Bulan September tahun 1965 merupakan bulan yang panjang sekaligus kelam sepanjang sejarah
bangsa Indonesia. Tragedi berdarah yang terjadi pada tahun 1965 itu melekat kuat dalam ingatan dan
masih menuai kontroversi hingga kini. Pasca tragedi tersebut, terjadi pembubaran PKI dan simpatisannya
yang merupakan fase baru yang menyedihkan bagi orang-orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa
yang menandai sejarah kelam di republik ini.
Selain PKI, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) juga dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut.
Organisasi yang beranggotakan perempuan itu dianggap berperan dalam membantai jenderal AD bersama
dengan anggota PKI.
Sudah sangat banyak penelitian yang dilakukan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi
sebelum tragedi G30S. Penelitian yang dilakukan juga berusaha untuk mengetahui kebenaran terhadap
apa yang dituduhkan kepada anggota Gerwani saat peristiwa G30S. Salah satu yang meneliti adalah
Saskia Eleonora Wieringa.
Menurut Saskia yang terdapat dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan (2010, hlmn.
425), Gerwani sebagai organisasi tidak pernah terlibat dalam kudeta pada 1 Oktober 1965. Pada 30
September malam, justru terjadi kebingungan dalam Internal Gerwani di tingkat pusat. Suharti Suwarno
datang ke kantor pusat Gerwani sambil membawa pesan dari partai, yakni dibutuhkan beberapa tenaga
perempuan untuk mengurus konsumsi bagi peserta pelatihan Operasi Ganyang Malaysia di Lubang Buaya
dan Halim. Para anggota Gerwani heran karena tidak biasanya mereka mempunyai agenda kegiatan
seperti itu. Bahkan mereka juga tidak pernah diajak rapat untuk membahas persiapan konsumsi dan dapur
umum.
Dalam versi lain, Serma Boengkoes, seorang prajurit yang telah melakukan penembakan terhadap
M.T. Haryono membantah adanya pesta seksual dan nyanyi-nyanyian di Lubang Buaya, yang terdengar
saat itu adalah suara desiran angin, suara bayi, dan suara kokok ayam. Memang ada latihan Pemuda
Rakyat dari seluruh Indonesia untuk persiapan ke Malaysia, yang telah dilakukan sejak tiga hingga empat
bulan lalu; dalam buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011, hlmn. 68).
Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis dan berani menuntut hak, tentu menakutkan
penguasa otoriter seperti Suharto. Gerwani sontak dilarang. Sejarah versi pemerintah Orde Baru bukan
hanya menggambarkan sebagai organisasi bawahan PKI, tetapi juga sekelompok perempuan yang
melampaui kodratnya, perempuan keji yang menyiksa para jenderal, bahkan sundal.
Ann mewawancarai sekitar 150 perempuan eks tapol (tahanan politik) dan sekitar 30 bekas istri
tapol. Di tempat-tempat yang ditelitinya, antara lain Jakarta, Surakarta, dan Yogyakarta, dia mendapatkan
bahwa bentuk kejahatan terhadap perempuan banyak yang unik, tak ada di tempat lain. Kejahatan fisik
dengan kadar lebih rendah, misalnya, berupa penggundulan kepala para perempuan tapol atau istri tapol.
“Penghinaan yang terjadi (itu) agar perempuan itu malu dan ternoda,” kata Ann. Pada masa itu,
pandangan miring masyarakat kepada perempuan berambut pendek, apalagi botak, masih kuat.
Menurut Ann, bentuk kejahatan lain yang tak kalah bejatnya, yaitu mencari logo Palu Arit di
sekitar kemaluan perempuan. Pelecehan itu terjadi di tempat-tempat interogasi. Sambil menginterogasi,
para interogator memerintahkan para perempuan untuk menanggalkan pakaian. Mereka berdalih untuk
mencari logo Palu Arit yang disembunyikan.
“Tentu saja militer itu bisa melihat bagian dalam tubuh perempuan,” kata Ann. Setelah tak ada
sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka, interogator lalu menggerayangi dan memperkosa
mereka.
Gerakan Wanita Indonesia dalam versi sejarah para penguasa Orde Baru berhasil menjadi momok
hingga kini. Padahal Gerwani merupakan organisasi perempuan yang mampu membangkitkan semangat
baru bagi para perempuan. Sejak reformasi hingga sekarang, banyak organisasi perempuan yang
bermunculan, seperti JARPUK (Jaringan Perempuan Usaha Kecil), PEKKA (Pemberdayaan Perempuan
Kepala Keluarga), Yayasan Jurnal Perempuan, dll. Gerakan perempuan masa kini sudah seharusnya
bangkit kembali untuk meneruskan perjuangan Gerwani.
Sumber Bacaan :