Anda di halaman 1dari 19

HUKUM ACARA PIDANA

PRA PERADILAN dan GANTI KERUGIAN, REHABILITASI

DOSEN PENGAMPU : DANI AMRAN HAKIM, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Kelompok 1 :

1. Annas Zikri (1921020281)


2. Chana Indicha Lind Rosica (1921020299)
3. Dwi Sinta Rosalia (19210202317)
4. Imam Saparuddin (1921020242)
5. Jepri Saputra (1921020351)

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 1442 H / 2021 M


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita hanturkan kepada Allah SWT. karena berkat hidayah-NYA sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan pembahasan tentang “PRA PERADILAN
dan GANTI KERUGIAN, REHABILITASI” Sholawat serta salam kita curahkan kepada nabi
besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia dari jalan yang gelap menuju
kejalan yang terang (benar) dan telah menciptakan alat teknologi yang semakin canggih terus-
menerus seperti sekarang ini atas ridho Allah Swt.

Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan makalah ini,
penulis tetap menyadari penulisan makalah ini yang kurang dari kata sempurna dan banyak
terdapat kesalahan di makalah ini, seperti materi yang kurang dimengerti maupun cara penulisan
yang mungkin ada terdapat kesalahan kata. Kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak dan dosen pengampu yang telah membantu dalam penyelesaian
dan mengarahkan pembuatan makalah ini. Semoga Allah SWT, membalas kebaikan dan
mendapatkan balasan pahala yang lebih banyak. Amin.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Terlepas dari kekurangan-kekurangan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan menjadikan amal saleh bagi kami. Amin.

Bandar Lampung, 15 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN TERDEPAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Masalah 1

BAB II PEMBAHASAN 2

2.1 Istilah dan Pengertian Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi 2

2.2 Bentuk Acara Praperadilan 4

2.3 Pembahasan Kasus-kasus Praperadilan 6

2.4 Hak Tersangka / Terdakwa 7

2.5 Kompensasi dan Rehabilitasi 9

BAB III PENUTUP 12

3.1 Kesimpulan 12

3.2 Saran 13

iii
DAFTAR PUSTAKA 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis,
berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata.
Maka dari itu, Indonesia membutuhkan yang namanya sebuah hukum yang hidup atau yang
berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram dan teratur
bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum tersebut juga butuh
ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.Hukum Acara
Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan
menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau
membebaskan pidana. Dalam setiap kasus yang dijalani pastinya ada disebut ganti kerugian
didalam hukum pidana dan diatur dalam hukum acara pidana bilamana si korban
mengalami kerugian, baik itu materil maupun fisik. Serta bagian dalam hukum acara pidana
tentu juga diatur mengenai rehabilitasi, baik itu psikologi maupun ketergantungan sebuah
obat-obat terlarang. Dalam makalah ini, akan di bahas kedua pokok masalah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi?
2. Bagaimana bentuk Acara Praperadilan?
3. Bagaimana pembahasan Kasus-kasus Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi
2. Untuk bentuk Acara Praperadilan
3. Untuk mengetahui Kasus-kasus Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Istilah dan Pengertian Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi


a. Praperadilan

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan


memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang terhadap pasal 1 butir 10
KUHAP yang berisikan:
● Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
● Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
● Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan1.
Sudah jelas disini bahwa praperadilan antara lain merupakan suatu jaminan bagi
setiap orang yang menjadi korban kelalaian ataupun kesengajaan dari sikap tindak
penegak hukum. Seandainya penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya
dalam penangkapan dan penahanan tersebut melanggar ketentuan yang berlaku,
maka tersangka berhak mengajukan praperadilan.
Oleh karenanya, apapun yang diputus oleh praperadilan adalah yang khas,
spesifik dan mempunyai karakter sendiri. Sesuai dalam Pasal 77 KUHAP yaitu:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penanahan penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan2.

1 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, Tentang PraPeradilan, LN tahun 1981


Nomor 76 dan TLN Nomor 3209.

2 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, tentang Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili, LN
tahun 1981 Nomor 76 dan TLN Nomor 3209.
Dengan demikian, persoalan praperadilan telah menjadi wewenang Pengadilan
Negeri seperti kewenangan yang lainnya dalam memeriksa dan memutuskan
perkara pidana dan perdata3. Hanya saja dan perlu perhatian, bahwa macam proses
acara praperadilan bukanlah sebagian dari tugas memeriksa dan memutuskan
(mengadili) perkara tindak pidananya itu sendiri, sehingga putusan praperadilan
bukanlah merupakan tugas dan fungsi untuk menangani suatu tindak pidana (pokok)
yang berupa memeriksa dan memutus perkara tindak pidana yang berdiri sendiri
sebagai putusan akhir4.
Menghadapi perkembangan masyarakat yang demikian, maka kehadiran hukum
pidana tidaklah penting dalam upaya meminimalisir timbulnya akibat negatif yang
diinginkan. Korupsi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan yang digolongkan
kedalam extra ordinary crime. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah sangat meluas, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke
tahun, baik jumlah kasus, kerugian keuangan negara maupun modus operandinya,
dilakukan secara sistematis dan lingkupnya sudah merambah keseluruh sendi
kehidupan masyarakat, tidak hanya merugikan keuangan negara dan perekonomian
negara, tetapi juga pelanggaran terhadap hak- hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga di golongkan sebagai extra ordinary crime 5.

b. Ganti Kerugian
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya
memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian
lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata.
Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti

3 Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugantan Ganti Kerugian Dalam KUHAP,
Mandar Maju, Bandung, 2003, h.12.
4 Ibid, h.13
5 Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum, Adika Remaja Indonesia, Jakarta, 2006, h.35.
kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata
(mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah
mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang
ditimbulkan oleh tergugat terjadi.
c. Rehabilitasi
Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu
pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang
rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkatpenyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut,
ataupundiadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruanmengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalamundang-
undang ini.”

2.2 Bentuk Acara Praperadilan


Pemeriksaan dalam sidang praperadilan bukan hanya terhadap pemohon, tapi juga
pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan permintaan pengajuan pemeriksaan
praperadilan. Artinya, pejabat penyidik yang melakukan penangkapan ikut
dipanggil dan diperiksa. Seperti dijelaskan di atas, proses pemeriksaan praperadilan
mirip dengan sidang pemeriksaan perkara perdata.6 Pemohon seolah-olah bertindak
sebagai penggugat, sedangkan pejabat berkedudukan sebagai tergugat. Mungkin
juga ada yang beranggapan praperadilan cenderung memeriksa dan mengadili
pejabat yang terlibat tentang sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan. Dalam
persidangan praperadilan dikenal tahap pemeriksaan sebagai berikut:
- Pemeriksaan surat kuasa dan ataupun pembacaan isi surat permohonanya

6 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011, h.66-67
- Sidang berikutnya adalah jawaban dari termohon
- Sidang berikutnya adalah replik dari pemohon
- Sidang berikutnya adalah duplik dari termohon
- Sidang pembuktian baik saksi-saksi maupun surat-surat dari kedua belah pihak.
- Sidang pembacaan isi putusan hakim.
KUHAP tidak mengatur mengenai bentuk dari permohonan pemeriksaan
praperadilan, apakah harus tertulis atau dapat dilakukan secara lisan. Pada
praktiknya, permohonan pemeriksaan praperadilan dibuat secara tertulis oleh
penasihat hukum atau kuasa hukum dalam bentuk surat permohonan yang mirip
dengan bentuk dan susunan surat gugatan perdata. 7 Bentuk surat permohonan pada
umumnya terdiri dari:
Persyaratan formal berisi identitas pemohon dan termohon, Persyaratan materil
berisi dasar alasan dan dasar hukum (fundamentum patendi/posita), Uraian
mengenai apa yang dituntut/dimohon (petitum) untuk diputus oleh hakim
praperadilan, Penyerahan/Pendaftaran Permohonan Pemeriksaan Praperadilan.
Secara formal, kedudukan dan kehadiran pejabat dalam praperadilan bukan sebagai
pihak seperti sidang perkara perdata, meski yang dipakai adalah hukum acara
perdata. Kedudukan dan kehadiran pejabat hanya untuk memberi keterangan.
Keterangan pejabat didengar hakim dalam sidang sebagai bahan pertimbangan
dalam menjatuhkan putusan. Dengan demikian putusan hakim tidak hanya didasar
atas permohonan dan keterangan pemohon saja, tetapi didasarkan atas data, baik
yang ditemukan pemohon dan pejabat yang bersangkutan.

Keterangan dari pejabat berupa bantahan atas alasan permohonan yang diajukan
pemohon, sehingga proses pemeriksaan keterangan pejabat dalam praperadilan
mirip sebagai sangkalan atau bantahan dalam acara pemeriksaan perkara perdata.

7 Lihat H.M .A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2004), hal. 278 -279 .
Tetapi, seperti telah ditegaskan, pejabat bukanlah tergugat atau terdakwa, meski dari
segi prosedural kedudukan pejabat mirip tergugat semu atau terdakwa semu.

Statusnya sebagai tergugat semu atau terdakwa semu inilah yang membuat kalangan
aparat penyidik atau penuntut umum keberatan, karena mereka merasa digugat atau
didakwa oleh pemohon. Sikap kejiwaan dan pandangan ini yang mungkin membuat
pemeriksaan sidang praperadilan kurang lancar. Banyak keluhan dari PN tentang
kurang lancarnya pemeriksaan praperadilan, misalnya keengganan peajabat
menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Untuk menghindari sikap kejiwaan
dan pandangan yang sempit ini, pejabat harus berani menempatkan diri.
2.3. Pembahasan Kasus-kasus Praperadilan
Kasus –kasus praperadilan dalam praktik Putusan pengadilan negeri Jakarta utara
tanggal 24 desember 1982 nomor 07/1982/pra.per.
1. Kasus posisi
Pemohon Ny. R.R. Pandelaki dan Ny.J.A. pandelaki pemohon praperadilan bahwa
penahanan atas suami-suami mereka yang dilakukan oleh KOSEK MERTO702-01
koja tidak sah. Alasan yang dikemukakan oleh pemohon yang terpenting adalah
sebagai berikut.
a. Pemanggilan tidak sah
b. Tidak benar alasan termohon , bahwa R.R pandelaki dan J.A pandelaki
ditahan karena dikwatirkan akan melarikan diri atau setidak tidaknya akan
mempersulit pemeriksaan,karena:
1) Tempat tinggal tetap dan diketahui oleh termohon
2) Pekerjaan tetap
3) Keluarga (anak-anak dan istri dan sebagai kepala rumah tangga)
4) Rasa patuh dan taat untuk selalu memenuhi panggilan termohon.
c. Tidak benar tembusan surat perintah penahanan telah diterimakan kepada
keluarganya.

2. Putusan pengadilan

Hakim menyatakan bahwa surat perintah tahanan tidak sah karena telah
mengabaikan dan melanggar pasal 21 ayat (1),ayat (2) dan pasal 112 ayat (2)
KUHAP. Jadi mengabulkan permohonan-permohonan.
Tentang sah tidaknya pemanggilan tidak termasuk wewenang praperadilan dan
tidak berkaitan dengan sahnya penahanan. Penahanan dapat dilakukan melalui:
a) Tertangkap tangan
b) Tersangka ditangkap terlebih dahulu
c) Sesudah dipanggil dan menghadap
d) Tersaangka menyerahkan diri
Jadi penahan tidak selalu melalui pemanggilan. Dengan demikian putusan
praperadilan ini keliru karena telah mencampuradukkan sahnya penahanan dan
perlunya penahanan.
2.4. Hak Tersangka/Terdakwa
Didalam lingkungan sosial masyarakat sekarang ini banyak terjadi arti pelaku
adalah juga korban. kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Suatu
kejahatan pada umumnya mesti melibatkan dua pihak, yaitu pelaku dan
korban. Pelaku dan korban bagaikan dua sisi mata uang, di mana terjadi
kejahatan di situ muncul korban. Ada juga kejahatan tanpa korban
(victimless), dalam Korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut Daniel Glaser,
Victim is the person or organization injured by the crime.8 Memiliki arti
bahwa korban adalah orang atau organisasi yang mengalami kerugian karena
kejahatan.
Di dalam Undang – Undang Dasar 1945 pasal 28 D butir 1 mengatur bahwa, setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hal penerapan, masih
terdapat korban suatu tindak pidana yang diabaikan haknya dan biasanya korban
suatu tindak pidana hanya dilibatkan sebatas pada memberikan kesaksian sebagai
saksi korban. Akibatnya korban merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan/atau putusan yang dijatuhkan oleh Hakim

8 Daniel Glaser, Victim Survey Research : Theoretical Implications (dalam Israel Drapkin and
Emilio Viano, Op. Cit., hal. 31.
karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan korban. Menurut Arief Gosita
hak-hak korban itu antara lain :9
a. Si korban berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi atas
penderitaannya;
b. Berhak menolak kompensasi atau restitusi untuk kepentingan pembuat
korban (tidak mau menerima kompensasi atau restitusi karena tidak
memerlukannya;
c. Berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi untuk ahli warisnya, bila si
korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;
d. Berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi;
e. Berhak mendapatkan kembali hak miliknya;
f. Berhak menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan dirinya;
g. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban, bila
melapor dan menjadi saksi;
h. Berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum;
i. Berhak mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen).
Salah satu hak korban tindak pidana menurut Pasal 7 ayat (1) Undang - Undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah korban melalui LPSK berhak
mengajukan ke pengadilan berupa :
1. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
2. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak
pidana.

2.5. Kompensasi dan Rehabilitasi


Yang di maksud Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan
haknya10 dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang

9 Arief Gosita, Op. Cit., hlm. 52-53.


10 I Made Widnyana, 1992, Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, Denpasar, Hal.114.
diberikan pada tingkat penyidikan, dan penuntutan atau peradilan karena ditangkap,
ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan di dalam PP No 3 Tahun
2002 terdapat pengertian dari kompensasi dan restitusi. Dimana Kompensasi
adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya
sedangkan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Pengaturan tentang pemberian
restitusi, kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tindak pidana terrorisme
diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan, yaitu:
● UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme
● PP Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restutusi
dan Bantuan Terhadap Saksi dan Korban
● PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restutusi dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Pengaturan
pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU No. 15

tahun 2003, terdapat dalam beberapa pasalnya antara lain :


● Pasal 36 tentang kompensasi dan rehabilitasi.
● Pasal 37 tentang rehabilitasi
● Pasal 38 tentang pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
● Pasal 39 tentang rentang waktu pemberian kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi 3
● Pasal 40 tentang pelaksanaan pemberian kompensasi.11

11 (Moh.Alfath Tauhidillah, 2009, Korbansebagaidampakdaritindakpidanaterorisme : yang


anonym danterlupakan, diakses tanggal 27 Oktober 2013
Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme, mekanisme pemberian kompensasi, restistusi dan rehabilitasi terdapat
dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40. Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan
mengenai cara pengajuan dan rentang waktu pemberian kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi serta pelaksanaan dalam pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana
terorisme. Dalam PP Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi dan Bantuan Terhadap Saksi dan Korban, sudah di atur bagaimana
mekanisme dalam pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme.Dalam
pasal 2 dan pasal 3 bahwa korban terrorisme berhak mendapatkan kompensasi dan
restitusi yang permohonannya di ajukan oleh korban itu sendiri ataupun keluarga dan
kuasanya. Serta dapat mengajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas
kertas bematerai cukup kepada pengadilan melalui LPSK. Sedangkan Mekanisme
dalam pemberian rehabilitasi yaitu :
a. Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan di putus
bebas atau di putus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
b. Rehabilitasi di berikan dan di cantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan;
c. Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan
HAM;
d. Pelaksanaan pemberian rehabilitasi di laporkan kepada ketua pengadilan yang
memutus perkara disertai tanda bukti pelaksanaannya.12
Dalam PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Dimana dalam salah satu pasalnya
menjelaskan mengenai mekanisme pemberian restitusi bagi korban terorisme sebagai
korban pelanggaran HAM berat yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5).
Dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai ganti kerugian yang di erikan oleh negara

http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1261/1166 )
12 Bambang Waluyo, 2012, Viktimilogi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika,
Jakarta, Hal.96
karena pelaku tidak mampu mengganti sepenuhnya serta oleh pelaku dan dalam ayat
(5) di jelaskan bahwa pelaku atau akan mengganti kerugian atau kehilangan atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

1. a. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan


memutuskannya suatu perkara.

b. Ganti kerugian merupakan hak seseorang untuk mendapat pemenuhan


atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang.

c. Rehabilitasi adalah mengembangkan terhukum atau terpidana pada


kedudukan sosial yang semula.

2. Acara praperadilan Ada tiga hal yaitu :


a. Pemeriksaan sah atau tidaknya suatu Penangkapan atau Penahanan
(pasal 79)
b. Pemeriksaan sah atau tidaknya Suatu penghentian Penyidikan atau
penuntutan ( pasal 80)
c. Pemeriksaan tentang ganti kerugian Dan atau rehabilitasi Akibat
tidak sahnya Penangkapan atau penahanan Atau akibat sahnya
Penghentian penyidikan ( pasal 81)

3. Hak-hak tersangka dan terdakwa


● Hak untuk segera diperiksa, Diajukan di pengadilan dan di adili.
(Pasal 50 ayat (1),(2), dan (3))
● Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang di mengerti
olehnya tentang apa yang di sangkakan dan apa yang di dakwakan
(Pasal 51 butir a dan b)
● Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
dan hakim (pasal 52)
● Hak untuk mendapatkan juru bahasa ( Pasal 53 ayat (1))
● Hal untuk mendapatkan Bantuan hukum pada setiap Tingkat
pemeriksaan (pasal 54)
● Hak untuk mendapatkan nasihat hukum dari penasihat hukum Yang
di tunjuk oleh penjabat yang bersangkutan pada Semua tingkat
pemey bagi tersangka atau terdakwa yang di ancam dengan pidana
mati Dengan biaya cuma-cuma
● Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing Untuk
menghubungi dan berbicara Dengan perwakilan negaranya. ( Pasal
57 ayat (2))
● Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang
di tahan. (Pasal 58)
● Hak untuk di beritahukan kepada keluarganya atau orang lain yang
serumah Dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan yang
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan Bagi penangguhannya
dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud Yang
sama di atas (pasal 59 dan 60).
● Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungannya
dengan perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan
pekerjaan atau kekeluargaan. (Pasal 61)
● Hak Tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat
Dengan penasihat hukumnya. (Pasal 62)
● Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima
Kunjungan rohaniawan. (Pasal 63)
● Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi atau ahli.
(Pasal 64)
● Hak Tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian.
(Pasal 68)

4. Kompensasi Berdasarkan penjelasan pasal 35 (1) adalah, "ganti kerugian


Yang diberikan oleh negara karena Pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian Sepenuhnya yang menjadi tanggungjawab nya". Sedangkan yang
dimaksud dengan Rehabilitasi berdasarkan pasal 35 (3), "rehabilitasi adalah
Pemulihan kepada kedudukan semula, misalnya kehormatan, Nama baik,
jabatan, Atau hak-hak lain.
3.2. SARAN

Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari dalam membuat


makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan oleh karna itu
kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,


Politea,Bogor, 1995.
Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana, Dan Eksaminasi
Perkara Didalam Proses Pidana, Liberti, Yogyakarta, 1988.
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafia,
Jakarta, 1992.
Oemar Seno, Hukum Acara Pidana Dalam Propeksi, Erlangga,
Jakarta, 1993
M. Hanafi Asmawi, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Menurut KUHAP,
Pradya Paramita, Jakarta, 1990
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
Dalam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Anda mungkin juga menyukai