Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

DIMENSI DALAM MENGAMBIL KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Tugas Mata Kuliah


Analisis Kebijakan Pendidikan Islam Indonesia

Dosen Pengampu:
Dr. H. Syafaruddin, M. Pd.

Oleh:
Abdur Rahim, S.Pd
NIM. 22090110014

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)


UNIVERSUTAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2021 M / 1442 H

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mengambil sebuah keputusan ada tiga jenis kesalahan yang sering dibuat oleh
analis kebijakan, antara lain:
a. Tipe 1 yaitu tidak membantu mereka yang seharusnya dibantu.
b. Tipe 2 yaitu membantu mereka yang seharusnya tidak dibantu.
c. Tipe 3 yaitu membantu karena ada kepentingan tertentu diluar kepentingan kaum miskin.
Untuk itu, dalam mengambil kebijakan tentulah tidak terlepas dari serangkaian prinsip
yang mengacu kepada rasioniltis dan politik, maka dalam hal ini perlu adanya dimensi
kebijakan yakni pengambilan keputusan tentang apa yang harus dikerjakan dan menerapkan
prinsip-prinsip manajemen untuk mengimplementasikan kebijakan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kebijakan berarti kepandaian, kemahiran,
kebijkasanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi,
dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk
manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan. Menurut Kamus Oxford, kebijakan
berarti “rencana kegiatan” atau pernyataan-pernyataan tujuan ideal.
Menurut Nichols, bahwa “kebijakan adalah suatu keputusan yang dipikirkan secara
matang dan hati-hati oleh pengambilan keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan
berulang dan rutin yang terpogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan”.
Pendapat lain dikemukakan oleh Klein dan Murphy, bahwa “kebijakan berarti
seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing
sesuatu organisasi, kebijakan dengan demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi”.
Hough juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada
seperangkan tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan,
menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan.

2
Dari beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah serangkaian
tujuan, rencana, program-program yang dibuat untuk menjadi pedoman ketika melakukan
kegiatan atau mengambil keputusan di mana kebijakan tersebut memiliki sanksi jika tidak
dilaksanakan.
Sementara, kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional dijabarkan di dalam berbagai kebijakan pendidikan.

B. Batasan dan Ruang Lingkup kebijakan


Istilah ”Kebijakan ” sering dipakai sebagai serangkaian alternatif yang siap dipilih
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, sedangkan istilah ”Kebijaksanaan” sering dipakai
sebagai suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, atau
sebaliknya, berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan
gawat.
Graycar mengatakan bahwa kebijakan/policy dapat dipandang dari perspektif
filosofis, produk, proses, dan kerangka kerja. 1 Sebagai suatu konsep “filosofis” kebijakan
dipandang sebagai serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan. Sebagai suatu
”produk” kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi. Sebagai
suatu ”proses” kebijakan menunjuk pada cara di mana melalaui cara suatu organisasi dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai
produknya. Sebagai ”serangkaian kerja”, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar
dan negoisasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.
Begitu banyaknya istilah ”Kebijakan” terkesan tidak seragam, namun kebijakan dapat
dibedakan atas (1) bentuk regulatory yaitu mengatur perilaku orang, (2) bentuk
redistributive yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada, atau mengambil kekayaan
dari yang kaya lalu memberikanya kepada yang miskin, (3) bentuk distributive yaitu
melakukan distribusi atau meberikan akses yang sama terhadap sumber daya tertentu, dan
(4) bentuk constituent yaitu yang ditujukan untuk melindungi negara.
Sedangkan menurut J.Q Wilson, yang dikutip Peterson (2003) tipe kebijakan terdiri
atas:
a. Tipe Majoritarian, yaitu kecenderungan mendistribusikan biaya sekaligus men-
distribusikan manfaat. Contoh masyarakat umum membayar biaya social security dan
begitu banyak masyarakat yang pensiun menerimanya.

1
Donovan, F. dan A.C. Jackson. 1991. Managing Human service organizations. New York. N.Y.: Prenctice
Hall. Hlm. 14

3
b. Tipe enterpreneurial, kecenderungan mengkonsentrasikan atau membebani biaya
pada sekelompok saja tetapi kegunaan dinikmati secara luas.
c. Tipe client, yaitu membebani masyarakat luas melalui subsidi, yang kemudian
dinikmati oleh segelintir orang saja.
d. Tipe interest group yaitu mengupayakan biaya dan hasil atau manfaat pada kelompok
tertentu saja, seperti kompetisi.

C. Dimensi dalam Mengambil Kebijakan


Dimensi kebijakan berkenaan dengan apa yang harus dikerjakan dalam mengambil
suatu keputusan. Dimensi kebijakan dianalogikan dengan pekerjaan otak yang selalu
memutuskan apa yang hendak dikerjakan agar jantung dan urat nadi (dimensi manageman)
dan organ tubuh (dimensi organisasi) siap bergerak dan melaksanakan apa yang akan
diputuskan. Dimensi kebijakan ini sangat penting sebagai penentu tentang apa yang hendak
dikerjakan. Apa yang hendak dikerjakan harus didasarkan atas masalah, kebutuhan atau
aspirasi tertentu. Dimensi kebijakan sangat berperan dalam menekan bentuk-bentuk
kesalahan atau error.
Secara umum, terdapat tiga dimensi dalam pembuatan kebijakan publik, yakni
dimensi isi/substansi/konten kebijakan, dimensi proses kebijakan, dan dimensi konteks
kebijakan. Dimensi isi kebijakan berkaitan dengan akar atau isi persoalan yang hendak
diatasi. Dimensi proses berkaitan dengan proses yang harus dilakukan untuk mengatasi atau
mencapai tujuan kebijakan kebijakan publik, sedangkan konteks berkaitan dengan situasi
dimana kebijakan itu berlangsung.2
Lebih lanjut Purwo Santoso (2010) mengingatkan, khususnya dalam persoalan
analisis kebijakan, bahwa tiga dimensi itu dapat dipakai secara berimbang, namun pada
prakteknya hanya menonjolkan satu dimensi tergantung pada persoalan dan aktor kebijakan
itu.
Semisal tipe politisi akan lebih mengutamakan dimensi proses karena meyakini
konteks dapat disiasati untuk mencapai isi yang dikehendaki. Analisis politisi akan cenderung
melihat segala sesuatu bersifat mungkin untuk direalisasikan dengan melalui proses-proses
menuju terealisasinya isi kebijakan tertentu.
Berbeda lagi dengan tipe teknokrat yang lebih menekankan dimensi isi kebijakan
dengan menganggap bahwa dimensi proses dan konteks bukan menjadi masalah besar.

2
Santoso, Purwo. 2010. Modul Pembelajaran Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Research Center
for Politics and Government.

4
Namun dalam situasi-situasi tertentu, suatu keadaan yang tidak bisa dipahami dalam kondisi
normal sebagaimana kebijakan dalam hal mengatasi bencana, maka tipe dimensi konteks
lebih diutamakan.
Berangkat dari penjelasan singkat tersebut, tidak mudah untuk menjawab dimensi
mana yang paling penting ketika berbicara tentang proses perumusan kebijakan. Setiap
dimensi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Misal, tentang dimensi isi
yang menitikberatkan aspek penyelesaian masalah yang lebih efektif. Problem yang kerap
kali muncul adalah bagaimana pembuat kebijakan mendefinisikan isi masalah tertentu,
seperti kemiskinan. Terkadang apa yang dirumuskan oleh pemerintah berbeda dengan
pemahaman yang ada di masyarakat.3
Namun, jika harus memilih dari tawaran tiga dimensi tersebut, maka saya mengatakan
bahwa dimensi proses menjadi dimensi paling penting dalam perumusan kebijakan dengan
segala kekurangannya. Pada dasarnya, tujuan dari implementasi yang bermula dari rumusan
kebijakan adalah mencapai tujuan dari kebijakan publik sehingga terealisasi sebagai hasil dari
aktifitas pemerintah.
Guna mencapai hasil yang diharapkan, maka dimensi proses terutama dalam
implementasi kebijakan membutuhkan investigasi dan analisis yang kongkrit guna
menciptakan design terbaik untuk mengantarkan proses menuju pencapaian.4
Proses menjadi penentu apakah dimensi isi bisa berbuah menjadi kenyataan, atau pada
titik tertentu, dimensi konteks akan bisa kehilangan nilai mendesaknya karena tidak melalui
proses terlebih dahulu. Sehingga, proses menjadi dimensi inti dari sebuah proses kebijakan
ketika suatu kebijakan ingin benar-benar mencapai tujuan yang dikehendaki.
Selain itu, proses dalam pembuatan kebijakan secara empiris harus pula melingkupi
proses politik tentang nilai tawar dan negosisasi yang memperhitungkan pertimbangan
rasional dan kalkulasi biaya serta keuntungan terhadap substansi masalah dan membatasi
procedural.5
Tentu, salah satu hal utama yang perlu disadari adalah proses bukan hanya dipahami
sebagai metode prosedural birokratis semata. Dimensi proses bukan hanya merujuk pada tata
aturan prosedural baku tentang perundang-undangan yang harus dilalui, atau bagaimana
bagian-bagian simpul kecil saling bergerak untuk menuju pencapaian tertentu, tapi di dalam

3
Ibid. 60-61.
4
Grindle, Merilee S. 2017. Politics and Policy Implementation in the Third Word. New Jersey: Princeton
University Press.
5
Araral, Fritzen, dkk. 2013. Routledge Handbook of Public Policy. Oxon & New York: Routledge

5
dimensi proses juga ada model konflik yang berlangsung. Dalam model konflik ini, proses
dipahami sebagai pertarungan kepentingan antar berbagai kelompok pembuat kebijakan.
Model konflik di dalam dimensi proses lebih menekankan aspek proses politik
dibanding administratif dalam kebijakan publik. Paradigma konflik memberikan semacam
simulasi pikiran bahwa suatu ketetapan kebijakan publik bukan hanya soal admnistratif
belaka, namun di dalamnya ada konflik, tawar menawar; kesepakatan kerjasama antar aktor.
Sebaik apa pun sebuah isi kebijakan, namun ketika di dalam prosesnya menyisahkan
problem mendasar terkait kontestasi antar pembuat kebijakan yang terus menerus tidak
selesai, suatu kebijakan tidak akan terlaksana. Sensitifitas dimensi proses dapat menjadi
penting dalam perumusan kebijakan karena dapat mengantisipasi persoalan konflik yang
diramalkan akan segera mengemuka ketika kebijakan tertentu mulai dirumuskan.

D. Proses Kebijakan
Proses kebijakan secara toritis dilandasi oleh berbagai faktor atau pertimbangan, dan
nampak dalam model-model kebijakan publik. Proses kebijakan publik tidak terlepas dari:
1. Tahap-tahap kebijakan
Menurut Dun, 2004, tahap-tahap kebijakan publik itu adalah:
a. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)
b. Formulasi kebijakan (policy formulation)
c. Adopsi kebijakan( policy adoption)
d. Implementasi kebijakan (policy implementation)
e. Penilaian kebijakan (policy assessment)
2. Analisis Kebijakan
Pada tahap analisis kebijakan perlunya pemilahan-pemilahan identifikasi masalah,
identifikasi alternatif, seleksi alternatife dan pengusulan alternatif terbaik untuk
diimplementasikan
3. Impelentasi Kebijakan
Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi
program, dalam hal ini administrator mengatur cara untuk mengorganisir,
mengintrepretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah disleksi.6
4. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
Agar jalanya suatu proses implementasi berjalan sesuai harapan, maka diadakan
monitoring, dan evaluasi untuk mempelajari tentang hasil yang diperoleh dalam suatu
6
Gordon. I., J. Lewis. (1986). Perspectives on Policy Analysis. In Public Administration Bulletin, Vol. 25.

6
program untuk dikaitkan dengan pelaksaanya, mengendalikan program, dan
mempengaruhi respons dari mereka yang berada diluar politik.

E. Beberapa Isu Penting


Dalam proses penyusunan dan pembuatan kebijakan publik terdapat beberapa isu
antara lain:
a. Isu etika kebijakan, tahapan proses pembuatan keputusan cenderung berhubungan
dengan masalah etika mulai dari:
(1) tahap agenda setting, analisis masalah, identifikasi kriteria;
(2) tahap analisis kebijakan, formulasi dan legitimasi, adopsi;
(3) tahap alokasi sumber daya, implementasi dan managemen; dan
(4) tahap evaluasi proses, evaluasi outcome, dan analisis kebijakan yang sedang
berjalan.7
b. Isu paradigmatis.
c. Isu kualitas, evektivitas, dan kapasitas kebijakan.
d. Isu kepalsuan kebijakan, isu ini muncul karena perumus kebijakan memiliki motif
khusus yaitu menggantikan kepentingan publik dengan kepentingan pribadi, kelompok
atau jabatan.

7
Donahue, A.K. 2003. Ethics and Public Policy. Dalam Encyclopedia of Public Administration and Public
Policy. Diedit oleh Jack Rabin. New York, N.Y.: Marcel Dekker. Hal. 469-473.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebijakan adalah serangkaian tujuan, rencana, program-program yang dibuat untuk
menjadi pedoman ketika melakukan kegiatan atau mengambil keputusan di mana kebijakan
tersebut memiliki sanksi jika tidak dilaksanakan.
Dimensi secara umum ada tiga, yakni dimensi isi/substansi/konten kebijakan, dimensi
proses kebijakan, dan dimensi konteks kebijakan. Dimensi kebijakan sangat penting sebagai
penentu apa yang hendak dikerjakan dalam sebuah kebijakan dengan menerapkan prinsip-
prinsip manajemen untuk mengimplementasikan kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA

Araral, Fritzen, dkk. 2013. Routledge Handbook of Public Policy. Oxon & New York:
Routledge

Donahue, A.K. 2003. Ethics and Public Policy. Dalam Encyclopedia of Public
Administration and Public Policy. Diedit oleh Jack Rabin. New York , N.Y.: Marcel
Dekker.

Donovan, F. dan A.C. Jackson. 1991. Managing Human service organizations. New York.
N.Y.: Prenctice Hall

Gordon. I., J. Lewis. (1986). Perspectives on Policy Analysis. In Public Administration


Bulletin, Vol. 25

Grindle, Merilee S. 2017. Politics and Policy Implementation in the Third Word. New Jersey:
Princeton University Press. Araral, Fritzen, dkk. 2013. Routledge Handbook of Public
Policy. Oxon & New York: Routledge

Santoso, Purwo. 2010. Modul Pembelajaran Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:


Research Center for Politics and Government.

Anda mungkin juga menyukai