Anda di halaman 1dari 47

TINJAUAN KASUS

Nama : Jerry Tjoanatan


Moderator : Tiene Rostini
Hari/Tanggal : Selasa / 7 Desember 2021
Departemen/KSM Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Acute Liver Failure + Drug Induced Liver Injury ec OAT +


Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms +
Tuberculosis mammae Dextra + Hipoglikemia ec Iiver
involvement + Hiponatremia ec low intake

I. Uraian Kasus
1. Identitas pasien
Nama : Ny. D.D.R
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 09 Desember 1992 (26 tahun)
Alamat : Kp Bbk Tanjung. Majalaya. Kab. Bandung
Rekam Medik : 0001747913
Asal Ruangan /Bagian : IGD Transit
Masuk RS : 27 Februari 2019
Keluar RS : 03 Maret 2019 (meninggal dunia)
Lama perawatan : 5 hari
Status : JKN PBI

2. Anamnesis (autoanamnesis)

Keluhan utama: Mata kuning


Pasien datang dengan keluhan mata kuning sejak 4 hari SMRS.
Pasien juga mengatakan warna air kencingnya pekat seperti air teh
namun tidak ada buang air besar seperti dempul. Pasien juga
mengeluh demam dirasakan sejak 7 hari SMRS disertai pusing dan
timbul ruam kemerahan pada kulit, kulit seperti bersisik, terasa gatal

1
2

dan mengelupas sejak 4 hari SMRS. Pipi bengkak dan kedua kaki
bengkak. Keluhan disertai mual tanpa disertai muntah. Pasien memiliki
riwayat benjolan di payudara kanan sejak 3 bulan SMRS dan
didiagnosis Tuberculosis (TB) payudara dan saat ini sedang dalam
terapi obat anti tuberkulosis (OAT) sejak 1 bulan SMRS. Riwayat
hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.

3. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Sakit sedang, BB: 40 kg TB: 150 cm


Kesadaran : Compos Mentis (CM) Indeks Massa Tubuh:17,8
(Kurang)
Tanda vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit, irama reguler, isi
cukup
Detak jantung(Heart rate/HR): 100 x/menit, irama reguler
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,0°C

Kepala : Konjungtiva anemis (+) , sklera ikterik (+), (+),


frenulum lingueae ikterik (+), pernapasan cuping
hidung (-)
Leher : Jugular Venous Pressure (JVP) 5+2 cmH2O,
kelenjar getah bening (KGB) tidak teraba
membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
Thoraks : Bentuk dan pergerakan simetris
Cor : Bunyi jantung S1 dan S2 normal, Kardiomegali (-)
Pulmo : Vesicular Breath Sound (VBS) kanan = kiri, ronchi -/-,
wheezing -/-

Abdomen : Datar, lembut, nyeri tekan epigastrium (+), bising


usus (+) , hepar teraba 4 jari di bawah arcus costa,
3

tepi rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba


membesar
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema
pitting (-/-), maculopapular eritema (+)

Status dermatologis : distribusi generalisata


Pada perut, leher, lengan kiri dan kanan, tungkai kiri dan kanan
terdapat lesi multiple, sebagian konfluens, bentuk ireguler dengan
ukuran 0,2x0,2 cm, pada area perut tampak kering, lesi kulit rata
dengan permukaan kulit berupa purpura, makula eritema disertai
skuama diaskopi(+) pada bercak merah di lengan
2-10
4. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium di IGD RSHS tgl 27 Februari 2019 (H-
1)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Interpretasi
1. Hematologi
Hemoglobin 9,4 P: 12,3-15,3 g/dl 
Hematokrit 27,2 P: 36-45 % 

Eritrosit 3,96 P: 4,2-5,5 juta/uL ↑
Leukosit 23.530 4.500-11.000 /mm3 ↑
Trombosit 534.000 150.000-450.000 /mm3 
MCV 68,7 80-96 fl 
MCH 23,7 27,5-33,2 pg N
MCHC 34,6 33,4-35,5 %
Hitung Jenis Leukosit N
Basofil 0 0-1 % ↑
Eosinofil 14 0-4 % N
Neutrofil Batang 0 3-5 % 
Neutrofil Segmen 29 45-73 % ↑
Limfosit 39 18-44 % N
Monosit 4 3-8 %
Tersangka Blast 14 %
Morfologi Darah Tepi
Eritrosit : Normokrom anisopoikilositosis (target cell, cigar shape, burr cell) ditemukan
normoblast 1/100 leukosit
Leukosit : Jumlah meningkat, limfosit atipik (+), ditemukan tersangka blast dengan
sitoplasma sedikit s/d sedang, kromatin inti halus, anak inti tidak jelas s/d 2

Trombosit : Jumlah meningkat, tersebar


Kesan : Reaksi leukemoid dd/ tersangka leukemia

2. Kimia
Glukosa Sewaktu 63 <140 mg/dL N
SGOT(AST)
4

SGPT(ALT) 433 15-37 U/L ↑


Bilirubin Total 1155 14-59 U/L ↑
Bilirubin Direk 13,266 0,100-1,000 mg/dL ↑
Bilirubin Indirek 9,884 0,100-0,300 mg/dL ↑
Ureum 3,382 0,200-0,800 mg/dL ↑
Kreatinin 16,0 15,0-39 mg/dL N
Natrium 0,75 0,80-1,30 mg/dL N
129 135-145 mEq/L 
Keterangan: N: Normal; A: abnormal; : meningkat; : menurun

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Interpretasi


3. Urinalisis Rutin:
Makroskopis
Warna Kuning tua Kuning AbN
Kejernihan Agak Keruh Jernih AbN
Kimia Urine
Berat Jenis 1.020 1.001-1.035 N
pH 6,5 5.0-8.0 N
Nitrit Negatif Negatif N
Protein Negatif Negatif N
Glukosa Negatif Negatif N
Keton 2+ Negatif ↑
Urobilinogen Normal Normal N
Bilirubin 3+ Negatif ↑
Leukosit esterase 3+ Negatif ↑
Eritrosit 3+ Negatif ↑
Mikroskopis Urine
Eritrosit 10-19 0-3 / LPB ↑
Leukosit 5-9 0-5 / LPB ↑
Sel epitel 5-9 0-1 / LPK ↑
Bakteri Negatif Negatif / LPK N
Kristal Negatif Negatif / LPK N
Silinder Negatif Negatif / LPK N
Keterangan: N: Normal; A: abnormal; : meningkat; : menurun

Foto Rontgen Thoraks:


Tidak tampak kardiomegali
Tidak tampak proses spesifik
Elevasi diafragma kiri

Electrocardiography (EKG):
Sinus takikardi, rate 109 x/menit

5. Diagnosis kerja
Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction with
eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae Dextra on OAT
kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver involvement +
5

Hiponatremia ec low intake

6. Tatalaksana
- IVFD D10% 1500 cc / 24 jam
- Vas Albumin 2x / hari
- Bedrest
- Diet 1250 kkal/ hari (KH:L=60:40; Protein 1 g/kgBB/hari)
- Cetirizine 1x 10 mg po
- Metilprednisolone 0,8 mg/kgBB/hari ( 40 mg-0-0)
- N acetylcystein 3x 200 mg po
- Cek GDS, ALP, GGT, PT/INR, albumin, HBsAg, anti HCV
- USG Abdomen
- Stop OAT
- Cek SGOT dan SGPT / 3 hari
- Rawat ruang biasa

7. Pemantauan
Pemantauan pasien selama perawatan pada Tabel 2.

8. Diagnosis akhir
Acute Liver Failure + Drug Induced Liver Injury ec OAT + Drug
reaction with eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae
Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec liver
involvement + Hiponatremia ec low intake

9. Prognosis: quo ad vitam et functionam dubia ad bonam


6

Tabel 2. Follow up selama perawatan di Fresia 2


28/02/2019 (Hari ke-2) 01/03/2019 (Hari ke-3)
Subjektif mata kuning(+), nyeri ulu hati (+), mual (-) , muntah (-) mata kuning(+), nyeri ulu hati (+), mual (-) , muntah (-), demam (+)
naik turun

Objektif - KU: Sakit sedang - Kesadaran: CM - KU: Sakit sedang - Kesadaran: CM


- TD: 110/70 mmHg - RR: 20 x/menit - TD: 100/70 mmHg - RR: 20 x/menit
- HR: 80 x/menit - S: 37 °C - HR: 88 x/menit - S: 36,7 °C

Assesment Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction with Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction with
eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae Dextra on OAT eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae Dextra on
kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver involvement OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver involvement

Planning Terapi sesuai catatan pengobatan - Inj Omeprazole 1x40 mg iv


- CaCO3 3x50 mg po
- Lain-lain sesuai catatan
pengobatan
Hasil Lab Hemostasis Kimia
PT : 55,30 detik (↑) (N: 9,1-13,1) GDP : 44 mg/dL (↓) (N: 70-100)
INR : 5,43 (↑) (N: 0,8-1,2) SGOT(AST) : 438 U/L (↑) (N: 15-37 )
APTT : 91,20 detik (↑) (N: 14,2-34,2) SGPT(ALT) : 829 U/L (↓) (N: 1 4-59 )
GD2PP : 134 mg/dL (N: < 140)
Kimia
GGT : 233 U/L (↑) (N: 5-55)
ALP : 134 U/L (↑) (N: 46-116)
Total Protein : 5,3 g/dL (↓) (N: 6,4-8,2)
Albumin : 1,66 g/dL (↓) (N: 3,4-5,0)
Globulin : 3,6 g/dL
Ratio A/G : 0,46
Imunoserologi
HBsAg Kromatografi :Non Reaktif (N: Non Reaktif)
Anti HCV Rapid :Non Reaktif (N: Non Reaktif)
Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun

6
Tabel 3. Follow up selama perawatan di Fresia 2
02/03/2019 (Hari ke-4) 03/03/2019 (Hari ke-5)
Subjektif mata kuning(+), demam (+) naik turun, gatal seluruh tubuh, - mata kuning(+), mual muntah (-), demam (+) naik turun, gatal
gelisah seluruh tubuh, gelisah

Objektif - KU: Sakit sedang - Kesadaran: CM - KU: Sakit sedang - Kesadaran: sopor
- TD: 120/80 mmHg - RR: 16 x/menit - TD: 110/70 mmHg - RR: 24 x/menit
- HR: 84 x/menit - S: 36,8 °C - HR: 100 x/menit - S: 36,9 °C

Assesment Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction Penurunan kesadaran ec metabolic + Drug Induced Liver Injury ec
with eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae OAT + Possible Drug reaction with eosinophilia and systemic
Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver symptoms + TB mammae Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 +
involvement Hipoglikemia ec Iiver involvement

Planning - Lain-lain sesuai catatan pengobatan - Pro konsul MIC


- IVFD NaCL 0,9% 1500 cc/24 jam
- O2 3 LPM/ nasal kanul
- Pasang NGT
- Lain-lain sesuai catatan pengobatan
Hasil Lab Kimia Hematologi
GDP :120 mg/dL (↑) (N: 70-100) Hemoglobin : 8,5 g/dL (↓) (N: 12,3-15,3)
GD2PP :117 mg/dL (N: < 140) Hematokrit : 25,5 % (↓) (N: 36-45)
Eritrosit : 3,66 x 106 /uL (↓) (N: 4,2-5,5)
Leukosit : 14.210 /uL (↑) (N: 4.500-11.000)
Trombosit : 594.000/uL (↑) (N: 150.000-450.000)
MCV : 69,7 fL (↓) (N: 80-96)
MCH : 23,2 pg (↓) (N: 27,5-33,2)
MCHC : 33,3% (↓) (N: 33,4-35,5)
Kimia
GDP : 238 mg/dL (↑) (N: 70-100)
Bilirubin Total : 15,570 mg/dL (↑) (N: 0,100-1,000)
GD2PP : 112 mg/dL (N: < 140)
Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun

7
8

02/03/2019 (Hari ke-4) 03/03/2019 (Hari ke-5)


Ureum : 7,0 mg/dL (↓) (N: 15-39)
Hasil Lab : 1,06 mg/dL (↑)
Kreatinin (N: 0,6-1,0)
Natrium : 141 mEq/L (N: 135-145)
Kalium : 4,1 mEq/L (N: 3,5-5,1)
Kalsium : 5,37 mEq/L (N: 4,5-5,6)
Analisis Gas Darah
(Arteri)
Nilai Gas Darah
pH : 7,343 (↓) (N: 7,35-7,45)
PCO2 : 18,4 mmHg (↓) (N: 35-45)
PO2 : 33,1 mmHg (↓) (N: 80-105)
Status Asam Basa
HCO3 : 10,1 mmol/L (↓) (N: 22-26)
tCO2 : 10,6 mmol/L (↓) (N: 23,05-27,35)
Standar BE-b : -13,0 mmol/L (↓) (N: (-2)-(+2))
Saturasi O2 : 56,5 % (↓) (N: 95-100)
Interpretasi :
Asidosis metabolik terkompensasi sebagian dengan
hipoksemia dan kadar Oksigen rendah
Hemostasis
PT : > 120 detik (↑) (N: 9,1-13,1)
INR : > 9 (↑) (N: 0,8-1,2)
APTT : 146,40 detik (↑) (N: 14,2-34,2)

Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun

8
Tabel 4. Follow up selama perawatan di MIC
03/03/2019 (Hari ke-5) 03/03/2019 (Hari ke-5)
Subjektif - Pkl 19.15 : Penurunan kesadaran, sesak napas(+), - Pkl 19.38 : pasien henti napas
demam(+)
Objektif - KU: Sakit berat - Kesadaran: Coma - Nadi tidak teraba
-TD: 110/70 mmHg - RR: 30 x/menit - Tidak ada respirasi spontan
- HR: 124 x/menit - S: 38,8 °C
- SpO2 88 % dengan 15 LPM/ NRM

Assesment Drug Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction - Cardiac arrest
with eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae
Dextra on OAT kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec Iiver
involvement

Planning - Pro intubasi - Code blue


- Inform consent keluarga - Resusitasi jantung paru  EKG : asistol, pupil midriasis maksimal
- Pro CT scan kepala reflek cahaya (-)
- Pasien dinyatakan meninggal dunia pukul 19.50

Hasil Lab - -

Keterangan: N: Nilai rujukan laboratorium; ↑: meningkat; ↓: menurun

9
10

II. Analisis Kasus


Pasien datang dengan keluhan mata kuning sejak 4 hari SMRS.
Pasien juga mengatakan warna air kencingnya pekat seperti air teh
namun tidak ada buang air besar seperti dempul. Pasien juga mengeluh
demam dirasakan sejak 7 hari SMRS disertai pusing dan timbul ruam
kemerahan pada kulit, kulit seperti bersisik, terasa gatal dan mengelupas
sejak 4 hari SMRS. Pipi bengkak dan kedua kaki bengkak. Keluhan
disertai batuk berdahak warna kehijauan, dan mual tanpa disertai muntah.
Pasien memiliki riwayat benjolan di payudara kanan sejak 3 bulan SMRS
dan didiagnosis TB payudara dan saat ini sedang dalam terapi obat anti
tuberkulosis (OAT) sejak 1 bulan SMRS. Riwayat hipertensi dan diabetes
mellitus disangkal

Mata kuning atau ikterik adalah tanda yang dijumpai pada sklera yang
menandakan adanya hiperbilirubinemia. Kondisi hiperbilirubinemia atau
jaundice didefinisikan sebagai perubahan warna kuning pada jaringan
tubuh akibat akumulasi bilirubin yang berlebih. Deposit bilirubin hanya
terjadi bila ada kelebihan bilirubin, dan disebabkan akibat peningkatan
produksi atau gangguan ekskresi. Pada kondisi normal, kadar bilirubin
serum kurang dari 1 mg/dL. Gambaran klinis ikterus dengan dijumpai
deposit pada jaringan subkutan seperti kulit, membran mukosa dan sklera
ikterik terjadi ketika kadar bilirubin serum melebihi 3 mg/dl. Apabila kadar
bilirubin serum terus meningkat akan terjadi perubahan warna kulit secara
progresif mulai dari kuning lemon hingga hijau apel, terutama jika
prosesnya berlangsung lama dimana warna hijau disebabkan karena
adanya biliverdin. 1,2
Bilirubin memiliki dua komponen: bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin
indirek) dan terkonjugasi (bilirubin direk). Peningkatan salah satu
komponen ini dapat menyebabkan jaundice. Ikterus bertindak sebagai
indikator klinis penting untuk penyakit hepar, terlepas dari berbagai
gangguan lainnya. Terdapat beberapa etiologi dari jaundice berdasarkan
11

peningkatan komponen bilirubin yang dapat dilihat pada tabel berikut ini: 2,3

Tabel 2.1 Klasifikasi Jaundice dan Penyebabnya


Tipe Bilirubin Klasifikasi Jaundice Penyebab
Indirek Pre-hepatik atau Eritrosit yang abnormal; antibodi; obat-obatan
hemolitik dan toksin; thalasemia; hemoglobinopati.
sindrom Gilbert;Sindrom Crigler-Najjar
Mixed Hepatik atau Hepatitis virus; hepatitis toksik; kolestasis
hepatoseluler intrahepatik
Direk Post-hepatik Kolestasis ekstrahepatik; batu empedu; tumor
saluran empedu; karsinoma pankreas;
pembesaran kelenjar getah bening di vena
porta hepatitis
Disadur dari Vasudevan3

Jaundice yang muncul selama beberapa hari hingga seminggu


berhubungan dengan hepatitis, baik yang disebabkan oleh obat, toksin,
virus atau bakteri (contoh, leptospirosis).4 Pada pasien tidak didapati
keluhan gastrointestinal seperti diare maupun gangguan BAB namun
didapati adanya riwayat penggunaan obat anti tuberculosis (OAT)
sehingga adanya jaundice perlu dipikirkan kemungkinan efek hepatotoksik
dari OAT.5
Pasien juga mengeluhkan buang air kecil nya berwarna seperti air teh
pekat dimana perubahan warna ini disebabkan karena adanya
peningkatan bilirubin direk yang larut dalam air dan diekresikan melalui
urine. Hal ini menunjukkan kemungkinan jaundice karena kerusakan
hepatoseluler/ hepatik dan post-hepatik ataupun obstruksi. 3 Peningkatan
bilirubin ini dapat menimbulkan keluhan mual dan muntah seperti yang
dialami oleh pasien.
Pasien juga mengalami demam sejak 7 hari SMRS. Demam adalah
peningkatan suhu inti tubuh di atas rentang normal yaitu 35,3-37,7°C
dimana terjadi peningkatan set point suhu tubuh yang dipicu oleh
pelepasan pirogen. Demam umumnya merupakan tanda dari sebagian
besar infeksi tetapi dapat juga ditemukan pada sejumlah penyakit tidak
12

menular seperti pada keganasan, reaksi obat-obatan, gangguan sistem


saraf pusat (SSP), penyakit inflamasi, penyakit autoimun atau penyakit
lainnya. Pendekatan diagnosis pada demam didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium. Pada demam dengan pertama-
tama diperlukan pendekatan dan evaluasi terarah untuk mencari
penyebab yang mungkin pada pasien ini. 6 Demam dengan jangka waktu 7
hari digolongkan sebagai demam akut. Pada pasien, demam terjadi
disertai dengan jaundice yang dapat disebabkan oleh hepatitis akut.
Hepatitis akut adalah peradangan akut parenkim hepar atau cedera
pada hepatosit yang mengakibatkan peningkatan fungsi hepar. Secara
umum, hepatitis diklasifikasikan sebagai akut berdasarkan durasi
peradangan dan kerusakan parenkim hepar. Apabila periode peradangan
atau cedera hepatoseluler berlangsung kurang dari enam bulan, ditandai
dengan normalisasi tes fungsi hepar, kondisi ini merupakan hepatitis akut.
Penyebab infeksi hepatitis akut yang paling sering adalah akibat dari
infeksi virus (hepatitis virus akut). Namun hepatitis akut dapat diakibatkan
berbagai penyebab noninfeksi seperti obat-obatan (hepatitis yang
diinduksi obat), alkohol (hepatitis alkoholik), imunologi (hepatitis autoimun,
kolangitis bilier primer) atau akibat dari gangguan sekunder akibat
disfungsi saluran empedu (hepatitis kolestatik), disfungsi hepar terkait
kehamilan, syok atau penyakit metastasis. 7 Pasien memiliki riwayat
penggunaan OAT yang mempunyai efek hepatotoksik sehingga perlu
dipikirkan kemungkinan hepatitis akibat drug-induced liver injury (DILI).
Kejadian DILI akibat non acetaminophen dapat menyebabkan gagal hepar
subakut. Penyebab DILI dapat dilihat pada tabel berikut ini. 8,9
13

Tabel 2.2 Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan hepar


Pola kerusakan /perlukaan hepar
Hepatoseluler Kolestatik Mixed
Nama High  Asetaminofen(APAP  Amoxicillin/klavulanat  Azathioprine
obat Risk )  Trimethoprim/  Flavacoxib
 Isoniazid sulfamethoxazole  Sulfasalazine
 Makrolides  Steroid yang  Fenitoin
 Minosikline mengandung  Carbamazepine
 Nitrofurantoin Anabolik /androgen  Allopurinol
 Anestesi inhalasi  Chlorpromazine  Amiodarone
 Fenitoin  Azathioprine  Fluoroquinolones
 Carbamazepine  Fenitoin
 Asam Valproat  Fluroquinolones
Low
 Sulfonamide  Carbamazepine
Risk
 Amiodarone  Amiodarone
 Allopurinol  Sulfasalazine
 NSAIDs
 Fluroquinolones
Disadur dari Naemat Sandhu 8
Ket : NSAIDs : nonsteroidal anti-inflammatory drugs

Kerusakan atau perlukaan hepar ditandai dari hasil penanda biokimia


hepar yang abnormal dengan atau tanpa gejala klinis terkait. Penanda
biokimia hepar ini membantu dalam deteksi dini, prediksi, dan stratifikasi
risiko kasus dugaan DILI. Roussel Uclaf Causality Assessment Method
(RUCAM) yang diperbarui menggunakan peningkatan alanine
aminotransferase (ALT) >5 kali batas atas normal (BAN) dan/atau alkaline
phosphatase (ALP) >2 kali BAN untuk mengidentifikasi perlukaan hepar.
Patogenesis dari DILI adalah adanya kerusakan langsung hepatosit akibat
obat/metabolit nya atau akibat tidak langsung dari respons yang dimediasi
oleh sistem imun yang dapat dilihat pada gambar berikut ini. 8
14

Gambar 2.1 Patofisiologi DILI


Dikutip dari Naemat Sandhu dkk8

Pada pengobatan OAT seringkali terjadi DILI terutama disebabkan


karena efek hepatotoksik dari isoniazid (INH), rifampicin (RIF) dan
pirazinamid (PZA) yang termasuk dalam lini OAT kategori I yang juga
digunakan pasien ini untuk terapi kasus TB mammae. Hepatotoksisitas
dari INH dan PZA dapat berat dan berlanjut walaupun sudah dihentikan.
Onset ALF akibat INH dan RIF dapat terjadi dalam waktu 10 hari setelah
inisiasi OAT, sedangkan pada PZA berkembang lebih lama. 10
Pasien juga telah didiagnosa TB mammae dextra dari riwayat sebelum
masuk rumah sakit. Tuberkulosis mammae (mastitis TB) merupakan
gambaran tuberkulosis ekstra paru yang jarang terjadi, ditandai secara
patologis dengan keterlibatan lobus mammae secara ekstensif, yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Insiden TB mammae
15

kurang dari 0,1% dari semua lesi payudara di negara barat dan 3-4% di
daerah endemik tuberkulosis, seperti India dan Afrika. Tuberkulosis
mammae sering terjadi pada wanita muda multipara yang menyusui.
Manifestasi TB mammae biasanya muncul sebagai benjolan di kuadran
tengah atau luar atas payudara, bersifat unilateral, dan tanpa manifestasi
klinis penyakit pada area areolar puting, atau tanda-tanda discharge dari
puting. Benjolan yang terjadi dapat diikuti oleh peradangan dan
pembentukan abses, ulserasi kulit dan mastitis difus. Gejala TB umum
seperti demam, malaise, keringat malam dan penurunan berat badan
terjadi pada kurang dari 20% kasus TB mammae. Baku emas untuk
diagnosis TB mammae adalah deteksi M. tuberculosis dengan pewarnaan
Ziehl Neelsen atau dengan kultur jaringan. Pengobatan TB mammae
terdiri dari OAT, kemoterapi dan pembedahan dengan indikasi tertentu.
Obat anti tuberculosis dengan 4 macam obat adalah lini utama
pengobatan dengan lama rejimen 6 bulan yang terdiri dari fase intensif 2
bulan dengan 4 macam obat oral (etambutol 800 mg/hari, pirazinamid
1500 mg/hari, rifampisin 450 mg/hari dan isoniazid 300 mg/hari), diikuti
oleh fase lanjutan selama 4 bulan dengan 2 macam obat (isoniazid dan
rifampisin).11,12
Pada pasien juga dikeluhkan adanya lesi kulit dimana terdapat
kemerahan pada tubuh disertai dengan bengkak, terasa gatal, kulit
menjadi seperti bersisik dan mengelupas. Pada status dermatologis
pasien didapatkan lesi dengan distribusi generalisata pada perut, leher,
lengan kiri dan kanan, tungkai kiri dan kanan, lesi multiple, sebagian
konfluens, bentuk ireguler dengan ukuran 0,2x0,2 cm, Seluas perut kering,
rata dengan permukaan kulit berupa purpura, makula eritema disertai
skuama diaskopi(+) pada bercak merah di lengan. Gambaran kelainan
kulit ini merupakan gambaran eritema multiformis (EM). Eritema
Multiformis adalah sebuah reaksi hipersensitivitas mukokutaneus akut
yang disebabkan oleh berbagai penyebab seperti konsumsi obat-obatan
(erupsi obat) dan oleh beberapa infeksi, khususnya infeksi virus herpes
16

simplex (70% penyebab pada kasus EM). Pada EM akibat virus herpes
simplex terjadi kerusakan pada sel epitel akibat respons imun seluler
dimana terjadi influks makrofag dan limfosit T CD8, yang melepaskan
berbagai sitokin yang memediasi inflamasi dan mengakibatkan kematian
sel. Pada EM akibat reaksi hipersensitivitas obat, gambaran patologis
diawali dengan nekrosis keratinosit. 13
Lesi EM yang dialami oleh pasien baru muncul dalam 7 hari SMRS,
hal ini berimplikasi pada kemungkinan infeksi virus maupun akibat reaksi
hipersensitivitas obat. Obat-obatan yang terkait dengan EM adalah
antibiotik golongan penisilin, sefalosporin, makrolida, sulfonamid, agen
anti tuberkulosis, dan antipiretik. Namun pada dugaan akibat reaksi
hipersensitivitas obat, onset lesi kulit merupakan onset yang lambat
dikarenakan pasien hanya meminum obat OAT sejak 1 bulan yang lalu
dan pada kecurigaan akibat parasetamol tidak didapatkan riwayat alergi
sehingga dicurigai reaksi hipersensitivitas ini diakibatkan dari OAT yang
sudah diminum sejak 1 bulan yang lalu. Salah satu penyebab lesi kulit
dengan onset lambat dan gambaran menyerupai EM adalah drug
reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS).14
Patogenesis DRESS adalah akibat defisiensi enzim detoksifikasi
akibat genetik yang menyebabkan akumulasi metabolit obat. Selanjutnya
metabolit berikatan kovalen dengan makromolekul sel yang menyebabkan
kematian sel atau menginduksi respons imun sekunder. Aktivasi
eosinofilik dan kaskade inflamasi diinduksi oleh pelepasan interleukin-5
dari sel T spesifik. Pada pasien ini diagnosis DRESS ditegakkan karena
memenuhi kriteria klasifikasi Registry of Severe Cutaneous Adverse
Reactions (RegiSCAR) dimana memenuhi lima dari enam kriteria utama
yaitu : (i) demam >38 °C, (ii) eosinofilia: > 20%, (iii) keterlibatan kulit
(luasnya ruam kulit), (iv) keterlibatan organ (hepar), dan (v) eksklusi
potensi penyebab lain kecuali kriteria ke (vi) yaitu resolusi dalam > 15 hari
atau adanya 7 kriteria dari Japanese group’s criteria for DRESS/DIHS
yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.14,15
17

Tabel 2.3 Kriteria DRESS menurut RegiSCAR dan Japanese group’s


RegiSCAR Japanese group’s criteria
Hospitalisasi Ruam maculopapular yang terjadi > 3
minggu setelah meminum obat yang
dicurigai
Tersangka reaksi terkait obat Gejala menetap 2 minggu setelah
menghentikan obat yang dicurigai
Ruam/rash akut Demam > 38 °C
Demam > 38 °C* Gangguan fungsi hepar (kadar Alanin
aminotransferase > 1000 u/L)
Pembesaran kelenjar getah bening ≥2 Leukositosis
lokasi*
Keterlibatan organ min 1 organ* Hitung jenis leukosit abnormal
Hitung jenis leukosit abnormal* Limfosit atipik (>5%)
Limfositosis atau limfopenia Eosinofilia (> 1,5x109/L)
Eosinofilia Limfadenopati
Trombositopenia Reaktivasi Human Herpes 6
Disadur dari : Choudhary et all15
Ket : RegiSCAR : 3 dari 4 kriteria dengan tanda *; Japanese group’s criteria : adanya min. 7 kriteria

Pasien juga mengalami gangguan kesadaran pada hari ke 4 perawatan


yaitu mulai gelisah dan terjadi koma pada hari perawatan ke 5. Gangguan
kesadaran dapat didefinisikan sebagai berkurangnya kewaspadaan,
kemampuan untuk menanggapi rangsangan, atau kesadaran akan diri
sendiri dan lingkungan. Sedangkan penurunan/ hilangnya kesadaran
adalah gangguan kesadaran dimana refleks protektif hilang dan responss
terhadap sensori juga hilang. Penurunan kesadaran dapat disebabkan
oleh gangguan sementara atau permanen baik reticular activating system
(RAS) di batang otak, kedua hemisfer otak, atau thalamus. Penyebab
penurunan kesadaran dibedakan menjadi kelainan struktural lokal di otak
atau kelainan sistemik. Penurunan kesadaran meliputi koma, keadaan
vegetatif dan minimally conscious state yang ditandai oleh penurunan
kesadaran dimana pasien tetap bangun namun dengan kesadaran yang
parsial/ berkurang. Koma adalah keadaan tidak sadar yang dalam dan
biasanya dapat persisten dimana pasien tidak responssif bahkan dengan
rangsangan yang kuat. Penurunan kesadaran dapat dinilai dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang awalnya dibuat untuk
18

menilai penurunan kesadaran akibat traumatis. Skala ini terkait Glasgow


Outcome Scale (GOS), pada koma didapatkan skor yang lebih rendah
pada GCS dan berimplikasi prognosis serta hasil outcome yang buruk
pada GOS.16,17
Patofisiologi terjadinya penurunan kesadaran disebabkan oleh tiga
mekanisme utama adalah lesi otak struktural, disfungsi saraf difus
sekunder akibat gangguan sistemik, dan penyebab yang jarang yaitu
psikiatri.16 Etiologi dan diagnosis banding dari penurunan kesadaran dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.4 Diagnosis banding penurunan kesadaran


Neurologikal Metabolik Disfungsi saraf difus Psikiatri
- Stroke Iskemik - Hipoglikemia - Kejang - Koma psikiatri
- Perdarahan - Hiperglikemia - Intoksikasi alcohol - Malingering
intraserebral - Hiponatremia - Intoksikasi opioid
- Perdarahan - Hypernatremia - Overdosis obat
subarachnoid - Hiperkalsemia - Keracunan
- Perdarahan subdural - Krisis Addison - Hipotermia
- Tumor otak - Hipotiroidism - Sindrom neuroleptik
- Limfoma serebri - Uremia maligna
- Metastasis otak - Hiperkapnia - Sindrom serotonin
- Infeksi susunan - Sepsis
saraf pusat - Ensefalopati
- Abses serebri
- Edema serebri
- Hidrosefalus
- PRES
- Trauma
Disadur dari : Cooksley and Holland18

Pada pasien ini penurunan kesadaran yang paling mungkin adalah


akibat metabolik yaitu ensefalopati hepatik dan hipoglikemia. Ensefalopati
hepatik adalah spektrum kelainan neuropsikiatri pada pasien dengan
disfungsi hepar, setelah menyingkirkan kemungkinan kelainan struktural
ataupun penyakit susunan saraf pusat. Ensefalopati hepatik ditandai
dengan perubahan kepribadian, gangguan intelektual, dan penurunan
tingkat kesadaran. Ensefalopati hepatik yang terjadi bersamaan dengan
19

disfungsi hepatik akut yang berat, merupakan tanda gagal hepar


akut/acute liver failure (ALF).19
Patogenesis ensefalopati pada ALF mirip dengan sirosis, namun
edema otak lebih menonjol pada ALF daripada sirosis. Edema otak pada
ALF diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas sawar otak, gangguan
osmoregulasi di otak, dan peningkatan aliran darah otak. Edema otak
yang terjadi berpotensi fatal.19
Gagal hepar akut adalah kondisi kerusakan fungsi hepar yang cepat,
menyebabkan koagulopati (rasio normalisasi internasional (INR) > 1,5),
dan perubahan status mental dari individu yang sebelumnya sehat.
Kondisi ini cukup jarang terjadi namun sering terjadi orang muda dan
mortalitasnya sangat tinggi. Gagal hepar akut mencakup gagal hepar
fulminan dan gagal hepar subfulminan (atau gagal hepar onset lambat).
Gagal hepar fulminan terjadi bila ensefalopati terjadi dalam waktu 8
minggu dari pasien yang sebelumnya sehat sedangkan gagal hepar
subfulminan apabila ensefalopati terjadi hingga 26 minggu. Gejala dan
tanda dari ALF adalah (1) Ensefalopati; (2) Edema serebri; (3) Jaundice:
sering dijumpai namun tidak mutlak; (4) Ascites; (5) Nyeri tekan kuadran
kanan atas; (6) Perubahan ukuran hepar: dapat mengecil karena nekrosis
hepar atau mungkin membesar seperti pada hepatitis virus, gagal jantung,
atau sindrom Budd-Chiari; (7) Hematemesis-melena; (8) Hipotensi dan
takikardia akibat penurunan resistansi vaskular sistemik. 20
Awalnya gejala pada ALF tidak spesifik seperti kelelahan, lesu,
mual/muntah, anoreksia, pruritus, nyeri kuadran kanan atas, dan distensi
abdomen akibat asites. Setelah gagal hepar berlanjut, pasien mengalami
jaundice dan gangguan status mental (ensefalopati) yang dinilai
berdasarkan tingkat keparahan pada skala dari 0 hingga IV. Grading
ensfalopati hepatik berdasarkan West Haven Criteria dapat dilihat pada
tabel berikut ini.21
20

Tabel 2.5 Grading ensefalopati hepatik (HE) berdasarkan West Haven


Criteria
Grade Keterangan
Covert 0 Minimal HE Tidak ada manifestasi klinis
I HE ringan Kurang perheparan/ atensi, euforia/
kecemasan, perubahan pola tidur, penurunan
ambang perheparan/atensi
Overt II HE sedang Kelesuan, perubahan perilaku, disorientasi
waktu, asteriksis, perubahan kepribadian,
Deep Tendone Reflex hipoaktif
III HE Berat Somnolen sampai semistupor, responsif
terhadap rangsangan, disorientasi waktu dan
tempat, asteriksis, Deep Tendone Reflex
hiperaktif
IV Koma Hepatik Koma
Disadur dari Ohnemus 22

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai ikterus, nyeri pada kuadran


kanan atas abdomen, hepatomegali, asites, dan tanda deplesi volume
intravascular seperti hipotensi ortostatik. Langkah terpenting dalam
penilaian pasien ALF adalah mengidentifikasi penyebab karena kondisi
tertentu memerlukan pengobatan segera dan spesifik serta
mempengaruhi prognosis. Hepatitis virus dan hepatitis akibat obat adalah
2 penyebab paling umum ALF di seluruh dunia. Patofisiologi ALF
bergantung pada etiologinya. Pada sebagian besar kasus ALF akan
terjadi nekrosis hepatosit masif dan/atau apoptosis yang berujung pada
gagal hepar. Nekrosis hepatosit terjadi karena deplesi ATP yang
menyebabkan pembengkakan sel dan gangguan membran sel.
Patofisiologi edema serebral dan ensefalopati hepatik yang terlihat pada
ALF adalah multi-faktorial yang meliputi perubahan sawar darah-otak
(Blood brain barrier (BBB)) sekunder terhadap mediator inflamasi yang
menyebabkan aktivasi mikroglial, akumulasi glutamin sekunder terhadap
amonia yang melintasi BBB dan stres oksidatif berikutnya yang mengarah
ke penipisan adenosin trifosfat (ATP) dan guanosin trifosfat (GTP) yang
akhirnya menyebabkan pembengkakan astrosit dan edema serebral. 23
21

Pada ALF dengan klinis maupun laboratoris menunjukan hepatitis akut


dengan klinis sedang sampai berat harus dilakukan pengukuran waktu
protrombin (PT) dan evaluasi status mental secara cermat. Selain INR
meningkat ≥ 1,5, sering terjadi peningkatan bilirubin dan
aminotransferase, trombositopenia, anemia, hipoglikemia, peningkatan
amonia dan gambaran cedera ginjal akut (dengan peningkatan kreatinin
serum), dan gangguan elektrolit (hipokalemia, hipofosfatemia). Selain itu
ALF dapat menimbulkan komplikasi yaitu :21
1. Edema serebri
Edema serebri disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), yang pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan perfusi.
Edema serebri memiliki mortalitas 80% pada ALF. Kondisi ini perlu
dicurigai apabila terjadi ensefalopati hepatik, hipertensi sistemik,
bradikardia, dan gangguan depresi pernapasan, yang dikenal sebagai
triad Cushing.
2. Infeksi
Pasien ALF berada pada peningkatan risiko infeksi bakteri dan jamur
akibat disfungsi imun, karena hepar berperan dalam fungsi leukosit,
makrofag, dan sistem komplemen. Risiko infeksi semakin meningkat
dengan adanya disfungsi multi-organ, peradangan sistemik.
3. Koagulopati dan perdarahan
Kondisi ini disebabkan karena sintesis dari faktor koagulasi menurun
tapi terjadi konsumsi faktor pembekuan dan trombosit. Meskipun
terjadi peningkatan INR, hemostasis keseluruhan normal karena
beberapa mekanisme kompensasi. Selanjutnya juga terjadi
berkurangnya sintesis prokoagulan (misalnya, protein C dan protein S)
yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostasis, terjadi disfungsi
trombosit kualitatif dan kuantitatif,penurunan faktor II, V, VII, IX, X,
serta fibrinogen. Selain itu terjadi peningkatan kadar kompleks
trombin-antitrombin III, sehingga koagulasi intravaskular diseminata
(DIC) dapat terjadi.
22

4. Gagal ginjal
Terjadi pada 56 - 70% pasien ALF dan berkontribusi terhadap
kematian serta prognosis yang lebih buruk. Kerusakan yang terjadi
multifaktorial, termasuk azotemia prerenal (penurunan asupan oral,
muntah, diare,
sepsis, iskemia) serta toksisitas ginjal akibat obat (asetaminofen,
diuretik, aminoglikosida, dan lain sebagainya). Sindrom hepatorenal
dapat terjadi pada ALF.
5. Komplikasi kardiopulmonal
Terjadi akibat gangguan hemodinamik pada ALF, resistansi vaskular
sistemik rendah dan vasodilatasi sistemik, yang mengakibatkan
hipotensi dan kegagalan sistem multiorgan. Pada komplikasi pulmonal
dapat terjadi atelektasis, aspirasi, perdarahan paru, dan sindrom
distres pernapasan akut.
6. Gangguan asam basa dan metabolisme.
Pada ALF terjadi beberapa gangguan metabolik seperti alkalosis pada
tahap awal dan asidosis metabolik pada tahap akhir akibat asidosis
laktat. Hiponatremia sering juga terjadi karena hipoperfusi jaringan,
antidiuretik, pelepasan hormone antidiuretik, dan gangguan fungsi
ginjal. Hipoglikemia terjadi akibat gangguan glukoneogenesis serta
penipisan simpanan glikogen hepar. Selain itu dapat terjadi gangguan
elektrolit seperti kalsium, kalium, fosfat, dan magnesium.

Pada pasien juga mengalami hipoglikemia yang dapat terjadi sebagai


komplikasi dari ALF. Hipoglikemia ini dapat berkontribusi dalam
perubahan status mental, dan dapat mengaburkan tingkat sebenarnya
dari ensefalopati hepatik. Seperti yang sudah diketahui bahwa hepar
sangat penting dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Sekitar 30-60%
karbohidrat yang dicerna diambil hepar dan disimpan sebagai glikogen.
Selain itu hepar berperan sebagai "buffering organ" dalam metabolisme
karbohidrat untuk menjaga kadar glukosa darah dalam keadaan fisiologis.
Mekanisme dari hipoglikemia pada ALF meliputi 2 mekanisme yaitu: (1)
23

gangguan glukoneogenesis pada hepar yang cedera pada ALF; dan (2)
penurunan ambilan insulin oleh hepatosit akibat resistansi insulin. Hal ini
selanjutnya meningkatkan kadar insulin dalam darah perifer
(hiperinsulinemia) yang mengakibatkan hipoglikemia. 24,25 Mekanisme
terjadinya hipoglikemia pada ALF pada dasarnya mirip dengan pada
kondisi sirosis karena disebabkan karena kerusakan hepatosit yang
menghasilkan jumlah hepatosit yang berkurang, mekanisme tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.2 Gangguan metabolisme karbohidrat pada acute liver failure dan
sirosis hepatis
Disadur dari Garcia26

III. Analisis Hasil Laboratorium

Pada hari pertama perawatan pasien didapatkan kadar hemoglobin


rendah (9,4 g/dL), hematokrit (27,2%), eritrosit (3,96 juta/µL), MCV (68,7
fL), MCH (23,7 pg), dan MCHC (34,6%). Hasil morfologi darah tepi
didapatkan normokrom anisopoikilositosis pada eritrosit. Anemia
merupakan suatu kondisi jumlah eritrosit tidak mencukupi kebutuhan
tubuh sehingga terjadi penurunan kemampuan darah dalam mengangkut
24

oksigen. Anemia dapat disebabkan karena penurunan hemoglobin,


hematokrit, dan jumlah eritrosit.27 Klasifikasi anemia menurut WHO dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Klasifikasi Anemia Menurut WHO


Anemia (g/dL)
Populasi
Ringan Sedang Berat
Umur 6-59 bulan 10-10,9 7,0-9,9 <7,0
Umur 5-11 tahun 11,0-11,4 8,0-10,9 <8,0
Umur 12-14 tahun 11,0-11,9 8,0-10,9 <8,0
Wanita tidak hamil (≥ 15 tahun) 11,0-11,9 8,0-10,9 <8,0
Wanita hamil 10,0-10,9 7,0-9,9 <7,0
Laki-laki (≥15 thn) 11,0-12,9 8,0-10,9 <8,0
Disadur dari: WHO27

Pada pasien ini dikategorikan anemia sedang hipokrom mikrositer.


Gambaran anemia ini didapatkan pada anemia defisiensi besi. Pasien ini
mengalami TB mammae dan anemia yang sering terjadi pada tuberkulosis
disebabkan oleh defisiensi nutrisi, sindrom malabsorpsi, kegagalan
pemanfaatan zat besi, dan supresi sumsum tulang. Gambaran morfologi
anemia pada kasus TB didapati 60,8% mengalami anemia normokromik
normositik, dan 27,8% mengalami anemia mikrositik hipokromik. Pada
infeksi TB didapati adanya defisiensi nutrisi yang dapat dilihat dari IMT
yang kurang, kadar albumin yang rendah maupun kadar elektrolit
(natrium) yang rendah. Anemia hipokrom mikrositer yang terjadi
disebabkan karena defisiensi zat besi dan/atau penurunan cadangan besi
untuk eritropoiesis karena perubahan metabolisme besi akibat
peradangan. Trombositosis pada pasien disertai anemia pada pasien juga
mendukung kondisi defisiensi zat besi karena ketersediaan zat besi yang
lebih rendah di sumsum tulang menyebabkan produksi megakariosit
dengan hasil akhir trombositosis.28
25

Pemantauan kadar hemoglobin pasien selama perawatan ditunjukkan


pada Gambar 3.1.

Tanggal
16
14
12
Kadar Hb (g/dL)

109.4 8.5 Kadar Hb


8
6
4
2
0
27/2 3/3
Gambar 3.1 Kadar Hb Pasien Selama Perawatan

Pada pasien terjadi peningkatan kadar bilirubin total 13,266 mg/dL (N:
0,1-1,0), kadar bilirubin indirek 3,382 mg/dL (N: 0,2-0,8), dan peningkatan
kadar bilirubin direk 9,884 mg/dL (N: 0,1-0,3). Peningkatan kadar bilirubin
ini disebabkan karena adanya kerusakan hepatosit akut akibat ALF yang
mengikuti DILI. Berikut ini terdapat pendekatan diferensial diagnosis
penyebab dari jaundice berdasarkan peningkatan parameter penanda
hepar yang dapat dilihat pada tabel berikut ini. 3

Tabel 3.2 Diferensial diagnosis jaundice


Spesimen Tes Prehepatik atau Jaundice Post-hepatik /
hemolitik atau hepatoseluler jaundice
jaundice retensi obstruksi/regurgitasi
26

Darah Bilirubin ++ ++ Normal


Indirek
Bilirubin Normal Ekskresi ++
Direk tergantung
kecepatan. Muncul
pertama kali.
Pada fase awal,
kadarnya
meningkat
Alkali Normal Meningkat 2-3x Meningkat 10-12x
Phospatase
27

Spesimen Tes Prehepatik atau Jaundice Post-hepatik /


hemolitik atau hepatoseluler jaundice
jaundice retensi obstruksi/regurgitasi
Urine Bile Salt - - Ada
(Tes Hay’s )
Bilirubin - Ada Ada
Direk
Urobilinogen +++ Meningkat pada -
(Tes Erlich) awal fase
kolestatik; hilang
kemudian menurun
karena
produksinya
rendah.
Tanda paling awal
pemulihan adalah
adanya
urobilinogen dalam
urin
Feses Urobilin ++ Normal/ ↓ Warna dempul
3
Disadur dari Vasudevan

Peningkatan bilirubin terjadi karena adanya gangguan metabolisme


bilirubin. Mekanisme metabolisme bilirubin pada kondisi fisiologis dapat
dilihat pada gambar berikut ini29
28

Gambar 3.2 Metabolisme bilirubin


Dikutip dari Mendhez-Sanchez29

Pasien juga mengalami peningkatan enzim hepar yaitu AST: 433 U/L
(N: 15-37) dan ALT 1155 U/L (N: 14-59). Kerusakan hepatoseluler
melepaskan ALT dan AST. Peningkatan ALT lebih spesifik untuk cedera
hepar dibandingkan peningkatan AST yang dapat terjadi pada gangguan
ekstrahepatik, seperti gangguan tiroid, celiac sprue, hemolisis, dan
gangguan otot. Pada ALF biasanya terjadi gangguan dari pemeriksaan
fungsi hepar / panel hepar. Gangguan ini meliputi peningkatan enzim
hepar yaitu AST dan ALT mencapai 10-100 kali batas atas normal (BAN),
disertai dengan peningkatan ringan sampai sedang dari kadar alkali
fosfatase. Pada pasien terjadi peningkatan AST ± 10 x BAN, dan
peningkatan ALT ± 20x BAN dengan kadar ALT > AST yang spesifik
menandakan kerusakan hepatosit.30,31
29

Tabel 3.3 Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar


transaminase
Antihipertensi Obat psikiatri
Lisinopril Bupropion (Wellbutrin)
Losartan (Cozaar) Risperidon (Risperdal)
Antimikroba Inhibitor reuptake serotonin selektif
Ciprofloxacin Trazodon
Isoniazid Asam valproat (Depakene)
Ketoconazole Lainnya
Pyrazinamide Acarbose (Precose)
Rifampin amiodaron
Tetracycline Baclofen
Kemoterapi Suplemen herbal dan diet
Imatinib (Gleevec) Terapi antiretroviral
Methotrexate Omeprazol (Prilosec)
Anti nyeri/anti inflamasi
Parasetamol
Allopurinol
Aspirin
Obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID)
30
Dikutip : Robert C. Oh

Pada ALF juga terjadi peningkatan ringan Alkaline Phospatase (ALP)


yaitu 134 U/L (N: 46-116), pada awal ALF terjadi peningkatan ringan
sampai sedang. Pada ALF, kerusakan hepar pertama-tama dimulai
dengan infiltrasi sinusoidal yang menyebabkan iskemia, kemudian
menyebabkan nekrosis jaringan dan berkembang menjadi gagal hepar. 32
Alkali fosfatase adalah grup isoenzim yang terletak di lapisan luar
membran sel dan berfungsi mengkatalisis hidrolisis ester fosfat organik
ekstraseluler. Di hepar, alkaline phosphatase bersifat sitosol dan terdapat
dalam membran kanalikuli hepatosit. Kadar alkali fosfatase serum dapat
tetap meningkat hingga 1 minggu setelah resolusi obstruksi bilier. Kadar
ALP yang meningkat banyak disebabkan karena kerusakan hepar.
Mekanisme terjadinya peningkatan ALP disebabkan karena peningkatan
sintesis enzim. Peningkatan aktivitas enzim hepar sejalan dengan
peningkatan aktivitas ALP serum, hal ini terjadi karena peningkatan
translasi messenger Ribonucleic acid (mRNA) ALP dan peningkatan
sekresi ALP ke dalam serum melalui kebocoran kanalikuli ke dalam
sinusoid hepatik.33
30

Pemantauan hasil enzim hepar pada pasien dapat dilihat pada gambar
berikut ini

1400
1200
SGOT
Kadar (U/L)

1000
800 1155 U/L GGT
600
400
200 829 U/L
0
27/2 28/2 1/3

433 U/L 438 U/L


233 U/L

134 U/L

Tanggal
Gambar 3.3 Follow up liver function test

Peningkatan aktivitas enzim transaminase, bilirubin disertai ALP dan


gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) yaitu 233 U/L (N: 5-55) berkorelasi
dengan kelainan hepatobilier. Serum GGT adalah protein permukaan sel
yang berkontribusi pada katabolisme glutathione (GSH) ekstraseluler.
Enzim GGT diproduksi di banyak jaringan, tetapi sebagian besar berasal
dari hepar. Enzim GGT sangat sensitif terhadap penyakit saluran empedu,
konsumsi alkohol. tetapi kurang spesifik untuk gangguan hepar.
Bersamaan dengan penanda fungsi hepar yang lain, GGT dapat
membantu mengarahkan kelainan kepada adanya kerusakan
hepatosit.33,34 Berikut ini adalah pemeriksaan fungsi hepar dan
implikasinya yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
31

Tabel 3.4 Penanda Biokimia yang Melibatkan Fungsi Hepar


Fungsi Parameter Fungsi fisiologis Lokasi
Hepatoseluler Aspartate Enzim penting pada Hepar, otot rangka,
Aminotransferase metabolimse asam jantung, ginjal,
amino, berperan untuk Otak
Alanine memulai siklus Krebs Konsentrasi terbesar
Aminotransferase di Hepar
Kolestatik Alkaline Phosphatase Enzim yang meng- Hepar, Tulang >
angkut metabolit usus, plasenta,
melintasi Ginjal
membran sel. Ada di
saluran empedu
sel epitel, oleh karena
itu: stasis bilier =
pelepasan enzim
γ – Glutamyl Mengkatalisis transfer Hepatosit, sel epitel
transpeptidase gugus γ – Glutamil bilier
antara asam amino. dan tubulus ginjal
Penting untuk
sintesis dan
pemecahan
glutathione
Bilirubin Produk katabolik Serum dan Hepar.
hemoglobin yang Perbandingan dari
dilepaskan dalam peningkatan bilirubin
bentuk tak 'terkonjugasi' dan
terkonjugasi, dan 'tidak terkonjugasi'
terkonjugasi menjadi akan menentukan
produk yang larut apakah intrahepatik
dalam air dengan
sel hepar.
Fungsi Hepar Albumin Protein utama plasma Hepar dan diet
darah manusia
Protrombin Time Tes jalur koagulasi Hepar (mensintesis
ekstrinsik. faktor pembekuan
Menilai faktor I, II, V, tergantung vitamin k)
VII, dan X.
Disadur : Sulava et all35

Pada pasien terjadi hipoalbuminemia yaitu 1,66 g/dL (N: 3,4-5,0)


dikarenakan penurunan sintesis albumin akibat kerusakan hepatosit yang
hebat pada ALF sehingga jumlah hepatosit yang sehat sangat sedikit dan
juga defisiensi nutrisi dengan kadar protein total serum juga rendah yaitu
5,3 g/dL (N: 6,4-8,2) serta kadar natrium serum rendah yaitu 129 mEq/L
(N: 135-145). Pemantauan penanda fungsi hepar yaitu bilirubin dan
albumin dapat dilihat pada gambar berikut ini.
32

20
15 15,570 mg/dL
13,266 mg/dL
Kadar 10
5
0
27/ 28/ 3/3
2 2 1,66 g/dL

Tanggal
Bilirubin total
Albumin

Gambar 3.4 Follow up penanda fungsi hepar

Pada hari ke 3, pasien mengalami hipoglikemia GDP yaitu 44 mg/dL


(N: 70-100), hal ini terjadi karena terjadi penurunan cadangan glikogen
akibat resistansi insulin dan penurunan glukoneogenesis sehingga pada
kondisi puasa atau lapar tidak ada glukosa yang dihasilkan. 24,25
Pemantauan kadar glukosa pasien dapat dilihat pada gambar berikut ini.
33

250 238

200
Kadar Glukosa (mg/dL)

150 134
120
117 112
100
63
50 44

0
27/2 1/3 2/3 3/3
Tanggal

GDS GDP GD2PP


Gambar 3.5 Follow up GDP dan GD2PP

Pasien juga mengalami leukositosis yaitu 23.530 / mm 3 (N: 4.000-


11.000) dengan dominansi limfosit (limfositosis) yaitu 39% (N: 14-44) serta
dijumpai adanya eosinofilia yaitu 14% (N: 0-4). Leukositosis dapat terjadi
secara akut dan sering sementara atau kronis sebagai respons terhadap
stresor inflamasi / kaskade sitokin. Kondisi leukositosis disertai adanya
limfositosis ini dapat dijumpai pada infeksi virus, reaksi hipersensitivitas,
leukemia, dan limfoma. Infeksi akut seperti cytomegalovirus, Bordetella
pertussis, hepatitis, toxoplasmosis, dan Epstein-Barr menyebabkan
limfositosis absolut akut. Pada pasien ini tidak didapati penyebab dan
kemungkinan infeksi virus, leukemia dan limfoma sehingga penyebab
yang paling mungkin adalah akibat adanya reaksi hipersensitivitas yang
dipicu oleh karena obat yang pada kasus ini disebabkan karena OAT.
Limfositosis yang terjadi juga disebabkan karena adanya disfungsi dari
neutrofil yang terjadi pada ALF. Eosinofilia dapat terjadi pada kondisi
neoplastik, inflamasi, infeksi, parasit, autoimun, alergi serta reaksi
hipersensitivitas obat. Pada pasien ini eosinofilia yang terjadi berkaitan
dengan reaksi hipersensitivitas akibat obat atau secara khusus terjadi
DRESS yang disertai dengan erupsi obat berupa eritema multiforme. 14,15,36
34

Pada morfologi darah tepi dijumpai adanya gambaran tersangka blast


yang disimpulkan sebagai reaksi leukemoid. Secara definisi, reaksi
leukemoid (LR) adalah kelainan hematologi dengan peningkatan jumlah
leukosit di atas 50.000 sel / mm 3 dimana terjadi peningkatan neutrofil
matur dan "shift to the left" yang ditandai adanya bentuk imatur
granulositik. Reaksi leukemoid disebabkan oleh penyebab reaktif di luar
sumsum tulang. Diagnosis dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan
chronic myelogenous leukemia (CML) dan chronic neutrophilic leukemia
(CNL). Penyebab utama LR adalah infeksi berat, intoksikasi, keganasan,
perdarahan hebat, dan hemolisis akut. Reaksi leukemoid juga dapat
mengikuti paparan obat.37
Pada ALF dapat terjadi adult T-cell leukemia (ATL) akibat transformasi
maligna dari sel limfosit T yang terinfeksi Human T-lymphotropic Virus-1
(HTLV-1). Infeksi HTLV-1 ini akan menginfeksi CD4+, CD25+ T-limfosit
dan mengakibatkan infeksi kronis, dan infeksi asimtomatik pada sebagian
besar pasien yang setelah melewati masa inkubasi yang lama sekitar 5%
pasien mengalami manifestasi fenotipe ganas ATL dengan survival rate
kurang dari 1 tahun.38
Pada pasien dijumpai adanya ketonuria pada urinalisis yang
menandakan peningkatan benda keton yang meningkat pada masa
kelaparan dimana hepar memecah sel lemak, atau protein untuk
menghasilkan energi, dan sebagai produk sampingannya terbentuklah
keton. Keton bersifat asam dan peningkatan keton yang tinggi dapat
menyebabkan ketoasidosis yang tercermin pada hasil Analisa Gas Darah
pasien dimana terjadi penurunan pH 7,343 (N: 7,35-7,45) disertai
penurunan HCO3- 10,1 mmol/L (N: 22-26) dan penurunan pCO 2 18,4
mmHg (N: 35-45) serta pO2 menurun 33,1 mmHg (N: 80-105) dan
Saturasi O2 56,5% (N: 95-100) yang disimpulkan sebagai asidosis
metabolik terkompensasi sebagian dengan hipoksemia dan saturasi
oksigen rendah.39
35

Kondisi asidosis metabolik menyebabkan ketidakseimbangan pH.


Rentang pH normal adalah 7,35- 7,45 dan pH pasien adalah 7,168
(asidosis). Asidosis metabolik adalah kondisi pH tubuh dibawah 7,35 yang
disebabkan gangguan metabolik. Sistem pH buffer tubuh adalah
HCO3/CO2 yang didapatkan dari keseimbangan berikut ini:
H + HCO3 ↔ H2CO3 ⇌ CO2 + H2O
Bikarbonat (HCO3) berfungsi sebagai komponen basa sedangkan
karbondioksida (CO2) berfungsi sebagai komponen asam sehingga
penurunan HCO3 atau peningkatan CO2 membuat darah lebih asidosis.
Kadar CO2 diatur oleh sistem pernapasan melalui proses respirasi,
sedangkan kadar HCO3 diatur oleh sistem ginjal melalui proses
reabsorpsi. Bikarbonat pasien di bawah nilai normal yaitu 10,1 mmHg
sehingga darah pasien lebih asidosis. Beberapa keadaan dapat
menurunkan kadar HCO3-, antara lain : kehilangan HCO3- yang berlebih,
seperti pada diare berat atau disfungsi renal, akumulasi asam yang
berlebih, selain asam karbonat (ketosis), dan ketidakmampuan ginjal
untuk mengekskresikan H+ yang berasal dari metabolisme protein. Pada
penderita ini penurunan HCO3- terjadi karena adanya produksi asam yang
berlebih, yaitu asam karbonat (ketosis), aseto-asetat dan asam β-hidroksi
butirat. Proses metabolik ini menyebabkan produksi H + yang berlebih,
untuk mengeliminasi H+ dari cairan tubuh agar tubuh mencapai suatu
keseimbangan, tubuh memiliki tiga mekanisme utama : Pertama, adanya
buffer system yang bekerja dengan cepat mengikat H + dan membuang
kelebihan H+ dari cairan tetapi tidak membuang H + dari tubuh, sehingga
pH tubuh akan meningkat. Kedua, dengan pengeluaran karbondioksida
(CO2). Peningkatan kecepatan dan kedalaman bernafas dapat
mengeluarkan CO2 lebih banyak, dan selanjutnya akan cepat menurunkan
kadar asam karbonat dalam darah, dan meningkatkan pH darah
(menurunkan kadar H+ dalam darah). Ketiga, pengeluaran H+ oleh ginjal.
Hal ini merupakan mekanisme paling lambat, tetapi merupakan satu-
satunya cara mengeliminasi asam selain asam karbonat, yaitu dengan
36

ekskresi melalui urine.39,40


Pada pasien kadar CO2 juga menurun yang seharusnya membuat
darah pasien lebih alkalis, serta pada Standarized Base Excess (SBE)
didapatkan hasil <-2 yang menunjukan asidosis tetapi hasil akhir pH
pasien menunjukkan asidosis, hal ini menunjukan adanya kompensasi
respiratorik pada asidosis metabolik. 39,40
Pada pasien didapati pemanjangan prothrombin time (PT) yaitu 55,3
detik (N: 9,1-13,1) dan activated partial prothrombin time (aPTT) yaitu
91,20 detik (N: 14,2-34,2) serta peningkatan international normalized ratio
(INR) yaitu 5,43 (N: 0,8-1,2). Ketiga pemeriksaan ini dilakukan untuk
menilai koagulasi. Tes PT dan APTT digunakan mengukur lama waktu
yang dibutuhkan untuk terbentuknya bekuan pada sampel darah. Pada
kaskade koagulasi, PT digunakan untuk menilai faktor pembekuan
ekstrinsik (FVII) dan APTT digunakan untuk menilai faktor pembekuan
intrinsik (prekallikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, F.VIII, F.IX,
F.XI, F.XII). Hepar merupakan tempat sintesis semua faktor koagulasi
(fibrinogen dan faktor II, V, VII, VIII, IX, X, XI dan XII) dan inhibitor faktor
koagulasi kecuali faktor von Willebrand (vWf) sehingga pada kerusakan
hepatosit produksinya akan berkurang dan menyebabkan pemanjangan
pada jalur bersama sehingga didapatkan PT dan aPTT yang memanjang.
Pada pasien didapati peningkatan INR > 1,5 yang juga mendukung
adanya kerusakan hepar akibat ALF. 41
Kekurangan vitamin K dapat terjadi bersamaan sehingga terjadi
gangguan produksi faktor pembekuan karena kurangnya karboksilasi
gamma.41 Pemantauan PT dan APTT pasien dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
37

160
146.4
140
120
waktu (detik) 120
100
91.2
80
55.3
60
40
20 9
5.43
0
28/2 3/3
Tanggal

PT INR APTT
Gambar 3.6 Follow up PT/INR dan APTT

Pada urinalisis rutin dijumpai adanya peningkatan leukosit esterase,


yang menandakan adanya leukosit pada saluran kemih, yang
mengeluarkan enzim esterase yang biasanya dijumpai pada adanya
bakteri golongan Enterobacteriaceae dan menandakan adanya infeksi.
Namun parameter ini memiliki spesifisitas yang rendah sehingga dapat
dijumpai pada inflamasi atau infeksi pada glomerulus serta pada
kontaminasi sampel. Pada pasien ini penyebab dari adanya leukosit
esterase adalah akibat adanya inflamasi di ginjal akibat nefritis yang dipicu
oleh DRESS. Hasil urinalisis juga dijumpai adanya bilirubinuria akibat
peningkatan dari bilirubin direk yang bersifat water soluble yang terjadi
pada kerusakan hepatosit maupun penyakit bilier. Pada pasien ini
bilirubinuria yang terjadi diakibatkan kerusakan hepatosit pada ALF
sehingga terjadi ekskresi bilirubin direk ke kanalikuli tidak terbendung. 42,43
Pada hasil urinalisis penderita juga menunjukkan hematuria dimana
ditemukan blood dipstick 3+ dalam urine dan secara mikroskopis 10-19/
lapang pandang kecil. Eritrosit pada urine dapat berasal dari bagian
manapun dari saluran kemih. Eritrosit dalam urine normal dapat
ditemukan 0 – 3 sel/Lapang pandang kecil. Hematuria adalah adanya
38

peningkatan jumlah eritrosit dalam urine yang disebabkan oleh kerusakan


glomerular, tumor yang menginvasi saluran kemih, trauma ginjal, batu
saluran kemih, infeksi, inflamasi, infark ginjal, nekrosis tubular akut, infeksi
saluran kemih atas dan bawah, nefrotoksin, dan haid pada wanita.
Hematuria dibedakan menjadi hematuria makroskopik (gross hematuria)
dan hematuria mikroskopik. Darah yang dapat terlihat jelas secara visual
menunjukkan perdarahan berasal dari saluran kemih bagian bawah,
sedangkan hematuria mikroskopik lebih bermakna untuk kerusakan
glomerulus. Hematuria mikroskopik adalah keadaan ditemukannya lebih
dari 5 eritrosit/LPK di dalam urine. Hematuria mikroskopik sering dijumpai
pada nefropati diabetik, hipertensi, dan ginjal polikistik. Pada pasien ini
penyebab hematuria yang mungkin adalah akibat komplikasi dari DRESS.
Pada DRESS didapati adanya keterlibatan multi organ diantaranya adalah
ginjal dimana terjadi nefritis.15,44,45

IV. KESIMPULAN
Seorang perempuan (26 tahun) datang dengan keluhan mata kuning
sejak 4 hari SMRS disertai BAK berwarna seperti teh pekat. Terdapat
demam disertai pusing dan timbul ruam kemerahan pada kulit seperti
bersisik, bengkak serta gatal sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
(SMRS) dan mengelupas sejak 4 hari SMRS. Pasien juga merasa mual
tanpa disertai muntah. Tidak ada keluhan BAB seperti dempul. Pasien
riwayat ada benjolan di payudara kanan sejak 3 bulan SMRS dan
didiagnosis TB payudara dan saat ini sedang dalam terapi obat anti
tuberkulosis (OAT) sejak 1 bulan SMRS. Riwayat hipertensi dan diabetes
mellitus disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan indeks masa tubuh kurang,
peningkatan denyut nadi, peningkatan suhu (demam), konjungtiva anemis
, sklera ikterik (+), facial pallor (+), frenulum lingueae ikterik (+). Terdapat
nyeri tekan epigastrium dengan teraba pembesaran hepar 4 jari dibawah
39

arcus costae dengan tepi rata, kenyal, tidak teraba nodul. Pada status
dermatologis pada perut, leher, lengan kiri dan kanan, tungkai kiri dan
kanan terdapat lesi multiple, sebagian konfluens, bentuk ireguler dengan
ukuran 0,2x0,2 cm, pada area perut tampak kering, lesi kulit rata dengan
permukaan kulit berupa purpura, makula eritema disertai skuama
diaskopi(+) pada bercak merah di lengan. Berdasarkan kriteria RegiSCAR
memenuhi 5 dari kriteria utama DRESS. Dijumpai adanya penurunan
kesadaran pada hari ke 5 yang disebabkan oleh ensefalopati hepatikum.
Hasil laboratorium menunjukkan penurunan Hemoglobin dengan
penurunan indeks eritrosit. Pasien menderita anemia sedang dengan
hipokrom anisopoikilositosis pada sediaan apus darah tepi. Terdapat
leukositosis dengan dominansi limfositosis dan eosinophilia serta pada
morfologi leukosit dijumpai adanya reaksi leukemoid. Pasien mengalami
hiperbilirubinemia total, direk dan indirek, peningkatan enzim hepar > 10 x
BAN pada AST dan ALT serta peningkatan ringan ALP dan peningkatan
GGT. Juga terjadi hipoglikemia GDP. Pada urinalisis didapati ketonuria,
leukosit esterase positif, hematuria. Pasien ini didiagnosis awal Drug
Induced Liver Injury ec OAT + Possible Drug reaction with eosinophilia
and systemic symptoms + TB mammae Dextra on OAT kategori I bulan ke
2 + Hipoglikemia ec Iiver involvement + Hiponatremia ec low intake.
Pasien meninggal dunia pada hari ke- 5 perawatan dan didiagnosis akhir
Acute Liver Failure + Drug Induced Liver Injury ec OAT + Drug reaction
with eosinophilia and systemic symptoms + TB mammae Dextra on OAT
kategori I bulan ke 2 + Hipoglikemia ec liver involvement + Hiponatremia
ec low intake
40

V. PERMASALAHAN

 Pemantauan glukosa tidak terdokumentasi dengan baik


sehingga hipoglikemia yang terjadi dapat terlewatkan dan
memperburuk kondisi pasien
 Tidak dilakukan pemeriksaan laktat untuk mengetahui
kerusakan hati dan keparahan dari penyakit
 Tidak dilakukan pemeriksaan elektrolit lengkap diawal masuk
rumah sakit untuk mengetahui apakah ada gangguan
elektrolit sebelumnya
 Tidak sempat dilakukan pemeriksaan CT scan kepala untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya stroke iskemik

VI. SARAN
 Pemeriksaan laktat dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan analisa gas darah
 Pemeriksaan ammonia baik darah atau urine untuk
membantu menegakkan diagnosis ensefalopati hepatic
dimana metabolit ammonia hasil pemecahan protein
didapatkan tinggi dalam darah dan/atau urine.
 Dilakukan pemeriksaan elektrolit Natrium serial karena
hiponatremia dapat terjadi berulang karena pada pasien ini
didapatkan penurunan kesadaran.
 Pemeriksaan EKG serial untuk mengetahui adakah
miokarditis
 Pemeriksaan pewarnaan dan kultur sputum apakah
ada pneumonia
.
Skema Analisis Kasus
42

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Sargent S. Adult jaundice—the pathophysiology, classification and causes. Gastrointestinal Nursing. 2011
May;9(4):34–40.

2. Joseph A, Samant H. Jaundice [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

3. Vasudevan D, S S, Vaidyanathan K. Liver and Gastric Function Tests. In: Textbook of Biochemistry for Medical
Students [Internet]. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.; 2016 [cited 2021 Nov 11]. p. 355–355.

4. Stillman AE. Jaundice [Internet]. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition.
Butterworths; 1990

5. PMK_No._67_ttg_Penanggulangan_Tuberkolosis_.pdf [Internet]. [cited 2021 Nov 12].

6. Shuman E. Approach to Fever. In: The Saint-Chopra Guide to Inpatient Medicine [Internet]. Oxford University Press;
2018. p. 275–80.

7. Schaefer TJ, John S. Acute Hepatitis [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

8. Sandhu N, Navarro V. Drug‐Induced Liver Injury in GI Practice. Hepatol Commun. 2020 May;4(5):631–45.

9. Dong V, Nanchal R, Karvellas CJ. Pathophysiology of Acute Liver Failure. Nutrition in Clinical Practice. 2020
Feb;35(1):24–9.

10. Ichai P, Saliba F, Antoun F, Azoulay D, Sebagh M, Antonini TM, et al. Acute liver failure due to antitubercular
therapy: Strategy for antitubercular treatment before and after liver transplantation. Liver Transpl. 2010
Oct;16(10):1136–46.
44

11. Dewi KP. Primary Mastitis Tuberculosis Clinically mimicking Fibroadenoma Mammae. berk.ilm.kedokt.duta.wacana.
2018 Oct 20;3(2):116.

12. Marinopoulos S, Lourantou D, Gatzionis T, Dimitrakakis C, Papaspyrou I, Antsaklis A. Breast tuberculosis:


Diagnosis, management and treatment. Int J Surg Case Rep. 2012 Jul 20;3(11):548–50.

13. Hafsi W, Badri T. Erythema Multiforme [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

14. Blume JE. Drug Eruptions: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. 2020 Oct 14.

15. Choudhary S, McLeod M, Torchia D, Romanelli P. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
(DRESS) Syndrome. J Clin Aesthet Dermatol. 2013 Jun;6(6):31–7.

16. Bauer ZA, Jesus OD, Bunin JL. Unconscious Patient [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

17. Eapen BC, Georgekutty J, Subbarao B, Bavishi S, Cifu DX. Disorders of Consciousness. Physical Medicine and
Rehabilitation Clinics of North America. 2017 May;28(2):245–58.

18. Cooksley T, Holland M. The management of coma. Medicine. 2017 Feb;45(2):115–9.

19. Wolf DC. Hepatic Encephalopathy: Definition, Pathogenesis, Clinical Features of Hepatic Encephalopathy. 2021 Jul
22.

20. Sood GK. Acute Liver Failure: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. 2021 May 7.

21. Maher SZ, Schreibman IR. The Clinical Spectrum and Manifestations of Acute Liver Failure. Clinics in Liver Disease.
2018 May;22(2):361–74.

22. Ohnemus DM. Hepatic Encephalopathy In The ED [Internet]. NUEM Blog.


23. Shah NJ, Royer A, John S. Acute Liver Failure [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

24. Tsukamoto K, Teramoto T. [Carbohydrate and lipid metabolism in liver cirrhosis]. Nihon Rinsho. 1994 Jan;52(1):150–
8.

25. Murali AR, Menon KN. Acute Liver Failure [Internet]. Cleveland Clinic. 2021

26. 332459_1_En_11_Fig4_HTML.gif.

27. WHO_NMH_NHD_MNM_11.1_eng.pdf [Internet].

28. de Mendonça EB, Schmaltz CA, Sant’Anna FM, Vizzoni AG, Mendes-de-Almeida DP, de Oliveira R de VC, et al.
Anemia in tuberculosis cases: A biomarker of severity? Quinn F, editor. PLoS ONE. 2021 Feb 2;16(2):e0245458.

29. Méndez-Sánchez N, Qi X, Vitek L, Arrese M. Evaluating an Outpatient With an Elevated Bilirubin. Am J


Gastroenterol. 2019 Aug;114(8):1185–8.

30. Oh RC, Hustead TR, Ali SM, Pantsari MW. Mildly Elevated Liver Transaminase Levels: Causes and Evaluation. AFP.
2017 Dec 1;96(11):709–15.

31. McDowell Torres D, Stevens RD, Gurakar A. Acute Liver Failure. Gastroenterol Hepatol (N Y). 2010 Jul;6(7):444–50.

32. Sun K, Reynolds RJ, Sheu TG, Tomsula JA, Colton L, Rice L. Acute myeloid leukaemia presenting as acute liver
failure—a case report and literature review. Ecancermedicalscience. 2019 Sep 9;13:960.

33. Lowe D, Sanvictores T, John S. Alkaline Phosphatase [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

34. Koenig G, Seneff S. Gamma-Glutamyltransferase: A Predictive Biomarker of Cellular Antioxidant Inadequacy and
Disease Risk. Dis Markers. 2015;2015:818570.
46

35. Sulava E, Bergin S, Long B, Koyfman A. Elevated Liver Enzymes: Emergency Department–Focused Management.
The Journal of Emergency Medicine. 2017 May;52(5):654–67.

36. Mank V, Brown K. Leukocytosis [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

37. Sakka V, Tsiodras S, Giamarellos-Bourboulis EJ, Giamarellou H. An update on the etiology and diagnostic
evaluation of a leukemoid reaction. European Journal of Internal Medicine. 2006 Oct;17(6):394–8.

38. Powell N, Rusli F, Hubscher SG, Karanth M, Mutimer D. Adult T-cell leukemia presenting with acute liver failure.
Leukemia Research. 2006 Oct;30(10):1315–7.

39. Sood P, Paul G, Puri S. Interpretation of arterial blood gas. Indian J Crit Care Med. 2010;14(2):57–64.

40. Gotera W, Budiyasa DGA. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD).Jurnal Penyakit Dalam Vol. 11 No. 2 Bulan
Mei 2010.

41. Senzolo M, Burra P, Cholongitas E, Burroughs A. New insights into the coagulopathy of liver disease and liver
transplantation. World J Gastroenterol. 2006 Dec 28;12(48):7725–36.

42. Sabriani J, Umboh A, Manoppo JICh. Perbandingan Leukosituria, Nitrit, Leukosit Esterase dengan Kultur Urin dalam
Mendiagnosis Infeksi Saluran Kemih pada Anak. MSJ [Internet]. 2021 Jan 8.

43. Hoshina D, Furuya K, Okita I. Erythema multiforme-like drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS). Clin Exp Dermatol. 2015 Jun;40(4):455–6.

44. Saleem MO, Hamawy K. Hematuria [Internet]. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; 2021.

45. National Kidney Foundation. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification. New York: National Kidney Foundation; 2002.

Anda mungkin juga menyukai