Anda di halaman 1dari 3

Nama: Budi Kurniawan

NIM: 20210610394
MATKUL: Bahasa Indonesia

lemahnya supremasi hukum pidana terhadap permasalahan pelecehan seksual


dan kekerasan pada perempuan.

Hukum Pidana pada dasar adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan


perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya
Menurut Prof. Moeljatno, S.H. Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk

 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang


dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut
 Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan
 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut
Dengan demikian hukum pidana tersebut tidak mengadakan norma hukum sendiri,
melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana.

Kekerasan dalam gender, semakin meningkat,drastis baik dari jumlah maupun bentuk dan
modus operasinya yang semakin beragam.Faktor penyebab terjadinya kekerasan berbasis
gender, sangat kompleks dan satu sama lain saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut, antara
lain perangkat hukum yang belum mampu memberikan perlindungan kepada para korban,
konsep bahwa perempuan adalah milik keluarga (asset), media yang kurang mendukung
pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, pelayanan publik yag belum
optimal, adat istiadat yang kadang melegalkan kekerasan, persoalan kemiskinan,
interprestasi yang keliru pada ajaran agama.
Kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol kekerasan terjadi di ranah personal.
Ranah personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak,
adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun Masalah-Masalah Hukum,
Berdasarkan jumlah kasus sebesar 321.752 tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan
yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah kekerasan yang terjadi di
ranah personal sejumlah 305.535. Sementara dari 16.217 kasus yang masuk dari lembaga
layanan mitra Komnas Perempuan, RP(ranah personal) tercatat 69% atau 11.207 kasus,
60% atau 6.725 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 24% atau 2.734 kasus kekerasan
dalam pacaran, dan 8% atau 930 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Dalam ranah
KDRT(kekerasan dalam rumah tangga) atau RP(ranah personal), kekerasan fisik
menempati peringkat pertama dengan persentase 38% atau 4.304 kasus, diikuti dengan
kekerasan seksual 30% atau 3.325 kasus, kekerasan psikis 23% atau 2.607, dan ekonomi
9% atau 971 kasus. Berbeda dari catatan tahunan 2014 dimana kekerasan seksual
menempati peringkat ketiga, di tahun ini naik kekerasan seksual naik di peringkat kedua.
Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 72% atau 2.399 kasus, pencabulan
18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5%
secara mendasar kekerasan terhadap perempuan dipahami hanya sebagai persoalan yang
sifatnya personal, artinya apabila seorang perempuan menjadi korban sasaran tindak
kekerasan, maka langsung dikaitkan dengan kepribadian, si korban dicari-cari hubungannya
dengan perilaku korban dianggap mencetuskan tindak kekerasan tersebut. Hal ini serupa
dengan mengatakan bahwa, jika perempuan mengalami tindak kekerasan, sedikit atau
banyak dianggap terjadi karena andil kesalahan sendiri. jika korban menginginkan
penanganan masalah yang menimpanya orang menganggap hal itu dapat diselesaikan
secara pribadi oleh korban, paling jauh anjuran yang sering diterima perempuan korban
adalah diselesaikan secara kekeluargaan, yang sesungguhnya berarti menghindari
penanganan secara publik, maupun penyelesaian perkara secara hukum.

Mengingat bahwa kaum perempuan terutama remaja perempuan tidak bisa dihindarkan dari
topik masalah kekerasan seksual, maka perlu dilakukannya upayaupaya preventif yang
bersifat menyeluruh sehingga para perempuan tidak menjadi korban kekerasan seksual.
Adapun alternative treatment yang dapat diberikan adalah pelatihan asertivitas normative.
Dalam mengatasi tingginya tingkat kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan pada saat
ini pelatihan asertif pun harus dilakukan dan diterapkan kepada korban karena pelatihan ini
memberikan banyak manfaat untuk dapat mengurangi para korban kekerasan yang tidak
berani melapor dan mengajukan hak yang ia miliki agar mendapat keadilan. Asertif
merupakan suatu kemampuan untuk dapat mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan
dipikirkan kepada orang lain dengan tetap menjaga dan menghargai perasaan orang lain
(Starh, 2004 : 1). Pelatihan asertivitas merupakan sebuah konsep pendekatan behavioral
yang digunakan untuk mendapatkan hak-haknya secara sempurna. Yaitu dengan
mengembangkan self esteem dan melibatkan ekspresi perasaan yang positif (Alberti &
Emmons, 2002). Pelatihan asertivitas bisa diterapkan pada individu yang mengalami
kesulitan untuk menerima bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah sebuah
tindakan yang layak dan benar. Pelatihan asertif yang diberikan kepada korban lebih
menggambarkan tentang prinsipprinsip perilaku, misalnya penerapan kebutuhan-kebutuhan
manusia, khususnya kebutuhan untuk dapat mengekspresikan diri secara penuh, terbuka,
dan tanpa merasa takut

Kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan sering dianggap hanya berkaitan dengan
faktor pribadi saja, tidak ada hubungannya dengan fenomena social dan budaya, namun
kenyataannya kekerasan seksual pada perempuan berkaitan dengan banyak hal yang dapat
memberikan dampak buruk bagi korban itu sendiri, keluarga, masyarakat dan negara.
Dampak buruk yang akan diterima oleh perempuan korban kekerasan seksual secara
langsung dan akan terjadi yaitu berkaitan dengan kesehatan perempuan. Kekerasan
terhadap perempuan dapat beradampak pada kematian, upaya untuk bunuh diri, dan
terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu, kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dapat pula
berdampak pada gangguan kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental, perilaku tidak
sehat serta gangguan kesehatan reproduksi. Dapat dikatakan bahwa kondisi kaum
perempuan masih sangat rentan menjadi korban berbagai jenis tindak kekerasan. Terlebih
lagi, pada zaman modern tingkat kekerasan justru semakin tinggi dan banyak orang yang
menganggap bahwa kasus tersebut merupakan hal yang biasa. Perempuan sebagai
makhluk yang seharusnya dihargai dan dilindungi, justru menjadi objek dari tindak
kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Dengan pelatihan asertif maka akan
mengurangi kekerasan seksual pada perempuan sebab perempuan dapat menunjukan
ketidaksukaannya akan perbuatan orang lain tetapi tidak membuat orang tersebut merasa
sakit hati dan melakukan tindakan di luar batas kewajaran. Pelatihan asertif pun
membangun keberanian dalam diri korban kekerasan seksual untuk menceritakan
kronologis kejadian dengan sejujurnya sehingga akan membuat kasus yang ada cepat
terungkap.

Anda mungkin juga menyukai