Anda di halaman 1dari 3

Ibu

Ibuku tak sehebat ibu-ibu lain dalam cerita ibu hebat, dia tidak memilki sepuluh anak yang
lulus PTN dengan nilai-nilai yang memuaskan, lalu menjadi duta bangsa dan dihadirkan pada
sebuah acara televisi nasional. Ibuku hanya punya tiga anak, bahkan hanya aku saja anak
keduanya yang bisa merasakan diwisuda. Aku ingat ketika Ibuku duduk di bangku wali siswa
menunggu namaku dipanggil dan naik untuk dipindah tempatkan tali pada toga di kepalaku,
sepertinya tak tau apa yang harus dia lakukan diam saja dan menatap kosong, apa yang kau
pikirkan. Oh ibu, lugu nian dirimu. Wanita desa yang ku sayang sepanjang masa.

Ibuku tak tamat sekolah dasar, tulisanya saja seperti huruf bersambung. Dia berangkat dari
keluarga sederhana buruh tani yang bahkan bisa dibilang kalangan kurang mampu, waktu itu.
Ibu remaja menghabiskan waktunya bekerja di Jakarta sebagai pegawai pabrik didaerah
penjaringan Jakarta utara. Masa remaja yang penuh juang, berdiri tegak sambil mencari jati
diri. Disitu pulalah dia bertemu dengan ayahku yang juga pegawai pabrik.
Perkenalan mereka adalah prakarsa teman-teman dekat mereka yang lebih dahulu menikah.
Ibu bawaan sang istri dan ayah bawaan sang suami, sebegitu sederhananya cinta bersandar
sampai akhirnya ayah meminta keluarganya untuk meminang ibu yang hanya berlainan
kecamatan itu.

Ketika keluarga ayah berkunjung untuk menyatakan maksud dan tujuan, orang tua ayahku
yang kemudian aku panggil eyang memang agak sedikit kurang setuju. Keadaan ekonomi
keluarga ibu adalah permasalahanya. Rumah gubuk reyot yang berdiri diatas tanah yang
bukan milik sendiri, dengan rumbia sebagai atap dan potongan kayu pohon kelap sebagai
penyangganya. Diceritakan kepadaku dari ayahku, bahwa rumah ibu tak memiliki pintu,
ketika akan masuk kerumah mereka menngeser dinding yang dibuat daru daun rumbia
tersebut, begitulah gambaranya. Tapi karena telah digariskan berjodoh, akhirnya tetap ayah
bersikeras menjadikan ibu sebagai istrinya. Semua berjalan sebagaimana mestinya dan
bahagia, hingga keluarga kecil ini dikaruniai dua putri dan seorang putra.

Ibu sekali waktu bercerita. Ketika aku masih kecil, kehidupan kami amat sangat bahagia.
Ayah bekerja di Jakarta dan sebulan sekali pulang menengok keluarganya dikampung. Ibu
yang seorang cermat menakar penghasilan lambat laun menabung untuk membeli tanah dan
membangun rumah. Ekonomi keluarga hampir tidak ada masalah dan kebahagiaan
nampaknya memeluk kehidupan kami.
Ketika adikku lahir, perangai ayah berubah, sikap yang lemah lembut berubah menjadi
tempramen, kata-katanya kasar dan tinggi. Sebentar marah sebentar reda membuat
percekcokan dengan ibu kian hari kian banyak. Sampai suatu ketika ayah berterus terang
bahwa dia telah memiliki istri lagi di Jakarta. Seorang gadis tua yang kata ibu menguna-guna
ayah agar mau menjadi suaminya.Pernikahan merekan lebih kurang seumuran dengan adikku.
Dari pernikahannya itu ayah telah dikaruniai seorang putra.

Ibu, menangisi belahan jiwanya berpaling dari janji setianya dulu, ketika bertekad
membangun bahtera rumah tangga mereka. Tidak habis fikir, seorang lelaki yang bersikeras
meminang gadis miskin sampai harus bersitegang dengan keluarga besarnya, kini jatuh pada
wanita lain. Kesedihan ibu tak hilang berbulan-bulan. Anak-anak yang masih kecil-kecil
membutuhkan sosok ayah dan uluran untuk tetap hidup dan sekolah. Tidak mungkin jika dia
harus kembali kepada orang tuanya yang keadaan ekonominya juga tak menentu.

Akhirnya diputuskan untuk menitipkan aku dan kakakku ditempat kakek nenek. Sedangkan
adikku yang baru berumur 4 tahun di tempat eyang, orang tua dari ayah. Kami terpisah dan
dibesarkan pada dua keluarga yang berbeda. Beberapa bulan merantau ke jakarta, ibu pulang
untuk menyewa sawah untuk digarap. Aku sangat gembira karena kami berkumpul kembali.
ibu selalu memberi pelajaran agar tak pernah ikut-ikutan seperti anak-anak lain yang bisa
kapan saja bermain. Kami harus mampu mandiri dan bekerja keras untuk hidup. Jujur dan
pantang menyerah.

Diajarkan kepadaku agar dapat mencuci baju sendiri, memasak, menyapu, meski itu
pekerjaan wanita pada umumnya. Kami dibimbing menjadi manusia yang akan kuat terhadap
terpaan hidup yang tidak terduga. Ingat lah ketika dahulu ayah belum beristri lagi, ibu terlalu
dimanja dengan keadaan, sampai tak kuat saat takdir berkata lain. Ayah pergi dan ibu
ditinggal dengan keterbatasan sebagai seorang wanita.

Meski dengan menjadi buruh tani, ibu kuat menyekolahkan kami hingga tamat SMA. Selepas
SMA kutekadkan untuk pergi saja ke Jakarta, biar kugantikan peran ibu mencari uang untuk
kami selam ini. Segala pekerjaan kucoba agar kudapatkan keterampilan lebih dari satu. Aku
selalu ingat apa yang dipesankan ibu bahwa kita harus siap dengan terpaan hidup yang tak
terduga. Terimakasih ibu, guru dan inspirasiku sepanjang masa. Anakmu ini selalu
merindukan mu dan butuh doa-doa tulus darimu.

Anda mungkin juga menyukai