Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT


kami panjatkan, karena atas hidayah, karunia serta limpahan rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah yang berjudul “Konsep
Tentang Ittihad dan Hulul” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak
tasawuf dengan dibimbing oleh dosen pengampu yaitu Bapak Adam Saleh, M.pD
Penulis Berharap Semoga Dengan Tersusunnya Makalah Ini Dapat Berguna Bagi
Pembaca Dan Semoga Segala Yang Tertuang Dalam Makalah Ini Dapat Bermanfaat
Bagi Penulis Maupun Bagi Para Pembaca Dalam Rangka Membangun Khasanah
Keilmuan. Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh
karenanya kritik, saran serta masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan
sebagai bahan perbaikan makalah ini, Jazakumullahu Khairan Katsiran.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………...1

KATA PENGANTAR…………...……………………………………………………2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..4

1.1

Latar Belakang……………… ……………………………………………………......4

1.2

Rumusan Masalah……………………………………………………...……………...5

BABII PEMBAHASAN……………………………………………………………... 6

2.1

Pengertian Tokoh dan Ajaran Ittihad ………………………………………………... 6

2.2

Pengertian Tokoh dan Ajaran Hulul………………………...……………………… 10

2.3

Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul …………………………..…………. 14

2.4

Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam ………………………………… 14

BAB III PENUTUP………………………..……………………………………….. 17

3.1

Kesimpulan ………………………………………………………………………….17

3.2 Kesan…………………………………………………………………………… 18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi
dikalangan para ahli sufi, karena didalamnya mengandung berbagai permasalahan
yang  berhubungan dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah
perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang
mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang
rumit dan memahami pemahaman mendalam.

Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering


disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang disebut sebagai tasawuf yang banyak
dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua
disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang
berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.

Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa tahap. Pertama,


yaitu fase asketis ( zuhud ) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah, sikap
asketis ini dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai
perkembangan individu dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang
selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak pasti dan pasti, corak
tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.

Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang


sangat panjang, dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam
tetapi dengan satu tujuan jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang.
Tasawuf sejarah sebagai ajaran ajaran hati dan jiwa memiliki perkembangannya dari
masa ke masa.

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq)
tasawuf dan pemikliran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat 
dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah menyusun teori-teori wujud
berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf
ini bersifat pemikiran dan renungan.

Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf
sunni yakni tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi
(sunnah) Nabi dan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi terhadap tasawuf
semi falsafi maupun falsafi dilakukan oleh mereka yang dianggap membela sunnah
Nabi. Reaksi terhadap tasawuf semi falsafi dilakukan oleh al-Qusyairi, al-Harawi, al-
Ghazali dan lain sebagainya. Dan reaksi terhadap tasawuf falsafi ditandai dengan
munculnya (ordo) tarikat yang diantara yang latar belakangnya adalah untuk
memagari tasawuf agar senantiasa berada pada koridor syari’at.

1.2 Rumusan Masalah

➢ Apa Pengertian Ittihad dan Hulul ?

➢ Siapa Sajakah Tokoh Pembawa Paham Ittihad dan Hulul ?

➢ Apa Sajakah Persamaan dan Perbedaan dari Ittihad dan Hulul ?

➢ Bagaimanakah Perspektif Islam Terkait Konsep Ittihad dan Hulul ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ittihad
A. Pengertian Ittihad
Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti
kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun
etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti
“bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah
setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk
kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf
kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan
jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi
yang telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.

Dalam pemahaman ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui


beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa’. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk 
manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua 
kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa’). Inilah inti
ittihad, “diam pada kesadaran ilahi”.

Tokoh pembawa paham ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami. Menurutnya


manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya
(sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang
sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.

B. Biografi Singkat Abu Yazid Al-Bustami


Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan
AlBustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di
daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal
dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut
Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada,
namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani kehidupan
zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya
sedikit tidur, makan, dan juga minum.

Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya


mendalami al-Qur’an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia
memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana
fari Abu Ali Sindhi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa di masa mudanya ia sudah
memiliki pengetahuan agama yang luar biasa.
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid
itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu
berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau
tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan
ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam
kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada
hanyalah Allah belaka.

Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa paham yang berbeda dengan
ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang
dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan
dia keluar masuk penjara.

Dia memiliki banyak pengikut yang percaya dengan ajaran-ajaran yang


diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya taifur. Sayang sekali bahwa
al-Bustami, yang berusia panjang dan kaya dengan pengalaman-pengalaman
kesufian, tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran pandangannya hanya dapat
diketahui melalui
catatan-catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya
yang pernah berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang
tidak akan mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya hanya
berupa anekdot-anekdot sufi belaka.

Beliau meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga
saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung
dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir
Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang
indah oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khodabanda atas nasihat gurunya
Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam.

C. Ajaran Ittihad
Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai.
Mungkin karena alasan keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit
dipraktikkan.

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui
tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan.
Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun
perbuatannya.Dengan mengutip A. R. Al-Baidhawi, Harun Nasution juga
menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sungguh pun ada
dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, identitas telah hilang,
identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud,
dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai.
Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh
mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah
terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang
disebut tasawuf dengan syatahat.

Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan
kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam
sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad
hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang
sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan.
Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran
(“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran
(fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian
Tuhan kepada seorang sufi. Sekarang kalau memang fana’ yang merupakan prasyarat
untuk mencapai ittihad itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang
sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah
dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.

Paham ittihad ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-tauhīd,
(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai
sesuatu apapun. Ungkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya berikut ini akan
memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab
: Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka
aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata ‘Telah kami lihat
Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana.’

Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya


ittihad pada bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya
memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan
akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya,

Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Atau pun
berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau (Harun
Nasution, 1973: 85). Selanjutnya Abu Yazid berkata : “Sesungguhnya aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”

Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia


mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid
mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi
sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan
kata lain Abu Yazid dalam ittihad berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat
lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid
menjelaskan ‘Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedangkan aku sendiri dalam
keadaan fana’.

Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya
sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihad.

Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad atau menyatu dengan wujud
Allah digambarkan sebagai berikut : Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri
dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai
menyaksikan keindahan wajah Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan
terhadap sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-
sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah, kemudian
akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur
atau menyatu dalam wujud Allah.

Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad, seorang sufi


harus melalui tiga tahapan, Yaitu pertama, lenyapnya kesadaran akan alam
sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin.
Itulah baqa’ dalam penghayatan ghaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada
tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat
AlHaqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam
kejiwaan sewaktu fana’.

Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-
fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan
luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salah satu dalil tentang adanya fana’ ini
yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf
ayat 31  sebagai berikut: “Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan
mereka, diundangnya lah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat
duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk
memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf) : “Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada  mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya,
mereka kagum kepada (keelokan  rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan
berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain
hanyalah malaikat yang mulia”. (Surat Yusuf/12: 31).

Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan
seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’.
Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu
menyaksikan keindahan  wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak
sadar akan dirinya dan akan makhluk sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya
dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang tampan, mereka telah terpesona hingga tak
sadar, memotong jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang
terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-
kata.

Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas patut


diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties of Religion
Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis, dan dengan
cara  menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari 
perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.

Empat karakter tersebut ialah sebagai berikut :


– Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa
pengalaman itu tidak bisa diungkapkan, tidak ada uraian manapun yang memadai
untuk bisa mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini
harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada
orang lain.
– Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang
mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini,
orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali
melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan
dan
pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
– Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup
lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa
dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah
jam, atau paling lama satu atau dua jam.
– Kepasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan
pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran,
gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai
buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada
situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya
menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih
tinggi.

Dengan mengikuti keterangan zaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid
harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai
pengalaman kejiwaan yang berdimensi spiritual tentu sangat bersifat personal dan
unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri : Sangat sulit, bahkan mustahil di ungkapkan
dengan kata-kata, menimbulkan pencerahan dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa
yang menguasai ruang dan waktu, hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya
kepasifan total yang di awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat
dan diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar biasa.

2.2 Hulul
A. Pengertian Hulul

Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal
atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa
Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal
dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi
pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya
melalui fana’. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana
dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan
tersebut berbunyi : “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan
menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan ”Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi.
1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa
Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati,
karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya.

Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan


gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus
disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini
menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah
(An-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.

Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia” adalah
paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang
sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-
nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek
Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham
ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.

B. Biografi Singkat Mansur Al-Hallaj


Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir pada tahun 244 H/855 M di Baidhah, sebuah kota
kecil di wilayah Persia. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal yaitu
Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. 2 tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan
berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M ia masuk ke 
kota Baghdad dan belajar kepada Al Junaid. Melalui pengembaraannya ke berbagai
wilayah Islam, Al Hallaj mendapatkan banyak pengikut. Ia kembali lagi ke Baghdad
pada tahun 909 M. Pengikutnya pun bertambah banyak.

Al Hallaj bersahabat dengan Nashr Al Khusyairi, seorang kepala rumah tangga


istana. Ia selalu mendorong sahabatnya itu untuk melakukan perbaikan dalam
pemerintahan dan menyampaikan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi.
Gagasan  “pemerintahan yang bersih” itupun dirasa berbahaya oleh pemerintah saat
itu. Apalagi, di sisi lain ajaran tasawuf dan aliran-aliran keagamaan tumbuh dengan
subur. Pemerintah menjadi khawatir akan kecaman-kecaman dan kritik yang
ditunjukkan padanya serta khawatir pada pengaruh sufi terhadap struktur politik.
Maka, Al Hallaj pun dipenjarakan. Karena ucapannya, “anna al haqq”, itu dianggap
sebagai sebuah kemurtadan dan tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fiqh.

Setahun kemudian Al Hallaj berhasil meloloskan diri dari penjara, namun 4


tahun kemudian ia kembali tertangkap. Setelah 8 tahun menjalani masa hukuman, Al
Hallaj dihukum gantung. Ia wafat pada tahun 922 M. Namun, ajarannya masih tetap
berkembang. Pengikutnya menamakan dirinya “Hallajiyah” Setelah 1 abad
kematiannya pengikutnya di Baghdad mencapai 4000 orang.

C. Ajaran Hulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
Ketuhanan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan
memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut.
Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan
mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana’, maka Tuhan akan mengambil
tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang
dimaksud dengan hulul.

Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian
manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan
Tuhan sebagai copy dari diri-Nya shurah minn nafsih dengan segenap sifat dan
kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.yang berbunyi :

Maha suci dzat yang menampakkan nasut-nya,

Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,

Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,


Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.

Al Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan


yang didasarkan pada Q.S. Al Baqarah:34 yang artinya :“Dan Ingatlah ketika Kami
berfirman kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka merekapun sujud,
kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang
kafir.”

Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada


Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus
disembah sebagaimana meyembah Allah. Ia berpendapat demikian karena sebelum
menjadikan makhluk, tuhan melihat Dzat-Nya. Ia pun cinta kepada Dzat-Nya dan
cinta inilah yang menjadi sebab wujud. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam
bentuk copy diri-Nya yang memiliki segala sifat dan nama. Adam adalah bentuk copy
tersebut. Pada diri Adam lah Allah Swt muncul.

Al hallaj memperlihatkan bahwa tuhan memiliki dua sifat dasar, sifat


ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung
tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan
manusia, kecuali dengan menempati tubuh setelah kemanusiaannya hilang. Seperti
yang terjadi pada diri Isa.

Persatuan tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul.
Agar bersatu, manusia harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah
kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan, saat itulah tuhan dapat 
mengambil tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan dan roh manusia bersatu
dalam tubuh manusia.

Menurut Al Hallaj, hulul mengandung kefanaan total. Kehendak manusia dalam


kehendak illahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak tuhan. Demikian juga
tindakannya.Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj
berikut ini:

Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,

Bagai anggur dan air bening berpadu,

Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,

Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.

Aku yang kurindu, dan yang kurindu Aku jua,


Kami dua jiwa padu jadi satu raga,

Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,

Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.

Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali
tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat
figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana’
dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna
perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang ada dalam diri
manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan
ana al-haqq yang meluncur dari lidah al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan sebagai
pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada
hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-Hallaj. Al Hallaj sebenarnya
tidak mengakui dirinya tuhan dan tidak juga sama dengan tuhan. Ia mengatakan :
“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan
ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab Allah Swt.
Mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekalipun
menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupainya.
Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:

Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,

Aku bukanlah Yang Maha Benar,

Aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara Kami.

Lagi pula, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang usianya
merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan.

2.3 Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul

Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan
tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi
mengeluarkan syatahat

Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu
kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun
dan  masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).

2.4 Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam


Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam.
Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya
diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati, ucapan orang munafik. Kedua, tauhid
yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati, tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid
yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang
beragam dan banyak berasal dari Yang Esa, tauhid orang yang didekatkan
(muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang
oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini
tidak seharusnya ditulis dalam buku.

Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana


Intuisi yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan
nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak,
beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan 
subjek-objek. Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang
merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah.
Penyebutan keterpisahan ini sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan
terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani) yang dialami setelah seseorang
mengalami transformasi dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu
melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian disiplin
yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan mencapai 
keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memperoleh visi tentang kesatuan segala sesuatu
dalam Asal transendennya. Keterpisahan kedua yang dialami oleh seseorang berarti
bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah (the world of multiplicity in
separateness) dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan
pertama yang dimiliki semua orang.

Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada


keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah
keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak
ada keterpisahan, yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi manusia.
Kondisi ini diisyaratkan dalam al-Quran : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”

Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah
memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum ada, 
kecuali sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan yang biasa
dilekatkan pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” Dalam ayat ini Allah swt.
Mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat Ketuhanan-Nya (rububiyah) dalam
pengertian bahwa mereka tahu, dengan pengalaman langsung dan persaksian, Realitas
dan Kebenaran yang disingkapkan pada mereka. Dengan persaksian dan pengakuan
manusia, mereka telah mengikat perjanjian dengan Tuhan seraya mengakui-Nya
sebagai Tuhan mereka. Pengakuan dan persaksian ini memastikan kesadaran akan
pembedaan antara mereka sebagai hamba dan Tuhan.

Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan
keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari
keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah,
beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik
keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun
pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui
bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni
inderawi-rasional,  bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar
yang dapat mereka  jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan
pengalaman mereka dan  secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang
bersifat dualistik ini kemudian  berkembang dalam tataran saintifik, filosofis, dan
teologis menjadi apa yang kemudian  dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan
eksistensi. Menurut pandangan ini,  sesuatu memiliki esensi yakni kuiditas (quiddity),
yang secara ontologis merupakan substansinya dan eksistensi yang dipandang sebagai
aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik
dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam.

Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran,


Tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal (extra-
mental reality), pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal,
apa  yang dipandang sebagai penyifatan (qualification) esensi-esensi yang beragam
dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan (determinations) dan
pembatasan-pembatasan (delimitations) dari Eksistensi yang mencakup semua (all-
embracing and pervasive Existence) menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat
segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua (all-encompassing
reality of  Existence) yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda (Its
multiple and diverse modes) dalam tindakan perluasan (basth) dan penyusutan
(qabdl) nerkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan
pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’
dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas, bukanlah
sesuatu dalam yang berada, karena ia adalah sesuatu yang (selalu) musnah. Apa yang 
sebenarnya ’ada’ adalah aktualisasi dari salah satu mode dari Realitas. Jadi,
Eksistensilah yang merupakan ’esensi’ sebenarnya dari sesuatu; dan apa yang selama 
ini dipersepsi sebagai esensi (mahiyyah) sesuatu tidak lain merupakan aksiden untuk
eksistensi. Konsep Hulul dan Ittihad dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya dalam 
Al-Quran yang berpengaruh terhadap setiap aspek kehidupan Muslim. Dalam
memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional
semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan
kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang
haruslah menjadi Sufi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setelah Menyelesaikan Penyususan Makalah Ini, Penulis Dapat Mengambil
Kesimpulan Bahwa Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang
berarti kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif
maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki
arti “bergabung menjadi satu”. Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja
halla yang berarti tinggal atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul
diartikan dengan paham bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda.
Di samping itu, al-hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat
(halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu
tempat.

Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul :

– Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan
tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi
mengeluarkan  syatahat

– Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu
kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun
dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).

Dalam memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran
rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang  juga
memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya
seseorang haruslah menjadi Sufi.

3.2 Saran

Dengan disusunnya makalah akhlak tasawuf dengan judul “Konsep Tentang


Ittihad dan Hulul” ini, Penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui lebih jauh,
lebih banyak, dan lebih lengkap tentang Pembahasan konsep ittihad dan hulul,
Pembaca dapat membaca dan mempelajari konsep ittihad dan hulul dari berbagai
sumber, baik dari intenet maupun media informasi lainnya, Karena penulis hanya
membahas secara garis besarnya saja. Disini penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, Sehingga kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan, Agar dalam penyusunan makalah pada
kesempatan selanjutnya lebih baik lagi.

Daftar Pustaka
Mustofa, A. 2014. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Nata, Abuddin. 1996. Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. 2009.

Van-Hoeve,Ensiklopedia Islam,penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, hal. 77-78.

Dr. Mustafa Zahri,Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT BINA ILMU,


1998, H 232.

Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy,jilid II, (bairud: dar alkitab, 1979), hlm 167.

Anda mungkin juga menyukai