Anda di halaman 1dari 43

Katalog Dalam Terbitan.

Kementerian Kesehatan RI

616.979 2
Ind
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal
p
Bina Kesehatan Ibu dan Anak
Pedoman manajemen program pencegahan penularan
HIV dan Sifilis dari ibu ke Anak . Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI. 2015

ISBN 978-602-235-869-5

1. Judul I. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


PREVENTION AND CONTROL II. SYPHILIS CONGENITAL
PREVENTION AND CONTROL III. SPREADING FACTOR
616.979
2
Ind
p

Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia

Pedoman Manajemen
Program Pencegahan
Penularan HIV dan Sifilis dari
Ibu ke Anak
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

ii
Kata Pengantar
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta Undang Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan bahwa kesejahteraan merupakan
urusan pemerintahan yang didaerahkan. Sementara itu, Penyakit menular masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kematian dan kecacatan yang tinggi sehingga
perlu dilakukan upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan yang efektif dan efisien,
secara komperehensif berkesinambungan sejak tingkat fasilitas pelayanan kesehatan primer
(puskesmas) ke atas. HIV dan Sifilis merupakan penyakit menular langsung yang dapat menginfeksi
ibu dan ditularkan ke bayi sejak dalam kandungan, persalinan maupun menyusui.

Setiap Puskesmas, baik di kawasan perkotaan, kawasan perdesaan maupun kawasan


terpencil/sangat terpencil, sebagai penanggung jawab kesehatan wilayah setempat berkewajiban
melaksanakan upaya kesehatan masyarakat (UKM) essensial berupa promosi kesehatan atau
penyuluhan peningkatan pengetahuan komprehensif masyarakat tentang pencegahan penularan
HIV-AIDS dan IMS serta pencegahan dan pengendalian penyakit menular melalui deteksi atau
penemuan dini HIV/AIDS dan IMS. Dengan demikian pemerintah daerah kabupaten/kota dan
provinsi memiliki peran dan tanggung jawab penting untuk pelaksanaan operasionalnya sebagai
standar pelayanan minimal kesehatan dasar masyarakat. Buku Pedoman Manajemen Program
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini merupakan panduan standar dan kriteria
penilaian akreditasi fasyankes primer maupun lanjutan disamping untuk menentukan situasi
epidemi dan intervensinya di masing-masing wilayah kabupaten/kota atau provinsi.

Tujuannya dari penyusunan buku Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan
Sifilis dari Ibu ke Anak adalah untuk memenuhi hak rakyat di seluruh Indonesia dalam bidang
kesehatan dan kebutuhan kesehatan masyarakat yang merata serta menjamin generasi masa
depan yang berkualitas serta bebas dari penyakit menular langsung, khususnya HIV dan Sifilis dan
membuka akses kesehatan yang layak dalam pembangunan kesehatan secara menyeluruh yang
mantap, memiliki keunggulan kompetitif sesuai struktur budaya dan sosial serta dilayani oleh
sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu buku ini dilaksanakan
terintegrasi dalam kegiatan Anternal Care terpadu yang lengkap dan berkualitas.

Buku Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini
diharapkan dapat mewujudkan pemerataan akses layanan kesehatan seluruh masyakarat,
khususnya ibu hamil dan pemerataan pemahaman bagi penyelenggara dan pelaksana dalam
memenuhi hak dan kewajiban rakyat di bidang kesehatan dengan baik dan benar maupun pihak
pihak yang terkait lainnya.

penghargaan dan terima kasih kami sampaikan pada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan
buku ini dan bila mana perlu dapat di sempurnakan atau di revisi di kemudian hari, sesuai
dinamika managemen program dan pelayanan menurut situasi dan kondisi di layanan serta
perubahan kebijakan dan regulasi kesehatan yang berlaku.
Sambutan
Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

Pelayanan antenatal yang baik dan berkualitas merupakan pelayanan yang dapat memberikan
perlindungan kesehatan selama ibu menjalankan kehamilannya. Saat ini cakupan pelayanan
antenatal kunjungan pertama (akses K1) sudah cukup tinggi, yaitu 81,6% (Riskesdas 2013).
Namun cakupan pelayanan antenatal K4 (kualitas) baru mencapai 70,4%.

Tujuan pelayanan antenatal berkualitas diantaranya adalah mencegah dan mendeteksi dini masalah
atau penyakit yang diderita ibu hamil dan janinnya. Keadaan yang dapat berdampak negatif tersebut
antara lain dapat disebabkan oleh infeksi HIV dan sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% kasus anak
yang terinfeksi HIV tertular penyakit melalui proses penularan dari ibu ke anak.

Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat
persalianan dan saat menyusui. Sifilis, seperti infeksi menular seksual lainnya, meningkatkan risiko
penularan HIV sebesar 3-5 kali. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat,
maka 67% kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital. Kajian WHO
di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining HIV dan sifilis pada ibu hamil yang
dilaksanakan bersamaan dalam pelayanan antenatal sangat cost-effective untuk mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak dan upaya eliminasi sifilis kongenital.

Dalam upaya meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak, Kementerian Kesehatan telah menyusun Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak. Dengan diintegrasikannya pemeriksaan tes sifilis pada ibu hamil dalam upaya tersebut,
maka pedoman itu disesuaikan menjadi Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan
HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Pedoman yang telah direvisi ini ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan manajemen bagi pengelola program di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
sampai ke Puskesmas. Untuk peningkatan kemampuan klinis petugas kesehatan telah disusun
pula Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Petugas
Kesehatan.

Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini
diharapkan dapat menjadi acuan penyelenggaraan pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak (PPIA) dan sifilis untuk ibu hamil. Pedoman ini selain ditujukan untuk para pengelola
program juga dapat digunakan sebagai acuan bagi pemberi pelayanan kesehatan di tingkat
provinsi, kabupaten/kota dan fasilitas kesehatan tingkat pertama serta rujukan tingkat lanjutan.
Kesamaan persepsi antara pengelola program dan pelaksana pelayanan diperlukan dalam
mendukung upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak serta upaya eliminasi sifilis
kongenital.

Jakarta, Januari 2015


Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA

Direktorat Jenderal
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
Dr Anung Sugihantono, MKes
Daftar Isi

Kata Pengantar iii


Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak iv
Daftar Isi v
Daftar Singkatan vi
Definisi viii

BAB I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kebijakan dan Strategi 1
1.2.1 Kebijakan 2
1.2.2 Strategi 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Sasaran 3

BAB II Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak 4


2.1 Epidemiologi HIV dan Sifilis 4
2.1.1 Epidemiologi HIV dan AIDS 4
2.1.2 Epidemiologi Sifilis 5
2.2 Perkembangan Program PPIA 7
2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak 9
2.3.1 Prong 1 : Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi 9
2.3.2 Prong 2 : Pencegahan Kehamilan Tidak Terencana pada Perempuan
dengan HIV 9
2.3.3 Prong 3 : Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 10
2.3.4 Prong 4 : Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial, Medis dan Perawatan 10

BAB III Pengelolaan Program PPIA 12


3.1 Perencanaan 12
3.2 Pelaksanaan 13
3.3 Pemantauan dan Evaluasi 17
3.3.1 Kegiatan 17
3.3.2 Indikator 19
3.4 Pencatatan dan Pelaporan 20
3.4.1 Pencatatan 20
3.4.2 Pelaporan 20
3.5 Pengorganisasian 21
3.5.1 Pihak yang Terkait 22
3.5.2 Peran Pemangku Kepentingan Utama 23
3.6 Jejaring PPIA/LKB 24

BAB IV Penutup 26

Daftar Pustaka 27

Lampiran
Daftar Singkatan

AIDS : Acquired immune-deficiency syndrome


ARV : Anti retroviral drugs
BOK : Bantuan Operasional Puskesmas
BPM : Bidan Praktek Mandiri
FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
HIV : Human immunodeficiency virus
IBBS : Integrated Bio-Behavioural Surveillance
IBI : Ikatan Bidan Indonesia
IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia
IDI : Ikatan Dokter Indonesia
IDU : Injecting drug use
IMS-ISR : Infeksi Menular Seksual-Infeksi Saluran Reproduksi
KDS : Kelompok Dukungan Sebaya
KIE : Komunikasi Informasi Edukasi
KPAD : Komisi Penanggulangan AIDS Daerah
KTS : Konseling dan Tes Sukarela
LBT : Laki-laki Berisiko Tinggi
LKB : Layanan Komprehensif Berkesinambungan
LSL : Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki
ODHA : Orang Dengan HIV-AIDS
PAPELKI : Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia
PDP : Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Lebih Lanjut
PDS Patklin : Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik
PERDOSKI : Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
PERSAGI : Persatuan Ahli Gizi Indonesia
PKPR : Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
PKRT : Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
PMTCT : Prevention of mother-to-child transmission
POGI : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Polindes : Pondok Bersalin Desa
Poskesdes : Pos Kesehatan Desa
Posyandu : Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu
PPIA : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
PPNI : Persatuan Perawat Nasional Indonesia
PPPKMI : Perkumpulan Promosi dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat Indonesia
PUS : Pasangan Usia Subur
Pusling : Puskesmas Keliling
Pustu : Puskesmas Pembantu
SIHA : Sistem Informasi HIV dan AIDS
SKPDKB : Satuan Kerja Perangkat Daerah Keluarga Berencana
STBP : Survei Terpadu Biologi dan Perilaku
TB : Tuberkulosis
TIPK : Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan dan Konseling
UNAIDS : United Nations Programme on HIV and AIDS
UPF : Unit Pelayanan Fungsional
WPS : Wanita Pekerja Seks
Definisi

Pusat Informasi dan Konseling : Suatu wadah kegiatan program PKBR yang dikelola dari, oleh dan
Remaja (PIK Remaja) untuk remaja guna memberikan pelayanan
Ekspansi : Perluasan
Epidemi : Mewabahnya penyakit dalam komunitas/daerah tertentu dalam
jumlah yang melebihi batas jumlah normal atau yang biasa
Epidemiologi : Ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan dari peristiwa
kesehatan dan peristiwa lainnya yang berhubungan dengan
kesehatan yang menimpa sekelompok masyarakat dan
menerapkan ilmu tersebut untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut
Infeksi oportunistik : Penyakit yang jarang terjadi pada orang sehat, tetapi menyebab-
kan infeksi pada individu yang sistem kekebalannya terganggu,
termasuk infeksi HIV
Inflamasi : Proses peradangan karena cedera fisik, kimiawi, infeksi, atau
reaksi alergi yang ditandai oleh bengkak kemerahan, panas, dan
nyeri pada jaringan
Morbiditas : Derajat sakit, cedera atau gangguan pada suatu populasi
Mortalitas : Angka rata-rata kematian penduduk di suatu daerah atau
wilayah; proporsi kematian akibat penyakit tertentu
Prevalensi : Jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu
tertentu di suatu wilayah
Ulserasi : Luka pada lapisan mukosa
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIVdi dunia mencapai
34 juta orang. Sekitar 50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun.
Di wilayah Asia Selatan dan Tenggara terdapat sekitar 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut
Laporan Kemajuan Program HIV dan AIDS WHO/SEARO 2011, di wilayah Asia Tenggara terdapat sekitar
1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun
semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual
tidak aman, yang selanjutnya mereka menularkan pada pasangan seksualnya yang lain. Data estimasi
UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan
tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut meninggal sebelum ulang tahun
kedua.

Sampai dengan tahun 2013, kasus HIV dan AIDS di Indonesia telah tersebar di 368 dari 497 kabupa-
ten/kota (72 %) di seluruh propinsi. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya mencapai sekitar 20.000
kasus. Pada tahun 2013 tercatat 29.037 kasus baru, dengan 26.527 (90,9%) berada pada usia
reproduksi (15-49 tahun) dan 12.279 orang di antaranya adalah perempuan. Kasus AIDS baru pada
kelompok ibu rumah tangga sebesar 429 (15%), yang bila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV
ke bayinya.

Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada
masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
(PPIA) atau Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan intervensi yang
sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut. Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi
sifilis kongenital, karena sifilis meningkatkan risiko penularan HIV di samping mengakibatkan
berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan kepada bayi seperti pada infeksi HIV.

Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA dan pencegahan
sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Hal ini dilakukan
melalui pelayanan antenatal terpadu baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun rujukan.
Untuk meningkatkan cakupan dan pelayanan PPIA, Kementerian Kesehatan telah melakukan beberapa
kegiatan, antara lain: i) pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat memberikan pelayanan
PPIA; ii) penigkatan kemampuan klinis melalui TOT fasilitator dan pelatihan bagi petugas kesehatan; dan
iii) penyusunan buku pedoman petunjuk pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke
Anak bagi petugas kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah dan non-pemerintah.

Untuk meningkatkan kemampuan manajemen bagi pengelola program PPA telah disusun Pedoman
Nasional PPIA. Dengan adanya berbagai perubahan kebijakan dan perlunya pemutakhiran data
program PPIA, maka dilakukan revisi terhadap Pedoman tersebut. Dengan diintegrasikannya
pemeriksaan tes sifilis pada ibu hamil dalam upaya PPIA, maka pedoman itu disesuaikan menjadi
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Pedoman yang telah direvisi ini
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen bagi pengelola program di tingkat Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota sampai ke Puskesmas.

1.2 Kebijakan dan Strategi


Kebijakan dan strategi Program PPIA pada dasarnya mengacu kepada Sistem Kesehatan Nasional,
kebijakan Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual, kebijakan Program
Kesehatan Ibu serta kebijakan nasional yang terkait lainnya.

1
1.2.1 Kebijakan
Kebijakan Program PPIA sebagai berikut.
1. PPIA merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS dan upaya
kesehatan ibu dan anak.
2. Pelaksanaan kegiatan PPIA diintegrasikan pada layanan KIA, Keluarga Berencana (KB) dan
Konseling Remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara bertahap dan
melibatkan peran non-pemerintah, LSM dan komunitas.
3. Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja yang mendapat layanan
kesehatan diberi informasi tentang PPIA.
4. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan wajib melakukan tes HIV dan sifilis kepada semua ibu hamil sebagai bagian dari
pemeriksaan laboratorium rutin pada waktu pemeriksaan antenatal sampai menjelang
persalinan.
5. Di daerah epidemi HIV rendah, tes HIV dan sifilis diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS,
berisiko tertulari HIV, IMS dan TB. Pemeriksaan dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan
laboratorium rutin pada waktu pemeriksaan antenatal sampai menjelang persalinan.
6. Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu/berwenang memberikan
pelayanan PPIA, pelayanan tersebut tetap dilakukan dengan cara:
a. merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai;
b. pelimpahan wewenang kepada tenaga kesehatan lain yang terlatih dengan Surat Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan setempat berdasarkan rekomendasi dari Kepala Laboratorium
Rujukan Provinsi. Penetapan daerah yang memerlukan pelimpahan wewenang petugas
ditetapkan oleh Kepala Dinkes setempat.
7. Setiap ibu hamil yang positif HIV:
a. wajib diberi obat ARV dan mendapatkan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan
lebih lanjut (PDP). Demikian pula halnya dengan ibu hamil yang positif sifilis wajib diberi
terapi sifilis yang memadai;
b. pertologan persalinannya, baik pervaginam atau melalui bedah sesar, dilakukan berdasarkan
indikasi medis ibu/bayinya dan dengan menerapkan kewaspadaan standar untuk
pencegahan infeksi;
c. diberi konseling menyusui secara khusus sejak perawatan antenatal pertama dengan
menyam-paikan pilihan yang ada sesuai dengan pedoman pelayanan, yaitu ASI eksklusif atau
susu formula eksklusif. Bila ibu memilih susu formula, maka ibu, pasangannya serta keluarga
perlu mendapat konseling cara penyiapan dan pemberian susu formula yang memenuhi
persyaratan;
d. diberi konseling KB secara khusus dan penjelasan tentang risiko penularan infeksi HIV dan
sifilis dari ibu kepada bayi, sejak perawatan antenatal, dengan menyampaikan pilihan
metoda kontrasepsi yang sesuai dengan pedoman pelayanan.
8. Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten merencanakan ketersediaan logistik (obat dan reagen/tes
HIV) melalui koordinasi dengan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes.

1.2.2 Strategi
Strategi Program PPIA sebagai berikut.
1. PPIA dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan ekspansi bertahap.
2. Semua fasilitas pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan PPIA sesuai
dengan pendekatan ekspansi bertahap.
3. Perlu adanya jejaring pelayanan PPIA sebagai bagian dari Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB) yang melibatkan peran swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM)
maupun komunitas secara keseluruhan.
4. Daerah menetapkan wilayah yang memerlukan pelimpahan wewenang petugas.
5. Ketersediaan logistik (obat dan reagen) dan menentukan petugas yang diberi wewenang
melakukan tes HIV.

1.3 Tujuan

Tujuan umum Program PPIA adalah mencegah penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak dan
meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak yang terinfeksi HIV dan sifilis dalam rangka menurunkan
kejadian kasus baru HIV pada bayi dan kejadian sifilis kongenital.

Tujuan khususnya sebagai berikut.


a. Mencegah terjadinya kasus baru HIV pada bayi dan terjadinya sifilis kongenital melalui
pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
b. Meningkatkan kelangsungan hidup ibu dan anak akibat HIV/AIDS dan/atau sifilis serendah
mungkin, khususnya di daerah dengan epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi.
c. Meningkatkan kualitas hidup ibu hamil dan anak dengan HIV dan sifilis.

1.4 Sasaran

Sasaran dari pedoman ini adalah sebagai berikut.


a. Pengelola program Kesehatan di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas.
b. Pemangku kepentingan, baik Pemerintah maupun non-pemerintah, yang terkait dengan penyediaan
layanan HIV-AIDS dan IMS.
c. Tenaga kesehatan, yaitu dokter spesialis, dokter umum, bidan, perawat dan tenaga terkait lainnya
yang bertugas di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan rujukan tingkat lanjutan, termasuk
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan non-pemerintah.
BAB II. UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS
DARI IBU KE ANAK

Seperti telah dikemukakan dalam Bab I, upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
diintegrasi-kan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital. Namun demikian, istilah PPIA tetap
digunakan untuk menyebut upaya integratif tersebut.

2.1 Epidemiologi HIV dan Sifilis


Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan beban
morbiditas bahkan mortalitas di negara berkembang. Mencegah dan mengobati IMS dapat
mengurangi risiko penularan HIV melalui hubungan seksual. Keberadaan IMS dalam bentuk inflamasi
atau ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV saat melakukan hubungan seksual
tanpa pelindung antara seseorang yang telah terinfeksi IMS dengan pasangannya yang sehat.

Pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya penularan HIV. Berbagai penelitian
di banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat meningkatkan risiko penularan HIV sebesar
3-5 kali. Saat ini prevalensi HIV dan sifilis di antara ibu hamil di Indonesia belum diketahui secara
luas. Namun telah diketahui bahwa semakin banyak ditemukan bayi yang tertular HIV atau sifilis dari
ibunya. Keberadaan kedua infeksi tersebut secara bersamaan menurunkan kualitas dan umur
harapan hidup.

2.1.1 Epidemiologi HIV dan AIDS

Sejak pertama kali ditemukan kasus HIV di Indonesia pada tahun 1987 di Bali sampai dengan Juni
2014, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh propinsi
Indonesia. Estimasi prevalensi HIV secara nasional diperkirakan mencapai 0.41% (2013) dan variasi
antar-propinsi berkisar antara 0.1%-3%. Propinsi Papua dan Papua Barat mempunyai situasi khusus,
karena epidemi HIV sudah menyebar di populasi umum sejak tahun 2006 dan pada tahun 2013
mencapai prevalensi 2.3%. Dengan demikian Tanah Papua telah berada dalam tingkat epidemi HIV
meluas, sedangkan sejumlah propinsi lainnya berada dalam tingkat epidemi HIV terkonsentrasi.

Dalam 10 tahun terakhir, penularan HIV telah bergeser dari penularan melalui penggunaan alat
suntik tidak steril di kalangan pengguna napza suntik (penasun) menjadi transmisi melalui hubungan
seksual. Berdasarkan estimasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2012, di Indonesia
terdapat sekitar 9 juta penduduk yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV. Dari jumlah
tersebut, terdapat kurang lebih 75.000 penasun, 250.000 wanita pekerja seks langsung dan tidak
langsung (WPSL dan WPSTL), 1,15 juta laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan
waria; serta 7 juta laki-laki pembeli seks (laki-laki berisiko tinggi/LBT). Selain itu terdapat sekitar 5
juta pasangan risiko tinggi, termasuk ibu rumah tangga yang sangat rentan tertular HIV.

Pada tahun 2007, 2009, 2011 dan 2013, Kementerian Kesehatan melakukan Survei Terpadu Biologi
dan Perilaku (STBP). Lokasi STBP 2007 sama dengan STBP 2011m sedangkan STBP 2009 sama dengan
STBP 2013, yang dijadikan acuan dalam melakukan perbandingan. Dari hasil STBP, dapat disimpulkan
bahwa prevalensi HIV menurun atau stabil pada penasun dan WPS namun meningkat di kalangan
waria dan LSL.
Dengan adanya peningkatan prevalensi HIV pada kelompok populasi kunci (Lihat Tabel 1) dan
besarnya jumlah populasi LBT (pelanggan), diproyeksikan akan terjadi peningkatan infeksi baru HIV
pada perempuan risiko rendah dan LSL, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Tabel 1. Kecenderungan Prevalensi HIV

POPULASI KUNCI IBBS 2007 IBBS 2011 TREND IBBS 2009 IBBS 2013 TREND

Penasun 29.8 19.5 ↓ 8.8 14.4 ↑


WPS Tak Langsung 5.3 3.1 ↓ 3.5 1.5 ↓
WPS Langsung 8.4 9.0 ↑ 5.7 6.1 ↔
Waria 9.8 11.9 ↑ 5.8 8.2 ↑
LSL 1.9 6.5 ↑ 2.5 7.4 ↑
Sumber: STBP 2007, 2009, 2011 dan 2013, Kementerian Kesehatan

Gambar 1. Estimasi infeksi baru berdasarkan populasi kunci 2000-2030

Sumber: ICA Report 2014

Sejak beberapa tahun terakhir, penularan HIV pada pasangan pelanggan WPS meningkat. Ini terlihat
pada jumlah ibu rumah tangga yang dilaporkan tertular AIDS, menempati posisi pertama. Dari tahun
1987 sampai bulan Juni 2014, secara kumulatif, jumlah ibu rumah tangga yang menderita AIDS
sebanyak 6.516 orang. Persentase penderita AIDS yang dilaporkan pada kurun waktu tersebut
menurut faktor risiko terbanyak ditemukan pada kalangan heteroseksual (61,5%), diikuti dengan
kelompok IDU (17,1%) dan perinatal (2,7%).

Jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, jumlah ibu
hamil dengan HIV sebanyak 534 orang yang kemudian meningkat menjadi 1.182 orang pada bulan
Januari-Juni 2014. Sementara itu jumlah bayi dengan HIV juga meningkat, yaitu sebanyak 71 bayi
pada tahun 2011 menjadi 86 bayi pada bulan Januari-Juni 2014.

2.1.2 Epidemiologi Sifilis

IMS merupakan faktor yang mempermudah penularan HIV atau berperan sebagai kofaktor terhadap
infeksi HIV1. Penanggulangan HIV tanpa penanggulangan IMS akan menyebabkan upaya yang
dilakukan menjadi tidak efektif. IMS tidak hanya mengancam populasi dengan perilaku berganti-
ganti pasangan, tetapi juga dapat ditularkan pada populasi umum, yaitu pasangan penderita IMS
dan janin/bayi dari ibu hamil dengan IMS.

1
Regional strategy for the prevention and control of STIs 2007-2015, WHO SEARO.
Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir
dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital pada neonatus. Pencegahan penularan sifilis dari
ibu ke bayi dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu
yang terinfeksi sifilis dan pasangannya. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis dengan
menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten/kota di DKI Jakarta,
Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut dilakukan terhadap 2.332 ibu hamil yang datang
pada kunjungan pertama antenatal. Hasilnya menunjukkan bahwa 24 orang (1,45%) di antara ibu
hamil tersebut terinfeksi sifilis.
Prevalensi dan kejadian komplikasi IMS pada saat ini masih cukup tinggi. Meskipun upaya
pengendalian IMS telah dilakukan, prevalensi IMS di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang
berarti. Hasil STBP 2011 menunjukkan prevalensi sifilis yang cukup tinggi di kalangan populasi kunci,
yaitu 10% pada WPSL, 9% pada LSL, 25% pada waria dan 2% pada penasun. Prevalensi gonorea juga
cukup tinggi, yaitu 38% pada WPSL, 21% pada LSL, dan 29% pada waria. Prevalensi tersebut masih
jauh lebih tinggi dari target pengendalian IMS, yaitu sifilis kurang dari 1% dan gonorea kurang dari
10% pada populasi kunci2.
Data pelaporan rutin layanan kesehatan pada Subdirektorat AIDS dan PMS melalui Sistem Informasi
HIV dan AIDS (SIHA) tahun 2012-2014 juga memperlihatkan tingginya angka positif pemeriksaan
sifilis di kalangan populasi kunci. Untuk semua populasi kunci, angka tersebut masih terlalu tinggi
(Gambar 2).

Gambar 2. Persentase tes sifilis positif pada populasi kunci yang mendapat layanan kesehatan

Sumber: SIHA 2012-2014 (Laporan tahun 2014 hanya mencakup pelaporan Januari-Juni 2014)3

Demikian pula pada populasi antara, angka kejadian IMS masih cukup tinggi. Data SIHA 2012-2014
menunjukkan tingginya kejadian duh tubuh uretra dan ulkus genital pada kelompok pelanggan
pekerja seks (Gambar 3). Angka kejadian duh uretra yang tinggi pada populasi antara ini dapat
menggambarkan besarnya peluang penularan IMS dari populasi antara ke populasi umum. Pada
populasi umum, tahun 2013 tercatat sebanyak 52.032 kunjungan ibu hamil ke layanan IMS. Hampir
setengahnya (25.506) mendapat tes sifilis dan ditemukan hasil positif pada 572 ibu hamil. Angka
kejadian sifilis pada ibu hamil dengan demikian adalah 2% di antara mereka yang mendapat tes sifilis
atau 1.1% di antara mereka yang mengunjungi layanan IMS. Ibu hamil yang menerima pengobatan
sifilis tercatat sebanyak 676 orang4.
Angka ini masih terlalu tinggi bila dibandingkan dengan target yang ditetapkan untuk populasi umum
yakni 0,1%5.

2
3
Kemenkes RI. Rencana aksi pengendalian IMS-ISR sebagai strategi nasional 2008-2012.
Angka positif pemeriksaan tes sifilis adalah jumlah hasil tes positif di antara mereka yang dites sifilis. Data SIHA berasal
dari laporan lebih dari 800 fasyankes, sementara terdapat lebih dari 9000 fasyankes di Indonesia.
4
Data GF/SubDit PMS dan AIDS
5
Rencana aksi pengendalian IMS-ISR sebagai strategi nasional 2008-2012.
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

Gambar 3. Persentase Duh Tubuh Uretra dan Ulkus Genital pada pelanggan WPS yang mengunjungi
fasyankes

Pada tahun 2013 diperkirakan ter-


dapat 5,3 juta ibu hamil di
Indone- sia6. Dengan perkiraan
rentang prevalensi sifilis pada ibu
hamil antara 0,5-3,0%
diperkirakan ter- dapat 26.500-
159.000 kehamilan dengan sifilis
di Indonesia setiap tahunnya.
Janin dari ibu hamil de- ngan sifilis
yang tidak diobati dapat
mengakibatkan kematian
perinatal hingga 40%, yaitu lahir
mati 25% dan kematian neonatal
15%7.

Sumber: SIHA 2012-2014

Sampai bulan Juni tahun 2014 penapisan dengan tes sifilis pada kunjungan antenatal baru dilakukan
pada 24.022 ibu hamil. Beban tersebut belum memperhitungkan kom-plikasi IMS lainnya, seperti
gonorhea dan klamidia yang dapat menyebabkan abortus, kelahiran prematur dan kematian
neonatal. Agar penapisan IMS pada ibu hamil efektif dalam mencegah kesakitan dan kematian
janin/neonatus tersebut, maka diperlukan peningkatan cakupan penapisan, baik melalui tes sifilis
maupun tes untuk IMS lainnya.

Semua data IMS pada populasi kunci, antara dan umum di atas menunjukkan bahwa IMS belum
terkendali dengan baik di Indonesia. Dengan pengendalian yang baik, prevalensi IMS pada ketiga
populasi tersebut akan menurun. Penurunan prevalensi IMS akan berkontribusi terhadap penurunan
penularan HIV, penurunan tingkat komplikasi, kesakitan dan kematian yang terkait dengan IMS.

2.2 Perkembangan Program PPIA


Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004,
khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. PPIA merupakan bagian dari upaya pengendalian
HIV-AIDS dan IMS lainnya melalui pelayanan KIA. Pada saat itu, upaya yang dilakukan terfokus pada
penyusunan pedoman nasional, penyusunan modul pelatihan, pelatihan PPIA, pembentukan jejaring
pelayanan dan memulai pembenahan sistem pencatatan dan pelaporan. Pada waktu itu pemeriksaan
HIV pada ibu hamil hanya dilakukan pada ibu dengan perilaku berisiko.

Sebagai akibat dari adanya stigma dan perilaku diskriminatif di lingkungan kesehatan pada awal
upaya PPIA, serta kurangnya perhatian dan dukungan dari pengelola program, maka pengembangan
program berjalan lambat. Hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA (Kemenkes, 2011),
yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu hamil yang memerlukan layanan PPIA. Untuk
perluasan jangkauan dan akses layanan bagi masyarakat, Program PPIA juga dilaksanakan oleh
beberapa lembaga masyarakat.

Peningkatan akses program dan pelayanan PPIA selanjutnya ditingkatkan untuk mengendalikan penularan
HIV dari ibu ke anak, seiring dengan semakin banyak ditemukan ibu hamil dengan HIV. pada tahun
2013 Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No 001/GK/2013 tentang
Layanan PPIA yang disertai dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) PPIA 2013-2017. Dengan terbitnya
surat edaran

7
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015
6
Kemenkes RI. Subdirektorat Bina Kesehatan Ibu Hamil
7
Regional strategy for the prevention and control of STIs 2007-2015, WHO SEARO.

8
tersebut,kegiatan PPIA diintegrasikan ke dalam pelayanan KIA, KB dan konseling remaja.
Surat edaran tersebut selanjutnya diperkuat oleh Peraturan Menteri Kesehatan No 51/2013 tentang
Pedoman PPIA dan Peraturan Menteri Kesehatan No 21/2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
Berdasarkan surat edaran tersebut, semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dalam
pelayanan antenatal wajib mendapatkan tes HIV yang inklusif dalam pemeriksaan laboratorium rutin,
bersama tes lainnya, sejak kunjungan pertama sampai menjelang persalinan. Untuk daerah epidemi
rendah, tes HIV diprioritaskan untuk ibu hamil dengan IMS dan tuberkulosis (TB).

Boks 1. Tes HIV pada ibu


hamil
 Di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: semua ibu hamil wajib mendapatkan tes HIV
 Di daerah epidemi rendah: tes HIV diprioritaskan untuk ibu hamil dengan IMS dan tuberkulosis
Selain perubahan kebijakan tersebut, terdapat juga perubahan di tingkat global dalam cara pengobatan
ARV pada ibu hamil yang menetapkan bahwa semua ibu hamil dengan HIV diberi pengobatan ARV
segera tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan, serta pengobatan ARV diberikan
seumur hidup. Persalinan pada ibu dengan HIV dapat dilakukan secara pervaginam dan pemberian ASI
eksklusif dengan mengikuti syarat-syarat tertentu. Semua ibu hamil dengan HIV diberi konseling dan
pelayanan KB postpartum. Semua metoda kontrasepsi dapat digunakan oleh perempuan dengan
HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi efektivitas ARV. Untuk pencegahan
penularan infeksi HIV tetap dianjurkan penggunaan kondom pada setiap hubungan seksual.

Boks 2. Ibu hamil dengan HIV: pengobatan, cara persalinan, KB dan pemberian ASI
 Pengobatan ARV diberikan kepada ibu hamil segera setelah diketahui bahwa hasil tes HIV-nya positif tanpa
memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan
 Persalinan pada ibu dengan HIV dapat dilakukan secara pervaginam, kecuali bila ada indikasi medis
 Semua ibu hamil dengan HIV diberi konseling dan pelayanan KB postpartum. Semua metoda kontrasepsi
dapat digunakan oleh perempuan dengan HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi
efektivitas ARV
 ASI ekslusif dapat diberikan dengan mengikuti syarat-syarat tertentu
 Untuk pencegahan penularan infeksi HIV tetap dianjurkan penggunaan kondom pada setiap hubungan
seksual
Untuk meningkatkan kemampuan pengelola program dan petugas kesehatan, pada tahun 2013
diadakan pelatihan PPIA di 12 propinsi dengan kasus HIV-AIDS tinggi (Sumatera Utara, Kepulauan Riau,
Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bali,
Papua dan Papua Barat), yang mencakup 65 kabupaten/kota dan 166 puskesmas. Pada tahun 2013
fasilitas yang memberikan pelayanan PPIA meningkat sebanyak 108 rumah sakit dan 370 puskesmas.
Jumlah ibu hamil yang dites HIV juga meningkat dari sebanyak 21.103 ibu hamil (2011) menjadi 137.000
ibu hamil (Januari- Juni 2014).

Selanjutnya upaya PPIA berkembang dengan mengintegrasikan pencegahan sifilis kongenital ke


dalamnya. Hal ini mengacu kepada hasil kajian WHO di beberapa negara Asia-Pasifik yang
menunjukkan bahwa skrining sifilis pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA
sangat cost-effective untuk mencapai tujuan target eliminasi ganda (eliminasi HIV pada neonatus
dan sifilis kongenital). Untuk melihat kelayakan dan efektivitas pendekatan ini dalam konteks
Indonesia serta mencari model layanan yang bisa diterapkan, maka pada tahun 2013 Kementerian
Kesehatan melakukan ujicoba dengan membuat wilayah percontohan untuk penerapan tes HIV dan
sifilis pada ibu hamil dalam pelayanan antenatal di 4 kota (Bandung, Jakarta Barat, Surabaya dan
Sorong) di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. Hasil ujicoba ini nantinya akan menjadi model
layanan yang akan diterapkan di Indonesia.
2.3 Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak

Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif
dan berkesinambungan dalam empat komponen (prong) sebagai berikut.
1. Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.
2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV.
3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil (dengan HIV dan sifilis) kepada
janin/bayi yang dikandungnya.
4. Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan
keluarganya.

2.3.1 Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi

Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah dengan
mencegah perempuan usia reproduksi tertular HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan
pencegahan primer. Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari
ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Hal ini berarti mencegah
perempuan muda pada usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya untuk tidak terinfeksi HIV.
Dengan demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi dijamin bisa dicegah.

Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai berikut.


1. A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi yang
belum menikah.
2. B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti
pasangan).
3. C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan
menggunakan kondom.
4. D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.
5. E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar mengenai HIV, cara
penularan, pencegahan dan pengobatannya.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai berikut.
1. KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu atau kelompok dengan
sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan pasangannya.
2. Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang mempunyai perilaku atau
pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular HIV (misalnya penerima donor darah, pasangan
dengan perilaku/pekerjaan berisiko) agar bersedia melakukan tes HIV.
3. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif.

2.3.2 Prong 2: Mencegah Kehamilan Tidak Direncanakan pada Perempuan dengan HIV

Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan seksama sebelum
memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan dengan HIV memerlukan kondisi khusus yang
aman untuk hamil, bersalin, nifas dan menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi
kehamilan akibat keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap penularan
HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi. Perempuan dengan HIV masih dapat
melanjutkan kehidupannya, bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan pengobatan
dan perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak yang bebas dari HIV bila kehamilannya
direncanakan dengan baik. Untuk itu, perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu
memanfaatkan layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah
kehamilan yang tidak direncanakan.
Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.
1. Meningkatkan akses ODHA ke layanan KB yang menyediakan informasi dan sarana pelayanan
kontrasepsi yang aman dan efektif.
2. Memberikan konseling dan pelayanan KB berkualitas tentang perencanaan kehamilan dan
pemilihan metoda kontrasepsi yang sesuai, kehidupan seksual yang aman dan penanganan efek
samping KB.
3. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan dengan HIV.
4. Memberikan dukungan psikologis, sosial, medis dan keperawatan.

2.3.3 Prong 3: Mencegah Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Bayi
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan penularan kepada janin atau
bayinya, maka risiko penularan berkisar antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka
risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur
dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIV
melalui persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. Pada ibu hamil dengan sifilis, pemberian
terapi yang adekuat untuk sifilis pada ibu dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital pada bayinya.
Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang
dikandungnya mencakup langkah-langkah sebagai berikut.
1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.
2. Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.
3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin (untuk sifilis) bagi ibu.
4. Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta KB.
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu selama hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan
tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi
HIV dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan
dan pasca kelahiran.

2.3.4 Prong 4: Dukungan Psikologis, Sosial, Medis dan Perawatan


Ibu dengan HIV memerlukan dukungan psikososial agar dapat bergaul dan bekerja mencari nafkah
seperti biasa. Dukungan medis dan perawatan diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
akibat penurunan daya tahan tubuh. Dukungan tersebut juga perlu diberikan kepada anak dan
keluarganya.

Dukungan Psikososial
Pemberian dukungan psikologis dan sosial kepada ibu dengan HIV dan keluarganya cukup penting,
mengingat ibu dengan HIV maupun ODHA lainnya menghadapi masalah psikososial, seperti stigma
dan diskriminasi, depresi, pengucilan dari lingkungan sosial dan keluarga, masalah dalam pekerjaan,
ekonomi dan pengasuhan anak. Dukungan psikososial dapat diberikan oleh pasangan dan keluarga,
kelompok dukungan sebaya, kader kesehatan, tokoh agama dan masyarakat, tenaga kesehatan dan
Pemerintah. Bentuk dukungan psikososial dapat berupa empat macam, yaitu:
 dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang;
 dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif;
 dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi keluarga;
 dukungan informasi, berupa semua informasi terkait HIV-AIDS dan seluruh layanan pendukung,
termasuk informasi tentang kontak petugas kesehatan/LSM/kelompok dukungan sebaya.
Dukungan Medis dan Perawatan

Tujuan dari dukungan ini untuk menjaga ibu dan bayi tetap sehat dengan peningkatkan pola hidup
sehat, kepatuhan pengobatan, pencegahan penyakit oportunis dan pengamatan status kesehatan.
Dukungan bagi ibu meliputi:
 pemeriksaan dan pemantauan kondisi kesehatan;
 pengobatan dan pemantauan terapi ARV;
 pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik;
 konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan;
 konseling dan dukungan asupan gizi;
 layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat;
 kunjungan rumah.

Dukungan bagi bayi/anak meliputi:


 diagnosis HIV pada bayi dan anak;
 pemberian kotrimoksazol profilaksis;
 pemberian ARV pada bayi dengan HIV;
 informasi dan edukasi pemberian makanan bayi/anak;
 pemeliharaan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang anak;
 pemberian imunisasi.
Penyuluhan yang diberikan kepada anggota keluarga meliputi:
 cara penularan HIV dan pencegahannya;
 penggerakan dukungan masyarakat bagi keluarga.

Penjelasan Kegiatan PPIA komprehensif dan berkesinambungan dapat digambarkan dalam alur
seperti pada Bagan 1.

Bagan 1. Alur Kegiatan PPIA Komprehensif dan Berkesinambungan dengan Pendekatan Prong 1-4

Perempuan usia reproduksi Cegah tertular HIV

Terinfeksi HIV Tidak terinfeksi HIV

Perempuan dengan HIV Cegah kehamilan tak direncanakan

Hamil Tidak hamil

Perempuan dengan HIV hamil Cegah penularan ke anak

Anak terinfeksi HIV Anak tidak terinfeksi

Dukungan psikologis, sosial, medis dan perawatan


BAB III. PENGELOLAAN PROGRAM PPIA

Pengelolaan Program PPIA meliputi proses pengorganisasian, perencanaan, pelaksanaan,


pemantauan dan evaluasi, serta pencatatan dan pelaporan program. Semua proses tersebut
dilakukan pada semua tingkatan sesuai dengan kewenangan di tiap tingkatan.

3.1 Perencanaan
Perencanaan program dilakukan di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan fasilitas pelayanan
kesehatan sesuai dengan ruang lingkup kerja masing-masing. Di bawah ini diuraikan aspek pokok
perencanaan program di setiap tingkat yang perlu dijabarkan lebih lanjut.

Tingkat Pusat
1. Merencanakan pengembangan program PPIA.
2. Merencanakan kebutuhan pengelola program PPIA di tingkat Pusat dan pengadaan logistik
program di tingkat nasional, yang meliputi antara lain buku pedoman, bahan KIE, obat ARV dan
obat sifilis, reagen HIV dan reagen sifilis serta alat dan obat kontrasepsi.
3. Merencanakan sistem pelatihan PPIA secara nasional serta merencanakan pelatihan, orientasi
dan sosialisasi pengelola program dan pelaksana pelayanan PPIA di tingkat nasional.
4. Merencanakan kebutuhan dan sumber pembiayaan untuk kegiatan PPIA secara nasional.
5. Merencanakan sistem pemantauan dan evaluasi program PPIA secara nasional.
6. Merencanakan koordinasi dengan lintas program, lintas sektor dan pihak terkait.

Tingkat Propinsi
1. Merencanakan perluasan program PPIA secara bertahap bagi kabupaten/kota.
2. Merencanakan kebutuhan logistik program tingkat propinsi antara lain buku pedoman, bahan
KIE, obat ARV dan obat sifilis, reagen HIV dan reagen sifilis serta alat dan obat kontrasepsi.
3. Merencanakan kebutuhan tenaga pengelola di tingkat propinsi dan pelatihannya di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota.
4. Merencanakan anggaran APBD Propinsi dan sumber lain untuk kegiatan PPIA.
5. Merencanakan pelatihan, orientasi dan sosialisasi pengelola program PPIA dan tenaga kesehatan
PPIA di tingkat propinsi.
6. Merencanakan implementasi, pemantauan dan evaluasi program PPIA tingkat propinsi.
7. Merencanakan koordinasi dengan lintas program, lintas sektor dan pihak terkait.
8. Merencanakan pembentukan jejaring rujukan antar-layanan, serta jejaring dengan Dinas
Kesehatan, KPAP, LSM dan Komunitas terkait PPIA

Tingkat Kabupaten/Kota
1. Merencanakan perluasan layanan PPIA secara bertahap bagi puskesmas, fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) terkait lainnya dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).
2. Merencanakan alokasi kebutuhan anggaran melalui dana APBD dan sumber dana lain untuk
kebutuhan logistik, penyiapan sumberdaya manusia, operasional dan sistim rujukan.
3. Merencanakan kebutuhan logistik program antara lain buku pedoman, bahan KIE dan obat sifilis,
reagen HIV, reagen sifilis, alat dan obat kontrasepsi serta bahan logistik lainnya.
4. Merencanakan pelatihan, orientasi dan sosialisasi pengelola program PPIA dan tenaga kesehatan
PPIA serta pelatihannya di tingkat kabupaten/kota.
5. Merencanakan implementasi, pemantauan dan evaluasi program terkait PPIA tingkat layanan.
6. Merencanakan koordinasi dengan lintas program, lintas sektor dan pihak terkait.
7. Merencanakan pembentukan jejaring rujukan antar-layanan serta jejaring dengan KPAK, LSM
dan komunitas terkait PPIA.
Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut terkait lainnya
1. Merencanakan pengembangan program PPIA dalam sistem pelayanan RS.
2. Merencanakan kebutuhan logistik, antara lain obat ARV dan sifilis, reagen HIV dan sifilis.
3. Menyiapkan tenaga kesehatan sebagai penanggung-jawab dan pelaksana pelayanan PPIA.
4. Merencanakan pelatihan, orientasi dan sosialisasi PPIA internal RS.
5. Merencanakan kegiatan dan pembinaan jejaring rujukan dengan puskesmas, LSM/KDS/kader
PPIA.
6. Merencanakan sistem jejaring rujukan kasus antar RS dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
dalam Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB).
7. Merencanakan anggaran RS untuk kegiatan PPIA.
8. Merencanakan pemantauan dan evaluasi program PPIA di dalam RS.

Puskesmas
1. Merencanakan pengembangan layanan PPIA di Puskesmas dan jaringannya (Pustu, bidan di desa
dan Puskesmas keliling) untuk menjangkau ibu hamil yang belum terjangkau.
2. Merencanakan pembahasan PPIA dalam mini lokakarya Puskesmas serta anggaran BOK dan
sumber lainnya untuk kegiatan PPIA.
3. Merencanakan kebutuhan logistik, antara lain: alat, reagen HIV, reagen sifilis, ARV, obat sifilis
dan bahan habis pakai.
4. Merencanakan jejaring dengan LSM/KDS/kaderterkait PPIA.
5. Merencanakan jejaring rujukan antara puskesmas dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
dalam LKB.
6. Merencanakan kegiatan pemantauan dan evaluasi upaya PPIA di Puskesmas dan jaringannya.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) terkait


1. Merencanakan pengembangan layanan PPIA.
2. Merencanakan anggaran untuk kegiatan PPIA.
3. Menyiapkan tenaga kesehatan sebagai penanggung-jawab dan pelaksana pelayanan PPIA.
4. Merencanakan kebutuhan logistik antara lain obat ARV dan sifilis, reagen HIV dan sifilis dengan
berkoordinasi dengan Puskesmas.
5. Merencanakan kegiatan layanan bergerak menjangkau ibu hamil, berkoordinasi dengan
Puskesmas.
6. Merencanakan jejaring dengan LSM/KDS/kader terkait PPIA.

3.2 Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan memerlukan koordinasi dan kerjasama horisontal dan vertikal di antara para
pemangku program terkait, mitra kerja, pelaksana di lapangan dan masyarakat. Di bawah ini aspek
pokok dari pelaksanaan program menurut tingkatan dan kewenangan masing-masing.

Tingkat Pusat
1. Melakukan pemetaan situasi epidemi HIV Propinsi: epidemi rendah, terkonsentrasi atau meluas
(generalized) berdasarkan data laporan, estimasi dan proyeksi.
2. Membuat dan menyebar-luaskan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) terkait dengan
PPIA.
3. Menjamin ketersediaan dan distribusi obat ARV dan obat sifilis, reagen HIV dan sifilis, serta alat
dan obat kontrasepsi logistik lainnya.
4. Melakukan training of trainer (TOT) PPIA tingkat Pusat dan Propinsi.
5. Melakukan pertemuan berkala PPIA lintas program/sektor terkait di tingkat Pusat, termasuk
pertemuan koordinasi.
6. Mengembangan metoda, teknologi dan media promosi kesehatan terkait PPIA, termasuk
metoda dan strategi KIE untuk remaja, PUS dan ODHA.
7. Melakukan pemantauan, evaluasi dan bimbingan teknis kegiatan PPIA.
8. Mengembangkan dan memberikan acuan kegiatan pencatatan dan pelaporan, termasuk
rekapitulasi pencatatan dan pelaporan dari propinsi serta memberikan umpan balik kepada
semua propinsi untuk melakukan upaya perbaikan.
9. Melakukan penelitian yang terkait dengan PPIA.
10. Mengupayakan pembiayaan kegiatan PPIA.
11. Membuat dan melaksanakan sistem pemantapan mutu laboratorium.
12. Melakukan akreditasi rumah sakit dan puskesmas.

Tingkat Propinsi
1. Melakukan pemetaan situasi epidemi HIV kabupaten/kota.
2. Mengadakan dan/atau mengusulkan ke tingkat pusat kebutuhan dan distribusi obat ARV dan
sifilis, reagen HIV dan sifilis dan logistik lainnya, termasuk alat dan obat kontrasepsi untuk
penderita HIV positif, serta mendistribusikannya ke kabupaten/kota.
3. Melakukan dan fasilitasi pelatihan PPIA di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
4. Mengembangkan metoda dan teknologi promosi kesehatan terkait PPIA, termasuk metoda
dan strategi KIE untuk remaja, PUS dan ODHA.
5. Melakukan pertemuan koordinasi lintas program dan lintas sektor berkala PPIA, termasuk untuk
ketersediaan dan distribusi alat kontrasepsi, di tingkat propinsi.
6. Melakukan pemantauan, evaluasi dan bimbingan teknis kegiatan PPIA ke kabupaten/kota.
7. Melakukan rekapitulasi pencatatan dan pelaporan dari kabupaten/kota di wilayah serta
memberikan umpan balik kepada semua kabupaten/kota untuk melakukan upaya perbaikan.
8. Melakukan penelitian yang terkait dengan PPIA.
9. Mengupayakan pembiayaan kegiatan PPIA.
10. Melaksanakan sistem pemantapan mutu laboratorium.

Tingkat Kabupaten/Kota
1. Inventarisasi fasilitas kesehatan dan tenaga yang terkait dengan pengelolaan upaya PPIA,
misalnya:
 RS dalam wilayah kabupaten/kota yang sudah dilatih dan melaksanakan pelayanan PPIA;
 Puskesmas dan FKTP terkait lainnya yang sudah dilatih dan melaksanakan PPIA;
 jumlah tenaga kesehatan, kader peduli HIV-AIDS, KDS ODHA dan LSM HIV yang ada,
terlatih dan belum terlatih dalam PPIA serta masyarakat peduli HIV dan AIDS;
 sumber pembiayaan untuk kegiatan PPIA.
2. Pemetaan sasaran program, yaitu:
 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun), termasuk remaja, PUS dan populasi kunci;
 ibu hamil.
3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan bidan atau perawat terlatih yang dapat
melakukan tes HIV bila di daerah tersebut tidak ada tenaga medis dan atau teknisi laboratorium
terlatih.
4. Melaksanakan dan fasilitasi pelatihan PPIA bagi tenaga kesehatan di puskesmas, RS dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya serta orientasi PPIA bagi pengelola upaya PPIA di kabupaten/kota.
5. Mengembangan metoda dan teknologi promosi kesehatan terkait PPIA, termasuk metoda dan
strategi KIE untuk remaja, PUS dan ODHA.
6. Mengadakan reagen HIV dan ARV serta mengusulkan permintaan reagen dan obat sifilis serta
bahan logistik lainnya ke tingkat Propinsi, termasuk alat dan obat kontrasepsi, dan
mendistribusikannya ke faskes di wilayah kabupaten/kota.
7. Melakukan pertemuan koordinasi berkala PPIA di tingkat kabupaten/kota dan RS, termasuk
untuk ketersediaan dan distribusi alat kontrasepsi.
8. Membentuk dan membina jejaring kerjasama dengan LSM dan KDS terkait PPIA serta jejaring
rujukan kasus antara RS, Puskesmas, KDS/LSM dan kader kesehatan.
9. Melaksanakan pemantapan mutu laboratorium.
10. Melakukan rekapitulasi pencatatan dan pelaporan dari faskes di wilayah kabupaten/kota dan
umpan baliknya.

Rumah Sakit
1. Melakukan peningkatan kapasitas staf di RS melalui orientasi, sosialisasi dan pelatihan PPIA .
2. Mengajukan permintaan obat ARV kepada Dinas Kesehatan Provinsi atau Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, serta mengadakan obat sifilis, reagen HIV dan sifilis, bahan logistik terkait
lainnya dengan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
3. Menyusun alur pelayanan dan SPO, termasuk sistem rujukan PPIA internal dan antar RS.
4. Menyusun alur pencatatan dan pelaporan pelayanan PPIA internal RS serta melakukan
pencatatan dan pelaporan kegiatan PPIA.
5. Melaksanakan kerjasama dengan LSM dan komunitas terkait PPIA dalam jejaring LKB.
6. Melaksanakan rujukan kasus antar RS dan memberikan jawaban rujukan ke Puskesmas dan
FKTP terkait lainnya.
7. Memberikan pelayanan/konseling sesuai dengan standar:
 KB dalam upaya PPIA
 tes HIV dan sifilis pada ibu hamil di layanan antenatal
 konseling menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil HIV
 pengobatan bagi ibu hamil dengan HIV dan sifilis
 persalinan pada ibu dengan HIV
 pengobatan dan perawatan bagi bayi lahir dari ibu dengan HIV
 pemeriksaan HIV pada bayi lahir dari ibu dengan HIV
 pemantauan tumbuh kembang bayi dan balita lahir dari ibu HIV
 KIE dan konseling terkait kesehatan reproduksi termasuk kontrasepsi, HIV dan IMS kepada
masyarakat yang berkunjung ke RS
8. Melakukan bimbingan teknis terkait PPIA ke Puskesmas.
9. Melaksanakan pemantapan mutu laboratorium untuk tes HIV dan sifilis.

Puskesmas
1. Menghitung/memperkirakan jumlah:
 sasaran ibu hamil yang akan di-tes HIV dan sifilis;
 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun), termasuk remaja, PUS dan populasi kunci.
2. Menginventarisasi:
 kader kesehatan yang terlatih HIV;
 KDS ODHA;
 LSM;
 kelompok masyarakat peduli HIV dan AIDS lainnya.
3. Menghitung kebutuhan reagen HIV dan sifilis untuk ibu hamil serta mengajukan permintaan
reagen tersebut kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Melaksanakan kerjasama dengan kader peduli HIV, KDS ODHA, LSM terkait PPIA dalam jejaring
LKB.
5. Melaksanakan rujukan kasus ke RS dan antar Puskesmas, serta melakukan kerjasama dengan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di wilayah kerja.
6. Memasukkan pembahasan tentang PPIA dalam kegiatan mini lokakarya Puskesmas.
7. Melakukan peningkatan kapasitas staf (orientasi, sosialisasi, pelatihan di Puskesmas) tentang
PPIA:
 petugas terkait di Puskesmas (petugas KIA, KB, BP, konselor, konseling remaja dan Promkes);
 petugas kesehatan di Pustu/Polindes/Poskesdes/BPM;
 kader kesehatan, PLKB dan pihak terkait lainnya.
8. Memberikan pelayanan/konseling:
 KB dalam konteks PPIA, di samping pelayanan KB rutin
 tes HIV dan sifilis pada ibu hamil pada layanan antenatal
 menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil dengan HIV
 pengobatan bagi ibu hamil dengan HIV bagi puskesmas yang memiliki layanan ARV dan
rujukan ke RS bila layanan pengobatan ARV tidak tersedia
 pengobatan bagi ibu hamil dengan sifilis
 persalinan pervaginam pada ibu hamil dengan HIV yang telah mendapatkan pengobatan
ARV sesuai dengan standar
 pemeriksaan HIV dan pemberian ARV profilaksis pada bayi dari ibu HIV atau merujuk jika
layanan tidak tersedia
 pemantauan pengobatan bagi bayi, serta tumbuh kembang bayi dan balita yang lahir dari
ibu dengan HIV
 rujukan balik ke puskesmas atau Pustu/Polindes/Poskesdes/BPM
9. Melakukan KIE terkait kesehatan reproduksi, termasuk HIV dan AIDS, di layanan KIA, KB,
konseling remaja dan di masyarakat.
10. Melakukan sinkronisasi pencatatan dan pelaporan pelayanan PPIA di tingkat Puskesmas dengan
fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerja.
11. Bekerjasama dengan LSM/kader/KDS untuk mendapatkan dukungan psikologis kepada pasien
dan keluarganya.
12. Melaksanakan pemantapan mutu laboratorium dan membuat jejaring dengan perawat dan
bidan di Pustu, Polindes/Poskesdes dan petugas di FKTP terkait lainnya untuk pemantauan mutu
pemeriksaan laboratorium HIV.

Boks 3. Rujukan untuk tes HIV dan sifilis bagi puskesmas


Bagi Puskesmas dan FKTP terkait lainnya yang petugas kesehatannya belum mampu melakukan tes HIV
dan sifilis perlu merujuk ibu hamil untuk menjalani tes HIV dan sifilis ke layanan yang telah mampu.

Perawat dan bidan di Pustu, Polindes/Poskesdes dan petugas di FKTP terkait lainnya
1. Menganjurkan tes skrining HIV dan sifilis pada saat pelayanan antenatal dan merujuk ibu hamil
ke Puskesmas yang telah mampu melakukannya.
2. Melaksanakan kerjasama dengan kader peduli HIV-AIDS, KDS ODHA dan LSM HIV yang ada, serta
kelompok masyarakat peduli HIV-AIDS lainnya dalam jejaring LKB.
3. Melaksanakan rujukan kasus ke Puskesmas pengampu atau rumah sakit, berjejaring dan
memantau mutu pemeriksaan laboratorium HIV.
4. Memberikan konseling menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil dengan HIV.
5. Memantau kepatuhan minum obat ARV pada ibu hamil dengan HIV dan mencegah atau
memberi perawatan dasar infeksi oportunistik bila terjangkit.
6. Melakukan pemantauan pengobatan dan tumbuh kembang bagi bayi lahir dari ibu dengan HIV .
7. Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan alur yang disetujui.
8. Melaksanakan pemantapan mutu internal untuk pemeriksaan laboratorium HIV dan berjejaring
dengan Puskesmas pengampu untuk rujukan dan/atau pemantauan mutu pemeriksaan
laboratorium HIV
Boks 4. Rujukan untuk tes HIV dan sifilis bagi bidan di daerah epidemi terkonsentrasi
( Permenkes No. 25 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pemeriksaan Laboratorium untuk Ibu Hamil,
Bersalin dan Nifas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Jaringan Pelayanannya )

 Di daerah epidemi terkonsentrasi, perawat dan bidan di Pustu, Polindes/Poskesdes dan petugas di FKTP terkait
lainnya yang mampu melakukan tes HIV dan sifilis dapat melakukan tes skrining HIV strategi I dan rapid tes
sifilis pada ibu hamil di layanan antenatal. Jika hasil tes skrining HIV dan/atau rapid tes sifilis adalah reaktif
(positif), maka ibu hamil dirujuk ke Puskesmas yang mampu memberikan layanan lanjutan.
 Pelatihan tes HIV dan sifilis untuk bidan dan perawat di daerah epidemi terkonsentrasi dilaksanakan oleh
petugas laboratorium yang sudah memiliki sertifikat sebagai pelatih pemeriksaan laboratorium HIV.
Boks 5. Rujukan untuk tes HIV dan sifilis bagi bidan di daerah epidemi meluas
( Permenkes No. 25 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pemeriksaan Laboratorium untuk Ibu Hamil,
Bersalin dan Nifas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Jaringan Pelayanannya )

 Di daerah epidemi meluas, bidan dan perawat terlatih dapat melakukan tes diagnosis HIV (mengunakan
strategi III) pada ibu hamil. Diagnosis ditegakkan oleh dokter.
 Pelatihan tes HIV dan sifilis untuk bidan dan perawat di daerah epidemi meluas dilaksanakan oleh
laboratorium rujukan Provinsi.
 Bidan/ Perawat terlatih dimaksud harus mendapat SK Penunjukan dari Kepala Dinas Kesehatan dengan
rekomendasi dari Kepala Laboratorium Rujukan Provinsi

3.3 Pemantauan dan Evaluasi


Pemantauan adalah pengawasan kegiatan secara rutin untuk menilai pencapaian program terhadap
target melalui pengumpulan data mengenai input, proses dan output secara regular dan terus-
menerus. Untuk itu digunakan sejumlah indikator yang dapat mengukur perkembangan dan
pencapaian suatu kegiatan/upaya terhadap tujuan yang ditetapkan.

Evaluasi adalah suatu proses untuk membuat penilaian secara sistematik, untuk keperluan
pemangku kepentingan, mengenai suatu kebijakan, program, proyek, upaya atau kegiatan
berdasarkan informasi dan hasil analisis yang dibandingkan dengan relevansi, efektifitas biaya dan
keberhasilan. Data pemantauan yang baik sering menjadi titik awal bagi suatu evaluasi. Secara
ringkas, evaluasi adalah piranti untuk menjawab “Apakah tujuan tercapai atau tidak dan mengapa?”.
Evaluasi pencapaian kegiatan dilakukan secara berkala (tahunan, tiga- atau lima-tahunan) yang
dibandingkan dengan target, serta identifikasi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan untuk
perbaikan untuk perioda berikutnya.

3.3.1 Kegiatan
Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota, Puskesmas hingga ke tingkat unit pelayanan kesehatan yang meliputi:
a. ketersediaan logistik (misalnya: reagen dan obat);
b. ketenagaan;
c. pembiayaan;
d. pencapaian upaya PPIA;
e. kendala yang dihadapi terkait dengan upaya PPIA;
f. pertemuan secara berkala untuk membahas dan menindak-lanjuti hasil pemantauan dan
evaluasi.
Di bawah ini diuraikan aspek pokok pemantauan dan evaluasi upaya PPIA di setiap tingkat, yang
masih perlu dijabarkan lebih lanjut.

Tingkat Pusat
1. Melakukan pemantauan dan evaluasi serta bimbingan teknis PPIA dalam pelayanan antenatal
terpadu.
2. Melakukan pembahasan PPIA dalam rapat koordinasi pengendalian operasional program dan
rapat konsolidasi teknis program kesehatan ibu.
3. Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk memberikan advokasi, asistensi dan
fasilitasi kepada Pemerintah Daerah.
4. Mengadakan pertemuan berkala:
 evaluasi tahunan dalam pelayanan antenatal terpadu;
 kelompok kerja HIV (Pokja HIV) untuk membahas capaian hasil kegiatan dibandingkan
dengan target yang direncanakan dan menyusun rencana tindak lanjut;
 Panel Ahli HIV (Panli HIV) untuk membahas hasil pemantauan dan isu terkini HIV.
Tingkat Propinsi
1. Melakukan pemantauan dan evaluasi serta bimbingan teknis PPIA dalam pelayanan antenatal
terpadu.
2. Melakukan pembahasan PPIA dalam raker kesehatan daerah (Rakerkesda) Program Kesehatan
Ibu.
3. Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk:
 advokasi kepada penentu kebijakan;
 melakukan asistensi dan fasilitasi kepada kabupaten/kota dan layanan kesehatan terkait.
4. Mengadakan pertemuan secara berkala:
 evaluasi tahunan PPIA dalam pelayanan antenatal terpadu
 tentang layanan dan jejaringnya untuk membahas capaian hasil kegiatan dibandingkan
dengan target yang direncanakan dan menyusun rencana tindak lanjut.

Tingkat Kabupaten/Kota
1. Melakukan pemantauan dan evaluasi, serta bimbingan teknis PPIA dalam pelayanan antenatal
terpadu.
2. Melakukan pembahasan PPIA dalam Rakerkesda Program Kesehatan Ibu.
3. Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk:
 advokasi kepada penentu kebijakan
 asistensi dan fasilitasi kepada layanan dan jejaringnya
4. Melakukan penyeliaan fasilitatif kepada puskesmas dengan menggunakan pedoman Penyeliaan
Fasilitatif Kesehatan Ibu dan Anak (PFKIA).
5. Mengadakan pertemuan secara berkala:
 evaluasi tahunan PPIA dalam pelayanan antenatal terpadu
 tentang layanan dan jejaringnya untuk membahas capaian hasil kegiatan dibandingkan
dengan target yang direncanakan dan menyusun rencana tindak lanjut.

Rumah Sakit
1. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan PPIA di Rumah Sakit.
2. Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk melakukan asistensi dan fasilitasi kepada
semua layanan terkait dengan PPIA dan untuk advokasi kepada penentu kebijakan.
3. Pertemuan secara berkala layanan dan jejaringnya untuk membahas hasil layanan dalam jejaring
PPIA dan hasil mentoring klinis.

Puskesmas
1. Melakukan pemantauan melalui PWS KIA.
2. Melakukan penyeliaan fasilitatif kepada jaringan dan jejaringnya dengan menggunakan
pedoman Penyeliaan Fasilitatif Kesehatan Ibu dan Anak (PFKIA).
3. Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk melakukan asistensi dan fasilitasi kepada
jaringan PPIA dan FKTP lain di wilayah dan untuk advokasi kepada penentu kebijakan.
4. Pertemuan secara berkala:
 Puskesmas dan jaringannya tiap bulan;
 Puskesmas dengan lintas sektor tiap triwulan
untuk membahas capaian hasil kegiatan dibandingkan dengan target yang direncanakan dan
menyusun rencana tindak lanjut dalam mini lokakarya.

FKTP terkait lainnya


1. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PPIA di layanan.
2. Pertemuan secara berkala untuk membahas dan menindak-lanjuti hasil pemantauan
dan evaluasi.
3.3.2 Indikator

Untuk mengevaluasi pencapaian program PPIA dapat digunakan indikator sebagai berikut.
1. Indikator upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
a. Proporsi perempuan usia subur (15-49 tahun) dengan HIV: adalah jumlah perempuan usia
subur dengan HIV dibagi dengan jumlah perempuan usia subur, dikalikan 100%.
b. Proporsi ODHA usia subur yang mendapatkan konseling KB dan perencanaan kehamilan:
adalah jumlah ODHA usia subur yang mendapatkan konseling KB dan perencanaan
kehamilan dibagi dengan jumlah ODHA usia subur, dikalikan 100%.
c. Cakupan tes HIV pada ibu hamil: adalah jumlah ibu hamil yang mendapat tes HIV dibagi
dengan jumlah seluruh ibu hamil, dikalikan 100%.
d. Proporsi ibu hamil yang datang ke pelayanan dan mendapat tes HIV: adalah jumlah ibu hamil
yang mendapat tes HIV dibagi dengan jumlah ibu hamil yang datang ke pelayanan antenatal,
dikalikan 100%.
e. Angka positif HIV pada ibu hamil: adalah jumlah ibu hamil dengan HIV dibagi dengan jumlah
ibu hamil yang mendapat tes HIV, dikalikan 100%.
f. Cakupan ibu hamil HIV yang mendapatkan ARV: adalah jumlah ibu hamil dengan HIV yang
mendapatkan ARV dibagi dengan jumlah ibu hamil dengan HIV, dikalikan 100%.
g. Cakupan ibu hamil dengan HIV yang bersalin di faskes: adalah jumlah ibu hamil dengan HIV
yang bersalin di faskes dibagi dengan jumlah ibu hamil dengan HIV, dikalikan 100%.
h. Cakupan pengobatan profilaksis ARV pada bayi: adalah jumlah bayi lahir dari ibu dengan HIV
mendapatkan ARV profilaksis dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu HIV, dikalikan
100%.
i. Cakupan pengobatan profilaksis kotrimoksasol pada bayi: adalah jumlah bayi lahir dari ibu
dengan HIV mendapatkan kotrimoksasol profilaksis dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup
dari ibu dengan HIV, dikalikan 100%.
j. Proporsi bayi yang didiagnosis HIV: adalah jumlah bayi lahir dari ibu dengan HIV dengan hasil
tes HIV positif dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu dengan HIV, dikalikan 100%.
2. Indikator upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak.
a. Cakupan tes sifilis pada ibu hamil: adalah jumlah ibu hamil yang mendapat tes sifilis dibagi
dengan jumlah seluruh ibu hamil, dikalikan 100%.
b. Proporsi ibu hamil yang datang ke pelayanan dan mendapat tes sifilis: adalah jumlah ibu
hamil yang mendapat tes sifilis dibagi dengan jumlah ibu hamil yang datang ke pelayanan
antenatal, dikalikan 100%.
c. Angka positif sifilis pada ibu hamil: adalah jumlah ibu hamil dengan sifilis dibagi dengan
jumlah ibu hamil yang mendapat tes sifilis, dikalikan 100%.
d. Cakupan ibu hamil dengan sifilis yang mendapatkan pengobatan: adalah jumlah ibu hamil
dengan sifilis yang mendapatkan pengobatan dibagi dengan jumlah ibu hamil dengan sifilis,
dikalikan 100%.
3. Indikator layanan PPIA.
a. Proporsi FKTP yang melaksanakan layanan PPIA: adalah jumlah FKTP di sutu wilayah yang
melaksanakan pelayanan PPIA dibagi jumlah FKTP yang ada di wilayah tersebut, dikalikan
100%.
b. Proporsi FKRTL yang melaksanakan layanan PPIA: adalah jumlah FKRTL di sutu wilayah yang
melaksanakan pelayanan PPIA dibagi jumlah FKRTL yang ada di wilayah tersebut, dikalikan
100%.
3.4 Pencatatan dan Pelaporan
3.4.1 Pencatatan

Hasil layanan PPIA dan sifilis pada ibu hamil di unit pelayanan kesehatan dicatat pada Rekam Medis,
Kartu Ibu dan Kohort Ibu, Kohort Bayi dan Balita, Formulir Registrasi Layanan IMS, Formulir
Registrasi Layanan TIPK dan Formulir Registrasi Layanan PPIA. Pencatatan di fasilitas pelayanan
kesehatan mandiri disesuaikan dengan strata fasyankes tersebut (setara RS atau Puskesmas).

Puskesmas
1. Hasil pelayanan antenatal terpadu, termasuk layanan terkait dengan HIV dan sifilis, dicatat di
Kartu Ibu, Kohort dan Buku KIA.
2. Formulir Registrasi Layanan TIPK dan Formulir Registrasi Layanan IMS diisi oleh pemberi layanan.
3. Formulir Registrasi Layanan PPIA hanya diisi bila ibu hamil positif HIV. Pengelola IMS/petugas
yang ditunjuk mengisi formulir dengan memindahkan data hasil pelayanan dari Kartu Ibu. Data
layanan bayi yang lahir dari ibu dengan HIV diisi oleh petugas pemberi layanan di Puskesmas.
4. Pemantauan tumbuh kembang bayi/balita lahir dari ibu dengan HIV dicatat di Kohort Bayi/Balita.

Rumah Sakit
1. Hasil pelayanan antenatal dicatat di kartu Rekam Medis dan Buku KIA.
2. Formulir Registrasi Layanan TIPK dan Formulir Registrasi IMS diisi oleh pemberi layanan.
3. Formulir Registrasi PPIA hanya diisi bila ibu hamil positif HIV. Pengelola PPIA/petugas yang
ditunjuk akan mengisi formulir ini dengan memindahkan data hasil pelayanan dari kartu Rekam
Medis Ibu. Data layanan bayi yang lahir dari ibu dengan HIV di formulir ini diisi oleh petugas
pemberi layanan.

3.4.2 Pelaporan

Puskesmas
1. Bidan/petugas KIA di polindes/poskesdes, pustu/kelurahan dan bidan praktek mandiri/klinik
swasta akan melaporkan hasil pelayanan antenatal terpadu ke bidan koordinator Puskesmas.
Selanjutnya, bidan koordinator Puskesmas merekapitulasi data dan melaporkan hasil pelayanan
antenatal terpadu melalui format yang tersedia (F1-F6). Bidan koordinator akan berbagi data
dengan pengelola program IMS/P2/petugas yang ditunjuk.
2. Pengelola program IMS/P2/petugas yang ditunjuk merekapitulasi data layanan HIV dan sifilis
pada ibu hamil yang berasal dari Formulir Registrasi Layanan IMS, Formulir Registrasi Layanan
TIPK, formulir registrasi layanan PPIA dan melaporkan dengan menggunakan format pelaporan
yang sudah tersedia/aplikasi SIHA (Sistem Informasi HIV dan AIDS).

Rumah Sakit
Petugas pencatatan dan pelaporan rumah sakit yang ditunjuk merekapitulasi data layanan HIV
dan sifilis pada ibu hamil yang berasal dari Formulir Registrasi Layanan IMS, Formulir Registrasi
Layanan TIPK, Formulir Registrasi Layanan PPIA dan melakukan input data ke dalam format
pelaporan yang sudah tersedia/aplikasi SIHA (Sistem Informasi HIV dan AIDS).

Kabupaten/Kota
1. Pengelola program IMS/P2/Petugas yang ditunjuk melaporkan data layanan HIV dan sifilis pada
ibu hamil dari fasyankes di seluruh wilayah kabupaten/kota melalui format pelaporan yang
sudah tersedia/aplikasi SIHA dan berbagi data dengan pengelola KIA.
2. Pengelola KIA merekapitulasi hasil pelayanan antenatal terpadu di seluruh wilayah
kabupaten/kota dan melaporkan melalui format yang telah tersedia (F1-F6).
Bagan 2. Alur Pelaporan

Ditjen P2 PL cq
Ditjen Bina
Direktur P2M dan
Gizi dan KIA
Ditjen BUK cq Dit
cq. Dit Bina
BUK Rujukan
Kes Ibu

Pengelola Program KIA Provinsi


Rumah
Pengelola Program
Sakit Prov
IMS/P2 Provinsi
SIHA Alur pelaporan F1-F6

Pengelola Program KIA Kab/Kota


Rumah
Pengelola Program
Sakit
SIHA IMS/P2 Kab/Kota F1-F6
Kab/Kota Koordinasi
Bidan Koordinator
Pengelola Program IMS/P2 Puskesmas

Berbagi data:
Data bumil, bumil HIV dan sifilis, bayi HIV dan sifilis

BPS/Klinik Swasta Bidan di desa Bidan di Pustu Poli KIA Puskesma

Tingkat Propinsi
1. Pengelola program IMS/P2/petugas yang ditunjuk melaporkan data layanan HIV dan sifilis pada
ibu hamil dari seluruh wilayah kabupaten/kota ke Pusat dan berbagi data dengan pengelola KIA.
2. Pengelola KIA merekapitulasi hasil pelayanan antenatal terpadu dari seluruh wilayah
kabupaten/kota dan melaporkan melalui format yang telah tersedia (F1-F6).

Pelaporan hasil pelayanan PPIA dan sifilis dilakukan setiap bulan, mengikuti jadwal pelaporan
Program HIV. Sebagai penanggung-jawab pencacatan dan pelaporan adalah pengelola Program
Pengendalian Penyakit (P2). Jadwal pelaporan sebagai berikut.
1. Puskesmas memasukkan data sampai tanggal 25 dan melaporkan ke kabupaten/kota paling
lambat tanggal 30 setiap bulan.
2. Laporan dari kabupaten/kota ke propinsi paling lambat tanggal 5 setiap bulan.
3. Laporan dari propinsi ke Pusat paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

3.5 Pengorganisasian

Program PPIA banyak melibatkan kerjasama lintas program dan sektor, sehingga dalam
pelaksanaannya diperlukan koordinasi dengan semua pihak terkait, termasuk LSM dan organisasi
profesi. Di bawah ini sejumlah pihak yang terlibat dalam berbagai upaya yang dilakukan dan peran
masing-masing.
3.5.1 Pihak yang Terlibat

Tingkat Pusat
Dalam upaya PPIA, ditingkat Pusat sebagai penanggung-jawab Direktorat Pengendalian Penyakit
Menu-lar Langsung (P2ML) dengan melibatkan lintas program (Direktorat Bina Kesehatan Ibu,
Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar (BUKD), Bina Upaya
Kesehatan Rujukan (BUKR), Pusat Promosi Kesehatan, Direktorat Bina Gizi, Direktorat Keperawatan
dan Penunjang Medik, Pusat Diklat Aparatur PPSDM), Lintas Sektor (BKKBN, KPAN, PERSI), organisasi
profesi (IDI, POGI, IDAI, PDS Pat-klin, PERDOSKI, IBI, PPNI, PAPELKI, PERSAGI, PPPKMI) dan LSM yang
bergerak dalam bidang HIV dan IMS.

Tingkat Propinsi
Dalam upaya PPIA di tingkat propinsi, penanggung-jawab program adalah pengelola Program
Pengendalian Penyakit (P2) dengan melibatkan lintas program (pengelola KIA, KB, pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan, Promkes, Gizi, SDK), lintas sektor (perwakilan BKKBN Propinsi, KPAP),
organisasi pro-fesi propinsi (IDI, POGI, IDAI, PDS Patklin, PERDOSKI, IBI, PPNI, PAPELKI, PERSAGI,
PPPKMI), rumah sakit, Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK/BLK) dan LSM yang bergerak
dalam bidang HIV dan IMS.

Tingkat Kabupaten/Kota
Dalam upaya PPIA di tingkat kabupaten/kota, penanggung-jawab program adalah pengelola
Program Pengendalian Penyakit (P2) dengan melibatkan lintas program (pengelola KIA, KB,
Pelayanan Kesehatan dasar dan rujukan, Promkes, Gizi), lintas sektor (SKPDKB, KPAK), organisasi
profesi kabupaten/kota (IDI, POGI, IDAI, PDS Patklin, PERDOSKI, IBI, PPNI, PAPELKI, PERSAGI), Balai
Laboratorium Kesehatan/Lab-kesda, rumah sakit dan LSM yang bergerak dalam bidang HIV dan IMS.

Rumah Sakit
Upaya PPIA di rumah sakit dikoordinasikan oleh direktur utama/Kepala Rumah Sakit yang
melibatkan penanggung-jawab program PDP, KTS, PPIA, instalasi rawat jalan, rawat inap, kamar
operasi, gizi, laboratorium dan lain-lain, serta melibatkan KDS dan LSM yang bergerak dalam
bidang HIV dan IMS.

Puskesmas
Upaya PPIA di tingkat puskesmas merupakan bagian dari LKB yang menjadi tanggung-jawab Kepala
Puskesmas dengan pelaksananya petugas IMS/P2 dan melibatkan program/sektor terkait, seperti
petugas KIA, KB, konseling remaja, poli umum, KTS, gizi, laboratorium, Promkes, serta PKK, KDS dan
LSM yang bergerak dalam bidang HIV dan IMS.

FKTP terkait Lainnya


Upaya PPIA di FKTP terkait lainnya disesuaikan dengan strata fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.
3.5.2 Peran Pemangku Kepentingan Utama

Pemangku kepentingan utama mempunyai tugas dan peran seperti dijelaskan pada Tabel 2.

Tabel 2. Peran Pemangku Kepentingan Utama


Lintas Peran
No Pusat Propinsi Kabupaten/kota
Program
1 Pengelola  Melakukan pemetaan situasi  Melakukan pemetaan situasi  Inventarisasi fasilitas kesehatan dan
Program epidemi HIV Propinsi epidemi HIV kabupaten/kota tenaga yang terkait dengan
P2M  Menyusun dan sosialisasi  Mengadakan dan mengusulkan pengelolaan Program HIV
NSPK terkait dengan HIV ketersediaan obat sifilis,  Pemetaan sasaran program HIV
 Menjamin ketersediaan obat reagen HIV dan sifilis, logistik  Melaksanakan pelatihan PDP/CST
ARV dan mengupayakan reagen lainnya dan bagi nakes di puskesmas dan RS
HIV dan sifilis dan logistik lain- mendistribusikannya  Mengadakan reagen HIV dan sifilis
nya serta mendistribusikannya  Melakukan pelatihan tes HIV dan mengusulkan permintaan obat
 Membantu menyediakan ba- gi petugas laboratorium di sifilis, dan logistik lainnya ke
sarana dan prasarana (viral ting- kat propinsi dan tingkat Propinsi
load dan CD4) program PPIA kabupaten/kota  Melakukan pertemuan berkala HIV
bagi propinsi yang tidak mampu  Melakukan pelatihan konselor HIV  Membentuk dan membina jejaring
 Melakukan training of trainer  Melakukan pertemuan berkala kerjasama dengan LSM dan KDS-HIV
(TOT) tentang HIV dan sifilis program HIV, termasuk PPIA  Membentuk dan membina jejaring
 Mengadakan pertemuan di tingkat propinsi kerjasama dengan LSM dan KDS
berkala tentang HIV dan  Melakukan pemantauan, evalua- terkait PPIA
sifilis si dan bimbingan teknis kegiatan  Membentuk dan membina jejaring
 Melakukan pemantauan, eva- program HIV ke kabupaten/kota rujukan kasus antara RS,
luasi dan bimbingan teknis  Melakukan rekapitulasi Puskesmas, KDS/LSM dan kader
ke- giatan terkait HIV dan pencatat-an dan pelaporan kesehatan
sifilis SIHA dari kabupaten/kota di  Melakukan pemantauan, evaluasi
 Memberikan acuan kegiatan wilayahnya dan bimbingan teknis
pencatatan dan pelaporan  Mengupayakan pembiayaan  Melakukan rekapitulasi pencatatan
 Mengupayakan pembiayaan kegiatan HIV dan pelaporan
kegiatan HIV
2 Pengelola  Menyusun dan sosialisasi  Pelatihan PPIA di tingkat  Pemetaan sasaran program PPIA
Program KIA NSPK terkait dengan propinsi dan kabupaten/kota,  Melakukan orientasi PPIA bagi penge-
PPIA bagi kepala puskesmas dan lola Program PPIA di kabupaten/kota
 Melakukan training of trainer bidan  Melaksanakan orientasi dan
(TOT) PPIA tingkat Pusat dan  Melakukan pertemuan berkala pelatihan PPIA bagi tenaga
Propinsi PPIA di tingkat propinsi kesehatan (kepala puskesmas, bidan
 Melakukan pertemuan berka-  Melakukan pemantauan, dan perawat) di puskesmas dan RS
la PPIA di tingkat Pusat evaluasi dan bimbingan  Melakukan pertemuan berkala PPIA
 Melakukan pemantauan, teknis kegiatan PPIA ke di tingkat kabupaten/kota termasuk
evaluasi dan bimbingan kabupaten/kota di RS
teknis kegiatan PPIA  Mengupayakan pembiayaan  Melakukan pemantauan, evaluasi
 Mengupayakan pembiayaan kegiatan PPIA dan bimbingan teknis kegiatan
kegiatan PPIA  Melakukan rekapitulasi pencatata PPIA ke puskesmas
 Menyusun acuan pencatatan dari kabupaten/kota di wilayahnya  Melakukan rekapitulasi pencatatan
PPIA di layanan KIA, KB dan dari fasilitas kesehatan di wilayah
konseling remaja kabupaten/kota
3 Pengelola  Mengembangkan metoda dan  Mengembangkan metoda dan  Mengembangkan metoda dan
Program teknologi promosi kesehatan teknologi promosi kesehatan teknologi promosi kesehatan terkait
Promkes terkait PPIA terkait PPIA sesuai dengan PPIA sesuai dengan spesifisitas
 Membina advokasi dan kemi- spesifisitas lokal lokal
traan kesehatan terkait PPIA  Membina advokasi dan kemitra-  Membina advokasi dan kemitraan
 Membina pemberdayaan dan an kesehatan terkait PPIA kesehatan terkait PPIA
peran serta masyarakat  Membina pemberdayaan dan  Membina pemberdayaan dan peran
terkait PPIA pe- ran serta masyarakat terkait serta masyarakat terkait PPIA
 Mengembangkan strategi PPIA  Mengupayakan pembiayaan
komunikasi PPIA  Mengupayakan pembiayaan promkes terkait PPIA
promkes terkait dengan PPIA
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

Lintas Peran
No Pusat Propinsi Kabupaten/kota
Program
4 Pengelola  Menyiapkan centre  Memetakan RS yang mampu  Memetakan RS yang mampu
Program of excellent layanan memberikan layanan ODHA memberikan layanan ODHA
Yankes HIV  Membantu menyediakan sarana  Memetakan pelayanan primer yang
 Melakukan akreditasi dan prasarana upaya PPIA di ka- mampu memberikan layanan PPIA
terhadap fasilitas kesehatan bupaten/kota yang tidak mampu  Menyediakan sarana dan prasarana
dasar dan rujukan  Menyiapkan RS yang mampu upaya PPIA
 Melakukan pemantauan, memberikan layanan ODHA  Menyiapkan fasilitas pelayanan
evaluasi dan bimbingan  Menyiapkan fasilitas pelayanan kesehatan mampu memberikan
teknis kegiatan PPIA di kesehatan rujukan regional layanan ODHA
fasyankes  Melakukan pembinaan dalam  Melakukan pembinaan dalam men-
 Membuat dan melaksanakan mencapai akreditasi terhadap capai akreditasi terhadap fasilitas
sistem pemantapan dan fasilitas kesehatan dasar/rujukan kesehatan dasar dan rujukan
pemantauan mutu  Melakukan pemantauan,  Melakukan pemantauan, evaluasi
laboratorium evaluasi dan bimbingan dan bimbingan teknis kegiatan
teknis kegiatan PPIA ke PPIA ke fasyankes
fasyankes  Melaksanakan sistem pemantapan
 Melaksanakan sistem dan pemantauan mutu
pemantapan dan pemantauan laboratorium
mutu laboratorium
5 BKKBN  Menyediakan dan mendistri-  Menyediakan dan mendistribu-  Menyediakan dan mendistribusikan
busikan alokon ke propinsi sikan alokon ke kabupaten/kota alokon ke fasyankes
 Mengembangkan metoda dan  Mengembangkan metoda dan  Mengembangkan metoda dan stra-
strategi KIE untuk remaja, strategi KIE untuk Remaja, tegi KIE untuk remaja, PUS, ODHA
PUS dan ODHA PUS dan ODHA  Sosialisasi strategi KIE ke
 Sosialisasi strategi KIE  Sosialisasi strategi KIE fasilitas kesehatan
ke propinsi ke kabupaten/kota  Pemantauan dan evaluasi
 Pemantauan dan evaluasi  Pemantauan dan evaluasi
6 Pengelola  Melakukan sertifikasi  Melakukan sertifikasi pelatihan  Melakukan pelatihan PPIA
Sumber Daya pelatihan PPIA PPIA
Kesehatan  Melakukan pelatihan PPIA  Melakukan pelatihan PPIA

3.6 Jejaring PPIA/LKB


Upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS sangat memerlukan penguatan sistem kesehatan. Beberapa
aspek penting yang perlu dilakukan, antara lain penguatan layanan HIV-AIDS dan IMS serta
integrasinya ke layanan kesehatan yang sudah tersedia, termasuk layanan KIA/KB, kesehatan
reproduksi (PKRT) dan kesehatan remaja (PKPR).

Kementerian Kesehatan menerapkan strategi pengendalian penyakit melalui layanan pencegahan


dan pengobatan HIV-AIDS yang komprehensif dan berkesinambungan (LKB) dengan menerapkan
enam pilar yang dikembangkan di tingkat kabupaten/kota. Keenam pilar tersebut sebagai berikut.
1. Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini.
2. Peran aktif komunitas termasuk ODHA dan keluarga.
3. Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai dengan kondisi setempat.
4. Akses layanan terjamin.
5. Sistem rujukan dan jejaring kerja.
6. Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan.

Layanan HIV-AIDS dan IMS komprehensif dan berkesinambungan (LKB) merupakan penguatan
layanan pada jejaring internal, yaitu hubungan antar-layanan/program di dalam satu fasyankes; dan
eksternal, yaitu hubungan antar-fasyankes, rujukan antar-layanan serta penguatan komponen
masyarakat. Kunci pengendalian dan manajemen LKB secara komprehensif terletak pada tingkat
kabupaten/kota.

Komponen LKB mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS, misalnya:
 kegiatan KIE untuk pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian
24
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

faktor risiko;
 tes HIV dan konseling;
 perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP);
 pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA);
 pengurangan dampak buruk napza;
 layanan diagnosis dan pengobatan IMS;
 pencegahan penularan melalui darah donor dan produk darah lainnya;
 kegiatan perencanaan;
 pemantauan dan evaluasi;
 surveilans epidemiologi di puskesmas rujukan dan non-rujukan termasuk fasilitas kesehatan
lainnya, dan rumah sakit rujukan ODHA di kabupaten/kota; dan
 keterlibatan aktif dari sektor masyarakat, termasuk keluarga.

Penerapan LKB dalam pelaksanaan PPIA meliputi kerja sama antara sarana kesehatan dan organisasi
masyarakat penting dalam melaksanakan kegiatan PPIA komprehensif. Kerja sama tersebut
berupaya mengatasi kendala medis (misalnya tes HIV, ARV, CD4, viral load, persalinan aman) dan
kendala psikososial (misalnya kebutuhan pendampingan, kunjungan rumah, bimbingan perubahan
perilaku dan kesulitan ekonomi keluarga ODHA). Bentuk kerjasama yang dikembangkan antara lain
memperkuat sistem rujukan klien, memperlancar hubungan komunikasi untuk saling berbagi
informasi tentang situasi dan jenis layanan yang diberikan dan membentuk sistem penanganan
kasus secara bersama. Dengan adanya jejaring PPIA yang baik, diharapkan akan terbentuk layanan
PPIA berkualitas.

Dalam jejaring PPIA, setiap institusi memiliki peran masing-masing, yang terintegrasi dan saling
berhubungan dengan institusi lainnya. Di sarana kesehatan, pelayanan PPIA dijalankan oleh
Puskesmas dan jajarannya, Rumah Sakit, serta bidan praktek swasta. Di tingkat masyarakat,
pelayanan PPIA dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun kelompok dukungan
sebaya (KDS). Agar peran tiap institusi berjalan secara optimal, diperlukan sumberdaya manusia yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan layanan PPIA yang memadai. Pengalihan tugas yang sesuai
dengan kondisi setempat mungkin perlu dilakukan dalam menjalankan kegiatan PPIA.

Pelatihan PPIA yang berorientasi terhadap kebutuhan pelayanan di lapangan diperlukan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kegiatan ini perlu didukung oleh organisas profesi
seperti IDI, IDAI, POGI, IBI, PAPDI, PPNI serta ikatan profesi lainnya. Ikatan profesi juga berperan
dalam meningkatkan kinerja tenaga kesehatan untuk menjamin pemberi layanan yang berkualitas,
serta menjalin koordinasi antar-ikatan profesi dan bermitra dengan pihak lainnya.
BAB IV. PENUTUP

Dengan terbitnya Pedoman Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini diharapkan
acuan manajerial untuk meningkatkan akses layanan dan cakupan pelayanan PPIA dapat disebar-luaskan
dengan cepat ke semua tingkat pengelolaan dan pelayanan. Dengan demikian diharapkan upaya
pengendalian HIV-AIDS dan IMS di Indonesia melalui upaya PPIA menjadi lebih komprehensif dan
mencapai wilayah yang lebih luas. Di samping itu, pedoman ini memberikan kejelasan substantif
dalam mencapai tujuan upaya eliminasi penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.

Pedoman ini dilengkapi dengan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu
ke Anak bagi Tenaga Kesehatan, yang secara rinci menjelaskan aspek teknis pelaksanaan PPIA di
lapangan. Kedua pedoman ini saling mengisi dan dapat digunakan oleh penentu kebijakan, pengelola
program dan pelaksana pelayanan. Pemutakhiran kedua pedoman ini dilakukan secara berkala,
mengikuti perkembangan yang terjadi di tingkat global.

26
Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Laboratorium Klinik, PMK No. 411
tahun 2010.
2. Departemen Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medis, PMK No. 269 tahun
2008.
3. Departemen Kesehatan. (2006). Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan
Infeksi Oportunis. Jakarta. Departemen Kesehatan.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia-WHO. (2009). Pedoman Eliminasi Sifilis Kongenital Melalui
Skrining Pada Ibu Hamil. Jakarta. Departemen Kesehatan.
5. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pedoman Nasional Manajemen Program HIV dan AIDS. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI.
6. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI.
7. Kementerian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS
Berkesinambungan. Jakarta. Kementerian Kesehatan.
8. Kementerian Kesehatan RI. (2012). Petunjuk Teknis Pengisian Form Manual Pencatatan Program
Pengendalian HIV/AIDS dan IMS. Jakarta. Kementerian Kesehatan.
9. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di
Puskesmas. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
10. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulanagan HIV dan
AIDS, PMK No. 21 tahun 2013.
11. Kementerian Kesehatan RI (2014) . Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan
Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, PMK No. 97 Tahun 2014
12. Kementerian Kesehatan RI (2015) Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan
Pemeriksaan Laboratorium untuk Ibu Hamil, Bersalin dan Nifas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan
Jaringan Pelayanannya, PMK No. 25 Tahun 2015.
13. Kementerian Kesehatan. (2013). Rencana Aksi Nasional PPIA 2013-2017. Jakarta: Kementerian
Kesehatan
14. Kementerian Kesehatan. (2013). Surat Edaran Menteri Kesehatan tentang Layanan Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak, SE No. GK/Menkes/001/I/2013 tahun 2013.
15. Kementerian Kesehatan. (2014). Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu
ke Anak. Jakarta. Kementerian Kesehatan
16. Kementerian Kesehatan (2014). Rencana Aksi Nasional HIV dan IMS Bidang Kesehatan 2015-2019.
Jakarta. Kementerian Kesehatan.
17. Kementerian Kesehatan (2014). Rencana Aksi Nasional Pengendalian Infeksi Menular Seksual Di
Indonesia 2015-2019. Jakarta. Kementerian Kesehatan.
18. WHO. (2007). The Global Elimination of Congenital Syphilis Rationale and Strategy For Action. Geneva.
WHO.
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 2015

TIM PENYUSUN
PEDOMAN MANAJEMEN PROGRAM PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN
SIFILIS DARI IBU KE ANAK

Pelindung
dr. Anung Sugihantono, M.Kes (Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA)

Pengarah
dr. Gita Maya Koemara Sakti S, MHA (Direktur Bina Kesehatan Ibu)

Penanggung Jawab
dr. Lukas C. Hermawan, M.Kes (Kasubdit Bina Kesehatan Ibu Hamil)

Editor
dr. Milwiyandia, MARS

Tim Penyusun
dr. Siti Nadia Tarmidzi, M.Epid (Direktorat P2ML
) dr. Endang Budi Hastuti (Direktorat P2ML
)
dr. Rima Damayanti (Direktorat Bina Kesehatan
Ibu) dr. Ardi Kaptiningsih, MPH (Konsultan)
dr. Lukman HL, MBA (Konsultan)
dr. Carmelia Basri (Konsultan)
dr. Ekarini Aryasatiani, SpOG (K) (POGI Pusat)
dr. Muh Ilhamy, SpOG (K) (POGI Pusat)
dr. Dyani Kusumowardhani, SpA (IDAI Pusat)
dr. Beatricia Iswari ( WHO )
dr. Karina Widowati ( UNICEF )

Kontributor
1. dr. Wira Hartiti, M.Epid ( Direktorat Bina Kesehatan Ibu )
2. dr. Nanda Agus Prasetya ( Direktorat Bina Kesehatan Ibu )
3. dr. Savaart Hutagalung ( Direktorat Bina Kesehatan Ibu )
4. Dhefi Ratnawati, SGz ( Direktorat Bina Kesehatan Ibu )
5. Evasari Ginting, SKM ( Direktorat Bina Kesehatan Ibu )
6. dr. Trijoko Yudopuspito, MSc. PH ( Direktorat PPML )
7. dr. Helen Dewi Prameswari ( Direktorat PPML)
8. dr. Inti Mujiati, M.Kes ( Direktorat Bina Kesehatan Ibu )
9. dr. Chandralina Pakpahan ( Direktorat Bina Kesehatan Ibu )
10. dr. Eva Dian Kurniawati (Direktorat BPPM dan Sarkes)
11. dr. Ferdinandus (Direktorat BPPM dan Sarkes)
12. dr. Marina Wangsadinata ( Direktorat Bina Gizi)
13. dr. Ernawati Atmaningtyas ( Direktorat BUK Dasar)
14. drg. Rima Kuraisina ( Direktorat BUK Rujukan )
15. drg. Melly Juwitasari ( Direktorat Bina Kesehatan Anak)
16. drg. Marlina Ginting ( Pusat Promosi Kesehatan)
17. dr. Popy Irawati, MPH (BKKBN)
18. Farida Ekasari, S.IP, MKM (BKKBN)
19. dr. Raymond Nadeak ( BKKBN)
20. dr. Parlyn RD Situmorang ( Dinkes Provinsi DKI Jakarta)
21. Ida Jamilah ( Dinkes Provinsi Jawa Barat)
22. dr. Suheni Dwinastiti ( Dinkes Provinsi Jawa Timur)
23. Avie SHR ( Dinkes Provinsi Jawa Timur)
24. Luh Putu Musnitarini, SKM, MPH ( Dinkes Provinsi Bali )
25. Ni Wayan Putri M S.SiT, M.Kes ( Dinkes Provinsi Bali )
26. Agung ( Dinkes Kota Bandung )
27. Nani Susilawati, Am.Keb ( Dinkes Kota Bandung)
28. Dr. Kartika Sri Redjeki ( Dinkes Kota Surabaya)
29. Faisol Anwar, Amd.Kep ( Dinkes Kota Surabaya)
30. Ni Komang Alit C ( Dinkes Kota Jakarta Barat)
31. dr. Netty Siahaan ( Puskesmas Kecamatan Kalideres, Jakarta)
32. dr. Nikensari Koesrindartia ( Puskesmas Kecamatan Tambora)
33. dr. Lolita Riamawati (Puskesmas Sememi, Surabaya)
34. Ferinawati, SKM, MPHM ( GF AIDS SR Kesehatan Ibu)
35. Yati ( GF AIDS SR Provinsi Jawa Timur )
36. dr. Ina Yuniati, MSc ( PPSDM)
37. Bayu Aji
38. dr. Ratna Sari, MKM

Anda mungkin juga menyukai