Bab Iv: Hasil Dan Pembahasan
Bab Iv: Hasil Dan Pembahasan
Pada tahapan awal dalam penelitian ini akan dibahas mengenai identitas responden
berupa pertanyaan awal dalam kuisioner untuk mengetahui demografi responden sebagai
dasar tambahan analisa pada hasil statistik dan pembahasan yang akan di bahas pada sub bab
selanjutnya.
Gender
Pria
37%
Wanita
63%
Pada pie chart di atas diketahui bahwa sebagian besar responden berasal dari
kalangan wanita yaitu sebesar 63% sedangkan dari kalangan pria sebesar 37% hal ini
pembelian dalam pembelanjaan online didominasi oleh kalangan wanita dibandingkan pria
(Hussain et al., 2020), sehingga banyak penelitian yang melakukan uji beda diantara gender
18-25
85%
Pada pie chart di atas diketahui bahwa mayoritas dari responden dalam penelitian ini
berusia 18-25 tahun yaitu sebesar 85%, usia 26-35 tahun sebesar 8%, usia 36-45 tahun
sebesar 5%, dan usia kurang dari 18 tahun sebesar 2%. Usia 18-25 tahun memang
merupakan usia produktif dan paling mengenal dengan kemajuan teknologi atau yang biasa
disebut dalam dunia marketing dengan istilah generasi digital native (Prensky, 2001) yang
mana generasi yang paling cepat dalam adopsi teknologi terutama ketika teknologi
berkembang dalam e-commerce dikarenakan generasi ini telah tumbuh Bersama kehadiran
internet.
E-Commerce
Blibli.com
Bukalapak
4% 4% Lazada
Tokopedia 3%
23%
Shopee
66%
Pada pie chart di atas diketahui bahwa mayoritas responden paling sering
menggunakan pembelanjaan online di Shopee yaitu sebesar 66%, Tokopedia sebesar 23%,
Bukalapak sebesar 4%, Blibli.com sebesar 4%, dan Lazada sebesar 3%. Shopee memang
menjadi E-Commerce yang memiliki pertumbuhan pengguna baru terbanyak saat ini (Lis,
2018) sehingga hasil dari ini tidak mengejutkan bahwa sebagian besar responden lebih
Ya Tidak
Pada pie chart di atas diketahui bahwa seluruh responden menjawab YA atas
pertanyaan apakah anda memiliki sosial media? Pertanyaan ini merupakan salah satu
pertanyaan filter pada penelitian ini, dikarenakan bagi responden jika ada yang menjawab
tidak maka akan dikeluarkan sebagai data, hal ini dikarenakan tidak valid untuk mengukur
sosial media marketing jika responden tidak memiliki sosial media. Pertanyaan penyaringan
ini cukup penting untuk menghindari bias dalam penelitian ini, dikarenakan perlu bagi
peneliti untuk memastikan keabsahan responden dalam menjawab responden yang dibagikan
Ya Tidak
Pada pie chart di atas memberikan informasi bahwa seluruh responden menjawab YA
dalam pertanyaan apakah mereka sebagai konsumen pada suatu e-commerce. Pertanyaan ini
bahwa para responden merupakan bagian dari konsumen salah satu e-commerce di
e-commerce di Indonesia, fokus kajian utama dalam penelitian ini adalah dalam industri e-
commerce di Indonesia.
Mengikuti Akun E-Commerce di Sosial Media
Ya Tidak
Pada pie chart di atas diketahui bahwa seluruh responden menjawab YA atas
pertanyaan responden dalam mengikuti akun resmi e-commerce di sosial media. Pertanyaan
ini merupakan salah satu pertanyaan penting untuk memahami konsep marketing e-
commerce di sosial media. Pada beberapa fenomena banyak terjadi konsumen e-commerce
yang memiliki sosial media mereka tidak mengikuti akun resmi e-commerce yang mereka
gunakan, sehingga akan menjadi bias jika beberapa pertanyaan kuesioner memiliki
pernyataan mengenai aktivitas pemasaran e-commerce di sosial media yang sebagian besar
dilakukan melalui akun resmi mereka. Penelitian ini akan menjadi presisi jika semua
Pengusah
Pegawai
Negeria
Pegawai
Swasta1% 6%
8%
Pelajar/M
ahasiswa
85%
Pada pie chart menjelaskan bahwa sebagian besar responden di dominasi oleh pelajar
dan mahasiswa sebesar 85%, pegawai swasta 8%, pengusaha 6%, dan pegawai negeri 1%.
Pelajar atau mahasiswa memang salah satu pasar utama pada sosial media marketing karena
aktivitas mereka di media sosial jauh lebih banyak dibandingkan yang lain dikarenakan
waktu dan adopsi yang lebih cepat dibandingkan generasi lainnya. Pemasaran media sosial
dalam beberapa penelitian memang cukup tepat untuk menyasar ke pasar anak muda atau
digital native.
Pada model penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian ini
menggunakan analisis Structural Equation Modeling (SEM) dan perangkat lunak yang
digunakan untuk penelitian ini adalah IBM SPSS AMOS. Model teoritis yang telah
digambarkan pada diagram jalur akan dianalisis berdasarkan data yang diperoleh.
Model struktural adalah hubungan antara variabel laten (Joe F Hair et al., 2011).
Variabel laten adalah variabel yang tidak dapat diukur secara langsung dan memerlukan
beberapa variabel indikator untuk analisis faktor konfirmatori. Pada sebuah Model SEM,
sebuah variabel laten dapat berfungsi sebagai variabel independen atau dependen (Ghozali,
merepresentasikan variabel laten untuk diukur yaitu dengan menguji validitas dan reliabilitas
Pada gambar model di atas diketahui bahwa terdapat model menggunakan beberapa
konstruk, yaitu SMM sebagai konstruk eksogen dan BE, CR, dan RPI sebagai konstruk
endogen. Model penelitian ini menggunakan model second order sehingga penelitian ini
berusaha melakukan analisa mendalam sampai pada level dimensi dari sebuah variabel (Hair
et al., 2014), akan tetapi konstruk RPI adalah satu-satunya variabel yang tidak menggunakan
second order dikarenakan variabel ini merupakan konstruk endogen murni yang dilakukan
analisa faktor yang menjelaskan variabel tersebut, maka dapat diukur secara langsung
Uji Validitas dengan Uji CFA atau Uji Validitas konstruk adalah mengukur
kemampuan konstruk (indikator) merefleksikan variabel latennya (Lind et al., 2018). Dari uji
validitas tersebut, hasilnya dapat dinyatakan seluruh indikator valid memenuhi kriteria atau
dapat dinyatakan pula bahwa item indikator dan dimensi mampu merefleksikan variabel
latennya, karena nilai Critical Ratio (CR) lebih besar dari 1,96 dan Probability (P) lebih kecil
dari 0,05. Tanda *** adalah signifikan yang kecil dari 0,001.
Uji validitas data merupakan tahapan yang harus dilalui sebuah model penelitian
sebelum sampai pada uji pengaruh maupun uji korelasi (Lind et al., 2018). Secara umum,
reliabilitas data menunjukkan kehandalan data penelitian. Hasil Uji Validitas sebagai output
Pada pengujian validitas SEM diketahui melalui nilai estimate. Perlu diingat bahwa
validitas dilakukan untuk menguji setiap item indikator variabel, apakah mampu dalam
mengukur sebuah variabel dalam sebuah penelitian, hal ini dikarenakan penelitian ini
menggunakan instrument kuesioner sehingga perlu ada konfirmatori faktor analisis. Ghozali
(2018) menjelaskan bahwa item indikator dari variabel disebut valid jika nilai estimate >
0,05.
Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.
Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator
dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur dimensi
yang dimiliki oleh variabel Social Media Marketing. Pada tahapan selanjutnya dalam
EN
<--- EN ,759
3
EN
<--- EN ,844
2
EN
<--- EN ,782
1
I3 <--- I ,728
I2 <--- I ,781
I1 <--- I ,638
T3 <--- T ,837
T2 <--- T ,715
T1 <--- T ,713
C3 <--- C ,730
C2 <--- C ,768
C1 <--- C ,781
W3 <--- W ,691
W2 <--- W ,802
W1 <--- W ,794
Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator EN2 memiliki koefisien terbesar
dalam mengukur dimensi entertainment yaitu sebesar 0,844 dan seluruh item indikator yang
lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi entertainment. Pada tabel di atas
diketahui bahwa item indikator I2 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi
interaction yaitu sebesar 0,781 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas
dalam mengukur dimensi interaction. Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator T3
memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi trendiness yaitu sebesar 0,837 dan
seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi trendiness.
Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator C1 memiliki koefisien terbesar dalam
mengukur dimensi customization yaitu sebesar 0,781 dan seluruh item indikator yang lain
telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi customization. Pada tabel di atas diketahui
bahwa item indikator W2 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi E-Wom yaitu
sebesar 0,802 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur
dimensi E-Wom.
Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.
Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator
dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur dimensi
yang dimiliki oleh variabel Customer Relationship. Pada tahapan selanjutnya dalam
<--
IT3 IT ,712
-
<--
IT2 IT ,742
-
<--
IT1 IT ,793
-
<--
TS4 TS ,795
-
<--
TS3 TS ,714
-
<--
TS2 TS ,710
-
<--
TS1 TS ,845
-
Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator IT1 memiliki koefisien terbesar
dalam mengukur dimensi intimacy yaitu sebesar 0,793 dan seluruh item indikator yang lain
telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi intimacy. Pada tabel di atas diketahui bahwa
item indikator TS1 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi trust yaitu sebesar
0,845 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi
trust.
Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.
Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator
dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur dimensi
yang dimiliki oleh variabel Brand Equity. Pada tahapan selanjutnya dalam memperjelas
BAS BA
<--- ,731
4 S
BAS BA
<--- ,756
3 S
BAS BA
<--- ,705
2 S
BAS BA
<--- ,728
1 S
Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator BA1 memiliki koefisien terbesar
dalam mengukur dimensi brand awareness yaitu sebesar 0,737 dan seluruh item indikator
yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi brand awareness. Pada tabel di
atas diketahui bahwa item indikator BAS3 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur
dimensi brand association yaitu sebesar 0,756 dan seluruh item indikator yang lain telah
lolos uji validitas dalam mengukur dimensi brand association. Pada tabel di atas diketahui
bahwa item indikator PQ1 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi perceive
quality yaitu sebesar 0,806 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam
mengukur dimensi perceive quality. Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator BL3
memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi brand loyalty yaitu sebesar 0,803 dan
seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi brand
loyalty.
Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.
Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator
dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur variabel
Repurchase Intention. Pada tahapan selanjutnya dalam memperjelas gambar di atas, dapat
RPI
<--- RPI ,742
1
RPI
<--- RPI ,854
2
RPI
<--- RPI ,835
3
RPI
<--- RPI ,690
4
Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator RPI2 memiliki koefisien terbesar
dalam mengukur variabel repurchase intention yaitu sebesar 0,854 dan seluruh item indikator
yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur variabel repurchase intention.
4.4 Reliabilitas
Pada dasarnya Uji Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur yang dapat
memberikan hasil yang relatif sama apabila dilakukan pengukuran kembali pada subyek yang
sama. Uji Reliabilitas dalam SEM dapat diperoleh melalui rumus sebagai berikut (Ghozali,
2018):
Keterangan:
1. Standard loading diperoleh dari standardized loading untuk tiap indikator yang
2. ΣEj adalah measurement error dari tiap indikator. Measurement error dapat diperoleh
reliabilitas alpha sebesar 0,5 atau lebih. Tabel di bawah ini menunjukkan uji reabilitas
variabel.
Variabel Reliability
SMM 0.913
BE 0.920
CR 0.883
RPI 0.861
Berdasarkan hasil output reliabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa semua variabel
penelitian memiliki nilai reliabilitas di atas 0,7, Social Media Marketing memiliki construct
reliability 0,913 hal ini memberikan informasi bahwa variabel Social Media Marketing telah
lolos uji reliabilitas karena nilainya di atas 0,7. Brand Equity memiliki construct reliability
0,920 hal ini memberikan informasi bahwa variabel Brand Equity telah lolos uji reliabilitas
karena nilainya di atas 0,7. Customer Relationship memiliki construct reliability 0,883 hal ini
memberikan informasi bahwa variabel Customer Relationship telah lolos uji reliabilitas
karena nilainya di atas 0,7. Repurchase Intention memiliki construct reliability 0,861 hal ini
memberikan informasi bahwa variabel Repurchase Intention telah lolos uji reliabilitas karena
nilainya di atas 0,7. Dapat disimpulkan bahwa indikator yang digunakan dalam setiap
Goodness of fit index (GFI) adalah ukuran kesesuaian antara model yang dihipotesiskan
dan matriks kovariansi yang diamati. Adjusted goodness of fit index (AGFI) mengoreksi GFI
yang dipengaruhi oleh banyaknya indikator dari masing-masing variabel laten. GFI dan AGFI
berkisar antara 0 dan 1, dengan nilai lebih dari 0,9 secara umum menunjukkan kecocokan
Indeks kecocokan relatif (juga disebut "indeks kecocokan inkremental" dan "indeks
dengan model dasar (Byrne, 2012). Model nol ini hampir selalu berisi model di mana semua
variabel tidak berkorelasi, dan sebagai hasilnya, memiliki chi-square yang sangat besar
(menunjukkan kecocokan yang buruk). Indeks kecocokan relatif mencakup indeks kecocokan
ketidaksesuaian antara data dan model yang dihipotesiskan, sambil menyesuaikan masalah
ukuran sampel yang melekat dalam uji chi-kuadrat kecocokan model. Nilai CFI berkisar dari
0 hingga 1, dengan nilai yang lebih besar menunjukkan kesesuaian yang lebih baik (Hair et
al., 2014). Sebelumnya, nilai CFI 0,90 atau lebih besar dianggap menunjukkan kecocokan
model yang dapat diterima. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa nilai yang lebih
besar dari 0,90 diperlukan untuk memastikan bahwa model yang salah spesifikasi tidak
dianggap dapat diterima (Kline, 1998). Dengan demikian, nilai CFI 0,95 atau lebih tinggi saat
ini diterima sebagai indikator kecocokan yang baik (Byrne, 2012). Pada gambar di bawah ini
Pada saat melakukan model persamaan struktural (SEM) atau analisis faktor
Beberapa paket perangkat lunak SEM populer (seperti AMOS) menganggap variabel bersifat
kontinu dan memberikan hasil terbaik saat data penelitian didistribusikan secara normal.
Mahalanobis untuk menguji normalitas. Penyimpangan yang ditandai dari garis lurus
menunjukkan bahwa data tidak normal multivariat. Pada tabel di bawah ini yang memiliki
Observation Mahalanobis d-
p1 p2
number squared
89 116,508 ,000 ,000
3 105,132 ,000 ,000
61 92,187 ,000 ,000
78 89,214 ,000 ,000
182 88,688 ,000 ,000
94 87,902 ,000 ,000
26 80,184 ,000 ,000
76 78,988 ,000 ,000
129 78,428 ,000 ,000
179 77,162 ,000 ,000
Pada analisis melalui perangkat lunak AMOS, uji bawaan untuk normalitas melibatkan
perhitungan nilai Kurtosis yang lebih besar dari 3,00 dapat menunjukkan bahwa suatu
variabel tidak berdistribusi normal (Westfall & Henning, 2013). Untuk menilai normalitas,
memeriksa indeks normalitas univariat dan multivariat sering membantu dalam melakukan
uji kelayakan model. Distribusi univariat dapat diperiksa untuk mengetahui outliers dan
kemiringan serta kurtosis. Distribusi multivariasi diperiksa untuk normalitas dan outliers
multivariat.
Pada tabel di atas karena nilai dari item indikator di bawah ketentuan maka keempat
item indikator tersebut dihapus dari model penelitian. Pada tahapan selanjutnya dalam
memodifikasi model diperlukan melakukan hubungan antara error yang memiliki nilai M.I
tertinggi maka akan dihapus untuk mendapatkan model yang lebih baik (Gaskin, 2013). Pada
tabel di bawah ini terdapat 2 eror tertinggi yang didapat berdasarkan model fit indices di
dalam perangkat lunak AMOS yang secara otomatis dapat mendeteksi nilai M.I tertinggi.
M.I. Par Change
e13
<--> e134 76,718 ,067
3
e13
<--> e133 40,910 ,050
2
Berdasarkan tiga tahapan dalam memperbaiki normalitas data sehingga data yang
digunakan dalam penelitian ini lolos uji normalitas maka gambar model dapat diubah seperti
di bawah ini.
kelompok data, penghapusan beberapa item indikator dalam model penelitian yang tidak
sesuai dengan ketentuan normalitas, dan penghubungan eror yang memiliki nili M.I tinggi
dalam model ini. Pada tabel di bawah ini diketahui bahwa terjadi banyak perbaikan dalam
model, walaupun tidak semua indeks memenuhi asumsi, akan tetapi hal ini dikatakan wajar
dikarenakan mendekati nilai yang direkomendasikan, maka model tersebut masih layak untuk
dilanjutkan. Ini artinya model tersebut cukup fit dan layak untuk digunakan. Menurut (Hair et al.,
2014), meskipun nilai probability level tidak sesuai rekomendasi, tetapi nilai indeks yang lain
Hasil tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan dapat diterima. CFI dan TLI
sudah mendekati nilai acuan mereka, yang bisa dikatakan sangat baik. Dari beberapa uji
kelayakan model, jika setidaknya satu metode uji kelayakan model terpenuhi, maka model
tersebut dapat dinyatakan layak (Hair et al., 2014). Dalam studi empiris, peneliti tidak harus
memenuhi semua kriteria “goodness of fit”, tetapi bergantung pada penilaian masing-masing
peneliti. Dalam penelitian ini nilai chi-square cukup baik. Kline (1998) menyatakan bahwa
Chi-Square tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya ukuran kesesuaian model secara
keseluruhan. Salah satu alasannya adalah chi-square sensitif terhadap ukuran sampel. Dengan
bertambahnya ukuran sampel, meskipun perbedaan antara matriks kovarian sampel dan
matriks kovarian model kecil, nilai chi-kuadrat akan meningkat dan menyebabkan model
ditolak.
Chi-square juga berhubungan erat dengan nilai derajat kebebasan, jika derajat
kebebasan besar maka akan mempengaruhi nilai chi-square. Nilai “derajat kebebasan” dalam
penelitian ini sangat besar yaitu 647, sehingga akan mempengaruhi nilai chi-square.
Berdasarkan hasil uji kelayakan model pada tabel sebelumnya beberapa standar berada pada
nilai marginal. Nilai marjinal adalah kondisi untuk mengukur penerapan model di bawah
standar pemasangan absolut dan pemasangan inkremental, tetapi karena mendekati standar
pemasangan yang baik, analisis lebih lanjut masih dapat dilanjutkan (Hair et al., 2014).
Pada tahap berikutnya dilakukan model pengukuran dengan koefisien korelasi ganda
kuadrat pada variabel endogen yaitu variabel brand equity, customer relationship, dan
repurchase intention. Pada analisa pengukuran determinasi ini digunakan untuk mengetahui
besar keseluruhan variabel eksogen terhadap variabel endogen. Analisa ini untuk melihat
besarnya nilai Squared Multiple Correlation. Pada tabel di bawah ini disajikan masing-
masing nilai dari variabel endogen dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Pada tabel tersebut di atas diketahui bahwa nilai dari brand equity sebesar 0,488. Hal
ini memberikan informasi bahwa social media marketing sebagai variabel eksogen memiliki
kontribusi dalam menentukan brand equity sebesar 48,8% (0,488 x 100). Dari hasil tersebut
dapat diketahui bahwa model penelitian ini dalam menentukan brand equity sudah cukup
baik karena nilai yang dibentuk predictor (eksogen) terhadap variabel endogen cukup besar.
Pada tabel di atas juga diketahui bahwa nilai dari customer relationship sebesar 0,505.
Hal ini memberikan informasi bahwa social media marketing yang merupakan variabel
50,5% (0,505 x 100). Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa model penelitian ini dalam
menentukan customer relationship sudah cukup baik karena nilai yang dibentuk predictor
Pada tabel di atas juga diketahui bahwa nilai dari repurchase intention sebesar 0,887.
Hal ini memberikan informasi bahwa seluruh variabel eksogen, dalam hal ini social media
marketing, brand equity, dan customer relationship memiliki kontribusi dalam menentukan
Organizational Performance sebesar 80,7% (0,807 x 100). Dari hasil tersebut kita dapat
mengetahui bahwa model penelitian ini dalam menentukan repurchase intention sudah cukup
baik karena nilai yang dibentuk predictor (eksogen) terhadap variabel endogen cukup besar.
Hal ini dianggap wajar dikarenakan pada variabel ini diketahui memiliki 3 predictor sehingga
hasilnya lebih besar dibandingkan variabel endogen yang lain yang hanya memiliki 1
predictor saja. Jumlah predictor akan menambah nilai square multiple correlation.
Relationship Intention
Social Media
0,698 0,711 -0,279
Marketing
Customer 0,161
Relationship
Pada Tabel di atas dapat kita ketahui bahwa variabel endogen brand equity
dipengaruhi searah atau positif oleh social media marketing sebesar 0,698. Variabel customer
relationship dipengaruhi searah atau positif sebesar 0,711 hasil ini diketahui lebih besar
dengan variabel sebelumnya yaitu brand equity. Variabel repurchase intention dipengaruhi
tidak searah atau negative sebesar -0,279. Hal ini memberikan informasi bahwa pengaruh dari
social media marketing terhadap repurchase intention menjadi satu-satunya yang memiliki
pengaruh negatif.
Pada Tabel di atas dapat kita ketahui bahwa variabel endogen repurchase intention
dipengaruhi searah atau positif oleh brand equity sebesar 0,936. Hasil ini merupakan nilai
koefisien terbesar diantara beberapa jalur yang diteliti dalam penelitian ini dalam
dipengaruhi searah atau positif oleh customer relationship sebesar 0,161. Hasil koefisien ini
Kriteria goodness of fit model structural yang diestimasi dapat terpenuhi, maka tahap
selanjutnya adalah analisis terhadap hubungan Structural Model seperti yang ditunjukkan
pada tabel di bawah ini. Hubungan antar konstruk dalam hipotesis ditunjukkan oleh nilai
Regression Weights
Estimate S.E. C.R. P Label
<--
BE SMM ,575 ,088 6,504 *** par_5
-
<--
CR SMM ,931 ,117 7,963 *** par_6
-
RP <-- SMM -,318 ,100 -3,175 ,001 par_3
Estimate S.E. C.R. P Label
I -
RP <--
BE 1,300 ,216 6,012 *** par_4
I -
RP <--
CR ,141 ,117 1,201 ,230 par_7
I -
Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate
sebesar 0,575 antara social media marketing terhadap brand equity. Pengaruh ini memiliki P-
value sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut ialah signifikan
Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate
sebesar 0,931 antara social media marketing terhadap customer relationship. Pengaruh ini
memiliki P-value sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut
Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang negatif yaitu dengan nilai estimate
sebesar -0,318 antara social media marketing terhadap repurchase intention. Meskipun
pengaruh ini memiliki P-value sebesar 0,001 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh
tersebut ialah signifikan, akan tetapi karena tidak searah atau negatif maka H0 diterima dan
hipotesis ditolak.
Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate
sebesar 1,300 antara brand equity terhadap repurchase intention. Pengaruh ini memiliki P-
value sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut ialah signifikan
Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate
sebesar 0,141 antara customer relationship terhadap repurchase intention. Pengaruh ini
memiliki P-value sebesar 0,230 > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut
Hasil Hipotesis
No Hipotesis Hasil
H1 Social Media Marketing Activities berpengaruh positif Diterima
terhadap Brand Equity pada industri E-commerce
H2 Social Media Marketing Activities berpengaruh positif Diterima
terhadap Customer Relationship pada industri E-commerce
H3 Social Media Marketing Activities berpengaruh positif Ditolak
terhadap Repurchase Intention pada industri E-commerce
H4 Brand Equity berpengaruh positif terhadap Repurchase Diterima
Intention pada industri E-commerce.
H5 Customer Relationship berpengaruh positif terhadap Ditolak
Repurchase Intention pada industri E-commerce.
4.10 Pembahasan
Social Media Marketing Activities berpengaruh positif terhadap Brand Equity pada industri E-
commerce
Dari sudut pandang peneliti dan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan
hubungan yang kuat antara social media marketing terhadap brand equity. Hasil positif dari
sudut pandang peneliti ini bisa jadi karena peningkatan jumlah pengguna pemasaran media
pemasaran melalui media sosial dan membawa pelanggan mereka pada brand perusahaan
dengan serius, yang akan membawa brand equity perusahaan ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan karakteristik responden berusia muda dan mulai masuk dunia kerja
merek terutama sebagian besar responden tinggal di Jakarta sangat tinggi, media sosial
menjadi salah satu alat komunikasi terbaik untuk perusahaan tetap dapat berkomunikasi dan
menguatkan merek mereka kepada responden yang memiliki latar belakang ini. Penelitian ini
didominasi oleh generasi yang disebut sebagai digital native seringkali komunikasi mereka di
dunia digital seperti sosial media lebih banyak dibandingkan dunia aslinya. Ibu kota Jakarta
menjadi pusat ekonomi dan menjadi kota dengan tingkat pendapatan tertinggi di Indonesia,
akan terasa tepat jika perusahaan melakukan pemasaran melalui media sosial karena pada
saat ini beberapa fitur di sosial media dapat mengatur spesifik audiens seperti lokasi, usia,
dan gender yang sesuai dengan target perusahaan mereka. Fenomena ini menjadikan
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Melissa (2015) yang
telah melakukan survey terhadap 122 orang dan menemukan bahwa Social Media Marketing
Activities juga memiliki efek positif secara langsung terhadap Brand Equity. Kemudian
Godey, et al (2016) juga mengatakan adanya hubungan positif dan signifikan dari Social
Social media marketing memiliki kekuatan untuk menjadi aset paling menarik yang
dimiliki oleh sebuah bisnis, membantu meningkatkan hubungan dengan pelanggan dan
mendorong brand equity yang lebih kuat. Adopsi media sosial yang meluas oleh konsumen
dan brand telah mengubah hubungan brand dan audiens secara drastis. Kehadiran brand
secara online pada media sosial, dapat menjadi aset yang membangun brand equity serta
Topik penelitian penting lainnya adalah brand equity dipandang sebagai dasar untuk
kerangka kerja strategis baru untuk membangun program pemasaran yang lebih kuat dan
berpusat pada pelanggan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diukur secara finansial.
Brand equity menjadi pembahasan penting mengingat dapat menjadi dasar dalam menyusun
sikap, dimana sikap dapat mengacu pada asosiasi objek dan evaluasi objek tersebut dalam
memori konsumen (Farquhar, 1989). Sebagaimana dijelaskan pada bab awal bahwa aktivitas
pemasaran dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap asosiasi dan evaluasi objeknya,
oleh karena itu Yoo, Donthu, dan Lee (2000) menyatakan brand equity sebagai “perbedaan
dalam pilihan konsumen antara fokus produk bermerek dan produk tidak bermerek
mengingat tingkat fitur produk yang sama”. Oleh karena itu, tindakan untuk menunjukkan
brand equity dapat dilakukan dengan membandingkan dua produk yang masing-masing
identik kecuali namanya melalui penilaian niat untuk membeli atau preferensi terhadap
merek.
Banyak perusahaan telah memanfaatkan media sosial untuk pemasaran dan periklanan.
Penggunaan pemasaran media sosial itu sendiri telah menciptakan lebih banyak kemungkinan
peluang bisnis sehingga pelanggan sekarang dihadapkan pada pesan merek dengan cara
membangun lebih banyak interaksi (Kim & Ko, 2010). Pesan atau informasi merek yang
disampaikan melalui media sosial dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap brand
equity. Melalui kegiatan pemasaran, perusahaan berusaha menciptakan evaluasi merek yang
positif dengan mengembangkan sikap merek yang mudah diakses dan citra merek yang
konsisten untuk menciptakan dampak yang maksimal terhadap perilaku pembelian. Oleh
karena itu brand equity yang dipersepsikan akan berkontribusi dalam mempengaruhi niat beli
di kemudian hari.
Social media marketing activities adalah faktor kunci dalam hubungan konsumen:
Pelanggan melakukan penelitian tentang produk atau layanan, mereka bersedia membeli,
melalui media sosial. Untuk memperluas komunikasi dengan klien, perusahaan menggunakan
media sosial dan hasilnya adalah: interaksi pelanggan yang lebih baik. Customer relationship
membahas mengenai cara semakin dekat dengan konsumen, terutama mengenai komunikasi
dengan konsumen.
Berdasarkan karakteristik responden yang berusia muda dan didominasi oleh responden
wanita yang mana mereka biasa mencari referensi mengenai suatu produk yang sedang
mereka bandingkan di sosial media, maka dari itu social media marketing sangat penting
untuk kelompok ini, persaingan e-commerce di Indonesia cukup ketat sehingga perusahaan
berusaha mempertahankan konsumen mereka dan menggarap konsumen potensial. Hasil dari
pengaruh social media marketing activities menjadi yang terbesar pengaruhnya ke customer
relationship hal ini karena memang sosial media adalah alat yang paling tepat saat ini dalam
menjali hubungan antara perusahaan dengan konsumen mereka, tidak jarang kita lihat
untuk meningkatkan hubungan mereka dengan konsumen atau calon konsumen potensial
mereka.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Ko (2010) bahwa
kegiatan social media marketing activites yang dilakukan oleh suatu brand mempengaruhi
customer relationship dari brand tersebut. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Gautam
dan Sharna (2017) yang menjelaskan bahwa dengan meningkatkan customer relationship,
Di era teknologi yang semakin maju, komunikasi sebagian besar berada di media sosial.
Media sosial sebenarnya adalah komunikasi terbuka mengenai kepuasan dan ketidakpuasan,
suka dan tidak suka. Jika semakin dekat dengan konsumen berarti perusahaan harus
beradaptasi dengan kebangkitan media sosial ini agar tetap kompetitif di pasar. Inilah alasan
mengapa organisasi harus menggunakan sosial media dalam pemasaran dan mereka harus
menerima transisi ini dari customer relationship tradisional (email, telepon, brosur) ke
customer relationship model baru. Kami menyebutnya transisi karena perusahaan tidak boleh
melupakan praktik lama customer relationship, tetapi mengintegrasikan yang baru dan
pelanggan dan menanggapi pertanyaan dan keluhan mereka, sementara lebih dari
penjualan dan menjual produk. Survei pada penelitian ini juga mengungkapkan bahwa lebih
platform mereka. Perusahaan juga menggunakan media sosial untuk review konsumen, dalam
memberikan dukungan atau mencari tahu ide konsumen. Mereka menggunakan media sosial
sebagai alat pemasaran lebih dari sekadar mengumpulkan dan menganalisis data.
Pada saat perusahaan melakukan pemasaran melalui media sosial, perusahaan tidak
memiliki kendali atas apa yang dilakukan pengikut atau konsumennya. Beberapa pengguna
berinteraksi dengan setiap kiriman, dan mereka bebas menyebarkan pesan di antara teman-
teman mereka. Meskipun ini bisa menguntungkan perusahaan, ini juga bisa menjadi
bumerang ketika postingan memberi kesan negatif tentang perusahaan. Interaksi seperti tweet
ulang, komentar, suka, dan berbagi dapat mempopulerkan postingan dalam beberapa menit.
Pemasaran melelaui media sosial memang efektif dalam beberapa penelitian terutama
terkait dengan purchase intention akan tetapi dalam hasil penelitian ini terbukti bahwa justru
hal itu memiliki pengaruh yang negative terhadap repurchase intention, sehingga dapat
disimpulkan jika pemasaran media sosial yang dilakukan oleh e-commerce hanya efektif
untuk customer potential bukan untuk konsumen yang telah existing sebelumnya. Pada
beberapa penelitian menjelaskan bahwa lebih sulit mempertahankan konsumen yang telah
ada dibandingkan mencari konsumen baru yang potensial (Zheng et al., 2017).
dengan e-commerce lain Shopee menjadi salah satu perusahaan yang sedikit melakukan
memfokuskan binsisnya pada pricing strategy dan kupon serta gratis ongkir yang mana lebih
menarik konsumen untuk melakukan pembelian kembali terutama pada generasi muda yang
juga mayoritas responden dalam penelitian berusia 18-25 tahun yang merupakan usia kuliah
Hasil penelitian ini memiliki pengaruh tidak searah atau negatif dan bertentangan
dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Savitri et al. (2016) bahwa Social
dan Subawa, et al (2020) juga menemukan bahwa meningkatnya penggunaan social media
feedback atau ulasan yang diberikan kepada suatu produk melalui medium Social Media
Marketing. Serta Almas (2018) menyatakan bahwa media sosial sebagai alat pemasaran yang
baik untuk meningkatkan repurchase Intention konsumen. Tidak semua ulasan atau yang
dibicarakan pada sosial media mengenai perusahaan e-commerce adalah baik ada juga ulasan
yang tidak baik yang dapat mempengaruhi konsumen dalam repurchase intention.
Pengikut perusahaan akan dapat melihat konten seperti halnya pelanggan potensial
lainnya yang telah berinteraksi dengan perusahaan. Setelah beberapa saat, perusahaan mulai
merasa tidak berdaya karena perusahaan tidak dapat mengontrol apa yang dikatakan tentang
perusahaan. Mencoba menyampaikan cerita dari sisi perusahaan tidak selalu menghasilkan
respons positif. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa media sosial adalah alat yang
perusahaan tidak boleh menganggapnya sebagai satu-satunya jalan pemasaran yang harus
dikejar. Menjadi tergantung pada platform media sosial tertentu membuat perusahaan rentan
terhadap perubahan masa depan yang mungkin dilakukan terhadap cara komunikasi tersebut.
perusahaan harus menjelajahi opsi pemasaran yang berbeda dan kemudian menetapkan
kombinasi yang sesuai untuk layanan dan produk perusahaan. Diversifikasi upaya pemasaran
perusahaan diperlukan jika perusahaan ingin mendapatkan efek positif dari jejaring sosial.
Namun, sebagian besar perusahaan pada akhirnya terlalu memprioritaskan media sosial.
commerce
Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa brand equity menjadi faktor utama dan
terbesar yang mempengaruhi repurchase intention pada model penelitian ini. Tahap awal
yang dibutuhkan untuk membangun sebuah merek adalah bagaimana produsen membangun
Brand Awareness melalui informasi dalam memori. Kesadaran merek penting sebelum
asosiasi merek dan ekuitas merek dapat dibentuk. Ketika konsumen memiliki sedikit waktu
untuk mengkonsumsi, kedekatan dengan nama merek akan cukup untuk menentukan
(mengenali atau mengingat) merek yang cukup rinci untuk melakukan pembelian. Brand
equity merupakan langkah awal bagi setiap konsumen dari setiap produk atau merek baru
dari kalangan wanita yang memiliki karakteristik preferensi merek yang tinggi dalam
beberapa penelitian (Hussain et al., 2020). Brand equity menjadi hal paling penting dalam
menentukan apakah seorang konsumen membeli kembali atau tidak terutama dalam
pengetahuan konsumen tentang suatu merek merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
konsumen untuk membeli kembali merek yang sama. Ekuitas merek tidak hanya memberikan
manfaat langsung, tetapi juga manfaat jangka panjang dengan mempertahankan konsumen
untuk terus membeli kembali produknya Merek yang kuat akan membuat konsumen selalu
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Bendixen,
Bukasa, & Abratt, (2004) dan Erdem, Swait, & Louviere, (2002) bahwa Brand Equity
program pemasaran, dan dapat juga memiliki harga yang lebih tinggi dan margin keuntungan
yang lebih besar. Selain penemuan diatas, Kusuma dan Miartana (2018) menyatakan Brand
Equity juga telah dikaitkan dengan Repurchase Intention hasil penelitian telah dilakukan
dalam beberapa konteks bahwa Brand Equity (Brand Loyalty, Brand Association, Brand
Intention. Penelitian Pitaloka dan Gumanti (2019) mengatakan Brand Equity (Brand
bahwa Repurchase Intention konsumen bisa diprediksi dengan sifat konsumen terhadap
Brand Equity.
Berdasarkan model CBBE dalam membangun menuju brand equity yang tinggi hanya
terjadi pada konsumen yang menyadari keberadaan suatu merek dan memiliki image/asosiasi
kuat, menguntungkan, dan menyadari keunikan atau keunggulan merek tertentu. Keller et al.
(2011) mengemukakan proses langkah dalam membangun sebuah merek, menyusun identitas
merek yang tepat, menciptakan makna merek yang sesuai dengan yang dirumuskan,
menstimulasi respon merek yang diharapakan, menjalin relasi merek yang tepat dengan
konsumen. Hasil dari keseluruhan itu akan berdampak kepada perusahaan karena kredibilitas
industri E-commerce
Repurchase intention menjadi pembahasan menarik saat ini ketika semua transaksi
dapat dilakukan secara online. Banyak pemain dalam industry e-commerce membuat setiap
dapat juga sekaligus menjadi konsumen perusahaan pesaingnya di industri yang sama.
konsumen dapat berpindah tempat (platform) hanya dalam hitungan detik tidak seperti
transaksi tradisional yang biasanya. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa customer
Berdasarkan data responden yang penelitian ini dapatkan dikethui bahwa responden
memang aktif dalam media sosial dan memiliki lebih dari 1 aplikasi e-commerce.
Pengalaman dan brand equity masih menjadi pertimbangan utama dalam repurchase
intention. Pada penelitian ini seperti yang diketahui bahwa sebagian besar responden berusia
muda dan dalam beberapa survei bahwa konsumen yang berusia muda kurang memiliki
ketertarikan terhadap perusahaan yang masif melakukan iklan di media sosial, karena mereka
menganggap iklan sebagai gangguan ketika mereka menggunakan media sosial (Ishadi &
Djastuti, 2012). Fungsi utama customer relationship pada awalnya dan saat ini adalah
berusaha menjangkau konsumen mereka lebih luas terutama terkait pembelian akan tetapi hal
ini tidak terbukti pada pembelian kembali terutama pada penelitian ini.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh Gautam dan Sharma (2017), Kim dan Ko (2010) serta Hakim, Susanti, dan Ujianto
penelitian yang dilakukan oleh Gautam dan Sharma (2017) yang mengatakan penggunaan
media sosial sebagai salah satu cara untuk menjaga customer relationship akan meningkatkan
menemukan hal itu bahwa tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap repurchase
intention.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
E-commerce sekarang memainkan peran penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini
commerce telah berkembang pesat menjadi sebuah gaya hidup baru dalam berbelanja online.
Penelitian ini berusaha merumuskan faktor-faktor penting dalam pembelian ulang dalam
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan positif yang kuat dan signifikan antara
social media marketing activities terhadap brand equity. Hasil positif dari sudut pandang
peneliti ini bisa jadi karena peningkatan jumlah pengguna pemasaran media sosial dan
melalui media sosial dan membawa pelanggan mereka pada brand perusahaan dengan serius,
yang akan membawa brand equity perusahaan ke arah yang lebih baik.
Hasil dari pengaruh social media marketing activities menjadi yang terbesar
pengaruhnya secara positif ke customer relationship dan signifikan hal ini karena memang
sosial media adalah alat yang paling tepat saat ini dalam menjali hubungan antara perusahaan
dengan konsumen mereka, tidak jarang kita lihat perusahaan e-commerce menggunakan
beberapa endorsement yang dilakukan oleh celebrity untuk meningkatkan hubungan mereka
Hasil penelitian ini memiliki pengaruh tidak searah atau negatif dan bertentangan
dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Savitri et al. (2016) bahwa Social
dan Subawa, et al (2020) juga menemukan bahwa meningkatnya penggunaan social media
feedback atau ulasan yang diberikan kepada suatu produk melalui medium Social Media
Marketing. Serta Almas (2018) menyatakan bahwa media sosial sebagai alat pemasaran yang
baik untuk meningkatkan repurchase Intention konsumen. Penelitian ini menjelaskan bahwa
tidak semua ulasan atau yang dibicarakan pada sosial media mengenai perusahaan e-
commerce adalah baik ada juga ulasan yang tidak baik yang dapat mempengaruhi konsumen
Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa brand equity menjadi faktor utama dan
terbesar yang mempengaruhi repurchase intention secara positif dan signifikan pada model
penelitian ini. Akumulasi pengalaman dan pengetahuan konsumen tentang suatu merek
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli kembali merek yang
sama. Ekuitas merek tidak hanya memberikan manfaat langsung, tetapi juga manfaat jangka
panjang dengan mempertahankan konsumen untuk terus membeli kembali produknya Merek
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa customer relationship tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap repurchase intention. Fungsi utama customer relationship pada awalnya
dan saat ini adalah berusaha menjangkau konsumen mereka lebih luas terutama terkait
pembelian akan tetapi hal ini tidak terbukti pada pembelian kembali terutama pada penelitian
ini. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Gautam dan Sharma (2017), Kim dan Ko (2010) serta Hakim, Susanti, dan Ujianto (2017)
dilakukan oleh Gautam dan Sharma (2017) yang mengatakan penggunaan media sosial
sebagai salah satu cara untuk menjaga customer relationship akan meningkatkan repurchase
intention dari pelanggan. Customer relationship dalam penelitian tidak menemukan hal itu
Berdasarkan kesimpulan dan pembahasan di atas maka penelitian ini memiliki beberapa
implikasi manajerial yang dapat bermanfaat untuk dijadikan pembelajaran pada industri e-
Pada beberapa dekade terakhir kita telah melihat perubahan yang belum pernah terjadi
sebelumnya dalam bisnis global terutama terkait revolusi pada teknologi informasi dan
komunikasi. Perkembangan dalam TI mengubah strategi yang diikuti oleh perusahaan untuk
mengatasi perubahan baru dalam lingkungan bisnis. Pengaruh ini merubahh cara dan sumber
titik kontak pelanggan dan cara daya tarik dan retensi pelanggan. Dalam skenario yang
berubah ini mereka yang tertinggal akan menghadapi kehilangan pelanggan yang tinggi dan
akhirnya keluar dari pasar, kecuali mereka mengembangkan pemasaran melalui media sosial
dan mengelola hubungan pelanggan secara virtual dalam menciptkana nilai merek.
Perusahaan dapat menggunakan media sosial sebagai alat pemasaran terutama untuk
para audiens yang memiliki latar belakang seperti identitas responden dalam penelitian ini. Di
dunia di mana percakapan merek dan audiens terjadi di ruang publik, semua aspek bisnis ini
dapat dianggap sebagai bagian dari pemasaran. Kisah positif atau negatif yang muncul dan
Media sosial dengan cepat menggantikan media tradisional sebagai sumber informasi
utama yang terkait dengan customer relationship. Jumlah saluran komunikasi online yang tak
terbatas yang tersedia bagi pelanggan memiliki implikasi positif dan negatif untuk
manajemen hubungan pelanggan yang tepat. Manfaat utama dari media sosial adalah
memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk dengan cepat dan mudah mendapatkan
umpan balik mengenai pengembangan produk dan upaya pemasaran perusahaan saat ini.
Satu-satunya cara untuk mengelola pro dan kontra media sosial adalah dengan membangun
hubungan pelanggan yang kuat yang didasarkan pada kolaborasi, kepercayaan, dan loyalitas.
mereka mampu memahami peran yang dimainkan media sosial dalam menciptakan hubungan
pelanggan jangka panjang. Misalnya, pada beberapa tahun lalu, Shopee memasukkan
pendekatan yang berpusat pada pelanggan ke dalam proses pengembangan produk mereka.
Mereka meluncurkan satu menu khusus terkait hal tersebut yang mendorong konsumen untuk
menyuarakan pendapat mereka tentang produk saat ini dan masa depan melalui jajak
pendapat pelanggan dan forum saran pelanggan. Dengan menempatkan pelanggan di garis
depan dalam proses pengambilan keputusan, Shopee telah membedakan diri mereka dari
pesaing mereka.
Perusahaan dapat mempertimbangakn opsi lain dalam meningkatkan pembelian
kembali selain pemasaran media sosial, hal ini dikarenakan pemasaran melalui media sosial
lebih tepat untuk potensial konsumen melakukan pembelian awal (purchase intention) akan
tetapi kurang tepat jika dijadikan strategi pembelian kembali pada industri e-commerce.
Semakin banyak konsumen beralih ke web untuk mengekspresikan ide dan pendapat mereka
tentang berbagai merek, perusahaan perlu melengkapi diri mereka dengan perangkat yang
Perusahaan harus memiliki strategi yang tepat untuk menjangkau individu-individu ini
secara efektif, membangun hubungan pelanggan yang berkualitas, dan mengatasi persaingan
dalam meningkatkan repurchase intention. Mengumpulkan data yang benar dari pelanggan
yang tepat akan memastikan inisiatif pengembangan produk perusahaan selaras dengan
intention yaitu brand equity penelitian ini mendapatkan bahwa pengaruhnya adalah yang
terbesar. Perusahaan dapat menerapkan strategi khusus yang meningkatkan brand equity.
Brand equity merupakan komponen penting dari identitas bisnis perusahaan dan akan
loyalitas konsumen pada merek perusahaan, mengasosiasikan merek perusahaan dengan nilai
atau kualitas yang lebih baik, atau meningkatkan kesadaran konsumen terhadap merek
merek dan asosiasi merek, yang akan mengarah pada peningkatan repurchase intention jika
dilakukan dengan benar. Kuncinya adalah membedakan antara jenis periklanan ini dan
hal ini dikarenakan dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh yang signifikan karena
variabel ini tidak memiliki pengaruh pada hal tersebut akan lebih tepat untuk keputusan
pembelian. Hubungan pelanggan yang kuat sangat penting untuk kesuksesan bisnis. Tapi,
mereka tidak dibangun dalam semalam. Sama seperti hubungan pribadi, penting untuk
hubungan yang kuat dengan pelanggan mereka, hal itu dapat mengarah pada klien setia,
kabar positif dari mulut ke mulut, dan peningkatan penjualan maka variabel ini sangat
memiliki dampak besar pada keputusan pembelian dan penjualan akan tetapi bukan pada
pembelian ulang.
Di sisi lain, meskipun hubungan yang bermakna membutuhkan waktu dan upaya untuk
dibangun, hubungan tersebut dapat cepat rusak. Hubungan yang dianggap biasa memburuk
dalam sekejap. Filosofi utama yang harus diingat adalah bahwa hubungan yang kuat
dibangun untuk membuat orang lain merasa penting. Continuance intention merupakan hal
yang penting bagi e-commerce di Indonesia saat ini dengan ini perusahaan dapat
panjang.
Penelitian ini memiliki keterbatasan secara khusus baik dari metode penelitian yang
hanya menggunakan kuantitatif serta pengambilan sampel, jika dilihat dari pengambilan
sampel dapat diketahui hampir sampel dalam penelitian bersifat homogen baik dari usia
e-commerce. Penggunaan sampel masih terlalu kecil untuk menggambarkan populasi yang
cukup besar pada konsumen e-commerce di Indonesia. Penggunaan variabel terbatas hanya
beberapa variabel yang dirasa cukup penting dalam membangun model penelitian mengenai
e-commerce di Indonesia.
5.4 Saran
meningkatkan beberapa aspek dalam perusahaan terutama repurchase intention yang menjadi
pembahasan utama dalam penelitian ini pada industri e-commerce. Penelitian selanjutnya
dapat menggunakan beberapa variabel tambahan yang lebih lengkap seperti e-loyalty karena
banyak pembahasan penting pada pembelanjaan online dan pemasaran digital melalui media
Jumlah sampel dan perusahaan dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dapat
lebih banyak agar mendapatkan hasil yang lebih presisi menggambarkan mengenai industri
e-commerce di Indonesia. Penggunaan sampel dan responden dalam penelitian ini cukup
terbatas karena waktu dan biaya sehingga penelitian selanjutnya dapat membuat lebih
lengkap dan komprehensif. Penelitian selanjutnya juga dapat menambahkan metode kualitatif
seperti wawancara dengan konsumen atau pelaku bisnis pada perusahaan e-commerce agar
mendapatkan hasil yang lebih baik dalam menggambarkan bisnis e-commerce di Indonesia.