Anda di halaman 1dari 6

DEPARTEMEN KAJIAN DAN AKSI STRATEGIS

KABINET RUANG HARMONIS


BEM FT UNNES 2021.

SUDUT RASA
“PERMENDIKBUD-RISTEK 30/2021 : HARAPAN ATAS PERLINDUNGAN
YANG TERTUNDA.”

Penanggung Jawab :
Syaifudin Nur Ika Yudha (Teknik Mesin, 2019)

EXECUTIVE SUMMARY

Kekerasan seksual sejatinya merupakan permasalahan yang telah lama


membelenggu Indonesia. Telah terdapat upaya untuk mendokumentasikan jumlah
kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya. Salah satunya melalui Catatan
Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (“CATAHU”) Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (“Komnas Perempuan”). Secara umum, CATAHU
Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah
personal, komunitas, dan negara yang dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi. Meskipun begitu, pada tahun 2020,
terdapat pola yang konsisten di mana kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan
kedua terbanyak dalam ranah personal. Sebanyak 1.938 kasus dari total 6.480 kasus
yang tercatat di ranah personal adalah kekerasan seksual. Sementara itu, dalam ranah
komunitas, kekerasan seksual menempati posisi pertama sebagai jenis kekerasan
terbanyak. Dari 1.731 kasus yang tercatat, sebanyak 962 kasus di antaranya adalah
kekerasan seksual.
Bentuk kekerasan seksual khusus yang perlu dicatat adalah kekerasan berbasis
gender siber (“KBGS”) yang selama tahun 2020 jumlahnya mengalami lonjakan
signifikan. Jumlah KBGS yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan dari 241
kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020. Hal serupa juga terlihat
dalam laporan lembaga layanan yang mencatat kenaikan kasus KBGS dari 126 kasus
pada tahun 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020.
Mengingat sifat kekerasan seksual yang serupa fenomena gunung es, kasus yang
dilaporkan hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus yang sebenarnya. Dengan kata
lain, ranah personal seperti hubungan keluarga dan hubungan romantis hingga ranah
komunitas seperti hubungan pertemanan dan ruang publik masih belum menjadi ruang
aman untuk terbebas dari kekerasan seksual.
DATA KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI.

Kekerasan seksual juga menjadi fenomena yang marak terjadi dalam lingkup
perguruan tinggi. Pada Februari hingga Maret 2019, Kolaborasi #NamaBaikKampus
telah mengumpulkan 207 testimoni yang tersebar di 29 kota dan 79 perguruan tinggi.
Dari angka tersebut, 174 testimoni adalah kekerasan seksual yang berhubungan
dengan institusi perguruan tinggi. Hampir seluruh korban dari kasus kekerasan
seksual di lingkup perguruan tinggi tersebut berstatus mahasiswa, sedangkan
pelakunya beragam, mulai dari dosen dan mahasiswa, warga di lokasi Kuliah Kerja
Nyata (“KKN”), hingga dokter klinik kampus. Dari 174 testimoni tersebut, hanya 29
kasus yang dilaporkan, sedangkan mayoritas penyintas lain memilih diam dengan
berbagai alasan, seperti malu, takut, tidak punya bukti, atau khawatir dianggap
berlebihan. Selain hasil survei #NamaBaikKampus, Komnas Perempuan juga
mencatat total 51 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan pada
tahun 2015-2020, di mana 14 kasus di antaranya terjadi dalam lingkup perguruan
tinggi.
Kasus yang lebih baru terjadi pada Oktober 2021 ketika seorang mahasiswi
dilecehkan secara verbal dan fisik oleh pembimbing skripsinya yang juga merupakan
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (“FISIP”) Universitas Riau.
Pascakejadian, korban meminta tolong seorang dosen di jurusannya untuk melaporkan
peristiwa kekerasan yang dialaminya, tetapi dosen tersebut malah memintanya
bersabar dan mengasihani pelaku yang bisa bercerai dengan istrinya apabila
perbuatannya ketahuan. Akhirnya, korban memberanikan diri angkat suara melalui
video singkat yang diunggah di Instagram komahi_ur. Namun, pelaku justru
mengklaim bahwa nama baiknya telah dicemarkan dan menuduh video tersebut ada
kaitannya dengan dirinya yang akan maju pada pemilihan rektor tahun depan. Kepada
Kepolisian Daerah Riau, korban serta akun Instagram komahi_ur justru dilaporkan
atas dugaan pencemaran nama baik.

PERMENDIKBUD-RISTEK PPKS 30/2021 : HARAPAN ATAS


PERLINDUNGAN YANG TERTUNDA.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan


Teknologi (“Kemendikbud-Ristek”) telah mengesahkan Peraturan Menteri
Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
(“Permendikbud-Ristek PPKS”). Permendikbud-Ristek PPKS dibuat dalam rangka
memberikan perlindungan, pencegahan, dan penanganan kekerasan seksual seiring
terjadinya peningkatan kasus kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Secara
konseptual, definisi “Kekerasan seksual” yang dicantumkan dalam Permendikbud-
Ristek PPKS tidak hanya disempitkan sebatas tindak pemerkosaan dan pencabulan
saja seperti halnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) di
Indonesia, tetapi juga berbagai tindakan lain yang melecehkan dan merendahkan
secara seksual tanpa adanya persetujuan korban dengan memanfaatkan ketimpangan
relasi kuasa/gender dalam prosesnya.
Sesuai dengan judulnya, Permendikbud-Ristek PPKS tidak hanya berfokus
pada penanganan, pemulihan, dan perlindungan terhadap korban dengan prinsip
kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual, tetapi juga berfokus pada tata cara
penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual. Secara sistematis, pertama-tama
pelaku akan dikenakan sanksi administratif. Penjatuhan sanksi ini adalah bagian dari
yurisdiksi satuan tugas (“Satgas”) yang dibentuk oleh panitia seleksi di perguruan
tinggi yang bersangkutan. Kemudian, satuan tugas akan menangani laporan kekerasan
seksual dengan mekanisme penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan
kesimpulan dan rekomendasi, pemulihan, dan tindakan pencegahan keberulangan.
Selain itu, Permendikbud-Ristek PPKS ini juga mengatur mengenai sanksi yang akan
dijatuhkan bagi perguruan tinggi yang tidak melaksanakan pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual sesuai Permendikbud-Ristek PPKS. Salah satu poin
penting dalam Permendikbud-Ristek PPKS adalah kewajiban perguruan tinggi untuk
merumuskan kebijakan turunan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual dengan mengacu pada Permendikbud-Ristek PPKS yang telah berlaku. Poin
penting lainnya adalah kewajiban perguruan tinggi untuk membentuk Satgas PPKS
demi menciptakan penanganan kekerasan seksual yang ideal di lingkup perguruan
tinggi. Diharapkan juga bahwa melalui Permendikbud-Ristek PPKS dan kewajiban
bagi perguruan tinggi yang terkandung di dalamnya, kekerasan seksual di ruang
lingkup perguruan tinggi dapat dicegah dan ditangani sesuai dengan mekanisme yang
ada.

MISKONSEPSI PERMENDIKBUD-RISTEK PPKS.

Penerbitan Permendikbud-Ristek PPKS sejatinya merupakan langkah


progresif yang dilakukan oleh Pemerintah di tengah maraknya kasus kekerasan
seksual di lingkungan kampus.Permendikbud-Ristek PPKS ini hadir dan menjadi
payung hukum yang secara komprehensif mengatur terkait penanganan serta
pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun, cukup
disayangkan bahwa pengesahan Permendikbud-Ristek PPKS ini tidak sepenuhnya
diterima oleh masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat menolak Permendikbud-
Ristek PPKS karena dinilai mengkerdilkan penyebab kekerasan seksual hanya sebatas
relasi kuasa, berpotensi melegalisasi seks bebas, serta bertentangan dengan nilai
norma dan agama. Penolakan ini disebabkan karena adanya miskonsepsi atau
kesalahpahaman dalam menilai serta menerjemahkan norma-norma dalam
Permendikbud-Ristek PPKS.

A. Permendikbud-Ristek PPKS Mengkerdilkan Penyebab Kekerasan Seksual


Hanyamenjadi Adanya Relasi Kuasa?

Salah satu miskonsepsi yang beredar ketika membahas Permendikbud-Ristek


PPKS adalah permasalahan frasa “relasi kuasa” dalam pengertian kekerasan seksual
yang ada dalam Pasal 1 angka 1 Permendikbud-Ristek PPKS yang menyatakan
definisi kekerasan seksual sebagai berikut:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan,
dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena
ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat
penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi
seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan
optimal.

Frasa ketimpangan relasi kuasa dalam definisi ini dianggap menyempitkan faktor
penyebab dari kekerasan seksual yang sejatinya “multikausa”.
Relasi kuasa sendiri dapat diartikan sebagai relasi yang timbul akibat
hubungan antar manusia di mana relasi selalu menimbulkan kekuasaan. Ada dua
unsur penting dalam relasi kuasa, yaitu sifat hierarkis yang meliputi posisi yang lebih
rendah dan lebih tinggi serta adanya ketergantungan antara pihak yang berelasi.Kedua
unsur diketahui oleh individu yang berkuasa sehingga menimbulkan kekuasaan yang
berpotensi disalahgunakan. Ketimpangan relasi kuasa di mana pelaku memiliki kuasa
yang lebih tinggi dibanding korbannya mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan
relasi kuasa yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Akibat kuasa
yang timpang, pihak yang posisinya lebih lemah (subordinat) seringkali terpaksa
harus menerima perlakuan dari pihak yang lebih kuat (superordinat), termasuk
menjadi objek tindakan seksual. Contoh nyata dari ketimpangan relasi kuasa di
kehidupan sehari-hari dapat dilihat pada hubungan antara dosen dengan mahasiswa,
atasan di tempat kerja dengan karyawan, dan senior dengan junior di organisasi
kampus.

Melalui penjelasan di atas, ketimpangan relasi kuasa merupakan salah satu


unsur yang selalu ada dalam setiap kasus kekerasan seksual. Dalam kasus kekerasan
seksual, korban selalu berada dalam posisi kuasa yang lebih rendah dan pelaku selalu
dalam posisi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam setiap kasus kekerasan seksual,
bahkan dalam setiap hubungan antar manusia dapat terjadi relasi kuasa. Faktor yang
menyebabkan terjadinya kekerasan seksual adalah ketimpangan relasi kuasa, yaitu
penggunaan posisi dalam relasi kuasa untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Dengan demikian, anggapan bahwa Permendikbud-Ristek PPKS mengkerdilkan
penyebab kekerasan seksual sebatas relasi kuasa saja tentunya tidak tepat karena
relasi kuasa merupakan suatu unsur yang selalu ada dalam kekerasan seksual.

B. Permendikbud-Ristek PPKS Melegalisasi Seks Bebas?

Miskonsepsi lainnya yang beredar di masyarakat adalah bahwa ketentuan


dalam Permendikbud-Ristek PPKS berpotensi melegalisasi perbuatan seks bebas.
Ketentuan pada Pasal 5 ayat (2) Permendikbud-Ristek PPKS dianggap oleh beberapa
pihak akan melanggengkan perbuatan seks bebas di lingkungan perguruan tinggi. Hal
ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai “persetujuan korban” dalam pasal
tersebut. Mereka beranggapan bahwa frasa “tanpa persetujuan korban” pada pasal
tersebut merupakan suatu bentuk legalisasi perbuatan zina karena dengan
menekankan pada persetujuan korban, suatu perbuatan seksual yang dilakukan atas
dasar persetujuan berarti dapat dibenarkan. Dengan kata lain, pihak tersebut merasa
bahwa ketentuan ini justru akan melegalkan perbuatan zina.
Namun, perlu diingat bahwa unsur persetujuan atau consent pada
Permendikbud-Ristek PPKS bukan tentang membolehkan atau bahkan mendukung
seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan siapa saja, melainkan bertujuan
untuk melindungi setiap orang dari aktivitas seksual yang tidak diinginkan. Kehadiran
persetujuan atau consent korban merupakan hal yang krusial untuk menentukan
apakah suatu tindakan dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual atau tidak.
Persetujuan atau consent sendiri memiliki beberapa sifat, yaitu diberikan dalam
keadaan sadar tanpa adanya pengaruh dan manipulasi dari manapun (freely given),
dapat ditarik kembali (reversible), diberikan saat sudah terinformasikan secara benar
dan lengkap (informed), diberikan dengan antusias (enthusiastic), dan diberikan
secara spesifik terhadap satu tindakan, artinya seseorang yang setuju melakukan suatu
hal bukan berarti setuju melakukan hal lainnya yang terkait dengan hal yang ia setujui
(specific). Ketika salah satu sifat dari consent tersebut tidak ada dalam suatu
hubungan seksual, perbuatan tersebut dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual.
Dengan demikian, mengingat persetujuan atau consent menjadi parameter untuk
menentukan apakah suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual
atau tidak, konsep consent menjadi sesuatu yang wajib diadopsi dalam peraturan
mengenai kekerasan seksual yang dalam hal ini adalah Permendikbud-Ristek PPKS.

C. Permendikbud-Ristek PPKS Bertentangan dengan Nilai-Nilai Agama dan


Moralitas?

Anggapan bahwa pengaturan mengenai persetujuan dalam Permendikbud-


Ristek PPKS merupakan bentuk legalisasi atau dukungan terhadap seks bebas
membawa beberapa pihak kepada miskonsepsi yang lebih besar, yakni miskonsepsi
bahwa Permendikbud-Ristek PPKS bertentangan dengan nilai agama serta ketuhanan.
Hal tersebut beranjak dari pemikiran bahwa hubungan seksual berbasis persetujuan
tidak sesuai dengan nilai agama, di mana suatu hubungan seksual hanya dapat
dibenarkan apabila dilakukan dalam hubungan pernikahan yang sah. Dengan
demikian, apabila hubungan tersebut dilakukan di luar pernikahan yang sah,
perbuatan itu termasuk zina dan oleh karenanya bertentangan dengan nilai-nilai
agama. Namun, jika berbicara mengenai bagaimana substansi Permendikbud-Ristek
PPKS menyalahi nilai-nilai agama, sebetulnya peraturan mengenai pencegahan
kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi juga sudah pernah dikeluarkan oleh
Kementerian Agama Republik Indonesia. Peraturan tersebut ialah Pedoman
Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (“PTKI”) yang tercantum dalam Surat Keputusan (“SK”) Direktur
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor 5494 Tahun 2019. Pedoman
tersebut terdiri atas 5 bab, yaitu (1) pendahuluan; (2) memahami kekerasan seksual
pada perguruan tinggi; (3) kebijakan, prinsip dan standar penanganan korban; (4)
mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual; dan (5) penguatan
kapasitas PTKI. SK tersebut juga memasukkan definisi kekerasan seksual yang
tercantum dalam Naskah Akademik RUU PKS yang menitikberatkan pada
ketidakmampuan korban untuk memberikan consent atau persetujuan korban secara
bebas. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan Kementerian Agama telah mengakui
pentingnya keberadaan consent dalam menggolongkan sebuah tindakan sebagai
kekerasan seksual serta adanya urgensi yang tinggi akan peraturan mengenai
penanganan kekerasan seksual terutama di lingkup perguruan tinggi.
Lebih lanjut, ketika kita berbicara mengenai apa yang bertentangan nilai
agama serta moralitas, sebetulnya yang harus kita sorot adalah perbuatan kekerasan
seksual itu sendiri, bukan terpaku pada consent atau hal lainnya yang sejatinya
dituangkan dalam peraturan tersebut murni untuk melindungi korban. Kekerasan
seksual sendiri adalah perbuatan yang tentunya bertentangan dengan semua nilai
agama serta moralitas yang ada, di mana perbuatan tersebut tidak hanya menyalahi
prinsip hak asasi manusia, tetapi juga moralitas serta nilai-nilai agama yang
menjunjung kehormatan. Kehadiran Permendikbud-Ristek PPKS sejatinya adalah
suatu bentuk pemulihan terhadap nilai moralitas dalam masyarakat dengan upaya-
upaya pencegahan serta edukasi mengenai bagaimana kekerasan seksual merupakan
permasalahan dengan urgensi yang tinggi. Permendikbud-Ristek PPKS juga berusaha
untuk menghadirkan penanganan kekerasan seksual yang ideal di lingkup perguruan
tinggi, di mana kekerasan seksual merupakan permasalahan yang apabila tidak dapat
ditangani justru malah akan membawa lebih banyak dampak buruk, tidak hanya
terhadap korban atau kampus tetapi juga masyarakat luas. Maka dari itu, anggapan
bahwa substansi Permendikbud-Ristek PPKS bertentangan dengan segala nilai agama
serta moralitas yang ada dalam masyarakat merupakan sebuah penilaian yang keliru
mengingat kekerasan seksual itu sendiri merupakan sesuatu yang dikecam oleh agama
mana pun. Permendikbud-Ristek PPKS sejatinya murni dihadirkan untuk melindungi
dan menghadirkan keadilan bagi korban kekerasan seksual serta mewujudkan
lingkungan kampus yang aman.

PERNYATAAN SIKAP :

Permendikbud-Ristek PPKS sejatinya dikeluarkan untuk menjadi payung hukum bagi


korban-korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Adanya peraturan
ini juga demi mewujudkan lingkungan kampus yang aman serta memastikan
perlindungan terhadap hak warga negara atas pendidikan melalui pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Dengan ini Kami Aliansi Mahasiswa UNNES Menyatakan Sikap :

1. Mendukung penuh Permendikbud-Ristek PPKS 30/2021


2. Mendesak Birokrasi Universitas Negeri Semarang untuk segera Mengeluarkan
dan Menerapkan Kebijakan tentang PPKS yang sesuai dengan semangat dan isi dari
Permendikbud-Ristek PPKS.

#ALIANSIMAHASISWAUNNES
#DUKUNGPERMENPPKS
#DARURATKS

Anda mungkin juga menyukai