Hukum Acara Pidana Kel 1
Hukum Acara Pidana Kel 1
Disusun Oleh :
Kelompok 1 :
FAKULTAS SYARIAH
Puji dan syukur kita hanturkan kepada Allah SWT. karena berkat hidayah-NYA sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan pembahasan tentang “PRA PERADILAN
dan GANTI KERUGIAN, REHABILITASI” Sholawat serta salam kita curahkan kepada nabi
besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia dari jalan yang gelap menuju
kejalan yang terang (benar) dan telah menciptakan alat teknologi yang semakin canggih terus-
menerus seperti sekarang ini atas ridho Allah Swt.
Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan makalah ini,
penulis tetap menyadari penulisan makalah ini yang kurang dari kata sempurna dan banyak
terdapat kesalahan di makalah ini, seperti materi yang kurang dimengerti maupun cara penulisan
yang mungkin ada terdapat kesalahan kata. Kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak dan dosen pengampu yang telah membantu dalam penyelesaian
dan mengarahkan pembuatan makalah ini. Semoga Allah SWT, membalas kebaikan dan
mendapatkan balasan pahala yang lebih banyak. Amin.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan menjadikan amal saleh bagi kami. Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN TERDEPAN i
KATA PENGANTAR ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran 13
iii
DAFTAR PUSTAKA 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis,
berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata.
Maka dari itu, Indonesia membutuhkan yang namanya sebuah hukum yang hidup atau yang
berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram dan teratur
bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum tersebut juga butuh
ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.Hukum Acara
Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan
menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau
membebaskan pidana. Dalam setiap kasus yang dijalani pastinya ada disebut ganti kerugian
didalam hukum pidana dan diatur dalam hukum acara pidana bilamana si korban
mengalami kerugian, baik itu materil maupun fisik. Serta bagian dalam hukum acara pidana
tentu juga diatur mengenai rehabilitasi, baik itu psikologi maupun ketergantungan sebuah
obat-obat terlarang. Dalam makalah ini, akan di bahas kedua pokok masalah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi?
2. Bagaimana bentuk Acara Praperadilan?
3. Bagaimana pembahasan Kasus-kasus Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi
2. Untuk bentuk Acara Praperadilan
3. Untuk mengetahui Kasus-kasus Praperadilan dan Ganti Kerugian, Rehabilitasi
1
BAB II
PEMBAHASAN
2 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, tentang Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili, LN
tahun 1981 Nomor 76 dan TLN Nomor 3209.
Dengan demikian, persoalan praperadilan telah menjadi wewenang Pengadilan
Negeri seperti kewenangan yang lainnya dalam memeriksa dan memutuskan
perkara pidana dan perdata3. Hanya saja dan perlu perhatian, bahwa macam proses
acara praperadilan bukanlah sebagian dari tugas memeriksa dan memutuskan
(mengadili) perkara tindak pidananya itu sendiri, sehingga putusan praperadilan
bukanlah merupakan tugas dan fungsi untuk menangani suatu tindak pidana (pokok)
yang berupa memeriksa dan memutus perkara tindak pidana yang berdiri sendiri
sebagai putusan akhir4.
Menghadapi perkembangan masyarakat yang demikian, maka kehadiran hukum
pidana tidaklah penting dalam upaya meminimalisir timbulnya akibat negatif yang
diinginkan. Korupsi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan yang digolongkan
kedalam extra ordinary crime. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah sangat meluas, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke
tahun, baik jumlah kasus, kerugian keuangan negara maupun modus operandinya,
dilakukan secara sistematis dan lingkupnya sudah merambah keseluruh sendi
kehidupan masyarakat, tidak hanya merugikan keuangan negara dan perekonomian
negara, tetapi juga pelanggaran terhadap hak- hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga di golongkan sebagai extra ordinary crime 5.
b. Ganti Kerugian
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya
memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian
lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata.
Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti
3 Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugantan Ganti Kerugian Dalam KUHAP,
Mandar Maju, Bandung, 2003, h.12.
4 Ibid, h.13
5 Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum, Adika Remaja Indonesia, Jakarta, 2006, h.35.
kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata
(mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah
mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang
ditimbulkan oleh tergugat terjadi.
c. Rehabilitasi
Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu
pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang
rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkatpenyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut,
ataupundiadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruanmengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalamundang-
undang ini.”
6 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011, h.66-67
- Sidang berikutnya adalah jawaban dari termohon
- Sidang berikutnya adalah replik dari pemohon
- Sidang berikutnya adalah duplik dari termohon
- Sidang pembuktian baik saksi-saksi maupun surat-surat dari kedua belah pihak.
- Sidang pembacaan isi putusan hakim.
KUHAP tidak mengatur mengenai bentuk dari permohonan pemeriksaan
praperadilan, apakah harus tertulis atau dapat dilakukan secara lisan. Pada
praktiknya, permohonan pemeriksaan praperadilan dibuat secara tertulis oleh
penasihat hukum atau kuasa hukum dalam bentuk surat permohonan yang mirip
dengan bentuk dan susunan surat gugatan perdata. 7 Bentuk surat permohonan pada
umumnya terdiri dari:
Persyaratan formal berisi identitas pemohon dan termohon, Persyaratan materil
berisi dasar alasan dan dasar hukum (fundamentum patendi/posita), Uraian
mengenai apa yang dituntut/dimohon (petitum) untuk diputus oleh hakim
praperadilan, Penyerahan/Pendaftaran Permohonan Pemeriksaan Praperadilan.
Secara formal, kedudukan dan kehadiran pejabat dalam praperadilan bukan sebagai
pihak seperti sidang perkara perdata, meski yang dipakai adalah hukum acara
perdata. Kedudukan dan kehadiran pejabat hanya untuk memberi keterangan.
Keterangan pejabat didengar hakim dalam sidang sebagai bahan pertimbangan
dalam menjatuhkan putusan. Dengan demikian putusan hakim tidak hanya didasar
atas permohonan dan keterangan pemohon saja, tetapi didasarkan atas data, baik
yang ditemukan pemohon dan pejabat yang bersangkutan.
Keterangan dari pejabat berupa bantahan atas alasan permohonan yang diajukan
pemohon, sehingga proses pemeriksaan keterangan pejabat dalam praperadilan
mirip sebagai sangkalan atau bantahan dalam acara pemeriksaan perkara perdata.
7 Lihat H.M .A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2004), hal. 278 -279 .
Tetapi, seperti telah ditegaskan, pejabat bukanlah tergugat atau terdakwa, meski dari
segi prosedural kedudukan pejabat mirip tergugat semu atau terdakwa semu.
Statusnya sebagai tergugat semu atau terdakwa semu inilah yang membuat kalangan
aparat penyidik atau penuntut umum keberatan, karena mereka merasa digugat atau
didakwa oleh pemohon. Sikap kejiwaan dan pandangan ini yang mungkin membuat
pemeriksaan sidang praperadilan kurang lancar. Banyak keluhan dari PN tentang
kurang lancarnya pemeriksaan praperadilan, misalnya keengganan peajabat
menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Untuk menghindari sikap kejiwaan
dan pandangan yang sempit ini, pejabat harus berani menempatkan diri.
2.3. Pembahasan Kasus-kasus Praperadilan
Kasus –kasus praperadilan dalam praktik Putusan pengadilan negeri Jakarta utara
tanggal 24 desember 1982 nomor 07/1982/pra.per.
1. Kasus posisi
Pemohon Ny. R.R. Pandelaki dan Ny.J.A. pandelaki pemohon praperadilan bahwa
penahanan atas suami-suami mereka yang dilakukan oleh KOSEK MERTO702-01
koja tidak sah. Alasan yang dikemukakan oleh pemohon yang terpenting adalah
sebagai berikut.
a. Pemanggilan tidak sah
b. Tidak benar alasan termohon , bahwa R.R pandelaki dan J.A pandelaki
ditahan karena dikwatirkan akan melarikan diri atau setidak tidaknya akan
mempersulit pemeriksaan,karena:
1) Tempat tinggal tetap dan diketahui oleh termohon
2) Pekerjaan tetap
3) Keluarga (anak-anak dan istri dan sebagai kepala rumah tangga)
4) Rasa patuh dan taat untuk selalu memenuhi panggilan termohon.
c. Tidak benar tembusan surat perintah penahanan telah diterimakan kepada
keluarganya.
2. Putusan pengadilan
Hakim menyatakan bahwa surat perintah tahanan tidak sah karena telah
mengabaikan dan melanggar pasal 21 ayat (1),ayat (2) dan pasal 112 ayat (2)
KUHAP. Jadi mengabulkan permohonan-permohonan.
Tentang sah tidaknya pemanggilan tidak termasuk wewenang praperadilan dan
tidak berkaitan dengan sahnya penahanan. Penahanan dapat dilakukan melalui:
a) Tertangkap tangan
b) Tersangka ditangkap terlebih dahulu
c) Sesudah dipanggil dan menghadap
d) Tersaangka menyerahkan diri
Jadi penahan tidak selalu melalui pemanggilan. Dengan demikian putusan
praperadilan ini keliru karena telah mencampuradukkan sahnya penahanan dan
perlunya penahanan.
2.4. Hak Tersangka/Terdakwa
Didalam lingkungan sosial masyarakat sekarang ini banyak terjadi arti pelaku
adalah juga korban. kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Suatu
kejahatan pada umumnya mesti melibatkan dua pihak, yaitu pelaku dan
korban. Pelaku dan korban bagaikan dua sisi mata uang, di mana terjadi
kejahatan di situ muncul korban. Ada juga kejahatan tanpa korban
(victimless), dalam Korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut Daniel Glaser,
Victim is the person or organization injured by the crime.8 Memiliki arti
bahwa korban adalah orang atau organisasi yang mengalami kerugian karena
kejahatan.
Di dalam Undang – Undang Dasar 1945 pasal 28 D butir 1 mengatur bahwa, setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hal penerapan, masih
terdapat korban suatu tindak pidana yang diabaikan haknya dan biasanya korban
suatu tindak pidana hanya dilibatkan sebatas pada memberikan kesaksian sebagai
saksi korban. Akibatnya korban merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan/atau putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
8 Daniel Glaser, Victim Survey Research : Theoretical Implications (dalam Israel Drapkin and
Emilio Viano, Op. Cit., hal. 31.
karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan korban. Menurut Arief Gosita
hak-hak korban itu antara lain :9
a. Si korban berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi atas
penderitaannya;
b. Berhak menolak kompensasi atau restitusi untuk kepentingan pembuat
korban (tidak mau menerima kompensasi atau restitusi karena tidak
memerlukannya;
c. Berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi untuk ahli warisnya, bila si
korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;
d. Berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi;
e. Berhak mendapatkan kembali hak miliknya;
f. Berhak menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan dirinya;
g. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban, bila
melapor dan menjadi saksi;
h. Berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum;
i. Berhak mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen).
Salah satu hak korban tindak pidana menurut Pasal 7 ayat (1) Undang - Undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah korban melalui LPSK berhak
mengajukan ke pengadilan berupa :
1. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
2. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak
pidana.
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1261/1166 )
12 Bambang Waluyo, 2012, Viktimilogi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika,
Jakarta, Hal.96
karena pelaku tidak mampu mengganti sepenuhnya serta oleh pelaku dan dalam ayat
(5) di jelaskan bahwa pelaku atau akan mengganti kerugian atau kehilangan atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA