Anda di halaman 1dari 13

REFERENSI ARTIKEL

HIPERTENSI
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi adalah salah satu penyakit utama dengan angka mortalitas


dan morbiditas yang tinggi di Indonesia. Hipertensi adalah kondisi yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik adalah indikator utama dalam mendiagnosis
hipertensi (PERKI, 2015).
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi
yang tinggi pada penduduk umur 18 tahun ke atas Indonesia tahun 2007 adalah
sebesar 31,7%. Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan
Selatan (39,6%) dan terendah di Papua barat (20,1%). Tahun 2013 terjadi
penurunan prevalensi hipertensi pada penduduk di atas 18 tahun sebesar 5,9%
menjadi 25,8%. Prevalensi tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%) dan
terendah di Papua (16,8%). Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi
hipertensi pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Prevalensi
hipertensi pada perempuan adalah 28.8% sedangkan pada laki-laki adalah 22.8
(Depkes RI, 2013).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Hipertensi adalah salah satu penyakit utama dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di Indonasie. Hipertensi adalah kondisi yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik adalah indikator utama dalam mendiagnosis
hipertensi (PERKI, 2015).

2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas pada tahun
2007 adalah 31,7%. Prevalensi hipertensi pada tahun 2013 berkurang menjadi
25,8%. Angka prevalensi tertinggi terdapat di Belitung (30,9%) dan yang
terendah ada di Papua (16,8%). Prevalensi hipertensi pada perempuan lebih
tinggi daripada laki-laki. Prevalensi hipertensi pada perempuan adalah 22,8%
dan laki-laki adalah 22,8% (Depkes RI, 2013).

3. KLASIFIKASI
Hipertensi diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan
guideline ACC/AHA 2017. Pembagian klasifikasi hipertensi dapat dilihat
pada gambar 1. Klasifikasi baru tersebut menunjukkan bahwa tekanan darah
yang normal adalah <120/80 mmHg. Hipertensi stage 1 dimulai dengan
tekanan darah >130/80 mmHg. Penggunaan klasifikasi stage 3 dan konsep
hipertensi sistolik terisoloasi, yang sering ditemukan pada geriatric telah
dihilangkan. Penggunaan klasifikasi baru ini akan berdampak pada perubahan
angka prevalensi di masyarakat dan jumlah orang yang perlu menerima terapi
antihipertensi (Burnier, 2018).

2
Gambar 1. Klasifikasi Hipertensi (Burnier, 2018)

4. ETIOLOGI
Hipertensi dibagi menjadi dua berdasarkan etiologinya menjadi
hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer terjadi pada 80-
95% kasus. Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya. Ada beberapa faktor yang menjadi pencetus hipertensi primer,
salah satunya antara lain saraf simpatis yang hiperaktif, lingkungan, genetic,
obesitas, eksresi Na yang tidak sempurna, Ca dan Na yang tidak sempurna,
polisitemia, dan sistem renin angiotensin. Hipertensi sekunder adalah
hipertensi yang disebabkan oleh suatu penyakit tertentu, contohnya adalah
stenosis arteri renalis, penyakit pada parenkim ginjal, dan penyakit lainnya
(Tanto dan Hustrini, 2014).

5. PATOFISIOLOGI
Hipertensi adalah kondisi kronik peningkatan tekanan darah. Hipertensi
dalam jangka waktu panjang bisa menyebabkan kerusakan organ sehingga
menimbulkan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Tekanan darah
dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi vaskular sistemik. Pasien

3
dengan usia muda memiliki curah jantung yang meningkat, pasien yang lebih
tua memiliki peningkatan pada resistensi vaskular sistemik dan kekakuan
vaskular yang berperan pada terjadinya hipertensi. Tonus vaskular bisa
meningkat karena adanya peningkatan stimulasi α-adrenoceptor ataua
peningkatan peptide seperti angiotensin dan endotelin. Mekanisme lainnya
adalah peningkatan kalsium sitosolik pada otot polos pembuluh darah
sehingga terjadi vasokontriksi.
Regulasi volume dan hubungan antara tekanan darah dengan ekresi
natrium abnormal terjadi pada hipertensi primer. Bukti-bukti yang ada
mengindikasikan bahwa pengaturan tekanan natriuresis adalah kunci penting
dalam hipertensi (Foëx dan Sear, 2004).
Hipertensi adalah gangguan kronis sistemik multifactorial melalui
perubahan makrovaskuler dan mikrovaskuler. Perubahan makrovaskular
ditunjukkan dengan peningkatan kekuan arteri, terganggunya refleksi
gelombang dan amplifikasi tekanan nadi. Perubahan mikrovaskuler, termasuk
perubahan rasio dinding-ke-lumen arteriol, abnormalitas tonus vasomotor,
menyebabkan terganggunya perfusi jaringan dan kerentanan terhadap
iskemia. Kekakuan arteri dan perubahan mikrovaskuler adalah indikator
kerusakan organ (Yannoutsos et al., 2014).

6. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis hipertensi memerlukan beberapa tahap
pemeriksaan. Diagnosis hipertensi tidak bisa ditegakkan hanya dengan satu
kali pengukuran tekanan darah, kecuali pada hipertensi urgensi/emergensi.
Alur penegakan diagnosis hipertensi dapat dilihat pada gambar 2 (PERKI,
2015).
Diagnosis hipertensi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis sering menunjukkan pasien
asimptomatik. Beberapa pasien mengeluhkan sakit kepala, rasa berputar, dan
penghilatan kabur. Anamnesis juga perlu mempertimbangkan adanya faktor
risiko untuk hipertensi sekunder seperti penggunaan obat-obatan (kontrasepsi

4
hormonal, dekongestan, kortikosteroid, dan lainnya), sakit kepala
paroksismal, berkeringan, dan takikardi.
Pemeriksaan penunjang bisa dilakukan pada kasus hipertensi untuk
menilai komplikasi dan kecurigaan pada infeksi sekunder. Pemeriksaan
penunjang untuk menilai komplikasi meliputi pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, ureum kreatinin, gula darah, profil lipid, elektrolit, dan
urinalisis. Komplikasi pada jantung bisa dinilai dengan pemeriksaan
elektrokardiografi dan ekokardiografi. Pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan diagnosis sekunder meliputi pemeriksaan fungsi tiroid
(hiper/hipotiroidisme), kadar aldosterone (hiperaldosteronisme), dan kadar
kortisol urin 24 jam (sindrom Cushing) (Tanto dan Hustrini, 2014).

Gambar 2. Alur Penegakan Diagnosis Hipertensi (PERKI, 2015)

5
7. TATA LAKSANA
Tata laksana hipertensi dibagi menjadi dua yaitu tata laksana farmakologi
dan tata laksana nonfarmakologis. Tata laksana nonfarmakologis adalah pola
hidup sehat. Pola hidup sehat yang dianjurkan meliputi:
a. Penurunan berat badan
b. Memperbanyak asupan sayur dan buah
c. Mengurangi asupan garam (< 2gr/hari)
d. Olah raga 30-60 menit/hari, minimal 3 hari/minggu
e. Mengurangi konsumsi alkohol
f. Berhenti merokok
Terapi farmakologi dimulai pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak
bisa mencapai target tekanan darah melalui modifikasi gaya hidup dan
hipertensi derajat ≥ 2. Algoritme pemberian obat pada pasien hipertensi dapat
dilihat pada gambar 3 (PERKI, 2015).

Gambar 3. Pemberian Obat pada Pasien Hipertensi (PERKI, 2015)

6
Obat-obat yang digunakan sebagi obat antihipertensi terbagi menjadi beberapa
golongan yaitu:

1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida
sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.
Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Diuretik
yang digunakan adalah golongan tiazid, diuretik kuat, dan diuretik
hemat kalium.
a. Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid
antara lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan
diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat
golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama
(symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+
dan Cl- meningkat .
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henleasenden bagian epitel
tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-,
menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih
cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid.
Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan sebagai
antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau gagal jantung.
c. Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik
lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan
diuretik lain untuk mencegah hipokalemia.

7
2. Penghambat adrenergik
a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
Beta blocker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor
beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-
2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan
otot lurik. Penggunaan beta blocker akan menghambat
peningkatan cardiacoutput, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air.
b. Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)
Alfa-blocker yang selektif terhadp reseptor alfa-1 (α 1) yang
digunakan sebagai antihipertensi. Hambatan reseptor α1
menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga
menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi
menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya
menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian
dosis awal (fenomena dosis pertama) yang menyebabkan
refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada
pemakaian jangka penjang refleks kompensasi ini akan hilang,
sedangkan efek antihipertensinya akan bertahan.

3. Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan
relaksasi otot polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi
dan karena itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan
stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi
miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut
dapat menimbulkan angina pectoris, infarkmiokard atau gagal jantung
pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga
meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air.

8
Efek samping yang tidak diharapkan ini dapat dihambat oleh
penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β.

4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)


Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor)
menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari
prekusorangitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah,
ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah
meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor.
Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air
dan natrium.

5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker,


ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu
AT1 (Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat
terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Reseptor AT1
memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang berperan
dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula
adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum
jelas.
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi
renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi
dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis
ARB perlu diturunkan.
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak

9
menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak
mempengaruhi lipid dan glukosa darah.

6. Antagonis kalsium ((Calcium Channel Blocker (CCB)


Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion
kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung
dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan
kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls
elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi
dengan kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah
proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).

10
BAB III
SIMPULAN

1. Hipertensi adalah salah satu penyakit utama dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di Indonesia. Hipertensi adalah kondisi yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah yaitu tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada
pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik adalah indikator utama
dalam mendiagnosis hipertensi

11
DAFTAR PUSTAKA

Burnier, M. (2018). Hypertension Guidelines. European Heart Journal, 39(11),


pp.908-910.
Depkes RI (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia Tahun 2013, Jakarta: Depkes RI
Foëx, P. dan Sear, J. (2004). Hypertension: pathophysiology and treatment.
Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain, 4(3), pp.71-
75.
PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardivaskular.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pad
a_penyakit_Kardiovaskular_2015.pdf - diakses Oktober 2018.
Nafrialdi. (2009). ‘Antihipertensi’ dalam Sulistia Gan Gunawan (ed).
Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Tanto, C. dan Hustrini, N. M. (2014). Penyakit jantung koroner. Dalam : Tanto C,


Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA (eds). Kapita selekta kedokteran jilid
II. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 635-637.
Yannoutsos, A., Levy, B., Safar, M., Slama, G. and Blacher, J. (2014).
Pathophysiology of hypertension. Journal of Hypertension, 32(2), pp.216-
224.

12

Anda mungkin juga menyukai