Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009
Pembimbing,
menyatakan bahwa: 1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2) Semua sumber yang penulis gunakan dalam
penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 3) Apabila ternyata dikemudian hari tidak benar
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009
ii
TIM PENGUJI SKRIPSI
2. Hasanuddin Sinaga, MA
iii
ABSTRAK
Al-Ikhsan Saing (1113034000009), “Dimensi Buta dalam Al-Qur’an: Studi
Ayat-Ayat A’mā dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī”.
Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
“Buta” diartikan tidak dapat melihat karena rusak matanya (atau disebut
dengan tunanetra). Buta juga dimaknai tidak tahu atau tidak mengerti sedikitpun
tentang sesuatu. Ada juga yang memaknai tidak melihat tanda-tanda kebesaran
Allah. Lebih luas lagi, buta juga dimaknai orang-orang bodoh tidak dapat
mengerti lagi keras kepala dan buruk (watak) perangainya. Untuk itu, penelitian
ini didasari bahwa al-Qur’an menyebutkan arti buta dalam lafadz a’mā dan
derivasinya. Dari kata (lafadz) ini memiliki arti atau sebuah konsep dan
mempunyai makna yang lebih luas. Yang dimaksud dengan buta dalam penelitian
ini yakni bukan hanya sesuatu yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Artinya
ada kemungkinan pemaknaan lain sehingga menjadi unsur pemahaman terhadap
maksud tertentu. Maka, pokok masalah yang menjadi bahasan dalam skripsi ini
adalah: bagaimana konsep buta dalam perspektif al-Qur’an?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
pengumpulan data menggunakan library research. Khusus dalam pembahasan
penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis. Adapun metode yang
dipakai merupakan metode mawḍū’i yang dirumuskan al-Farmāwī. Metode
mawḍū’i dipilih karena dinilai paling tepat untuk mengkaji konsep-konsep al-
Qur’an tentang suatu masalah, bila diharapkan suatu hasil yang utuh dan
komprehensif. Sumber primer yang penting adalah Ibnu Kathīr, al-Marāghī dan
al-Mishbah. Kolaborasi ketiga tafsir ini diharapkan menemukan interpretasi baru
terhadap konsep buta.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa al-Qur’an mengkonstruk atau
membangun sistem makna dari term a’mā ( )أعمىdan derivasinya terlahir makna-
makna yang lebih luas. Buta dalam al-Qur’an banyak perhatiannya terhadap kaum
yang dianggap buta secara Psikis (batiniah) dan sebagai bentuk apresiasi al-
Qur’an sebagian kecil disebutkan buta secara Fisik (lahiriah).
Kata Kunci: buta, a’mā, al-farmāwī, al-qur’an.
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat, yakni
semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya.
Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Ṣalawat serta salam
cahaya, manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup para
Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman
menutup mata.
berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan terselesaikan. Kepada
tingginya.
Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan
skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
vi
ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
ibunda Nur ‘Ain Nurdin, yang telah mengarahkan, dengan penuh kasih
sayang tanpa pamrih, tak pernah lelah dan tak bosan dalam memberikan
vii
dukungan moral maupun materil, serta do’a yang selalu membanjiri hati
Saing, Mukhlas Saing, serta tante Aminah dan om Irfan yang mana
Sahid, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan. Kalian lah yang selalu
indahnya persahabatan.
11. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi
pembaca dan semoga Allah swt. selalu memberkahi dan membalas semua
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
’═ء ═زz ═قq
═بb ═سs ═كk
═تt ═ شsh ═لl
═ ثth ═صṣ ═مm
═جj ═ضḍ ═نn
═حḥ ═طṭ ═وw
═ خkh ═ظẓ ه/ ═ ةh
═دd ( ‘ ═ عayn) ═يy
═ ذdh ═ غgh
═رr ═فf
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
َ ═a ═ َ —اā ى ِ ═ī
ِ ═i ═ َ —ىá ْوو َ ═ aw
ُ ═u ═ ُ —وū ═ َ ْوay
ي
C. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ( الalif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
( )الجزيةal-jizyah, ( )اآلثارal-āthār dan ( )الذمةal-dhimmah. Kata sandang ini
menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭaʽ.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai
dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
ix
DAFTAR ISI
x
2. Buta Mata Hati ………………………................................. 61
BAB V PENUTUP ..................................................... 67
A. Kesimpulan ............................................... 67
B. Saran ......................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................... 70
xi
BAB I
PENDAHULUAN
kehidupan, baik itu melalui masa yang lalu maupun berkaitan dengan masa yang
akan datang, itulah salah satu keistimewaan yang dimiliki al-Qur‟an. Al-Qur‟an
merupakan kitab suci terakhir yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad
saw. untuk dijadikan sebagai pedoman hidup (way of life) bagi umat manusia, dan
sekaligus sebagai sumber nilai norma disamping al-Sunnah. Al-Qur‟an juga telah
kepada umat manusia, baik secara teoritis maupun praktis dalam menjalani
humanisme yang sangat tinggi. Kiranya sangat indah bila ajaran tersebut mampu
tersebut. Salah satunya adalah Surat „Abasa yang berisi teguran Allah terhadap
Nabi atas sikap beliau yang telah bermuka masam terhadap penyandang tunanetra.
1
Muhammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmi (Yogyakarta: Menara Kudus dan Rasail, 2004), h.
23.
1
2
Ayat tersebut sebenarnya sangat jelas, namun yang menjadi persoalan mengapa
penyandang cacat, Allah swt. pernah mengingatkan Rasulullah saw. dalam surat
„Abasa tersebut ketika beliau bermuka masam kepada sahabat „Abdullāh Ibn
Ummi Maktūm yang buta (tunanetra). Di ayat lain juga, Allah telah
menginformasikan bahwa tidak ada hinaan atau celaan mengundang orang difabel
tunanetra (buta) atau difabel dengan baik. Islam mengajarkan semua manusia
ulasan awal di atas, penelitian ini tidak hanya mengarah pada perhatian al-Qur‟an
melihat karena rusak matanya (atau disebut dengan tunanetra). Buta juga
dimaknai tidak tahu atau tidak mengerti sedikitpun tentang sesuatu.4 Dalam al-
2
Hindatulatifah, “Apresiasi al-Qur‟an terhadap Penyandang Tunanetra: Kajian Tematik
terhadap QS. „Abasa.”, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IX, No. 2 Desember
2008, h. 91.
3
Siti Nurhayah Dahliana, “Perlakuan terhadap Penyandang Difabel Perspektif Al-Qur‟an:
Analisis Penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an” (Skripsi Program Studi Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 1.
4
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.
3
Qur‟an, kata buta disebutkan berulang-ulang kali, salah satunya adalah kata
‘umyun ( )عميyang dimaknai tidak melihat tanda-tanda kebesaran Allah (QS. al-
Baqarah [2]: 18). Ayat ini ditegaskan sebagai wujud peringatan Allah kepada
dalam al-Qur‟an disebut ummīyūn ( )أ ُ ِميُّونdalam QS. al-Baqarah [2]: 78, kata ini
dimaknai orang-orang bodoh tidak dapat mengerti lagi keras kepala dan buruk
(watak) perangainya.6 Makna lain juga disebutkan bahwa ummīyūn ()أ ُ ِميُّون
diartikan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kitab suci atau
bahkan mereka yang buta huruf.7 Akan tetapi, M. Quraish Shihab memaknai kata
ummīy tidak hanya buta huruf, akan tetapi lebih dari itu. Untuk memperluas arah
Nabi Muhammad saw itu sendiri. Pada pembahasan berikutnya, penulis hanya
makna yang luas. Untuk memperkuat argumen tersebut, Eva Nugraha dalam
tepatnya disebut ummīy. Selain pada QS. al-Baqarah [2]: 78, kata tersebut juga
terdapat pada QS al-A‟rāf [7]: 157-158, ayat ini dinisbahkan kepada al-ummah al-
ummīyah, atau umat yang sejak awal tidak mengetahui apapun sebagaimana saat
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 114.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 239.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 240.
4
bayi baru lahir. Mereka belum mempelajari cara membaca dan menulis. Riwayat
membaca dan menulis. Kesimpulan ini merupakan argumen atas QS. al-„Ankabūt
[29]: 48.8 Dalam hal ini ummīy di sini dimaknai sebagai buta huruf.9
yang baru dalam pengkajian Islam. Konsep itu telah menjadi salah satu wacana
Persoalan ummīy menjadi menarik ketika dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw.
yang dikatakan tidak dapat membaca dan menulis atau yang disebut buta huruf.10
Akan tetapi, dalam penelitian ini, penulis mencoba lebih jauh membicarakan
penyebutan al-Qur‟an yang mengandung arti buta di sini ditemukan lafadz a’mā
dan derivasinya. Dari kata (lafadz) ini memiliki arti penting dan mempunyai
makna yang lebih luas. Yang dimaksud dengan konsep buta dalam penelitian ini
yakni bukanlah sesuatu yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Artinya ada
maksud tertentu.
8
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm”,
Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2, Oktober 2011, h. 103.
9
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1984), h. 40.
10
Dalam tulisan Usep Dedi Rostandi dalam tulisannya, pendapat yang masyhur
mengatakan bahwa yang dimaksud ummīy dalam semua konteks, baik berkaitan dengan Nabi,
masyarakat Arab, maupun Yahudi adalah buta huruf. Lihat Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi
dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis)”, Falasifa: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol. 5,
No. 2 September 2014, h. 291-292.
5
Dari pemaparan di atas, maka penelitian skripsi ini layak untuk dilakukan
dengan beberapa alasan; pertama, belum ada peneliti sebelumnya yang membahas
secara utuh tentang konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an. Kedua, ada beberapa
peneliti baik dari kalangan orientalis11 maupun akademisi yang fokus membahas
terhadap konsep ummīy, sekaligus penelitian lain fokus membahas perhatian al-
Qur‟an. Ketiga, kebanyakan orang awam memahami bahwa buta adalah sesuatu
atau perkara yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata. Keempat, penelitian ini
bertujuan untuk menemukan cara al-Qur‟an mengkonstruk sistem makna dari kata
(lafadz) yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, penulis memilih judul “Dimensi
Buta dalam al-Qur‟an: Studi Ayat-Ayat A’mā dengan Aplikasi Metode Tafsir
1. Identifikasi Masalah
Dari topik yang diuraikan di atas, ada beberapa masalah yang dapat
diidentifikasikan, diantaranya:
11
Eva Nugraha dalam artikelnya menyebutkan nama-nama orientalis seperti Samuel
Marinus Zwemer, Isaiah Goldfeld dan Khalil Athamina yang mempertanyakan apakah Nabi
Muhammad bisa menulis dan membaca. Lihat Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan
Implikasinya pada Penulisan Rasm,” Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2,
Oktober 2011, h. 101. Sedangkan Usep Dedi Rostandi menyebutkan R. Paret dan Philip K. Hitti.
Lihat Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis).” Jurnal Falasifa,
Vol. 5, No. 2 September 2014, h. 291.
6
sesuatu atau perkara yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata.
buta tidaklah sesuatu yang dapat dilihat oleh kasat mata (lihat poin b),
2. Pembatasan Masalah
Hasil pelacakan dalam al-Qur‟an yang menunjukkan arti buta yakni term
serta tersebar dalam 27 surat. Term ini terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 18,
171; QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50, 104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64, QS.
Yūnus [10]: 43, QS. Hūd [11]: 24 & 28, QS. al-Ra‟d [13]: 16, 19, QS. al-Isrā‟
[17]: 72, 97, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-Ḥajj [22]: 46, QS. al-Nūr [24]: 61,
QS. al-Furqān [25]: 73, QS. al-Naml [27]: 66, 81, QS. al-Qaṣaṣ [28]: 66, QS. al-
Rūm [30]: 53, QS. Fāṭir [35]: 19, QS. Ghāfir [40]: 58, QS. Fuṣṣilat [41]: 17 & 44,
7
QS. al-Zukhruf [43]: 40, QS. Muḥammad [47]: 23, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS.
pada QS. al-Baqarah [2]: 18, QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50 dan
104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64, QS. Yūnus [10]: 43, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-
Nūr [24]: 61, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS. „Abasa [80]: 2. Alasan penulis membatasi
ayat-ayat terpilih ini sebagai pokok bahasan, karena ayat-ayat ini memberi
informasi atau ulasan terkait pemaknaan buta dalam arti luas dibanding ayat-ayat
yang lain sebagaimana tema yang dibahas dalam skripsi ini, dan ayat-ayat yang
lain sebagai pelengkap jika ada kaitannya dengan munasabah ayat. Selain itu,
ayat-ayat terpilih nantinya akan dianalisis yang akhirnya terbentuk sebuah konsep
yang utuh.
3. Perumusan Masalah
ini bertujuan untuk mengetahui konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an secara
utuh dan komprehensif. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan cara
12
Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm
(Kairo: Dār al-Ḥadīth, 1364 H), h. 488-489.
8
D. Metode Penelitian
didasarkan pengambilan data dari kajian pustaka atau literatur.13 Hal ini berarti
semua data penelitian diperoleh dari bahan-bahan yang tertulis yang bertemakan
dengan tema yang dibahas di dalamnya. Karena penelitian ini berkaitan langsung
Data primer merupakan data yang diperoleh dari obyek penelitian.14 Data
pokok yang menjadi rujukan pembahasan skripsi ini berupa penafsiran ayat-ayat
buta dalam al-Qur‟an yang terdapat dalam tafsir Ibnu Kathīr, al-Marāghī dan al-
Mishbah, dan serta diperkuat tafsir-tafsir lain untuk memperkuat argument jika
13
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 10.
14
Jujun S Sumantri dan Tim Lembaga Penelitian IKIP Jakarta, “Prosedur Penelitian Ilmu,
Filsafat dan Agama”, Jurnal Ilmu dan Penelitian Parameter, IKIP Jakarta, h. 45.
9
diperlukan. Alasan penulis mengambil ketiga tafsir ini adalah adanya perbedaan
masa penulisan pada kitab tafsir tersebut, yaitu tafsir Ibnu Kathīr pada masa
klasik, al-Marāghī pada masa modern dan al-Mishbah pada masa kontemporer.
Supaya dapat diketahui apakah ada perbedaan penafsiran ayat-ayat tentang konsep
buta antara penafsiran pada masa klasik, modern sampai sekarang ini.
2. Metode pembahasan
sebagai berikut:
suratnya.
15
Dalam penerapan metode mawḍū’i„, penulis merujuk pada: „Abd al-Hayy al-Farmāwī,
Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i. Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 45.
16
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji ayat yang terdapat kata kunci yaitu: a’mā ()أعمى
dan derivasinya, dengan menelusuri kitab karya Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H).
17
Dalam pelacakan ini, penulis menggunakan Aplikasi al-Qur‟an digital – Qur‟an
Kemenag RI (www.quran.kemenag.go.id)
10
semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
dalamnya.
3. Teknik penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
18
Lihat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
digunakan dalam penulisan artikel ilmiah baik makalah, jurnal, tesis, dan
disertasi.19
E. Tinjauan Pustaka
ditemukan, hanya saja terkait perlakuan terhadap penyandang cacat atau difabel
dalam al-Qur‟an telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk artikel, skripsi dan
memakai tafsiran Sayyid Quṭb. Tujuan dari tulisan Dahliana ini dapat
sikap abai terhadap mereka. Skripsi yang hampir sama juga ditulis oleh
mahasiswa UIN Yogyakarta yakni, Cici Afridawati menulis dengan judul Respon
Tak jauh dari penelitian Dahliana, penelitian Cici Afridawati juga mengulas
19
Lihat Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018, h. 26.
20
Siti Nurhayah Dahliana, “Perlakuan terhadap Penyandang Difabel Perspektif Al-
Qur‟an: Analisis Penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsīr Fī Zilāl al-Qur’ān” (Skripsi Program Studi
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016)
21
Cici Afridawati, “Respon Al-Qur‟an terhadap Difabilitas (Kajian Tematik terhadap
Ayat-ayat Difabel)” (Skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018).
12
lain yang diberikan kepada kaum minoritas ini. Ada juga artikel karya
penjelasannya.
serupa juga dilakukan Rofi‟atul Khoiriyah dengan judul Difabilitas dalam Al-
Qur’an.23 Skripsi ini hendak mengulas eksistensi difabel dan perhatian al-Qur‟an
dua jenis difabel yaitu tunanetra dan tunadaksa, yang dalam al-Qur‟an
dilakukan Sri Handayana dengan judul Difabel dalam Al-Qur’an.24 Tulisan ini
22
Hindatulatifah, “Apresiasi al-Qur‟an terhadap Penyandang Tunanetra: Kajian Tematik
terhadap QS. „Abasa.”, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IX, No. 2 Desember
2008.
23
Rofi‟atul Khoiriyah, “Difabilitas dalam Al-Qur‟an” (Skripsi Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, 2015).
24
Sri Hadayana, “Difabel dalam Al-Qur‟an”, INKLUSI: Journal of Disability Studies,
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2016.
13
lingkungan sosial di mana mereka berada. Tulisan ini juga mencoba untuk
Seperti Khairunnas Jamal dkk. menulis artikel dengan judul Eksistensi Kaum
dalam tatanan hukum dan sosial. Terminologi yang digunakan al-Qur‟an untuk
shum.
pustaka untuk mengangkat tema disabilitas dalam kajian hukum Islam. Khoirul
25
Khairunnas Jamal dkk., “Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif Al-Qur‟an”, Jurnal
Ushuluddin, Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017.
26
M. Khoirul Hadi, “Fikih Disabilitas: Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ.”
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.
14
Artikel ini menyimpulkan satu bahwa isu disabilitas telah didiskusikan sejak lama
Tunanetra Guna Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Pada UPT
Rehabilitasi Sosial Cacat Netra (RSCN) Malang bagi penyandang tunanetra guna
tunanetra merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban
serta peran yang sama di segala aspek kehidupan sehingga mereka perlu
satu konsep dengan mengambil dari satu term yang sudah banyak dilakukan
antara lain: Pertama, karya Muji Basuki dengan judul “Ummī dalam Al-Qur‟an
tulis ini hendak membahas tentang hakikat makna ummī dalam al-Qur‟an
Tujuan dari tulisan ini memberi gambaran secara lebih luas mengenai golongan
yang disebut ummī dalam al-Qur‟an. Ummī yang dalam al-Qur‟an tidak bisa
27
Sastya Eka Pravitasari dkk, “Pemberdayaan Bagi Penyandang Tunanetra Guna
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Pada UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra
Malang).” Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, (tth)
28
Muji Basuki, “Ummī dalam Al-Qur‟an Kajian Tematik Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish Shihab.” (Tesis Program Studi Ilmu Keislaman Program Pascasarjana Iinstitut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013).
15
karya Wan Z. Kamaruddin bin Wan Ali, “Konsep Ummī Nabi Muhammad saw
dari Perspektif Al-Qur‟an.”29 Ketiga, Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam
Agus Mustofa dalam perspektif ilmu balaghah).”32 Keenam, Aris Fauzan, “Al-
Sebetulnya masih banyak karya lain terkait difabel atau disabilitas, konsep ummī,
F. Sistematika Penulisan
Adapun penulisan ini dilakukan dengan membagi beberapa bab dan sub-
bab. Masing-masing bab dan sub-bab memiliki keterkaitan yang erat dan tak
29
Wan Z. Kamaruddin bin Wan Ali, “Konsep Ummi Nabi Muhammad saw dari
Perspektif Al-Qur'an.” Jurnal Ushuluddin, Vol. 7, 1998.
30
Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis).” Jurnal
Falasifa, Vol. 5, No. 2 September 2014.
31
Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2, Oktober 2011.
32
Mukmin, “Konsep Keummian Nabi Muhammad dalam Al-Qur‟an (Tela‟ah Kritis
terhadap pemikiran Agus Mustofa dalam perspektif ilmu balaghah),” Prosiding Konferensi
Nasional Bahasa Arab III, Malang, 7 Oktober 2017.
33
Aris Fauzan, “Al-Nabiy al-Ummiy dalam Telaah Historis-Semiotik.” Fokus: Jurnal
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 01, Juni 2018.
16
Bab II, Al-Farmāwī dan Metode Tafsir Tematiknya mencakup biografi al-
Farmāwī, sejarah perkembangan tafsir tematik, dan metode tafsir tematik al-
Farmāwī.
Bab III, Klasifikasi dan Kategorisasi Kata A’mā. Pada bab ini penting
dibahas untuk menguraikan secara detail penggunaan kata a’mā. Kata ini akan
ditelusuri satu per satu ayat ayat. Pembahasannya terdiri dari pengertian kata a’mā
dalam al-Qur‟an, penggunaan kata a’mā dalam al-Qur‟an, dan kategorisasi kata
(batiniah), buta tidak melihat tanda-tanda kebenaran al-Qur‟an, dan buta mata
hati.
A. Biografi Al-Farmāwī
„Abd al-Ḥayy Hussein al-Farmāwī lahir pada tahun 1942 di Desa Kafr
salah satu kuttāb di desanya. Setelah berhasil menamatkan hafalan untuk seluruh
Tafsir Hadis pada tahun 1969. Ia kemudian bekerja sebagai staff pembantu di
universitas sambil melanjutkan Program Master di bidang Tafsir dan „Ulum al-
Qur‟an yang diselesaikannya pada tahun 1972, dan setelah itu ia diangkat menjadi
„Ulum al-Qur‟an pada tahun 1975, maka barulah ia diangkat sebagai dosen penuh.
Ia kemudian dipromosikan untuk jabatan Asisten Professor pada tahun 1980, dan
baru diangkat sebagai professor penuh sejak tahun 1985 hingga akhir hidupnya. Ia
wafat pada dinihari Jumat tanggal 12 Mei 2017, meninggalkan empat anak
Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
17
18
Urusan Islam (Mesir), Anggota Majelis Rakyat Republik Arab Mesir, dan
itu, beberapa rihlah ilmiyah yang dilakukannya antara lain sabbatical leave
selama dua periode di Universitas Umm al-Qura, Makkah selama empat tahun
antara tahun 1978-1982; dan enam tahun antara tahun 1995-2000; serta menjadi
profesor tamu (visiting professor) untuk masa selama tiga bulan pada tahun 1992
ada tiga puluh judul karya yang ditulis oleh Farmāwī dalam rentang kajian Islam
1
Moh. Anwar Syarifuddin, “Teori Penafsiran Tematik „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī (1942-
2017)” diakses pada 17 Agustus 2019 dari
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2018/04/04/teori-penafsiran-tematik-abd-al-
%E1%B8%A5ayy-al-farmawi-1942-2017/
2
Moh. Anwar Syarifuddin, “Teori Penafsiran Tematik „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī (1942-
2017)” diakses pada 17 Agustus 2019 dari
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2018/04/04/teori-penafsiran-tematik-abd-al-
%E1%B8%A5ayy-al-farmawi-1942-2017/
19
wa Najāh fī al-Ākhirah;
6. “( وتؼيٍق, ”تهذٌت تفظٍٍز اثِ مثٍز(تحقٍقTahdzīb Tafsīr Ibn Katsīr (editor);
Nabawiyyah;
11. “ ٍِ ”رطٌ اىَصحف ثٍِ اىَؤٌذٌِ واىَؼبرظRasm al-Muṣḥaf bayn al-
Mu’ayyidīn wa al-Mu’āṣirīn;
12. “( ”ساد اىذػبح ٍِ هذي اىقزآُ اىنزٌٌ (ثالثخ أخشاءZād al-Da’wah min Hady al-
13. “ ثٍِ اىتشزٌغ اإلطالًٍ واىىاقغ اىَؼبصز.. ”سٌْخ اىَزآحZīnat al-Mar’ah: bayna al-
15. “( سمً ّدٍت ٍحَىد. ”صحىح فً ػبىٌ اىَزأح (رد ػيى دṢaḥwah fī ‘Ālam al-
17. “ اىتىثخ إىى هللا.. ”غزٌق اىظؼبدحṬarīq al-Sa’ādah al-Tawbah ilā Allāh;
18. “ ً 1994 ”ػشز ٍخبىفبد شزػٍخ فً وثٍقخ ٍؤتَز اىظنبُ واىتٍَْخ – اىقبهزحAsyr
19. “( ”قصص األّجٍبء ىإلٍبً اثِ مثٍز (تحقٍقQaṣaṣ al-Anbiyā’ li al-Imām Ibn
Kathīr;
Muṣḥaf al-Sharīf;
21. “( ”متبثخ اىقزآُ ثبىزطٌ اإلٍالئً أو اىحزوف اىالتٍٍْخ (اقتزاحبد ٍزفىظخKitābat al-
Marfūḍah);
24. “ ”ٍشزوع ثزّبٍح تزثىي إلصالذ اىْفضMasyrū’ Barnāmij Tarbawī li Iṣlāḥ al-
Nafs;
26. “( ىإلٍبً اثِ اىدشري (تحقٍق..ٍِ ”ٍْدذ اىَقزئٍِ وٍزشذ اىطبىجMunjid al-Muqri’īn
berada dalam disiplin ilmu al-Qur‟an dan tafsīr, meskipun juga didapati karya-
karya populer Islam dan karya-karya di bidang dakwah dan hukum Islam, juga
tasawwuf. Terkait dengan bahasan tafsir tematik, ada dua dari karyanya yang
doktor dan kemudian diangkat menjadi dosen secara penuh di universitas al-
Azhar. Sementara itu, tidak ada informasi yang menerangkan tentang karya yang
kitab ini juga dijelaskan bagaimana cara mengungkap dan menyajikan segala
masalah yang dikandung oleh al-Qur‟an, serta bagaimana cara menggali dan
tafsir mawḍū‟ī telah dimulai oleh Nabi saw.4 sendiri ketika menafsirkan ayat
3
Sebuah pengantar, „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī:
Dirāsah Manhajiah Mawḍū’īyah, terj. Suryan A. Jamrah, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu
Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. XVI.
4
Contoh tafsir mawḍū‟ī pada masa Nabi ialah seperti penafsiran beliau terhadap kata al-
ẓulm dalam ayat 82 surat al-An‟ām: “ ُ”اىذٌِ أٍْىا وىٌ ٌيجظىا إٌَبّهٌ ثظيٌ اوىئل ىهٌ األٍِ وهٌ ٍهتذو. Yang
beliau tafsirkan dengan kemusyrikan yang terdapat dalam ayat 13 surat Luqmān: “ ٌإُ اىشزك ىظي
22
dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’thūr. Seperti
yang dikemukakan al-Farmāwī bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa
Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru
Shaltūt, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsīr al-Qur’ān
oleh Aḥmad Sayyid al-Kūmīy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan
Azhar, dan menjadi Ketua Jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini
digagas pada tahun 1960-an. Buah dari tafsir model ini menurut M. Quraish
Insān fī al-Qur’ān, al-Mar’ah fī al-Qur’ān, dan karya Abul A‟lā al-Mawdūdī, al-
lebih sistematis oleh „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, pada tahun 1977, dalam kitabnya
‘Ulūm al-Qur’ān misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang
ٌٍ”ػظ. Dengan penafsiran Nabi tersebut, telah menanamkan benih tafsir mawḍū‟ī dan
mengisyaratkan bahwa lafadz-lafadz sesuatu ayat yang sukar diketahui maksudnya perlu dicari
penjelasannya dari lafadz-lafadz ayat yang lain. Lihat Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada
Masa Kini: Sebuah Studi Perbandingan (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 87.
5
Didi Junaedi, “Mengenal Lebih Dekat Metode Tafsir Maudlu‟i”, Diya al-Afkar, Vol. 4
No.01 Juni 2O16, h. 25.
23
Demikian juga al-Suyūṭī (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqān fī ‘Ulūm al-
Qayyim al-Jauzīyah (1292- 1350H.), ulama besar dari mazhab Ḥanbalî, yang
Mufradāt al-Qur’ān oleh al-Rāghib al-Isfahānī; Asbāb al-Nuzūl oleh Abū al-
beberapa ayat yang membicarakan satu judul/topik, yang satu ditafsirkan dengan
ayat yang lain. Sehingga tafsir mawḍū‟ī ini termasuk tafsir bi al-ma‟thūr yang
Abdul Djalal pun menegaskan bahwa dalam hal ini tidak ada seorangpun
yang menambah keistimewaan metode tafsir mawḍū‟ī ini, dan metode ini lebih
baik daripada metode-metode tafsir yang lain. Sebab tafsir mawḍū‟ī ini memakai
sumber penafsiran yang paling tinggi dan paling baik, karena memakai sumber
ayat-ayat al-Qur‟an yang sudah barang tentu lebih tinggi dan lebih baik daripada
Ahmad Mihna bahwa cukup banyak para penafsir di tahun-tahun terakhir ini yang
menulis karya tafsir berdasar metode tafsir ini. Begitu juga pendapat Maḥmūd
Shaltūt, bahwa metode tafsir mawḍū‟ī adalah metode tafsir yang paling ideal,
6
Aisyah, “Signifikansi Tafsir Maudhu'i dalam Perkembangan Penafsiran al-Qur'an”,
Tafsere, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013, h. 27-28.
7
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini, h. 93.
24
dikandung oleh al-Qur‟an tersebut tidak melulu bersifat teoritis semata tanpa
memiliki hubungan yang riil dengan apa yang dialami oleh individu dan
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos, yang berarti cara atau
jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, sedangkan bangsa Arab
tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem
ditentukan.9
bentuk taf’il dari kata fassara, artinya menerangkan, membuka, dan menjelaskan
(al-bayān). Dalam bahasa Arab, kata al-fasru berarti membuka arti yang sukar
sedang kata al-tafsīr berarti membuka atau menjelaskan arti yang dimaksudkan
dari lafal-lafal yang sulit. Sementara al-Zarkashī mengatakan, kata tafsir berasal
dari kata tafsirah, artinya steteskop, yaitu alat yang dipakai oleh dokter untuk
memeriksa para pesien, fungsinya adalah membuka dan menjelaskan. Dengan alat
8
„Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī, h. 48. Lihat juga Abdul
Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini, h. 94.
9
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), h. 97.
25
tersebut seorang dokter dapat menjelaskan penyakit yang diderita oleh seorang
pasien. Demikian pula seorang mufassir, dengan tafsir ia dapat menjelaskan ayat-
ayat al-Qur‟an.10
yakni dari segi sumber, metode, dan corak. Dari segi sumber tafsir dapat
Kemudian dari segi metodologinya, tafsir dapat dibagi menjadi empat yaitu al-
Sementara dari segi corak, setidaknya ada beberapa corak yang sering disebutkan
oleh para ulama antara lain tafsir bercorak hukum (fiqh), sastra budaya (al-adāb
yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu
topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-
ini dengan metode mawḍū’ī, dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh
seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh
Penafsiran al-Qur‟an dengan metode tematik sangat meluas di era informasi dan
mengikuti kronologi turunnya ayat juga dapat menjawab tantangan zaman, karena
itu dapat dikatakan ṣaḥīḥ likulli zamān wa makān, dapat mengikuti perkembangan
12
„Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī, h. 36-37.
13
M. Sja‟roni, “Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I Edisi 12,
Tahun 10, 2014, h. 1.
14
Dalam penerapan metode mawḍū’i„, penulis merujuk pada: „Abd al-Hayy al-Farmāwī,
Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i. Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 45-46.
15
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji ayat yang terdapat kata kunci yaitu: a’mā ()أػَى
dan derivasinya, dengan menelusuri kitab karya Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H).
16
Dalam pelacakan ini, penulis menggunakan Aplikasi al-Qur‟an digital – Qur‟an
Kemenag RI (www.quran.kemenag.go.id)
27
suratnya.
17
‘Ām ialah naṣ yang memberikan pengertian umum. Yakni yang menunjukkan kepada
lebih dua hakikat, tanpa hingga atau mencakup segala afrad-nya, seperti perkataan al-rijāl (orang
laki-laki) atau al-nās (manusia). Kata itu mengenai lebih dari dua orang dengan umum; yakni
mengenai ini dan mengenai itu sekaligus. Keumuman pentunjuknya kepada lebih dari dua orang,
dinamai umum. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 167.
18
Khāṣ ialah naṣ yang menunjuk kepada yang tertentu, seperti perkataan Aḥmad. Dan
juga dipandang khās kalimat yang umum dari satu jurusan, menjadi khāṣ dari jurusan yang lain,
seperti perkataan mu’minūn (orang-orang mukmin). Dari jurusan ini dinamai ‘ām. Tetapi
perkataan itu memisahkan orang-orang yang tidak beriman, maka dari jurusan ini khāṣ namanya.
Tegasnya, kata khāṣ ialah kata yang hanya menunjuk kepada satu golongan saja, tidak yang lain.
Yakni kata yang tidak mengenai dua benda sekaligus. Lihat TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah &
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 167.
19
Muṭlaq ialah nāṣ yang menunjuk kepada satu saja, tetapi tidak dikaitkan dengan sesuatu
pengaitnya. Umpamanya, perkataan seorang budak saja tetapi tidak ditentukan budak yang
bagaimana. Dari jurusan tidak dikaitkan, ia menyerupai umum. Tetapi dari jurusan mengenai
seorang saja, dinamakan muṭlaq. Petunjuk demikian dinamai iṭlaq. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 168.
20
Muqayyad ialah naṣ yang menunjuk kepada satu yang dikaitkan dengan sesuatu sifat.
Umpamanya, seseorang berkata: “Seorang budak yang beriman”. Naṣ ini mengeluarkan budak
yang tidak beriman. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
h. 168.
28
dalamnya.
se-tema yang sedang menjadi obyek kajian. Dengan begitu, maka gagasan non-
melingkupi di saat ayat itu turun, dan apa saja isi pokok pikiran dari
21
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press
Yogyakarta, 2017), h. 60-61.
29
2. Tematik term, yakni model kajian tematik yang secara khusus meneliti
kata tersebut disebut dalam al-Qur‟an? Apa saja maknanya, dan dalam
konteks apa saja kata tersebut disebut di dalam al-Qur‟an. Hal-hal ini
konteks riset ini menjadi tepat untuk dipilih. Sebab dalam pendekatan
fitnah.
ide tentang konsep itu ada dalam al-Qur‟an. Misalnya tema, “Difabel
22
Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Lilik Ummi Kaltsum dengan judul
“Fitnah dalam Al-Qur‟an (Suatu Kajian Tafsir Tematik)” Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998. Atau dapat dilihat di
https://independent.academia.edu/LilikUmmiKaltsum/CurriculumVitae
30
melalui term al-a’mā (orang buta), al-ṣum (tuli), al-bukm (bisu) dan
lain-lain.
mudah dan sederhana. Padahal, pada praktiknya terasa berat, sulit, dan rumit.
23
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, h. 61-63.
24
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 116.
BAB III
versi 1.3.3.91 dengan menginput kosa kata kategori buta didapat informasi bahwa
tetapi pada penelitian ini hanay mengulas term a’mā ( )أعمىdan derivasinya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, buta diartikan tidak dapat melihat
karena rusak matanya (atau disebut dengan tunanetra). Buta juga dimaknai tidak
tahu atau tidak mengerti sedikitpun tentang sesuatu.2 Dari Persatuan Tunanetra
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki
penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan
gelap. Orang dengan kondisi ini kita katan sebagai “buta total”. Di pihak lain, ada
1
www.quran.kemenag.go.id
2
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.
31
32
dengan kacamata.3
kacamata biasa. Jadi, tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan atau
kerusakan pada satu atau kedua matanya sehingga tidak dapat berfungsi secara
fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang “kurang awas” atau lebih dikenal
Dalam sub-bab ini juga penulis akan menguraikan secara detail klasifikasi
dan kategorisasi kata a’mā ()أعمى. Kata ini akan ditelusuri satu persatu ayat-
dikategorisasikan ayat-ayat yang terkait buta fisik (lahiriah) dan psikis (batiniah).
Pelacakan bentuk kata mengacu kepada gramatikal bahasa Arab. Kalimat dalam
bahasa Arab terdiri dari tiga yaitu isim, fi’il, dan huruf. Namun penelitian pada
bab ini hanya membahas isim dan fi’il saja. Isim menurut bahasa ialah sesuatu
3
Ardhi Wijaya, Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta:
Javalitera, 2012), h. 12.
4
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak
Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 36.
5
Low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu mata harus didekatkan, atau mata
harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandangan kabur ketika
melihat objek. Untuk mengatasi permasalahan penglihatannya, para penderita low vision ini
menggunkan kacamata atau kontak lensa. Lihat Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, h. 36.
33
yang menunjukkan benda atau nama. Menurut istilah pakar nahwu, isim adalah
kata yang menunjukkan atas makna pada dirinya sendiri tanpa terikat dengan
zaman atau waktu tertentu.6 Fi’il menurut bahasa adalah kejadian yang baru.
Sedangkan menurut istilah pakar nahwu ialah kata kerja yang menunjukkan
maksud atau makna dengan terikat waktu tertentu.7 Tujuan dari pelacakan bentuk
kata diperlukan untuk memperoleh data bentuk kata yang paling sering dipakai al-
dari ayat-ayat tersebut. Maka, dari cara penelusuran kata-kata tersebut akan
dilanjutkan pada pencarian kategorisasi ayat-ayat buta. Dari hasil pelacakan ini,
maka pentingnya dalam pembahasan bab ini akan dapat ditemukan ayat mana
yang mengulas atau mencakup tentang buta secara fisik dan ayat mana yang
30 ayat serta tersebar dalam 21 surat. Term ini terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]:
18, 171; QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50, 104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64,
6
Muḥammad Muḥy al-Dīn „Abd al-Ḥamid, al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah: Fī Qawāid al-Naḥw wa al-I’rāb (Damaskus: Mu‟assasah al-
Risalah Nāsyirun, 1393 H/2016), h. 39. Lihat juga Muḥammad Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Syarh al-
Ājurumiyyah (Riyād: Maktabah al-Rusyd Nāsyirun, 2003), h. 36. Lihat juga Muh. Haris
Zubaidillah, Pengantar Ilmu Nahwu: Belajar Bahasa Arab Sampai Bisa (Hulu Sungai Utara:
Penerbit Hemat, t.t), h. 10.
7
Muḥammad Muhy al-Dīn „Abd al-Ḥamid, al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah, h. 39. Muḥammad Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Syarh al-Ājurumiyyah, h.
36. Muh. Haris Zubaidillah, Pengantar Ilmu Nahwu, h. 10.
34
QS. Yūnus [10]: 43, QS. Hūd [11]: 24, QS. al-Ra‟d [13]: 16, 19, QS. al-Isrā‟ [17]:
72, 97, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-Ḥaj [22]: 46, QS. al-Nūr [24]: 61, QS. al-
Furqān [25]: 73, QS. al-Naml [27]: 66, 81, QS. al-Qaṣaṣ [28]: 66, QS. al-Rūm
[30]: 53, QS. Fāṭir [35]: 19, QS. Ghāfir [40]: 58, QS. Fuṣṣilat [41]: 17, QS. al-
Zukhruf [43]: 40, QS. Muḥammad [47]: 23, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS. „Abasa
[80]: 2.8
Kata a’mā ( )أعمىsecara literal berarti orang yang buta secara fisik.
9
‘Umyūn ( ع ْم ٌي
) ُعsecara etimologi berarti hilangnya daya penglihatan, begitu juga
penglihatan pada kedua mata. Dalam al-Qur‟an term ini mempunyai dua arti, yaitu
difabel secara fisik (orang yang cacat fisiknya) dan difabel mental (orang yang
cacat teologinya).
Mengambil dari penjelasan QS. Ṭāhā [20]: 124 terkait pemaknaan buta,
Ibn Katsīr menjelaskan term buta pada ayat di atas yakni mereka yang selama
hidupnya berpaling dari peringatan Allah orang yang menyalahi perintah yang
petunjuk dari Rasul-Nya. Nanti mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta
mata lahir dan batin.10 Al-Marāghī menjelaskan term buta dimaksudkan buta
terhadap surga, karena kejahilan yang pernah dilakukan di dunia akan tetap
8
Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm
(Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H), h. 488-489.
9
CD ROM Maktabah Syamilah, Al-Mu’jam al-Wasith, juz. 1, h. 1086.
10
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisir al-Alliy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
terj. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 3, h. 275.
35
melekat di akhirat kelak.11 M. Quraish Shihab juga memaknai term buta dengan
buta terhadap jalan menuju surga. Kehidupan yang sempit adalah kehidupan yang
sulit dihadapi, lahir dan batin. Kehidupan yang sedemikian menjadikan seseorang
tidak pernah merasa puas, dan selalu gelisah, karena tidak menoleh kepada hal-hal
yang bersifat rohaniah, tidak merasakan kenikmatan ruhani karena mata hatinya
buta dan jiwanya terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat material.12 Seseorang
yang dianggap buta, dalam al-Qaṣaṣ [28]: 66 disebutkan tidak melihat sesuatu
serta gelap baginya alam raya ini. Dari sini buta yang dimaksud dapat dipahami
dalam arti gelap atau tidak melihat. Yang dimaksud adalah mereka tidak
menemukan jawaban.13
dengan merujuk QS. Fāṭir [35]: 19 sebagai bentuk perumpamaan kaum muslimin
dan kaum kafir. Kaum mukmin bagaikan orang yang hidup, sedangkan kaum kafir
bagaikan orang yang mati. Keduanya tidaklah sama. Orang mukmin dapat melihat
dan berjalan di dunia dan di akhirat sehingga dia sampai di surga. Sementara
orang kafir itu buta tuli dan berjalan dalam kesesatan sehingga ia sampai pada
neraka.14 Begitu juga pendapat al-Maraghi yang menyimpulkan bahwa buta pada
dalam kegelapan-kegelapan, dia tak bisa keluar dari padanya. Sehingga ia terseret
menuju neraka. Sedang orang yang melihat adalah orang mukmin, mendengarkan
11
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), Jilid 16, h. 295.
12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 11, h. 700.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 10, h. 387.
14
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisirul al-Alliyul Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 3, h. 963.
36
dan berhati terang. Dia dapat berjalan pada jalan yang lurus di dunia dan akhirat,
bahwa kata buta pada ayat di atas merupakan keadaan orang-orang kafir. Orang
kafir yang disamakan dengan orang buta. Seorang yang buta bisa saja mengetahui
sesuatu, tetapi pengetahuannya atas dasar pandangannya sama sekali nihil hingga
bahwa a’mā ( )أعمىatau buta itu secara ibarat dapat digunakan sehubungan dengan
jiwa, dalam arti sesat; adapun hubungan antara dua arti itu ialah tidak menemukan
ع ْم
‘( ُعumyun) ini berasal dari mufradat bahasa Arab dalam bentuk fi’il (kata kerja)
ع َمى
َ (fi’il māḍī), ( يَ ْع َمىfi’il muḍāri’), sedangkan bentuk fā’il-nya (subjek) adalah
أ َ ْع َمىdan ع ْم
ُعadalah bentuk maṣdar-nya (infinitive), dimana kosa kata ini
15
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, Jilid 22, h. 212.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 11, h. 48.
17
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur’an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XXIV, h. 1315.
18
Ibnu Mazhūr, Lisān al-‘Arāb, jilid 4 (Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 2010), h. 3115.
37
buta.19 Pengertian ini sesuai dengan kata „buta atau tunanetra‟ dalam bahasa
yang dalam bahasa Inggris disebut blindness.21 Dalam al-Qur‟an term ini
mempunyai dua arti, yaitu difabel secara fisik (orang yang cacat fisiknya) dan
difabel mental (orang yang cacat teologinya). Maka, untuk mengetahui pembagian
term a‟mā dan derivasinya berdasarkan bentuk kata (fi’il) dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
menggunakan kata a’mā ( )أعمىserta derivasinya dalam dua bentuk yaitu, bentuk
fi’il dan isim. Fi’il adalah kata kerja yang memiliki waktu tertentu yaitu waktu
lampau (māḍī), sekarang atau akan datang (muḍāri’) dan kata kerja perintah
(amr). Sedangkan isim adalah kata benda. Ada tiga bentuk kata benda yaitu kata
kerja yang dibendakan (maṣdar), bentuk yang menunjukkan subyek (fā’il), dan
māḍī tidak ditemukan, hanya 5 kali ditemukan dalam bentuk derivasi kata, serta
ayat tersebar dalam 13 surat dalam bentuk isim-fā’il, serta derivasi kata a’mā
dalam 2 ayat-surat dalam bentuk isim-maf’ūl. Namun, dalam penelitian ini tidak
ditelusuri siapakah subyak (fā’il) dan obyek (maf’ūl)nya jika melalui ketiga kata
tersebut. Akan tetapi, dalam penelitian ini hanya akan ditelusuri kategorisasi ayat-
ayat buta secara fisik (lahiriah) dan psikis (batiniah). Hal ini akan dibahas pada
Pada bahasan sub bab ini akan ditelusuri kategorisasi ayat-ayat buta dalam
ayat buta secara fisik/ lahiriah dan ataukah psikis/ batiniahnya yang ada dalam al-
makna lain dari ayat-ayat tersebut. Untuk mengetahuinya dapat melihat tabel
Tabel di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat buta pada term a’mā ()أعمى
dan derivasinya disebutkan kurang lebih 30 kali. Artinya term a’mā (buta) dalam
al-Qur‟an lebih banyak perhatiannya terhadap kaum yang dianggap buta secara
psikis. Dalam hal ini baik secara perilaku, isi pikiran, alam perasaan, kebiasaan
Qur‟an. Kaum yang dimaksud adalah para penentang atas peringantan Allah dan
nabinya, yakni kaum kafir, Yahudi, musyrikin, orang munafir, pendusta, dan lain
beberapa bentuk kata terulang 34 kali dalam 30 ayat serta tersebar dalam 27 surat
41
42
yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-
ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.
Terkait ayat di atas, al-Ṭabarī menyebutkan sebuah riwayat, bahwa pernah
Ḍaḥḥāk berkata tentang firman Allah, “ ”ليس علً األعوً حرجtidak ada halangan
bagi orang buta. bahwa sebelum diutusnya Nabi saw., penduduk Madinah tidak
sakit itu tidak sempurna dalam makan mereka, sebagaimana orang yang sehat
melihat makanan yang baik.” Allah lalu menurunkan firman-Nya yang berisi
tentang tidak ada dosa bagimu untuk makan bersama orang sakit, orang pincang,
sosial terhadap realitas sosial yang berkembang saat itu seperti dalam QS. al-Nūr
terpisah dari orang pincang, sakit, dan buta. Dari ayat ini terlihat bagaimana Islam
Bazna dan Tarek A. Hatab, konsep difabel yang berkembang saat ini tidak
1
Abū Ja‟far Muḥammad bin Jarir al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān „an Ta‟wil Ayi al-Qur‟ān,
terj. Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), juz 19, h. 265-266.
43
ditemukan di dalam al-Qur‟an.2 Ibn Kathīr sendiri menjelaskan bahwa ahli tafsir
berbeda pendapat tentang alasan pemberian dispensasi kepada orang buta, orang
dengan QS. al-Fatḥ [48]: 17 yang berkenaan dengan masalah jihad. Yakni, tidak
ada dosa atas mereka untuk meninggalkan jihad karena kelemahan dan
[9]: 91-92.4
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas
orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). dan Barangsiapa yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling
niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.
Sebagai penguat pendapat di atas, al-Ṭabarī menyebutkan sebuah riwayat;
pertama, al-Ḥasan bin Yaḥyā menceritakan kepada kami, ia berkata. „Abd al-
kepada al-Zuhrī tentang firman Allah, “ ”ليس علً األعوً حرجtidak ada halangan
bagi orang buta. Mengapa orang-orang yang buta, sakit, dan pincang disebutkan
2
Sri Handayana, "Difabel dalam Al-Qur'an", INKLUSI: Journal of Disability Studies,
Vol. 3, No. 2 Jul-Des 2016, h. 268.
3
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 18, h. 85.
4
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 18, h. 85.
44
cacat itu dan memberikan kunci-kunci rumah mereka. Mereka berkata, “Telah
kami halalkan bagimu untuk makan makanan yang ada di dalam rumah kami.”
Orang-orang cacat itu merasa berdosa dengan hal itu, maka mereka berkata, “Kita
tidak akan masuk ke dalam rumah, karena mareka tidak ada.” Allah kemudian
Kedua, Ibn Abdil A‟lā menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibn Tsaur
menceritakan kepada kami dari Ma‟mar, dari Qatadah, tentang firman Allah “ ليس
”علً األعوً حرج وال علً األعرج حرج وال علً الوريض حرجTiada dosa atas orang-orang
yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak
kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari Qatadah, dia
berkata: Kemudian Allah menerima udzur orang-orang yang memiliki udzur. Dia
berfirman, “ ”ليس علً األعوً حرج وال علً األعرج حرج وال علً الوريض حرجTiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
mendengar al-Ḍaḥḥāk berkata tentang firman Allah, “ ًليس علً األعوً حرج وال عل
”األعرج حرج وال علً الوريض حرجTiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas
5
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 19, h. 268.
45
orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang.
menyatakan: Tiada dosa atas orang yang buta bila tidak memenuhi ajakan itu dan
tidak juga atas orang pincang yakni cacat dan demikian juga tidak atas orang sakit
memenuhi ajakan itu, maka hal tersebut dapat ditoleransi baginya dan barangsiapa
yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menyambut ajakan itu – baik yang
sehat maupun yang memiliki baragam uzur yang dibenarkan; niscaya Allah
Ibn Kathīr, bahwa tidak berdosa bagi orang yang mempunyai udzur apabila
mukmin apabila mereka bertemu musuh mereka, karena cacat-cacat yang ada
pada mereka maupun sebab-sebab lain yang mencegah mereka dari ikut berperang
redaksi pengecualian yakni tidak menyatakan bahwa kecuali orang buta dan
seterusnya. Ini untuk mengisyaratkan bahwa kecuali orang buta dan seterusnya.
6
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 23, h. 589-591.
7
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj.Bahrun Abu Bakar dkk (Semarang:
PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 169.
46
Ini untuk mengisyaratkan bahwa sejak awal mereka sudah tidak dibebani untuk
Namun demikian, pernyataan tidak ada dosa tanpa menyebut dalam hal apa
ketiadaan dosa itu untuk mengisyaratkan bahwa kehadiran mereka tidak terlarang,
karena kehadiran mereka yang memiliki udzur itu sedikit atau banyak dapat
buta juga tergambar dari QS. al-Nūr [24]: 61. Namun pada ayat ini
menggambarkan tidak hanya bagi orang buta, tapi juga merepresentasikan semua
salah satu anggota tubuh) dipresentasikan oleh pincang, dan orang sakit
Menurut Khairunnas Jamal dkk, bahwa dalam ilustrasi budaya Arab saat
itu, buta, termasuk bisu, tuli mewakili individu atau kelompok yang secara sosial
kehidupan bangsa Arab pra Islam berada pada suatu keadaan yang sangat keras
8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 13, h. 196-197.
9
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 277.
47
Bangsa Arab segan makan bersama dengan orang buta. Dalam hal ini,
bangsa Arab adalah sama dengan bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Begitu
juga, sampai sekarang bangsa Hindu suka makan sendirian. Maka Islam
meletakkan jalan tengah. Orang Islam boleh makan sendiriam, boleh makan
bersama orang cacat dan sebagainya, dan boleh makan di rumah sanak kerabat,
atau di rumah kawan. Bagian terkahir ayat ini menerangkan bahwa orang Islam
boleh saja ikut makan di rumah mereka, sekalipun tak mendapat undangan
khusus.11
menjadi penyebab Allah menegur Rasulullah saw. Dalam asbāb al-nuzūl QS.
„Abasa [80]: 1-4 dijelaskan bahwa Rasulullah saw bermuka masam dan
mengabaikan seorang buta bernama „Abdullāh ibn Ummi Maktūm yang ingin
10
Khairunnas Jamal, Nasrulah Fatah dan Wilaela: Eksistensi Kaum Difabel dalam
Perspektif Al-Qur‟an, Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017, h. 227.
11
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur‟an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XVIII, h. 996.
48
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum difabel juga berhak mendapatkan kesempatan
dilakukan Nabi bermuka masam sangat beralasan; bahwa „Abdullāh ibn Ummi
Maktūm merupakan salah seorang yang memeluk Islam lebih awal, dan Nabi
sendiri berharap dan berkeinginan untuk memberi petunjuk kepadanya, hanya saja
Nabi saw mungkin tidak banyak waktu untuk berbicara kepadanya; fokus
perhatian Nabi kepada pembesar Quraisy adalah berharap mereka mau memeluk
Islam. Akan tetapi tiba-tiba muncul „Abdullāh ibn Ummi Maktūm untuk bertanya
pertanyaan „Abdullāh ibn Ummi Maktūm atas kejadian itu karena beliau
dari batin Nabi Muhammad sendiri. Pertama, tak ada perlakukan sewenang-
Rodwell bahwa Nabi berlaku sewenang-wenang terhadap orang buta itu. Bahwa
Nabi tak menaruh perhatian kepada orang yang mengganggu, selagi beliau belum
selesai dalam pembicaraan, adalah wajar. Lagi pula beliau tak marah kepada
orang yang mengganggu itu, tetapi hanya menunjukkan sikap tak senang dan tak
12
Dalam sebuah riwayat, pembesar tersebut adalah Utbah bin Rabi‟ah, Abū Jahl bin
Hisyām dan „Abbās bin „Abd al-Muthālib. Nabi Muhammad saw. mengharapkan mereka masuk
Islam, karena mereka memiliki pengaruh yang cukup besar, sehingga mereka bisa memperkuat
agama Islam. Lihat Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1999), Jilid 8, h. 320.
13
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 268.
14
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 30, h. 398.
49
orang yang mengganggu beliau menyesal karena tak memberi jawaban kepada
perbuatan sendiri. Oleh karena itu, sumbernya wahyu yang diterima Nabi
Muhammad adalah diluar batin beliau sendiri atau diluar keinginan beliau.15
populer adalah surat „Abasa (cemberut). Ada juga yang menamainya surat al-
Ilahi) dan surat al-A‟mā (sang tunanetra) yang kesemuanya diambil dari kata-kata
yang terdapat dalam surat ini. M. Quraish Shihab mengutip pendapat Ibn al-„Arābī
dalam tafsirnya Aḥkām al-Qur‟ān bahwa surat ini dinamakan surat Ibn Ummi
Maktūm, karena awal surat ini turun berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang
buta itu.16
petunjuk, dan rahmat (memberikan kebaikan). Oleh karena itu, menjadi suatu
kewajaran dan keharusan jika al-Qur‟an dikaji terus menerus dan (idealnya)
masyarakat Madinah dan Ibn Maktūm yang buta di atas mengindikasikan bahwa
15
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur‟an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XXX, h. 1666.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Volume 15, h. 57.
50
diwahyukan empat belas abad lalu agar dapat diimplementasikan pada zaman
sekarang.17
berbeda dari pelacakan Sri Handayana yang mengutip sebuah hadis berikut
seorang sahabatnya yang buta untuk tidak salat berjamaah ke masjid. Sebaliknya,
lainnya:
untuk menciptakan integrasi melalui interaksi sosial. Hadir dan turut berpartisipasi
dalam aktivitas sosial secara simultan akan menghapus pengasingan dan anggapan
orang cacat sebagai the others. Interaksi sosial juga mereduksi stigma negatif dan
17
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 269.
51
dalam cakupan yang lebih luas mampu mengurangi gap antara “normal” dan
“tidak normal”.18
kami, katanya; Salamah menceritakan kepada kami dari Muḥammad bin Isḥāk
dari Muḥammad bin Abī Muḥammad pembantu Zayd bin Thābit dari Ikrimah
„Abdullāh bin Ṣaliḥ menceritakan kepaa kami dari Muawiyah bin Ṣaliḥ dari „Alī
Yazid bin Zurai‟ menceritakan kepada kami dari Sa‟id dari Qatadah tentang
firman Allah: “ ” ُص ّۢمن ُص ْك ٌمن ُصyakni tuli dari kebenaran sehingga tidak
ع ْكو ٌم
mendengarnya, buta dari kebenaran sehingga tidak melihatnya dan bisu dari
18
Sri Handayana, Difabel dalam Al-Qur'an, h. 280.
19
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 1, h. 402-403.
52
tidak mendengar petunjuk, bisu tidak mengucapkan kalimat hak, dan buta tidak
lidah, dan hati) telah lumpuh, sehingga pada akhirnya mereka tidak dapat kembali
Tetapi karena sinar tersebut tidak mereka manfaatkan, maka Allah menutupi
cahaya yang menerangi mereka. Al-Qur‟an tidak dapat pergi atau ditutupi, tetapi
yang menjauh dari mereka adalah pantulan dari sinar yang terang benderang itu.
Al-Qur‟an tetap berada di tengah mereka, tetapi cahaya petunjuknya menjauh dari
mereka.21 Begitu juga Ibn Kathīr juga mengumpamakan bahwa keadaan QS. al-
Baqarah [2]: ayat 18 Dalam perumpamaan ini terdapat bukti bahwa orang-orang
munafik itu pertama kali beriman kemudian kafir. Maka makna “ ” ُص ٌّمنtuli tidak
kebutahan hati.22 Pemaknaan ini dikuatkan oleh QS. al-Ḥajj [22]: 46 yang
20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 114.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 113.
22
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 1, h. 73-74.
53
dan orang mati dengan arti buta rohaninya, tuli rohaninya dan mati rohaninya.23
Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi bencana apa pun (terhadap
mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), karena itu mereka menjadi buta dan
tuli, kemudian Allah menerima tobat mereka, lalu banyak di antara mereka buta
dan tuli. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Ta‟wil dari QS. al-Mā‟idah [5]: 71 disebutkan al-Ṭabarī sebagai berikut:
pada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan pada kami dari Qatadah, mengenai
firman Allah, “ ... ”وحسبىا أال ت ىى فتٌتia berkata, “kaum bani Isrā‟il mengira tidak
akan ada suatu bencanapun, „maka mereka menjadi buta dan tuli‟, setiap kali
terjadi bencana yang menimpa mereka, dan mereka pun binasa karenanya.
menceritakan kepada kami dari al-Suddī, tentang ayat, “ وحسبىا أال ت ىى فتٌت فعوىا
”و وىاia berkata, “Mereka mengira diri mereka tidak akan mendapat bencana,
menceritakan kepada kami, ia berkata: Shibil menceritakan kepada kami dari Ibn
Abī Najiḥ, dari Mujāhid, mengenai firman Allah, “ ”وحسبىا أال ت ىى فتٌت فعوىا و وىاia
23
Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur‟an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XVII, h. 943.
54
Juraij, dari Mujāhid, tentang ayat, “ ”فعوىا و وىاia berkata, “Mereka adalah orang-
orang Yahudi.” Ditegaskan bahwa Ibn Juraij meriwayatkan dari „Abdullāh bin
Isrā‟īl yang ditunjukkan kepada Ahl al-Kitāb yang tidak melaksanakan tuntunan
terakhir Muhammad saw. ketika diutus. Sebelumnya, Allah mengutus para Nabi
kepada Bani Isrā‟īl antara lain; Yusya‟ Ibn Nūn, Armniyā‟, Hazqiyāl, Dā‟ūd,
Mūsā dan „Īsā as. Setiap datang seorang utusan, tidak ada yang mereka terima dan
justru mereka tentang, dan lebih parahnya para utusan tersebut mereka bunuh.
Justru dari bencana tersebut, mereka pahami sebagai bencana duniawi yang dirasa
ringan dan sebentar. Dugaan itu lahir akibat keyakinan mereka yang keliru
sebagai bangsa atau umat pilihn yang dicintai Tuhan, sehingga mereka lupa
daratan – dan menjadikan mereka buta dan tuli, seperti bunyi ayat di atas.25
Akibat dari ulah Bani Isrā‟īl tersebut, Allah menjadikan mereka buta tidak
dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah, dan tuli, tidak mendengar petunjuk
kemudian, mereka akhirnya sadar dan bertaubat, maka Allah menerima taubat
24
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 9, h. 224-225.
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3, h. 160.
55
mereka, tetapi itu hanya sementara kaena tidak lama kemudian kebanyakan dari
dua kali buta dan tuli. Dari pembacaan semiotika dua kali buta dan tuli, yakni dua
kali berpaling dari tuntunan Ilahi. M. Quraish Shihab mengutip pendapat Fakhr al-
Dīn al-Rāzī yang berpendapat bahwa yang pertama, terjadi pada Zakariyyā,
Yaḥya dan „Īsā as., kemudian sebagian dari mereka bertaubat, lalu setelah Nabi
Muhammad saw diutus, banyak di antara mereka buta dan tuli, yakni tidak
saw.
berpaling dari tuntunan Allah, dan hal demikian telah menjadi sifat yang
26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3, h. 158-159.
27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 3, h. 161-162.
304) Barangsiapa mengetahui kebenaran dan mengerjakan kebajikan, serta
memperoleh petunjuk, maka dia telah mencapai puncak kebahagiaan.
56
kepada kami, ia berkata: Ibn Zayd berkata, tentang firman Allah swt., “ قد جاءكن
” صائر هي ر نal-Baṣāir adalah petunjuk, yakni petunjuk yang ada di dalam hati
mereka terhadap agama, bukan mata yang ada di atas kepala mereka. Ayat ini juga
dikaitkan dengan QS. al-Ḥajj [22]: 46, bahwa pandangan dan pendengaran agama
Qatadah, tentang firman Allah swt., “ ”قد جاءكن صائر هي ر نadalah sebagai wujud
keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, Allah swt menyatakan, “ia hanya berbuat
Pada QS. al-An‟ām [6]: 104 sebagai wujud pemanfaatan pancaindera yang
dikaruniakan Allah untuk manusia. Sebagai bukti Nabi Muhammad saw. ketika
kesucian jiwa, keluhuran budi serta kekuatan tekadnya dan kedekatannya kepada
hatinya, maka untuk dirinya sendiri manfaat penglihatannya, bukan untuk orang
lain; dan barangsiapa buta tidak melihat kebenaran itu, maka mudharat
29
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 10, h. 355-356.
57
bukan orang lain.30 Ayat ini adalah penyampaian nasehat Nabi Muhammad saw.
kepada kaumnya.
Dalam ayat ini ada dua kata yang berbeda pengertian menurut ulama,
antara kata baṣar ( ) صرdan baṣīrah () صيرة. Untuk penglihatan melalui mata
kepala digunakan kata baṣar, sedang untuk mata digunakan kata baṣīrah/baṣā‟ir.
Terlepas dari dari benar tidaknya pembedaan itu yang jelas bahwa bukti-bukti
yang terhampar di alam raya atau tercantum dalam kitab suci al-Qur‟an, hanya
dapat berfungsi dengan baik jika mata hatinya digunakan, baik dalam arti akal
Konteks ayat ini adalah makna dalil-dalil yang dikandung oleh ayat-ayat
al-Qur‟an yang bila digunakan dengan baik dan benar akan mengantarkan kepada
penggunanya kepada sebuah pembenaran akal dan hati terhadap apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.31 Ibn Kathīr menjelaskan bahwa Nabi
Allah dalam ayat di atas. Seperti al-Ṭabarī berpendapat bahwa buta yang
dimaksud adalah buta dari ḥujjah (alasan), buka buta dari penglihatan. Riwayat-
riwayat lain yang berbeda pendapat terkait makna buta sebagai berikut:
berkata: Muḥammad bin Ubayd menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyān al-
Thaurī menceritakan kepada kami dari Ismā‟il bin Abī Khalid, dari Abū Ṣaliḥ,
Aṣim menceritakan kepada kami, ia berkata: „Īsā menceritakan kepada kami, al-
berkata: Waraqa menceritakan kepada kami, semuanya dari Abn Abī Najiḥ, dari
Mujāhid, menganai firman Allah “ ً يىم القياهت أعو,ٍ”وًحشر. Maksudnya adalah buta
dari ḥujjah.
ayat selanjutnya, bahwa ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta dari ḥujjah dari
buta dari melihat segala sesuatu. Seperti yang diinformasikan Allah “ قال رب لن
”حشرتًٌ أعوً وقد كٌت صيراKatakanlah ia, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau
Sebagaimana di ayat 124 di atas, QS. Ṭāhā [20]: 125 ini juga berselisih
pendapat mengenai makna buta. Adapun riwayat yang dapat memberi penjelasan
antara lain: Pertama, Ibn Bashshar menceritakan kepada kami, ia berkata: „Abd
kami dari Ibn Abī Najiḥ, dari Mujāhid, mengenai firman Allah “ ًٌقال رب لن حشرت
Aṣim menceritakan kepada kami, ia berkata: „Īsā menceritakan kepada kami, al-
berkata: Waraqa menceritakan kepada kami, semuanya dari Abn Abī Najiḥ, dari
Mujāhid, menganai firman Allah “ ”وقد كٌت صيرا. Padahal aku dahulunya adalah
kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari Qatadah, mengenai
firman Allah, “ ”قال رب لن حشرتًٌ أعوً وقد كٌت صيراKatakanlah ia, “Ya Tuhanku,
33
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 17, h. 1015-1016.
60
petunjuk Allah yang disampaikan melalui para nabi maka sesungguhnya baginya
duniawi tidak pernah merasa puas dengan perolehannya, tidak juga rela dan
pasrah menerika ketetapan Allah dan mereka yang demikian itu akan
dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Tuhanku,
mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu
ketika hidup di dunia dan ketika bangkit dari kubur adalah seorang yang melihat?”
Dia berfirman menjawab keluhan orang itu: “Demikianlah, yakni benar apa yang
engkau ucapkan, tetapi telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, ketika kamu
dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan sehingga dibangkitkan dalam
Ibn Kathīr menjelaskan kata buta pada ayat di atas yakni mereka yang
selama hidupnya berpaling dari peringatan Allah orang yang menyalahi perintah
selain petunjuk dari Rasul-Nya. Nanti mereka akan dibangkitkan dalam keadaan
34
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 17, h. 1017.
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, h. 392-393.
61
buta mata lahir dan batin.36 Al-Marāghī menjelaskan kata buta dimaksudkan buta
terhadap surga, karena kejahilan yang pernah dilakukan di dunia akan tetap
Kehidupan yang sempit adalah kehidupan yang sulit dihadapi, lahit dan
batin. Kehidupan yang demikian menjadikan seseorang tidak pernah merasa puas,
dan selalu gelisah, karena ia tidak menoleh kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah,
tidak merasakan kenikmatan ruhani karena mata hatinya buta dan jiwanya
terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat material. Seorang yang buta hatinya, akan
Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib dan aku
tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku hanya mengikuti
apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta
dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?”
Ayat di atas dapat dimaknai dengan beberapa riwayat-riwayat, antara lain:
Āṣim menceritakan kepada kami, dia berkata: „Īsā menceritakan kepada kami dari
Ibn Abū Najiḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah swt., “ ًقل هل يستىي األعو
36
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisir al-Alliy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Kathīr,
terj. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 3, h. 275.
37
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), Jilid 16, h. 295.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, h. 393.
62
”والبصيرmaksudnya adalah orang yang tersesat dengan orang yang berada di atas
petunjuk.
menceritakan kepada kami, dia berkata: Shibl menceritakan kepada kami dari Ibn
kepada kami dari Qatadah, tentang firman Allah swt., “ ”قل هل يستىي األعوً والبصير
dia berkata, “Orang-orang yang buta adalah orang yang tidak bisa melihat
kebenaran Allah, perintah Allah, dan nikmat Allah kepadanya. sedangkan orang
yang melihat adalah orang beriman yang bisa melihat kemanfaatan. Lantas dia
mengesakan Allah, taat kepada Allah, dan mengambil manfaat dai apa yang Allah
berikan.39
ilmu terhadap hal yang ghaib. Ibn Kathīr menekankan bahwa perkara ghaib hanya
diketahui oleh Allah saja, dan Rasulullah tidak dapat mengetahuinya kecuali
sebatas apa yang telah diperlihatkan oleh Allah.40 Ayat ini pula memerintahkan
rasul untuk menjawab sebagian dari dugaan keliru orang-orang yang durhaka. M.
juga tidak memiliki potensi mengetahui yang ghaib tanpa bantuan atau informasi
dari Allah, dan beliau juga tidaklah seorang malaikat yang tidak makan dan
39
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 9, h. 934-935.
40
Al-Imām Abū al-Fidā Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-Adzīm (Tp:
Sinar Baru Algensindo, th), juz 7, h. 273.
63
Perbedaannya adalah Nabi dibimbing Allah dengan wahyunya. Maka, apa yang
kafirin menduga bahwa rasul haruslah dapat melihat yang ghaib, yang berbeda
dengan manusia, yang tidak makan dan minum, yakni serupa dengan malaikat.41
mengabaikan tuntunan wahyu, maka mereka tidak mengetahui arah bahkan kacau
bagaikan seorang buta. Bagi yang menjelaskan tuntunan itu ia dapat membedakan
jalan dan arah sekaligus menghindari jalan yang berbahaya layaknya orang yang
dapat melihat. Maka, ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw dan “”لَ ُصن
kepada kamu (orang kafir), orang-orang yang tidak percaya atau mitra bicara
adalah sama dari segi kemanusiaan, yang membedakan Nabi saw mendapat
wahyu, berada dalam petunjuk, seperti orang yang dapat melihat. Sedang “”لَ ُصن
kamu adalah orang-orang yang buta, juga buta mata hati. Maka yang buta
berkewajiban mengikuti yang melihat, yang buta atau tidak mengetahui arah
Terkait kaum yang buta mata hati juga dijelaskan dalam ayat QS. al-„A‟rāf
[7]: 64;
41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 4, h. 109-110.
42
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 4, h. 110-112.
64
orang yang buta terhadap kebenaran. Al-Ṭabarī juga memaknai dengan beberapa
Aṣim menceritakan kepada kami, ia berkata, „Īsā menceritakan kepada kami dari
ibn Abī Najiḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah, “ ”عوييbahwa maknanya
menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibn Zayd berkata, tentang ayat “”قىها عويي
kepada kaum Nabi Nūḥ, terlebih dahulu ayat ini mendahulukan keselamatan atas
tibanya perahu Nabi Nūḥ as bersama kaumnya di pantai. Hal ini sebagai berita
43
al-Ṭabarī, Jami‟ al-Bayān, juz 11, h. 226-227.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 5, h. 136.
65
Nūḥ as, bahkan mereka menolak dan berpaling, dari kaum yang mendustakan
Nabi Nūḥ adalah para pemuka dan hampur semua anggota masyarakat. Akhirnya
juga orang-orang yang bersama Nabi Nūḥ menumpang di dalam bahtera. Dari
termasuk orang yang buta mata hatinya, sehingga tidak memiliki pandangan yang
benar.45
buta, yakni dari kebenaran, mereka tidak dapat melihatnya dan tidak dapat
petunjuk untuk menuju kepadanya. Dalam QS. al-„A‟rāf [7]: 64 adalah kisah
Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, Apakah dapat kamu
memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat
memperhatikan.
QS. Yūnus [10]: 43 menerangkan ada banyak di antara kaum musyrikin
telinga mereka tertutup. Demikian mereka adalah orang-orang yang tidak berakal
karena tidak memperhatikan atau tidak mau mengerti. Ada pula diantara mereka
45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 5, h. 135-136.
46
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 8, h. 400.
66
kebenaran, tetapi mata hatinya tertutup. Mereka adalah orang-orang yang buta
mata hatinya meskipun Nabi saw. memberinya petunjuk kebenaran akan tetapi
kepada orang yang buta karenanya, membuka mata-mata yang buta, telinga-
telinga yang tuli, hati-hati yang lalai dan menyesatkan. Maka, atas keadaan itu
bahwa Allah-lah yang Ḥakim yang mengatur dan berkehendak atas kerajaan-
Nya.48
47
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6, h. 83-84.
48
Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, jilid 11, h. 279.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
membangun sistem makna dari term a’mā ( )أعمىdan derivasinya terlahir makna-
makna yang lebih luas. Kedua, buta dalam al-Qur’an banyak perhatiannya
terhadap kaum yang dianggap buta secara Psikis (batiniah) dan sebagai bentuk
Qur’an dalam beberapa ulasan: Pertama, sebagai bentuk kritik sosial atau
terpisah dari kaum difabel. Selain itu memberikan akomodasi khusus (rukhsah)
atau keringanan terhadap orang buta untuk tidak ikut berperang, kecuali dalam
urusan ‘ubūdiyah QS. al-Fatḥ [48]: 17. Kemudian wujud pelayanan publik
terhadap kaum difabel, yakni orang buta agar tidak menyurutkan langkah mereka
kesempatan untuk mempelajari Islam. Hal ini dijelaskan QS. ‘Abasa [80]: 1-4
yang dikatakan sebagai teguran kepada Rasulullah saw. bermuka masam dan
mengabaikan seorang buta bernama ‘Abdullāh ibn Ummi Maktūm yang ingin
belajar Islam.
67
68
Kedua, buta psikis (batiniah) disebutkan sosok buta tidak melihat tanda-
berada dalam kesesatan dan kebutahan hati QS. al-Baqarah [2]: 18, berpaling dari
berpaling dari peringatan Allah, orang yang menyalahi perintah, dijauhkan dari
surga, kehidupan yang sempit, jiwanya terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat
material QS. Ṭāhā [20]: 124-125. Adapun sosok buta mata hati, mereka adalah;
mengingkari kebenaran, karena mereka buta mata hatinya QS. al-An’ām [6]: 50,
tidak dapat petunjuk untuk menuju Allah QS. al-‘A’rāf [7]: 64, tidak berakal
karena tidak memperhatikan atau tidak mau mengerti. hati-hati yang lalai dan
B. Saran
petunjuk mencari informasi, analisis yang dibangun juga kurang kuat. Maka,
saran-saran yang perlu penulis sampaikan dalam skripsi ini adalah bahwa
penelitian ini memang jauh dari kata sempurna, juga bukan merupakan hasil akhir.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan untuk diuji kembali dengan beberapa hal:
derivasinya agar terlahir makna-makna baru atau yang lebih luas perlu
2. Bentuk kajian atau penelitian tentang buta dalam al-Qur’an masih berkutat
pada dataran deskripsi dan hanya berupa kajian awal semata. Artinya,
realitas sekarang.
3. Pelacakan makna buta secara fisik dan psikis hanya berkutat sebatas teks.
Maka perlu mencari makna-makna lain yang lebih luas dengan menyoroti
(secara konteks).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
„Ālī, Mawlanā Muḥammad. The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur’an Suci
Terjemah & Tafsir, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.
al-Bāqi, Muḥammad Fuad „Abd. al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al-
Karīm, Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H.
Djalal, Abdul. Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini: Sebuah Studi
Perbandingan, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
al-Farmāwī, „Abd al-Hayy. Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i, terj. Suryan A.
Jamrah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
al-Ḥamid, Muḥammad Muhy al-Dīn „Abd. al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah: Fī Qawāid al-Naḥw wa al-I’rāb,
Damaskus: Mu‟assasah al-Risalah Nāsyirun, 1393 H/2016.
Ibn Kathīr al-Dimasyqī, Al-Imām Abū al-Fidā Ismā‟il. Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm,
Tp: Sinar Baru Algensindo, th.
Ichwan, Muhammad Nor. Tafsir ‘Ilmi, Yogyakarta: Menara Kudus dan Rasail,
2004.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2011.
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mazhūr, Ibnu. Lisān al-‘Arāb, Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 1955.
al-Marāghī, Aḥmad Muṣtafā. Tafsīr al-Marāghī, Tp: 1946.
-----------. Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk, Semarang: PT Karya
Toha Putra Semarang, 1993.
Mesra, Alimin (ed.), Ulumul Qur’an, Jakarta Selatan: Pusat Studi Wanita [PSW]
UIN Jakarta, 2005.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1984.
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Yogyakarta: Idea
Press Yogyakarta, 2017.
Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.
70
71
al-Qurṭubī, Abī „Abdillāh Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr. al-Jāmi’ li-
Aḥkām al-Qur’ān wa al-Mubayyīn limā Taḍammanahu min al-Sunnati
wa Āy al-Furqān, Pentahqiq: al-Duktūr „Abdullāh bin „Abd al-Muḥsin
al-Turkī, Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, 2006.
Riḍā, Muhammad Rasyīd. Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Josef CD, Tp: tt,
t.p.
ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. Taisir al-Alliy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu
Katsir, terj. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
al-Ṣālih, Muslih. Qāmūs Musthalahāt al-‘Ulum al-Ijtimā’iyah Injilizī wa al-
‘Arābī, Riyāḍ: Dār al-„Alam al-Kutūb, 1419 H.
al-Sheikh, „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq (Pentahqiq),
Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, Terj. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibn Kathīr,
Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2003.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Smart, Aqila. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk
Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012.
al-„Uthaimin, Muḥammad Ṣāliḥ. Syarh al-Ājurumiyyah, Riyād: Maktabah al-
Rusyd Nāsyirun, 2003.
Wijaya, Ardhi. Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya, Yogyakarta:
Javalitera, 2012.
Zubaidillah, Muh. Haris. Pengantar Ilmu Nahwu: Belajar Bahasa Arab Sampai
Bisa, Hulu Sungai Utara: Penerbit Hemat, t.t.
Artikel:
Afridawati, Cici. “Respon Al-Qur‟an terhadap Difabilitas (Kajian Tematik
terhadap Ayat-ayat Difabel)” (Skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2018).
Ali, Wan Z. Kamaruddin bin Wan. “Konsep Ummi Nabi Muhammad saw dari
Perspektif Al-Qur'an.” Jurnal Ushuluddin, Vol. 7, 1998.
Aisyah, “Signifikansi Tafsir Maudhu'i dalam Perkembangan Penafsiran al-
Qur'an”, Tafsere, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.
72