Anda di halaman 1dari 44

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identitas Responden

Pada tahapan awal dalam penelitian ini akan dibahas mengenai identitas responden

berupa pertanyaan awal dalam kuisioner untuk mengetahui demografi responden sebagai

dasar tambahan analisa pada hasil statistik dan pembahasan yang akan di bahas pada sub bab

selanjutnya.

Gender

Pria
37%

Wanita
63%

Pada pie chart di atas diketahui bahwa sebagian besar responden berasal dari

kalangan wanita yaitu sebesar 63% sedangkan dari kalangan pria sebesar 37% hal ini

dikatakan wajar dikarenakan dalam beberapa penelitian sebelumnya tingkat konsumsi

pembelian dalam pembelanjaan online didominasi oleh kalangan wanita dibandingkan pria

(Hussain et al., 2020), sehingga banyak penelitian yang melakukan uji beda diantara gender

dalam tingkat pembelian.


Usia
36-45<18
26-35 5% 1%
8%

18-25
85%

Pada pie chart di atas diketahui bahwa mayoritas dari responden dalam penelitian ini

berusia 18-25 tahun yaitu sebesar 85%, usia 26-35 tahun sebesar 8%, usia 36-45 tahun

sebesar 5%, dan usia kurang dari 18 tahun sebesar 2%. Usia 18-25 tahun memang

merupakan usia produktif dan paling mengenal dengan kemajuan teknologi atau yang biasa

disebut dalam dunia marketing dengan istilah generasi digital native (Prensky, 2001) yang

mana generasi yang paling cepat dalam adopsi teknologi terutama ketika teknologi

berkembang dalam e-commerce dikarenakan generasi ini telah tumbuh Bersama kehadiran

internet.
E-Commerce
Blibli.com
Bukalapak
4% 4% Lazada
Tokopedia 3%
23%

Shopee
66%

Pada pie chart di atas diketahui bahwa mayoritas responden paling sering

menggunakan pembelanjaan online di Shopee yaitu sebesar 66%, Tokopedia sebesar 23%,

Bukalapak sebesar 4%, Blibli.com sebesar 4%, dan Lazada sebesar 3%. Shopee memang

menjadi E-Commerce yang memiliki pertumbuhan pengguna baru terbanyak saat ini (Lis,

2018) sehingga hasil dari ini tidak mengejutkan bahwa sebagian besar responden lebih

banyak menggunakan Shopee dalam menggunakan pembelanjaan online mereka.


Sosial Media

Ya Tidak

Pada pie chart di atas diketahui bahwa seluruh responden menjawab YA atas

pertanyaan apakah anda memiliki sosial media? Pertanyaan ini merupakan salah satu

pertanyaan filter pada penelitian ini, dikarenakan bagi responden jika ada yang menjawab

tidak maka akan dikeluarkan sebagai data, hal ini dikarenakan tidak valid untuk mengukur

sosial media marketing jika responden tidak memiliki sosial media. Pertanyaan penyaringan

ini cukup penting untuk menghindari bias dalam penelitian ini, dikarenakan perlu bagi

peneliti untuk memastikan keabsahan responden dalam menjawab responden yang dibagikan

kuesioner dalam penelitian ini.


Konsumen E-Commerce

Ya Tidak

Pada pie chart di atas memberikan informasi bahwa seluruh responden menjawab YA

dalam pertanyaan apakah mereka sebagai konsumen pada suatu e-commerce. Pertanyaan ini

seperti pertanyaan sebelumnya merupakan pertanyaan penyaringan untuk memastikan

bahwa para responden merupakan bagian dari konsumen salah satu e-commerce di

Indonesia. Pentingnya responden sebagai konsumen e-commerce untuk memahami konteks

e-commerce di Indonesia, fokus kajian utama dalam penelitian ini adalah dalam industri e-

commerce di Indonesia.
Mengikuti Akun E-Commerce di Sosial Media

Ya Tidak

Pada pie chart di atas diketahui bahwa seluruh responden menjawab YA atas

pertanyaan responden dalam mengikuti akun resmi e-commerce di sosial media. Pertanyaan

ini merupakan salah satu pertanyaan penting untuk memahami konsep marketing e-

commerce di sosial media. Pada beberapa fenomena banyak terjadi konsumen e-commerce

yang memiliki sosial media mereka tidak mengikuti akun resmi e-commerce yang mereka

gunakan, sehingga akan menjadi bias jika beberapa pertanyaan kuesioner memiliki

pernyataan mengenai aktivitas pemasaran e-commerce di sosial media yang sebagian besar

dilakukan melalui akun resmi mereka. Penelitian ini akan menjadi presisi jika semua

responden mengikuti akun resmi e-commerce pada sosial media.


Pekerjaan

Pengusah
Pegawai
Negeria
Pegawai
Swasta1% 6%
8%

Pelajar/M
ahasiswa
85%

Pada pie chart menjelaskan bahwa sebagian besar responden di dominasi oleh pelajar

dan mahasiswa sebesar 85%, pegawai swasta 8%, pengusaha 6%, dan pegawai negeri 1%.

Pelajar atau mahasiswa memang salah satu pasar utama pada sosial media marketing karena

aktivitas mereka di media sosial jauh lebih banyak dibandingkan yang lain dikarenakan

waktu dan adopsi yang lebih cepat dibandingkan generasi lainnya. Pemasaran media sosial

dalam beberapa penelitian memang cukup tepat untuk menyasar ke pasar anak muda atau

digital native.

4.2 Model Penelitian

Pada model penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian ini

menggunakan analisis Structural Equation Modeling (SEM) dan perangkat lunak yang

digunakan untuk penelitian ini adalah IBM SPSS AMOS. Model teoritis yang telah

digambarkan pada diagram jalur akan dianalisis berdasarkan data yang diperoleh.

Model struktural adalah hubungan antara variabel laten (Joe F Hair et al., 2011).

Variabel laten adalah variabel yang tidak dapat diukur secara langsung dan memerlukan

beberapa variabel indikator untuk analisis faktor konfirmatori. Pada sebuah Model SEM,
sebuah variabel laten dapat berfungsi sebagai variabel independen atau dependen (Ghozali,

2018). Model pengukuran menunjukkan bagaimana variabel manifes (indikator)

merepresentasikan variabel laten untuk diukur yaitu dengan menguji validitas dan reliabilitas

variabel laten melalui analisis faktor konfirmatori.

Pada gambar model di atas diketahui bahwa terdapat model menggunakan beberapa

konstruk, yaitu SMM sebagai konstruk eksogen dan BE, CR, dan RPI sebagai konstruk

endogen. Model penelitian ini menggunakan model second order sehingga penelitian ini

berusaha melakukan analisa mendalam sampai pada level dimensi dari sebuah variabel (Hair

et al., 2014), akan tetapi konstruk RPI adalah satu-satunya variabel yang tidak menggunakan

second order dikarenakan variabel ini merupakan konstruk endogen murni yang dilakukan

analisa faktor yang menjelaskan variabel tersebut, maka dapat diukur secara langsung

dengan menggunakan item indikator tanpa second order (dimensi).


4.3 Confirmatory Factor Analysis

Uji Validitas dengan Uji CFA atau Uji Validitas konstruk adalah mengukur

kemampuan konstruk (indikator) merefleksikan variabel latennya (Lind et al., 2018). Dari uji

validitas tersebut, hasilnya dapat dinyatakan seluruh indikator valid memenuhi kriteria atau

dapat dinyatakan pula bahwa item indikator dan dimensi mampu merefleksikan variabel

latennya, karena nilai Critical Ratio (CR) lebih besar dari 1,96 dan Probability (P) lebih kecil

dari 0,05. Tanda *** adalah signifikan yang kecil dari 0,001.

Uji validitas data merupakan tahapan yang harus dilalui sebuah model penelitian

sebelum sampai pada uji pengaruh maupun uji korelasi (Lind et al., 2018). Secara umum,

validitas data menggambarkan kecocokan tiap indikator terhadap variabelnya. Sedangkan

reliabilitas data menunjukkan kehandalan data penelitian. Hasil Uji Validitas sebagai output

SEM ditampilkan pada gambar di bawah ini.

Pada pengujian validitas SEM diketahui melalui nilai estimate. Perlu diingat bahwa

validitas dilakukan untuk menguji setiap item indikator variabel, apakah mampu dalam

mengukur sebuah variabel dalam sebuah penelitian, hal ini dikarenakan penelitian ini

menggunakan instrument kuesioner sehingga perlu ada konfirmatori faktor analisis. Ghozali

(2018) menjelaskan bahwa item indikator dari variabel disebut valid jika nilai estimate >

0,05.
Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.

Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator

dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur dimensi

yang dimiliki oleh variabel Social Media Marketing. Pada tahapan selanjutnya dalam

memperjelas gambar di atas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Standardized Regression Weights: Social Media Marketing
Estimate

EN
<--- EN ,759
3

EN
<--- EN ,844
2

EN
<--- EN ,782
1

I3 <--- I ,728

I2 <--- I ,781

I1 <--- I ,638

T3 <--- T ,837

T2 <--- T ,715

T1 <--- T ,713

C3 <--- C ,730

C2 <--- C ,768

C1 <--- C ,781

W3 <--- W ,691

W2 <--- W ,802

W1 <--- W ,794

Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator EN2 memiliki koefisien terbesar

dalam mengukur dimensi entertainment yaitu sebesar 0,844 dan seluruh item indikator yang

lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi entertainment. Pada tabel di atas

diketahui bahwa item indikator I2 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi

interaction yaitu sebesar 0,781 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas

dalam mengukur dimensi interaction. Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator T3

memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi trendiness yaitu sebesar 0,837 dan
seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi trendiness.

Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator C1 memiliki koefisien terbesar dalam

mengukur dimensi customization yaitu sebesar 0,781 dan seluruh item indikator yang lain

telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi customization. Pada tabel di atas diketahui

bahwa item indikator W2 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi E-Wom yaitu

sebesar 0,802 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur

dimensi E-Wom.

Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.

Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator

dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur dimensi
yang dimiliki oleh variabel Customer Relationship. Pada tahapan selanjutnya dalam

memperjelas gambar di atas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Standardized Regression Weights: Customer Relationship


Estimate

<--
IT3 IT ,712
-

<--
IT2 IT ,742
-

<--
IT1 IT ,793
-

<--
TS4 TS ,795
-

<--
TS3 TS ,714
-

<--
TS2 TS ,710
-

<--
TS1 TS ,845
-

Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator IT1 memiliki koefisien terbesar

dalam mengukur dimensi intimacy yaitu sebesar 0,793 dan seluruh item indikator yang lain

telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi intimacy. Pada tabel di atas diketahui bahwa

item indikator TS1 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi trust yaitu sebesar

0,845 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi

trust.
Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.

Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator
dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur dimensi

yang dimiliki oleh variabel Brand Equity. Pada tahapan selanjutnya dalam memperjelas

gambar di atas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Standardized Regression Weights: Brand Equity


Estimate

BA4 <--- BA ,670

BA3 <--- BA ,733

BA2 <--- BA ,699

BA1 <--- BA ,737

BAS BA
<--- ,731
4 S

BAS BA
<--- ,756
3 S

BAS BA
<--- ,705
2 S

BAS BA
<--- ,728
1 S

PQ4 <--- PQ ,696

PQ3 <--- PQ ,761

PQ2 <--- PQ ,694

PQ1 <--- PQ ,806

BL4 <--- BL ,798

BL3 <--- BL ,813

BL2 <--- BL ,673

BL1 <--- BL ,509

Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator BA1 memiliki koefisien terbesar

dalam mengukur dimensi brand awareness yaitu sebesar 0,737 dan seluruh item indikator
yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi brand awareness. Pada tabel di

atas diketahui bahwa item indikator BAS3 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur

dimensi brand association yaitu sebesar 0,756 dan seluruh item indikator yang lain telah

lolos uji validitas dalam mengukur dimensi brand association. Pada tabel di atas diketahui

bahwa item indikator PQ1 memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi perceive

quality yaitu sebesar 0,806 dan seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam

mengukur dimensi perceive quality. Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator BL3

memiliki koefisien terbesar dalam mengukur dimensi brand loyalty yaitu sebesar 0,803 dan

seluruh item indikator yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur dimensi brand

loyalty.

Hasil validitas dapat dilihat pada besaran nilai estimate pada gambar di atas.

Berdasarkan hasil validitas estimate tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator

dinyatakan valid karena memiliki nilai estimate lebih dari 0,05 dalam mengukur variabel
Repurchase Intention. Pada tahapan selanjutnya dalam memperjelas gambar di atas, dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Standardized Regression Weights: Brand Equity


Estimate

RPI
<--- RPI ,742
1

RPI
<--- RPI ,854
2

RPI
<--- RPI ,835
3

RPI
<--- RPI ,690
4

Pada tabel di atas diketahui bahwa item indikator RPI2 memiliki koefisien terbesar

dalam mengukur variabel repurchase intention yaitu sebesar 0,854 dan seluruh item indikator

yang lain telah lolos uji validitas dalam mengukur variabel repurchase intention.

4.4 Reliabilitas

Pada dasarnya Uji Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur yang dapat

memberikan hasil yang relatif sama apabila dilakukan pengukuran kembali pada subyek yang

sama. Uji Reliabilitas dalam SEM dapat diperoleh melalui rumus sebagai berikut (Ghozali,

2018):

Keterangan:
1. Standard loading diperoleh dari standardized loading untuk tiap indikator yang

didapat dari hasil perhitungan komputer.

2. ΣEj adalah measurement error dari tiap indikator. Measurement error dapat diperoleh

dari 1- (reliabilitas indikator)2. Variabel dikatakan reliable bila mempunyai koefesien

reliabilitas alpha sebesar 0,5 atau lebih. Tabel di bawah ini menunjukkan uji reabilitas

variabel.

Variabel Reliability

SMM 0.913

BE 0.920

CR 0.883

RPI 0.861

Berdasarkan hasil output reliabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa semua variabel

penelitian memiliki nilai reliabilitas di atas 0,7, Social Media Marketing memiliki construct

reliability 0,913 hal ini memberikan informasi bahwa variabel Social Media Marketing telah

lolos uji reliabilitas karena nilainya di atas 0,7. Brand Equity memiliki construct reliability

0,920 hal ini memberikan informasi bahwa variabel Brand Equity telah lolos uji reliabilitas

karena nilainya di atas 0,7. Customer Relationship memiliki construct reliability 0,883 hal ini

memberikan informasi bahwa variabel Customer Relationship telah lolos uji reliabilitas

karena nilainya di atas 0,7. Repurchase Intention memiliki construct reliability 0,861 hal ini

memberikan informasi bahwa variabel Repurchase Intention telah lolos uji reliabilitas karena

nilainya di atas 0,7. Dapat disimpulkan bahwa indikator yang digunakan dalam setiap

variabel memiliki reliabilitas yang baik atau mampu mengukur konstruk.


4.5 Goodness of Fit

Goodness of fit index (GFI) adalah ukuran kesesuaian antara model yang dihipotesiskan

dan matriks kovariansi yang diamati. Adjusted goodness of fit index (AGFI) mengoreksi GFI

yang dipengaruhi oleh banyaknya indikator dari masing-masing variabel laten. GFI dan AGFI

berkisar antara 0 dan 1, dengan nilai lebih dari 0,9 secara umum menunjukkan kecocokan

model yang dapat diterima.

Indeks kecocokan relatif (juga disebut "indeks kecocokan inkremental" dan "indeks

kecocokan komparatif" membandingkan chi-kuadrat untuk model yang dihipotesiskan

dengan model dasar (Byrne, 2012). Model nol ini hampir selalu berisi model di mana semua

variabel tidak berkorelasi, dan sebagai hasilnya, memiliki chi-square yang sangat besar

(menunjukkan kecocokan yang buruk). Indeks kecocokan relatif mencakup indeks kecocokan

normed dan indeks kecocokan komparatif.

Comparative fit index (CFI) menganalisis kecocokan model dengan memeriksa

ketidaksesuaian antara data dan model yang dihipotesiskan, sambil menyesuaikan masalah

ukuran sampel yang melekat dalam uji chi-kuadrat kecocokan model. Nilai CFI berkisar dari

0 hingga 1, dengan nilai yang lebih besar menunjukkan kesesuaian yang lebih baik (Hair et

al., 2014). Sebelumnya, nilai CFI 0,90 atau lebih besar dianggap menunjukkan kecocokan

model yang dapat diterima. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa nilai yang lebih

besar dari 0,90 diperlukan untuk memastikan bahwa model yang salah spesifikasi tidak

dianggap dapat diterima (Kline, 1998). Dengan demikian, nilai CFI 0,95 atau lebih tinggi saat

ini diterima sebagai indikator kecocokan yang baik (Byrne, 2012). Pada gambar di bawah ini

dilakukan uji model sebagai berikut:


4.6 Uji Normalitas

Pada saat melakukan model persamaan struktural (SEM) atau analisis faktor

konfirmatori (CFA), sering direkomendasikan untuk menguji normalitas multivariat.

Beberapa paket perangkat lunak SEM populer (seperti AMOS) menganggap variabel bersifat

kontinu dan memberikan hasil terbaik saat data penelitian didistribusikan secara normal.

Pertama, dimungkinkan untuk menguji normalitas multivariat plot kuantil jarak

Mahalanobis untuk menguji normalitas. Penyimpangan yang ditandai dari garis lurus

menunjukkan bahwa data tidak normal multivariat. Pada tabel di bawah ini yang memiliki

nilai p1 0,000 maka akan dihapus.

Observation Mahalanobis d-
p1 p2
number squared
89 116,508 ,000 ,000
3 105,132 ,000 ,000
61 92,187 ,000 ,000
78 89,214 ,000 ,000
182 88,688 ,000 ,000
94 87,902 ,000 ,000
26 80,184 ,000 ,000
76 78,988 ,000 ,000
129 78,428 ,000 ,000
179 77,162 ,000 ,000

Pada analisis melalui perangkat lunak AMOS, uji bawaan untuk normalitas melibatkan

perhitungan nilai Kurtosis yang lebih besar dari 3,00 dapat menunjukkan bahwa suatu

variabel tidak berdistribusi normal (Westfall & Henning, 2013). Untuk menilai normalitas,

memeriksa indeks normalitas univariat dan multivariat sering membantu dalam melakukan

uji kelayakan model. Distribusi univariat dapat diperiksa untuk mengetahui outliers dan

kemiringan serta kurtosis. Distribusi multivariasi diperiksa untuk normalitas dan outliers

multivariat.

Variable min max skew c.r. kurtosis c.r.


1,00
BA3 5,000 -1,150 -6,834 1,861 5,532
0
3,00
BA2 5,000 -,817 -4,858 -,405 -1,203
0
1,00
C2 5,000 -,694 -4,126 ,628 1,866
0
3,00
RPI1 5,000 -,893 -5,310 -,229 -,679
0

Pada tabel di atas karena nilai dari item indikator di bawah ketentuan maka keempat

item indikator tersebut dihapus dari model penelitian. Pada tahapan selanjutnya dalam

memodifikasi model diperlukan melakukan hubungan antara error yang memiliki nilai M.I

tertinggi maka akan dihapus untuk mendapatkan model yang lebih baik (Gaskin, 2013). Pada

tabel di bawah ini terdapat 2 eror tertinggi yang didapat berdasarkan model fit indices di

dalam perangkat lunak AMOS yang secara otomatis dapat mendeteksi nilai M.I tertinggi.
M.I. Par Change

e13
<--> e134 76,718 ,067
3

e13
<--> e133 40,910 ,050
2

Berdasarkan tiga tahapan dalam memperbaiki normalitas data sehingga data yang

digunakan dalam penelitian ini lolos uji normalitas maka gambar model dapat diubah seperti

di bawah ini.

Berdasarkan model di atas maka terjadi perubahan seperti penghapusan beberapa

kelompok data, penghapusan beberapa item indikator dalam model penelitian yang tidak

sesuai dengan ketentuan normalitas, dan penghubungan eror yang memiliki nili M.I tinggi

dalam model ini. Pada tabel di bawah ini diketahui bahwa terjadi banyak perbaikan dalam

model, walaupun tidak semua indeks memenuhi asumsi, akan tetapi hal ini dikatakan wajar
dikarenakan mendekati nilai yang direkomendasikan, maka model tersebut masih layak untuk

dilanjutkan. Ini artinya model tersebut cukup fit dan layak untuk digunakan. Menurut (Hair et al.,

2014), meskipun nilai probability level tidak sesuai rekomendasi, tetapi nilai indeks yang lain

mendekati rekomendasi sehingga evaluasi model masih layak digunakan.

No Indeks Nilai Kritis Hasil Evaluasi Model

1 Chi-Square Mendekati nol 1254,239 Baik

2 Probability level ≥ 0,05 0,00 Buruk

3 CMIN/DF < 2,00 1,939 Baik

4 CFI ≥ 0,95 0,875 Marjinal

5 RMSEA ≤ 0,08 0,068 Baik

6 TLI ≥ 0,90 0,864 Marjinal

7 GFI ≥ 0,90 0,763 Marjinal

8 AGFI ≥ 0,90 0,728 Marjinal

Hasil tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan dapat diterima. CFI dan TLI

sudah mendekati nilai acuan mereka, yang bisa dikatakan sangat baik. Dari beberapa uji

kelayakan model, jika setidaknya satu metode uji kelayakan model terpenuhi, maka model

tersebut dapat dinyatakan layak (Hair et al., 2014). Dalam studi empiris, peneliti tidak harus

memenuhi semua kriteria “goodness of fit”, tetapi bergantung pada penilaian masing-masing

peneliti. Dalam penelitian ini nilai chi-square cukup baik. Kline (1998) menyatakan bahwa

Chi-Square tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya ukuran kesesuaian model secara

keseluruhan. Salah satu alasannya adalah chi-square sensitif terhadap ukuran sampel. Dengan

bertambahnya ukuran sampel, meskipun perbedaan antara matriks kovarian sampel dan

matriks kovarian model kecil, nilai chi-kuadrat akan meningkat dan menyebabkan model

ditolak.
Chi-square juga berhubungan erat dengan nilai derajat kebebasan, jika derajat

kebebasan besar maka akan mempengaruhi nilai chi-square. Nilai “derajat kebebasan” dalam

penelitian ini sangat besar yaitu 647, sehingga akan mempengaruhi nilai chi-square.

Berdasarkan hasil uji kelayakan model pada tabel sebelumnya beberapa standar berada pada

nilai marginal. Nilai marjinal adalah kondisi untuk mengukur penerapan model di bawah

standar pemasangan absolut dan pemasangan inkremental, tetapi karena mendekati standar

pemasangan yang baik, analisis lebih lanjut masih dapat dilanjutkan (Hair et al., 2014).

4.7 Squared Multiple Correlation

Pada tahap berikutnya dilakukan model pengukuran dengan koefisien korelasi ganda

kuadrat pada variabel endogen yaitu variabel brand equity, customer relationship, dan

repurchase intention. Pada analisa pengukuran determinasi ini digunakan untuk mengetahui

besar keseluruhan variabel eksogen terhadap variabel endogen. Analisa ini untuk melihat

besarnya nilai Squared Multiple Correlation. Pada tabel di bawah ini disajikan masing-

masing nilai dari variabel endogen dalam penelitian ini, sebagai berikut:

Squared Multiple Correlation

Variabel Endogen Estimate

Brand Equity ,488

Customer Relationship ,505

Repurchase Intention ,807

Pada tabel tersebut di atas diketahui bahwa nilai dari brand equity sebesar 0,488. Hal

ini memberikan informasi bahwa social media marketing sebagai variabel eksogen memiliki

kontribusi dalam menentukan brand equity sebesar 48,8% (0,488 x 100). Dari hasil tersebut
dapat diketahui bahwa model penelitian ini dalam menentukan brand equity sudah cukup

baik karena nilai yang dibentuk predictor (eksogen) terhadap variabel endogen cukup besar.

Pada tabel di atas juga diketahui bahwa nilai dari customer relationship sebesar 0,505.

Hal ini memberikan informasi bahwa social media marketing yang merupakan variabel

eksogen memiliki kontribusi dalam menentukan variabel customer relationship sebesar

50,5% (0,505 x 100). Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa model penelitian ini dalam

menentukan customer relationship sudah cukup baik karena nilai yang dibentuk predictor

(eksogen) terhadap variabel endogen cukup besar.

Pada tabel di atas juga diketahui bahwa nilai dari repurchase intention sebesar 0,887.

Hal ini memberikan informasi bahwa seluruh variabel eksogen, dalam hal ini social media

marketing, brand equity, dan customer relationship memiliki kontribusi dalam menentukan

Organizational Performance sebesar 80,7% (0,807 x 100). Dari hasil tersebut kita dapat

mengetahui bahwa model penelitian ini dalam menentukan repurchase intention sudah cukup

baik karena nilai yang dibentuk predictor (eksogen) terhadap variabel endogen cukup besar.

Hal ini dianggap wajar dikarenakan pada variabel ini diketahui memiliki 3 predictor sehingga

hasilnya lebih besar dibandingkan variabel endogen yang lain yang hanya memiliki 1

predictor saja. Jumlah predictor akan menambah nilai square multiple correlation.

4.8 Analisis Koefisien Jalur

Standardized Direct Effects

Variabel Brand Equity Customer Repurchase

Relationship Intention

Social Media
0,698 0,711 -0,279
Marketing

Brand Equity 0,936

Customer 0,161
Relationship

Pada Tabel di atas dapat kita ketahui bahwa variabel endogen brand equity

dipengaruhi searah atau positif oleh social media marketing sebesar 0,698. Variabel customer

relationship dipengaruhi searah atau positif sebesar 0,711 hasil ini diketahui lebih besar

dengan variabel sebelumnya yaitu brand equity. Variabel repurchase intention dipengaruhi

tidak searah atau negative sebesar -0,279. Hal ini memberikan informasi bahwa pengaruh dari

social media marketing terhadap repurchase intention menjadi satu-satunya yang memiliki

pengaruh negatif.

Pada Tabel di atas dapat kita ketahui bahwa variabel endogen repurchase intention

dipengaruhi searah atau positif oleh brand equity sebesar 0,936. Hasil ini merupakan nilai

koefisien terbesar diantara beberapa jalur yang diteliti dalam penelitian ini dalam

pengaruhnya terhadap repurchase intention. Selanjutnya repurchase intention juga

dipengaruhi searah atau positif oleh customer relationship sebesar 0,161. Hasil koefisien ini

tidak terlalu besar dibandingkan dengan koefisien pada variabel lain.

4.9 Uji Hipotesis

Kriteria goodness of fit model structural yang diestimasi dapat terpenuhi, maka tahap

selanjutnya adalah analisis terhadap hubungan Structural Model seperti yang ditunjukkan

pada tabel di bawah ini. Hubungan antar konstruk dalam hipotesis ditunjukkan oleh nilai

regression weights (Hair et al., 2014)

Regression Weights
Estimate S.E. C.R. P Label
<--
BE SMM ,575 ,088 6,504 *** par_5
-
<--
CR SMM ,931 ,117 7,963 *** par_6
-
RP <-- SMM -,318 ,100 -3,175 ,001 par_3
Estimate S.E. C.R. P Label
I -
RP <--
BE 1,300 ,216 6,012 *** par_4
I -
RP <--
CR ,141 ,117 1,201 ,230 par_7
I -

Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate

sebesar 0,575 antara social media marketing terhadap brand equity. Pengaruh ini memiliki P-

value sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut ialah signifikan

maka H0 ditolak dan hipotesis diterima.

Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate

sebesar 0,931 antara social media marketing terhadap customer relationship. Pengaruh ini

memiliki P-value sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut

ialah signifikan maka H0 ditolak dan hipotesis diterima.

Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang negatif yaitu dengan nilai estimate

sebesar -0,318 antara social media marketing terhadap repurchase intention. Meskipun

pengaruh ini memiliki P-value sebesar 0,001 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh

tersebut ialah signifikan, akan tetapi karena tidak searah atau negatif maka H0 diterima dan

hipotesis ditolak.

Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate

sebesar 1,300 antara brand equity terhadap repurchase intention. Pengaruh ini memiliki P-

value sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut ialah signifikan

maka H0 ditolak dan hipotesis diterima.

Tabel di atas menjelaskan terdapat pengaruh yang positif yaitu dengan nilai estimate

sebesar 0,141 antara customer relationship terhadap repurchase intention. Pengaruh ini
memiliki P-value sebesar 0,230 > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut

ialah tidak signifikan maka H0 diterima dan hipotesis ditolak.

Hasil Hipotesis

No Hipotesis Hasil
H1 Social Media Marketing Activities berpengaruh positif Diterima
terhadap Brand Equity pada industri E-commerce
H2 Social Media Marketing Activities berpengaruh positif Diterima
terhadap Customer Relationship pada industri E-commerce
H3 Social Media Marketing Activities berpengaruh positif Ditolak
terhadap Repurchase Intention pada industri E-commerce
H4 Brand Equity berpengaruh positif terhadap Repurchase Diterima
Intention pada industri E-commerce.
H5 Customer Relationship berpengaruh positif terhadap Ditolak
Repurchase Intention pada industri E-commerce.

4.10 Pembahasan

Social Media Marketing Activities berpengaruh positif terhadap Brand Equity pada industri E-

commerce

Dari sudut pandang peneliti dan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan

hubungan yang kuat antara social media marketing terhadap brand equity. Hasil positif dari

sudut pandang peneliti ini bisa jadi karena peningkatan jumlah pengguna pemasaran media

sosial dan meningkatnya kesadaran akan penggunaannya, sehingga perusahaan melakukan

pemasaran melalui media sosial dan membawa pelanggan mereka pada brand perusahaan

dengan serius, yang akan membawa brand equity perusahaan ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan karakteristik responden berusia muda dan mulai masuk dunia kerja

sehingga mayoritas responden memiliki kemampuan finansial secara mandiri. Preferensi

merek terutama sebagian besar responden tinggal di Jakarta sangat tinggi, media sosial

menjadi salah satu alat komunikasi terbaik untuk perusahaan tetap dapat berkomunikasi dan

menguatkan merek mereka kepada responden yang memiliki latar belakang ini. Penelitian ini
didominasi oleh generasi yang disebut sebagai digital native seringkali komunikasi mereka di

dunia digital seperti sosial media lebih banyak dibandingkan dunia aslinya. Ibu kota Jakarta

menjadi pusat ekonomi dan menjadi kota dengan tingkat pendapatan tertinggi di Indonesia,

akan terasa tepat jika perusahaan melakukan pemasaran melalui media sosial karena pada

saat ini beberapa fitur di sosial media dapat mengatur spesifik audiens seperti lokasi, usia,

dan gender yang sesuai dengan target perusahaan mereka. Fenomena ini menjadikan

pemasaran digital lebih efektif menjangkau konsumen pada generasi ini.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Melissa (2015) yang

telah melakukan survey terhadap 122 orang dan menemukan bahwa Social Media Marketing

Activities juga memiliki efek positif secara langsung terhadap Brand Equity. Kemudian

Godey, et al (2016) juga mengatakan adanya hubungan positif dan signifikan dari Social

Media Marketing Activities dengan Brand Equity.

Social media marketing memiliki kekuatan untuk menjadi aset paling menarik yang

dimiliki oleh sebuah bisnis, membantu meningkatkan hubungan dengan pelanggan dan

mendorong brand equity yang lebih kuat. Adopsi media sosial yang meluas oleh konsumen

dan brand telah mengubah hubungan brand dan audiens secara drastis. Kehadiran brand

secara online pada media sosial, dapat menjadi aset yang membangun brand equity serta

menambah nilai bagi konsumen dan perusahaan.

Topik penelitian penting lainnya adalah brand equity dipandang sebagai dasar untuk

kerangka kerja strategis baru untuk membangun program pemasaran yang lebih kuat dan

berpusat pada pelanggan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diukur secara finansial.

Brand equity menjadi pembahasan penting mengingat dapat menjadi dasar dalam menyusun

strategi suatu perusahaan terutama dalam ranah media sosial.


Customer-based Brand Equity (CBBE) ditunjukkan dengan peningkatan kekuatan

sikap, dimana sikap dapat mengacu pada asosiasi objek dan evaluasi objek tersebut dalam

memori konsumen (Farquhar, 1989). Sebagaimana dijelaskan pada bab awal bahwa aktivitas

pemasaran dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap asosiasi dan evaluasi objeknya,

oleh karena itu Yoo, Donthu, dan Lee (2000) menyatakan brand equity sebagai “perbedaan

dalam pilihan konsumen antara fokus produk bermerek dan produk tidak bermerek

mengingat tingkat fitur produk yang sama”. Oleh karena itu, tindakan untuk menunjukkan

brand equity dapat dilakukan dengan membandingkan dua produk yang masing-masing

identik kecuali namanya melalui penilaian niat untuk membeli atau preferensi terhadap

merek.

Banyak perusahaan telah memanfaatkan media sosial untuk pemasaran dan periklanan.

Penggunaan pemasaran media sosial itu sendiri telah menciptakan lebih banyak kemungkinan

peluang bisnis sehingga pelanggan sekarang dihadapkan pada pesan merek dengan cara

membangun lebih banyak interaksi (Kim & Ko, 2010). Pesan atau informasi merek yang

disampaikan melalui media sosial dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap brand

equity. Melalui kegiatan pemasaran, perusahaan berusaha menciptakan evaluasi merek yang

positif dengan mengembangkan sikap merek yang mudah diakses dan citra merek yang

konsisten untuk menciptakan dampak yang maksimal terhadap perilaku pembelian. Oleh

karena itu brand equity yang dipersepsikan akan berkontribusi dalam mempengaruhi niat beli

di kemudian hari.

Social Media Marketing Activities berpengaruh positif terhadap Customer Relationship

pada industri E-commerce

Social media marketing activities adalah faktor kunci dalam hubungan konsumen:

Pelanggan melakukan penelitian tentang produk atau layanan, mereka bersedia membeli,
melalui media sosial. Untuk memperluas komunikasi dengan klien, perusahaan menggunakan

media sosial dan hasilnya adalah: interaksi pelanggan yang lebih baik. Customer relationship

membahas mengenai cara semakin dekat dengan konsumen, terutama mengenai komunikasi

dengan konsumen.

Berdasarkan karakteristik responden yang berusia muda dan didominasi oleh responden

wanita yang mana mereka biasa mencari referensi mengenai suatu produk yang sedang

mereka bandingkan di sosial media, maka dari itu social media marketing sangat penting

untuk kelompok ini, persaingan e-commerce di Indonesia cukup ketat sehingga perusahaan

berusaha mempertahankan konsumen mereka dan menggarap konsumen potensial. Hasil dari

pengaruh social media marketing activities menjadi yang terbesar pengaruhnya ke customer

relationship hal ini karena memang sosial media adalah alat yang paling tepat saat ini dalam

menjali hubungan antara perusahaan dengan konsumen mereka, tidak jarang kita lihat

perusahaan e-commerce menggunakan beberapa endorsement yang dilakukan oleh celebrity

untuk meningkatkan hubungan mereka dengan konsumen atau calon konsumen potensial

mereka.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Ko (2010) bahwa

kegiatan social media marketing activites yang dilakukan oleh suatu brand mempengaruhi

customer relationship dari brand tersebut. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Gautam

dan Sharna (2017) yang menjelaskan bahwa dengan meningkatkan customer relationship,

hubungan antara konsumen dan brand akan semakin kuat.

Di era teknologi yang semakin maju, komunikasi sebagian besar berada di media sosial.

Media sosial sebenarnya adalah komunikasi terbuka mengenai kepuasan dan ketidakpuasan,

suka dan tidak suka. Jika semakin dekat dengan konsumen berarti perusahaan harus

beradaptasi dengan kebangkitan media sosial ini agar tetap kompetitif di pasar. Inilah alasan
mengapa organisasi harus menggunakan sosial media dalam pemasaran dan mereka harus

menerima transisi ini dari customer relationship tradisional (email, telepon, brosur) ke

customer relationship model baru. Kami menyebutnya transisi karena perusahaan tidak boleh

melupakan praktik lama customer relationship, tetapi mengintegrasikan yang baru dan

memfokuskan perhatian mereka pada praktik tersebut.

Sebagian besar perusahaan menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan

pelanggan dan menanggapi pertanyaan dan keluhan mereka, sementara lebih dari

setengahnya menggunakan media sosial untuk meningkatkan penjualan: menghasilkan arahan

penjualan dan menjual produk. Survei pada penelitian ini juga mengungkapkan bahwa lebih

dari 50% perusahaan e-commerce menggunakan media sosial untuk mempromosikan

platform mereka. Perusahaan juga menggunakan media sosial untuk review konsumen, dalam

memberikan dukungan atau mencari tahu ide konsumen. Mereka menggunakan media sosial

sebagai alat pemasaran lebih dari sekadar mengumpulkan dan menganalisis data.

Social Media Marketing Activities berpengaruh negatif terhadap Repurchase Intention

pada industri E-commerce

Pada saat perusahaan melakukan pemasaran melalui media sosial, perusahaan tidak

memiliki kendali atas apa yang dilakukan pengikut atau konsumennya. Beberapa pengguna

berinteraksi dengan setiap kiriman, dan mereka bebas menyebarkan pesan di antara teman-

teman mereka. Meskipun ini bisa menguntungkan perusahaan, ini juga bisa menjadi

bumerang ketika postingan memberi kesan negatif tentang perusahaan. Interaksi seperti tweet

ulang, komentar, suka, dan berbagi dapat mempopulerkan postingan dalam beberapa menit.

Pemasaran melelaui media sosial memang efektif dalam beberapa penelitian terutama

terkait dengan purchase intention akan tetapi dalam hasil penelitian ini terbukti bahwa justru

hal itu memiliki pengaruh yang negative terhadap repurchase intention, sehingga dapat
disimpulkan jika pemasaran media sosial yang dilakukan oleh e-commerce hanya efektif

untuk customer potential bukan untuk konsumen yang telah existing sebelumnya. Pada

beberapa penelitian menjelaskan bahwa lebih sulit mempertahankan konsumen yang telah

ada dibandingkan mencari konsumen baru yang potensial (Zheng et al., 2017).

Berdasarkan karakteristik responden dalam penelitian ini diketahui bahwa sebagian

besar responden memang mayoritas menggunakan e-commerce Shopee jika dibandingkan

dengan e-commerce lain Shopee menjadi salah satu perusahaan yang sedikit melakukan

sosial media marketing activities dibandingkan Tokopedia dan Bukalapak. Shopee

memfokuskan binsisnya pada pricing strategy dan kupon serta gratis ongkir yang mana lebih

menarik konsumen untuk melakukan pembelian kembali terutama pada generasi muda yang

juga mayoritas responden dalam penelitian berusia 18-25 tahun yang merupakan usia kuliah

dan fresh graduate.

Hasil penelitian ini memiliki pengaruh tidak searah atau negatif dan bertentangan

dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Savitri et al. (2016) bahwa Social

Media Marketing Activities dikatakan dapat mempengaruhi Repurchase Intention konsumen

dan Subawa, et al (2020) juga menemukan bahwa meningkatnya penggunaan social media

marketing membuat meningkatnya repurchase Intention dapat meningkatkan karena adanya

feedback atau ulasan yang diberikan kepada suatu produk melalui medium Social Media

Marketing. Serta Almas (2018) menyatakan bahwa media sosial sebagai alat pemasaran yang

baik untuk meningkatkan repurchase Intention konsumen. Tidak semua ulasan atau yang

dibicarakan pada sosial media mengenai perusahaan e-commerce adalah baik ada juga ulasan

yang tidak baik yang dapat mempengaruhi konsumen dalam repurchase intention.

Pengikut perusahaan akan dapat melihat konten seperti halnya pelanggan potensial

lainnya yang telah berinteraksi dengan perusahaan. Setelah beberapa saat, perusahaan mulai
merasa tidak berdaya karena perusahaan tidak dapat mengontrol apa yang dikatakan tentang

perusahaan. Mencoba menyampaikan cerita dari sisi perusahaan tidak selalu menghasilkan

respons positif. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa media sosial adalah alat yang

sangat efektif untuk meningkatkan keterlibatan dan meningkatkan penjualan. Namun,

perusahaan tidak boleh menganggapnya sebagai satu-satunya jalan pemasaran yang harus

dikejar. Menjadi tergantung pada platform media sosial tertentu membuat perusahaan rentan

terhadap perubahan masa depan yang mungkin dilakukan terhadap cara komunikasi tersebut.

perusahaan harus menjelajahi opsi pemasaran yang berbeda dan kemudian menetapkan

kombinasi yang sesuai untuk layanan dan produk perusahaan. Diversifikasi upaya pemasaran

perusahaan diperlukan jika perusahaan ingin mendapatkan efek positif dari jejaring sosial.

Namun, sebagian besar perusahaan pada akhirnya terlalu memprioritaskan media sosial.

Brand Equity berpengaruh positif terhadap Repurchase Intention pada industri E-

commerce

Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa brand equity menjadi faktor utama dan

terbesar yang mempengaruhi repurchase intention pada model penelitian ini. Tahap awal

yang dibutuhkan untuk membangun sebuah merek adalah bagaimana produsen membangun

Brand Awareness melalui informasi dalam memori. Kesadaran merek penting sebelum

asosiasi merek dan ekuitas merek dapat dibentuk. Ketika konsumen memiliki sedikit waktu

untuk mengkonsumsi, kedekatan dengan nama merek akan cukup untuk menentukan

pembelian. Konsep brand equity adalah kemampuan pembeli untuk mengidentifikasi

(mengenali atau mengingat) merek yang cukup rinci untuk melakukan pembelian. Brand

equity merupakan langkah awal bagi setiap konsumen dari setiap produk atau merek baru

yang ditawarkan melalui periklanan.


Berdasarkan identitas responden dalam penelitian ini diketahui sebagian besar terdiri

dari kalangan wanita yang memiliki karakteristik preferensi merek yang tinggi dalam

beberapa penelitian (Hussain et al., 2020). Brand equity menjadi hal paling penting dalam

menentukan apakah seorang konsumen membeli kembali atau tidak terutama dalam

pembelanjaan online yang disediakan oleh e-commerce. Akumulasi pengalaman dan

pengetahuan konsumen tentang suatu merek merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

konsumen untuk membeli kembali merek yang sama. Ekuitas merek tidak hanya memberikan

manfaat langsung, tetapi juga manfaat jangka panjang dengan mempertahankan konsumen

untuk terus membeli kembali produknya Merek yang kuat akan membuat konsumen selalu

mengingat merek tersebut.

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Bendixen,

Bukasa, & Abratt, (2004) dan Erdem, Swait, & Louviere, (2002) bahwa Brand Equity

memiliki banyak sekali keuntungan terhadap perusahaan, mulai dari mempermudah

diferensiasi dan memposisikan perusahaan serta peningkatan efisiensi dan efektivitas

program pemasaran, dan dapat juga memiliki harga yang lebih tinggi dan margin keuntungan

yang lebih besar. Selain penemuan diatas, Kusuma dan Miartana (2018) menyatakan Brand

Equity juga telah dikaitkan dengan Repurchase Intention hasil penelitian telah dilakukan

dalam beberapa konteks bahwa Brand Equity (Brand Loyalty, Brand Association, Brand

Awareness , Perceived Quality) memiliki pengaruh yang positif terhadap Repurchase

Intention. Penelitian Pitaloka dan Gumanti (2019) mengatakan Brand Equity (Brand

Awareness, Perceived Quality) mempengaruhi secara signifikan dan simultan dampak

terhadap Repurchase Intention. Uthayakumar & Senthilnathan (2011) juga mengatakan

bahwa Repurchase Intention konsumen bisa diprediksi dengan sifat konsumen terhadap

Brand Equity.
Berdasarkan model CBBE dalam membangun menuju brand equity yang tinggi hanya

terjadi pada konsumen yang menyadari keberadaan suatu merek dan memiliki image/asosiasi

kuat, menguntungkan, dan menyadari keunikan atau keunggulan merek tertentu. Keller et al.

(2011) mengemukakan proses langkah dalam membangun sebuah merek, menyusun identitas

merek yang tepat, menciptakan makna merek yang sesuai dengan yang dirumuskan,

menstimulasi respon merek yang diharapakan, menjalin relasi merek yang tepat dengan

konsumen. Hasil dari keseluruhan itu akan berdampak kepada perusahaan karena kredibilitas

dari merek dan kredibilitas perusahaan sangat berkaitan erat.

Customer Relationship tidak berpengaruh signifikan terhadap Repurchase Intention pada

industri E-commerce

Repurchase intention menjadi pembahasan menarik saat ini ketika semua transaksi

dapat dilakukan secara online. Banyak pemain dalam industry e-commerce membuat setiap

perusahaan berusaha mempertahankan konsumen mereka yang mana konsumen tersebut

dapat juga sekaligus menjadi konsumen perusahaan pesaingnya di industri yang sama.

Transaksi digital telah melakukan pergeseran mengenai pembelian kembali dikarenakan

konsumen dapat berpindah tempat (platform) hanya dalam hitungan detik tidak seperti

transaksi tradisional yang biasanya. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa customer

relationship tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap repurchase intention.

Berdasarkan data responden yang penelitian ini dapatkan dikethui bahwa responden

memang aktif dalam media sosial dan memiliki lebih dari 1 aplikasi e-commerce.

Pengalaman dan brand equity masih menjadi pertimbangan utama dalam repurchase

intention. Pada penelitian ini seperti yang diketahui bahwa sebagian besar responden berusia

muda dan dalam beberapa survei bahwa konsumen yang berusia muda kurang memiliki

ketertarikan terhadap perusahaan yang masif melakukan iklan di media sosial, karena mereka
menganggap iklan sebagai gangguan ketika mereka menggunakan media sosial (Ishadi &

Djastuti, 2012). Fungsi utama customer relationship pada awalnya dan saat ini adalah

berusaha menjangkau konsumen mereka lebih luas terutama terkait pembelian akan tetapi hal

ini tidak terbukti pada pembelian kembali terutama pada penelitian ini.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan

oleh Gautam dan Sharma (2017), Kim dan Ko (2010) serta Hakim, Susanti, dan Ujianto

(2017) bahwa Customer Relationship mempengaruhi Purchase Intention. Terutama

penelitian yang dilakukan oleh Gautam dan Sharma (2017) yang mengatakan penggunaan

media sosial sebagai salah satu cara untuk menjaga customer relationship akan meningkatkan

repurchase intention dari pelanggan. Customer relationship dalam penelitian tidak

menemukan hal itu bahwa tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap repurchase

intention.
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

E-commerce sekarang memainkan peran penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini

mendefinisikan ulang aktivitas komersial di seluruh dunia. Selama bertahun-tahun, e-

commerce telah berkembang pesat menjadi sebuah gaya hidup baru dalam berbelanja online.

Penelitian ini berusaha merumuskan faktor-faktor penting dalam pembelian ulang dalam

industri e-commerce di Indonesia dengan menggunakan 3 variabel yaitu aktivitas pemasaran

media sosial, ekuitas merek, dan hubungan konsumen.

Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan positif yang kuat dan signifikan antara

social media marketing activities terhadap brand equity. Hasil positif dari sudut pandang

peneliti ini bisa jadi karena peningkatan jumlah pengguna pemasaran media sosial dan

meningkatnya kesadaran akan penggunaannya, sehingga perusahaan melakukan pemasaran

melalui media sosial dan membawa pelanggan mereka pada brand perusahaan dengan serius,

yang akan membawa brand equity perusahaan ke arah yang lebih baik.

Hasil dari pengaruh social media marketing activities menjadi yang terbesar

pengaruhnya secara positif ke customer relationship dan signifikan hal ini karena memang
sosial media adalah alat yang paling tepat saat ini dalam menjali hubungan antara perusahaan

dengan konsumen mereka, tidak jarang kita lihat perusahaan e-commerce menggunakan

beberapa endorsement yang dilakukan oleh celebrity untuk meningkatkan hubungan mereka

dengan konsumen atau calon konsumen potensial mereka.

Hasil penelitian ini memiliki pengaruh tidak searah atau negatif dan bertentangan

dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Savitri et al. (2016) bahwa Social

Media Marketing Activities dikatakan dapat mempengaruhi Repurchase Intention konsumen

dan Subawa, et al (2020) juga menemukan bahwa meningkatnya penggunaan social media

marketing membuat meningkatnya repurchase Intention dapat meningkatkan karena adanya

feedback atau ulasan yang diberikan kepada suatu produk melalui medium Social Media

Marketing. Serta Almas (2018) menyatakan bahwa media sosial sebagai alat pemasaran yang

baik untuk meningkatkan repurchase Intention konsumen. Penelitian ini menjelaskan bahwa

tidak semua ulasan atau yang dibicarakan pada sosial media mengenai perusahaan e-

commerce adalah baik ada juga ulasan yang tidak baik yang dapat mempengaruhi konsumen

dalam repurchase intention.

Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa brand equity menjadi faktor utama dan

terbesar yang mempengaruhi repurchase intention secara positif dan signifikan pada model

penelitian ini. Akumulasi pengalaman dan pengetahuan konsumen tentang suatu merek

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli kembali merek yang

sama. Ekuitas merek tidak hanya memberikan manfaat langsung, tetapi juga manfaat jangka

panjang dengan mempertahankan konsumen untuk terus membeli kembali produknya Merek

yang kuat akan membuat konsumen selalu mengingat merek tersebut.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa customer relationship tidak memiliki pengaruh

signifikan terhadap repurchase intention. Fungsi utama customer relationship pada awalnya
dan saat ini adalah berusaha menjangkau konsumen mereka lebih luas terutama terkait

pembelian akan tetapi hal ini tidak terbukti pada pembelian kembali terutama pada penelitian

ini. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh

Gautam dan Sharma (2017), Kim dan Ko (2010) serta Hakim, Susanti, dan Ujianto (2017)

bahwa Customer Relationship mempengaruhi Purchase Intention. Terutama penelitian yang

dilakukan oleh Gautam dan Sharma (2017) yang mengatakan penggunaan media sosial

sebagai salah satu cara untuk menjaga customer relationship akan meningkatkan repurchase

intention dari pelanggan. Customer relationship dalam penelitian tidak menemukan hal itu

bahwa tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap repurchase intention.

5.2 Implikasi Manajerial

Berdasarkan kesimpulan dan pembahasan di atas maka penelitian ini memiliki beberapa

implikasi manajerial yang dapat bermanfaat untuk dijadikan pembelajaran pada industri e-

commerce yaitu sebagai berikut:

Pada beberapa dekade terakhir kita telah melihat perubahan yang belum pernah terjadi

sebelumnya dalam bisnis global terutama terkait revolusi pada teknologi informasi dan

komunikasi. Perkembangan dalam TI mengubah strategi yang diikuti oleh perusahaan untuk

mengatasi perubahan baru dalam lingkungan bisnis. Pengaruh ini merubahh cara dan sumber

titik kontak pelanggan dan cara daya tarik dan retensi pelanggan. Dalam skenario yang

berubah ini mereka yang tertinggal akan menghadapi kehilangan pelanggan yang tinggi dan

akhirnya keluar dari pasar, kecuali mereka mengembangkan pemasaran melalui media sosial

dan mengelola hubungan pelanggan secara virtual dalam menciptkana nilai merek.

Perusahaan dapat menggunakan media sosial sebagai alat pemasaran terutama untuk

para audiens yang memiliki latar belakang seperti identitas responden dalam penelitian ini. Di

dunia di mana percakapan merek dan audiens terjadi di ruang publik, semua aspek bisnis ini
dapat dianggap sebagai bagian dari pemasaran. Kisah positif atau negatif yang muncul dan

menyebar secara online tentang bisnis membantu menginformasikan pilihan konsumen.

Sementara kecerdasan sosial dapat meningkatkan praktik pemasaran tradisional, perannya

telah meluas untuk menginformasikan beberapa titik kontak pelanggan. Meningkatkan

pengalaman pelanggan di setiap titik akan menguntungkan konsumen, mendorong

percakapan yang lebih baik, dan meningkatkan ekuitas merek.

Media sosial dengan cepat menggantikan media tradisional sebagai sumber informasi

utama yang terkait dengan customer relationship. Jumlah saluran komunikasi online yang tak

terbatas yang tersedia bagi pelanggan memiliki implikasi positif dan negatif untuk

manajemen hubungan pelanggan yang tepat. Manfaat utama dari media sosial adalah

memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk dengan cepat dan mudah mendapatkan

umpan balik mengenai pengembangan produk dan upaya pemasaran perusahaan saat ini.

Satu-satunya cara untuk mengelola pro dan kontra media sosial adalah dengan membangun

hubungan pelanggan yang kuat yang didasarkan pada kolaborasi, kepercayaan, dan loyalitas.

Perusahaan yang sukses membangun hubungan dengn konsumen mereka disebabkan

mereka mampu memahami peran yang dimainkan media sosial dalam menciptakan hubungan

pelanggan jangka panjang. Misalnya, pada beberapa tahun lalu, Shopee memasukkan

pendekatan yang berpusat pada pelanggan ke dalam proses pengembangan produk mereka.

Mereka meluncurkan satu menu khusus terkait hal tersebut yang mendorong konsumen untuk

menyuarakan pendapat mereka tentang produk saat ini dan masa depan melalui jajak

pendapat pelanggan dan forum saran pelanggan. Dengan menempatkan pelanggan di garis

depan dalam proses pengambilan keputusan, Shopee telah membedakan diri mereka dari

pesaing mereka.
Perusahaan dapat mempertimbangakn opsi lain dalam meningkatkan pembelian

kembali selain pemasaran media sosial, hal ini dikarenakan pemasaran melalui media sosial

lebih tepat untuk potensial konsumen melakukan pembelian awal (purchase intention) akan

tetapi kurang tepat jika dijadikan strategi pembelian kembali pada industri e-commerce.

Semakin banyak konsumen beralih ke web untuk mengekspresikan ide dan pendapat mereka

tentang berbagai merek, perusahaan perlu melengkapi diri mereka dengan perangkat yang

tepat untuk mendengarkan dan menanggapi percakapan online ini.

Perusahaan harus memiliki strategi yang tepat untuk menjangkau individu-individu ini

secara efektif, membangun hubungan pelanggan yang berkualitas, dan mengatasi persaingan

dalam meningkatkan repurchase intention. Mengumpulkan data yang benar dari pelanggan

yang tepat akan memastikan inisiatif pengembangan produk perusahaan selaras dengan

harapan pelanggan dalam meningkatkan repurchase intention pada industri e-commerce.

Perusahaan perlu memperhatikan faktor terpenting dalam meningkatkan repurchase

intention yaitu brand equity penelitian ini mendapatkan bahwa pengaruhnya adalah yang

terbesar. Perusahaan dapat menerapkan strategi khusus yang meningkatkan brand equity.

Brand equity merupakan komponen penting dari identitas bisnis perusahaan dan akan

meningkatkan pelanggan serta mempertahankannya karena tetap melakukan transaksi secara

berulang dalam jangka panjang.

Jika perusahaan ingin meningkatkan brand equity, perusahaan harus meningkatkan

loyalitas konsumen pada merek perusahaan, mengasosiasikan merek perusahaan dengan nilai

atau kualitas yang lebih baik, atau meningkatkan kesadaran konsumen terhadap merek

perusahaan. Idealnya, perusahaan mampu melakukan keempatnya. Periklanan adalah cara

perusahaan dalam meningkatkan brand equity untuk mendorong peningkatan kesadaran

merek dan asosiasi merek, yang akan mengarah pada peningkatan repurchase intention jika
dilakukan dengan benar. Kuncinya adalah membedakan antara jenis periklanan ini dan

pemasaran yang didorong penjualan.

Perusaaan perlu menggunakan strategi lain dalam meningkatkan repurchase intention

hal ini dikarenakan dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh yang signifikan karena

variabel ini tidak memiliki pengaruh pada hal tersebut akan lebih tepat untuk keputusan

pembelian. Hubungan pelanggan yang kuat sangat penting untuk kesuksesan bisnis. Tapi,

mereka tidak dibangun dalam semalam. Sama seperti hubungan pribadi, penting untuk

memupuk dan memelihara hubungan pelanggan. Ketika perusahaan mengembangkan

hubungan yang kuat dengan pelanggan mereka, hal itu dapat mengarah pada klien setia,

kabar positif dari mulut ke mulut, dan peningkatan penjualan maka variabel ini sangat

memiliki dampak besar pada keputusan pembelian dan penjualan akan tetapi bukan pada

pembelian ulang.

Di sisi lain, meskipun hubungan yang bermakna membutuhkan waktu dan upaya untuk

dibangun, hubungan tersebut dapat cepat rusak. Hubungan yang dianggap biasa memburuk

dalam sekejap. Filosofi utama yang harus diingat adalah bahwa hubungan yang kuat

dibangun untuk membuat orang lain merasa penting. Continuance intention merupakan hal

yang penting bagi e-commerce di Indonesia saat ini dengan ini perusahaan dapat

mempertahankan konsumen mereka untuk tetap setia menggunakannya dalam jangka

panjang.

5.3 Batasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan secara khusus baik dari metode penelitian yang

hanya menggunakan kuantitatif serta pengambilan sampel, jika dilihat dari pengambilan

sampel dapat diketahui hampir sampel dalam penelitian bersifat homogen baik dari usia

maupun pekerjaan. Konsumen sebagai responden memiliki ketimpangan dalam beberapa


perusahaan e-commerce lebih besar jauh sehingga akan bias untuk penelitian dalam industry

e-commerce. Penggunaan sampel masih terlalu kecil untuk menggambarkan populasi yang

cukup besar pada konsumen e-commerce di Indonesia. Penggunaan variabel terbatas hanya

beberapa variabel yang dirasa cukup penting dalam membangun model penelitian mengenai

e-commerce di Indonesia.

5.4 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini perusahaan dapat mengambil manfaat dalam

meningkatkan beberapa aspek dalam perusahaan terutama repurchase intention yang menjadi

pembahasan utama dalam penelitian ini pada industri e-commerce. Penelitian selanjutnya

dapat menggunakan beberapa variabel tambahan yang lebih lengkap seperti e-loyalty karena

banyak pembahasan penting pada pembelanjaan online dan pemasaran digital melalui media

sosial yang menjelaskan hubungan kedua variabel tersebut.

Jumlah sampel dan perusahaan dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dapat

lebih banyak agar mendapatkan hasil yang lebih presisi menggambarkan mengenai industri

e-commerce di Indonesia. Penggunaan sampel dan responden dalam penelitian ini cukup

terbatas karena waktu dan biaya sehingga penelitian selanjutnya dapat membuat lebih

lengkap dan komprehensif. Penelitian selanjutnya juga dapat menambahkan metode kualitatif

seperti wawancara dengan konsumen atau pelaku bisnis pada perusahaan e-commerce agar

mendapatkan hasil yang lebih baik dalam menggambarkan bisnis e-commerce di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai