Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi
(IPTEK) saat ini berpengaruh besar dalam perubahan perilaku dan hukum
dalam masyarakat. Memajukan kehidupan masyarakat modern terhadap
teknologi merupakan salah satu kunci keberhasilan dan kemajuan dalam
pembangunan. Kemajuan teknologi informasi termasuk telekomunikasi
tidak hanya terjadi pada negara maju, namun juga terhadap negara
berkembang. Indonesia adalah salah satu negara yang perkembangan
teknologinya saat ini sedang berkembang dengan pesat termasuk di dalam
bidang ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, dan budaya.
Komputer, telekomunikasi, dan informatika telah berjalan sedemikian
rupa sehingga pada saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan tahun-
tahun yang sebelumnya dan sudah berkembang. Kecanggihan teknologi
informasi elektronik dewasa ini cukup memudahkan setiap orang
melakukan berbagai komunikasi satu dengan yang lain, dimana teknologi
informasi yang berbasis elektronik ini menjadi gerbang utama untuk
mendapatkan kebutuhan lainnya, sehingga barang apapun semakin mudah
diperoleh dan diakses untuk mendapatkan informasi dengan sangat
mudah.1
Cepatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini menjadi
dampak kompleknya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri.
Internet telah menghadirkan kenyataan dalam kehidupan baru bagi setiap
umat manusia, internet juga sudah mengubah terhadap jarak dan waktu
menjadi tidak terbatas. Medium internet yang dapat melakukan suatu
transaksi bisnis, belajar, belanja, berbincang dengan para kolega di seluruh

1
Nining Suparni, Cyberspace problematika dan antisipasi pengaturannya, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009, hlm. 1.
2

penjuru dunia, dan bahkan dapat melakukan aktifitas lainnya dalam


berbagai kehidupan nyata. Hubungan antara informasi dan teknologi
jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang sangat luas.
Teknologi tersebut berisikan kumpulan informasi yang diakses oleh semua
orang dalam bentuk jaringanjaringan komputer tersebut yang disebut
dengan jaringan internet sebagai media layanan atau penyedia informasi.2
media internet merupakan media dari Kejahatan yang sering terjadi
berupa penipuan dengan mengatasnamakan bisnis online dengan
menggunakan nama media internet menawarkan berbagai macam produk
penjualan yang dijual dengan harga dibawah rata-rata. Bisnis online adalah
bisnis yang dilakukan via internet sebagai media pemasaran dengan
menggunakan website sebagai katalog. Penegakan hukum yang kurang
tegas dan jelas terhadap pelaku tindak pidana penipuan bisnis online,
sering kali menjadi pemicu tindak pidana penipuan ini. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan sanksi hukum
terhadap pelaku tindak pidana penipuan ini. Kasus seperti ini maka akan
ditegakan dengan menggunakan hukum pasal 378, pasal 28 ayat (1)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.3
Terbitnya Undang-Undang ITE yang pada tanggal 21 April 2008,
Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) telah mengatur sedemikian rupa terkait pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi dalam teknologi yang meggunakan media
internet, Undang-Undang ITE bukanlah tindak pidana khusus, Undang-
Undang ini tidak semata-mata memuat terkait hukum pidana saja,
melainkan memuat tentang mengenai pengaturan pengelolaan informasi
dan transaksi elektronik yang terjadi di tingkat nasional. UU ITE telah

2
Arifandi, Cyber Crime Dan Antisipsinya Secara Yuridis, Inspektorat Jendral Depkominfo, 2016,
hlm. 1.
3
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayaantara (Cybercrime), Bandung: PT Refika
Aditama, 2005, hlm. 25.
3

mengatur sedemikian rupa terhadap pengaruh buruk dari pemanfaatan


pada teknologi ITE.4

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang
diuraikan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Cyber Crime?
2. Bagaimana upaya penegakan dan pencegahan Tindak Pidana Cyber
Crime?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah dapat berguna baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat selama kuliah di
Program Studi Magister Ilmu Hukum (S-2) Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia.
b. Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis
serta dapat mengetahui keserasian antara ilmu hukum yang
diperoleh dalam perkuliahan dengan praktek yang ada di lapangan.
c. Memberikan sumbangan pemikiran yang berguna untuk
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana
terkait Cyber Crime pada khususnya.

4
Adami Chazawi, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik. Bayumedia Publishing, 2011,
hlm. 1.
4

2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dalam
penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya kajian tentang suap.
b. Memberikan kontribusi bagi arah dan kebijakaniyang akan
diterapkan atau diberlakukan dalam peraturan mengenai
penerapan hukum pidana Cyber Crime.
c. Dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat dan penegak
hukum tentang tindak Pidana cyber crime.

Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, maka tujuan yang ingin


dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
a. Apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Cyber Crime?
b. Bagaimana upaya penegakan dan pencegahan Tindak Pidana Cyber
Crime?
5

BAB II
PENGERTIAN TINDAK PIDANA CYBER CRIME

Pengertian Tindak Pidana dan Hukum Pidana


Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam buku Kamus Hukum, pidana
adalah hukuman, sedangkan Tindak Pidana adalah perbuatan atau tindakan
melawan hukum yang berlaku, baik itu pelanggaran atau ketentuan peraturan
perundang-undangan sehingga tindak pidana perlu diatur dengan suatu norma
hukum yang berupa sanksi agar dipatuhi dan ditaati.5
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenai hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan
merupakan subyek tindak pidana.6
Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-
keharusan dan larangan-larangan yang oleh pembentuk undang-undang telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang
bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana
itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap
tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.7
Kemampuan bertanggungjawab seseorang yang dapat dipidana tidak
cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan
pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat "Bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan

5
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hlm. 83.
6
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama, 2003,
hlm. 59.
7
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm. 1-
2.
6

perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya


atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan". Suatu perbuatan yang merugikan masyarakat belum
tentu merupakan tindak pidana, bila perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-
undang dan pelakunya tidak diancam pidana. Untuk menentukan perbuatan
mana yang dianggap sebagai perbuatan pidana dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dikenal “Azas Legalitas” atau yang dikenal
dengan adagiumnya berbunyi sebagai berikut: “Nullum delictum nulla poena
lege previa poenali” yaitu azas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan
pidana harus ditentukan terlebih dahulu oleh undang-undang.

Tindak Pidana Cyber Crime


Cyber crime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi. Berbagai definisi pernah dikemukakan oleh para ahli,
namun belum terdapat keseragaman terhadap definisi tersebut. Secara teknis
tindak pidana tersebut dapat dibedakan menjadi offline crime, semi online
crime, cyber crime. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri,
namun perbedaan utama diantara ketiganya adalah keterhubungan dengan
jaringan informasi publik (baca: internet). Cyber crime merupakan
perkembangan lebih lanjut dari kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi komputer.8
Memasuki pembahasan terkait pengertian cyber crime maka akan
menyinggung tentang keamanan suatu jaringan komputer atau informasi
teknologi telekomunikasi. Terutama pada era globalisasi saat ini, yang
membawa kemajuan teknologi sangat pesat maka hal tersebut tidak terlepas
adanya resiko dari penyalahgunaan dari pemanfaatan teknologi sebagai
kebutuhan informasi.
“Teknologi telekomunikasi telah membawa manusia kepada suatu
peradaban baru dengan struktur sosial beserta tata nilainya. Artinya,

8
Hukumonline.com, tanggal 31 Desember 2003.
7

masyarakat berkembang menuju masyarakat baru yang berstruktur


global. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat berubah, dari yang
bersifat lokal-partikular menjadi global universal. Hal ini pada akhirnya
akan membawa dampak pada pergeseran nilai, norma, moral, dan
kesusilaan.”9

Pengertian cyber crime menurut Prof. Widodo adalah setiap aktivitas


seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang menggunakan komputer
sebagai sarana melakukan kejahatan, atau menjadikan komputer sebagai
sasaran kejahatan. Semua kejahatan tersebut adalah bentuk-bentuk perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik dalam arti
melawan hukum secara material maupun melawan hukum secara formal. 10
Batasan atau definisi dari kejahatan komputer juga diberikan oleh Andi
Hamzah, menurut Andi Hamzah, bahwa “kejahatan di bidang komputer secara
umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal”.11

Informasi Elektronik
Informasi Elektronik menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.

9
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayaantara (Cybercrime), Bandung: PT Refika
Aditama, 2005, hlm. 23.
10
Widodo, Aspek Hukum Kejahatan Mayantara, Yogyakarta: Aswindo, 2011, hlm. 7.
11
Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika, 1989, hlm.
26.
8

Transaksi Elektronik
Transaksi Elektronik Berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa pengertian
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya. Perbuatan hukum merupakan perbuatan yang dilakukan subjek hukum
dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki, yakni hak
dan kewajiban yang melekat pada pihak yang melakukan dalam hal ini adalah
pelaku usaha dan konsumen.12
Transaksi elektronika adalah setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih melalui jaringan komputer atau media elektronik lainnya, dengan
menggunakan sistem informasi elektronika yang menimbulkan hak dan
kewajiban kepada masing-masing pihak yang bertransaksi.13

12
Enni Soerjati, Pengaturan Transaksi Elektronik dan Pelaksanannya di Indonesia dikaitkan
dengan Perlindungan E-Konsumen, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 1 Nomor 2, 2014.
13
Inca panjaitan., dkk., Membangun Cyberlaw Indonesia yang Demokratis, Jakarta : IMPLC,
2005, hlm. 87.
9

BAB III
TINDAK PIDANA CYBER CRIME
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Cyber crime merupakan kejahatan yang berbeda dengan kejaharan


konvensional (street crime). Cyber crime muncul bersamaan dengan lahirnya
revolusi teknologi informasi. Sebagimana dikemukakan oleh Ronni R.
Nitibaskara bahwa: Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik,
merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Penyimpangan sosial
menyesuasikan bentuk dan karakter baru dalam kejahatan.14
Cyber crime atau kejahatan dunia maya dalam peraturan Perundang-
undangan di Indonesia juga sering disebut dengan kejahatan tindak pidana yang
berkaitan dengan teknologi informasi.
Kejahatan teknologi informasi atau Cyber crime memiliki karakter yang
berbeda dengan tindak pidana lainnya baik dari segi pelaku, korban, modus
operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan
pengaturan khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Terkait dengan
hukum pembuktian biasanya akan memunculkan sebuah posisi dilema, di salah
satu sisi diharapkan agar hukum dapat mengikuti perkembangan zaman dan
teknologi, di sisi yang lain perlu juga pengakuan hukum terhadap berbagai jenis-
jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti di
pengadilan. Pembuktian memegang peranan yang penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian inilah yang menentukan bersalah
atau tidaknya seseorang yang diajukan di muka pengadilan. Apabila hasil
pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang tidak
cukup membuktikan kesalahan dari orang tersebut maka akan dilepaskan dari
hukuman, sebaliknya apabila kesalahan dapat dibuktikan maka dinyatakan

14
Ronni R Nitibaskara dalam Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, hlm. 25.
10

bersalah dan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu harus berhati-hati, cermat dan
matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian.
Muncul kesulitan dalam penerapan hukum dan penegakan hukum terhadap
tindak pidana Cyber crime yakni dalam penyelesaian tindak pidana tersebut,
kondisi yang paperless (tidak menggunakan kertas) ini menimbulkan masalah
dalam pembuktian mengenai informasi yang diproses, disimpan, atau dikirim
secara elektronik. mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses
pembuktian perkara pidana, khususnya yaitu tidak adanya patokan atau dasar
penggunaan bukti elektronik di dalam perundang-undangan kita. Selain itu
sulitnya mengungkap tindak pidana tersebut baik pelaku, dan kejahtan yang
sering sekali sulit untuk dibuktikan sehingga hal tersebut menjadi tantangan
tersendiri dalam penegakan hukum tindak pidana Cyber crime.

Adapun pengaturan tentang Tindak Pidana Cyber Crime adalah sebagai


berikut:
1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa pasal yang
mengatur perbuatan yang dilarang yang termasuk tindak pidana Cyber
crime. Sebelum ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang ini yang digunakan
untuk mengancam pidana bagi perbuatan yang dikategorikan dalam tindak
pidana Cyber crime. Namun undangundang ini hanya mengatur beberapa
tindak pidana yang termasuk tindak pidana Cyber crime yang masih
bersifat umum dan luas, dan hanya berkaitan dengan telekomunikasi,
sehingga belum dapat mengakomudir tindak-tindak pidana yang berkaitan
dengan komputer.
Bentuk-bentuk tindak pidana Cyber crime dalam Undang-Undang
Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi adalah Akses Illegal yakni
tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi,
menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
11

penyelenggaraan telekomunikasi dan penyadapan informasi melalui


jaringan telekomunikasi.

2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi


Elektronik (ITE)
Undang-undang ini bukanlah undang-undang tindak pidana khusus,
melainkan juga memuat tentang pengaturan mengenai pengelolaan
informasi dan transaksi elektronik dengan tujuan pembangunan, namun
undang-undang ini juga mengantisipasi pengaruh buruk dari pemanfaatan
kemajuan teknologi ITE tersebut, yakni dengan diaturnya hukum pidana
khususnya tentang tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum
orang pribadi, masyarakat, atau kepentingan hukum Negara dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi ITE, atau sering disebut tindak pidana
Cyber crime.
Cyber crime menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diklasifikasikan menjadi 2 bentuk
yakni:
1) Cyber crime yang menggunakan komputer sebagai alat kejahatan,
yakni Pornografi Online (Cyber-Porno), Perjudian Online, Pencemaran
nama baik melalui media sosial, penipuan melalui komputer, pemalsuan
melalui komputer, pemerasan dan pengancaman melalui komputer,
penyebaran berita bohong melalui komputer, pelanggaran terhadap hak
cipta, cyber terrorism.
2) Cyber crime yang berkaitan dengan komputer, jaringan sebagai sasaran
untuk melakukan kejahatan, yakni akses tidak sah (illegal acces),
menggangu sistem komputer dan data komputer, penyadapan atau
intersepsi tidak sah, pencurian data, dan menyalahgunakan peralatan
komputer.
12

3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang


Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Perbutan yang dilarang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik sama dengan perbuatan yang dilarang
dengan Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik tidak ada penambahan maupun
pengurangan tindak pidana tersebut yang diancam pemidanannya,
sehingga bentuk-bentuk Cyber crime masih sama dengan undang-undang
sebelumnya. Namun ada beberapa perubahan, antara lain:
a. Penambahan dalam Pasal 1 yakni Pasal 1 diantara angka 6 dan angka
7 disipkan 1 angka yakni angka 6a, ketentuan mengenai
Penyelenggara Sistem Elektronik.
b. Rumusan bentuk-bentuk tindak pidana ITE masih tetap sama dengan
undang-undang sebelumnya, tidak ada penambahan rumusan pasal
mengenai perbuatan yang dilarang, hanya terdapat perubahan dalam
Pasal 31.
c. Dirubah dengan penambahan penjelasan dalam Pasal 5 tentang alat
bukti elektronik.
d. Adanya kewajiban penyelenggara sistem elektronik untuk menghapus
Informasi Elektronik yang tidak relevan berdasarkan penetapan
pengadilan.
e. Penyadapan boleh dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian atau kejaksaan.
f. Adanya perubahan dalam penggeledahan dan penyitaan barang bukti
elektronk dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana
dalam KUHAP.

Cyber crime meliputi pelanggaran hak kekayaan intelektual, fitnah atau


pencemaran nama baik, pelanggaran terhadap kebebasan pribadi (privacy),
ancaman dan pemerasan, ekploitasi seksual anak-anak dan pencabulan,
13

perusakan sistem komputer, pembobolan kode akses, dan pemalsuan tanda


tangan digital. Semua perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana sesuai dengan yurisdiksinya. Cyber crime juga dapat berbentuk
pemalsuan data, penyebaran virus komputer ke jaringan komputer atau sistem
komputer, penambahan atau pengurangan sistem instruksi dalam jaringan
komputer, pembulatan angka, perusakan data, dan pembocoran data rahasia.
Ini diuraikan oleh Sue Titus Reid, bahwa Cyber crime meliputi “data diddling,
the Trojan horse, the salami technique, superzapping, and date leakgage.”15

15
Sue Titus Reid, Crime and Criminology, New York: CBS College Publishing, 1985, hlm. 56.
14

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemajuan teknologi sangat berdampak besar bagi masyarakat yang
membawa dampak positif dan dampak negatif terhadap perkembangan
manusia dan peradabannya. Dampak negatif yang dimaksud adalah yang
berkaitan dengan dunia kejahatan. J. E Sahetapy telah menyatakan, bahwa
kejahatan erat kaitanya dan bahkan menjadi sebagian dari hasil budaya itu
sendiri. Maka demikian artinya semakin tinggi tingkat budaya dan semakin
modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam
bentuk, sifat dan cara pelaksanaanya.16
Perkembangan teknologi komputer, teknologi informasi, dan teknologi
komunikasi juga menyebabkan munculnya tindak pidana baru yang
memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana konvensional.
Penyalahgunaan komputer sebagai salah satu dampak dari ketiga
perkembangan teknologi tersebut itu tidak terlepas dari sifatnya yang
memiliki ciri-ciri tersendiri sehingga membawa persoalan yang rumit
dipecahkan berkenaan dengan masalah penanggulangannya mulai dari
penyelidikan, penyidikan hingga dengan penuntutan.17
Disaat ini

B. Saran
Karakteristik tindak pidana Cyber crime berbeda dengan tindak pidana
yang lain, karakteristik bentuk tindak pidana Cyber crime antara yang satu
dengan yang lain pun berbeda hal ini dikarenakan modus operandi yang
digunakan berbeda. Sehingga dengan demikian dalam penegakan hukum

16
J. E Sahetapy dalam Abdul Wahid, Kriminologi dan Kejahatan Kontemporer, Malang: Lembaga
Penerbitan Fakultas Hukum Unisma, 2002.
17
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi), Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005, hlm. 426.
15

dan dalam proses beracaranya dari tahap penyelidikan dan penyidikan


memerlukan ketentuan khusus.
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana Cyber crime selain
dengan aturan-aturan tersebut seharusnya juga diimbangi dengan skill dan
kemampuan penegak hukumnya dalam pemberantasan tindak pidana
Cyber crime. Hal ini dikarenakan modus-modus tindak pidana Cyber crime
semakin hari semakin berkembang dikhawatirkan kejahatan tersebut akan
merajalela dan pelaku-pelaku sulit untuk dilacak dan ditangkap, sehingga
dapat merugikan masyarakat dan negara dan bahkan dunia luas.
Di samping itu juga diperlukan sosialisasi kepada masyarakat agar
masyarakat lebih berhati-hati dan bijak dalam menggunakan media
elektronik sehingga tidak menjadi pelaku ataupun korban dalam tindak
pidana cyber crime.
16

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayaantara (Cyber crime),
Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

Adami Chazawi, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik.


Bayumedia Publishing, 2011.

Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar


Grafika, 1989.

Arifandi, Cyber Crime Dan Antisipsinya Secara Yuridis, Inspektorat Jendral


Depkominfo, 2016.

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kajian Kompilasi),


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Enni Soerjati, Pengaturan Transaksi Elektronik dan Pelaksanannya di


Indonesia dikaitkan dengan Perlindungan E-Konsumen, Padjajaran Jurnal
Ilmu Hukum Volume 1 Nomor 2, 2014.

Inca panjaitan., dkk., Membangun Cyberlaw Indonesia yang Demokratis,


Jakarta: IMPLC, 2005.

J.E. Sahetapy dalam Abdul Wahid, Kriminologi dan Kejahatan Kontemporer,


Malang: Lembaga Penerbitan Fakultas Hukum Unisma, 2002.

Nining Suparni, Cyberspace problematika dan antisipasi pengaturannya,


Jakarta: Sinar Grafika, 2009
17

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar


Baru, 1984.

Ronni R Nitibaskara dalam Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber
Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita,


1980.

Sue Titus Reid, Crime and Criminology, New York: CBS College Publishing,
1985.

Widodo, Aspek Hukum Kejahatan Mayantara, Yogyakarta: Aswindo, 2011.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta:


Refika Aditama, 2003.

Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi


Elektronik (ITE).

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang


Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Internet
Hukumonline.com, tanggal 31 Desember 2003

Anda mungkin juga menyukai