Anda di halaman 1dari 32

“Tantangan Dalam Membangun Peradaban Islam”

(Pertemuan 3)

(Kajian Tafsir Tafsir Ma’arij al-tafakkur wadaqāiq al-tadabbur)


Munasabah dalam Tema Surat
)‫)موضوع السورة‬
Seruan untuk memperoleh ilmu dan menjadikan
Risalah Rabbaniyyah sebagai pedoman hidup dengan
wasilah-wasilah yang telah Rabb Pencipta berikan
Untuk Manusia, untuk kebahagiaan di dunia dan di
akhirat (Ayat 1-5)
Penjelasan mengapa manusia harus mengambil
Petunjuk Allah/Risalah Rabbaniyyah (Ayat 6-8)

Keadaan manusia dalam menjawab seruan Ini:


1. Beriman untuk dirinya
2. Beriman dan menyampaikan risalah
3. Mendustakan untuk dirinya
4. Mendustakan dan mencegah kebaikan

Ancaman dan Balasan yang Allah sediakan bagi


yang menghalangi Risalah Rabbaniyah

(Ayat 9-19)
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada
Tuhanmulah kembali (mu). Bagaimana pendapatmu tentang orang yang
melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan salat. Bagaimana
pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran, atau dia
menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang
melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Sekali-kali tidak,
sesungguhnya jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik
ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami
akan memanggil Malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan, janganlah kamu
patuh kepadanya; sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa
Abu Jahal pernah berkata, “Apakah Muhammad meletakkan mukanya ke
tanah (sujud) di hadapan kamu ?” ketika itu orang membenarkannya.
Selanjutnya Abu Jahal berkata: “Demi al-Lata dan al-‘Uzza, sekiranya aku
melihat dia sedang berbuat demikian, akan aku injak batang lehernya dan
kubenamkan mukanya ke dalam tanah.” Ayat-ayat ini (6-19) turun berkenaan
dengan peristiwa tersebut.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ketika
Rasulullah saw sedang shalat, datanglah Abu Jahal melarang beliau
melakukannya. Ayat-ayat 6-19 ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut
sebagai ancaman kepada orang yang menghalang-halangi orang yang hendak
beribadah.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas,
menurut at-Tirmidzi hadits ini hasan shahih, bahwa ketika Rasulullah saw
sedang shalat, datanglah Abu Jahal seraya berkata: “Bukankah aku sudah
melarang engkau berbuat demikian (shalat) ?” Nabi Muhammad saw pun
membentaknya. Abu Jahal berkata: “Bukankah engkau tau bahwa di sini
tidak ada orang yang lebih banyak pengikutnya daripada aku ?” maka Allah
menurunkan ayat-ayat ini (al-‘Alaq 17-19) sebagai ancaman kepada orang
yang menghalang-halangi orang yang hendak melakukan ibadah dan merasa
banyak pengikut
Pelajaran 2 Surat Al-’Alaq
Setelah merenungkan pelajaran pertama,
berkaitan perintah mengambil Risalah
Rabbaniyah sebagai pedoman hidup
timbulah pertanyaan yang memerlukan
jawaban:

Apa kepentingan yang sangat besar


sehingga manusia harus menguasai ilmu-
ilmu ad-Diin dan mengapa ia butuh kepada
hikmah Rabb pencipta yang mengarahkan
manusia kepada risalah-risalah dari-Nya, “Sekali-kali tidak!
dengan dipilihnya untuk memikulnya dan
menyampaikannya kepada manusia hamba
Sesungguhnya manusia benar-
pilihan terbaik. Dan risalah-risalah ini benar melampaui batas,
mencakup pengajaran Al-Haq dan jalan karena dia melihat dirinya
yang lurus yang terbentang bagi mereka jika serba cukup. Sesungguhnya
mengikutinya dan mendapatkan petunjuk hanya kepada Tuhanmulah
kepada karunia Allah berupa kebahagiaan di
dunia dan akhirat. ? kembali (mu).
Amr bin Hisyām (570 – 624 M) bergelar
Abu al-Hakaam (Bapak Kebijaksanaan)
dan Ibnu Al-Hazaliyah di Masa
Jahiliyyah, salah seorang pemimpin
penduduk Mekkah berasal dari Bani
Makhzum yang memegang jabatan
sebagai Al-Qubbah bertanggung jawab
terhadap urusan kamp pasukan serta
kuda perang. Para tetua Quraisy sering
meminta bantuannya dalam menghadapi
masalah. Bahkan pada usia 30 tahun, ia
diundang untuk menghadiri majelis
khusus yang diadakan di Dār'un Nadwa,
kediaman milik Hakim bin Hazm.
Padahal, usia minimal yang diperlukan
jika ingin hadir pada pertemuan tersebut
adalah 40 tahun.
Setelah datang Islam, ia digelari Abu
Jahal (artinya Bapak Kebodohan) yang
terkenal akan permusuhannya terhadap
kaum Muslim. Semua itu tak lepas dari rasa
persaingan dan permusuhan yang digelorakan
klan Bani Makhzum dan silsilah diatasnya
kepada silsilah dari bani Hasyim seperti bani
Abdu Manaf dan bani Qushay. Abu Jahal
berasal dari Bani Makhzum, sedangkan Nabi
Muhammad berasal dari Bani Hasyim.

Abu Jahal mengungkapkan itu semua kepada


Mughirah bin Syu'bah. Satu waktu, Mughirah
bin Syu'bah dan Abu Jahal tengah menyusui
jalan kota Makkah. Keduanya kemudian
bertemu Rasulullah. Kala itu Rasulullah pun
menyeru pada Abu Jahal untuk mengikuti jalan
Allah dan rasul-Nya. Namun, Abu Jahal
menolak seruan dan ajakan Nabi itu.
Dan setelah Rasulullah pergi meninggalkan keduanya, Abu Jahal pun
menyampaikan pada Mughirah bin Syu'bah tentang mengapa dirinya tak bisa
beriman kepada Rasulullah.
"Demi Tuhan sebenarnya aku tahu apa yang dia
(Rasulullah) katakan memang benar. Tapi ada
satu hal yang menghalangiku dari mengimani
dia, yaitu bahwa dulu Bani Qushay berkata
'kami memiliki hak Al Hijabah'. Kami pun
menyahut, 'baik!' Lalu mereka berkata lagi:
'kami memiliki hak-hak As Siqayah'. Kami pun
menyahut 'baik!'. Lalu mereka berkata lagi:
'kami memiliki hak An Nadwah. Kami pun
menyahut 'baik!'. Lalu mereka berkata lagi:
'Kami memiliki hak Al Liwa'. Kami pun menyahut
'baik!'. Lalu mereka memberi makanan
sebagaimana kami juga memberi makanan.
Sampai ketika bahu kami bersentuhan
(kedudukan yang setara), mereka berkata: 'Dari
nabi ada seorang nabi'. Kalau itu maka demi
Tuhan aku tidak akan menyetujuinya," (Sumber:
Cahaya Abadi Muhammad SAW Kebanggaan
Umat Manusia).
“Pelajaran dua dari tiga pelajaran ini menunjukan sebab yang mendorong
diutusnya para rasul terutama Rasul terakhir Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallama bin Abdullah, untuk menyampaikan risalah-risalah dari Rabb mereka
untuk hambanya. Dan sebab ini terdiri dari dua unsur:
“’Unsur yang pertama”
“Sesungguhnya manusia dalam kehidupan dunia ini, tatkala ia merasa serba cukup dengan
sebab-sebab yang Allah berikan kepadanya, maka ia telah melampaui batas.
Kesombongannya telah menutupi bashirahnya, maka ia mengingkari Rabbnya, dan
membangkang pada kebenaran, Ia pun sesat dan durhaka. Maka kesesatan dan
kedurhakaannya ini telah ia hiasi dengan perkataan indah yang menipu dan klaim-klaim
yang dusta dan batil. Ia pun menundukan kekuatan dan elemen-elemen dalam dirinya
untuk melampiaskan hawa nafsunya yang lalim, zhalim dan durhaka.

“’Unsur yang kedua”


“Sesungguhnya manusia tidak bisa dengan mengandalkan dirinya sendiri
memahami kehidupan lain (akhirat) dan apa apa yang terjadi di dalamnya baik
berupa hari perhitungan, keputusan/ketetapan Allah untuk memisahkan
hambanya, dan pelaksanaan pembalasan, di negeri kenikmatan surga, atau di
negeri siksa api neraka. Kalaulah sampai akalnya memahami keberadaan hari
pembalasan, tapi ia tidak akan bisa menggambarkan detail-detailnya dan
bagaimana itu terjadi. Maka ia membutuhkan risalah dari Rabb pencipta yang
menjelaskan kepadanya tentang negeri akhirat dan apa yang telah Allah siapkan di
dalamnya sebagai balasan.
“Sekali-kali tidak!
Sesungguhnya manusia benar-
benar melampaui batas,

“Pelajaran pertama dari surat ini mengandung takliif (perintah) kepada manusia
untuk menerima risalah rabbaniyyah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan membaca kitabnya (risalah) perlahan-lahan
setelah dituliskannya dengan pena, dengan jalan yang ilmiyyah.

Orang-orang yang menolak menyambut risalah dan menolak untuk beriman


kepada Rasul dan mengikutinya dengan penolakan yang intinya sebagai berikut:

“Apa perlunya manusia kepada diturunkannya Risalah Rabbaniyyah? Manusia


dapat sampai pada pengetahuan yang dapat memperbaiki sendi-sendi kehidupan
mereka sendiri, dan mengatur kehidupan mereka sendiri, dan menjelaskan prilaku
prilaku yang lurus/baik, melalui akal-akal mereka, dan eksperimen-eksperimen
mereka”.
‫ن ََََََّّّيَ س‬
ََْ َ َ ‫لاَّ نِ ا َّ ن‬
َ ْ‫َّلِإ س‬ َّ ‫َك‬
“Maka pelajaran kedua dari surat ini bantahan dan sanggahan terhadap penolakan
ini. Maka dimulailah dengan kata bantahan kepada para pembangkang, dan ia
adalah perkataan (kallaa) Sekali-kali tidak. Setelah itu pelajaran ini menunjukan
kebutuhan manusia yang sangat mendesak kepada diturunkannya Risalah
Rabbaniyyah yang mengajak di dalamnya kepada suluk (prilaku) jalan Allah yang
jelas di dalamnya. Setelah seruan mereka untuk beriman kepada kebenaran-
kebenaran yang terkandung dalam rukun iman…………

‫لا‬
َّ ‫َك‬
Ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 33 kali,
dan sebagai ciri dari surat makiyyah, salah satu
maknanya menafikan kandungan pembicaraan
sebelumnya (tidak!, “bukan demikian”, “sekali-
kali tidak”
Nash ayat ini berkaitan dengan alasan sebagai hikmah dari diturunkannya Risalah
Rabbaaniyyah, kepada Rasul dari manusia, dan seruan kepada manusia untuk
mengikutinya, dengan kepemimpinan Rasul. Yaitu kalaulah tidak diturunkan risalah
yang memuat pengajaran kepada manusia tentang Al-haq dan al-batil, kebaikan
dan keburukan. Dan mengajarkan kepada jalan yang lurus, maka orang-orang yang
merasa berkecukupan akan melampaui batas, tidak ada penghalang yang
menghalanginya dari kesewenang-wenangannya. Kesewenang-wenangan yang
beraneka macam seperti saling membunuh, menumpahkan darah, berbuat
kerusakan di muka bumi, kezhaliman, kelaliman dan permusuhan………..

َ
ََْ
Dalam berbagai bentuknya ditemukan 39 kali dalam Al-Qur’an. Makna asalnya
“meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau
membahayakan”/melampaui batas. Dalam Al-Qur’an maknanya adalah segala
sikap melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran,
kesewenang-wenangan atau kekejaman terhadap manusia
“karena dia melihat dirinya
serba cukup”.

Ayat ini menunjukan tabi’at manusia bahwa ada pada dirinya sifat melampaui
batas jika ia melihat/merasa bahwa dirinya serba cukup. Dan ini menjadi tabiat
manusia umumnya.

Rasa cukup manusia terkadang dengan materi maupun immateri, hartanya, atau
dengan jabatan dan kekuasaan, atau dengan kesehatan, atau dengan banyaknya
pengikut atau kolega, atau karena ia memiliki segala sesuatu yang diperlukannya,
sehingga merasa tidak perlu lagi kepada selain dirinya.

Merasa diri serba cukup dan tidak memerlukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah
perasaan yang rusak, dan suatu prasangka yang dusta yang tidak boleh sama sekali
ada pada hati orang yang beriman. Manusia membutuhkan Allah dalam setiap
perkara dan urusannya, karena Allahlah saja yang telah menciptakannya dan
menyiapkan segala sesuatu yang diperlukannya, termasuk dengan segala sunah-
Nya dalam alam semesta yang diciptakan-Nya
“Ayat enam dan tujuh ini mengungkapkan
salah satu hukum sejarah dan
kemasyarakatan, yakni tentang pengaruh
hubungan manusia dengan alam terhadap
hubungannya dengan sesama manusia.
Bahwa sejalan dengan berkembannya
kemampuan manusia untuk mengelola
alam dan penguasaannya terhadap alat
produksi, bertambah dan berkembang pula
potensinya dalam bentuk keinginan dan
godaan untuk berlaku sewenang-wenang
atau mengekspoitasi sesamanya.

Muhammad Baqir ash-Shadr dalam at-


Tafsiir al- Maudhu’iy dengan tema As-Sunan
At-Taariikhiyyah fi al-Qur’aan al-kariim)
“Sesungguhnya hanya
kepada Tuhanmulah
kembali (mu)”.

Penciptaan manusia adalah untuk diuji dengan kehidupan dunia, maka tatkala ia
diuji tentunya ada masa dimana ia harus di hisab dan ditetapkan keputusan
baginya akan segala perbuatannya di dunia. Dan dilaksanakan kepadanya balasan
atas perbuatannya itu.

Gambaran berkaitan dengan kehidupan akhirat tidak akan didapatkan dalam


kondisi kehidupan dunia. Aqal manusia tidak akan dapat menjangkaunya. Maka
harus ada Risalah Rabbaaniyyah yang menjelaskan rambu-rambu besar untuk
menjelaskan kehidupan akhirat ini…

َ َُ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ُّ ُ ٰ ََّ ُ َُّ َّ َ َ ُ َ ْ ُ ً ْ َ ُ َّ َ
‫اَّللۖ ثم توفى كل نف ٍس ما كسبت وهم لا يظلمون‬ ِ ‫ى‬ ‫ل‬‫إ‬ ‫يه‬‫ف‬
ِ ِ ِ ‫ون‬‫واتقوا يوما ترجع‬

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak
dianiaya (dirugikan)”. (QS Al-Baqarah: 281)
9. Tahukah kamu tentang orang yang
melarang
10. seorang hamba ketika dia melaksanakan
shalat?
11. Bagaimana pendapatmu kalau terbukti
dia berada di dalam kebenaran
12. atau dia menyuruh bertakwa (kepada
Allah)?
13. Bagaimana pendapatmu kalau dia
mendustakan (kebenaran) dan berpaling
(dari keimanan)?
14. Tidakkah dia mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah melihat (segala
perbuatannya)?

15. Sekali-kali tidak! Sungguh, jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik
ubun-ubunnya (ke dalam neraka),
16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan (kebenaran) dan durhaka.
17. Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya).
18. Kelak Kami akan memanggil (Malaikat) Zabaniah (penyiksa orang-orang yang berdosa).
19. Sekali-kali tidak! Janganlah patuh kepadanya, (tetapi) sujud dan mendekatlah (kepada
Allah).
Setelah selesai membahas pelajaran kedua, dan berkaitan dengan unsur-
unsurnya, ayat-ayat berikutnya menjelaskan berbagai Keadaan manusia dalam
menjawab seruan untuk menjadikan Risalah Rabbaaniyyah sebagai pedoman,
dengan dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallama, maka manusia
terbagi ke dalam empat golongan:

Golongan pertama: Menerima seruan ini bagi dirinya dan mengikutinya, dan
memikul kesulitan dan beban dakwah dengan mengajak
manusia kepada Risalah Rabbaaniyyah dan mengikutinya
Golongan kedua : Menerima seruan ini bagi dirinya, tetapi tidak memberikan
perhatian untuk mendakwahkannya
Golongan ketiga : Mendustakan Risalah ini untuk dirinya dan mendustakan
Rasul yang menyampaikan Risalah. Berpaling darinya dan
menolak untuk mengikutinya, tetapi di saat yang sama ia
tidak memeranginya (Pasif), tidak juga mengajak manusia
untuk menolaknya.
Golongan keempat:Mendustakan Risalah dan mensiarkan permusuhanannya,
dan menolak untuk mengikutinya, menyatakan peperangan
dengannya dan mencegah manusia untuk mengikutinya.
“Bagaimana pendapatmu
tentang orang yang melarang,
seorang hamba ketika dia
mengerjakan salat”.

Tidakkah kamu memperhatikan wahai orang yang mau berfikir, segolongan


manusia ini, yang memiliki prilaku yang mengherankan bagi orang yang
ber’aqal dan berfikir (Ulul albaab), dia mendustakan al-Haq (kebenaran) dan
menolak seruan (dakwah) Risalah Allah, kemudian melarang hamba dari
beribadah kepada Allah dengan berdiri di hadapan Rabbnya beribadah shalat
kepada-Nya…
“Bagaimana pendapatmu
tentang orang yang melarang,
seorang hamba ketika dia
mengerjakan salat”.

Inilah segolongan manusia yang melampaui batas dan keras dalam


permusuhannya kepada Nabi dan kaum Muslimin, yang mengintervensi serta
mengganggu aqidah manusia dan peribadahannya, yang mencegah orang-
orang yang menunaikan shalat sesuai dengan keyakinannya, mereka menindas
orang-orang yang beriman. Dan melancarkan serangan-serangan yang
menyakiti orang-orang yang beriman karena aqidah dan ibadahnya.
Salah satu perkara yang pertama
diturunkan pada awal mula dakwah
berkaitan dengan hukum, adalah perintah
shalat. Ibnu Hajar berkata: “Sebelum
peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah dan
para sahabatnya telah terbiasa
melaksanakan shalat. Dan di antara mereka
berpendapat bahwa Rasulullah dan
shahabat waktu itu melaksanakan shalat
pada dua waktu; sebelum terbit matahari
dan sebelum terbenamnya.
Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa Nabi dan
para sahabatnya Ketika tiba waktu shalat,
mereka segera bergegas ke lereng bukit.
Mereka shalat secara rahasia agar tidak
diketahui oleh kaumnya . Abu Thalib pernah
melihat Nabi dan Ali mengerjakan shalat,
kemudian Abu Thalib mengajak keduanya
berbincang-bincang tentang apa yang
keduanya lakukan. Ketika Abu Thalib
mengerti hakikat shalat, dia
memerintahkan keduanya untuk tetap
mengerjakannya.
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri
menyebutkan itulah ibadah yang
diperintahkan kepada kaum Muslimin di
tahapan pertama periode Makkah. Pada
tahapan ini, tidak diketahui adanya ibadah,
perintah, maupun larangan lain, selain yang
berkaitan dengan perintah shalat. Karena
pada tahapan ini, wahyu yang turun lebih
menitik beratkan kepada perkara
penguatan sisi-sisi tauhid, ajakan untuk
mensucikan jiwa, mengajak mereka untuk
berakhlak mulia, menggambarkan surga
dan neraka hingga seolah-olah mereka
melihatnya secara langsung, menasihati
mereka dengan nasihat yang menyentuh
hingga membuat hati menjadi lapang dan
mmenentramkan jiw
Bagaimana pendapatmu jika
orang yang dilarang itu berada di
atas kebenaran, atau dia
menyuruh bertakwa (kepada
Allah)?

Apakah kamu tidak memperhatikan wahai yang mau berfikir golongan yang
melampaui batas ini yang tindakannya tidak bisa dibenarkan dengan Aqal,
tatkala mereka melarang dan menindas orang-orang yang mendapat petunjuk
untuk dirinya yang beriman kepada al-Haq (kebenaran) dan beribadah kepada
Allah di atas bashirah mereka, dan melarang serta menindas orang orang yang
mendapat petunjuk untuk dirinya, serta ia menyeru serta mengajak manusia
kepada perilaku di jalan petunjuk (suluk sabiil-Hudaa, tanpa paksaan dan
kekerasan berkata kepada mereka takutlah kepada adzab Allah dan hukuman-
Nya dengan beriman kepada al-Haq yang dating dalam Risalah Allah bagi
hamba-hamba-Nya, dengan menta’ati-Nya baik dalam perintah-Nya dan
meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.
Bagaimana pendapatmu jika
orang yang dilarang itu berada di
atas kebenaran, atau dia
menyuruh bertakwa (kepada
Allah)?

Dengan mentadabburi dua ayat ini, kita dapat melihat adanya dua golongan:

Golongan pertama:Menerima seruan ini bagi dirinya, tetapi tidak memberikan


perhatian untuk mendakwahkannyaMenerima
Golongan kedua : seruan ini bagi dirinya dan mengikutinya, dan memikul
kesulitan dan beban dakwah dengan mengajak manusia
kepada Risalah Rabbaaniyyah dan mengikutinya
Bagaimana pendapatmu
jika orang yang melarang
itu mendustakan dan
berpaling?

Apakah engkau tidak memikirkan dan merenungkan wahai orang-orang yang


mau berfikir, golongan manusia lainnya, golongan yang mendustakan Risalah
Rabbaaniyyah dan berpaling darinya, tanpa mereka melakukan gangguan,
kesewenang-wenangan dan pelarangan kepada untuk beriman kepada Allah
dan memeluk Islam. Golongan ini pun adalah golongan yang mengherankan
bagi orang-orang yang mau berfikir (Ulul Albaab). Karena mereka telah
membiarkan dirinya dalam hukuman Allah, dan penderitaan yang abadi.
Setelah selesai mengungkapkan golongan-golongan tersebut,
hikmah tarbawiyyah memerlukan sindiran sebagai peringatan
untuk orang-orang yang mendustakan dan berpaling dari
hukuman Allah dan siksaan-Nya, dengan gaya Bahasa yang
membekas dengan memberitahukannya bahwa sesungguhnya
Allah melihatnya, barang siapa yang mengetahui bahwa Allah
Rabbnya melihatnya, maka orang yang memiliki bashirah sudah
pasti akan takut pada hukuman-Nya dengan pendustaannya
kepada risalah-Nya, dan berpalingnya ia dari utusan Rabbnya.
Pemilik bashirah mengetahui Allah Rabbnya Maha Kuasa dan al-
Hakiim, pasti menghukumi orang yang ingkar, kafi dan
mendustakan risalah. Dan pasti memberikan pahala kepada
orang-orang yang beriman dan membenarkan risalah, mendengar
dan ta’at kepada perintah-perintahnya dan nenjauhi larangannya
Tidakkah dia mengetahui
bahwa sesungguhnya
Allah melihat segala
perbuatannya?

Istifhaam (kata tanya ) di dalamnya bermakna (al-ta’jiib) mengherankan dari


prilaku para pendusta dan orang-orang yang berpaling dari risalah, padahal dia
mengetahui bahwa Allah Rabbnya melihatnya, Ar-Rabb yang melihat
hambanya yang mendustakan rasul-Nya dan mendustakan apa-apa yang
dibawa rasul-Nya dari Rabbnya yang pasti akan membalasinya atas
pendustaannya tersebut
Sekali-kali tidak! Sungguh,
jika dia tidak berhenti
(berbuat demikian),
niscaya Kami tarik ubun-
ubunnya (ke dalam
neraka),

Kalla alat penolakan dan bantahan yang dialamatkan kepada para al-thaaghiy
(orang-orang yang melampaui batas) dan pendurhaka yang menyesatkan yang
telah melarang hamba-hamba Allah dari keimanan dan menegakan shalat, dan
berusaha menyakiti mereka dan mencegah mereka dari beribadah kepada
Rabbnya dengan paksaan dan menggunakan kekuatan materi atau maknawi.
Maka Allah mengancam mereka para al-thaaghiy dan al-baaghiy jika mereka
tidak berhenti dari perbuatan-perbuatan dosa dan dusta mereka maka Kami
akan membalasinya dengan menarik ubun-ubunnya ke dalam neraka.
(yaitu) ubun-ubun orang
yang mendustakan lagi
durhaka.

Dalam ayat ini disifati uban-ubun pendurha dan pendusta dengan kaadzibah
(pendusta) dan durhaka, maksudnya di sini bahwa mengidentifikasi apa-apa
yang ada dalam otak pendurhaka adalah dusta dan durhaka, ini merupakan
majaz yang menyebutkan yang zhahir dengan maksud yang bathin. Dan tatkala
otak/ubun-ubun di depan kepala sebagai tempat di mulyakannya manusia dan
secara bathin ia adalah alat untuk memahami dan berfikir, sumber dari
keinginan dan tempat yang paling bertanggung jawab sebagai pusat berfikir
dan berkeinginan.
«Maka biarlah dia
memanggil golongannya
(untuk menolongnya), kelak
Kami akan memanggil
Malaikat Zabaniyah»,

‘Ayat ini turun berkaitan dengan perkataan Abu Jahal kepada Nabi Muhamma
SAW tatkala sedang menunaikan shalat:“Bukankah engkau tau bahwa di sini
tidak ada orang yang lebih banyak pengikutnya daripada aku ?”
Maka nash ayat ini menantangnya untuk memanggil setiap golongan yang ia
miliki untuk menolongnya dalam pengingkaran dan permusuhan mereka
kepada Rasulullah SAW. Maka Allah akan menolong dan menjaga Rasulullah
SAW dari mereka, dengan mengirim kepada mereka malaikat Zabaniyah.
Mereka adalah malaikat yang membinasakan dan mengadzab orang-orang
yang mendustakan al-Haq dan penolong-penolongnya dengan adzab yang
sangat pedih.
sekali-kali jangan,
janganlah kamu patuh
kepadanya; sujudlah dan
dekatkanlah (dirimu
kepada Tuhan).

Kalla , Akhir dari nash ini Kembali mengulang pengingkaran dan penolakan
kepada golongan althaaghiy, durhaka, sesat dan menyesatkan.
Kemudian mengalihkan pembicaraan kepada Rasulullah SAW “janganlah kamu
patuh kepadanya; sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).
Khitab ini diperuntukan bagi seluruh kaum mukminin yang beribadah kepada
Rabbnya, dan menghadapi orang-orang yang melarangnya dari keimanan dan
‘ibadah mereka dan melakukan gangguan kepada orang-orang yang beriman.
“Janganlah kamu menta’ati orang-orang yang melarangmu dari keimananmu
kepada al-Haq, dan shalatmu kepada Rabbmu, dan yang memaksamu untuk
menta’ati mereka. Bersujudlah kepada Allah dan dekatkanlah dirimu kepada-
Nya dengan sujudmu.

Anda mungkin juga menyukai