Anda di halaman 1dari 6

HEGEMONI: SEKELUMIT PIKIRAN-PIKIRAN INDAH ANTONIO GRAMSCI

by Albert Kusen on Sunday, October 24, 2010 at 6:36pm

 Oleh: Albert WS Kusen

“Keluarlah dari kurungan Anda. Jelajahi jalan-jalan baru.

Pilihlah arah yang belum diketahui, dan nikmati lompatan mental

yang hebat dalam kegelapan” (Michaelson 2004).

Gerakan menumbangkan suatu rezim penguasa di negara yang menganut sistem demokrasi, adalah
sesuatu ’wajar’, jika tujuan penumbangannya didasari oleh suatu motivasi yang strategis dan
mendasar, yakni akumulasi konsekuensi atas penyalahgunaan kekuasaan rezim yang bersangkutan
dinilai sudah melebihi ambang batas toleransi (pelestarian korupsi, bias penegakkan hukum,
pelanggaran HAM, dan perusakan lingkungan), terutama bergeming mentaati amanat konstitusi.
Seperti yang dialami oleh rezim Ferdinand Marcos dan rezim Soeharto. Tumbangnya rezim Soeharto,
khususnya,  karena hegemoni - dominasi kekuasaan yang dibangun selama kurang lebih tiga dekade
di mata publik (khususnya kaum muda mahasiswa), nilai kekuasaannya sudah rapuh (termasuk krisis
ekonomi) sehingga kalah pengaruhnya dengan hegemoni demokrasi, keadilan dan kebenaran yang
diusung oleh aliansi-aliansi penumbang yang dikenal sebagai elemen-elemen reformasi.

Sehubungan dengan itu, catan ini coba mengungkapkan pikiran-pikiran indah Antonio Gramsci
tentang hegemoni. Sayangnya, justru pikiran Gramsci yang ramai diperbincangkan dunia, terutama di
era 60an-70an, justru di Indonesia terjadi sebaliknya. Saat rezim Orde Baru berkuasa dan beri’tikad
buruk dan kejam terhadap segala jenis ‘penyimpangan ideologi’ yang dilakukan rakyatnya, adalah
saat di mana pikiran-pikiran Gramsci tidak bisa disuarakan. Bahkan dalam lingkup akademis
sekalipun. Lebih jauh, nasib kritikus neo-marxis klasik ini menjadi semakin merana, karena hanya
sekedar untuk pertimbangan pun diharamkan.

Antonio Gramsci, seorang pemikir dan culturalist dari Italia, melihat bahwa makna kekuasaan yang
langgeng membutuhkan dua perangkat kerja. Istilah hegemoni yang ia munculkan berbarengan
dengan istilah lain, yakni state dan civil society. Ada dua kategori perangkat kerja kekuasaan, yakni
perangkat pertama berupa tindakan kekerasan yang bersifat memaksa, dilaksanakan oleh institusi
negara (state), bila hanya mengandalkan kekuatan memaksa, maka yang tercapai hanyalah
‘dominasi’; sedangkan perangkat kedua yang bersifat lunak, membujuk dilakukan oleh civil society,
yang tercapai hanyalah ‘hegemoni’ (lihat Roger Simon, 1991: Gramsci’s Political Thought: An
introduction, Lawrence and Wishart, London).

Makna Hegemoni

Gramsci adalah orang yang mulai menyadari mengapa kelas pekerja tidak lah harus menempuh jalan
revolusioner, mengapa malah memberi jalan pada fasisme (Gitlin, 1994:516).  Pada saat itu fasisme
bangkit dan Gramsci mengamati kegagalan pergerakan kelas pekerja Eropa Barat pada akhir tahun
20an dan 30an. Gramsci memperhatikan penghapusan determinisme ekonomi dari Marxisme dan
juga membangun kekuatan yang mempunyai tanggung jawab pada institusi superstruktural.
Sehingga ia berpegangan pada bahwa pertarungan kelas harus selalu melibatkan ide-ide dan
ideologi-ideologi. Ide-ide yang akan membuat revolusi dan juga yang akan mencegahnya.

Gramsci menekankan pada peran yang dilakukan oleh agen manusia dalam perubahan sejarah,
krisis ekonomi dengan sendirinya tidak akan menumbangkan kapitalisme. Gramsci lebih “dialektik”
dari pada “deterministik”; ia mencoba untuk membangun sebuah teori yang dikenal sebagai
otonomi, dan pentingnya budaya dan ideologi.

“It can be argued that Gramsci’s theory suggests that subordinated groups accept the ideas, values
and leadership of the dominant group not because they are physically or mentally induced to do so,
nor because they are ideologically indoctrinated, but because they have reason of their own.”
(Strinati, 1995: 166)

Dari pandangan Gramsci, supremasi kaum kelas menengah didasarkan pada dua fakta yang sama-
sama penting yaitu dominasi ekonomi dan kepemimpinan intelektual dan moral.

Apakah hegemoni ? Yang disadur dari Strinati:

“…Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintain
their dominance by securing the ’spontaneous consent’ of subordinate groups, including the working
class, through the negotiated construction of a political and ideological consensus which incorporates
both dominant and dominated groups.” (Strinati, 1995: 165)

Sebuah kelas dikatakan telah berhasil, jika ia berhasil mempengaruhi kelas masyarakat yang lain
untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural. Konsep ini mengasumsikan sebuah konsep
sederhana oleh mayoritas populasi untuk arah tertentu yang diusulkan oleh mereka dengan
kekuatan. Bagaimanapun juga konsep ini tidak selalu aman dan damai, malahan dapat
mengkombinasikan kekuatan psikis atau koersi dengan pancingan atau dorongan intelektual, moral
dan kultural. Konsep ini dapat dipahami sebagai “common sense”, sebuah alam budaya dimana
ideologi dominan dipraktekkan dan tersebar. Sesuatu yang muncul dari perlawanan kelas sosial dan
membentuk serta mempengaruhi pikiran orang. Itulah hegemoni, yaitu seperangkat ide-ide
sebagai alat yang digunakan oleh kelompok dominan untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok subordinat (rakyat) dalam kepemimpinan mereka.

“…the practices of a capitalist class or its representatives to gain state power and maintain it later.”
(Simon, 1982: 23)

Hegemoni bukan strategi eksklusif kaum bourgeois

Kelas pekerja dapat membangun hegemoninya tersendiri sebagai strategi untuk mengkontrol
negaranya (atau pemerintahannya). Namun, Gramsci menyatakan bahwa satu satunya cara untuk
menunjukkan kontrol kelas pekerja adalah dengan menarik perhatian kelompok lain dan kekuatan
sosial lain dan juga menemukan cara mengkombinasikan dengan kepentingan mereka. Jika kelas
pekerja ingin meraih hegemoni, maka ia harus secara sabar membangun kerjasama dengan minoritas
sosial yang ingin beraliensi. Koalisi baru ini harus hormat pada otonomi dari pergerakan, jadi setiap
kelompok dapat membuat kontribusi khusus pada kelompok sosialis. Kelas pekerja harus menyatukan
perjuangan demokratik melawan kelas kapital, sehingga akan memperkuat keinginan kolektif, yakni
keadilan – kesejahteraan bersama.

Mempertahankan hegemoni dari waktu ke waktu Hegemoni secara konstan disesuaikan dan
direnegosiasikan. Gramsci mengatakan bahwa hegemoni tidak dapat didapat begitu saja. Pada fase
pasca revolusioner (ketika kelas pekerja telah mendapatkan kontrol) fungsi kepemimpinan hegemonik
tidak hilang tetapi merubah karakternya. Namun, Gramsci menyebutkan dua mode berbeda kontrol
sosial: Kontrol koersif : termanifestasi melalui kekuatan langsung atau ancaman (dibutuhkan oleh
sebuah kepemimpinan ketika kepemimpinan hegemonik rendah atau lemah) Kontrol konsesual :
muncul ketika individu secara sekarela berasimilasi dengan pandangan dari kelompok yang
mendominasi (= kepemimpinan hegemonik)

Capitalism, Gramsci suggested, maintained control not just through violence and political and
economic coercion, but also ideologically, through a hegemonic culture in which the values of the
bourgeoisie became the ‘common sense’ values of all. Thus a consensus culture developed in which
people in the working-class identified their own good with the good of the bourgeoisie, and helped to
maintain the status quo rather than revolting.

Proses mutasi dari sebuah dominasi “hegemoni” sampai munculnya bentuk dominasi
yang baru. Secara periodikal biasanya dalam sebuah organisasi terjadi krisis dimana kelompok ata
rezim yang sedang memimpin mulai disintegrasi dan perpecahan. Celah ini menjadi kesempatan yang
baik bagi kelas subordinat untuk transcent batasan-batasannya kemudian membangun sebuah
pergerakan besar yang mampu menantang “kehendak” yang bercokol dan kemudian meraih
hegemoni. Tetapi, jika kesempatan itu tidak diambil, maka kekuatan seimbang akan kembali pada
kelas dominan, yang akan membangun kembali hegemoninya dengan pola baru, bahkan diperkuat
dengan aliansi yang baru. 

“The key to ‘revolutionary’ social change in modern societies does not therefore depend, as Marx had
predicted, on the spontaneous awakening of critical class consciousness but upon the prior formation
of a new alliances of interests, an alternative hegemony or ‘historical bloc’, which has already
developed a cohesive world view of its own. (Williams, 1992: 27).

Kekerasan bukanlah satu satunya jalan untuk mencapai dominasi hegemoni. Cara menantang
dominasi hegemoni adalah aktifitas politik. Tetapi kita harus mengerti sebuah perbedaan yang
diungkapkan oleh Gramsci bahwa ada dua macam strategi politik yang berbeda untuk meraih
kapitulasi predominasi hegemoni dan konstruksi masyarakat sosialis : yaitu serangan langsung
(frontal attack) atau perjuangan panjang (long struggle).

Yang pertama, serangan frontal, tujuan intinya adalah untuk menang dengan cepat. Cara ini
direkomendasikan untuk masyarakat dengan kekuatan negara yang tersentralisasi dan terdominasi, di
mana negara telah gagal membangun hegemoni yang kuat di antara masyarakat sipil. Contohnya,
revolusi Bolshevik di tahun 1917.

Yang kedua, kekuatan sosial mendapatkan kontrol melalui perjuangan budaya dan ideologis, selain
kontes politis dan ekonomis. Direkomendasikan bagi masyarakat kapitalisme barat liberal demokrat
(negara lemah tetapi hegemoni kuat). Contohnya, italia. negara seperti ini mempunyai masyarakat
sipil yang lebih ekstensif yang membutuhkan strategi panjang dan kompleks.

“The revolutionary forces have to take civil society before they take the state, and therefore have to
build a coalition of oppositional groups united under a hegemonic banner which usurps the dominant
or prevailing hegemony.” (Strinati, 1995:169).

Interpretasi Simbolik: Kasus Indonesia

Masih dalam wacana hegemoni Gramsci (dikutip dari Pinky Septandary 2009), dikatakan bahwa
kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni, yang dimaksudkan adalah peran
kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Relasi kekuasaan dan
kekerasan menjadi tidak kentara, dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang
bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Namun demikian, sebagaimana hegemoni
memberi toleransi bagi perbedaan dan bahkan perlawanan, hingga batas tertentu, sejauh dalam
kendali penguasa, pernah ditunjukkan oleh Gus Dur (mantan Presiden RI), ia dapat bermesraan
dengan siapa saja, mendukung tokoh terjungkal di satu hari, dan mengiklankan tokoh besar masa
depan di hari lain.

Dalam kaitan dengan perangkat pertama, bisa tercipta stabilitas dan keamanan. Misalnya (empirik),
pada era rezim orde baru berkuasa, kita pernah mengalami bagaimana  state atau negara yang
direpresentasi oleh rezim yang berkuasa dengan segala cara mendominasi kehidupan publik,
termasuk politik dan kehidupan birokrasi kita (lihat Heryanto 1999) .  Gejolak-gejolak yang
mengindikasikan adanya perlawanan (oposisi) atas nama dominasi, akan diredam dengan ‘kekarasan’
oleh aparat negara yang ditugaskan untuk itu. Masih segar dalam ingatan kita (Mei 1998), bagaimana
aparat negara kita memperlikatkan watak kekerasannya menghadapi gelombang unjuk rasa dari
mahasiswa bersama dengan  elemen-elemen sosial (reformis) lainnya demi untuk mempertahankan
dominasi rezim yang bersangkutan. Sehubungan dengan ini, patutlah untuk dipertanyakan, apakah
makna kekuasaan yang dipraktekkan oleh rezim sekarang ini (reformasi), mengaktualisasikan
‘dominasi’ atau ‘hegemoni’? Baik pada tingkat kuantitatif maupun kualitatif perlu diklarifikasi dengan
penelitian sosial lebih lanjut.

Dalam hegemoni budaya, terdapat pertautan yang erat antara relasi kuasa dan kekekerasan dalam
kehidupan manusia. Bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni, yang
dimaksudkan adalah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan.
Relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara, dalam artian kekerasan yang ada tertutupi
oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol (tebar pesona).
Hegemoni merupakan konsep penting bagi keragaman intelektual gagasan sosial modern dan
merupakan salah satu masalah konseptual paling serius dalam Marxisme. Hegemoni berkaitan
dengan ideologi yang memiliki cakupan melebih semua bidang sosial, budaya, dan ekonomi dalam
suatu masyarakat. Hegemoni adalah konsep yang digunakan untuk menjelaskan wawasan dunia yang
bertujuan membekukan dominasi suatu kelas ekonomi terhadap kelas yang lain. Dalam konteks
itulah, gagasan Gramsci tentang hegemoni budaya memiliki pengaruh yang sangat besar dewasa ini.
Problematika yang diidentifikasi Gramsci adalah dominasi mutlak kapitalisme sebagai suatu sistem
sosial dalam masyarakat yang gagal mengatasi berbagai permasalahan mendasar dalam hal
ketidakseimbangan politik, ekonomi dan sosial.

Bagaimana ideology hegemonik dapat membentuk dan mempengaruhi alam pikiran


masyarakat? Secara sistematis ideology hegemoni ’mencekoki’ individu dan masyarakat dengan
pikiran-pikiran tertentu, bias-bias tertentu, system-sistem preferensi tertentu. Di mana kekuasaan
cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial (Ibrahim, dkk, 1997). Secara
Individu maupun sosial seringkali pola pikir kita lebih banyak dipengaruhi atau dicekoki oleh pikiran-
pikiran tertentu yang acapkali sangat bias. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap tanah air dan
pelbagai hasilnya semakin lama semakin melemah karena adanya dorongan yang sangat kuat dari
kapitalisme global (catatan: termasuk, dorongan sentimen ethno-nationalism, religio-nationalism,
dan rats-nationalism). Akibatnya, kita lebih bangga menjadi konsumen barang-barang import
daripada tampil sebagai bangsa yang memproduksi atau menggunakan produk-produk dalam negeri;
lebih bangga mengibarkan panji fundamentalisme kepentingan bangsa lain ketimbang bhineka
tunggal ika; dan lebih bangga meraub keuntungan finansial (hedonistik) melalui transaksi ilegal
(korupsi).  Dalam konteks inilah, pendidikan nilai dan visi baru melalui pendidikan karakter
bangsa dapat menjadi suatu upaya dan langkah yang amat mendasar untuk melakukan counter
hegemony.
 

Refleksi

Sebagai refleksi atas makna hegemoni di atas, sebagai sistem simbol hegemoni memiliki kekuatan
untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial. Lewat proses pencitraan, sistem simbol
memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna, menggiring cara pandang, hingga
mempengaruhi praktik seseorang maupun kelompok. Simbol pencitraan memiliki kekuatan untuk
membentuk, melestarikan dan mengubah realitas. Kekuatan simbol ini mengandung energi magis
yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata
simbol. Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah
persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak
hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga
dipresentasikan lewat penggunaan logika simbol.

Akan tetapi, seandainya kejenuhan yang terjadi, maka proses pencitraan bisa tidak berlanjut, dan
kekuatan simbol yang sebelumnya dipercaya, diakui dan tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh
tata simbol bisa berubah makna sebaliknya. Implikasinya, yang terjadi adalah munculnya perlawanan
simbol hegemoni yang baru, yang ditandai dengan aksi-aksi protes bahkan berupa gerakan
penumbangan terhadap citra pesona yang memang sudah jenuh dinikmati oleh banyak kalangan.
Masalahnya proses pencitraan penumbangan,  sepertinya belum ditahbiskan oleh ibunda yang belum
sepenuhnya menyadari atas apa yang sedang terjadi.

-------------------------------

Sejarah bukanlah waktu yang terjadi dengan sendirinya, tapi dibentuk dan ditentukan oleh seseorang
yang memiliki kemampuan yang luar biasa (hegemoni) untuk mengubah jalannya sejarah (Inreb
Nesuk 2010).

 
Antonio Gramsci (January 23, 1891 - April 27, 1937) was an Italian writer (ethnic Albanian by his
father) and a politician, a leader and theorist of Socialism, Communism and anti-Fascism.
Gramsci was born in Ales, Italy, on the island of Sardinia, a relatively remote region of Italy that was
mostly ignored by the Italian government in favor of the industrialized north (the problem of Sardinia
had previously become part of the political activity of Giuseppe Mazzini in Turin's senate).
He was the fourth of seven sons of Francesco Gramsci, who had financial difficulties and troubles with
police, and also suffered imprisonment. He had to move about through several villages in Sardinia
until his family finally settled in Ghilarza, his most famous domicile.

Comment ·LikeUnlike · Share


 Basri Hasan, Aida Ces and 35 others like this.

 50 of 86

View previous comments

Dachlan Harahap wah . . .benny nakal . . . ya . . .

Flag
Yesterday at 7:38pm · LikeUnlike ·

Benny Wardhana om D.H...swry om....habis

Anda mungkin juga menyukai