Kedua, al-Muthannā menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū Ḥudzaifah

menceritakan kepada kami, dia berkata: Shibl menceritakan kepada kami dari Ibn

Abū Najiḥ, dari Mujāhid, dengan riwayat yang serupa.

Ketiga, Bishr menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‟id menceritakan

kepada kami dari Qatadah, tentang firman Allah swt., “ ‫”قل هل يستىي األعوً والبصير‬

dia berkata, “Orang-orang yang buta adalah orang yang tidak bisa melihat

kebenaran Allah, perintah Allah, dan nikmat Allah kepadanya. sedangkan orang

yang melihat adalah orang beriman yang bisa melihat kemanfaatan. Lantas dia

mengesakan Allah, taat kepada Allah, dan mengambil manfaat dai apa yang Allah

berikan.39

QS. al-An‟ām [6]: 50 menjelaskan bahwa Rasulullah saw tidak memiliki

ilmu terhadap hal yang ghaib. Ibn Kathīr menekankan bahwa perkara ghaib hanya

diketahui oleh Allah saja, dan Rasulullah tidak dapat mengetahuinya kecuali

sebatas apa yang telah diperlihatkan oleh Allah.40 Ayat ini pula memerintahkan

rasul untuk menjawab sebagian dari dugaan keliru orang-orang yang durhaka. M.

Quraish Shihab menambahkan bahwa Rasulullah saw diperintahkan oleh Allah

untuk mengatakan kepada orang-orang kafir bahwa beliau tidak memiliki

wewenang terhadap isi gudang-gudang perbendaharaan rizki dan kekayaan Allah,

juga tidak memiliki potensi mengetahui yang ghaib tanpa bantuan atau informasi

dari Allah, dan beliau juga tidaklah seorang malaikat yang tidak makan dan
39
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 9, h. 934-935.
40
Al-Imām Abū al-Fidā Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-Adzīm (Tp:
Sinar Baru Algensindo, th), juz 7, h. 273.
63

minum, serta tidak memiliki kebutuhan fa‟ali dan naluri kemanusiaan.

Perbedaannya adalah Nabi dibimbing Allah dengan wahyunya. Maka, apa yang

disampaikan Nabi adalah bukti kebenaran. Sementara kaum musyrikin atau

kafirin menduga bahwa rasul haruslah dapat melihat yang ghaib, yang berbeda

dengan manusia, yang tidak makan dan minum, yakni serupa dengan malaikat.41

Melihat pernyataan-pernyataan orang kafir tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

mereka hanya mencari-cari alasan untuk mengingkari kebenaran, karena mereka

buta mata hatinya.

Lebih jelasnya, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa siapa yang

mengabaikan tuntunan wahyu, maka mereka tidak mengetahui arah bahkan kacau

bagaikan seorang buta. Bagi yang menjelaskan tuntunan itu ia dapat membedakan

jalan dan arah sekaligus menghindari jalan yang berbahaya layaknya orang yang

dapat melihat. Maka, ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw dan “‫”لَ ُصن‬

kepada kamu (orang kafir), orang-orang yang tidak percaya atau mitra bicara

adalah sama dari segi kemanusiaan, yang membedakan Nabi saw mendapat

wahyu, berada dalam petunjuk, seperti orang yang dapat melihat. Sedang “‫”لَ ُصن‬

kamu adalah orang-orang yang buta, juga buta mata hati. Maka yang buta

berkewajiban mengikuti yang melihat, yang buta atau tidak mengetahui arah

seharusnya dituntun oleh yang tahu arah.42

Terkait kaum yang buta mata hati juga dijelaskan dalam ayat QS. al-„A‟rāf

[7]: 64;

41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 4, h. 109-110.
42
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 4, h. 110-112.
64

           

   


Maka mereka mendustakannya (Nūḥ). Lalu Kami selamatkan dia dan orang-
orang yang bersamanya di dalam kapal. Kami tenggelamkan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta
(mata hatinya).
“ ‫ ”إًهن كاًىا قىها عويي‬ayat ini dijelaskan al-Ṭabarī dengan ungkapan orang-

orang yang buta terhadap kebenaran. Al-Ṭabarī juga memaknai dengan beberapa

riwayat antara lain:

Pertama, Muḥammad bin „Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abū

Aṣim menceritakan kepada kami, ia berkata, „Īsā menceritakan kepada kami dari

ibn Abī Najiḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah, “‫ ”عويي‬bahwa maknanya

adalah buta terhadap kebenaran.

Kedua, Yūnus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibn Wahāb

menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibn Zayd berkata, tentang ayat “‫”قىها عويي‬

maksudnya adalah buta terhadap kebenaran.43

M. Quraish Shihab menerangkan QS. al-„A‟rāf [7]: 64 sebagai siksa

kepada kaum Nabi Nūḥ, terlebih dahulu ayat ini mendahulukan keselamatan atas

orang-orang mukmin, kemudian menjelaskan jatuhnya siksa kepada para

pembangkang. Datangnya siksa berupa air bah mendahului keselamatan dan

tibanya perahu Nabi Nūḥ as bersama kaumnya di pantai. Hal ini sebagai berita

gembira, bahwa Allah menyelamatkan orang mukmin ketika menjatuhkan siksa

kepada orang kafir.44 Sebelumnya, kaumnya tidak menghiraukan keterangan Nabi

43
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 11, h. 226-227.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 5, h. 136.
65

Nūḥ as, bahkan mereka menolak dan berpaling, dari kaum yang mendustakan

Nabi Nūḥ adalah para pemuka dan hampur semua anggota masyarakat. Akhirnya

para pembangkang ditimpakan siksa dengan ditenggelamkan, dan diselamatkan

juga orang-orang yang bersama Nabi Nūḥ menumpang di dalam bahtera. Dari

para pembangkang adalah orang-orang mendustakan ayat-ayat Allah, dan mereka

termasuk orang yang buta mata hatinya, sehingga tidak memiliki pandangan yang

benar.45

َ ‫ ”إِإًَّن ُصهن كَاًُصىا قَ ْكى ًمها‬sesungguhnya mereka adalah kaum yang


Firman Allah; “ َ‫ع ِإويي‬

buta, yakni dari kebenaran, mereka tidak dapat melihatnya dan tidak dapat

petunjuk untuk menuju kepadanya. Dalam QS. al-„A‟rāf [7]: 64 adalah kisah

bahwa Allah menjelaskan, bahwa Dia menghukum musuh-musuh-Nya dan

menyelematkan Rasul-Nya beserta orang-orang yang beriman, serta

menghancurkan semua musuh-mushnya dari kalangan kaum kafir.46

            
Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, Apakah dapat kamu
memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat
memperhatikan.
QS. Yūnus [10]: 43 menerangkan ada banyak di antara kaum musyrikin

yang mendustakan Nabi Muhammad saw., yang sungguh-sungguh mendengarkan

penjelasan Nabi saw ketika membaca ayat-ayat al-Qur‟an, tetapi sebenarnya

telinga mereka tertutup. Demikian mereka adalah orang-orang yang tidak berakal

karena tidak memperhatikan atau tidak mau mengerti. Ada pula diantara mereka

(kaum musyrikin) dengan pandangan mata dari kejauhan melihat bukti-bukti

45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 5, h. 135-136.
46
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 8, h. 400.
66

kebenaran, tetapi mata hatinya tertutup. Mereka adalah orang-orang yang buta

mata hatinya meskipun Nabi saw. memberinya petunjuk kebenaran akan tetapi

mereka tidak memperhatikan.47 Ibn Kathīr menambahkan bahwa Allah tidak

menzhalimi seorang pun di antara mereka, meskipun Allah telah memberi

petunjuk kepada kepada mereka lewat Muhammad saw., menjadikan penglihatan

kepada orang yang buta karenanya, membuka mata-mata yang buta, telinga-

telinga yang tuli, hati-hati yang lalai dan menyesatkan. Maka, atas keadaan itu

bahwa Allah-lah yang Ḥakim yang mengatur dan berkehendak atas kerajaan-

Nya.48

47
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6, h. 83-84.
48
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 11, h. 279.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari skripsi ini adalah: Pertama, al-Qur’an mengkonstruk atau

membangun sistem makna dari term a’mā (‫ )أعمى‬dan derivasinya terlahir makna-

makna yang lebih luas. Kedua, buta dalam al-Qur’an banyak perhatiannya

terhadap kaum yang dianggap buta secara Psikis (batiniah) dan sebagai bentuk

apresiasi al-Qur’an sebagian kecil disebutkan buta secara Fisik (lahiriah).

Term-term tersebut menghasilkan kategorisasi ayat-ayat buta dalam al-

Qur’an dalam beberapa ulasan: Pertama, sebagai bentuk kritik sosial atau

perlakuan terhadap orang buta (tunanetra); dalam QS. al-Nūr [24]: 61

menggambarkan perlakukan terhadap kaum difabel termasuk orang buta

(tunanetra) dengan merombak kebiasaan masyarakat Madinah yang makan secara

terpisah dari kaum difabel. Selain itu memberikan akomodasi khusus (rukhsah)

atau keringanan terhadap orang buta untuk tidak ikut berperang, kecuali dalam

urusan ‘ubūdiyah QS. al-Fatḥ [48]: 17. Kemudian wujud pelayanan publik

terhadap kaum difabel, yakni orang buta agar tidak menyurutkan langkah mereka

untuk mengenalkan agama. Artinya kaum difabel juga berhak mendapatkan

kesempatan untuk mempelajari Islam. Hal ini dijelaskan QS. ‘Abasa [80]: 1-4

yang dikatakan sebagai teguran kepada Rasulullah saw. bermuka masam dan

mengabaikan seorang buta bernama ‘Abdullāh ibn Ummi Maktūm yang ingin

belajar Islam.

67
68

Kedua, buta psikis (batiniah) disebutkan sosok buta tidak melihat tanda-

tanda kebenaran al-Qur’an dikategorisasikan sebagai berikut; orang-orang yang

berada dalam kesesatan dan kebutahan hati QS. al-Baqarah [2]: 18, berpaling dari

tuntunan Allah QS. al-Mā’idah [5]: 71, kebutaannya (tidak merasakan

kemanfaatan), senang mengikuti kebathilan QS. al-An’ām [6]: 104, hidupnya

berpaling dari peringatan Allah, orang yang menyalahi perintah, dijauhkan dari

surga, kehidupan yang sempit, jiwanya terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat

material QS. Ṭāhā [20]: 124-125. Adapun sosok buta mata hati, mereka adalah;

mengingkari kebenaran, karena mereka buta mata hatinya QS. al-An’ām [6]: 50,

tidak dapat petunjuk untuk menuju Allah QS. al-‘A’rāf [7]: 64, tidak berakal

karena tidak memperhatikan atau tidak mau mengerti. hati-hati yang lalai dan

menyesatkan QS. Yūnus [10]: 43.

B. Saran

Penelitian ini mengacu kepada beberapa mufassir sebagai sandaran

petunjuk mencari informasi, analisis yang dibangun juga kurang kuat. Maka,

saran-saran yang perlu penulis sampaikan dalam skripsi ini adalah bahwa

penelitian ini memang jauh dari kata sempurna, juga bukan merupakan hasil akhir.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan untuk diuji kembali dengan beberapa hal:

1. Al-Qur’an mengkonstruk sistem makna dari term a’mā (‫ )أعمى‬dan

derivasinya agar terlahir makna-makna baru atau yang lebih luas perlu

kiranya mengacu beberapa pendekatan; bahasa, hermeneutika, semiotika

dan lain sebagainya.


69

2. Bentuk kajian atau penelitian tentang buta dalam al-Qur’an masih berkutat

pada dataran deskripsi dan hanya berupa kajian awal semata. Artinya,

penelitian tersebut belum menembus pada dimensi kritik terhadap wujud

realitas sekarang.

3. Pelacakan makna buta secara fisik dan psikis hanya berkutat sebatas teks.

Maka perlu mencari makna-makna lain yang lebih luas dengan menyoroti

peristiwa-peristiwa saat ini dan mempertimbangkan perkembangan bahasa

(secara konteks).
DAFTAR PUSTAKA

Buku
„Ālī, Mawlanā Muḥammad. The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur’an Suci
Terjemah & Tafsir, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.
al-Bāqi, Muḥammad Fuad „Abd. al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al-
Karīm, Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H.
Djalal, Abdul. Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini: Sebuah Studi
Perbandingan, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
al-Farmāwī, „Abd al-Hayy. Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i, terj. Suryan A.
Jamrah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
al-Ḥamid, Muḥammad Muhy al-Dīn „Abd. al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah: Fī Qawāid al-Naḥw wa al-I’rāb,
Damaskus: Mu‟assasah al-Risalah Nāsyirun, 1393 H/2016.
Ibn Kathīr al-Dimasyqī, Al-Imām Abū al-Fidā Ismā‟il. Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm,
Tp: Sinar Baru Algensindo, th.
Ichwan, Muhammad Nor. Tafsir ‘Ilmi, Yogyakarta: Menara Kudus dan Rasail,
2004.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2011.
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mazhūr, Ibnu. Lisān al-‘Arāb, Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 1955.
al-Marāghī, Aḥmad Muṣtafā. Tafsīr al-Marāghī, Tp: 1946.
-----------. Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk, Semarang: PT Karya
Toha Putra Semarang, 1993.
Mesra, Alimin (ed.), Ulumul Qur’an, Jakarta Selatan: Pusat Studi Wanita [PSW]
UIN Jakarta, 2005.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1984.
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Yogyakarta: Idea
Press Yogyakarta, 2017.
Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.

70
71

al-Qurṭubī, Abī „Abdillāh Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr. al-Jāmi’ li-
Aḥkām al-Qur’ān wa al-Mubayyīn limā Taḍammanahu min al-Sunnati
wa Āy al-Furqān, Pentahqiq: al-Duktūr „Abdullāh bin „Abd al-Muḥsin
al-Turkī, Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, 2006.
Riḍā, Muhammad Rasyīd. Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Josef CD, Tp: tt,
t.p.
ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. Taisir al-Alliy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu
Katsir, terj. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
al-Ṣālih, Muslih. Qāmūs Musthalahāt al-‘Ulum al-Ijtimā’iyah Injilizī wa al-
‘Arābī, Riyāḍ: Dār al-„Alam al-Kutūb, 1419 H.
al-Sheikh, „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq (Pentahqiq),
Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, Terj. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibn Kathīr,
Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2003.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Smart, Aqila. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk
Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012.
al-„Uthaimin, Muḥammad Ṣāliḥ. Syarh al-Ājurumiyyah, Riyād: Maktabah al-
Rusyd Nāsyirun, 2003.
Wijaya, Ardhi. Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya, Yogyakarta:
Javalitera, 2012.
Zubaidillah, Muh. Haris. Pengantar Ilmu Nahwu: Belajar Bahasa Arab Sampai
Bisa, Hulu Sungai Utara: Penerbit Hemat, t.t.

Artikel:
Afridawati, Cici. “Respon Al-Qur‟an terhadap Difabilitas (Kajian Tematik
terhadap Ayat-ayat Difabel)” (Skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2018).
Ali, Wan Z. Kamaruddin bin Wan. “Konsep Ummi Nabi Muhammad saw dari
Perspektif Al-Qur'an.” Jurnal Ushuluddin, Vol. 7, 1998.
Aisyah, “Signifikansi Tafsir Maudhu'i dalam Perkembangan Penafsiran al-
Qur'an”, Tafsere, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.
72

Asroruddin, Muhammad. “Dampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mata


terhadap Kualitas Hidup terkait Penglihatan (Vision-Related Quality of
Life) pada Populasi Gangguan Penglihatan Berat dan Buta di Indonesia”,
Tesis, Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014.
Basuki, Muji. “Ummī dalam Al-Qur‟an Kajian Tematik Tafsir Al-Misbah Karya
M. Quraish Shihab.” (Tesis Program Studi Ilmu Keislaman Program
Pascasarjana Iinstitut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2013).
Dahliana, Siti Nurhayah. “Perlakuan terhadap Penyandang Difabel Perspektif Al-
Qur‟an: Analisis Penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilal al-
Qur’an” (Skripsi Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
Fauzan, Aris. “Al-Nabiy al-Ummiy dalam Telaah Historis-Semiotik.” Fokus:
Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 01, Juni
2018.
Hadayana, Sri. “Difabel dalam Al-Qur‟an”, INKLUSI: Journal of Disability
Studies, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2016.
Hadi, M. Khoirul. “Fikih Disabilitas: Studi Tentang Hukum Islam Berbasis
Maṡlaḥaḥ.” PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.
Hindatulatifah, “Apresiasi al-Qur‟an terhadap Penyandang Tunanetra: Kajian
Tematik terhadap QS. „Abasa.”, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu
Agama, Vol. IX, No. 2 Desember 2008.
Huda, Fahad dan Sholihul. "‟Īsā Al-Masih Menurut Al-Qur‟an dan Injil", AL-
Hikmah: Jurnal Studi Agama-Agama, Vol. 2, No. 1, 2016.
Jamal dkk., Khairunnas. “Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif Al-Qur‟an”,
Jurnal Ushuluddin, Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017.
Junaedi, Didi. “Mengenal Lebih Dekat Metode Tafsir Maudlu‟i”, Diya al-Afkar,
Vol. 4 No.01 Juni 2O16.
Khoiriyah, Rofi‟atul. “Difabilitas dalam Al-Qur‟an” (Skripsi Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, 2015).
Mukmin, “Konsep Keummian Nabi Muhammad dalam Al-Qur‟an (Tela‟ah Kritis
terhadap pemikiran Agus Mustofa dalam perspektif ilmu balaghah),”
Prosiding Konferensi Nasional Bahasa Arab III, Malang, 7 Oktober
2017.
Nugraha, Eva. “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan
Rasm”, Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2, Oktober
2011.
73

Pravitasari dkk, Sastya Eka. “Pemberdayaan Bagi Penyandang Tunanetra Guna


Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Pada UPT
Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang).” Jurnal Administrasi Publik
(JAP), Vol. 2, No. 1, (tth)
Rostandi, Usep Dedi. “Konsep Ummi dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis)”,
Falasifa: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol. 5, No. 2
September 2014.
Sja‟roni, M. “Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I Edisi 12,
Tahun 10, 2014.
Syarifuddin, Moh. Anwar. “Teori Penafsiran Tematik „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī
(1942-2017)” diakses pada 17 Agustus 2019 dari
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2018/04/04/teori-penafsiran-
tematik-abd-al-%E1%B8%A5ayy-al-farmawi-1942-2017/
Sumantri, Jujun S dan Tim Lembaga Penelitian IKIP Jakarta, “Prosedur Penelitian
Ilmu, Filsafat dan Agama”, Jurnal Ilmu dan Penelitian Parameter, IKIP
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai