Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peristiwa ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi
Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan
terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dan penurunan jabatan Presiden
Soeharto.Peristiwa Mei 1998 yang merupakan suatu gerakan reformasi di
Indonesia ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, baik politik, sosial, dan
ekonomi. Dari faktor politik, dipicu oleh pengangkatan kembali Soeharto
menjadi Presiden RI setelah hasil pemilu 1997 menunjukkan bahwa Golkar
sebagai pemenang mutlak. Hal ini berarti dukungan mutlak kepada Soeharto
makin besar untuk menjadi presiden lagi di Indonesia dalam sidang MPR
1998. Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI kemudian Ia
membentuk Kabinet Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme
dan kolusi.
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi ini diawali dengan adanya
sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie sebagai
Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 19982003. Presiden
Suharto kemudian membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
Kabinet yang sarat akan kolusi dan nepotisme ini kemudian membuat
mahasiswa bergerak. Ditambah dengan terjadinya krisis moneter, maka pada
bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak
menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga
barangbarang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan mundurnya
Suharto dari kursi kepresidenan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa dampak yang timbul akibat dari penculikan aktivis 1998 ?
2. Cerita Fakta Tentang Kasus Penculikan aktivis 1998 ?
3. Upaya Penuntasan Kasus ini ?

1
4. Bagaimana Mengatasi Kasus ini ?
5. Apa saja sebab Terjadinya Kasus ini ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui akibat penculikan aktivis 1998
2. Untuk mengetahui cerita fakta kasus ini
3. Untuk mengetahui bagaimana penuntasan kasus yang terjadi
4. Untuk mengetahui bagaimana mengatasi kasus ini
5. Untuk mengetahui sebab terjadinya kasus ini

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kronologis Penculikan Aktivis 1998


Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas
Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang
menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas
dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami lukaluka. Kematian empat
mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan
kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
Hal ini berlanjut pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, di Jakarta dan
sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan
masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko
dibakar dan isinya dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar. Pada tanggal
19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan
sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR.
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan
masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang
dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya
tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun
dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan
penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang
tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan,
Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan
kekuasaan.

3
Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional
yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, seperti berikut ini:
 Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari
berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan
politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan
dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang
sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan
Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang
dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang
semestinya.
 Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak
terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah
melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan
untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani
masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat
pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan
ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa kehakiman
memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah (eksekutif).
 Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak
Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia.
Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global
yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada
bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik
terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti: hutang
luar negeri Indonesia yang sangat

4
 Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab
terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak
demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar
etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai
kerusuhan di beberapa daerah.
 Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden
Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan
politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada
rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Melihat aksiaksi tersebut, akhirnya pada tanggal 19 Mei 1998,
Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi
‘anjuran agar Presiden Suharto mengundurkan diri’. Pada tanggal 20 Mei
1998, Presiden Suharto mengundang tokohtokoh agama dan tokohtokoh
masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk
Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Suharto.
Dan puncaknya, pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana
Negara, Presiden Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di
hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan
pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada
Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga
B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
Dampak yang ditimbulkan dari peristiwa ini tentu saja adalah
turunnya Soeharto dari kursi Presiden. Selain berdampak pada turunnya
Soeharto dari kursi Kepresidenan, peristiwa Mei 1998 ini juga
berdampak pada:
1. Banyak yang hilang pekerjaan akibat tempat tepat bekerja dirusak
ataupun di bakar

5
2. Kerugian materil yang tidak dapat dihitung lagi.
3. Banyak korban yang menderita fisik dan psikis, apalagi korban dari
tindak kekerasan seksual.

Permasalahan ekonomi yang berkepanjangan sejak Tahun 1997,


membuat Indonesia mengalami krisis. Terjadi PHK di manamana,
banyaknya pengangguran dan harga BBM dinaikkan membuat keadaan
semakin memburuk. Aksiaksi mahasiswa yang telah bergulir sejak awal
1998 semakin marak dan menular ke banyak kampus di seluruh
Indonesia. Aksi mahasiswa yang terjadi sepanjang Mei 1998 menemukan
momentumnya pada tanggal 12 Mei 1998 di kampus Universitas Trisakti
di Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta. Peristiwa ini telah merenggut nyawa
empat orang mahasiswa Trisakti akibat tembakan peluru tajam oleh
aparat kepolisian.

Kerusuhan Mei 1998 terjadi pada tanggal 13 sampai 15. Ketiadaannya


aparat membuat kerusuhan Mei 1998 ini mencapai klimaksnya pada 14
Mei 1998. Perspektif Politik terjadinya Kerusuhan Mei 1998 tidak lepas
dari aspek politik yang terjadi saat itu. Isu rivalitas antara Wiranto dan
Prabowo menjadi pembicaraan kalangan elite khususnya elite tentara
sejak awal 1998. Sebagian pegamat menganalisa bahwa “konflik” yang
terjadi antara Wiranto dan Prabowo sengaja diciptakan Soeharto agar
terjadi keseimbangan sehingga tidak ada yang terlalu dominan.

Kasus yang memukul Prabowo menjelang Mei 1998 adalah penculikan


aktivis mahasiswa. Kasus penculikan tidak dapat dipisahkan dari situasi
keamanan, khususnya di ibukota, pada akhir 1997 dan Januari 1998.
Dengan munculnya kasus penculikan, posisi Wiranto menjadi di atas
angin. Ia berhasil menampilkan diri sebagai figure demokrat dan seolah-
olah berpegang pada hukum. Prabowo mengakui adanya sembilan orang
yang ditangkap anggota Tim Mawar. Semuanya telah dilepaskan dengan
selamat dan mereka yang masih hilang bukanlah tanggung jawabnya.

6
Artinya, memang ada pihakpihak lain di luar Prabowo yang ikut
menangkap para aktivis. Rivalitas antara Prabowo dan Wiranto jelas
mewarnai politik internal di ABRI menjelang Insiden Trisakti dan huru-
hara Mei 1998.

Saat terjadinya kerusuhan pun Pangab Wiranto pergi ke Malang pada 14


Mei 1998 dengan membawa banyak jenderal sedangkan saat itu situasi di
Jakarta sedang darurat dan tidak ada pengamanan satupun dari Brimob,
pasukan Brimob ditarik dan Kostrad yang diturunkan ke lapangan untuk
pengamanan. Karena saat itu komando masalah keamanan adalah Mabes
ABRI yang membawahi POLRI dan TNI.

Disengaja atau tidak tetapi itu yang terjadi pada saat huruhara
berlangsung. Hubungan Militer dan Sipil saat itu berlangsung baik.
Tetapi pada saat itu sipil yang dianggap pro demokrasi dan
menginginkan perubahan membuat para petinggi menganggap orang sipil
menentang penguas rezim ORBA. Masa pemerintahan ORBA juga
dikenal sebagai pemerintahan yang militeristik. Dimana dalam setiap
mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat, pemerintahan selalu
menggunakan militer untuk mengatasi masalah yang sering kali
menggunakan cara yang bersifat represif. Pelanggaran HAM dapat
dilakukan terangterangan dimanapun oleh alat negara tanpa adanya
proses hukum.

Awal 1998 saat pemerintahan Orba berlangsung terjadi krisis. Krisis


yang tidak mampu diatasi oleh pemerintah saat itu membuat rakyat
melakukan tindakan kejahatan di manamana. Aksi masyarakat yang
dipelopori oleh mahasiswa mulai terjadi dimanamana. Aksi dilakukan
untuk menuntut mundur Soeharto karena dinilai telah gagal dalam
mengatasi masalah krisis Indonesia. Soeharto memerintahkan militer
untuk menghalang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat.
Bahkan militer tidak segansegan melakukan tindakan represif yang

7
berujung pada kematian di kalangan demonstran. Situasi ini membuat
Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden saat itu.1

2.2 Dampak Peristiwa Mei 1998


A. Dampak Negatif
1. Agenda reformasi telah ditetapkan melalui berbagai ketetapan MPR
dan berbagai produk perundang-udangan yang baru, tetapi setelah
berlangsung lebih dari 12 tahun lamanya, terasa bahwa reformasi
berjalan secara belum terarah.
2. Bila dinilai kembali kepada kondisi sebelum reformasi maka tampak
bahwa kekuasaan yang pada wkatu dulu bersifat otoriter, sekarang
harus bersifat demoratis, pemerintahan yang terpusat harus menjadi
desentralisasi. Pemerintahan yang bersifat tertutup dan penuh
larangan serta pengawasan seharusnya lebih terbuka, transparan,
serta kebebasan.
3. Rasionalitas dan objektivitas telah tersisihkan sehingga muncul
egoism, perseorangan maupun kelompok tanpa mengidahan etika,
moral, norma, dan hukum yang ada. Politik kekerasanbanyak
bermunculan dan berkembang mewarnai kehidupan baru dalam
masyarakat sehingga sulit mengatasi maupun kehidupan
bermasyarakat bangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hal-hal seperti
ini harus segera diatasi dan dihapuskan.

B. Dampak Positif
1. Dampak positif reformasi dapat kita rasakan dan kita saksikan
melalui berita-berita media massa, serta surat kabar dan internet
maupun pendapat-pendapat pengamat bidangnya. Munculnya
suasana baru yang bisa kita saksikan diantaranya terdapatnya
kebebasan pers, kebebasan akademis, kebabasan berorganisasi dan
lain-lain yang selama ini belum pernah ada, termasuk kebebasan

1
Mansoor Faqih dkk, Panduan Pendidikan Politik untuk Rakyat (Yogyakarta:Insist, 1999), hlm. 17

8
pemikiran dalam memperjuangkan pembebasan tahanan politik
maupun narapidana politik, hal ini bisa dinilai sebagai lambang dari
suatu kebebasan berpolitik di Indonesia.
2. Timbulnya kesadaran baru masyarakat bisa bertindak dan berbuat
sesuatu serta melakukan perubahan-perubahan diantaranya
pendobrakan atas rasa ketakutan berpolitik, terhadap proses
pembodohan yang telah berlangsung hampir lebih dari tiga puluh
tahun.
3. Memang, sebelum gerakan reformasi dimulai maka semua orang
merasakan kelemahan tidak bisa berbuat apa pun tanpa daya dan
takut berpolitik, berpendapat, dan berbicara. Namum, dengan
pengalaman baru bereformasi, masyarakat Indonesia, khususnya
para mahasiswa, mulai sadar dan memiliki serta dapat
memperjuangkan politik mereka yang benar-benar dapat membawa
ke arah perubahan yang positif, kesadaran baru ini penting sekali
artinya dalam rangka perjuangan selanjutnya menuju reformasi yang
total dan menyeluruh.

2.3 Kasus Hak Asasi Manusia Tentang Penculikan Para Aktifis


Kasus penculikan aktivis 1997/1998 di Jakarta adalah peristiwa
penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-
demokrasi saat masa orde baru, namun hingga kini belum sepenuhnya tuntas
karena belum terlaksananya sidang terhadap tersangka utama Prabowo
Subianto. Selain itu, beberapa dari mereka yang hilang belum juga
ditemukan. Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap:
Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR
bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang pengunduran diri Soeharto
pada 21 Mei. 2
Peristiwa diatas adalah kasus pelanggaran HAM berat, sebelum mengulas
peristiwa diatas lebih lanjut kita harus mengetahui pengertian HAM. Menurut

2
T..Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, (Jakarta: Yayasan LBHI, 1987), hlm. 5

9
John Locke, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati, tidak
ada kuasa apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini bersifat sangat
mendasar (fundamental) bagi hidup maupun kehidupan manusia serta
merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”.
Tujuan HAM adalah melindungi hak-hak yang telah ada sejak lahir 
mengatur hubungan antar manusia, dan mengatur perilaku manusia agar tidak
melanggar hak orang lain. Namun dengan adanya tujuan dari HAM ini masih
banyak yang melakukan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku, pada tahun
1998 terjadi pelanggaran ham yaitu penculikan para aktivis peristiwa ini
termasuk kedalampelanggaran HAM berat yaitu pelanggaran HAM yang
berbahaya dan mengancam nyawa manusia, seperti pembunuhan,
perampokan, perbudakan, penyanderaan dan sebagainya.
Setelah kronologis yang dinyatakana diatas pada bulan Mei 1998,
sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari
kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara
terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang
diculik pada periode pertama dan ketiga muncul. Selama Periode 1997/1998,

10
KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1
orang ditemukan meninggal yang bernaa Leonardus Gilang, 9 orang
dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto
Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria,
Aan Rusdianto, Mugianto, dan Andi Arief. Ke-13 aktivis yang masih hilang
dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah. Herman Hendrawana,
Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hambun, Noval Al Katiri, Ismail,
Ucik Siahaan, Hendra Hambali, Yading Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka
berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro
Mega, Mega Bintang, dan mahasiswa.
Berawal dari tahun 1996 saat mulai maraknya kampanye Pemilu, dimana
beberapa anggota PDI Perjuangan diculik tanpa ada berita atas kejelasan
nasib mereka. Berlanjut pada saat kerusuhan mei 1998, hingga penculikan
para aktivis Partai Rakyat Demokratik dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi. (29 April – 14 Maret 1997) selama masa kampanye pemilu
muncul fenomena kampanye “Mega Bintang”. Hal ini sesuai dengan perintah
Megawati Soekarno Putri agar massa pendukungnya tidak mendukung Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Soerjadi. Selanjutnya Mendagri
sekaligus ketua Panitia Pemilihan Indonesia, Yogie S Memet bersama dengan
ketua Panwaslakpus, Singgih serta Kasospol ABRI yang dijabat oleh
Syarwan Hamid, mengeluarkan larangan menggunakan spanduk Mega
Bintang karena melanggar ketentuan perundangan pemilu. Di lain sisi muncul
kelompok yang mengatasnamanakan Solidaritas Indonesia Untuk Amien dan
Mega (SIAGA) sebagai calon Presiden RI. Sebagai sekretaris Jenderal
SIAGA saat itu dijabat oleh Pius Lustrilanang. (2 Mei 1997) Sekelompok
aktivis pemuda dan mahasiswa memperingati hari pendidikan nasional. (1
Juni 1997) sekelompok aktivis pemuda dan mahasiswa yang eksis pada saat
itu memperingati hari lahirnya Pancasila versi Soekarno. (17 Agustus 1997)
sekelompok aktivis pemuda dan mahasiswa melakukan upacara proklamasi

11
tandingan memperingati hari kemerdekaan RI. (28 Mei 1997) berlangsung
pemilu dan dimenangkan kembali oleh partai Golkar dengan memenangi
lebih dari 70 % kursi DPR RI. (18 Februari 1998) terdengar ledakan di rumah
susun (rusun) tanah tinggi Jakarta pusat. Menurut hasil pemeriksaan
kepolisian, bahwa ledakan terjadi diakibatkan oleh bahan peledak yang dibuat
disalah satu kamar di rusun tersebut. Agus Priyono alias Agus Jabo salah
seorang aktivis SMID kemudian ditangkap di TKP dalam kondisi terluka. (1
– 11 Maret 1998) berlangsung sidang umum MPR RI dan hasilnya kembali
mengukuhkan Soeharto sebagai presiden RI dan didampingi oleh BJ
Habbibie sebagai wakil presiden. (Februari – Mei 1998) terjadi kasus
penculikan dan penghilangan paksa terhadap 23 orang penduduk sipil,
dimana sebagian dari mereka adalah aktivis pro-demokrasi. Dari jumlah
tersebut, yang dikembalikan hanya 9 orang, terdiri dari ; Aan Rusdiyanto
hilang pada 13 Maret 1998 diambil paksa dirumah susun klender Jakarta
Timur, Andi Arief hilang pada 28 Maret 1998 diambil paksa di Lampung,
Desmon J Mahesa hilang pada 4 Februari 1998 diambil paksa di Jakarta,
Faisol Reza hilang pada 12 Maret 1998 dikejar dan ditangkap di RS
Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat, Haryanto Taslam hilang pada 2 Maret
1998 saat mengendarai mobil dikejar dan diambil paksa di depan pintu
Taman Mini Indonesia Indah, Mugiyanto hilang pada 13 Maret 1998 diambil
paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur, Nezar Patria hilang pada 13
Maret 1998 diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur, Pius
Lustrilanang hilang pada 4 Februari 1998 diambil paksa di Jakarta, Raharja
Waluya Jati hilang pada 12 Maret 1998 dikejar dan ditangkap di RS
Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat. Sedangkan 13 orang yang belum kembali
hingga sekarang, terdiri dari; Dedy Hamdun hilang pada 29 Mei 1998 diambil
paksa di Jakarta, Hermawan Hendrawan hilang pada 12 Maret 1998 diambil
paksa di Jakarta, Hendra Hambali hilang pada 14 Mei 1998 diambil paksa di
Jakarta, Ismail hilang pada 29 Mei 1997 diambil paksa di Jakarta, M Yusuf
hilang pada 7 Mei 1997 diambil paksa di Jakarta, Nova Al Katiri hilang pada
29 Mei 1997 diambil paksa di Jakarta, Petrus Bima Anugrah hilang pada

12
minggu ke-3 bulan Maret 1998 diambil paksa di Jakarta, Sony hilang pada 26
April 1997 diambil paksa di Jakarta, Suyat Februari hilang pada tahun 1997
diambil paksa di Jakarta, Ucok Munandar Siahaan 14 Mei 1998 Diambil
paksa di Jakarta, Yadin Muhidin hilang pada 14 Mei 1998 diambil paksa di
Jakarta, Yani Afri hilang pada 26 April 1997 diambil paksa di Jakarta, Wiji
Tukul hilang pada Mei 1998 diambil paksa di Jakarta. (April 1998) Salah
seorang dari 23 orang yang diambil paksa, yaitu Leonardus Nugroho (Gilang)
dinyatakan hilang dan tiga hari kemudian ditemukan meninggal dunia di
Magetan Jawa Timur dengan kondisi luka tembak ditubuhnya. (30 Juni 1998)
KontraS menggelar siaran pers untuk menanggapi pernyataan Menhankam /
panglima ABRI Jendral TNI Wiranto dalam kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis 1997 – 1998. (3 Agustus 1998) Karena mendapat
desakan dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri, maka Panglima
ABRI Jendral TNI Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Tim ini diketuai oleh Jenderal TNI Subagyo HS selaku KSAD, kemudian
wakil ketua terdiri dari Letjen TNI Fachrul Razi (Kasum ABRI) dan Letjen
TNI Yusuf Kartanegara (Irjen Dephankam). Kemudian anggota terdiri dari
Letjen TNI Soesilo Bambang Yudhoyono (Kassospol ABRI), Letjen TNI
Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Letjen TNI Djamiri Chaniago
(Pangkostrad) dan Laksdya TNI Achmad Sutjipto (Danjen Akabri). (24
Agustus 1998) Letjen TNI Prabowo Subianto selaku mantan Panglima
Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari dinas
kemiliteran. (Februari 1999) Dalam rangka menindaklanjuti salah satu
keputusan Menhankam / Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dilakukan
penyelidikan dan penyidikan oleh Puspom ABRI, selanjutnya diketahui
adanya Tim Mawar yang dibentuk oleh Kopassus sebagai kelompok yang
terlibat dan diduga bertanggungjawab dalam kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis 1998.
Dalam kasus ini sebuah yang disebut dalang dari penculikkan para aktivis
adalah Tim Mawar. Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan
Komando Pasukan Khusus Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan

13
Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi penculikan para aktivis politik
pro-demokrasi. Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke
pengadilan Mahmiti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmiti II Jakarta
yang diketahui Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-
AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristino
(Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota
TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar
(Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroso Sulistiyo Budi, Kapten
Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20
bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI. Sedangkan, 6
prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan
sebagai anggota TBI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda,
Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing
dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto
dan Sertu. Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun. Menurut
pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristino di sidang
Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu dilaporkan kepada
komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa
dikonfirmasi. Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan kepada
para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira
telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas rekomendasi
itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen
TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun).
Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR. Serta dan Group-4
Kolonel Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena
ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan bawahannya.
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para
petinggi TNI saat itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan
Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi P.R.
serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas
dinyatakan bahwa penculikan tersebut dinyatakan bahwa penculikan tersebut

14
dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pemimpin Kopassus saat itu,
bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya. Mantan Komandan
Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat speerti
yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo
telah mengaku melakukan tindak pidana penculikkan sehingga harus diajukan
ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada
setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam
temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota
Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan
juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer.
Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi
pemecatan belum bisa dikenakan atas mereka. Semetara itu mereka tetap
meniti karier di TNI dan menduduki beberapa posisi penting, Bambang
Kristiono dipecat, Fausani Syahrial Multhazar pada tahun 2007 menjabat
Dandim Jepara dengan pangkat Letnan Kolonel, Nugroho Sulistiyo Budi,
Untung Budi Harto tahun 2007 menjabat Dandim Ambon dengan pangkat
Letnan Kolonel, Dadang Hendra Yuda pada September 2006 menjabat
Dandim Pacitan dengan pangkat Letnan Kolonel, Jaka Budi Utama pada 2007
menjabat Komandan Batalyon 115/Macan Lauser, Sauka Nur Chalid,
Sunaryo, Sigit Sugianto, Sukardi. Sedangkan Kolonel Infantri Chairawan
dipromosikan menjadi Danrem 011 Lilawangsa. Kabar terakhir dari Mayjen
Muchdi PR adalah kemunculan dalam sidang pembunuhan aktifis HAM
Munir untuk dimintai keterangan mengenai keterlibatan dirinya maupun BIN
dalam pembunuhan tersebut. Muchdi PR adalah mantan Deputi V BIN pada
saat Munir tebunuh.
Ketika kasus ini kembali mencuat, Panglima TNI menyatakan bahwa dari
hanya stau dari enam tentara yang dipecat yang telah benar-benar dipecat
yaitu Mayor (inf) Bambang Kristino. Lima tentara yang lain dinyatakan
terbebas dari hukuman pemecatan, dan hukuman penjaranyapun dikurangi.
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan
Rakyat tentang Penculikan Aktivis 19971998 hidup lagi. Pansus juga

15
berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang
Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu.
Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima
ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal
Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya dan
Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol
ABRI.
28 September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa
(Pansus Orang Hilang) merekomendasikan pemerintah, dalam hal ini
Kejaksaan Agung, segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk
mengadili aktor-aktor dibalik pencurian aktivis pro-demokrasi di tahun 1998-
1999.
Tuntutan yang kuat dari korban serta masyarakat luas, akhirnya membuat
Pemerintah melalui Panglima TNI (Jenderal TNI Wiranto), membentuk
Dewan Kehormatan Perwira (DKP) paad 3 Agustus 1998, dan mengangkat
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo
sebagai ketua. Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto dan Danjen
Kopassus Mayjen TNI Muchdi Purwopranjono adalah dua petinggi militer
yang diperiksa dalam kasus ini. Hasil sidang DKP memberhentikan Letjen
TNI Prabowo Subianto dari dinas aktif militer, dan memberhentikan Mayjen
TNI Muchdi Purwopranjono dari jabatannya sebagai Danjen Kopassus.
Penyelidikan DKP dilakukan secara tertutup, dan sampai dengan saat ini
dokumendokumen DKP tidak dapat diakses pihak manapun, termasuk korban
dan keluarga korban sebagai pihak yang dirugikan dalam kasus ini. Satu
tahun kemudian, 6 April 1999 digelar Mahkamah Militer, dengan terdakwa
11 orang anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar. Para
terdakwa hanya dituntut dengan kejahatan perampasan kemerdekaan secara
bersama-sama. Tanpa sepengetahuan keluarga korban, keputusan Mahkamah
Militer pada tingkat banding menghilangkan sanksi hukum berupa pemecatan
dari dinas kemiliteran kepada tujuh orang anggota tim mawar lainnya.
Sementara itu, 4 terpidana lainnya mendapatkan promosi kenaikan jenjang

16
karir dalam dinas kemiliteran. Proses dan putusan Pengadilan militer, jauh
dari rasa keadilan bagi keluarga korban, pertama, Pengadilan Militer hanya
untuk kasus penghilangan paksa untuk 9 orang yang sudah dikembalikan,
kedua, Pengadilan Militer tidak mengungkap pertanggungjawaban komando
dalam operasi yang dilakukan Tim Mawar, ketiga, 4 terpidana yang dijatuhi
hukuman dalam kasus ini, mendapatkan promosi kenaikan jenjang karir
dalam dinas kemiliteran, keempat, Pengadilan Militer gagal menjelaskan
nasib 13 korban yang lain, yang saat ini masih hilang, yang ketika itu disekap
di tempat yang sama dengan beberapa dari korban yang telah dilepaskan.
April 1998, Komnas HAM merekomendasikan pembentukan Tim Penyelidik
Nasional untuk kasus ini. Kendala Politis menyebabkan tim ini tidak dapat
segera dibentuk, walaupun pemerintahan terus berganti. Oktober 2005-2006,
Komnas HAM baru melakukan penyelidikan pro justisia untuk kasus ini.
Hasil penyelidikan Komnas HAM merekomendasikan, pertama, meminta
Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan
melakukan penyidikan baik terhadap peristiwa yang terjadi sebelum
berlakunya UU 26 Tahun 2000 maupun peristiwa yang sampai dengan
sekarang masih berlangsung (korban yang sampai sekarang belum kembali),
kedua, menyampaikan hasil penyelidikan kepada DPR RI dan Presiden untuk
mempercepat proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc, ketiga,
mengupayakan Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi para korban dan
keluarga korban. Tahun 2006, Komnas HAM menyerahkan hasil
penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke proses penyidikan
(Pasal 21 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000) , namun Jaksa Agung sampai
dengan saat ini tidak juga melakukan penyidikan, dengan alasan belum
terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan telah digelarnya pengadilan militer
untuk kasus ini (Nebis in idem). Menghadapi penolakan Jaksa Agung, korban
dan keluarga korban bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (kontraS) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) mendorong
Dewan Perwakilan rakyat (DPR) menggunakan fungsinya untuk mendorong
Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan. Sepanjang 2006-2008,

17
Upaya lobby ke parlemen dilakukan melalui audiensi ke fraksi partai politik
di DPR; Fraksi Partai Perjuangan Indonesia (F PDI), Fraksi Partai Golongan
Karya (F PG), Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa (F PKB) dan Komisi III DPR. Hasil audiensi
diantaranya, lima fraksi tersebut menyatakan mendukung upaya penuntasan
kasus penculikan dan penghilangan paksa, akan menyurati Presiden, akan
mendorong Komisi III DPR untuk membuat rapat khusus dengan Jaksa
Agung dan Komnas HAM serta mendorong penggunaan hak interpelasi
dalam forum lintas fraksi. Konstelasi politik di Parlemen, memutuskan
pembentukan Panitia Khusus (Pansus) orang hilang, melalui keputusan
sidang Paripurna DPR RI pada 27 Februari 2007, dengan ketua Panda
Nababan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia. Pansus secara faktual baru
bekerja Oktober 2008 dengan ketua Pansus yang baru, Efendi Effendi
M.S.Simbolon, dari F-(PDI-P) menggantikan Panda Nababan.
Pemerintah hingga saat ini belum memiliki solusi terkait rekomendasi
DPR mengenai penyelesaian kasus penghilangan dan penculikan aktivis
1997-1998. 
Menurut koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(Kontras) Haris Azhar hingga saat ini  belum ada jawaban dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR
tersebut.
"Menurut Denny sudah disampaikan kepada presiden, belum ada
jawaban dan beliau sedang memikirkannya. Bahkan presiden meminta
Denny mencarikan jawaban," ujar Haris usai menemui staf khusus Presiden
Bidang Hukum Denny Indrayana di kantornya, Rabu.
Haris mengatakan pertemuan ini menindaklanjuti pertemuan-pertemuan
sebelumnya pasca rekomendasi DPR tahun 2009 lalu. Pihaknya bersama
keluarga korban pun telah bertemu dengan Menko Polhukam, Menteri
Hukum dan HAM. Bahkan tiga minggu yang lalu bertemu dengan jaksa
agung.

18
Dalam pertemuan tadi, kata Haris, memang sudah ada kabar baik dari
Denny yang menyatakan telah berkomunikasi dan menyampaikan semua
yang dikeluhkan keluarga korban kepada presiden. Namun memang saat ini
Denny dan timnya masih mencarikan opsi terbaik dalam penyelesaian kasus
ini. " Satu setengah tahun sejak rekomendasi DPR,  belum ada respon dan 
kebijakan yang bisa dikeluarkan dalam waktu dekat,"ujarnya.
Padahal, kata Haris, apa yang mereka  tuntut  suatu hal yang logis.
Mereka khususnya menekankan dua poin penting yaitu mengungkap fakta-
fakta kebenaran dimana sebenarnya orang-orang yang hilang itu dan
penyelesaian proses hukumnya. "Itu sangat dasar sekali dan penting, secara
hukum seharusnya tidak sulit. Tapi secara politik memang itu yang tak
ada,"ujarnya.
Pada rapat paripurna 28 September 2009 silam, DPR merekomendasikan
empat hal yang harus dijalankan presiden terkait penyelesaian kasus
penculikan dan penghilangan aktivis. 
Empat rekomendasi itu, pertama,  presiden diminta membentuk
Pengadilan HAM Ad Hoc. Kedua, presiden serta segenap institusi
pemerintah dan  pihak–pihak terkait  segera melakukan pencarian terhadap
13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Ketiga,
merekomendasikan  pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan
kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang. Keempat, 
merekomendasikan  pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti
Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk
menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia. 
Menurut saya, cara penyelesaian kasus penculikan aktivis 1998 ialah
dengan cara, pemerintah harus lebih menekankan hukum yang berat pada
pelakuknya, lebih tegas dan bijaksana dalam memilah informasi yang didapat
dari berbagai pihak.  Sehingga di waktu yang akan datang, semua hal yang
telah terjadi tidak akan terjadi lagi. Karena era semakin maju, tingkat
kejahatan semakin banyak, maka sebagai negara yang telah merdeka

19
sebaiknya Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan atau dilakukan dengan
semestinya.3
DAFTAR PUSTAKA

Mansoor Faqih dkk,1999, Panduan Pendidikan Politik untuk Rakyat,


Insist,Yogyakarta
T..Mulya Lubis, 1987, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan:Jakarta
LBHI
A.Gunawan Setiardjar, 1993 Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila, Kanisius:Yogyakarta

3
A.Gunawan Setiardjar, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,
(Yogyakarta:Kanisius, 1993), hlm. 54

20

Anda mungkin juga menyukai