Anda di halaman 1dari 5

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah stunting pertama kali diperkenalkan oleh J. C. Waterlow pada

tahun 1970 (Kikafunda et al, 1998). Stunting merupakan kondisi kurang gizi

kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu

yang cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi (MCAI, 2015). Stunting atau malnutrisi kronik, merupakan

jenis malnutrisi yang sangat serius, yang berkembang perlahan dan sudah

berkembang jauh sebelum manifestasi kliniknya terlihat (Kikafunda et al,

1998). Stunting ditunjukkan dengan nilai Z-score tinggi badan menurut usia

(TB/U) atau panjang badan menurut usia (PB/U) kurang dari -2 standar

deviasi (SD) berdasarkan WHO (World Health Organization) Child Growth

Standard.

Saat ini Indonesia termasuk salah satu dari 117 negara di dunia yang

mempunyai tiga masalah gizi tinggi pada balita yaitu stunting, wasting dan

overweight yang dilaporkan di dalam Global Nutrition Report (GNR) 2014

Nutrition Country Profile Indonesia. Prevalensi tertinggi pada ketiga masalah

gizi tersebut yaitu stunting 37,2%, wasting 12,1% dan overweight 11,9%

(IFPRI, 2014). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013

menunjukkan prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional di Indonesia

mencapai 37,2%, angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2007 (36,8%)


commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

dan tahun 2010 (35,6%). Prevalensi balita pendek (stunting) sebesar 37,2%

terdiri dari balita pendek 19,2% dan balita sangat pendek 18,0%. Prevalensi

balita pendek mengalami peningkatan dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi

19,2%, sementara prevalensi balita sangat pendek mengalami penurunan dari

18,8% pada tahun 2007, kemudian 18,5% pada tahun 2010, dan 18,0% pada

tahun 2013.

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat

menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Stunting pada usia dini

dapat meningkatkan risiko kematian dan kesakitan serta memiliki postur

tubuh yang tak maksimal ketika dewasa (MCAI, 2015). Balita stunting juga

memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas,

dan peningkatan risiko terkena penyakit degeneratif pada masa yang akan

datang (Sari et al., 2009). Menurut Tuft (2001) dalam The World Bank (2007),

stunting disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor individu (meliputi asupan

makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan), faktor rumah tangga

(meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah dan struktur

keluarga, pola asuh, perawatan dan kesehatan, dan pelayanan), serta faktor

lingkungan (meliputi infrastruktur sosial ekonomi, layanan pendidikan dan

layanan kesehatan). Pada penelitian lain disebutkan bahwa salah satu penentu

penting terjadinya stunting adalah penyakit infeksi (Black et al., 2008).

Terdapat kecenderungan lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti diare

dan penyakit pernapasan pada bayi yang diberikan ASI yang kurang dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

pemberian makanan atau formula terlalu dini sehingga dapat meningkatkan

risiko kejadian stunting (Rahayu, 2011).

Air susu ibu adalah cairan formula tersehat untuk bayi yang mengandung

nutrisi stabil dan merupakan satu-satunya sumber protein yang paling mudah

didapat dan berkualitas baik, serta mengandung semua asam-asam amino

esensial yang dosisnya tepat sesuai dengan kebutuhan balita sampai umur

enam bulan pertama (Nurdin, 2012).

Pemberian ASI (Air Susu Ibu) merupakan faktor penting untuk

petumbuhan, perkembangan, dan kesehatan anak. Global strategy on infant

and young child feeding WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal

penting yang harus dilakukan untuk mencapai tumbuh kembang optimal, yaitu

Inisiasi Menyusui Dini (IMD) selama 30 sampai 60 menit pertama setelah

lahir, memberikan hanya ASI saja atau ASI eksklusif sampai bayi berusia 6

bulan, mulai memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi

berusia 6 bulan sampai 24 bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai anak

berusia 2 tahun atau lebih (Yuliarti, 2010).

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang

pemberian ASI secara eksklusif pada bayi di Indonesia menetapkan agar bayi

disusui secara eksklusif sejak lahir hingga umur 6 bulan. Namun, perilaku

pemberian ASI secara eksklusif sampai 6 bulan ternyata masih belum

maksimal. Berdasarkan data Infant and Young Child Feeding WHO/UNICEF

tahun 2015 menunjukkan bahwa hanya 39% bayi di negara berkembang di

dunia yang mendapatkan ASI eksklusif dari 0-5 bulan. Sedangkan di


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

Indonesia, Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2012 menunjukkan cakupan ASI eksklusif bayi 0-6 bulan hanya 42%. Tahun

2012 pula, data dari Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, di Kota Surakarta

menunjukkan bahwa hanya 41,6% bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI

Eksklusif dari jumlah total bayi usia 0-6 bulan yaitu 2.723. Prevalensi cakupan

ASI eksklusif ini masih sangat jauh dari target pemberian ASI eksklusif yang

ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2010 yaitu 80%.

Berdasarkan data dan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai hubungan pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian stunting pada balita.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting

pada balita?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian stunting pada balita.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritik

Diharapkan dapat memberi sumbangan informasi dan data pustaka

mengenai hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting

pada balita.

2. Aspek Aplikatif

Diharapkan dapat memberikan gambaran pada orangtua dalam

memberikan asupan untuk balita. Selanjutnya dapat menjadi rujukan untuk

penelitian berikutnya.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai