Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN HASIL TUGAS

LINGKUNGAN DAN TRI HITA KARANA

“EKOLOGI DAN EKOSISTEM”

Oleh:

Arya Fathmanda Muhammad

NIM : 2005561028

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Hubungan antara mahluk hidup dan lingkungan tercipta karena semua mahluk hidup di
dunia ini memiliki ketergantungan dengan alam atau lingkungan di sekitarnya. Pada dasarnya,
hubungan/interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya berada dalam suatu keseimbangan
yang biasa kita sebut dengan keseimbangan alam, dimana, apabila terjadi ketidakseimbangan,
alam akan Self Healing atau memulihkan dirinya sendiri. Dan mungkin akibat ulah manusia yang
berlebihan, keseimbangan alam tadi jadi terganggu kelangsungannya.

Masalah-masalah ekologi yang muncul, berkaitan erat dengan masalah-masalah


lingkungan yang kita dengar dan hadapi sehari-hari. Jadi, bisa dikatakan bahwa masalah ekologi
merupakan masalah lingkungan. Sehingga, masalah-masalah ekologi/lingkungan yang terjadi
terkait erat dengan aktivitas organisme hidup terutama manusia yang mengakibatkan rusaknya
lingkungan.

Kerusakan ekosistem yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh 2 faktor, yaitu faktor
alam dan faktor manusia. Faktor alam merupakan faktor kerusakan yang diakibatkan oleh alam
itu sendiri, seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan lainnya. Sedangkan faktor manusia
merupakan faktor kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia terhadap lingkungan,
seperti membuang sampah sembarangan, membuang limbah sembarangan, teknologi yang terus
berkembang tanpa memperdulikan lingkungan dan lainnya.

Hampir di seluruh Indonesia memiliki masalah lingkungan nya masing-masing, terutama


di Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki penduduk sebanyak 10,47 Juta jiwa. Yang mana
dengan banyaknya jumlah penduduk yang menetap di suatu daerah, maka sama banyaknya
dengan permasalahan lingkungan yang terjadi. Seperti, semakin banyak sampah, semakin banyak
sungai atau kali yang tercemar oleh limbah pabrik yang didirikan oleh penduduk setempat, dan
juga permasalahan lainnya.

Baik dari pengelola pabrik, masyarakat sekitar, belum ada solusi yang pas untuk
dijadikan jalan keluar untuk permasalahan lingkungan ini.
I.II RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ekologi dan ekosistem?
2. Apa itu masalah ekologi (masalah lingkungan)?
3. Apa saja yang termasuk faktor penyebab kerusakan ekologi dan ekosistem?
4. Apa dampak atau efek yang disebabkan oleh permasalahan lingkungan?
5. Apa solusi yang relevan untuk mengatasi permasalahan lingkungan?

I.III TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui apa itu ekologi dan ekosistem
2. Untuk mengetahui apa itu permasalahan ekologi (masalah lingkungan)
3. Untuk mengetahui faktor penyebab permasalahan lingkungan
4. Untuk mengetahui dampak yang disebabkan oleh permasalahan lingkungan
5. Untuk mengetahui solusi yang relevan untuk permasalahan lingkungan
BAB II

PEMBAHASAN

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi mahluk hidup atau kelompok mahluk
hidup dengan lingkungan nya. Istilah ekologi seringkali dianggap sebagai istilah asing yang
jarang didengar oleh masyarakat. Bahkan, kebanyakan orang menganggap ekologi sama
dengan ekosistem, padahal sebenarnya berbeda. Ecology / ekologi, diperkenalkan oleh seorang
ahli biologi dari Jerman yang bernama Ernst Heinrich Philipp August Haeckel atau biasa dikenal
sebagai Ernst Haeckel. Secara etimologis, ekologi berasal dari bahasa Yunani
yaitu oikos dan logos. Oikos memiliki arti sebagai habitat sedangkan logos berarti ilmu. Maka
jika ditelusuri lebih lanjut, ekologi memiliki arti sebagai ilmu yang mempelajari tentang
hubungan antara sesama organisme serta hubungan antara organisme dengan lingkungannya.

Ekosistem adalah interaksi antar makhluk hidup (biotik) dengan faktor fisik


lingkungannya (abiotik). Bidang ilmu yang secara khusus mempelajari berbagai ekosistem
adalah ekologi. Suatu ekosistem dapat terdiri dari berbagai macam elemen penyusunnya.
Makhluk hidup, air, siklus energi, tanah, bebatuan, mineral merupakan contoh elemen-elemen
yang menyusun terbentuknya suatu ekosistem. Hubungan antar elemen-elemen ini tidak hanya
terjadi antar makhluk hidup dengan lingkungan fisiknya, tetapi juga antar spesies yang menghuni
ekosistem tersebut. Setiap ekosistem yang ada di dunia memiliki keunikannya tersendiri
sehingga dapat dengan mudah kita bedakan yang satu dengan yang lainnya.

Pada dasarnya, masalah lingkungan hidup dapat dikelompokkan ke dalam 2 bentuk, yaitu
pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan terkurasnya sumberdaya alam (resources
depletion). Dalam undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup,
pasal 1 ayat 12 dinyatakan bahwa pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan,
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tak
berfungsi lagi sesuai peruntukkannya (Takdir, 2000: 1). Lebih lanjut, Setijati (2003: 121-122)
mengemukakan bahwa karena produksi tidak mungkin terjadi secara 100% efisien, maka dapat
dipastikan akan ada limbah yang masuk ke dalam lingkungan. Pencemaran sendiri mulai
dibicarakan pada tahun 60-an, hal ini disebabkan semakin banyaknya limbah yang dihasilkan
sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin
banyaknya kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya.
Pengurasan sumber daya alam (natural depletion resources) diartikan sebagai
pemanfaatan sumber daya alam secara tidak bijaksana sehingga sumber daya alam tersebut baik
kualitas maupun kuantitasnya menjadi berkurang atau menurun dan pada akhirnya akan habis
sama sekali. Ancaman akan habisnya sumber daya alam misalnya pada minyak bumi, gas alam,
batu bara  dan mineral pada umumnya. Jenis sumber daya alam yang tak terbarui akan cepat
habis sebelum waktunya jika pemanfaatannya tidak disertai dengan kebijakan konservasi.
Meskipun beberapa jenis sumber daya alam tergolong ke dalam sumber daya alam yang dapat
diperbarui atau tersedia secara tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat menyebabkan sumber
daya alam itu menjadi kurang kualitasnya. Misalnya penebangan hutan tanpa dibarengi dengan
reboisasi dapat menyebabkan kerusakan lahan, berkurangnya keanekaragaman hayati dan dapat
mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Salah satu penyebab terjadinya masalah lingkungan adalah teknologi, fokus pada
penulisan ini mengenai masalah lingkungan di sungai, kali di daerah DKI Jakarta yang
menyebabkan kerusakan lingkungan.
Fakta aktualnya, Jakarta sekarang dihadapi oleh berbagai permasalahan lingkungan yang
akut meliputi polusi udara, pencemaran air, sampah, banjir dan reklamasi. Berikut uraian
permasalahan Jakarta. Hasil riset Greenpeace pada 21 lokasi menyimpulkan udara Jakarta dan
sekitar tercemar polusi yang membahayakan kesehatan dan meningkatkan risiko kematian dini.
Tingkat polusi udara Jakarta sudah berada pada level 45 μg/m3, atau 4,5 kali dari ambang batas
yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dari 6 bulan, kondisi udara sehat Jakarta
hanya 14 hari. Polusi udara di Jakarta, 70% disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Apalagi
pembangunan infrastruktur di Jakarta yang dilakukan serentak diberbagai titik memperparah
kemacetan. Asap kendaraan bermotor mengandung timbale (Pb), Hidrokarbon (HC), CO (karbon
monoksida), dan CO2 (karbon dioksida salah satu emisi gas penyumbang pemanasan global).
Dimana semua senyawa tersebut menyebabkan penurunan kesehatan terutama ISPA (Infeksi
Saluran Pernapasan Akut).
Penelitian Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) mengungkapkan fakta yang memprihatinkan. Mutu aliran
sungai di 45 titik pantau di 13 DAS Ciliwung pada 2010: kondisi baik 0%, tercemar ringan 9%,
tercemar sedang 9% dan tercemar berat 82 persen. Hal ini dikarenakan 2,5% timbulan sampah
Jakarta (600 m3/hari) mengalir di Sungai Ciliwung. Jakarta tercemar bakteri E-Coli, baik
tercemar berat maupun sedang. Tidak hanya itu, air tanah dangkal di Jakarta tercemar 80 hingga
90 persen oleh bakteri E-Coli.

Hasil penelitian Bappenas, menyatakan 80% penyebab pencemaran air sungai itu bukan
dari industri, seperti limbah pabrik, melainkan karena pembuangan limbah domestik yang salah
satunya adalah tinja. Menurut penelitian kapasitas tinja manusia dewasa rata-rata 0.2
kg/hari/jiwa. Cakupan layanan air limbah di DKI hanya sekitar 2,7%. Selebihnya, 97,3% belum
memiliki sistem pengelolaan air dengan baik, masuk ke dalam tangki septik, atau langsung
dibuang ke sungai dan perairan terbuka. Sehingga para ahli lingkungan menyebut Jakarta sebagai
kota “sejuta septic tank”, dan sungai-sungai di Jakarta adalah “jamban terpanjang di dunia.”

Kondisi ini diperparah dengan kondisi sejumlah septic tank rumah tangga yang tidak
dibangun dengan benar, sehingga sebagian tinja meresap ke tanah dan tercampur dengan air
tanah. Sementara, jarak septic tank dengan air tanah yang disedot untuk kebutuhan harian sangat
dekat. Karena minimnya fasilitas sanitasi, kasus penyakit menular mulai bermunculan. Mulai
dari diare, demam berdarah hingga polio.

Produksi sampah Jakarta mencapai 6000 ton (setara 29.966 m3) per hari dengan kondisi
sampah yang belum terpilah. Jumlah itu cukup unuk untuk membangun setengah Candi
Borobudur (artinya, dua hari sampah Jakarta bisa dipakai untuk membuat bangunan sebesar
Candi Borobudur). Sampah di DKI Jakarta diangkut oleh 757 truk sampah untuk dibawa ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Sisa sampah ± 2041 M³ yang tak terangkut menjadi
masalah yang masih menunggu untuk segera diatasi. Sekitar 11 Kelurahan (4,12 persen) masih
dibuang ke lubang kemudian di bakar. Komposisi sampah di Jakarta adalah sampah rumah
tangga (58 %); sampah komersial/aktivitas perkantoran (15 %), sampah pasar (10 %), sampah
industri (15 %), fasilitas lainnya seperti taman, sungai dan jalan (2%).

Penanganan sampah masih mengandalkan pola Sanitary Land Fill di Bantargebang yang
rawan menimbulkan masalah dan biaya tapping fee yang cukup mahal. Hanya ada satu Pusat
Daur Ulang Kompos (PDUK) milik swasta sebagai pendukung. Bisa dibayangkan 10 tahun
kedepan dimana peningkatan konsumsi masyarakat semakin tinggi, dan jumlah penduduk
semakin banyak. Apakah Jakarta masih sanggup menangani masalah sampah yang semakin
menggunung.

Masalah banjir adalah masalah klasik yang sejak zaman kerajaan, kemudian ke zaman
VOC dan sampai sekarang belum diselesaikan dengan baik. Tercatat banjir besar melanda
ibukota, pada tahun 1996, 2002, Februari 2007, Januari 2013 dan terakhir Februari 2017. Hampir
setiap Gubernur direpotkan oleh permasalahan banjir. Masalah banjir juga masalah kompleks
yang disebabkan semakin berkurangnya Ruang Terbuka Hijau di Jakarta (RTH), hanya 9,98%
dari total 30% sesuai amanat UU no 26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Selain itu, permukiman dan bangunan yang berada di garis sempadan sungai
menghalangi run off air hujan menuju sungai, akibatnya terjadi genangan air dimana-mana.
Zaman Ahok menjadi gubernur, banyak permukiman sekitar bantaran sungai yang digusur
misalnya kawasan kalijodo, namun sayang, Season City yang juga berada dibantaran sungai
tidak digusur. Atau misalnya kampung Pulo digusur namun Pantai Indah Kapuk yang jelas-jelas
lokasinya menghalangi run off air hujan ke teluk Jakarta dibiarkan saja.

 
Masalah banjir juga disebabkan sungai
sebagai penampung air hujan semakin dangkal dan sempit. Pembangunan dikawasan hulu
menyebabkan sedimentasi sungai sehingga semakin lama sungai semakin dangkal. Perlu
dilakukan kembali kebijakan normalisasi sungai sehingga sungai dapat berfungsi normal untuk
menampung air hujan.

Dan terakhir adalah masalah reklamasi. Di Jakarta harga tanah sangat tinggi, sedangkan
kebutuhan akan perumahan juga semakin tinggi. Hal tersebut, menyebabkan pengembang
mencari alternative lain untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyaarakat. Dengan sederet
argument, pengembang dengan dukungan pemerintah pusat memaksakan agar reklamasi terus
berjalan.

Namun, Anies-Sandi harus memenuhi amanah yang dijanjikan dalam kampanye untuk
menolak reklamasi. Penolakan reklamasi atas dasar beberapa factor seperti sedikitnya ada 16.855
nelayan berikut keluarganya bakal terusir bila reklamasi dilanjutkan, sementara sampai saat ini,
belum ada perencanaan tentang nasib mereka. Reklamasi akan merampas dan menghilangkan
wilayah penangkapan ikan. Reklamasi akan mengganggu aktivitas 600 kapal dari total 5.600
kapal nelayan yang ada di DKI Jakarta.

Selain itu, reklamasi memicu masalah lingkungan baru. Setiap hektar pulau reklamasi
akan membutuhkan pasir sebanyak 632.911 meter kubik. Jika dikalikan luas pulau reklamasi
yang direncanakan 5.153 hektar, maka akan membutuhkan sekitar 3,3 juta ton meter kubik pasir.
Pengambilan bahan urugan (pasir laut) dari daerah lain akan merusak ekosistem laut tempat
pengambilan bahan tersebut.
Kontruksi pulau reklamasi akan membutuhkan air tawar yang besar. Pulau reklamasi
tidak memiliki sungai alami dan air tanah. Tentunya air bersih berasal dari daratan Jakarta.
Faktanya, PDAM Jakarta baru melayani 60% dari rumah tangga Jakarta. Kalau ada tambahan
permintaan air bersih dari pulau reklamasi, apakah PDAM Jakarta sanggup melayaninya?
Kalaupun dipaksakan sanggup, maka program pelayanan untuk masyarakat bawah tentu akan
terabaikan kalah oleh kepentingan pemodal.

Dalam catatan beberapa pilkada Jakarta, tidak ada petahana yang dapat bertahan lebih
dari 1 periode. Fakta politik tersebut membuktikan masyarakat Jakarta sangat dinamis, dan
menginginkan kepala daerah yang dapat memenuhi aspirasi mereka. Apabila Anies-Sandi tidak
dapat memenuhi janji kampanye nya memajukan Jakarta dan membuat warganya menjadi
bahagia, bukan tidak mungkin siklus 1 periode akan terulang pada pasangan Anies-Sandi.
Namun bagaimanapun kita perlu mendukung program-program Anies-Sandi agar dapat
menyelesaikan masalah lingkungan Jakarta.

Masalah lingkungan tidak bisa diselesaikan secara parsial, apalagi secara instan.
Diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah sehingga bisa memberikan
alternatif baru dalam penyelesaian masalah lingkungan yang runyam ini. Misalnya daripada
menunggu hingga 2050, sebetulnya kita bisa memulai dengan pembangunan IPAL sederhana
atau IPAL komunal.

Beberapa proyek yang bisa dijadikan contoh adalah IPAL komunal di Sleman,


Yogyakarta dan Martapura, Kalimantan Selatan serta IPAL komunal Malakasari, Duren Sawit,
Jakarta Timur yang dikembangkan oleh masyarakat bersama dengan PD PAL Jaya.

Jika kita kembali pada kasus Kali Item, pemerintah harus menelisik sumber masalah
pencemaran sungai sebelum bersikap reaktif dengan solusi yang tidak berkelanjutan karena tidak
menjawab akar permasalahan.
Pembersihan sungai pada masa Ahok juga merupakan salah satu contoh pendekatan
reaktif parsial. Meski dianggap berhasil dengan pembersihan sungainya, tetapi pendekatannya
tidak berkelanjutan karena hanya sebatas membersihkan sungai di hilir dari sampah, tanpa
menyelesaikan akar permasalahannya baik di hulu maupun hilir sungai.
BAB III

KESIMPULAN

Dari identifikasi masalah di atas, seharusnya pemerintah memecahkan masalah utama


yaitu perbaikan sistem pembuangan air limbah di Jakarta guna memperbaiki sanitasi sekaligus
mengatasi pencemaran air.

Juga kesadaran kolektif masyarakat, evaluasi dan pembenahan program-program


pemerintah, serta kerja sama antar pemerintah daerah di hulu dan hilir sungai sangat dibutuhkan
untuk mengatasi masalah pencemaran sungai yang selama ini ada.

Anda mungkin juga menyukai