Anda di halaman 1dari 95

1

4
19

26
40

49

54
69
87

2
Topic 1
Ethics and Patient Safety in Respiratory Medicine

Pembicara : Prof. dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), FCCP, FISR


Moderator : dr. Hendra Wahyuni, Msc
Pada seminar ini, dijelaskan mengenai etika dan keselamatan pasien pada bidang
respirasi. Etika bidang respirasi dijelaskan dalam berbagai latar seperti layanan
kesehatan, pendidikan, dan penelitian. Untuk keselamatan pasien didasarkan pada
kaidah dasar bioetik dan kode etik kedokteran Indonesia.

1
2
3
Topic 2
Improving Diagnosis and Management of Latent TB
Infection: Tools for TB Elimination

Pembicara : Dr. dr. Heidy Agustin, Sp.P(K)


Moderator : dr. Hendra Wahyuni, Msc
Pada seminar ini dibahas mengenai TB laten terkait dengan definisi, diagnosis, sampai
dengan tatalaksana TB laten pada kelompok khusus.

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Question and Answer
First Session

Pertanyaan kepada Prof. dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), FCCP, FISR

Q1
Jika merawat Pasien, pasien ingin meminta nomor hp kami untuk bertanya lebih
jauh, atau jika ada masalah kami dpt dihubungi, bagaimanakah etika dan
batasannya Prof, untuk memberikan info via Whatsapp?

A1
Yang pertama, jangan langsung memberikan nomor telepon. Komunikasi
dengan pasien yang sebaik-baiknya adalah tatap muka secara langsung.
Apabila tidak tatap muka ada kemungkinan misinterpretasi informasi. Ada hal-
hal yg memungkinkan untuk memberikan nomor kontak: pasien dalam kondisi
penyakit berat dengan catatan “Silakan kontak saya jika terjadi perburukan”.
Jika pasien sudah lama kenal, boleh. Walaupun demikian, saya sendiri tidak
pernah memberikan nomor kontak pribadi kepada pasien.
Saya sampaikan ke pasien jika ingin mengontak saya, bisa menghubungi
rumah sakit. Kontak tatap muka akan jauh lebih aman. Apabila ada keluarga
yang meminta perekaman, boleh saja diizinkan karena bisa saja kita butuh lihat
lagi. Hati-hati jika pasien merekam diam-diam. Jika pasien jujur izin merekam
dan untuk dokumentasi di rumah, menurut Prof. Menaldi, tidak apa-apa. Saat
ini di tempat umum (IGD, ruang rawat) biasanya sudah ada larangan untuk
merekam. Biasanya di ruang klinik (poli) dibolehkan, tetapi dilihat kembali
kondisi pasien dan tujuan perekamannya

Q2
Izin bertanya dok, kasus di tempat kami dok, pasien 70 tahun dengan saturasi 80
dan menjadi 95 dengan bantuan oksigen, karena kami keterbatasan oksigen
(oksigen kami habis setelah kami rawat 3 hari dok)... kami sarankan rujuk ke RS,
keluarga menolak karena tidak punya BPJS dan akhirnya menandatangani surat
pulang paksa.. sebagai dokter merasa sangat sedih dok, karena pasien akhirnya
pulang dengan saturasi seperti itu.. apakah kami bersalah dok? apakah
harusnya kami tetap merawat meski tanpa oksigen... mohon pencerahan dokter,
terimakasih banyak dok sebelumnya...

19
A2
Berlaku bioethics.
1. Pertama, jelaskan bahwa terapi oksigen adalah tidak terhindarkan dan
sangat dibutuhkan. Jangan berbicara tentang nyawa karena hanya
Tuhan yang mengetahui.
2. Kedua, jelaskan kondisi pasien jika tidak diberikan oksigen
3. Ketiga tentang justice, jelaskan bahwa kondisi pasien butuh oksigen jenis
tertentu
4. Keempat, autonomy: hormati hak pasien, bukan hak keluarga. Otonomi
pasien bukan otonomi keluarga. Yang penting pasien paham tentang
beneficence, autonomy, justice ketika memutuskan tindakan, termasuk
pulang paksa
Pulang paksa boleh asalkan dibekalkan oksigen dengan dosis sesuai indikasi
kepada pasien, sehingga tidak membahayakan kondisi pasien.

Q3
Seringkali kita menemukan dilema etik dalam pelayanan karena keterbatasan
fasilitas RS (obat atau modalitas diagnosis) atau regulasi asuransi BPJS. Bagaimana
perspektif etik dalam hal ini? Apakah dokter mengikut saja ataukah kita harus
improvisasi dengan keterbatasan ini?

A3
5 star doctor ada decision maker, sehingga boleh improvisasi. Asalkan jelas
indikasinya. Dokter harus mengamati betul, bilang ke pasien bahwa ini bukan
cara yang lazim dan benar, keluarga tidak bisa mengantarkan untuk rujuk keluar,
jadi saya akan coba dengan ikhtiar, kita observasi bersama selama 24 jam
pertama. Pastikan improvisasi tersebut memberikan manfaat kepada pasien.
Masukan dokter membuat pasien yakin dan percaya, sehingga harus hati-hati
ketika memberikan arahan kepada pasien. Harus bisa bertanggung jawab.

Q4
Bagaimana kita menyikapi bila ada suatu tindakan yang berhubungan dengan
kompetensi sejawat lain yang kita yakini menunda tatalaksana kepada pasien
sedangkan pasien telah dalam kondisi end-stage. Mohon arahan Prof

20
A4
Kalau kita yakini itu bukan kompetensi kita, maka kita tidak boleh
melaksanakan. Kalau melakukan bantuan hidup dan tidak ada orang lain, kita
boleh lakukan.
• Contoh: ada ibu yang mau partus saat kita sedang ada di kapal laut
dan kita sebagai dokter paru. Saat itu, apakah ada dokter obgyn?
apakah ada dokter anaka? apakah ada dokter umum? Jika ada
dokter umum, beri ke dokter umum.
• Pneumotoraks → ada kompetensi spesialistik yang dilimpahkan ke
dokter umum (kondisi emergensi)
• Jika pasien tidak sesak berat → rujuk
• Jika pasien sesak berat → lakukan needle decompression → pasang
WSD juga jika tidak bisa merujuk
• Kalau mau rujuk, dokternya ada tapi jauh. Kita belum pernah pasang
needle decompression, belum pernah liat juga. Maka kita rujuk, tapi
dampingi.
• Agar tidak selalu merujuk, maka belajar agar bisa melakukan

21
Pertanyaan kepada Dr. dr. Heidy Agustin, Sp.P(K)

Q1
Jika seseorang memiliki Tes Mantoux Positif namun IGRA Negatif BTA negatif pada
pasien riwayat pneumonia, apakah tetap mendapatkan dipertimbangkan untuk
mendapatkan OAT?

A1
Harus dipastikan apakah TB aktif atau laten, bisa dengan TCM atau sputum BTA
untuk kecurigaan TB aktif. Sputum BTA negatif dan ada riwayat pneumonia →
pastikan riwayat pasien. Apakah ada riwayat TB klinis? Karena tidak harus BTA
positif untuk TB aktif, bisa saja TB klinis.

Q2
Mengetahui bahwa pasien dengan tb laten tidak ada gejala dan tidak
mentransmisikan penyakitnya. Pada praktiknya apakah semua pasien yang kita
temui sebagai tb laten akan kita tatalakasana atau hanya pada pasien yang
memiliki faktor risiko reaktivasi tb?

22
A2
Untuk di Indonesia, masih kelompok khusus (bayi, imunosupresi, riwayat TB 2 tahun
terakhir, risiko tinggi, kanker, hemodialisa, DM tidak terkontrol) yang bisa di
tatalaksana TB latennya.
Pada kelompok berisiko tersebut diperlukan pemeriksaan tambahan (IGRA).
Pastikan dulu bahwa itu bukan TB aktif.

Q3
Obat Rifapentin yang pernah kami pakai dalam penelitian, namun efek
smpingnya lebih berat (mual muntah dan nyeri kepala berat). Jika pasien efek
trsebut, baiknya diturunkan dosisnya atau beralih ke pengobatan lain dok?

A3
Di Indonesia untuk TB laten ada rifampisin dan INH. Tapi yang digunakan INH
dengan efek samping neuropati. Kita berikan juga vitamin B6 wajib. Belum ada
kejadian sampai harus berhenti pengobatan TB laten.
• Kalau memang ada efek samping berat, bisa dihentikan dan dicoba
dengan obat yang lain.

Q4
Pada pasien dewasa yang berkontak dengan pasien TB (semisal keluarga satu
rumah) dan tanpa gejala, apakah perlu dilakukan uji mantoux? sekiranya adakah
indikasi lain pada pasien dewasa dilakukan uji mantoux dok?

A4
Pasien dewasa tidak imunokompromais dan tidak ada faktor risiko penyakit lain
tidak perlu diperiksa Mantoux. Kalau pasien batuk, langsung tes TCM, tidak perlu
Mantoux atau IGRA. Jika ada HIV, kanker, riwayat konsumsi kortikosteroid, barulah
dilakukan TST dengan IGRA

Q5
Bagaimana etiknya jika prosedur atau obat yang akan diberikan kepada pasien
membutuhkan biaya lebih?

23
A5
Ada teknik atau tatalaksana lain yang memberikan beban kepada pasien.
Aman itu termasuk dari segi biaya. Jika tidak ada, diskusi dengan pasien. Jika
pasien tidak mampu, tetap cari alternatif. Jika tidak tersedia, lapor ke atasan,
bisa ke kepala dinas, kepala suku dinas, kepala puskesmas, bahwa dibutuhkan
alat atau obat tertentu dengan dilihat dari adanya kecenderungan kenaikan
trend penyakit tertentu di daerah tersebut.
Pemeriksaan darah dituliskan jangan paket. Antimikrobial sebaiknya sesuai pola
di komunitas. Jika empiris, tetap harus diperhatikan. Tidak boleh terus-menerus
karena bisa terjadi resistensi.

Q6
Apakah pemeriksaan IGRA dan TST yang positif selalu menggambarkan keadaan
kuman TB yang dorman di dalam tubuh sehingga harus diberikan terapi profilaksis,
atau mungkin hanya suatu bekas infeksi TB dimana hanya ditemukan sisa reaksi
imun tanpa kuman TB hidup yang tidak perlu diberikan terapi profilaksis?

A6
Yang ditakutkan adalah reaktivasi. Pencegahan ditujukan untuk menghindari
reaktivasi. Utamanya pada golongan berisiko tersebut. Pada kondisi imun yang
baik, risiko reaktivasi rendah. WHO sudah memberikan list golongan khusus yang
memiliki risiko reaktivasi.

Q7
Pada pasien yang diberikan obat TB profilaksis, kemudian ada reaksi alergi atau
mual, bagaimana sikap yang harus dilakukan? Apakah tetap dilanjutkan atau
melakukan evaluasi kembali?

A7
Tiap akan mengambil keputusan, kita harus sebagai caregiver yang baik, a good
communicator, komunikasikan alasan pemberian obat, tentang beneficence.
Jika pasien setuju, harus dilihat ada riwayat alergi obat, gangguan saluran cerna,
riwayat hepatitis. Jangan menjadi robot yang harus saklek. Pasien adalah
amanah, titipan Tuhan. Yakin bahwa kita berbuat yang baik. Kedokteran adalah
ilmu, tetapi juga merupakan arts.
Kontrol 2 minggu kemudian, tolong kontrol 3 hari sebelum obat habis. Sebelum
mulai, periksa DPL dengan eosinofil total.

24
A7 (cont)
Akhir minggu kedua diperiksa fungsi hati (SGOT, SGPT).
• Efek samping ringan masih bisa lanjut OAT
• SGOT SGPT meningkat lebih dari 5x stop OA. Jika meningkat 3-5x, mulai
dilakukan penyesuaian dosis, dilihat lagi berat badan pasien
• Alergi → obat jalan terus + obat anti alergi, amati kondisi klinis dan
laboratorium
Bukan eranya dokter mindikte pasien. Pasien punya akses mendapatkan
informasi lebih luas. Jadi bisa lebih aktif menyampaikan informasi. Anggap
pasien atau keluarga sebagai partner kita dalam menangani penyakit.

Q8
Di puskesmas tempat saya bertugas, terdapat profilaksis TB laten primer dan
sekunder, dimana profilaksis sekunder diberikan pada pasien HIV yang sudah
menerima profilaksis atau terapi TB sebelumnya. Kira-kira adakah indikasi untuk
pemberian profilaksis TB berulang pada pasien HIV?

A8
Pasien dengan HIV memang sangat baik untuk diberikan profilaksis untuk
pencegahan TB laten. Bisa mencegah hingga 5 tahun pada pasien dengan HIV
positif. Boleh diberikan satu siklus lagi 5 tahun kemudian. Begitu seterusnya.

Q9
Bagaimana cara menentukan TB Laten pada daerah2 yg atau fasilitas yang tidak
mempunyai pemeriksaan IGRA ataupun Mantoux, apalagi di tempat kerja saya
termasuk daerah yang beresiko tinggi dengan kondisi hunian yang tinggi,

A9
TB laten baru 6 bulan dan 9 bulan. HIV CD4 sudah bagus sekitar 200-300 → bisa
mencegah TB hingga 5 tahun. Jika HIV dengan infeksi jamur → obati infeksi
sekundernya dulu, baru profilaksis TB
Putus obat (INH 1 bulan) → ulang dari awal
Jika kurang dari 1 bulan, bisa dilanjutkan.

25
Topic 3
Current Strategies to Diagnose and Treat COVID-19
Pneumonia

Pembicara : Dr. dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), M.Pd.Ked


Moderator : dr. Hendra Wahyuni, Msc
Pada seminar ini dijelaskan mengenai update pneumonia COVID-19 terkait dengan
diagnosis dan tatalaksana.

26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
Topic 4
Diagnostic and Management of Community Acquired
Pneumonia: Simplicity is the Key

Pembicara : dr. Riyadi Sutarto, Sp.P


Moderator : dr. Hendra Wahyuni, Msc
Pada seminar ini, dijelaskan mengenai pneumonia komunitas terkait dengan
diagnosis dan tatalaksana. Panduan diagnosis dan tatalaksana didasarkan pada
guideline ATS/IDSA 2017.

40
41
42
43
44
45
46
47
48
Question and Answer
Second Session

Pertanyaan kepada Dr. dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), M. Pd. Ked

Q1
Jika ada pasien butuh operasi cito terkonfirmasi (+) pada hasil TCM PCR dgn CT
40.1 (cut off CT 45) namun kita swab ulang dgn swab PCR hasil negatif (cut off
40). apakah pasien boleh kita pindahkan ke ruangan non covid krn sudah negatif
berdasarkan hasil swab PCR covid? karena klinis dan rontgen dalam batas
normal. mohon petunjuk. terimakasih

A1
Pasien yang akan operasi tanpa gejala COVID-19 → gejala ringan atau tanpa
gejala → tidak perlu PCR lagi, tapi bisa dipulangkan. Jika pasien akan dijadwalkan
operasi kembali, baru dilakukan swab PCR. Setelah 1 bulan operasi, tidak perlu
dilakukan swab PCR

Q2
Bagaimana membedakan long covid dengan kasus reinfeksi covid?

A2
• Long covid apabila sudah lewat fase akut covid 19 dan masih ada gejala
lebih dari 12 minggu.
• Reinfeksi: Bisa terinfeksi dengan varian yang berbeda dengan gejala yang
sama dengan covid 19.
Reinfeksi gejala covid kembali apa. Jika dicurigai sebagai infeksi, maka dilakukan
swab PCR. Yang dilihat adalah timelinenya untuk menentukan apakah pasien
mengalami long covid atau reinfeksi. Long covid jika sudah lewat fase akut dan
ada perbaikan, kemudian timbul lagi. Reinfeksi jika muncul lagi gejala baru

Q3
Saat terjadi peningkatan kasus COViD-19 bulan juli lalu. Saya menemukan bahwa
beberapa pasien yang menanyakan penggunaan antivirus oseltamivir dan
favipiravir. Kira-kira bagaimana rasionalitas pemilihannya? Karena kebanyakan
beredar info di masyarakat bahwa oseltamivir tidak terlalu baik dibanding
favipiravir?

49
A3
Untuk pertimbangan berdasarkan evidence based. Di awal covid disarankannya
adalah oseltamivir namun saat ini sudah tidak disarankan lagi Begitupun juga
antibiotik contohnya adalah azitromisin.
Guideline beberapa negara:
• Favipiravir
• Remdesivir
• Monoclonal antibodi

Q4
Apakah diperbolehkan jika pengambilan sampel swab nasofaring untuk
pemeriksaan swab antigen COVID-19 hanya dilakukan dari 1 lubang hidung?

A4
Sebaiknya dilakukan pada 2 lubang hidung. Lebih akurat. Pengambilan spesimen
sebaiknya dilakukan seluas-luasnya untuk meningkatkan akurasi.

Q5
Pada pasien yang menggunakan HFNC karena aerosolisasi apakah akan
meningkatkan viral load pada pasien disebelahnya yang tidak menggunakan
HFNC? sehingga berakibat penyakit pasien tsb semakin berat?

A5
HFNC dari penelitian tidak terlalu menimbulkan aerosol. Tetapi tetap harus hati-
hati. Pasien di-kohort di 1 ruangan yang sama dengan tekanan negatif atau
ventilasi yang baik Contohnya kohort pasien suspek dengan suspek, terkonfirmasi
dengan terkonfirmasi.
Aerosol tinggi: Bronkoskopi, intubasi pada ventilasi mekanis

50
Pertanyaan kepada dr. Riyadi Sutarto, Sp.P

Q1
Apakah untuk evaluasi CAP perlu dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks kembali
Dokter?

A1
IDSA 2019 tidak dianjurkan foto toraks kembali pada pengobatan CAP. Yang
terbaik adalah dari klinis: ability to eat (peningkatan nafsu makan), tanda tanda
vital (tekanan darah, nadi, napas, suhu, keadaan umum membaik)
Pemeriksaan laboratorium darah: ada beberapa marker infeksi. Tetapi tidak
perlu langsung lihat procalcitonin (tidak terlalu bermakna dan termasuk mahal).
Diutamakan pemeriksaan leukosit. Lab bisa yang sederhana saja seperti DPL
Jika pasien datang dengan gejala klinis pneumonia, bisa langsung diberikan
antibiotik
• Resolusi atau perbaikan pneumonia bisa lambat, sehingga ditakutkan
memperpanjang length of stay pasien jika dari foto rontgen toraks.

Q2
Apakah faktor yang sering menyebabkan misstriage pada pasien pneumonia
dok? bagaimana cara mengatasinya.

A2
Triase dari IDSA ATS 2007: jangan sampai ada 1 kriteria major atau 3 kriteria minor
yang terlewatkan
Kalau sudah yakin tidak ada → maka harus langsung di ICU

51
A2 (cont)
Pasien yang mengalami mistriase (pasien dari IGD dipindahkan ke ruang rawat
inap biasa) → mortalitas lebih tinggi daripada pasien pneumonia yang dari
IGD langsung ke ICU. Jadinya untuk penilaian pneumonia (severity index) →
lihat dari pasien dirawat jalan atau inap. dan dirawat inap di ICU atau biasa.
Kelemahan dari PSI atau CURB 65 atau penilaian pneumonia lainnya.
Contohnya kalau PSI tidak dapat menilai kelompok usia muda yang terkena
pneumonia berat. Semakin muda usia, maka severity indexnya semakin kecil
akhirnya dirawat jalan. Padaha mungkin gejalanya tergolong berat
Pasien dengan gejala berat, membutuhkan alat bantu napas dan
vasopressor.
• Kriteria berat: Infiltrat multilobus, sesak napas

Q3
Untuk pasien dengan infeksi pneumonia dengan MRSA atau Pseudomonas, untuk
terapi pulangnya antibiotik apa yang dapat digunakan untuk dilanjutkan hingga
kontrol?

A3
Pemberian antibiotik bisa sampai 7 hari pada MRSA maupun Pseudomonas.
Bisa diperpanjang hingga 14 hari sesuai klinis pasien. Biasanya pasien dengan
MRSA yang merupakan Hospital-acquired memiliki komorbid yang lebih
banyak, sehingga
Pemberian antibiotik bisa lebih lama jika ada komplikasi seperti meningitis,
endokarditis, TB
Terapi sulih → tangani abnormalitas gula darah, kemudian dilanjutkan
antibiotik
Levofloxacin oral dan IV sama baiknya

Q4
Apakah semua pasien dengan diagnosis CAP harus diperiksa AGD di awal
asesmen di IGD walau pasien tanpa keluhan sesak yang signifikan dok?

52
A4
Pemeriksaan AGD termasuk kriteria minor untuk menyingkirkan pneumonia
berat → ada variabel PaO2 <250. Jika ada penurunan FiO2, meskipun PSI <70,
maka tetap dirawat.
- Pemeriksaan AGD pada rawat inap diperlukan, tetapi di rawat jalan
tidak perlu

Q5
Pasien-pasien covid-19 di ICU kami yang telah diterapi secara empiris,
didapatkan hasil kultur yang MDR, sensitif terhadap beberapa obat yg sulit
didapatkan lagi stoknya. Prokalsitonin didapatkan borderline. Kesulitan saat
perburukan seringkali membuat ambigu oleh karena bakteri ataupun covid-19.

A5
Agak sulit ya ketika sudah terjadi drug resisten. Dan obat-obatan yang sensitif
tidak tersedia. Memang sebaiknya kita berikan obat-obat yang masih sensitif.
Menurut saya, tetap diusahakan obat-obatan yang masih sensitif.
• Di RSP biasanya akan link ke RS lain, contoh ke RSCM untuk mencari
obat yang dibutuhkan

Q6
Apa panduan penghitungan kebutuhan dosis terapi oksigen pada pasien
pneumonia? Berapa waktu kemudian kebutuhannya perlu dievaluasi dok?

A6
Evaluasi 48-72 jam → indikasi perbaikan klinis: perbaikan saturasi oksigen, fraksi
oksigen yang diberikan bisa diturunkan

53
Topic 5
Racing Towards Global Eradication: Therapy and
Vaccination Against COVID-19

Pembicara : Dr. dr. Erlina Burhan, Sp.P(K), MSc


Moderator : dr. Widya Tria Kirana
Pada seminar ini, dijelaskan mengenai update tatalaksana dan vaksinasi COVID-19.
Tatalaksana didasarkan berdasarkan panduan management COVID-19 Indonesia
Maret 2021. Dibahas mengenai pilihan terapi lainnya seperti anti IL-6, Mesenchymal
stem cell, plasma convaelsecnte, dll. Dijelaskan juga cakupan vaksin baik di
Indonesia maupun negara lainnya, serta varian baru yaitu Omicron yang sudah
ditetapkan WHO menjadi variant of concern.

54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
Topic 6
Updates on Government Policy in Health Sector During
COVID-19 Pandemic Era in Indonesia

Pembicara : dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid


Moderator : dr. Widya Tria Kirana
Pada seminar ini, dijelaskan mengenai update kebijakan penatalaksanaan COVID-
19 oleh pemerintah di Indonesia. Terdapat update mengenai kebijakan terkait
COVID-19 terkait variant of concern baru yaitu Omicron.

69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
Question and Answer
Third Session

Pertanyaan kepada dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid

Q1
Dok izin bertanya, dalam rangka upaya penanganan covid 19, apakah orang yg
belum mempunyai data NIK boleh untuk divaksinasi untuk mempercepat upaya
vaksinasi?

A1
Masyarakat yang belum memiliki NIK bukan berarti halangan untuk mendapatkan
vaksin. Nah silahkan datang ke kantor dukcapil → dan diberikan NIK dan ini bukan
di KTP melainkan hanya untuk pencatatan vaksinnya saja. Karena banyak
kegiatan yang membutuhkan syarat vaksinasi dan harus disimpan secara digital

Q2
Berkembangnya kemari kondisi COVID 19, yang menurut paparan yang ibu
sampaikan virusnya bereplikasi dirinya, yang saya tanyakan vaksin yang sudah
disuntikkan apakah masih bisa bermanfaat, bu dokter?, dan vaksin mana yang
lebih bermanfaat dan KIPI nya lebih sedikit?

A2
Hingga varian delta vaksin itu sudah dicobakan dan ternyata memang ada
penurunan efficacy tetapi tidak sampai signifikan, dan ternyata masih bersifat
protektif terhadap varian baru ini
• Pfizer efficacy 91,5%, dengan varian delta hanya turun 13% menjadi 80%
• Astrazeneca terjadi penurunan efficacy 10%
• Keduanya masih memenuhi kriteria efficacy oleh WHO
Varian omicron → tidak peduli variannya apa, yang penting varian itu tidak
masuk ke tubuh kita, yang penting virus tidak masuk ke tubuh kita. Setelah ada
di permukaan, virus akan mati (inaktivasi). Protokol kesehatan tetap sama
apapun variannya. Mengenai efektivitas vaksin terhadap varian omicron
belum diketahui masih dibutuhkan update penelitian lebih lanjutnya.

87
Q3
Apakah sudah ada kebijakan mengenai vaksinasi booster untuk kelompok berisiko
namun non tenaga kesehatan seperti lansia? misal vaksin completenya
menggunakan sinovac?

A3
Sampai saat ini, kebijakan untuk vaksinasi booster belum final. Sasaran yang
utama saat ini adalah masyarakat yang belum mendapatkan vaksinasi. Faktor
lain yang mempengaruhi adalah ketersediaan vaksin. Uji klinis terkait booster
dosis ketiga belum ada hasil akhirnya. Kita masih menunggu hasil penelitian lebih
lanjut.
Jika nanti akan dibuat rekomendasi vaksin booster, maka lansia dan penerima
bantuan iuran akan diberikan vaksin booster yang ditanggung pemerintah
sementara kelompok lainnya adalah direncanakan berbayar

88
Pertanyaan kepada Dr. dr. Erlina Burhan, Sp.P(K), MSc

Q1
Untuk dosis pemberian mesencyhmal stem cell dan diberikan berapa hari? lalu
apakah boleh langsung diberikan untuk gejala sedang..?

A1
Penelitian yang dilakukan di RSCM, RSUI, RSP ada 2. dengan dosis 1 kgBB → 1 juta
stemcell dengan infusion. Pada COVID 19 sedang berat juga menggunakan dosis
yang sama. Biaya sangat mahal untuk membeli stemcell → Jika pasien 70 kg →
butuh 70 juta sel. 1 sel harganya 1,2 rupiah. Saat ini masih peruntukan uji klinis,
bukan pelayanan. Jika pelayanan, maka informed consent bayar sendiri, tidak
dibiayai Kemenkes atau BPJS

Q2
Jika vaksinasi pertama menggunakan astrazeneca apakah vaksin kedua bisa
menggunakan platform vaksin lain dokter ?

A2
Laporan dari produsen vaksin memang pemberian vaksin lengkap jika vaksin
1 dan 2 adalah vaksin yang sama → laporan efikasi umumnya pada
pemberian vaksin yang sama → Thailand memakai vaksin 1 dan 2 yang
berbeda. Tetapi kita belum punya datanya. Sebagian besar yang beredar
adalah efikasi dengan pemberian vaksin yang sama, sehingga kita tetap pilih
yang sama. Vaksin booster baru boleh yang berbeda. Akan tetapi, jika ada
masalah logistik misalnya di daerah-daerah, akan berbeda cerita.
Tentukan rentang waktu 28 hari atau 3 bulan berdasarkan data-data yang
ada. Tetapi keterlambatan vaksinasi biasanya tidak sampai 1 bulan. Paling
telat max. 2 minggu-20 hari. Bukan pada permasalahan tidak bisa mengelola,
tetapi karena tidak bisa memastikan kapan produsen vaksin bisa memberikan
ke kita dan tidak bisa memastikan berapa pastinya jumlah vaksin yang
dibutuhkan. Sekarang semua harus digunakan dulu untuk dosis pertama, baru
dihitung lagi untuk distribusi vaksin kedua. Daerah harus bisa mengelola,
mendistribusikan vaksin dengan tepat. Efikasi vaksin masih baik menghasilkan
titer antibodi dengan jarak 1 bulan. Kebijakan program saat ini juga
menggunakan jenis vaksin yang sama.

89
A2 (cont)
Kondisi terpaksa → kalau memang harus vaksin kedua, boleh diberikan jenis yang
berbeda daripada tidak sama sekali. Minimal ada proteksi. Hanya boleh pada
kondisi terpaksa.

Q3
Berdasarkan rekomendasi POGI, ibu hamil dapat diberikan vaksin pada usia
kehamilan 13 minggu hingga hamil aterm. Jika pasien sudah mendapatkan dosis
1 namun baru mengetahui bahwa pasien sedang hamil dengan usia kehamilan 7
minggu, bagaimana untuk dosis ke 2 nya dokter? apakah dilanjutkan atau
ditunda? jika ditunda, kapan sekiranya pasien mendapatkan dosis ke 2

A3
Ada pilihan. POGI mengatakan sebelum minggu 12 atau setelah minggu 13.
Terkadang pasien belum tau sudah hamil. Jika ternyata pasien sudah hamil 7
minggu, ada 2 pilihan. Informed consent pemberian dosis kedua 1 bulan
setelahnya jika pada dosis pertama tidak ada masalah. Jika ada kekhawatiran
jangan di vaksin yang kedua. Tunggu sampai memenuhi kriteria, mulai lagi dari
dosis pertama.
• Astrazeneca interval 3 bulan → sehingga bisa diberikan dosis kedua
Jika ingin memakai prinsip hati-hati, maka lupakan sudah dosis pertama dan
melapor ke Kemenkes bahwa akhirnya dosis vaksin pertama hangus.
Dari kebijakan pemerintah → pasien menunggu dosis kedua. Walaupun dari
hasil uji klinis, paling efektif jaraknya 28 hari. Setelah dilakukan uji klinis lagi
ternyata 28 hari lebih baik dibanding 21 hari. dan diharapkan untuk diteruskan
pada dosis kedua

Q4
Publikasi tentang kombinasi 3 beberapa vaksin dinyatakan efektif dan aman.
Namun kondisi saat ini kita masih berada dalam ancaman varian baru omicron.
Kemudian, didapatkannya neutralizing antibody pada tubuh. Menurut dokter,
apakah kemungkinan kita mendapatkan vaksinasi berkala utk covid-19?
Bagaimana efektivitas dan keamanannya utk kombinasi dengan 4,5, atau 6
vaksin kemudian.

90
A4
Sebetulnya kalau nanti pandemi ini akan menjadi endemi jika cakupan
vaksinasinya memang sudah baik. Nah ini akan berlaku seperti influenza.
Dimana akan ada varian baru dari influenza dan seiring update variannya kan
diberikan vaksinasi diberikan tiap tahun terutama populasi berisiko seperti
immunocompromise lansia, HIV, dll . Oleh karena itu hal serupa mungkin terjadi
pada COVID tapi belum dapat diprediksi dan juga situasi akan berubah terus
secara dinamis
dr. Erlina tidak terlalu menganjurkan pemeriksaan antibodi setelah vaksin.
Imunitas ada yang seluler dan humoral, keduanya ada dalam tubuh kita.

Q5
Gejala apa saja yang dimaksud "bebas gejala" pada kriteria selesai isolasi mandiri
pasien covid dengan gejala sedang? Apakah hanya demam dan sesak? Sebab
beberapa gejala seperti batuk/cepat lelah masih akan terus berlangsung di
banyak pasien

A5
Bebas gejala saat isoman di rumah adalah bebas demam dan gejala respirasi.
Batuk dan demam berkurang. Gejala mual, letih, lesu, lemah tidak bisa dinilai.

Q6
Apakah ada kontraindikasi vaksin pada pasien kanker paru? Dan adakah
perbedaan antara yang sedang menjalani kemoterapi konvensional atau terapi
target?

A6
Pasien kanker bukan kontraindikasi mendapatkan vaksin. Yang penting pasien
sedang tidak serangan (batuk darah, sesak), tidak sedang kemo (karena
cenderung lemah, sesak). Tidak ada perbedaan antara yang menjalani
kemoterapi konvensional dan terapi target.
Jika sebelum vaksin sudah ada gejala, dikhawatirkan tambah berat setelah
vaksin dan pasien menyalahkan KIPI.

91
Q7
Pengukuran titer antibodi belum tentu berkaitan dengan kekuatan proteksi, lalu
adakah pengukuran kuantitatif lain yang dapat merefleksikan kekuatan proteksi
tubuh ?

A7
Neutralizing antibody bisa dilakukan di lab canggih yang biasanya untuk riset.
Yang dr. Erlina ketahui di lembaga Eijkman. Lab komersial tidak bisa melakukan
pemeriksaan yang merepresentasikan kekuatan proteksi tubuh.

92
93

Anda mungkin juga menyukai