Anda di halaman 1dari 30

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan individu atau kelompok yang

ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang

diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara

antropometri (Himawan, 2006). Status gizi merupakan suatu ekspresi dari

keadaan keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi yang diindikasi

oleh variabel tertentu (Supariasa, 2016).

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk

anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi

juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh

keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Penelitian status gizi

merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta

biokimia dan riwayat diit (Beck, 2000).

Menurut Supariasa (2016), penilaian status gizi dapat dilihat secara

langsung dengan antropometri. Antropometri secara umum artinya ukuran

tubuh manusia. Sedangkan dari sudut pandang gizi, antropometri berhubungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh

dalam berbagai tingkatan umur dan gizi. Secara umum antropometri

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan gizi.

commit to user

6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

Ketidakseimbangan ini biasanya terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan

proporsi jaringan tubuh seperti otot, lemak, dan jumlah air dalam tubuh.

Ada 3 indeks antropometri yang sering digunakan untuk menilai status

gizi (Supariasa, 2016), yaitu:

a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah suatu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh, dimana massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-

perubahan kecil dan mendadak, seperti terserang penyakit infeksi,

penurunan nafsu makan, atau turunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.

Mengingat karakteristik berat badan yang labil ini, maka indeks BB/U

lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional

status).

b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan adalah parameter antropometri yang menggambarkan

keaadan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang

sensitif terhadap masalah kekurang gizi dalam waktu singkat seperti berat

badan. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak

dalam waktu yang relatif lama, sehingga indeks antropometri ini

menggambarkan status gizi masa lalu.

c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan

dimana dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks

BB/TB adalah indeks yang independen terhadap umur.

Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi Berdasarkan Indeks BB/U, TB/U, BB/TB
Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS (Depkes RI, 2014)
Kategori Status
Indeks Ambang batas (Z-Score)
Gizi
Berat Badan menurut Gizi Buruk <-3 SD
Umur Gizi Kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
(BB/U) Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 0-60 bulan Gizi lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Sangat Pendek <-3 SD
Umur (PB/U) atau Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Tinggi Badan menurut Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Umur (TB/U)
Tinggi >2 SD
Anak Umur 0-60 bulan
Berat Badan menurut Sangat Kurus <-3 SD
Panjang Badan (BB/PB) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
atau Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Berat Badan menurut
Tinggi Badan (BB/TB) Gemuk >2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan
Sangat Kurus <-3 SD
Indeks MAssa Tubuh
Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
menurut Umur (IMT/U)
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan
Gemuk >2 SD
Sangat Kurus <-3 SD
Indeks Massa Tubuh Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
menurut Umur (IMT/U0 Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Anak umur 5-18 Tahun Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD

2. Stunting

Pada setiap kelompok masyarakat, keadaan gizi kurang dapat di

ditemukan. Keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurangnya

asupan makanan ketika kebutuhan normal akan satu atau beberapa zat gizi

tidak dapat terpenuhi, atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan jumlah yang

lebih banyak daripada jumlahcommit to user (Arisman, 2009). Stunting atau


yang diperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

kurang gizi kronik adalah keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek

hingga melampaui defisit -2 satuan deviasi dibawah median panjang badan

atau tinggi badan (Manary dan Solomons, 2009).

Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan

menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra

dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat

dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan suatu

bentuk kegagalan pertumbuhan linear untuk mencapai potensi genetik sebagai

akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN, 2000).

Stunting terjadi dimulai saat janin masih dalam kandungan dan baru

nampak saat usia anak dua tahun. Kekurangan gizi pada usia balita berisiko

meningkatkan angka kematian bayi dan anak, dan menyebabkan mudah sakit

serta postur tubuh yang tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitifnya

juga berkurang yang akan mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi

negara (MCAI, 2015).

Anak yang mengalami stunting sering terlihat memiliki badan normal

yang proporsional, namun sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari

tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya. Stunting dapat berpengaruh

pada balita pada jangka panjang yaitu mengganggu kesehatan, pendidikan

serta produktifitasnya di kemudian hari. Anak balita stunting cenderung akan

sulit mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik

secara fisik maupun psikomotorik dibandingkan dengan anak-anak yang

normal (Dewey, 2011).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

Menurut data RISKESDAS (2013), kelompok usia balita memiliki

prevalensi lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan dengan kelompok

umur lainnya, padahal balita merupakan masa kritis dalam mendapatkan

sumberdaya yang berkualitas. Salah satu penyebab banyak terjadi stunting

pada balita adalah karena pada masa balita kebutuhan gizi lebih banyak

dibandingkan oleh remaja atau orang dewasa untuk pertumbuhan yang pesat,

termasuk untuk pertumbuhan pada masa remaja nantinya. Maka dari itu,

peluang untuk terjadinya stunting pada balita lebih besar dibandingkan oleh

tingkatan umur yang lainnya (Martorrel et al., 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada balita diantaranya adalah

sebagai berikut:

a. Asupan Energi

Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik akan berpengaruh pada

terpenuhinya kebutuhan gizi sehari-hari untuk menjalankan dan menjaga

fungsi normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan di

konsumsi tidak sesuai kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan

kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu (Delimunthe, 2015).

Status gizi diperngaruhi oleh asupan makanan. Status gizi akan

optimal jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang diperlukan,

sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan otak serta perkembangan

psikomotorik secara optimal. Langkah awal dalam mengevaluasi

kegagalan pertumbuhan yang terjadi pada anak adalah dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi yang ada pada makanan yang

di konsumsi (Delimunthe, 2015).

Terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak, tercermin

dalam ketinggian yang tidak sesuai dengan usia yang disebabkan oleh

kekurangan energi dalam waktu yang lama. Jika kekurangan energi tidak

terlalu lama, anak akan menunjukkan kompensasi pertumbuhan (catch-up

growth). Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan terdeteksi

sebagai gangguan pertumbuhan linier. Seorang bayi yang stunting

mungkin tetap stunting sepanjang masa remaja dan kemungkinan untuk

menjadi seorang dewasa juga stunting (Wahlqvist dan Tienboon, 2011).

b. Asupan Protein

Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi

esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal. Beberapa peran

protein bagi tubuh adalah sebagai pemelihata netralitas tubuh (sebagai

buffer), pembentuk antibodi, mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk

ikatan-ikatan esensial tubuh, misalnya hormon. Oleh karena itu, protein

memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain. Jika

asupan protein tidak mencukupi, maka pertumbuhan linear balita akan

terhambat meskipun kebutuhan energinya tercukupi (Delimunthe, 2015).

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang

sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin.

Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

perbedaan komposisi tubuh antara laki-laki dan perempuan. Perempuan

memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit

daripada laki-laki. Otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak secara

metabolik, sehingga otot akan memerlukan energi lebih tinggi daripada

lemak. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan dengan tinggi badan,

berat badan dan umur yang sama akan memiliki komposisi tubuh yang

berbeda, sehingga kebutuhan energi dan gizinya juga akan berbeda

(Delimunthe, 2015).

Hasil penelitian dari Bosch et al (2008) adalah kemungkinan stunting

pada masa remaja untuk anak perempuan adalah sekitar 0,4 kali

kemungkinan untuk anak laki-laki, yang berarti bahwa anak perempuan di

masa remaja sedikit lebih menjadi stunting daripada anak laki-laki.

Perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan mungkin berkaitan dengan

efek gabungan dari perbedaan dalam pertumbuhan dan perbedaan potensi

dalam konteks kekurangan gizi. Anak perempuan memasuki masa puber

dua tahun lebih awal daripada anak laki-laki, pertumbuhan mereka

berhenti setidaknya dua tahun lebih dahulu dari anak laki-laki, dan dua

tahun juga merupakan selisih di puncak kecepatan tinggi antara kedua

jenis kelamin (Fitri, 2012).

d. Berat Lahir

Kondisi pascanatal yang meliputi berat badan lahir rendah merupakan

faktor yang erat kaitanya dengan pertumbuhan. Berat badan lahir rendah

adalah kondisi dimana bayi tersebut lahir dalam keadaan berat badan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

<2500 gram. Pada kelompok berat badan lahir rendah ini akan

mempengaruhi terjadinya anak stunted atau kerdil serta anak yang

panjangnya relatif normal tetapi rendah dalam BB/TB. Kondisi berat

badan lahir rendah ini dipengaruhi oleh status gizi ibu pada saat hamil

(Aritonang, 2011). Pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan

alat – alat tubuh belum sempurna, akibatnya bayi berat lahir rendah sering

mengalami komplikasi dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian

(Wiwoho, 2005)

e. Jumlah Anggota Rumah Tangga

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.

Terdapat hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi

pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin

besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan

menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak

merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya

cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut.

keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah terjadinya gangguan

gizi pada keluarga besar (Suhardjo, 2003).

Balita stunting lebih banyak terdapat pada keluarga yang jumlahnya 4-

6 orang dibandingkan dengan keluarga yang berjumlah 4 orang saja.

Meskipun demikian, tidak terdapat hubungan yang bermakna secara

statistika antara jumlah anak dengan kejadian stunting pada balita (Astari

et al., 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

f. Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi yang meliputi pendidikan serta pekerjaan

orangtua turut serta mempengaruhi terjadinya stunting. Pendidikan yang

baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama

tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga

kesehatannya, dan juga pendidikannya (Soetjiningsih, 1995). Tingkat

pendidikan turut menentukan mudahnya seseorang dalam memahami serta

menyerap pengetahuan gizi yang diperoleh. Pendidikan diperlukan agar

seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga

dan bisa mengambil keputusan secepatnya. Penelitian Zotarelli et al (2011)

menunjukkan bahwa prevalensi balita stunting meningkat dengan

rendahnya pendidikan.

g. Sanitasi yang buruk

Praktik sanitasi yang kurang baik, seperti paparan yang terjadi terus

menerus terhadap kotoran manusia dan binatang, dapat menyebabkan

infeksi bakteri yang kronis. Infeksi tersebut dapat membuat gizi sulit

diserap oleh tubuh (MCAI, 2015).

Rendahnya mutu sanitasi dan kebersihan lingkungan dapat memicu

terjadinya gangguan saluran pencernaan, yang selanjutnya membuat energi

untuk pertumbuhan dapat teralihkan kepada perlawanan tubuh untuk

menghadapi infeksi (Schimdt, 2014). Sebuah riset lain menemukan bahwa

semakin sering seorang anak mengalami diare, akan semakin tinggi pula

risiko anak tersebut untuk menderita stunting (Cairncross, 2013). Anak


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

yang sakit pun, lazimnya selera makan mereka juga berkurang, sehingga

asupan gizi akan semakin rendah (MCAI, 2015).

Menurut Bhutta et al (2008), potensi stunting berkurang apabila ada

intervensi yang terfokus pada perubahan perilaku dalam sanitasi dan

kebersihan. Intervensi sanitasi dan kebersihan dengan jangkauan 99%

dilaporkan berdampak pada penurunan risiko diare sebesar 30%, yang

selanjutnya dapat menurunkan prevalensi stunting sebesar 2,4%.

h. Umur

Penyakit kurang energi dan protein merupakan bentuk malnutrisi

terutama terdapat pada anak-anak dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan

di negara-negara berkembang. Umur yang paling rawan adalah balita.

Oleh karena itu, pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang

gizi. Disamping itu, masa balita merupakan dasar pembentukan

kepribadian anak sehingga diperlukan perhatian khusus (Soetjiningsih,

1995).

Terdapat kecenderungan anak umur 24 – 59 bulan menderita status

gizi kurang yang disebabkan oleh asupan gizi yang diperlukan untuk anak

seusia ini meningkat. Secara psikologis anak pada kelompok ini sebagian

besar telah menunjukkan sikap menerima atau menolak makanan yang

diberikan oleh orang tuanya. Kemungkinan lainnya adalah keterpaparan

anak dengan faktor lingkungan sehingga akan lebih mudah sakit terutama

penyakit. Selain itu, pada umur ini balita belum dapat menentukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

makanannya sendiri dan sering makan anak balita sudah ditentukan

jumlahnya dan tidak ditambah lagi (Fitri, 2012).

3. ASI Eksklusif

ASI atau Air Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein,

laktosa dan garam - garam organik yang disekresi oleh kelenjar payudara ibu

sebagai makanan utama bagi bayi (Nugroho, 2011). ASI memiliki kandungan

gizi yang cukup dan sesuai untuk kebutuhan bayi, sehingga bayi dapat

berkembang dengan baik (Proverawati, 2012). Untuk enak bulan pertama, ASI

menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi, termasuk vitamin dan

mineral, sehingga bayi tidak membutuhkan makanan atau minuman selain ASI

(Cai, 2012).

ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah anak hanya

diberikan ASI, tanpa pemberian makanan dan minuman apapun hingga usia 6

bulan. Telah diketahui bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan

dapat melindungi anak dari penyakit jangka pendek seperti gastroestritis dan

ISPA; dan dalam jangka panjang terhadap penyakit kronis seperti diabetes tipe

2, hipertensi, dan obesitas (Khanal et al., 2014). Selain itu, pemberian ASI

eksklusif juga dapat membantu menurunkan berat badan ibu setelah

melahirkan dan menunda kembalinya menstruasi (Kramer dan Kakuma,

2012).

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menyarankan agar para Ibu

menyusui bayinya hanya dengan ASI selama 6 bulan penuh untuk


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

menghindari alergi dan menjamin kesehatan bayi yang optimal (Ginting,

2015). Jika usia anak sudah lebih dari 6 bulan, diikuti dengan pemberian

makanan pendamping dan menyusui dilanjutkan hingga anak usia 24 bulan

atau lebih (Danso, 2014).

Kelenjar-kelenjar pembuat ASI mulai menghasilkan ASI pada bulan

terakhir kehamilan. Saat kondisi normal, air susu yang dihasilkan sekitar 50-

100ml/hari pada hari pertama dan kedua sejak bayi lahir. Pada minggu kedua,

jumlah yang dihasilkan meningkat hingga 500ml. Produksi ASI pun semakin

efektif dan terus menerus meningkat pada hari ke 10-14 setelah melahirkan.

Volume pengeluaran ASI mulai menurun setelah memasuki enam bulan

setelah melahirkan (Prasetyono, 2009).

Komponen nutrisional ASI diturunkan dari tiga sumber: nutrisi susu yang

berasal dari sintesis laktosit, diet ibu, dan nutrisi ibu. Secara keseluruhan,

kualitas nutrisi ASI sangatlah tinggi, tetapi diet ibu perlu turut diperhatikan

karena penting bagi komposisi vitamin dan asam lemak ASI (Ballad dan

Marrow, 2013). ASI mengandung zat gizi dan vitamin yang diperlukan oleh

tubuh bayi antara lain LPUFAs (long chain polyunsaturated fatty), protein,

lemak, karbohidrat, laktosa, zat besi, mineral, sodium, kalsium, fosfor,

magnesium, vitamin, taurin, laktobacillus, laktoferin dan lisosim serta air

(Kodrat, 2010). ASI juga mengandung berbagai zat yang sudah lengkap untuk

kebutuhan bayi, yaitu diantaranya zat antibodi (IgA, IgG, IgM), musin, lipase,

probiotik, dan sel darah putih (Aldy et al., 2009). Oleh karena itu, ASI dalam

jumlah cukup dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama enam bulan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

pertama setelah kelahiran.

Komponen nutrisional pada ASI dibagi menjadi 2, yaitu makronutrien dan

mikronutrien. Komposisi makronutrien ASI bervariasi di antara setiap ibu dan

sepanjang masa menyusui, namun memiliki komposisi yang tetap terjaga

dibandingkan dari banyak populasi meski dipengaruhi status nutrisi ibu.

Sebuah studi di Davis, California meneliti asosiasi antara karakteristik

maternal dan komposisi makronutrien ASI dan ditemukan bahwa 4 bulan

setelah post partum, konsentrasi makronutrien ASI memiliki asosiasi dengan

satu atau lebih faktor – faktor berikut: berat badan terhadap tinggi badan ibu,

asupan protein, paritas, kembalinya siklus menstruasi, dan frekuensi

menyusui. (Ballard dan Marrow, 2013).

Berikut ini adalah beberapa komposisi nutrisi pada ASI:

a. Karbohidrat

Karbohhidrat dalam ASI berbentuk laktosa yang jumlahnya tidak

terlalu bervariasi dibandingkan semua makronutrien yang lain, namun

konsentrasi laktosa ASI tertinggi ditemukan pada ibu yang memproduksi

banyak ASI (Ballard dan Marrow, 2013). Karbohidrat dalam ASI

berbentuk laktosa yang jumlahnya tidak terlalu bervariasi setiap hari.

Karbohidrat dalam ASI merupakan nutrisi penting yang berperan dalam

pertumbuhan sel saraf otak, serta pemberian energi untuk kerja sel- sel

saraf (Kodrat, 2010). Di dalam usus, sebagian laktosa akan diubah menjadi

asam laktat, yang berfungsi mencegah pertumbuhan bakteri yang

berbahaya, serta membantu penyerapan kalsium dan mineral lain


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

(Prasetyono, 2009). Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir dua

kali lipat dibanding laktosa yang ditemukan pada susu formula (Badriul,

2008).

b. Protein

Sistem pencernaan bayi maupun tubuh bayi tidak alergi terhadap

protein yang dihasilkan ASI. Hal ini disebabkan karena protein dalam ASI

mengandung whey yang lunak dan mudah dicerna oleh sistem pencernaan

bayi, mengandung laktoferin untuk kesehatan usus halus bayi,

mengandung lisosim sebagai zat anti mikroba (Kodrat, 2010). Protein

terbanyak dalam ASI adalah kasein, α-lactalbumin, laktoferin,

imunoglobolin sekretori IgA, lisosim, dan serum albumin. Senyawa non-

protein yang mengandung nitrogen, termasuk urea, asam urat, kreatin,

kreatinin, asam amino, dan nukleotid, menyusun ~25% nitrogen ASI.

Kandungan protein pada susu yang berasal dari seorang ibu yang

melahirkan bayi prematur lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan

dengan ibu yang melahirkan bayi matur. Konsentrasi protein ASI tidak

diperngaruhi oleh diet ibu, namun meningkat sesuai berat badan terhadap

tinggi badan ibu, dan menurun pada ibu yang memproduksi lebih banyak

ASI (Ballard dan Marrow, 2013). Laktoferin pada ASI akan berikatan

dengan zat besi untuk menghambat pertumbuhan bakteri sehingga tidak

tersedia untuk bakteri patogen. Kadar laktoferin dalam ASI sekitar 1-

6mg/ml dan tertinggi pada kolostrum yaitu sekitar 600 mg/ml (Aldy et al.,

2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

c. Lemak

Kalori dari ASI 50% berasal dari lemak. Lemak adalah komponen

makronutrien yang paling bervariasi dari ASI. Lemak ASI terutama terdiri

atas trigliserida yang mudah diuraikan menjadi asam lemak bebas dan

gliserol oleh enzim lipase yang terdapat dalam usus bayi dan dalam ASI

(Suradi, 2001). ASI lebih banyak mengandung enzim pemecah lemak

(lipase). Kandungan total lemak dalam ASI para ibu bervariasi satu sama

lain, dan berbeda dari satu fase menyusui ke fase berikutnya. Jenis lemak

dalam ASI mengandung banyak omega- 3, omega- 6, dan DHA yang

dibutuhkan dalam pembentukan sel- sel jaringan otak (Prasetyono, 2009).

Kadar lemak yang tinggi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan otak

yang cepat selama masa bayi (Hendarto dan Pringgadini, 2013).

d. Mineral

ASI mengandung mineral yang lengkap. Zat besi dan kalsium dalam

ASI merupakan mineral yang sangat stabil, mudah diserap tubuh, dan

berjumlah sangat sedikit. Sekitar 75% dari zat besi yang terdapat dalam

ASI dapat diserap oleh usus. ASI juga mengandung natrium, kalium,

fosfor, dan klor meskipun dalam jumlah sedikit tetapi tetap dapat

mencukupi kebutuhan bayi (Prasetyono, 2009).

Mineral zinc dibutuhkan oleh tubuh karena merupakan mineral yang

banyak membantu berbagai proses metabolisme di dalam tubuh. Salah satu

penyakit yang disebabkan oleh kekurangan mineral ini adalah

acrodermatitis enterophatica dengan gejala kemerahan di kulit, diare


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

kronis, gelisah dan gagal tumbuh. Kadar zinc ASI menurun cepat dalam

waktu 3 bulan menyusui. Seperti halnya zat besi kandungan mineral zink

ASI juga lebih rendah dari susu formula, tetapi tingkat penyerapan lebih

baik. Penyerapan zinc terdapat di dalam ASI, susu sapi dan susu formula

berturut-turut 60%, 43-50% dan 27-32%. Mineral yang juga tinggi

kadarnya dalam ASI dibandingkan susu formula adalah selenium, yang

sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan cepat (Hendarto dan Pringgadini,

2013).

e. Vitamin

Kadar vitamin pada ASI bervariasi sesuai dengan masukan makanan

ibu. Sementara diet ibu tidaklah optimal, oleh karenanya,

direkomendasikan untuk melanjutkan konsumsi multivitamin selama masa

menyusui (Ballard dan Marrow, 2013). Apabila makanan yang

dikomsumsi oleh ibu memadai, berarti semua vitamin yang diperlukan

bayi selama enam bulan pertama kehidupannya dapat diperoleh dari ASI.

Vitamin yang ada dalam ASI banyak diserap tubuh bayi (Kodrat, 2010;

Prasetyono, 2009).

f. Karnitin

Karnitin ini mempunyai peran membantu proses pembentukan energi

yang diperlukan untuk mempertahankan metabolisme tubuh. ASI

mengandung kadar karnitin yang tinggi terutama pada 3 minggu pertama

menyusui, bahkan di dalam kolostrum kadar karnitin ini lebih tinggi lagi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

Konsentrasi karnitin bayi yang mendapat ASI lebih tinggi dibandingkan

bayi yang mendapat susu formula (Hendarto dan Pringgadini, 2013).

ASI mengandung imunoglobulin M, A, D, G, dan E, namun yang paling

banyak adalah sekretori IgA. sIgA pada ASI merupakan sumber utama

imunitas didapat secara pasif. Konsentrasi paling tinggi pada beberapa hari

pertama post-partum. IgA yang terdapat di dalam antibodi maternal didapat

dari sistem imun saluran cerna dan pernafasan. IgA dibawa melalui sirkulasi

darah dan limfatik ke kelenjar payudara, yang pada akhirnya dikeluarkan

melalui ASI sebagai sekretori IgA (sIgA) (Aldy et al., 2009)

Laktoferin protein yang terikat dengan zat besi, diproduksi oleh makrofag,

neutrofil, dan epitel kelenjar payudara bersifat bakteriostatik dan bakterisid.

Laktoferin berikatan dengan zat besi untuk menghambat pertumbuhan bakteri

sehingga tidak tersedia untuk bakteri patogen. Laktoferin juga terbukti

menghambat pertumbuhan kandida. Kadar laktoferin dalam ASI sekitar 1-

6mg/ml dan tertinggi pada kolostrum yaitu sekitar 600mg/ml (Aldy et al.,

2009).

ASI mengandung komplemen C3 yang dapat diaktifkan oleh bakteri

melalui jalur alternatif sehingga terjadi lisis bakteri. Juga mempunyai sifat

opsonisasi sehingga memudahkan fagosit untuk mengeliminasi

mikroorganisme pada mukosa usus yang terikat dengan C3 aktif. Pada masa

laktasi dua minggu, kadar komplemen menurun dan kemudian menetap, yaitu

kadar C3 sekitar 15mg/dL (Aldy et al., 2009).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

Granulocyte colony - stimulating factor (G-CSF) merupakan sitokin

spesifik yang dapat menambah pertahanan anti bakteri melalu efek proliferasi,

diferensiasi dan ketahanan neutrofil. Kadarnya meningkat pada ASI dua hari

setelah persalinan (Aldy et al., 2009).

Oligosakarida pada ASI dapat menghadang bakteri dengan cara bekerja

sebagai reseptor dan mengalihkan bakteri patogen atau toksin mendekat ke

faring dan usus bayi (Aldy et al., 2009).

Musin membran lemak susu dan mempunyai sifat antimikroba, dengan

cara mengikat bakteri dan virus serta segera mengeliminasi dari tubuh. Musin

dapat menghambat adhesi E. coli dan rotavirus (Aldy et al., 2009).

Lipase membentuk asam lemak dan monogliserida yang menginaktivasi

organisme, sangat efektif terhadap parasit seperti Giardia lamblia dan

Entamoeba histolytica (Aldy et al., 2009). Bayi yang mendapat ASI

mempunyai kandungan Lactobacili yang tinggi, terutama Lactobacillus bifidus.

Glikan merupakan komponen ASI yang menstimulasi pertumbuhan dan

kolonisasi Lactobacillus bifidus. Kuman ini akan mengubah laktosa menjadi

asam laktat dan asam asetat, situasi asam dalam cairan usus akan menghambat

pertumbuhan E. Coli (Aldy et al., 2009).

Selanjutnya, ASI memiliki banyak growth factors yang memiliki banyak

efek luas terhadap traktur intestinal, vaskulatur, sistem saraf dan sistem

endokrin (Ballard dan Marrow, 2013).

Lisozim merupakan suatu enzim yang diproduksi oleh makrofag, neutrofil,

dan epitel kelenjar payudara. Lisozim dapat memecah dinding sel bakteri Gram
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

positif yang terdapat pada mukosa usus dan menambah aktifitas bakterisid

sIgA terhadap E.coli dan beberapa salmonella. Kadar lisozim dalam ASI

0,1mg/ml yang bertahan sampai tahun kedua laktasi (Aldy et al., 2009).

Epidermal Growth Factor (EGF) ditemukan baik pada cairan amnion

maupun ASI. EGF memiliki peranan penting dalam maturasi dan proses

pemulihan mukosa intestinal. EGF bersifat resistan terhadap pH rendah dan

enzim digestif, sehingga memampukannya melewati lambung dan intestinal,

dimana EGF dapat menstimulasi enterosit untuk meningkatkan sintesis DNA,

divisi sel, penyerapan air dan gula, dan sintesis protein. Terdapat mekanisme

protektif untuk EGF pada intestinal bayi, diantaranya inhibisi apoptosis, dan

memperbaiki gangguan pada protein tight junction intestinal dan liver oleh

pro- inflamasi TNF-α. Heparin-binding growth factor (HB-EGF) merupakan

anggota keluarga EGF, dan merupakan growth factor primer yang bertanggung

jawab untuk resolusi kerusakan seperti hipoksia, cedera iskemia-reperfusi, syok

hemoragik/ cedera resusitasi, dan enterokolitis nekrotikans. EGF terdapat

paling banyak pada ASI awal dan menurun seiring proses laktasi. Rerata level

EGF pada kolostrum adalah 2000 kali lebih tinggi dan pada ASI 100 kali lebih

tinggi dibandingkan serum maternal. Terlebih lagi, ASI peralihan mengandung

level EGF lebih tinggi dibandingkan ASI matur (Ballard dan Marrow, 2013).

Imaturitas saluran cerna pada bayi meliputi hingga sistem saraf enteral,

yang memerlukan brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan glial cell-

line derived neurotrophic factor (GDNF) untuk perkembangannya. BDNF

dapat meningkatkan peristalsis, sebuah fungsi yang sering ditemukan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

terganggu pada usus prematur. Pada tikus yang memiliki kurang GDNF

menunjukkan hilangnya neuron pada ENS, BDNF, GDNF, dan protein terkait,

ciliary neurotophic factor (CTNF), yang terdeteksi pada ASI hingga 90 hari

setelah lahir. Pada sel manusia, breastmilk-derived GDNF meningkatkan

survival dan pertumbuhan neuron (Ballard dan Marrow, 2013).

Insulin-like growth factor-I (IGF-I) dan IGF-II, sebagaimana IGF binding

proteins dan IGF protease spesifik, ditemukan dalam ASI. Level tertingginya

terdapat pada kolostrum, dan secara stabil akan menurun semasa proses laktasi.

Tidak terdapat perbedaan signfikan antara ASI awal dan peralihan, dengan

pengecualian untuk IGF-protein binding 2, yang kandungannya lebih tinggi

pada ASI peralihan. IGF-I juga memiliki peran dalam pertahanan hidup

enterosit setelah kerusakan intestinal dari stres oksidatif. Bayi yang diberikan

ASI memiliki kadar sirkulasi IGF-I yang lebih tinggi dalam serum, IGF dapat

diambil dalam bentuk bioaktif oleh intestinal, dan ditransportasikan ke dalam

darah. Fungsi IGF yang telah diabsorbsi belum sepenuhnya terperinci, namun

administrasi enteral IGF-I pada level fisiologis menstimulasi eritropoiesis dan

meningkatkan hematokrit (Ballard dan Marrow, 2013).

Vascular endothelial growth factor (VEGF) juga ditemukan pada ASI.

Angiogenesis diregulasi terutama oleh ekspresi relatif VEGF dan antagonisnya.

Konsentreasi VEGF tertinggi terdapat pada kolostrum pada ASI matur dan

peralihan, dengan ASI peralihan mengandungi VEGF lebih sedikit

dibandingkan ASI matur (Ballard dan Marrow, 2013).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Pada ASI terdapat eritropoietin (Epo) dalam jumlah signifikan, yang

merupakan hormon primer yang bertanggung jawab dalam peningkatan sel

darah merah. Hilangnya darah, patologi intestinal dan imaturitas sistem

hematopoietik semuanya berkontribusi terhadap anemia prematuritas, yang

memberikan dampak mendalam terhadap pertumbuhan dan perkembangan.

Terdapat beberapa bukti bahwa Epo dapat melindungi bayi dari transmisi HIV

ibu-kepada- anak, dan dapat mengurangi risiko enterkolitis nekrotikans

(Ballard dan Marrow, 2013).

Kalsitonin dan prekursornya terdapat pada ASI dalam jumlah besar.

Neuron enteric mengekspresikan immunoreaktifitas-reseptor kalsitonin sejak

gestasi akhir hingga masa bayi. Somatostatin didegradasi secara cepat di

jejunum dan tidak ditransfer ke dalam dinding intestinal, namun pengiriman

dengan ASI melindunginya dari degradasi dan menjaga bioaktifitasnya di

dalam lumen (Ballard dan Marrow, 2013).

Adiponektin merupakan hormon yang besar dan multi fungsi yang secara

aktif meregulasi metabolisme dan menekan inflamasi. Ditemukan dalam

jumlah besar pada ASI, adiponektin dapat menembus sawar intestinal, dan

nampak dapat memodifikasi metabolisme bayi. Level adiponektin dalam ASI

berkorelasi terbalik dengan berat bayi dan IMT semasa ASI eksklusif,

sehingga, beberapa mengusulkan bahwa adiponektin pada ASI mungkin

berkontribusi dalam mengurangi insidensi overweight dan obesitas pada

kehidupan selanjutnya, meskipun hal ini belum dapat ditentukan. Hormon-

hormon lainnya yang juga meregulasi metabolisme dan ditemukan dalam


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

jumlah efektif pada ASI adalah leptin, resistin, dan ghrelin, yang nampaknya

memainkan peranan penting dalam regulasi konversi energi, komposisi tubuh,

dan nafsu makan (Ballard dan Marrow, 2013).

Selain itu, ASI memiliki komposisi yang berbeda dari waktu ke waktu

berdasarkan tahapan pembentukannya. Tahapan pembentukan air susu ibu

antara lain:

a. Kolostrum

Kolostrum merupakan cairan pertama yang disekresi kelenjar

payudara, mengandung tissue debris dan residual matrial yang terdapat

dalam alveoli dan duktus kelenjar payudara sebelum dan setelah amsa

puerpurium (nifas). Kolostrum disekresi oleh kelenjar payudara pada

hari pertama sampai hari keempat pasca persalinan (Rachmaniah,

2014).

Kolostrum mengandung zat antibodi sehingga mampu melindungi

tubuh bayi dari berbagai penyakit infeksi untuk jangka waktu sampai

dengan 6 bulan (Ginting, 2013). Kolostrum kaya akan komponen

imunologi seperti IgA, IgG, dan IgM yang digunakan sebagai zat

antibodi untuk menetralisir bakteri, virus, jamur, dan parasit.

Kolostrum juga mengandung laktoferin, leukosit, serta faktor

perkembangan seperti Epidermal Growth Factor (EGF). Kolostrum

masih mengandung konsentrasi yang relatif rendah laktosa, sehingga

menunjukkan bahwa fungsi utama dari kolostrum adalah sebagai

peningkatan imun daripada gizi pada anak. Jumlah natrium, klorida


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

dan magnesium yang terdapat pada kolostrum lebih tinggi

dibandingkan dengan stadium laktasi lainnya (Ballard dan Marrow,

2013).

Selanjutnya, kolostrum juga merupakan pencahar yang ideal untuk

membersihkan zat yang tidak terpakai dari usus bayi yang baru lahir

dan mempersiapkan saluran pencernaan bagi bayi untuk masa yang

akan datang (Rachmaniah, 2014).

b. Air Susu Masa Peralihan

Merupakan ASI peralihan dari kolostrum hingga menjadi ASI

yang matur. ASI ini di sekresi dari hari kelima sampai minggu kedua

pasca persalinan (Ballard dan Marrow, 2013). Selama dua minggu,

volume air susu bertambah banyak dan warna serta komposisinya

berubah. Kadar imunoglobulon dan protein menurun, sedangkan lemak

dan laktosa meningkat (Rahmaniah, 2014).

c. Air Susu Matur

Air susu murni disekresi antara minggu keempat dan keenam

pasca persalinan dan seterusnya dengan komposisi yang relatif konstan

(Ballard dan Marrow, 2013). Semakin matur ASI, konsentrasi

immunoglobulin, total protein dan vitamin yang larut di dalam lemak

menurun, sedangkan laktosa, lemak, kalori, dan vitamin yang larut

dalam air semakin meningkat (Aldy et al., 2009). Air susu ini tidak

menggumpal apabila dipanaskan. Air susu yang pertama kali mengalir

atau pada lima menit pertama ketika ibu menyusui disebut foremilk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

Formilk lebih encer dan mempunyai kandungan rendah lemak dan

tinggi laktosa, gula, protein, mineral dan air. Selanjutnya air susu

berubah menjadi hindmilk. Hindmilk kaya lemak dan nutrisi sehingga

membuat bayi akan lebih cepat kenyang (Rahmaniah, 2014).

Tabel 2.2 Perbedaan Komposisi Kolostrum, ASI Transisi dan ASI Matur
(Nugroho, 2011)
Kandungan Kolostrum ASI transisi ASI matur
Energy (kgkal) 57.0 63.0 65.0
Laktosa (gram/100ml) 6.5 6.7 7.0
Lemak (gram/100ml) 2.9 3.6 3.8
Protein (gram/100ml) 1.195 0.965 1.324
Mineral (gram/100ml) 0.3 0/3 0.2
Immunoglobulin
Ig A (mg/100ml) 335.9 - 119.6
Ig G (mg/100ml) 5.9 - 2.9
Ig M (mg/100ml) 17.1 - 2.9
Lisosin (mg/100ml) 14.2 - 16.4 - 24.3 - 27.5
Laktoferin 420 - 520 - 250 - 270

Berikut ini beberapa manfaat ASI bagi bayi (Depkes RI, 2009):

a. Sebagai makanan tunggal untuk memenuhi seluruh kebutuhan

pertumbuhan bayi sampai usia 6 bulan.

b. Meningkatkan daya tahan tubuh karena ASI mengandung berbagai zat

anti kekebalan sehingga akan lebih jarang sakit. ASI juga akan

mengurangi terjadinya diare, sakit telinga, dan infeksi saluran

pernafasan, melindungi anak dari serangan alergi.

c. ASI membuat berat badan bayi lebih ideal, fakta membuktikan bahwa

ASI mengurangi angka obesitas (kegemukan) pada bayi sebesar 13%,

ini terjadi karena kandungan gizi pada ASI tepat memenuhi kebutuhan

bayi, tidak berlebihan atau kurang.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

d. Membuat perkembangan motorik dan kognitif bayi lebih cepat. Bayi

yang mendapat ASI lebih cepat bisa tengkurap, merangkak, berdiri,

berjalan dan berbicara. Mereka lebih cepat memiliki kemampuan

menggenggam atau memindahkan benda (motorik halus).

e. Meingkatkan jalinan kasih sayang, bayi yang sering dalam dekapan ibu

karena menyusu akan merasakan kasih sayang ibunya.

Sementara manfaat ASI bagi ibu, yaitu:

a. Menyusui bayi terbukti secara alamiah dapat mengurangi risiko kanker

payudara dan indung telur (ovarium) (Motee dan Jeewon, 2014).

b. Menyusui dapat meningkatkan ikatan antara ibu dan bayi (Motee dan

Jeewon, 2014).

c. Menyusui dapat meningkatkan oksitoksin yang membantu untuk

mengeluarkan plasenta dan membantu uterus untuk kembali ke ukuran

seperti sebelum melahirkan (Motee dan Jeewon, 2014).

d. Menyusui bayi secara eksklusif sampai bayi umur 6 bulan merupakan

cara kontrasepsi alamiah. Dengan isapan bayi pada puting susu ibu akan

merangsang keluarnya hormon prolaktin untuk memproduksi ASI

sekaligus menunda kesuburan, sehingga kehamilan menjadi tertunda

(Depkes RI, 2009).

e. Menyusui dapat mengembalikan berat badan ibu seperti sebelum hamil.

Hal ini dapat terjadi karena energi yang diperlukan oleh ibu untuk

membuat ASI sebagian diambil dari cadangan lemak selama hamil

(Depkes RI, 2009).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

f. Menyusui dapat menurunkan resiko osteoporosis pada ibu di masa yang

akan datang (Motee dan Jeewon, 2014).

4. ASI Eksklusif Terkait Stunting

ASI mengandung berbagai zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi

pada usianya. Beberapa zat gizi dalam ASI berguna untuk pertumbuhan

tulang, misalnya protein, mineral, dan vitamin yang tersedia dalam jumlah

yang lebih sedikit dibandingkan dengan susu lainnya, akan tetapi jumlah yang

sedikit tersebut dapat diserap secara optimal oleh organ pencernaan bayi.

Sebaliknya, apabila bayi tidak diberikan ASI eksklusif dan diberikan susu

formula yang memiliki jumlah lebih banyak, zat gizi tersebut tidak diserap

secara optimal oleh organ pencernaan bayi (Purwanti, 2004). Akibatnya,

masukan zat gizi yang didapat oleh bayi yang diberi ASI eksklusif juga akan

berbeda dengan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. Sehingga akan

mempengaruhi status gizi bayi tersebut.

Di dalam ASI juga terkandung faktor kekebalan dan anti alergi yang dapat

melindungi bayi dari infeksi dan penyakit lainnya, misalnya diare, infeksi

saluran pernapasan, perdarahan intestinal, dan sebagainya. Karena itu, bayi

yang mendapat ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit

dibandingkan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif (AAP, 2012). Bayi

yang sehat dapat tumbuh dengan optimal, sedangkan bayi yang sering sakit

pertumbuhannya pasti terganggu (Soetjiningsih, 1995).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

Berdasarkan hasil penelitian Fikadu (2014) di Meskan district, Gurage

Zone, Ethiopa Selatan pada anak usia 24 sampai 59 bulan, resiko anak yang

diberikan ASI eksklusif kurang dari 6 bulan dan lebih dari 6 bulan untuk

stunting lebih besar dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI eksklusif

selama 6 bulan. Kemudian pada tahun 2015, hasil penelitian Abdurrakhman di

Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta, menyatakan bahwa

berdasarkan analisis bivariat menghasilkan p>0,05 yang berarti tidak ada

hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada

balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Gilingan Surakarta. Hasil

penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Potutu

(2014) di Puskesmas Tuminting Kota Manado bahwa tidak ada hubungan

antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting dengan nilai p0.203.

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh

Anugraheni (2012) di Kabupaten Pati dimana tidak ada hubungan pemberian

ASI eksklusif dengan kejadian stunting dengan nilai p>0,05.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2013) di Kota

Banda Aceh yang menunjukkan bahwa pemberian ASI yang tidak eksklusif

menyebabkan stunting pada balita (p=0,002; OR:4,2). Penelitian tersebut juga

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohmatun (2014) di

Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten pada anak usia 12-59 bulan

menggunakan metode penelitian observasional dengan desain cross sectional,

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif

dengan kejadian stunting pada balita di Kecamatan Wonosari Kabupaten


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

Klaten. Bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif mempunyai risiko lebih

tinggi mengalami gizi kurang daripada bayi yang mendapat ASI eksklusif dan

pemberian ASI tidak eksklusif merupakan faktor paling dominan yang

mempengaruhi terjadinya gizi kurang pada bayi usia 6-12 bulan

(Ratnaningsih, 2011).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

B. Kerangka Pemikiran

Pendidikan orang tua Pemberian ASI


eksklusif selama 6
Sosial Ekonomi bulan

zat nutrisi growth factor Zat imun

EGF, BDNF, GDNF, IGF, imunoglobulin, laktoferin,


Karbohidrat, protein, lemak,
VEGF, Epo, kalsitonin, lisozim, lipase, musin, G-
mineral, dan vitamin
somatostatin, probiotik CSF probiotik, oligosakarida

Tumbuh kembang optimal terjadi infeksi

Sanitasi yang buruk


BBLR
Stunting Jumlah anggota
Pendidikan orang tua
keluarga
Sosial Ekonomi Tinggi ibu

Tinggi ayah

: Mempengaruhi

: Mencegah

: Terdiri atas

: Variabel diteliti

: Variabel tidak diteliti

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

stunting pada balita

commit to user

Anda mungkin juga menyukai