Anda di halaman 1dari 91

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERNIKAHAN DINI PASCA

DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019


(Studi di Pengadilan Agama Mataram)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Untuk Mencapai Derajat S-1 Pada
Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :

BAGUS AULIA YUSRIL IMTIHAN

D1A016029

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2020
vi

KATA PENGANTAR

Puji syukurpenulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas ridho serta

pertolongannya skripsi saya yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PERNIKAHAN DINI PASCA DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG

NOMOR 16 TAHUN 2019 (Studi di Pengadilan Agama Mataram)” dapat

diselesaikan. Shalawat dan salam kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW

beserta keluarga dan sahabat beliau. Penulis sangat menyadari bahwa

penyelesaian skripsi ini tidaklah lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena

itu, dari hati yang paling dalam, penulis menyampaikan banyak terimakasih

kepada semua pihak yang membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Khususnya penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Hirsanuddin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Mataram.

2. Bapak Sahruddin, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata yang

telah banyak memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Salim HS. SH. MS. selaku Dosen Pembimbing Pertama,

yang mana atas arahan dan masukan serta bimbinan beliau, skripsi ini

dapat terselesaikan.

4. Bapak M. Yazid Fathoni, SH. M.H. selaku Dosen Pembimbing Kedua,

yang telah banyak memberikan masukan serta arahan dari beliau sehingga

skripsi ini dapat disajikan sebagai tugas akhir untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Hukum.

5. Bapak Dr. Aris Munandar, SH., M.Hum. selaku Penguji Netral, yang telah

meluangkan waktu serta memberi arahan kepada penulis.


vii

6. Dan seluruh Bapak/Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Mataram yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama

ini.

7. Serta tentunya kepada kedua Orang Tua Penulis, ( Ayahanda Drs. H. M.

Ijmak, S.H.,.M.H. dan Ibunda Hj. Mujayanah S.Ag., M.H. yang selalu

mendoakan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terimaksih sebesar-besarnya dan semoga selalu diberi kesehatan lahir dan

batin.

8. Adikku tersayang Okvina Dwi Neily Farhani, beserta seluruh keluarga

besar yang juga selalu mendoakan dan memotivasi dalam penyelesaian

skripsi ini.

9. Seluruh sahabat dan teman-teman yang telah saling berbagi pengalaman,

waktu, canda dan tawa.

10. Dan tak lupa seluruh pihak terkait yang telah meluangkan waktu dan

membantu saat penelitian di Pengadilan Agama Mataram.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena

itu sangat diharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif untuk

menyempurnakan skripsi ini.

Dan semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat, baik

pengalaman bagi penulis, lalu bagi para pembaca, bagi perkembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan ilmu Hukum pada khusunya. Aamiin…

Mataram,
Penulis

Bagus Aulia Yusril Imtihan


viii

RINGKASAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERNIKAHAN DINI PASCA


DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019
(STUDI DI PENGADILAN AGAMA MATARAM)

Pembimbing: Prof. Dr. H.Salim HS, S.H., MS. dan M.Yazid Fathoni, SH., M.H.

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang


perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tentunya ada dasar-dasar/landasan filosofis dan yuridis yang melatarbelakanginya,
salahsatunya untuk meminimalisir pernikahan dini/dibawah umur. Selain itu,
perubahan usia minimum pernikahan tersebut akan berkaitan erat dengan aturan
dispensasi nikah (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ) yang
cenderung semakin diperketat dengan harus disertai alasan mendesak dan bukti-
bukti pendukung yang cukup. Hal itulah yang mendorong penulis untuk datang
langsung ke Pengadilan Agama Mataram guna mengetahui terkait persyaratan
administratif permohonan dispensasi kawin bagi calon pempelai yang masih di
bawah umur menurut Undang-Undang Perkawinan, serta pertimbangan hukum
oleh Majelis Hakim dalam memberikan dispensasi nikah tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi pokok permasalahan


adalah apa dasar filosofis dan yuridis dari perubahan usia minimum pernikahan
pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, dan apa persyaratan permohonan
Dispensasi Kawin dan apa sajakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum
pemberian/dikabulkannya Dispensasi Kawin pasca disahkannya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar filosofis dan
yuridis dari perubahan usia minimum pernikahan pada Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 dan untuk mengetahui terkait persyaratan administratif
permohonan Dispensasi Kawin, dan yang menjadi dasar pertimbangan hukum
oleh Majelis Hakim dalam mengabulkan permohonan Dispensasi Kawin pasca
disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Untuk menjawab
permasalahan tersebut maka metode penelitian yang digunakan adalah metode
normatif-empiris.

Negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan


melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Selain itu, perkawinan pada usia
anak/dini lebih cenderung menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang
anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak dasar anak seperti hak
ix

atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan,
hak pendidikan, dan hak sosial anak.

Kemudian terkait syarat, ada syarat administratif dalam permohonan


dispensasi kawin diatur dalam Pasal 5 PERMA Nomor 5 tahun 2019 dan
ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019. Lalu, terkait
pertimbanagan hukum, Majelis Hakim haruslah mempertimbangkan beberapa hal
terkait maslahat /mudharatnya yakni berdasarkan pada semangat pencegahan
perkawinan anak, mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, hak-hak dasar
anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek
kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.
x

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERNIKAHAN DINI PASCA


DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019
(STUDI DI PA MATARAM)

Bagus Aulia Yusril Imtihan


D1A 016 029
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK

Tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui apa saja dasar filosofis dan yuridis
dari perubahan usia minimum perkawinan pasca disahkannya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 serta mengetahui terkait persyaratan administratif
mengajukan permohonan Dispensasi Kawin dan hal-hal yang menjadi
pertimbangan hukum dalam pemberian Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama,
yang mana dalam hal ini Penulis melakukan penelitian di Pengadilan Agama
Mataram Kelas I A. Metode yang digunakan adalah metode (normatif) empiris.
Berdasarkan dari hasil penelitian diketahui bahwa perubahan usia pada Undang-
Undang Perkawinan demi meminimalisir resiko perceraian serta menghilangkan
diskriminasi usia kawin. Lalu terkait persyaratan dispensasi kawin dijelaskan juga
dalam PERMA Nomor 5 tahun 2019. Dalam pemberian dispensasi kawin Hakim
mempertimbangkan berdasarkan prinsip maslahah mursalah.

Kata kunci : Pernikahan,Usia dini, Dispensasi Kawin.

JURIDICAL REVIEW OF EARLY AGE MARRIAGE POST THE


ESTABLISHMENT OF LAW 16 of 2019
(A CASE STUDY IN RELIGIOUS COURT OF MATARAM)

ABSTRACT

This study identifies philosophical and juridical ground of the amendment of


eligible age of marriage stated in Law 16 of 2019 and discloses the administrative
requirement, as well as legal consideration for eligible-age Marriage
Dispensation. This study is a case study in Religious Court Class I-A of Mataram
with normative-empirical method. Results of this study reveal that purposes of the
amendment of eligible age of marriage is to reduce the divorce rate and to remove
eligible-age of marriage discrimination. In addition, administrative requirement
is regulated in Perma 5 of 2019. Another point is that Marriage Dispensation is
given by the Judge by considering the principle of maslahah mursalah.

Keywords: Early-Age Marriage, Marriage Dispensaton


xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………….……. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ………..………..…... ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI DAN KETUA BAGIAN iii
HALAMAN PENGESAHAN DEKAN …………………….…………..…….. iv
PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN ………………………….. v
KATA PENGANTAR ……….…………………………………………….….. vi
RINGKASAN …………………………………………………………….…... viii
ABSTRACK .………………………………….…………………………….…. x
DAFTAR ISI ..……………………………………….…………........................ xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………..……………………………………………... 1
B. Rumusan masalah………………………………………………............. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………..……….. 6
D. Ruang Lingkup Penelitian ……………..…………………………..…... 9
E. Orisinalitas Penelitian ……………………………………………...……9

BAB II. Tinjauan Pustaka


A. Tinjauan Umum tentang Pernikahan …………………………..….. …..17
1. Pengertian Pernikahan …………...……………………….….…..… 17
2. Unsur-Unsur Pernikahan…………………………..…..……….…... 18
3. Syarat-Syarat Pernikahan…………………………....…………....... 19
B. Tinjauan Umum tentang Pernikahan Dini ….……………..………… ..21
1. Penjelasan tentang Pernikahan Dini ...……………………………... 21
2. Pernikahan Dini dari Sudut Pandang Psikologi………………...….. 22
3. Resiko Pernikahan Dini dari segi Kesehatan ……………………… 23
C. Tinjauan Umum tentang Dispensasi Kawin……………………………24

BAB III. Metode Penelitian


A. Jenis Penelitian ……………………………………………………....... 26
B. Metode Pendekatan ……………………………………………...……. 27
xii

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ………………………………...…....


28
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ………………..………………... 30
E. Analisis Bahan Hukum ……………………………………………….. 30

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS


A. Dasar Filosofis Perubahan Usia Minimum Perkawinan dan Dasar Yuridis
Perubahan Usia Minimum Perkawinan ………………………………….. 32
1. Sejarah tentang Usia Perkawinan ………………………………... 32
2. Dasar Filosofis Perubahan Usia Minimum Perkawinan ……….... 38
3. Dasar Yuridis Perubahan Usia Minimum Perkawinan …………... 45
B. Persyaratan Permohonan Dispensasi Kawin serta Pertimbangan Pemberian
Dispensasi Kawin …………………………............................................... 54
1. Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Mataram………………...54
2. Persyaratan Permohonan Dispensasi Kawin .................................. 55
3. Pertimbangan-Pertimbangan Pemberian Dispensasi Kawin …….. 60

BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………......67
B. Saran……………………………………………………………………….68

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, untuk mewujudkan keberlangsungan keturunan,

pernikahan merupakan suatu hal yang penting yang mana dapat dikatakan

juga sebagai kebutuhan hidup manusia dari zaman dulu hingga kini. Melalui

pernikahan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

biologis, psikologis maupun secara sosial. Pernikahan yang pada Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perkawinan, disebutkan sebagai “Perkawinan” ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”1

Dalam pembentukan keluarga yang bahagia, seseorang yang menikah

dituntut adanya sikap dewasa dari masing-masing pasangan suami istri. Oleh

karenanya, dapat diartikan bahwa demi tercapainya tujuan pernikahan yang

Sakinah, Mawaddah, Warohmah, bahagia, sejahtera dan kekal sesuai dengan

ketentuan Peraturan dan Perundang-Undangan yang berlaku, maka salah satu

parameternya yakni usia minimum untuk dapat melangsungkan pernikahan

bagi kedua calon mempelai juga harus cukup dewasa.

Karena itulah, untuk dapat melangsungkan pernikahan, haruslah

memenuhi syarat-syarat yang diatur pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

1
Indonesia,Undang-Undang tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
Pasal 1
2

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan bahwa perkawinan

hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun

dan pihak wanita sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun. Begitu juga

diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 15 ayat (1) dinyatakan

bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tersebut.

Namun, fenomena pernikahan di usia dini menjadi kultur sebagian

masyarakat Indonesia yang masih memandang anak perempuan sebagai

warga kelas dua, di mana para orang tua ingin mempercepat perkawinan

dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan tidak penting pendidikan

bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua.

Perlindungan hukum terhadap anak merupakan salah satu upaya untuk

melindungi setiap anak yang berada di Indonesia dimana Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut Undang-

Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28B ayat (2) menjelaskan bahwa setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Artinya bahwa setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup yakni setiap anak memiliki hak yang melekat
3

atas kehidupan dan negara wajib menjamin kelangsungan hidup serta

perkembangan anak sampai batas maksimal.2

Karena dianggap tidak sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan

Anak, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan

batas usia minimal menikah bagi perempuan 16 tahun dan lelaki 19 tahun,

yang mana usia 16 tahun bagi perempuan itu jika dilihat dari Undang-Undang

Perlindungan Anak masih termasuk usia anak (dini). Hal tersebut

menunjukkan pertentangan antara Undang-Undang Perkawinan dengan

Undang-Undang Perlindungan Anak, yang mana pada Pasal 1 menyatakan

bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Sehingga

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu seolah-olah

melegalkan perkawinan di bawah umur. Hal itu berdampak pada diskriminasi

dalam mendapatkan hak pendidikan dan kemiskinan yang berkelanjutan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut

berpotensi terhadap pelanggaran konstitusi tentang hak atas pendidikan,

karena dapat memungkinkan perempuan menikah terlalu dini dan melupakan

pendidikannya sehingga tidak memaksimalkan potensi pada dirinya. Selain

itu juga berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 281 ayat (2)

menyatakan bahwa:

"Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif


atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu” .

2
Yanuar Farida dan Ivo Novianti, Perlindungan Anak Berbasis Komunitas, Sebuah
Pendekatan dengan Mengarusutamakan Hak Anak, Informasi, Vol. 16 No. 03, 2011,hlm 205
4

Hingga pada akhirnya usia minimum untuk menikah yang terdapat

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah dirubah sejak

disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 , yakni minimal 19

Tahun bagi Pria maupun Wanita.

Dengan perubahan usia minimum pernikahan tersebut, antara

Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak

telah sejalan, namun disisi lain jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1979 tentang Kesejahtraan Anak, belum dianggap “dewasa” yakni

Pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa “yang disebut anak adalah seseorang yang

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin” 3.

Batas Usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan usaha

kesejahteraan anak, dimana kematangan sosial, pribadi dan mental seorang

anak dicapai pada umur tersebut.4

Oleh karenanya, maka setiap pernikahan yang belum memenuhi batas

usia minimum perkawinan, pada hakikatnya disebut masih berusia dini (anak-

anak) sehingga belum siap menikah karena belum matang secara fisik,

fisiologis, dan psikologis untuk bertanggung jawab terhadap pernikahan dan

anak yang nantinya dihasilkan dari pernikahan tersebut. Perkawinan dibawah

umur itu merupakan pemangkasan kesejahteraan dan kebebasan hak anak

dalam memperoleh hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh,

3
Indonesia,Undang-Undang tentang Kesejahtraan Anak,Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979, Pasal 1
4
Sholeh Shoeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Cet.1, Novindo
Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hlm 3
5

berkembang dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris bawahi

agama.5

Maka dari pada itu, aturan terkait Dispensasi Nikah yang dapat

dikatakan sebagai gerbang untuk boleh melakukan pernikahan bagi yang

belum cukup umur (dini) pada Pasal 7 ayat (2) juga semakin diperketat pada

Undang-Undang Perkawinan tersebut. Berdasarkan perubahan tersebut, maka

bagiyang belum cukup umur 19 tahun baik calon mempelai laki-laki maupun

calon mempelai perempuan dapat mengajukan permohonan Dispensasi

Kawin kepada Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan

Pengadilan Negeri bagi yang beragama non muslim. Terkait dispensasi nikah

tersebut yang diatur pada Pasal 7 ayat (2) terdapat penambahan sedikit dan

diperketat yang berbunyi:

“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua
pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan
sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”

Namun, sebagaimana yang kita ketahui bahwa salah satu prinsip

dalam hukum perkawinan nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah

mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti

gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal

dan sejahtera akibat perbuatan pasangan itu sendiri yang gagal

mempertahankan keutuhan keluarganya.

Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pernikahan di usia dini/anak-

5
Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, Cet.7,PTIK Press,
Jakarta, 2014, hlm 1-2.
6

anak pada umumnya lebih banyak mudharatnya yang disebabkan masih

terlalu dini dan belum siapnya seseorang untuk menikah, baik secara fisik

maupun psikis, sehinnga beresiko cukup besar akan perceraian, dan juga

kematian ibu saat melahirkan.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk

mengangkat dan meninjau secara Yuridis terkait pernikahan dini pasca

disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan melakukan

penelitian terkaitdispensasi kawin di PA Mataram.

B. Perumusan Masalah

1. Apa dasar filosofis dan yuridis dari perubahan usia minimum perkawinan

pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ?

2. Apakah persyaratan permohonan Dispensasi Kawin dan apa sajakah

pertimbangan pemberian Dispensasi Kawin pasca disahkannya Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2019 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian hukum ini secara umum bertujuan berupaya mengkaji dan

menganalisa issu latar belakang filosofis serta maslahat yang diinginkan dari

perubahan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah

diubah dngan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Selain itu juga untuk mengetahui persyaratan dispensasi kawin serta


7

pertimbangan pemberian dispensasi kawin, yang mana dispensasi kawin

sendiri berkaitan erat dengan pernikahan dini.

2. Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus penelitian hukum ini adalah :

a) Untuk mengetahui dasar-dasar dari segi filosofis dan yuridis dari

perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan,

khususnya pada Pasal 7 dengan perubahan usia minimum calon

memepelai wanita, yang semula 16 Tahun menjadi 19 tahun (baik

bagi calon mempelai laki dan calon mempelai wanita adalah sama)

untuk dapat melangsungkan pernikahan.

b) Mengetahui terkait apa saja persyaratan dalam mengajukan dispensasi

kawin beserta hal apa saja yang menjadi pertimbangan pemberian

dispensasi kawin di Pengadilan pasca disahkan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019.

3. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian, selain mengandung tujuan dan target yang

diinginkan, juga diharapkan adanya manfaat yang hendak dicapai. Selain

diharapkan bermanfaat bagi penulis, juga dapat bermanfaat bagi akademisi

dan praktisi hukum.

a. Manfaat secara teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya.


8

2. Menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum, khususnya secara

normatif yang berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat untuk dapat

melangsungkan pernikahan serta dampak negatif dari pernikahan dini;

3. Menghasilkan suatu kepastian hukum dan keadilan gender, dengan

menelaah perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, khususnya

pada Pasal 7 .

b. Manfaat secara praktis

1. Mengembangkan visioner hukum secara teknis dalam memahami

substansi masalah untuk dianalisis secara cermat, tepat dan maslahat

bagi masyarakat, terutama tentang urgensinya memenuhi syarat usia

dewasa untuk boleh melangsungkan pernikahan;

2.Memasyarakatkan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019,

khususnya pada Pasal 7.

3.Memberi pemahaman dan logika hukum yang progresif kepada

masyarakat agar sadar hukum dan perundang-undangan yang berlaku

serta solusi apabila ada penyimpangan terhadap usia perkawinan

dengan alasan-alasan tertentu dapat mengajukan dispensasi kawin,

bukannya melakukan nikah siri yang seringkali terjadi karena faktor

ketidakfahaman masyarakat sebagai subyek hukum.

4.Diharapkan dapat memberikan masukan serta dijadikan dasar

informasi bagi masyarakat untuk lebih jauh menggali permasalaan dan


9

pemecahan masalah yang ada relevansinya dengan hasil penelitian ini.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat luasnya topik yang dibahas, maka perlu diberikan batasan

lingkup penelitian untuk menghindari melebarnya pembahasan. Pembatasan

ini difokuskan pada permasalahan yang diteliti yakni “Tinjauan Yuridis

terhadap Pernikahan dini pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 (Studi di Pengadilan Agama Mataram)”

E. Orisinalitas Penelitian

No Nama Judul Masalah Kesimpulan

Mulia Tinjauan 1. Apakah 1. Belum adanya


1 Sixtrianti Yuridis pengaturan sinkronisasi
(Fakultas Terhadap perkawinan di hukum terutama
Hukum Perkawinan bawah umur terkait dengan
Universitas Di Bawah menurut Undang- pengaturan
Riau) Umur Undang Nomor 1 perkawinan di
Berdasarkan Tahun 1974 bawah umur
Undang- Tentang menurut
Undang No. Perkawinan sudah Undang-
1 Tahun sesuai dengan Undang
1974 tentang Undang-Undang Perkawinan
Perkawinan Nomor 23 Tahun dengan
jo Undang- 2002 Tentang Undang-
Undang Perlindungan Undang
No.23 Tahun Anak? Perlindungan
2002 tentang 2. Bagaimanakah Anak sebagai
Perlindungan perlindungan peraturan
Anak hukum terhadap perundangunda
anak yang ngan dalam
melakukan menetapkan
perkawinan di batas minimum
bawah umur umur bagi
menurut Undang- pihak-pihak
10

Undang Nomor untuk


23 Tahun 2002 melakukan
Tentang perkawinan.
Perlindungan Pada Undang-
Anak? Undang
Perkawinan
batas minimum
umur dalam
melakukan
perkawinan
dibedakan
antara lakilaki
dan perempuan,
yaitu laki-laki
berumur 19
(sembilan belas)
tahun dan
perempuan 16
(enam belas)
tahun, dan
sementara itu
secara tidak
langsung
Undang-
Undang
Perlindungan
Anak dalam
menentukan
batasan umur
baik bagi laki-
laki maupun
perempuan
untuk
melakukan
perkawinan
yaitu minimal di
atas 18 (delapan
belas) tahun.
2. Undang-
Undang
Perlindungan
Anak sudah
memberikan
perlindungan
hukum terhadap
anak yang
11

melakukan
perkawinan di
bawah umur,
yang diatur
dalam Pasal 78,
Pasal 82 dan
Pasal 88
Undang-
Undang
Perlindungan
Anak. Pasal 78
berlaku bagi
pihak tidak
langsung seperti
pihak yang
mengetahui
ataupun dengan
sengaja
membiarkan
anak tersebut
dalam keadaan
tereksploitasi
secara ekonomi
maupun
seksual. Pada
Pasal 88 berlaku
bagi pihak
langsung yang
terlibat dalam
eksploitasi anak
secara ekonomi
maupun
seksual. Selain
kedua Pasal
tersebut, ada
juga ancaman
pidana bagi
pelanggarnya
yaitu dalam
Pasal 82 .

Jessica Tinjauan 1. Bagaimana 1. Undang-undang


2 Tiara Mai Yuridis tinjauan yuridis negara kita telah
(Fakultas Terhadap terhadap menagatur batas
Hukum Perkawinan perkawinan anak usia
Unsrat) Anak Di di bawah umur perkawinan.
12

Bawah menurut Undang- Dalam Undang-


Umur Di Undang Nomor 1 Undang
Lihat Dari Tahun 1974 ? Perkawinan
Sudut 2. Apa akibat hukum Nomor 1 Tahun
Pandang dan upaya 1974 Bab II
Undang- pencegahan Pasal 7 ayat 1
Undang terhadap disebutkan
Nomor 1 perkawinan anak bahwa
Tahun 1974 di bawah umur ? perkawinan
hanya diizinkan
jika pihak pria
mencapai umur
19 tahun dan
pihak
perempuan
sudah mencapai
umur 16 tahun.
Kebijakan
pemerintah
dalam
menetapkan
batas minimal
usia pernikahan
ini tentunya
melalui proses
dan berbagai
pertimbangan.
Hal ini
dimaksudkan
agar kedua
belah pihak
benar-benar
siap dan matang
dari sisi fisik,
psikis dan
mental. Banyak
dampak yang
ditimbulkan
akibat
terjadinya
perkawinan usia
dini antara lain
masalah
terhadap
kesehatan
reproduksi
13

perempuan,
seringkali
membahayakan
terhadap
keselamatan ibu
dan bayi,
menimbulkan
problema sosial,
bahakan akibat
hukum lainnya.
2. Akibat hukum
terjadinya
pelanggaran
terhadap
Undang-
Undang
perkawinan
tidak tampak
jelas, karena
apabila
perkawinan di
baawah umur
sodah
memperoleh
dispensasi,
maka
pelanggaran
terhadap
ketentuan suatu
perkawinan
tidak ada lagi,
tetapi akan
muncul akibat
yuridis lain
yaitu
pelanggaran
terhadap
Undang-
Undang No. 23
Tahun 2004
tentang
Kekerasan
Dalam Rumah
Tangga dan
UndangUndang
No. 23 Tahun
14

2002 tentang
Perlindungan
Anak.

Ferdina Analisis 1. Bagaimana 1. Pernikahan dini


3 Widya Yuridis deskripsi akibat
Puspita Terhadap pernikahan dini pergaulan
(UIN Pernikahan akibat pergaulan media sosial di
Sunan Dini media sosial di KUA
Ampel) Akibat KUA Kecamatan Kecamatan
Pergaulan Sukomoro Sukomoro
Media Sosial Kabupaten Kabupaten
Di Kua Nganjuk? Nganjuk
Kecamatan 2. Bagaimana dilakukan
Sukomoro analisis yuridis sebagaimana
Kabupaten terhadap pernikahan dini
Nganjuk pernikahan dini pada umumnya,
akibat pergaulan yaitu dengan
media sosial di memenuhi
KUA Kecamatan rukun dan
Sukomoro syarat
Kabupaten perkawinan
Nganjuk? serta telah
adanya
dispensasi dari
Pengadilan
Agama
2. Pernikahan dini
akibat
pergaulan
media sosial di
atas telah
memebuhi
rukun dan
syarat
perkawinan
serta
persyaratan
administrasi
yang tertuang
dalam Pasal 6
dan 7 Undang-
Undang Nomor
1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan,
15

Pasal 14
Kompilasi
Hukum Islam
dan Pasal 2
Peraturan
Menteri Agama
Nomor 19
Tahun 2018
tentang
Pencatatan
Perkawinan.
Selain itu, juga
telah menjamin
hak anak sesuai
dengan Pasal 1
ayat (1) dan (2)
Undang-
Undang Nomor
23 Tahun 2002
tentang
Perlindungan
Anak.

Persamaan skripsi penulis dengan judul skripsi pada nomor 1, 2, dan 3

secara keseluruhan yakni sama-sama membahas mengenai Perkawinan dini (di

bawah umur). Perbedaannya adalah bahwasannya Skripsi Penulis fokus

bahasannya yakni terkait Dasar filosofis dan yuridis dari perubahan Usia

Minimum pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan juga

terkait apa saja persyartan administratif mengajukan Dispensasi Kawin serta apa

saja pertimbangan hukum mengabulkan permohonan Dispensasi Kawin oleh

Pengadilan, yang mana dalam hal ini penulis juga melakukan penelitian di

Pengadilan Agama Mataram. Kontribusi ketiga skripsi di atas terhadap skripsi

penulis adalah sebagai refrensi perbandingan dalam penulisan tinjauan pustaka,

yaitu tinjauan umum terkait pernikahan dini di Indonesia. Nilai keaktualan dan
16

keakuratan dari skripsi penulis adalah penulis melakukan penelitian normatif-

empiris Pernikahan dini pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dari aspek latar belakang filosofis dan aspek nilai kemaslahatan yang

diharapkan kepada masyarakat sebagai subyek hukum, yang mana telah terjadi

perubahan persyaratan usia minimum pernikahan/perkawinan. Selain itu juga

penulis menanyakan langsung kepada para praktisi di Pengadilan terkait perkara

permohonan dispensasi kawin, untuk mengetahui adakah perubahan persyaratan

ataupun dasar pertimbangan hukum dalam mengabulkan permohonan dispensasi

kawin pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Dalam hal ini, belum ada penulisan skripsi terkait Tinjauan Yuridis

terhadap Pernikahan Dini Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2019 ( Studi di Pengadilan Agama Mataram).


17

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Pernikahan

1. Pengertian umum pernikahan

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau

dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan

secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Perkawinan sendiri

berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk keluarga

dengan lawan jenis (Pria dengan Wanita).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lalu, berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan

adalah akad yang sangat kuad (mistaqan ghalidzah) untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.6

Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah

merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri

dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara

mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.

6
Indonesia, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2
18

2. Unsur-unsur pernikahan

1) Ikatan Lahir Batin

Dalam perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau

ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan terpadu

erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan

memngungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang

wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri (hubungan formal).

Sedangkan Ikatan batin merupakan hubungan yang nonformal, suatu

ikatan yang tidak tampak, tidak nyata yang hanya dapat dirasakan oleh

pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan batin ini merupakan

dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan pondasi dalam membentukdan

membina keluarga yang kekal dan bahagia.7

2) Antara seorang Pria dengan seorang Wanita

Unsur pria dan wanita menunjukkan secara biologis orang akan

melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis kelamin. Hal ini

sangatpenting, karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

yang menghendaki adanya keturunan.

3) Sebagai Suami Istri

Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara

yuridis statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan

wanita berubah statusnya sebagai istri.

7
Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Cet.1, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008 hlm 104.
19

4) Tujuan untuk Membentuk Keluarga yang bahagia dan kekal

Tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Seorang pria dan seorang

wanita yang telah mempunyai ikatan lahir batin dengan

melangsungkan perkawinan haruslah menuju pada suatu perkawinan

yang kekal, bukan untuk masa tertentu.

5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi

Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan arti bahwa perkawinan itu

mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian. Sini

dapat di lihat bahwa peranan agama adalah sangat penting. Masalah

perkawinan bukanlah semata-mata masalah keperdataan saja,

melainkan juga masalah agama. Sehingga di dalam perkawinan

tersebut harus diperhatikan unsur-unsur agama.

3. Syarat-syarat pernikahan

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-

syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri

masing-masing pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu

mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum

agama dan Undang-Undang disebut juga syarat objektif


20

Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai

dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

adalah sebagai berikut :

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon


mempelai (Pasal 6 ayat (1))
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat
(1))
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali
dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun
atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila
umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan
Pasal 7 ayat (2))
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
ataupun keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal
3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain (Pasal 10)
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi
telah lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11). 8

8
Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
21

Sedangkan syarat formal merupakan syarat yang berhubungan dengan

formalitas-formalitas terkait pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat formal

dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) yang

berbunyi:

“Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan


kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.”

B. Tinjauan Umum tentang Pernikahan Dini

1. Penjelasan tentang pernikahan dini

Pernikahan dini di dalam Undang-Undang tidak ditemukan istilah

penegertian penikahan dini atau pernikahan di bawah umur, istilah ini

muncul setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2019 khususnya Pasal 7 ayat (1) diterangkang bahwa perkawinan

menurut Undang-Undang dikatakan pernikahan dini apabila salah satu

atau kedua calon mempelai berusia di bawah 19 tahun, pernikahan di

bawah umur ini di bolehkan oleh Negara dengan syarat dan ketentuan

tertentu. Pernikahan usia muda atau pernikahan di bawah umur dapat

diartikan menikah dengan usia yang masih sangat muda/ terlalu dini,

sehingga masih dalam kadaan kehidupanya yang belum mapan secara sikis

dan psikologi.
22

2. Pernikahan dini dari sudut pandang psikologi

Mereka yang berumur di bawah 21 tahun sebetulnya masih belum siap

untuk menikah. Ketidaksiapan anak menikah dapat dilihat dari 5 aspek

tumbuh kembang anak yaitu :

a) Fisik

Fisik seorang anak pada usia remaja masih dalam proses berkembang.
Kalau berhubungan seksual akan rentan terhadap berbagai penyakit,
khususnya untuk perempuan.
b) Kognitif

Di usia anak dan remaja, wawasan belum terlalu luas, kemampuan


problem solving dan decision making juga belum berkembang matang.
Apabila ada masalah dalam pernikahan, mereka cenderung kesulitan
menyelesaikannya.
c) Bahasa

Anak dan remaja tidak selalu bisa mengomunikasikan pikirannya dengan


jelas. Hal ini dapat menjadi masalah besar dalam pernikahan.

d) Sosial

Jika menikah di usia remaja, kehidupan sosial anak akan cenderung


terbatas dan kurang mendapatkan support dalam lingkungannya.
e) Emosional

Emosi remaja biasanya labil. Kalau mendapatkan masalah akan lebih


mudah untuk depresi dan hal ini berisiko terhadap dirinya sebagai
remaja, dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan. Selain itu, dengan
emosi yang labil, anak / remaja yang menikah lebih sering bertengkar,
sehingga pernikahannya tidak bahagia.9

9
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b8f402eed78d/hukumnya-menikah-di-usia-
dini/ Diakses pada 2 Mei 2020 Pukul 05.22
23

3. Resiko pernikahan dini dari segi kesehatan

Hamil di usia sangat muda dapat meningkatkan risiko kesehatan

pada wanita dan bayinya. Hal ini karena sebenarnya tubuh belum siap

untuk hamil dan melahirkan. Anda yang masih sangat muda masih

mengalami pertumbuhan dan perkembangan, sehingga jika hamil,

pertumbuhan dan perkembangan tubuh akan terganggu. Umumnya, ada

empat kondisi kehamilan yang sering muncul akibat pernikahan dini,

yaitu:

a. Tekanan darah tinggi

Hamil di usia sangat muda memiliki risiko yang tinggi terhadap naiknya
tekanan darah. Seseorang bisa saja menderita preeklampsia, yang
ditandai dengan tekanan darah tinggi, adanya protein dalam urin, dan
tanda kerusakan organ lainnya. Pengobatan harus dilakukan untuk
mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi, tetapi secara
bersamaan hal ini juga dapat mengganggu pertumbuhan bayi dalam
kandungan.

b. Anemia

Hamil di usia remaja juga dapat menyebabkan anemia saat kehamilan.


Anemia ini disebabkan karena kurangnya zat besi yang dikonsumsi oleh
ibu hamil. Itu sebabnya, untuk mencegah hal ini, ibu hamil dianjurkan
untuk rutin mengkonsumsi tablet tambah darah setidaknya 90 tablet
selama masa kehamilan.

Anemia saat hamil dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan
kesulitan saat melahirkan. Anemia yang sangat parah saat kehamilan juga
dapat berdampak pada perkembangan bayi dalam kandungan.

c. Bayi lahir prematur dan BBLR

Kejadian bayi lahir prematur meningkat pada kehamilan di usia sangat


muda. Bayi prematur ini pada umumnya mempunyai berat badan lahir
rendah (BBLR) karena sebenarnya ia belum siap untuk dilahirkan (di
usia kurang dari 37 minggu kehamilan). Bayi prematur berisiko untuk
24

menderita gangguan sistem pernapasan, pencernaan, penglihatan,


kognitif, dan masalah lainnya.

d. Ibu meninggal saat melahirkan

Menurut National Health Service, perempuan di bawah usia 18 tahun


yang hamil dan melahirkan berisiko mengalami kematian saat persalinan.
Pasalnya, di usia belia ini tubuh mereka belum matang dan siap secara
fisik untuk melahirkan. Selain itu, panggul mereka yang sempit karena
belum berkembang sempurna juga dapat menjadi penyebab bayi
meninggal saat dilahirkan. 10

C. Tinjauan tentang Dispensasi Kawin

Berbicara tentang pernikahan dini(dibawah umur) maka perlu juga

membahas terkait dipensasi kawin,yang mana dapat juga digambarkan

sebagai gerbang secara yuridis untuk calon mempelai yang masih dibawah

umur (dini) untuk dibolehkan menikah. Dispensasi adalah pembebasan

dari aturan karena adanya pertimbangan khusus, pembebasan dari suatu

kewajiban atau larangan. 11 Maka dari itu, dispensasi kawin adalah

pemberian izin kawin oleh Pengadilan kepada calon suami/istri yang

belum cukup umur (19 tahun) untuk menikah. Hal terkait dispensasi kawin

ini disebut pada Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang mana

pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan berbunyi :

“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau
orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan
dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup”

10
https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/bahaya-kesehatan-akibat-pernikahan-dini/
Diakses pada 3 Mei Pukul 21.42
11
Dikutip dari https://kbbi.web.id/dispensasi di akses pada 24 September 2020
25

Pernikahan di bawah batas usia pernikahan (dini) adalah persoalan

yang kompleks, sehingga dalam mempertimbangkan permohonan

dispensasi kawin, Pengadilan Agama harus merumuskan pertimbangan

dari berbagai sudut pandang, di antaranya pertimbangan secara syar’i,

yuridis, sosiologis, psikologis, dan termasuk kesehatan.

Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh orang tua calon suami

atau istri yang masih di bawah umur ke pengadilan, Pengadilan Agama

bagi yang beragama Islam, dan ke Pengadilan Negeri bagi yang beragama

lain. Pedoman terkait Dispensasi Kawin sendiri diatur dalam Peraturan

Mahkamah Agung Republi Indonesia (PERMA RI) Nomor 5 Tahun 2019.

Adapun syarat-syarat administrasi dalam pengajuan permohonan

dispensasi kawin sebagaimana menurut Pasal 5 ayat (1) PERMA Nomor 5

Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin

yakni:

1. Surat Permohonan

2. Fotokopi KTP kedua orang tua/wali

3. Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

4. Fotokopi KTP atau Kartu Identitas Anak dan/atau akta

kelahiran anak

5. Fotokopi KTP/Kartu Identitas Anak dan/atau akta kelahiran

Calon suami/istri

6. Fotokopi Ijazah Pendidikan terakhir anak dan/atau Surat

Keterangan masih sekolah dari sekolah anak.


26

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum (normatif) empiris :

Penelitian hukum normatif menemukan kebenaran berdasarkan

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.12

Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum

adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi. 13 Sumber penelitian hukum normatif hanyalah data sekunder,

yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.”14

Lalu, penelitian empiris adalah suatu metode penelitian yang

dilakukan dengan meniliti data primer.”15

Sehingga penelitian hukum ini mencoba memperhatikan, mengkaji,

dan mengetahui terkait Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Mataram.

12
Johni Ibarahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Cet.1,Bayu Media Publishing, Malang, jawa Timur, hlm. 57.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Pajar Interpratama ofcet, cet ke-7,
Jakarta, 2011, hlm. 35.
14
Amirudin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm. 118.

15
SoeryoNo. Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 14
27

B. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan :

1. Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) yaitu pendekatan

yang dilakukan dengan melihat bentuk, isi, dan juga bagaimana

penerapan peraturan perundang – undangan dan regulasi yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti.

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan ini beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam

ilmu hukum.

3. Pendekatan historis (historical approach), yakni dengan mengkaji latar

belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai

isuyang dihadapi.16

4. Pendekatan filosofis (philosophical approach) adalah pendekatan yang

digunakan untukmemperoleh pemahaman yang lebih dalammengenai

implikasi sosial dan dampak dari penerapan suatu aturan terhadap

masyarakat dengan melihat dari sejarah, filsafat, implikasi politik

terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.17

16
Salim dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, Cet.5, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2013. hlm.18

Mulyadi, M. “Riset Desain Dalam Metodologi Penelitian,” Jurnal Studi Komunikasi


17

dan Media, Vol. 16, No. 1, Januari 2012, hlm 28


28

C. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung

dari sumber pertama. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-

dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud

laporan, dan sebagainya.18

2. Sumber Data

Sumber data adalah tempat diperolehnya data. Sumber data yang

digunakan terdiri dari :

a. Data primer, “Data primer merupakan data yang diperoleh

langsung dari sumber yang akan diteliti.”19 Dalam penelitian ini

yang menjadi bahan hukum primer yaitu data lapangan yang

diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan informan yaitu

Panitera dan Hakim di Pengadilan Agama Mataram.

b. Data sekunder, adalah data atau bahan hukum yang diperoleh

melalui data kepustakaan yang dalam penelitian hukum terdiri

dari:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan

18
Amiruddin & Zainal Asikin, Op. Cit., hlm. 31

19
Salim dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Pada Penelitian Tesis dan Disertsi,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.hlm.15
29

hukum primer terdiri dari perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

Undang-Undang dan putusan-putusan hakim.20

Yang dimaksud sumber bahan hukum primer

meliputi : (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, (2) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, (3)Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perkawinan, (4) Undang-undang Nomor 4

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,Kompilasi

Hukum Islam, (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak, serta PERMA Nomor 16

Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan

Dispensasi Kawin.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang

sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, yaitu berupa

buku-buku literatur, karya ilmiah untuk mencari konsep-

konsep, teori pendapat yang berkaitan erat dengan

permasalahan yang dikaji, serta pengumpulan data

melalui wawancara.

20
Peter Mahmud Marzuki, of cit, hlm.141.
30

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indoesia,

dan Ensiklopedia.

D. Teknik atau Cara Memperoleh Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan

adalah sebagai berikut :

1. Kepustakaan, pengumpulan data dengan teknik studi dokumen

adalah mengkaji buku-buku literatur, peraturan perundang-

undangan, dokumen-dokumen resmi, dan sumber kepustakaan

lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

2. Penelitian lapangan, tujuan dari dilakukannya penelitian

lapangan adalah untuk mengumpulkan data primer melalui

wawancara dengan Hakim serta Panitera Pengganti di

Pengadilan Agama Mataram.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara

langsung atau tertulis dengan informan.

E. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah data kualitatif menggunakan

analisis komparatif konstan yaitu membandingkan teori yang digunakan,


31

Norma hukum yang terkait dengan data yang berupa pernyataan-

pernyataan/testimoni. 21 Pendekatan secara kualitatif, yaitu analisis data

yang mengungkapkan dan mengambil fakta dari penelitian lapangan dan

kepustakaan yang sekaligus menghubungkannya dengan peraturan, buku-

buku ilmiah yang berkaitan dengan Pernikahan dan dispensasi kawin serta

pendapat responden yang diperoleh melalui interview, untuk kemudian

didapatkan pemecahan masalah dan kesimpulan.

21
Amiruddin & Zainal Asikin, Op. Cit., hlm. 30
32

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Filosofis Perubahan Usia Minimum Perkawinan dan Dasar Yuridis

Perubahan Usia Minimum Kawin

1. Sejarah tentang usia Pernikahan

Usia perkawinan merupakan sebuah frase(kelompok kata), usia dan

perkawinan. Usia adalah kata lain dari umur,yang dapat diartikan waktu

atau masa hidup. Sedangkan kawin merupakan kata yang bermakna

aktif,mendapat prefiks(pe-an) menjadi perkawinan adalah memmbentuk

keluarga dengan lawan jenis. Maka usia perkawinan ditafsirkan sebagai

usia yang dianggap cocok/tepat secara fisik dan mental untuk

melangsungkan perkawinan.

Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, batasan usia

minimum yang ditetapkan, yaitu untuk perempuan ditetapkan 16 (enam

belas) tahun dan untuk laki- laki 19 Tahun. Hingga kini setelah

disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menjadi

disamakan, 19 tahun untuk Laki-laki dan perempuan. Disimpulkan

bahwa dalam hal perkawinan telah ditentukan bahwa perkawinan hanya

diizinkan bagi mereka yang telah memenuhi persyaratan usia. Bagi mereka

yang telah memenuhi syarat usia perkawinan, maka perkawinan dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun bagi yang mereka yang

belum memenuhi persyaratan usia, maka perkawinan dapat dilaksanakan


33

apabila Pengadilan telah memberikan dispensasi kawin sesuai Peraturan

Perundang-Undangan yang mana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan

mental karena menikah atau kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat

menentukan jalan hidup seseorang. Karena itulah batasan minimum usia

Perkawinan tersebut dimaksudkan sebagai syarat sekaligus usaha dalam

mencapai tujuan utama dari Perkawinan, yakni membentuk keluarga yang

bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sakinah,

mawaddah dan warahmah.

Dahulu, aturan hukum tentang perkawinan di Indonesia sudah

ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Jika diklasifikasikan dapat

dikelompokan menjadi tiga yaitu; sebelum merdeka-1946, 1946-1973,


22
dan 1974-sekarang. Peraturan perkawinan pada masa sebelum

kemerdekaan sampai pada tahun 1946 merupakan masa yang

menyedihkan. Pada masa ini Indonesia dijajah oleh belandadengan waktu

kurang lebih mendekati 350 tahun. Dengan adanya penjajahan Belanda

juga meninggalkan hukum perkawinan untuk orang-orang Indonesia.

Pada saat itu hukum perkawinan tertulis peninggalan Belanda yang

berlaku untuk masyarakat Indonesia yaitu Ordonansi perkawinan Kristen

22
Ahmad Rifai, Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan
DariMasyarakat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974, Indonesian History, 2015,hlm
2
34

(HOCI) berlaku untukorang Indonesia beragama Kristen. Ditulis di

staatsblat 1933 No 73, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang

digunakan untuk orang Eropa dan keturunan Cina, dan peraturan tentang

perkawinan camuran yang diatur dalam Staatsblad1898 N0 158. Sampai

berakhirnya masa penjajahan pemerintah Belanda tidak berhasil

merumuskan hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh masyarakat.

Hukum perkawinan untuk orang Muslim hanya sebatas hukum materiil

yang diambil dari kitab-kitab fikih karangan ulama terdahulu. Hukum

perkawinan yang berlaku setelah penjajahan Belanda dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang bergama islam berlaku hukum


agama yang telah diresepsi dengan hukum adat. Bagi orang-orang
Indonesia lainya yang beragama selain islam berlaku hukum adat.
b. Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie christen Indoneia (HOCI) dalam Staatsblad 1933 No.74
c. Orang-orang timur asing, Eropa dan orang Indonesia keturunan Cina
berlaku hukum perdata Burgerlijk Wetboek. 23
Dilihat dari uraian-uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa

hukum yang diterapkan dalam hal perkawinan yang dianut Indonesia saat itu

masih sangat beragam. Dengan adanya keberagaman hukum dan belum

adanya hukum tertulis yang dapat menjangkau dan menyatukan seluruh

rakyat Indonesia membuat perjalanan penerapan hukum yang mudah untuk

dimanipulasi.

23
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1981,
hlm 15
35

Setahun setelah Indonesia merdeka, yakni pada tahun 1946

banyak muncul masalahan perkawinan pada orang-orang Islam, karena

tidak adanya kodifikasi hukum perkawinan untuk orang-orang Islam 24 .

Orang-orang yang beragama Islam berpedoman pada kitab-kitab fikih

seperti kitab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, ataupun Imam

Hambali. Karena banyak terjadi perbedaan dalam menerapkan hukum

maka timbul permasalahan seperti perkawinan anak (dini), perkawinan

paksa, penyalahgunaan hak dan poligami. Kemudian pada tanggal 26

November 1946 pemerintah mulai membuat peraturan yaitu Undang-

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak

dan Rujuk yang diberlakukan di Jawa dan Madura disahkan oleh Presiden

Soekarno di Linggarjati. Kemudian diberlakukanjuga di wilayah

Sumatera.25 Munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut

sebatas mengatur nikah, talak, dan rujuk sehingga lebih dalam hal

mengatur hukum acaranya. Sedangkan materi hukum yang dijadikan

rujukan dalam menyelesaikan perkara untuk orang Islam masih bersumber

pada kitab-kitab fikih seperti yang disebutkan di atas. Akibat adanya

perbedaan sumber yang digunakan tentu akan menghasilkan putusan

hukum yang berbeda meskipun dalam kasus yang sama. Selain itu

24
Khiyaroh, Alasan dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-UndanganVolume 7 No 1 Juni 2020,
hlm 4

25
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat,
GhaliaIndonesia, 1992, Jakarta, hlm 96
36

pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap kitab-kitab fikih tentu

berbeda-beda dan hal ini menimbulkan kasus-kasus baruseperti perkawinan

paksa, perkawinan anak dan juga adanya poligami.26

Singkatnya, hingga pada tahun 1973 DPR menerima Rancangan

Undang-Undang Perkawinan dari pemerintah. Adapun rencana awal

penetapan batas usia minimal kawin bagi para pasangan tertera pada Pasal

7 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973. Dalam

Rancangan Undang-Undang tersebut dinyatakan batas minimal usia kawin

adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Namun

demikian, karena Rancangan Undang-Undang ini menuai perdebatan yang

rawan dengan konflik, akhirnya pembahasan mengenai hal ini ditunda.

Gejolak dan potensi konflik berakhir setelah diresmikan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Standar usia minimal kawin

sebagaimana tercantum pada Pasal 7 ayat (1), yang pada akhirnya

diturunkan dari 21 tahun menjadi 19 tahun bagi laki-laki. Negara

menetapkanperaturan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Dan jika terdapat penyimpangan di bawah ketentuan, maka masyarakat

berhak mengajukan dispensasi kepada pengadilan ataupejabat lain yang

berkepentingan. Artinya, ketentuan usia minimal kawin dalam Rancangan

Undang-Undang Perkawinan 1973 berubah pada saat Undang-Undang

Perkawinan disahkan Tahun 1974. Ada beberapa penyebab dari peristiwa

26
Wila Chandrawila ,Supriadi,,Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, BandarMaju,
Bnadung, 2002, hlm 194
37

(perubahan standar) ini yang dikemukakan oleh Ratno Lukito (Guru besar

Perbandingan Hukum pada Prodi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga).

a. Pertama, belum terselesaikannya kajian teoretis tentang


usia dewasa antara umat Islam dan negara yang mengatur
usia minimal kawin dengan praktik perkawinan pada waktu
itu.
b. Kedua, kecenderungan masyarakat dalam praktik
perkawinan masih berkutat pada pemahaman fikih atau
budaya setempat.
c. Ketiga, kondisi relasi gendertradisional masih melekat kuat
dalam masyarakat, sehingga menyulitkan negara dalam
menerapkan batas usia minimal kawin sesuai cita-cita awal
Rancangan Undang-Undang Perkawinan. Dengan kata lain,
persoalan penentuan usia minimal kawin lebih kepada soal
perdebatan paradigma hukum antara tradisi Islam dan
negara. Perdebatan terkait standar usia minimum kawin
bagi umat Islam dan Negara lebih disebabkan karena
paradigma dan sudut pandang yang berbeda. Umat Islam
melihat bahwa usia minimal kawin bukan merupakan
syarat sah untuk melangsungkan perkawinan, karena dalam
Islam tidak ada batasan pasti dalam usia minimal kawin.27
Pendapat menurut Ratna Lukito diatas cukup menjelaskan bahwa

ada perbedaan pendapat antara umat Islam dengan Negara yang lebih

disebabkan karena sudut pandang yang berbeda. Umat Islam melihat

bahwa usia minimal kawin bukan merupakan syarat sah untuk

melangsungkan perkawinan, karena dalam Islam tidak ada batasan pasti

dalam usia minimal kawin,. Kondisi pergulatan antara umat Islam dan

Negara tersebut pada dasarnya dipicu oleh ketidakpuasan umat Islam atas

dominasi Pemerintah pusat untuk menyeragamkan masalah praktik

perkawinan. Saat itu banyak kalangan umat Islam tidak setuju dengan

beberapa isi pasal dalam RUU Perkawinan 1973. Mereka menilai terdapat

27
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Pustaka Alvabethlm, Yogyakarta, hlm
269-270
38

beberapa hal tidak sesuai dengan hukum Islam.28 Namun, setelah sekitar

puluhan tahun digunakan, berbagai macam perdebatan terkait masalah

perkawinan, seperti terkait status anak luar kawin, perjanjian pra nikah,

serta usia minimum kawin muncul dan cenderung memicu banyak

perdebatan. Khususnya terkait usia perkawinan, dinilai usia tersebut (16

tahun bagi wanita) terlalu dini dan lebih banyak mudharatnya, hingga

puncaknya usia minimum perkawinan dirubah pasca disahkannya Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2019 tahun lalu. Dengan dinaikkannya usia

minimum untuk wanita menjadi sama dengan usia minimum untuk pria,

yakni 19 tahun. Hal yang diharapkan dari perubahan usia minimum itu

salah satunya jelas untuk meminimalisir pernikahan dini.

2. Dasar Filosofis Perubahan Usia Minimum Perkawinan

Dasar Filosofis dapat diartikan refleksi tentang landasan atau

alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang

meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang

bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena

itu, setiap Undang-Undang di Indonesia termasuk Undang-Undang

Perkawinan, haruslah mengacu dasar filosofi Negara dan Peraturan

Perundang-Undangan di atasnya. Pancasaila merupakan landasan idiil

28
Ratna Lukito, Loc. cit
39

Negara, dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar structural Negara,29

atau sebagai landasan Konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Sebagaimana yang kita ketahui dalam Pancasila terkandung

Nilai Ketuhan,Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kerakyatan dan

Nilai Keadilan.

Seperti yang kita ketahui, Bangsa Indonesia bersepakat

mencantumkan tujuan bernegaranya dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945. Lebih jelasnya, tujuan bernegara Indonesia sebagaimana

tertuang dalam Alenia Keempat UUD NRI Tahun 1945, adalah

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Keluarga

merupakan satuan terkecil dan bersifat dasar bagi tercapainya kehidupan

sosial masyarakat. Lembaga keluarga memiliki fungsi pokok dalam

memenuhi kebutuhan biologis, sosial ekonomi, dan pendidikan. Jika dalam

keluarga tidak tercapai kebahagiaan kekal dan sejahtera tentunya akan

berdampak pada masyarakat secara luas. Oleh karena nya, Negara

memberikan perhatian yang besar terhadap lembaga perkawinan sebagai

pintu gerbang menuju terciptanya keluarga yang bahagia kekal dan

sejahtera. Salah satu langkah/upaya Negara dalam mewujudkan keluarga

yang bahagia kekal dan sejahtera adalah dengan menjadikan lembaga


29
Ahmada Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 Kajian
Perbandingan Tentang DasarHidup Bersama Dalam Masyarakat yang majemuk, UI Press, Jakarta,
Hlm 94
40

perkawinan sebagai suatu lembaga yang diikat secara lahir dan batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang terjadi antara pria dan

wanita dewasa didasarkan pada persetujuan keduanya. Bahwa dalam

perkawinan, baik pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban sebagai

suami isteri untuk melaksanakan peran masing-masing dalam membentuk

keluarga bahagia kekal dan sejahtera berdasarkan keadilan, kesetaraan, dan

kepastian hukum. Oleh karenanya, maka sangat jelas bahwasannya betapa

pentingnya kematangan/kedewasaan dalam membentuk rumah tangga agar

mampu memahami hak dan kewajibannya masing-masing, karena jika

belum matang akan cenderung belum stabil secara mental dalam

menghadapi aspek kesulitan/masalah, entah itu masalah ekonomi atau

masalah lain yang dihadapi. Selain itu juga penghayatan agamanya tentang

hakekat perknikahan yang mengalami distorsi adalah akibat pasangan

suami-istri yang hidup dalam rumah tanggabelum sungguh-sungguh

memahami nilai-nilai filosofi dari perkawinan itu sendiri.30

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Negara perlu

hadir demi memastikan adanya keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum

dalam penyelenggaraan lembaga perkawinan sehingga tujuan perkawinan

dapat tercapai. Ikhtiar yang dilakukan dalam hal ini yakni dengan

menaiikan batas minimal umur perkawinan bagi wanita disamakan dengan

30
Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan Menurut Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-Undang RI No.1 tahun 1974, Mitra Wacana Media, 2015, Hlm 5
41

batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.

Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang

sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih

tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan

mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko

kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak

sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan

orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi

mungkin dan terciptanya generasi-generasi yang sehat dan berkualitas.

Disisi lain juga, perubahan usia minimum ini yang mana

disamakan 19 tahun baik untuk Pria maupun Wanita menggambarkan

Prinsip Persamaan (Kesetaraan dan Keadilan) Substantif memastikan

bahwa lak-laki dan perempuan memiliki persamaan kedudukan di muka

hukum. Prinsip ini juga memastikan bahwa perempuan dan laki-laki

memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, memiliki peluang atau

kesempatan yang sama besar, dan menikmati manfaat yang sama dari

pembangunan atau kebijakan. Dalam konteks usia perkawinan, penentuan

usia perkawinan yang sama antara laki-laki dan perempuan diharapkan

berdampak pada:

1. Persamaan kedudukan di muka hukum

2. Persamaan akses dalam menikmati pendidikan dasar


42

3. Persamaan kesempatan menikmati derajat kesehatan yang sama tingginya

4. Persamaan kesempatan menikmati ketahanan keluarga.

Dari poin-poin di atas, menunjukkan bahwa inti yang

melatarbelakangi perubahan usia minimum perkawinann ini tidak lain

ialah karena dianggap tidak ada kesetaraan, dimana Pria dianggap lebih

diuntungkan oleh usia minimum perkawinan pada Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Itu karena jika kita melihat dari

perspektif feminisme yang merupakan aliran, pemikiran, teori, yang

melihat bahwa terdapat diskriminasi dan ketidakadilan terhadap

perempuan di masyarakat dibarengi dengan kesadaran penolakan terhadap

diskriminasi tersebut melalui kegiatan, aksi penolakan untuk menghapus

diskriminasi sertamemperjuangkan hidup demi keadilan bagi

semua. 31 Umumnya, feminis menganggap bahwa setiap laki-laki selalu

berada dalam posisi dominan dan perempuan subordinat. Dengan usia

minimum perkawinan bagi wanita yang lebih rendah dari Pria yakni 16

tahun dibanding 19 tahun, maka memberikan kesan membatasi gerak dan

perkembangan perempuan serta mereproduksi dominasi kaum laki-laki32.

Ini adalah proses sosialisasi yang menegaskan bahwa posisi wanita adalah

lemah, dan juga terkesan dibuat sekat-sekat dimana wanita selalu

31
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gende: Rekontruksi Teologis, Yuridis, dan Sosiologis,
STAIN Press, Yogyakarta, 2006, hlm 1

32
Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki Pengantar tentang persoalan Dominasi terhadap
kaum perempuan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996, hlm 8
43

mendapat tempat kedua.33

Pada umumnya, masyarakat berpendapat bahwa peran perempuan

dalam rumah tangga hanya sebagai peran pembantu bagi laki-laki (ayah

ataupun suaminya). Baik dalam hal mengambil keputusan, Pendidikan,

pekerjaan dan hal-hal lain dalam rumah tangga. Pendidikan bagi wanita

dianggap tidak terlalu penting,karena cenderung akan berakhir di dapur

dan di kamar untuk merawat anak-anak dan suami, itulah yang umumnya

dipikirkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, Pendidikan bagi

wanita juga sama pentingnya, karena dengan semakin tinggi mengenyam

Pendidikan maka akan semakin bekualitas Sumber daya manusianya,

sehingga wanita tidak tertinggal jauh/ timpang dibanding pria dan menjadi

ketergantungan dengan pria yang menjadi suaminya kelak. Karena itulah

seharusnya pada usia 16 tahun yang umumnya seorang anak masih baru

tamat SMP/MTS seharusnya fokus belajar dan lanjut menuntut ilmu di

SMA/MAN, dan bukan diberi opsi untuk menikah yang mengakibatkan

pendidikannya terhambat. Hal ini berkaitan dengan tidakterpenuhinya hak

perempuan untuk memiliki keterampilan yang ia perlukan untuk dapat

berkompetisi dalam dunia persaingan kerja.34

Lalu disisi lain juga dengan usia minimum pernikahan 16 tahun

bagi wanita dibanding 19 tahun bagi pria juga tidak adil khususnya wanita

akan terkesan pemangkasan waktu dalam menikmati masa-masa anak-

33
Nursyahbani Katjasungkana, Loekman Soetrisno, Affan Ghaffar dkk., Potret Perempuan
Tinjauan Politik,Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm 7
34
Keterangan Saparina Sadli (Ahli), dalam Petitum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30-74/PUU-XII2014, hlm 30
44

anak hingga remaja, yang mana pada usia 16 tahun pada umumnya

merupakan masa-masa mencari jati diri, bergaul, bermain dan belajar

banyak hal serta masih perlu kasih sayang orang tuanya. Selain itu juga,

usia minipmum menikah yang rendah itu juga membuka peluang seoarang

anak perempuan dapat dipaksa menikah lebih cepat demi mengurangi

beban ekonomi orang tuanya, yang mana hal itu merupakan kekerasan

psikologis. Dan bilamana pada terjadi kehamilan, akan cukup beresiko

untuk wanita yang terlalu muda, baik bagi kesehatan dirinya maupun bagi

kandungannya.

Jika berpikir lebih jauh lagi, sebagaimana yang kita ketahui,

bahwa dalam pernikahan tidak ada yang tahu, dan jika wanita sebagai istri

ketergantungan pada suami sedangkan sumber daya manusianya kurang,

lalu suatu saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti karena

perceraian atau suami meninggal lebih dulu maka akan sangat sulit bagi

istri yang kurang keterampilan akibat hanya mengenyam pendidikan

sedikit. Hal demikian akan mengakibatkan kehidupan mereka terluntang

lantung, sulit mencari nafkah dan menyekolahkan anak-anaknya, serta

berpotensi meningkatkan kemiskinan dan anak terlantar.

Selain itu, apabila usia minimum perkawinan wanita lebih rendah

dibanding pria dibiarkan juga tidaklah adil bagi pria,karena seolah-olah

pria harus lebih mampu menahan keinginan/ birahinya lebih lama

dibandingkan wanita. Hal tersebut termasuk diskriminasi terhadap hak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan.


45

Dilihat dari hal-hal tersebut, maka setidaknya dengan dinaikkannya

usia minimum bagi wanita menjadi 19 tahun (sama dengan pria) merupakan

langkah yang cukup bijak dan tepat, demi menghilangkan marginalisasi dan

diskriminasi usia perkawinan , demi meminimalisir angka perceraian,

mengurangi resiko kematian ibu hamil dan bayi,serta memberikan

kesempatan setiap anak untuk menempuh Pendidikan setinggi-tingginya

demi terciptanya generasi-generasi terbaik.

3. Dasar Yuridis Perubahan Usia Minimum Perkawinan


Sebagai Negara hukum, Indonesia di era reformasi telah

memiliki peraturan perundang-Undangan tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang ini merupakan hasil dari perkembangan politik hukum

yang didasarkan pada penghormatan hak manusia khususnya hak anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak semakin

memperkuat pemikiran pentingnya mempertimbangkan ulang pengaturan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7

Ayat (1) tentang batasan usia minimal perkawinan untuk perempuan (16

Tahun) dan Pasal 7 Ayat (2) tentang dispensasi perkawinan di bawah usia

minimal perkawinan. Dengan adanya perkembangan hukum yang lebih

memberi perlindungan terhadap hak anak, keberadaan aturan batas usia

minimum calon pengantin khususnya untuk perempuan dalam Pasal 7 ayat

(1) mulai dianggap semakin tidak relevan dalam memberikan perlindungan

Anak. Keberadaan Pasal 7 Ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang


46

Perlindungan Anak. Batasan usia anak menurut Undang-Undang

Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-Undang

Perlindungan Anak menyatakan secara tegas dalam Pasal 26 ayat 1 (c)

bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah

terjadinya perkawinan pada usia anak, tetapi aturan ini, sebagaimana

Undang-Undang Perkawinan, tidak disertai dengan ketentuan sanksi

pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam

melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan usia anak/ dini.35

Terkait dengan batasan umur dewasa sendiri, berbagai peraturan

perundang-Undangan memiliki penafsiran yang berbeda, antara lain :

a) BW Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan belum dewasa adalah


mereka yang belum mencapai umur genap 21 (duapuluh satu) tahun
dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu
dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 (duapuluh satu) tahun,
maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa “yang disebut anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin”.
c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa, Anak
Didik Pemasyarakatan adalah :
1) Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun;
2) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
3) Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di

35
Andi Syamsualam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan, Kencana Mas, Jakarta,
2005,hlm 66-67
47

LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)


tahun.
d) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Dalam Pasal 1 angka 5 dimuat pengertian bahwa yang disebut
sebagai anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan. Dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak, yang membedakan antara anak
dan dewasa hanyalah sebatas umur saja. Sebenarnya mendefinsikan
anak atau belum dewasa itu menjadi begitu sulit ketika melihat batas
umur anak atau batas dewasanya seseorang dalam peraturan
perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda.
e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam Pasal 1 angka 26 Ketentuan Umum dinyatakan bahwa, Anak
adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
f) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan
Notaris Pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa Penghadap harus
memenuhi syarat sebagai berikut: Paling sedikit berumur 18
(delapan belas) tahun atau telah menikah; dan Cakap melakukan
perbuatan hukum. Berdasarkan pengaturan tersebut membatasi
bahwa seseorang dikatakan dewasa ketika telah berumur paling
sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.
g) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional Pasal 41 angka 1 huruf d menyatakan: Manfaat
jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan
sebagai: Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai
mencapai 23 (dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah.
h) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia Pasal 4 huruf h “Warga Negara Indonesia adalah
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
i) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Pasal 1 angka 5
Ketentuan Umum dinyatakan bahwa, Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
j) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentangg Pornografi Pasal 1
angka 4 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
48

belas) tahun.
k) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Pasal 20 dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak
sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke
sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas
umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak.
l) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Pengesahan Convention
On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak)
Pasal 1 konvensi menyatakan, untuk tujuan Konvensi ini, seorang
anak berarti setiap manusia di bawah usia 18 tahun, kecuali apabila
menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal.36

Dari beragam aturan terkait penafsiran usia dewasa di atas,

maka rata-rata menggambarkan usia dewasa adalah usia 18 tahun, yang

mana pada usia tersebut seseorang dianggap telah cukup matang atau

cakap hukum. Itu artinya pada usia tersebut, seseorang mulai mampu

mengontrol emosi, berpikir logis, dan dapat mengemban tanggung jawab.

Namun sebagaimana yang kita ketahui bahwa usia minimum dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah 19 Tahun untuk Pria dan 16

tahun bagi wanita. Padahal, usia 16 tahun bukanlah usia yang tepat untuk

melakukan perkawinan bagi anak perempuan, karena usia 16 tahun adalah

usia dimana seharusnya anak masih mengikuti pendidikan sesuai dengan

cita-cita pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Pendidikan

Nasional) yang mewajibkan adanya wajib belajar 12 tahun. Jika melihat

usia pendidikan pertama usia anak masuk Sekolah Dasar di usia 7 tahun

maka dengan adanya wajib belajar 12 tahun berarti usia anak untuk

36
Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Atas Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional 2019, hlm 65-66
49

mendapatkan hak pendidikannya sampai selesai adalah 19 tahun. Pasal 7

ayat (1) terkait usia perkawinan perempuan yang masih mematok usia 16

tahun adalah bentuk pembedaan terhadap salah jenis kelamin, yaitu

perempuan, yang mana di dalam Undang-Undang HAM Pasal 1 ayat (3)

hal tersebut masuk dalam salah satu bentuk diskriminasi.

Jika dilihat dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,terdapat

beberapa asas yang menjadi alasan kuat terkait Perubahan Usia minimum

Perkawinan, yakni :

a. Asas Persamaan (Kesetaraan dan Keadilan)

Substantif Prinsip Persamaan (Kesetaraan dan Keadilan) Substantif

memastikan bahwa lak-laki dan perempuan memiliki persamaan

kedudukan di muka hukum secara de jure dan de facto. Prinsip ini juga

memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki akses yang sama

terhadap sumber daya, memiliki peluang atau kesempatan yang sama,

dan menikmati manfaat yang sama dari pembangunan atau kebijakan.

Dalam konteks usia perkawinan, penentuan usia perkawinan yang sama

antara laki-laki dan perempuan haruslah berdampak pada:

1) Persamaan kedudukan di muka hukum

2) Persamaan akses dalam menikmati pendidikan dasar

3) Persamaan kesempatan menikmati derajat kesehatan yang sama

tingginya

4) Persamaan kesempatan menikmati ketahanan keluarga


50

b. Asas Non Diskriminasi

Prinsip Non diskriminasi atau non-discrimination principle adalah bahwa

tidak ada seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena

faktor-faktor luar, misalnya warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

politik, jenis kelamin atau pandangan lainnya. Dalam Pasal 1 Ayat (3)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

berbunyi “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau

pengucilan yang langsung atau tak langsung di dasarkan pada pembedaan

manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status

sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang

berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan,

pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar

dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,

ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya37. Selain

itu, dalam Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan

bahwa “setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu”.38 Dalam Pasal 16 ayat 1 CEDAW yang

disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All

Forms Of Discrimination Against Women) menyatakan persamaan


37
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999, Pasal 1 ayat (3)
38
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 I ayat (2)
51

perempuan dengan lakilaki akan dijamin terhadap hak dan tanggung

jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai

perkawinan. Yang secara eksplisit pasal ini mengatur bagaimana

persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dihadapan hukum Pasal 7

ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang batas usia

perkawinan antara pria yang berusia 19 (sembilan belas) tahun dan

perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) adalah sebuah bentuk

diskriminasi dan bertentangan dengan konstitusi. Perbedaan usia antara

perempuan dan laki-laki adalah sebagai bentuk diskriminasi yang terjadi

secara nyata dan diatur dalam sebuah Undang-Undang, dimana

perempuan. pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia

dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif

dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek

kehidupan lainnya”. Selain itu, dalam Pasal 28 I ayat 2 Undang-Undang

Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap orang bebas dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dalam

Pasal 16 ayat 1 CEDAW yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan

Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The

Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women)

menyatakan persamaan perempuan dengan laki-laki akan dijamin

terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan


52

semua urusan mengenai perkawinan. Yang secara eksplisit pasal ini

mengatur bagaimana persamaan hak antara laki-laki dan perempuan

dihadapan hukum Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang

mengatur tentang batas usia perkawinan antara pria yang berusia 19

(sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai 16 (enam belas)

adalah sebuah bentuk diskriminasi dan bertentangan dengan konstitusi.

Perbedaan usia antara perempuan dan laki-laki adalah sebagai bentuk

diskriminasi yang terjadi secara nyata dan diatur dalam sebuah Undang-

Undang, dimana perempuan tidak memiliki hak dan kesempatan yang

sama dengan laki-laki dalam hal pemenuhan hak-hak dasarnya. Oleh

karena itu, perbedaan tersebut merupakan bentuk ketidaksetaraan

dihadapan hukum sehingga merugikan kedudukan anak perempuan di

Indonesia

c. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak berasal dari Pasal 3 Ayat (1)

Konvensi Hak Anak Perserikatan BangsaBangsa yang menyatakan

bahwa “dalam semua tindakan mengenai anak yang dilakukan oleh

lembaga lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan

hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan terbaik

anak harus menjadi pertimbangan utama“. Dimana semua tindakan yang

dilakukan harus berpihak dan untuk kepentingan terbaik bagi anak.

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan dalam

penyusunan naskah akademik, karena kualitas bangsa yang akan datang


53

adalah cerminan dari generasi yang ada saat ini. Oleh karena itu kita

harus mengupayakan agar hak dasar anak dapat terpenuhi secara

maksimal.39

Hingga pada akhirnya, pada 14 Oktober 2019 disahkanlah

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,yang mana ketentuan

terkait usia minimum wanita dinaikan dari 16 tahun menjadi 19

(disamakan dengan usia minimum Pria).

Selain itu, Pasal 7 ayat (2) terkait dispensasi kawin direvisi

karena memberikan peluang adanya penyimpangan terhadap usia

minimum perkawinan dengan tidak ada batasan yang jelas dalam situasi

apa penyimpangan dapat dilakukan. Perlu adanya batasan yang jelas agar

penyimpangan terhadap usia minimum tidak mudah dilakukan. Karena

itulah, sehingga pada akhirnya pasca disahkannya Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat (2) terkait dispensai kawin itu ditambahkan

dengan kata-kata “alasan sangat mendesak dan bukti pendukung yang

cukup”. Yang berarti diharapkan pemberian dispensasi kawin lebih

diperketat lagi.

39
Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Opcit, hlm 16
54

B. Persyaratan Permohonan Dispensasi Kawin dan Pertimbangan-

Pertimbangan dalam Pemberian Dispensasi Kawin

1. Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Mataram


Pengadilan Agama Mataram, sebagai salah satu Pengadilan

Agama dengan perkara terbanyak di wilayah Nusa Tenggara Barat, yang

mana pada tahun 2020 sendiri hingga November ini telah menangani 1386

perkara, baik yang bersifat gugatan maupun permohonan.

Dalam hal perkara yang menjadi fokus penulis disini ialah

terkait perkara dispensasi kawin, yang mana merupakan gerbang secara

yuridis formal untuk menikahkan orang yang belum memenuhi usia

minimum perkawinan yang ditentukan Undang-Undang, yakni 19 tahun.

Adapun di bawah ini merupakan laporan data perkara itsbat nikah dan

dispensasi kawin, yang memang erat kaitannya dengan pernikahan dini.


55

Di atas disebutkan bahwa selama 2020 dari Januari sampai

bulan Oktober kemarin, Pengadilan Agama Mataram telah menangani 7

perkara Dispensasi Kawin. Adapun perkara itsbat nikah telah sampai 401

perkara, yang mana juga karena banyak masyarakat yang menikahkan

anaknya yang belum cukup umur di luar prosedur yang diatur Pasal 7 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kebanyakan

orang yang sadar anaknya belum cukup umur untuk kawin lebih memilih

menikahkan hanya secara agama tanpa dicatatkan (nikah siri), lalu nanti

setelah ada kebutuhan atau masalah baru mengajukan permohonan itsbat

nikah ke Pengadilan.40

2. Persyaratan Permohonan Dispensasi Kawin

Dispensasi Kawin merupakan bagian kecil dalam sistem hukum

keluarga sebagai bentuk penyimpangan terhadap hukum perkawinan

dalam alasan-alasan tertentu. Dalam hukum perkawinan dikenal dengan

asas selektifitas. Asas ini dimaksudkan untuk mengetahui seseorang dapat

menikah dengan siapa atau tidak dapat menikah dengan siapa. Jika melihat

hukum perkawinan di Indonesia, syarat-syarat perkawinan diatur pada

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dapat

diperhatikan mulai Pasal (6) hingga Pasal (11), yakni terkait :

a. Adanya persetujuan kedua belah pihak


40
Wawancara dengan Bapak Sudirman,SH (Panitera Pengganti Pengadilan Agama
Mataram) pada 27 November 2020
56

b. Mendapat izin dari orang tua/wali bagi yang belum berumur 21

(dua puluh satu) tahun

c. Apabila kurang dari 19 tahun harus mendapatkan dispensasi nikah

dari Pengadilan

d. Antara kedua belah pihak tidak ada larangan untuk menikah

e. Kedua belah pihak tidak terikat dengan perkawinan yang lain

f. Tidak bercerai untuk yang kedua kalinya jika calonnya adalah

mantannya

g. Jika perempuan berstatus janda, harus selesai masa iddah.41

Syarat perkawinan tersebut dijelaskan secara eksplisit dalam

Undang-Undang Perkawinan. Kemudian syarat-syarat tersebut dijelaskan

lebih rinci lagi pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mulai dari Pasal 14

sampai dengan Pasal 44. Syarat- syarat tersebut bersifat kumulatif,

sehingga harus terpenuhi semuanya. Secara hukum, penyimpangan

terhadap syarat perkawinan hanya dimungkinkan untuk yang belum 21

tahun harus ada izin dari orang tua, namun haruslah minimal sudah berusia

19 tahun. Pada syarat inilah, Peradilan hadir untuk memberikan

“pendapatnya” apakah seseorang yang belum cukup umur 19 tahun pantas

diberikan izin melangsungkan pernikahan atau tidak.42

Menurut Pasal terkait dispensasi kawin, yakni Pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-

41
Sugiri Permana dan Ahmad Zaenal Fanani, Dispensasi Kawin Dalam Hukum Keluarga
Indonesia, Surabaya, 2019, hlm 5

42
Wawancara dengan Bapak Sudirman,SH (Panitera Pengganti Pengadilan Agama
Mataram) Pada 26 Oktober 2020
57

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, permohonan dispensasi

kawin merupakan bentuk penyimpangan terhadap ketentuan batas

minimum umur perkawinan yakni 19 Tahun sehingga dalam permohonan

dispensasi kawin harus memuat alasan-alasan yang sangat mendesak yang

dijadikan dasar permohonan dan disertai bukti-bukti pendukung yang

cukup.

Dalam pejelasan pasal tersebut, kata "penyimpangan"

mengandung makna bahwa permohonan hanya dapat dilakukan melalui

pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau

kedua belah pihak dari calon mempelai, apabila pihak pria dan wanita

berumur di bawah 19 (sembilan belas) tahun. Adapun makna permohonan

harus memuat "alasan sangat mendesak" adalah permohonan dispensasi

kawin harus menjelaskan kejadian atau peristiwa yang menggambarkan

tentang keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus

dilangsungkan perkawinan.

Oleh karena itu, beberapa hal yang setidaknya harus termuat dan

diuraikan secara jelas, sistematis dan runtut dalam posita atau

fundamentum petendi permohonan dispensasi kawin antara lain adalah :

1. Penjelasan tentang identitas anak kandung Pemohon yang akan menikah


tetapi kurang umur dan juga identitas calon suami atau calon isteri dari
anak kandung pemohon tersebut.
2. Penjelasan terkait syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut
baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-
undangan yang berlaku telah terpenuhikecuali syarat usia bagi anak
Pemohon belum mencapai 19 tahun.
3. Penjelasan bahwa antara anak Pemohon dan calon suami atau calon
istrinya tersebut tidak ada larangan untuk melakukan pernikahan.
4. Penjelasan bahwa anak yang diajukan dalam permohonan mengetahui
58

dan menyetujui rencana perkawinan, tidak ada pemaksaan perkawinan.


5. Penjelasan kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan anak Pemohon
untuk melangsungkan perkawinan dan membagun kehidupan rumah
tangga, seperti misalnya anak pemohon sudah siap dan memahami hak
dan kewajiban jika perempuan untuk menjadi seorang istri dan/atau ibu
rumah tangga dan jika laki- laki sudah siap untuk menjadi seorang suami
dan/atau kepala rumah tangga, serta penjelasan tentang pekerjaan dan
penghasilan/gajinya.
6. Penjelasan bahwa keluarga Pemohon dan orang tua calon suami/calon
isteri anak Pemohon telah merestui rencana pernikahan tersebut dan tidak
ada pihak ketiga lainnya yang keberatan atas berlangsungnya pernikahan
tersebut.
7. Penjelasan tentang alasan sangat mendesak sehingga perkawinan harus
dilaksanakan meskipun usia anak belum cukup umur yang memuat
pokok-pokok kejadian atau peristiwa yang menggambarkan tentang
keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan
perkawinan .43

Selanjutnya terkait syarat administrasi sebagaimana yang

tercantum pada pasal 5 PERMA Nomor 5 tahun 2019, yang harus dipenuhi

dan dilengkapi oleh Pemohon dalam mengajukan permohonan dipensasi

kawin adalah sebagai berikut :

1. Surat permohanan. Jika identitas pihak, posita dan petitum surat

permohonan belum memenuhi kualifikasi permohonan dispensasi yang

baik dan benar sebagaimana penjelasan di atas, maka berdasarkan pasal

119 HIR/143 RBG pengadilan memberikan petunjuk kepada Pemohon

untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan syarat-syarat formil dan

materiil permohonan yang baik dan benar;

2. Fotokopi KTP (Kartu Tanda Penduduk) kedua orang tua/wali;

3. Fotokopi KK (Kartu Keluarga);

43
Sugiri Permana dan Ahmad Zaenal Fanani, Opcit, hlm 25
59

4. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau kartu identitas anak dan/atau akta

kelahiran anak;

5. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau kartu identitas anak dan/atau akta

kelahiran calon suami atau isteri; dan

6. Fotokopi ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat keterangan masih

sekolah dari sekolah si anak tersebut

7. Surat keterangan dari tenaga kesehatan (dokter atau bidan) yang

mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat

mendesak untuk dilaksanakan. Syarat ini untuk memenuhi ketentuan Pasal

7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 yang menegaskan bahwa

permohonan dispensasi kawin harus disertai dengan bukti-bukti

pendukung yang cukup. Adapun yang dimaksud dengan bukti-bukti yang

cukup dalam penjelasan Pasal tersebut adalah surat keterangan yang

membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-

undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung

pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk

dilaksanakan.

8. Surat pernyataan komitmen orang tua anak yang menegaskan bahwa

komitmen orang tua untuk ikut bertanggung jawab terkait masalah

ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan anak. Syarat ini untuk

memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun

2019 dan Pasal 16 huruf j Perma Nomor 5 tahun 2019.

9. Surat Penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA).


60

10. Membayar Panjar Biaya Perkara.44

Lalu selanjutnya terkait Pihak-pihak yang wajib dihadirkan yang

diatur pada Pasal 10 PERMA Nomor 5 tahun 2019, bahwa pada saat

sidang pertama, Pemohon wajib menghadirkan sejumlah pihak

untuk dimintai keterangan , antara lain:

1. Anak yang dimintakan permohonan Dispensasi Kawin


2. Calon suami/isteri
3. Orang Tua/Wali calon suami/isteri.

Jika Pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-pihak tersebut

pada hari sidang pertama, maka Hakim menunda persidangan dan

memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan pihak-pihak tersebut pada

sidang kedua. Dalam hal Pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-

pihak tersebut pada hari sidang kedua, maka Hakim menunda lagi

persidangan dan memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan pihak-

pihak tersebut pada persidangan yang ketiga. Jika pada hari sidang ketiga

Pemohon juga tidak dapat menghadirkan pihak-pihak tersebut, maka

permohonan Dispensasi Kawin tidak dapat diterima.45

3. Pertimbangan Pemberian Dispensasi Kawin

Dispensasi Kawin merupakan bagian kecil dalam sistem hukum


keluarga sebagai bentuk penyimpangan terhadap hukum perkawinan dalam
alasan-alasan tertentu. Pasal 10 Perma Nomor 5 tahun 2019 mengatur

44
Wawancara dengan Ibu Nurul Khaerani,SH (Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama
Mataram) Pada 26 Oktober 2020
45
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman
Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Pasal 10
61

bahwa hakim tunggal dalam persidangan mempuyai kewajiban untuk


memberikan penasehatan kepada sejumlah pihak. Penasehatan ini bersifat
imperatif, harus dilakukan dan bahkan jika hakim tidak memberikan
penasehatan akan mengakibatkan penetapan disepensasi kawinnya menjadi
batal demi hukum. Nasihat yang disampaikan oleh Hakim juga harus
dipertimbangkan dalam penetapan. Kewajiban penasehatan ini ditegaskan
dalam Pasal 12 Perma 5 Tahun 2019. Pihak-pihak yang harus diberikan
nasehat oleh hakim adalah nasihat kepada Pemohon, Anak, Calon
Suami/Isteri dan Orang Tua/Wali Calon Suami/Isteri.

Nasihat yang disampaikan oleh Hakim bertujuan untuk


memastikan Orang Tua, Anak, Calon Suami/Isteri dan Orang Tua/Wali
Calon Suami/Isteri agar memahami risiko perkawinan, terkait dengan:

a) kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak.

b) keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun.

c) belum siapnya organ reproduksi anak.

d) dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak.

e) potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Setekah penasehatan oleh hakim kepada pemohon sebagaimana

uraian di atas, kemudian hakim membacakan surat permohonan

pemohon,jika isinya tetap dipertahankan oleh pemohon dan tidak ada

perubahan, maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara dengan

mendengarkan keterangan sejumlah pihak, yakni :

a) Anak yang dimintakan dispensasi kawin.

b) Calon suami/istri yang dimintakan dispensasi kawin.

c) Orang tua/ wali anak yang dimintakan dispensasi kawin.


62

d) Orang tua/ wali calon suami/ istri.

Hakim haruslah mempertimbangkan keterangan pihak-pihak

tersebut dalam dalam penetapan dispensasi kawin. Jika alat bukti tertulis

dan keterangan pihak-pihak yang harus didengar keterangannya oleh

hakim dalam pemeriksaan perkara belum cukup, maka dapat ditambah

dengan bukti saksi-saksi.

Sebagaimana yang kita ketahui,bahwasanya dalam mengeluarkan

penetapan pemberian dispensasi nikah, hakim haruslah telah

mempertimbangkannya sebaik mungkin demi kemaslahatan bersama. Ada

beberapa pokok-pokok pertimbangan hukum yang harus ada dalam

penetapan dispensasi kawin pasca adanya Undang-Undang Nomor 16

tahun 2019 dan PERMA RI No. 5 tahun 2019 yaitu :

1. Pertimbangan tentang penasehatan majelis hakim kepada Pemohon,


Anak, Calon Suami/Isteri dan Orang Tua/Wali Calon Suami/Isteri agar
memahami risiko perkawinan, terkait dengan: kemungkinan berhentinya
pendidikan bagi anak, keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar
12 tahun, belum siapnya organ reproduksi anak; dampak ekonomi, sosial
dan psikologis bagi anak; dan potensi perselisihan dan kekerasan dalam
rumah tangga.
2. Pertimbangan tentang bahwa majelis hakim sudah mendengar keterangan
anak yang dimintakan Dispensasi Kawin; calon suami/isteri yang
dimintakan Dispensasi Kawin; orang tua/wali anak yang dimohonkan
Dispensasi Kawin; dan orang tua/wali calon suami/istri.
3. Pertimbangan tentang Anak yang diajukan dalam permohonan
mengetahui dan menyetujui rencana perkawinan; pertimbangan tentang
kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan Anak untuk melangsungkan
perkawinan dan membangun kehidupan rumahtangga; dan
pertimbangan tentang ada atau tidaknya paksaan psikis, fisik, seksual
atau ekonomi terhadap anak dan/ atau keluarga untuk kawin atau
mengawinkan Anak.
4. Pertimbangan tentang perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum
tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa
63

keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan konvensi dan/atau


perjanjian internasional terkait perlindungan anak.
5. Pertimbangan tentang alasan sangat mendesak yaitu keadaan tidak
ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan dan
pertimbangan tentang alasan tersebut disertai bukti yang cukup yaitu
surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih
di bawah ketentuan Undang-Undang dan surat keterangan dari tenaga
kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan
tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan. (Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2019 dan penjelasannya).
6. Pertimbangan tentang perkawinan anak pemohon dengan calon
suami/isteri tidak ada hubungan yang menghalangi untuk menikah baik
hubungan darah maupun hubungan sepersusuan dan tidak sedang dalam
pinangan orang lain serta tidak ada halangan lain baik yang terkait
dengan syarat dan rukun pernikahan maupun syarat administratif kecuali
hanya pihak calon mempelai belum mencapai umur 19 tahun.
7. Pertimbangan tentang analisis alat bukti Pemohon dan kekuatan
pembuktiannya.
8. Pertimbangan tentang perumusan fakta-fakta hukum yang
berdasarkan keterangan Pemohon, anak Pemohon, calon suami/istri dan
orang tua/wali calon suami/istri, alat bukti surat dan keterangan saksi-
saksi yang antara satu dengan yang lain saling bersesuaian
9. Pertimbangan hukum tentang maslahat dan madlarat serta ketentuan
hukum islam atau fiqih tentang pengaturan usia perkawinan dan
dispensasi kawin.
10. Pertimbangan Hukum tentang satu persatu petitum permohonan
dispensasi nikah, apakah apakah dikabulkan seluruhnya,atau dikabulkan
sebagian , ataupun ditolak seluruhnya.46

PERMA RI Nomor 5 Tahun 2019 telah memberikan penegasan

tentang adanya pertimbangan kesehatan bagi pernikahan di usia dini.

Pertimbangan kesehatan ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam

pertimbangan hukum sebuah penetapan dispensasi kawin. Majelis Hakim

tidak hanya menilai, adanya penyimpangan usia, tetapi juga harus menilai

kesiapan dari pasangan calon suami istri dari sudut fisik maupun

psikisnya.

46
Sugiri Permana dan Ahmad Zaenal Fanani, Opcit, hlm 30
64

Sifat-sifat keremajaan dalam bentuk emosi yang belum

stabil atau kemampuan solving problem yang lemah akan sangat

memengaruhi masa-masa di awal perkawinan usia dini. Pernikahan

yang terlalu muda juga bisa menyebabkan neuritis depresi karena

mengalami proses kekecewaan yang berlarut-larut dan karena ada

perasaan-perasaan tertekan yang berlebihan. Dilihat dari segi psikologi

perkembangan, dengan makin bertambahnya umur seseorang, diharapkan

akan akan lebih matang lagi psikologisnya dalam membangun rumah

tangga.47

Dari perspektif kesehatan, perkawinan dini akan menyebabkan

adanya kehamilan pada perempuan di masa usia muda. Dari sudut

pandang kesehatan, kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun

meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada

anak. Dampak yang berantai akan terjadi di Perkawinann di usia muda

karena berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan Ibu. Disebutkan

bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun beresiko lima kali lipat

meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan usia 20-24 tahun,

sementara resiko ini meningkat dua kalilipat pada kelompok usia 15-19

tahun.

Melalui hal- tersebut dapat dikatakan bahwasanya Hakim dalam

memberi dispensasi kawin haruslah melihat segala aspek. Diawali

memberi nasihat pada para pihak, baik anak maupun orang tua mampu

47
Bimo Walgito, Bimbingan dan Konsekling Perkawinan, CV Andi Offset, Yogyakarta,
2002,hlm 29
65

mempertimbangkan setiap aspek dan resikonya, serta menggali latar

belakang pengajuan dispensasi kawin tersebut (tidak dalam paksaan dll) 48.

Hal itu dilakukan semata-mata demi kesejahtraan semua pihak, khususnya

bagi masa depan si anak yang dimohonkan dispensasi nikah, namun

apabila setelah diberi nasehatpun tidak ada perubahan, maka berdasarkan

keterangan-keterangan dalam sidang sebagaimana disebut di atas serta

bukti-bukti yang cukup, serta menetapkan berdasar prinsip maslahah

mursalah.

Pengadilan Agama dalam mengadili perkara permohonan

dispensasi kawin sering kali mempertimbangkan antara dua kemudaratan,

kemudaratan yang terjadi akibat perkawinan di usia anak-anak

(perkawinan dini) dan kemudaratan yang akan terjadi jika dispensasi

perkawinan tersebut ditolak. Majelis Hakim sering kali menerima

permohonan dispensasi kawin karena memandang bahwa kemudaratan

yang akan terjadi jika dispensasi perkawinan ditolak lebih besar

dibandingkan kemudaratan yang terjadi akibat perkawinan dini, dimana

besar kemungkinan akan rusak keturunan (al-nasl) serta kehormatan

(al‘irdl) kedua calon mempelai tersebut.49

Karena itulah sangat jarang permohonan dispensasi kawin ditolak,

karena cenderung lebih banyak kemudharatan bila ditolak, dimana

48
Wawancara dengan Bapak Abidin H Achmad,SH (Hakim Pengadilan Agama Mataram)
Pada 4 November 2020
49
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/dispensasi-kawin-di-
pengadilan-agama-pasca-revisi-Undang-Undang-perkawinan-oleh-rio-satria-16-10/ Diakses
pada11 November 2020 pukul 10.22
66

kebanyakan masyarakat justru tetap akan menikahkan anaknya secara siri

dahulu, lalu nanti ketika ada masalah ataupun kebutuhan barulah

mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan. Hal tersebut karena

di masyarakat cenderung terkesan tabu apabila anak perempuanya sudah

dilarikan atau dibawa bermalam, lalu dikembalikan kekasihnya tanpa

bertanggung jawab dengan cara menikahi anaknya. Atas pertimbangan-

pertimbangan itulah sebagian besar permohonan dispensasi kawin

diterima, selama melengkapi persyaratan-persyaratan yang ada dan tidak

ada larangan perkawinan. Karena bila permohonan dispensasi kawin

ditolak cenderung tetap saja terjadi pernikahan dini melalui pernikahan siri

yang justru akan lebih banyak mudharatnya lagi.50

50
Wawancara dengan Bapak Abidin H. Achmad,S.H (Hakim Pengadilan Agama Mataram)
Pada 4 November 2020
67

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bahwa dasar filosofis dan yuridis disamakannya usia minimum perkawinan,

yaitu 19 tahun baik bagi calon mempelai laki maupun calon mempelai

wanita (Pasal 7 Undang-Undang perkawinan Nomor 16 Tahun 2019)

merupakan salah satu bentuk pembaharuan hukum yang progresif dan tepat

dalam mewujudkan pesamaan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan

dalam hukum, serta menghilangkan kesan diskriminasi dan marginalisasi

usia pernikahan yang ada sebelumnya, menghapus persepsi

menomorduakan wanita. Selain itu usia 19 tahun yang cukup matang jiwa

raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan

tujuan perkawinan yang harmonis tanpa berakhir dengan perceraian dan

juga untuk mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Berdasarkan hal

tersebut maka Negara perlu hadir untuk memastikan adanya keadilan,

kesetaraan, dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan lembaga

perkawinan, sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai. Disisi lain juga

dengan perubahan usia minimum ini, maka antara Undang-Undang

Perkawinan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak telah selaras dan

tidak saling bertentangan.

2. Dispensasi Kawin merupakan solusi alternatif yang bersifat darurat untuk

dapat melangsungkan perkawinan, karena calon suami/istri belum berusia

19 tahun yang masih di bawah umur menurut ketentuan Undang-Undang


68

Perkawinan, maka persyaratan administrasi Dispensasi Kawin yakni : Surat

permohonan, fotokopi KTP kedua orang tua/wali, fotokopi Akta kelahiran

kedua calon mempelai, fotokopi KTP atau Kartu Identitas calon suami/istri,

fotokopi ijazah pendidikan terakhir kedua calon mempelai, Surat Penolakan

dari Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah kediaman para pemohon,

kesemuanya harus terpenuhi, kemudian membayar panjar biaya perkara.

Selanjutnya, permohonan Dispensasi Kawin harus diajukan oleh orang tua

atau wali si anak yang dimohonkan dispensasi kawin. Adapun, terkait

pertimbanagan hukum dalam pemberian dispensasi kawin, Hakim haruslah

mempertimbangkan terkait maslahat/mudharatnya yakni berdasarkan pada

semangat pencegahan perkawinan anak di usia dini, mempertimbangkan

kepentingan terbaik anak, hak-hak dasar anak, pertimbangan moral, agama,

adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang

ditimbulkan.

B. SARAN – SARAN

1. Upaya untuk meminimalisir terjadinya lonjakan angka pernikahan dini di

kalangan masyarakat, maka disarankan agar para Kepala KUA Kecamatan,

para Pembantu Pencatat Nikah di setiap Desa, para fungsional penyuluh

agama Kantor Kementrian Agama serta para tokoh agama dan tokoh

masyarakat kiranya dapat berperan aktif memberikan sosialisasi atau

penyuluhan hukum tentang usia minimum untuk dapat melangsungkan

perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, resiko-


69

resiko dari menikah di usia dini serta konsekuensi hukum di kemudian hari,

perlu juga disampaikan prosedur dan persyaratan mengajukan permohonan

dispensasi kawin, karena masih banyak di kalangan masyarakat lebih

memilih menikah siri dibanding mengajukan dispensasi kawin ke

Pengadilan.

2. Disarankan kepada lembaga yanag berwenang dalam hal ini Pengadilan

Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang

beragama lain, agar dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin

sesuai norma hukum yang normatif dan persyaratan administratif lebih

diperketat implementasinya, juga tetap konsisten memperhatikan alasan-

alasan hukum yang bersifat syar’i serta kemaslahatan bagi keluarga kedua

calon mempelai dalam pertimbangan hukum untuk mengabulkan

permohonan dispenasi kawin tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Makalah dan Artikel

Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2014, Hukum Perlindungan Anak,


Cet.7, PTIK Press, Jakarta,

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Cet. Ke-6, Rajawali Pers, Jakarta.
Amir Syarifuddin, 2014, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Cet.4,
Kencana, Jakarta.

Bimo Walgito, 2002, Bimbingan dan Konsekling Perkawinan, CV Andi


Offset, Yogyakarta

Dadang Sulaeman, 1995, Psikologi Remaja, Cet.1, Mandar Maju,


Bandung.

Iman Sudiyat,1981,Hukum Adat Sketsa Asas , Liberty, Yogyakarta.

Johni Ibarahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayu Media Publishing, Malang.

Kamla Bhasin( Alih bahasa: Nug Katjasungkana), 1996, Menggugat


Patriarki; Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum
Perempuan, Yayasan Bentang Budaya, Yogakarta.

Khoiruddin Nasution, 2002, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi


TerhadapPerundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer
di Indonesia dan Malaysia, INIS, Jakarta

Nani Suwondo,1992, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan


Masyarakat, GhaliaIndonesia, Jakarta

Nursyahbani, Lukman, Soetrisno, dan Alan Ghafar, 2001, Potret


Perempua: Tinjauan Politik, Ekonomi, Hukum di Zaman orde
Baru, PSW UMY- Pustaka Pelajar,Yogyakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Pajar Interpratama


ofcet, Jakarta.
Salim dan Erlies Septiana Nurbaini, 2013, Penerapan Teori Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi,Raja G;rafindo Persada, Jakarta.

Sayuruddin Daulay,2016 ,dalam Varia Peradilan No 369 “Pencatatan


Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam dan Poitik Hukum
Nasional”,Jakarta

Sholeh Shoeaidy dan Zulkhair, 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak,


Novindo Pustaka Mandiri Jakarta.

Subekti,1984,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta

Subekti dan R Tjitrosudibio, 1976, Kitab Undang-Undang Hukum


Petdata, Pradnya paramita, Jakarta.

Sugiri Permana dan Ahmad Zaenal Fanani, 2019, Dispensasi Kawin


Dalam Hukum Keluarga Indonesia, Surabaya

Titik Triwulan, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Yanuar Farida dan Ivo Novianti, 2011, Perlindungan Anak Berbasis


Komunitas; Sebuah Pendekatan dengan Mengarusutamakan Hak
Anak, Informasi, Vol. 16 No. 03

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia,Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang No


16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan,TLN No. 6401

Indonesia,Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahtraan


Anak,TLN NO.3143
Indonesia,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.TLN
No.5606
Indonesia, Intruksi Presiden Nomor 1 Tahnun 1991, tentang Kompilasi
Hukum Islam
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia(PERMA RI)
Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan
Dispensasi Kawin
C. Website

http://m.republika.ac.id/berita/nasional/umum/17/03/06/omduca359-bkkbn
-usia-pernikahan-ideal-berkisar-2125-tahun

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b8f402eed78d/hukum
nya-menikah-di-usia-dini

https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/bahaya-kesehatan-akibat-
pernikahan-dini/

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b8f402eed78d/hukum
nya-menikah-di-usia-dini/

https://kbbi.web.id/dispensasi

https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel

http://www.pa-mataram.go.id/sipp/
LAMPIRAN

A. Profil dan Sejarah singkat Pengadilan Agama Mataram

Pengadilan Agama di Pulau Lombok yang pertama dibentuk atas


dasar Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957, adalah Pengadilan Agama
Mataram/Mahkamah Syari’ah Mataram yang pembentukannya berdasarkan
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1958 dan
berkedudukan di Kota Mataram. Sedangkan wilayah hukumnya meliputi
Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur.

Setelah adanya desakan dari para pemuka masyarakat Lombok


Tengah dan Lombok Timur, agar dibentuk Pengadilan Agama di 2 ( dua )
wilayah tersebut, maka keluarlah Keputusan Menteri Agama Nomor 195
tahun 1968 tanggal 28 Agustus 1968 sebagai dasar pembentukan Pengadilan
Agama Praya untuk Daerah Tingkat II Lombok Tengah dan Pengadilan
Agama Selong untuk Daerah Tingkat II Lombok Timur. Dan sejak itulah
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Selong secara yuridis (formil)
terbentuk .

Namun realisasinya belum bisa dilaksanakan karena bermacam-


macam pertimbangan, terutama masalah anggaran dan personil yang masih
belum memungkinkan . Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974, yang secara efektif berlaku tanggal 1 Oktober 1975, nampak
tugas-tugas Pengadilan Agama semakin bertambah, khususnya Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah Mataram yang mewilayahi 3 (tiga) Kabupaten
Daerah Tingkat II yaitu Daerah Tingkat II Lombok Barat, Kabupaten Daerah
Tingkat II Lombok Tengah dan Kabupaten Daerah Tingkat II Lombok Timur.

Oleh karena itu dipandang perlu, Pemerintah membentuk Pengadilan


Agama/Mahkamah Syar’iyah di Kabupaten Lombok Timur yang diberi nama
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Selong yang diresmikan pada tanggal
20 Juli 1976, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Praya yang
diresmikan tanggal 21 Maret 1977, mengingat volume perkara di daerah
tersebut meningkat, sedangkan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari,ah
Mataram letaknya cukup jauh sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh
masyarakat yang berperkara dari daerah Timur tidak sedikit dan akan
memberatkan masyarakat pencari keadilan. Dengan adanya pemekaran
kabupaten Dati II Lombok Barat menjadi Kota Mataram dan Kabupaten
Lombok Barat maka untuk mempermudah dan memberikan layanan hukum
yang maksimal kepada masyarakat pencari keadilan kabupaten Lombok
Barat dibentuk Pengadilan Agama Giri Menang Klas II B sehingga
Penduduk kabupaten Lombok Barat tidak lagi bergabung Pengadilan
agamanya dengan Pengadilan Agama Mataram yang berkedudukan di Kota
Mataram.

Kota Mataram adalah salah Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat


yang menjadi wilayah hukum Pengadilan Agama Mataram yang luas
wilayahnya yaitu 6130 km persegi yang meliputi 6 Kecamatan yaitu
Kecamatam Mataram, Kecamatan Selaparang, Kecamatan Cakranegara,
Kecamatan Ampenan, Kecamatan Sekarbela, Kecamatan Sandubaya .
Penduduk Kota Mataram sebanyak 450.226 jiwa yang terdiri dari 222.596
laki-laki dan 227.630 perempuan.51 Komposisi penduduk menurut jenis
kelamin dapat ditunjukkan dengan Rasio jenis kelamin penduduk Kota
Mataram yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk
wanita terdapat 92 penduduk laki-laki. Sedang komposisi penduduk
berdasarkan agama ialah terbesar beragama Islam.

Pengadilan Agama Mataram dalam kiprahnya memiliki Visi


“Terwujudnya Pengadilan Agama Mataram Yang Agung”, dengan misi
yatitu :

- Mewujudkan Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.


- Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur peradilan yang akuntabel.
- Meningkatkan pembinaan, pengawasan internal.

51
Badan Pusat Statistik Kota Mataram Data Mataram Dalam Angka.
- Meningkatkan kualitas managemen administrasi.`
- Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan
Pengadilan Agama Mataram adalah satu – satunya Peradilan di
Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang memakai standar
AISO 2008 yaitu Sistem menejemen Mutu dalam semua pelaksanaan tugas.
Untuk memudahkan dan menjamin keterbukaan informasi perkara
diterapkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), dan telah
menyediakan beberapa aplikasi yang telah diresmikan 4 aplikasi yaitu :

a). Aplikasi ATR (Audio To Text Recording)

b). Elektronik-Skum (E-Skum)

c). SMS Gateway

d) . Antrian Sidang

e). PTSP . ( Pelayanan Terpadu Satu Pintu )

Pengadilan Agama Mataram sebagai suatu lembaga peradilan


yang memiliki tugas utama menerima, memeriksa, dan menyelesaikan
perkara yang diajukan oleh para pencari keadilan (justiciabelen). Proses
peradilan "sederhana, mudah, cepat dan biaya ringan" sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman merupakan kebijakan yang tidak bisa ditawar lagi dan harus
direalisasikan dalam kinerja para hakim dan seluruh jajaran aparat
dilingkungan Pengadilan Agama Mataram.

Jumlah perkara yang diterima Pengadilan Agama Mataram tahun


2020 sebanyak 8056,perkara dengan perincian 3908 perkara gugatan dan
juga 4148 perkara permohonan52

Adapun jumlah pegawai sebanyak 62 orang dengan rincian tenaga


tehnis yudisial sebanyak 50 orang dan Tenaga Non Tehnis Yudisial sebanyak

52
Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara PA MATARAM (SIPP)
12 orang, yang terdiri dari 6 orang hakim yaitu : - (Ketua), Bapak
Drs.Syarifuddin.M.H. (Wakil Ketua); Bapak Drs.H.M.Ishaq M.H,; Bapak
Abidin H.Ahmad,S.H.; Ibu Dra.Hj. Kartini, ; Ibu Dra.St.Nursalmi Muhamad.,
Bapak Drs.H.Nasrudin. Kemudian ada Bapak Marsoan,S,H (Panitera) dan
Bapak Nirwan Samsul Rijal,S.H.,M.H. (Sekretaris) 26 orang dari jajaran
kepaniteraan, 13 orang dari kejurusitaan dan 10 orang tenaga non-teknis.
Alamat Pengadilan Agama Mataram

JL Langko, No. 03, Ampenan, Pejeruk, Mataram,

Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. 83112


Wilayah Yuridiksi

No. NAMA KECAMATAN NAMA DESA/KELURAHAN


1 Kec. Cakranegara 1. Kelurahan Cakra Barat
2. Kelurahan Sapta Marga
3. Kelurahan Mayura
4. Kelurahan Cakra Timur
5. Kelurahan Cakra Selatan
6. Kelurahan Krang Taliwang
7. Kelurahan Mayura Utara

2 Kec. Mataram 1. Kelurahan Punie


2. Mataram Timur
3. Kelurahan Pagesangan Barat
4. Kelurahan Pagesangan Timur
5. Kelurahan Pagutan
6. Kelurahan Pagutan Timu

3 Kec. Sekarbela 1. Kelurahan Kekalik Jaya


2. Kelurahan Tanjung Karang Permai
3. Kelurahan Tanjung Karang
4. Kelurahan Karang Pule
5. Kelurahan Jempong Baru

4 Kec. Selaparang 1. Kelurahan Rembiga


2. Kelurahan Karang Baru
3. Kelurahan Monjok Timur
4. Kelurahan Monok
5. Kelurahan Monjok Barat
6. Kelurahan Mataram Barat
7. Kelurahan Gomong
8. Kelurahan Dasan Agung
9. Kelurahan Dasan Agung Baru

5 Kec. Ampenan 1. Kelurahan Bintaro


2. Kelurahan Ampenan Utara
3. Kelurahan Dayen Peken
4. Kelurahan Ampenan Tengah
5. Kelurahan Banjar
6. Kelurahan Ampenan Selatan
7. Kelurahan Taman Sari
8. Kelurahan Pajeruk
9. Kelurahan Kebon Sari
10. Kelurahan Pejarakan Karya

6 Kec. Sandubaya 1. Kelurahan Mandalika


2. Kelurahan Turide
3. Kelurahan Babakan
4. Kelurahan Abian Tubuh Baru
5. Kecamatan Bertais
6. Kecamatan Selagalas
7. Kecamatan Dasan Cermen
Wawancara dengan Ibu Nurul Khaerani,S.H. (Panitera Muda Hukum)

Wawancara dengan Bapak Abidin H. Achmad, S.H. (Hakim PA Mataram)

Anda mungkin juga menyukai