Anda di halaman 1dari 2

Nama : HADI SUTRISNO

Kelas : SPKS A
NIM : 21483

Ringkasan Legalitas dan Perizinan Pembukaan Lahan

Sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia, Indonesia menjadi negara yang berada
dalam dilema, apakah harus mengejar keuntungan melalui mekanisme pasar internasional
ataukah mengikuti aturan dunia untuk mencegah kerusakan hutan. Di satu sisi, potensi
penerimaan negara dari kelapa sawit beserta tingkat penyerapan tenaga kerja dalam industri
sawit mampu meningkatkan kekayaan negara dan menyelesaikan persoalan tenaga kerja.
Di sisi lain, ada wilayah-wilayah eksistensial yang harus dikonservasi, yaitu hutan.
Indonesia bisa keluar dari jeratan permasalahan tersebut apabila mengorientasikan pola
penyelesaian yang basisnya adalah lahan sawit berkelanjutan. Pola ini tidak hanya menempatkan
aspek legalitas sebagai satu-satunya variabel yang diorientasikan, tetapi juga ada variabel lain,
seperti lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Ide tentang sawit berkelanjutan telah digaungkan oleh pemerintah dengan menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia/Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Perpres ini merupakan
perubahan kedua setelah Menteri Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19
Tahun 2011 dan diubah kembali melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015.
ISPO menjadi program yang rasio legisnya bercermin dari ISO 9001 (Standar Sistem
Manajemen Mutu) dan ISO 14001 (Sistem Manajemen Lingkungan). Secara umum, konsep
keberlanjutan yang diadopsi ISPO merupakan pengembangan dari 3-P (Profit, People, Planet)
dengan menambahkan 1-P, yaitu kebijakan (Politic).
Integrasi antara keuntungan, masyarakat, lingkungan, dan kebijakan mengisyaratkan
perlunya kinerja yang sinergis antara pelaku usaha dengan pemerintah. Posisi pemerintah dalam
kinerja dua pihak ini terletak pada penyediaan hak berupa legalitas lahan. Legalitas lahan menjadi
dasar beroperasi ISPO.
Proses penyelesaiannya tidak dapat dipukul rata, sebab terdapat perbedaan latar belakang
pembukaan lahan dalam kawasan hutan yang dimiliki oleh perusahaan dan petani swadaya.
Ekspansi lahan yang dilakukan masyarakat umumnya bukan didorong
oleh keinginan akumulasi kapital, tetapi oleh dorongan bertahan hidup. Ditambah lagi dengan
posisi geografis wilayah tinggal masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan. Di
samping dorongan bertahan hidup, penanaman sawit dalam kawasan hutan yang dilakukan
masyarakat pun umumnya dilegitimasi oleh hukum adat dan wasiat yang dilakukan secara turun
temurun. Sehingga diperlukan mekanisme penyelesaian yang disesuaikan dengan penyebab
merambahnya lahan sawit dalam kawasan hutan.
Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini tidak cukup hanya
mengedepankan pola struktural yang berbasis pada instrumen hukum, tetapi juga pada pola
kultural. Pola kultural dilakukan dengan memberikan pengakuan kepada lahan sawit rakyat yang
terletak dalam kawasan hutan. Pengakuan ini menjadi langkah yang wajar dilakukan mengingat
latar belakang penguasaan lahan yang berbasis pada legitimasi adat. Paradigma yang perlu
ditanamkan adalah, legalitas atau perizinan bukanlah anak kekuasaan, tetapi menjadi bagian dari
pelayanan, dan pelayanan merupakan kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak asasi manusia.
Konstitusi telah mengamanahkan pemerintah untuk hadir, tidak peduli bagaimanapun peliknya
sebuah persoalan. Pembiaran terhadap permasalahan sama halnya dengan memicu mafia dan
kegaduhan lainnya yang disebabkan adanya ketidakpastian hukum. Langkah ini menjadi peluang
pemerintah untuk memenuhi salah satu prinsip 4-P yang secara langsung membuat lahan sawit
Indonesia, terutama lahan sawit rakyat menjadi lahan sawit yang berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai