HALUSINASI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa
Disusun oleh :
Mahmudin Latief
19025
TK 2A
2020/2021
I. Masalah Utama
Halusinasi.
A. Definisi
1. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus
yang sebetul- betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada
panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya
mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).
3. Tingkatan
Menurut Damayanti, M., & Iskandar.(2012), Tingkatan halusinasi ada 4, yaitu :
1. Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang. Pada
tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan. Karakteristik :
Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah
dalam diri pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba
menenangkan pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui
bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa
diatasi (non psikotik). Perilaku yang teramati :
Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
Respon verbal yang lambat
Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.
2. Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat berat
dan halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien. Karakteristik :
Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan
menakutkan, pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan
kendali, pasien berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang
dipersepsikan, pasien merasa malu karena pengalaman sensorinya dan
menarik diri dari orang lain (nonpsikotik). Perilaku yang teramati :
Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan timbulnya
ansietas seperti peningkatan nadi, tekanan darah dan pernafasan
Kemampuan kosentrasi menyempit
Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara halusinasi dan realita.
3. Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien, pasien
berada pada tingkat ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi menguasai
pasien. Karakteristik :
Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk melawan
pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi
halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian
jika pengalaman tersebut berakhir (Psikotik) Perilaku yang teramati :
Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya
dari pada menolak
Kesulitan berhubungan dengan orang lain
Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari
ansietas berat seperti : berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti
petunjuk.
4. Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat ansietas
berada pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan
saling terkait dengan delusi. Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah
halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari
apabila tidak diintervensi (psikotik). Perilaku yang teramati :
Perilaku menyerang - teror seperti panik
Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
Amuk, agitasi dan menarik diri
Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
4. Klasifikasi
Menurut farida (2010), Halusinasi dibedakan menjadi 7, yaitu :
1) Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara
bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai
sebuah kata atau kalimat yang bermakna, biasanya suara tersebut ditunjukan
pada penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
2) Halusinasi Pengelihatan (Visual, Optic)
Stimulus visual dalam betuk kilatan atau cahaya, gambaran atau
bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau
menakutkan.
3) Halusinasi Penghidung (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan
dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau
dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu
kombinasi moral.
4) Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi
penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu seperti darah, urin atau
feses.
5) Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.
6) Halusinasi Cenesthetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernaan makan atau pembentukan urine.
7) Halusinasi kinestetika
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau
anggota badannya bergerak-gerak. Misalnya “phantom Phenomenom”.
B. Rentang Respon
Bagan Rentang Respon Halusinasi
2. Respon Psikososial
a. Proses fikir terganggu.
b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri yaitu percoban untuk menghindar interaksi dengan orang lain.
C. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh baik
dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosisal kultural,
biokimia, psikologis, dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres.
Faktor Predisposisi klien halusinasi menurut (Damaiyanti dkk, 2012) :
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri.
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
3. Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogen neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
schizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit
ini.
D. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi
klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di
lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya
halusinasi.
Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang
tubuh mengeluarkan zat halusinogenik (Fitria 2012). Penyebab Halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu :
1. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dakam dunia nyata.
5. Dimensi Spiritual
Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas
tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual
untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas
tujuan hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya
menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan
takdirnya memburuk. (Damayanti dkk, 2012).
E. Mekanisme Koping
Menurut Prabowo (2014) ada 3 mekanisme koping pada pasien halusinasi yaitu :
1. Regresi : Menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2. Proyeksi : Menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
3. Menarik Diri : Sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
Effect
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Core Problem
Isolasi Sosial
Causa
1. Data Objektif
Ialah data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung pada klien.
Data ini didapatkan dari hasil pemeriksaan langsung oleh perawat.
2. Data Subjektif
Ialah data yang diperoleh dari secara langsung yang disampaikan
secara lisan kepada klien atau keluatga. Data ini diperoleh melalui wawancara
perawat kepada klien dan keluarga. Data yang langsung didapat oleh perawat
disebut sebagai data primer, dan data yang diambil dari hasil catatan tim
kesehatan lain sebagai data sekunder.
B. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alcohol dan NAPZA.
2. EEG (Elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk
melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
3. Pemindaian CT Scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan
adanya cedera atau tumor di otak.
C. Analisa Data
DO :
1. Kontak mata kurang saat
berbicara.
Gangguan
2. Klien saat diajak berbicara,
Persepsi Sensori :
berbicara lambat dengan
Halusinasi.
nada lemah dan terkadang
suka berbicara ngelantur.
3. Bicara atau tertawa sendiri
Marah-marah tanpa sebab
Menyedengkan telinga ke
arah tertentu Menutup
telinga.
4. Menunjuk-nunjuk ke arah
tertentu Ketakutan dengan
pada sesuatu yang tidak
jelas.
5. Menghidu seperti sedang
membaui bau-bauan tertentu.
Menutup hidung.
6. Sering meludah Muntah.
7. Menggaruk-garuk
permukaan kulit.
DO : Perilaku
1. Klien terkadang bicara kekerasan.
ngelantur.
2. Klien berbicara dengan suara
cukup keras dan jelas.
Risiko menciderai
diri sendiri, orang
lain dan
lingkungan.
DO :
1. Sedih, efek tumpul.
2. Menjadi tidak komunikatif,
menarik diri, kosong kontak
mata kurang.
3. Asik dengan pikiran-pikiran
sendiri, menolak tindakan
yang bermakna.
4. Mengekspresikan perasaan
kesedihan.
5. Tidak kooperatif.
6. Disfungsi interaktif dengan Isolasi sosial :
teman sebaya, keluarga dan Menarik diri.
orang lain.
b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Ekspresi wajah bersahabat
Menunjukkan rasa senang
Ada kontak mata atau mau jabat tangan
Mau menyebutkan nama
Mau menyebut dan menjawab salam
Mau duduk berdampingan dengan perawat
Mau mengutarakan masalah yang dihadapan.
2) KH 2 :
Pasien dapat menyebutkan isi halusinasi
Pasien dapat menyebutkan waktu halusinasi
Pasien dapat menyebutkan frekuensi halusinasi
Pasien dapat menyebutkan situasi dan kondisi yang menimbulkan
halusinasi.
3) KH 3 :
Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya
Klien mampu menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi
Klien dapat memilih dan mendemonstrasi kan cara mengatasi halusinasi
Klien dapat melaksanakan cara yang di pilih untuk mengendalikan
halusinasinya.
Pasien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
4) KH 4 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan kegiatan untuk
mengendalikan halusinasi.
5) KH 5 :
Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping
obat
Klien dapat mendemonstrasi kan penggunaa obat secara benar
Klien dapat memahami akibat berhenti minum obat tampa konsultasi
dengan dokter.
c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapetik.
Sapa klien dengan ramah baik secara verbal maupun non verbal.
Perkenalkan diri dengan sopan.
Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
Jelaskan tujuan pertemuan.
Jujur dan menepati janji.
Tunjukkan sikap empati dan terima klien apa adanya.
Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
2) TK 2 :
Adakah kontak sering dan singkat secara bertahap.
Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal maupun
non verbal).
Bantu klien mengenali halusinasinya :
Jika menemukan yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada
suara yang didengar atau melihat bayangan tanpa wujud atau
mersakan sesuatu yang tidak ada.
Jika pasien menjawab ada, lanjutkan : apa yang dikatakan/ yang di
alaminya.
Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun
peerawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat
tanpa menuduh atau menghakimi).
Katakan bahwa ada pasien lain yang mengalami seperti klien.
Jika pasien tidak sedang halusinasi, klarifikasi tentang adanya
pengalaman halusinasi, diskusikan dengan pasien: isi, waktu dan
frekuensi, halusinasi (pagi, siang, sore , malam atau sering, jarang)
situasi dan kondisi yang dapat memicu mencul tidaknya halusinasi.
Diskusikan dengan pasien tentang apa yang dirasakan saat terjadi
halusinasi.
Diskusikan tentang dampak yang akan di alami jiak pasien menikmati
halusinasinya.
3) TK 3 :
Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi.
Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien :
jika cara tersebut adaptif beri pujian.
Jika mal adaptif diskusikan dengan klien kerugian cara tersebut.
Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol halusinasi :
Menghardik halusinasi katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak
nyata. “saya saya tidak mau dengar kamu” (pada saat halusinasi
terjadi).
Menemuai orang lain (perawat/teman/an ggota keluarga) untuk
bercakapcakap atau mengatakan halusinasinya terdengar.
Membuat jadwal kegiatan seharihari yang sudah di susun agar
halusinasi tidak muncul.
Memberikan pendidikan kesehatan tentang menggunaan obat untuk
mengendalikan halusinasinya.
Bantu klien memilih cara yang sudah di anjurkan dan melatihuntuk
mencobanya.
Pantau pelaksanaan tindakan yang telah di pilih dan dilatih, jika berhasil
beri pujian.
Libatkan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
yaitu :
Sesi I pasien mengenal halusinasi.
Sesi II pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik.
Sesi III pasien mengontrol halusinasi dengan becakap-cakap.
Sesi IV pasien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan
aktivitas.
Sesi V pasien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum
obat.
4) TK 4 :
Anjurkan klien untuk member tahu keluarga jka mengalami halusinasi.
Diskusikan denga keluarga (pada saat berkunjung/pada saat
berkunjungan rumah) :
Gejala halusinasi yang dialami klien.
Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus
halusinasi.
Cara merawat anggota keluarga untuk memutus halusinasi dirumah,
beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian
bersama.
Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat
bantuan: halusinasi terkontrol dan resiko mencedrai orang lain.
5) TK 5 :
Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi
manfaat obat.
Pantau saat pasien minum obat.
Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat.
Beri reinforcemen jika pasien menggunakan obat dengan benar.
Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan
dokter.
Anjurkan pasien berkonsultasi dengan tim kesahatan jika terjadi hal-
hal yang tidak di inginkan tentang efek samping obat yang dirasakan.
d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan
interaksi selanjutnya.
Untuk menciptakan tras kepada pasien.
Supaya pasien kenal dengan perawat.
Untuk mengetahui indentitas dan nama pangilan yang di sukai pasien.
Supaya pasien tahu tujuan kita melakukan pertemuan.
Supaya pasien selau mempercai setian apa yang perawat katakana.
Supaya pasien menganggap perawat juga merasakan apa yang pasien
rasakan.
Supaya pasien merasa di perhatikan dan di hargai.
2) R 2 :
Supaya hubungan tetap terjalin dan pasien tidak lupa pada perawat.
Untuk mengetahui halusinasi pada pasien.
Supaya klien tahu isi dari halusinasi dan dampak yang akan terjadi jika
pasien mengiti isi halusinasinya.
Supaya perawat mengetahui pengalam psien tentang halusinasi, isi,
waktu dan frekuensi halusinasi.
Supaya perawat tahu apa yang di lakukan pasien saat halusinasi terjadi.
Supaya pasien tahu tentang dampak dari halusinasi jika mengikutinya.
3) R 3 :
Merupakan upaya untuk memutus siklus.
Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
Memberi alternatif bagi klien untuk mengetahui cara mengontrol
halusinasi yaitu dengan menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain,
melakukan kegiatan, dan dengan cara patuh minum obat.
Supaya pasien bisa melakukan ketika perawat tidak ada di sampingnya
saat halusinasi datang.
Motivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih
salah satu cara untuk mengontrol halusinasi.
Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interpretasi realita
klien.
4) R 4 :
Untuk mendapatkan bantuan keluarga dalam mengontrol halusnasi.
Untuk meningkatkan pengetahuan tentang halusinasi.
5) R 5 :
Dengan mengetahui manfaat dan dosis kliendapat patuh untuk minum
obat.
Untuk memastikan pasien minum obat atau tidak.
Untuk membiasakan pasien mandiri minum obat.
Reinforcemen positif dapat meningkatkan kemauan pasien untuk
minum obat.
Pengobatan dapat bejalan sesuai rencana.
Dengan mengetahui efek samping obat klien tahu apa yang harus
dilakukan setelah minum obat.
2. Risiko Perilaku Kekerasan b.d diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal.
a. Tujuan :
TUM : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perilaku kekerasan tidak
terjadi.
TUK 1 : Mengalihkan kemarahan dengan pukul barang-barang lunak :
Bantal.
TUK 2 : Membimbing nafas dalam.
TUK 3 : Memilihkan aktifitas yang sesuai dengan kemampuan.
b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Mengalihkan kemarahan dengan memukul barang-barang lunak.
2) KH 2 :
Melakukan nafas dalam.
3) KH 3 :
Melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuannya.
4) KH 4 :
Tidak mencederai diri sendiri, keluarga, orang lain.
c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Diskusikan masalah yang dirasakan dengan keluarga jelaskan pengertian,
tanda dan gejala, dan penyebab perilaku kekerasan.
2) TK 2 :
Latih Klien dan keluarga cara mengatasi rasa marah- marah : latihan nafas
dalam, pukul bantal.
3) TK 3 :
Bimbing keluarga merawat marah-marah : demontrasi latihan nafas dalam,
pukul bantal .
4) TK 4 :
Diskusikan dengan keluarga untuk memilihkan kegiatan yang sesuai dengan
kemampuan klien.
5) TK 5 :
Sarankan keluarga untuk berbicara yang halus dengan Klien jangan dengan
kata-kata kasar.
d. Rasional :
1) R 1 :
Supaya keluarga paham dengan tanda & gejala yang dialami klien.
2) R 2 :
Supaya klien menjadi tenang dan rileks.
3) R 3 :
Supaya keluarga dapat mengatasi klien jika klien marah-marah.
4) R 4 :
Untuk mengalihkan klien dari rasa marah.
5) R 5 :
Supaya klien tidak terpancing emosi.
b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Ekspresi wajah bersahabat.
2) KH 2 :
Tidak acuh.
3) KH 3 :
Ada kontak mata.
4) KH 4 :
Mau berjabat tangan.
5) KH 5 :
Mau menyebutkan nama.
6) KH 6 :
Mau bercakap-cakap.
7) KH 7 :
Mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
8) KH 8 :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimilikinya.
9) KH 9 :
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
10) KH 10 :
Klien dapat merencanakan kegiatan harian.
11) KH 11 :
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya.
12) KH 12 :
Klien memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal.
Perkenalkan diri dengan sopan.
Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
Jelaskan tujuan pertemuan.
Jujur dan menepati janji.
Selalu kontak mata selama interaksi.
Tunjukkan sikap empati dan penuh perhatian pada klien.
2) TK 2 :
Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Bantu klien mengekspresikan dan menggambarkan perasaan serta
pikirannya.
Tentukan bahwa kekuatan untuk berubah tergantung pada klien sendiri.
Identifikasi stressor yang relevan dan penilaian klien terhadap stressor
tersebut.
Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang efektif.
Utamakan memberi pujian terapeutik.
Tingkatkan keterlibatan keluarga dan kelompok untuk memberikan
dukungan untuk mempertahankan kemajuan dan perkembangan klien.
3) TK 3 :
Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang adaptif.
Utamakan memberi pujian terapeutik.
Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
4) TK 4 :
Dukung klien untuk merencanakan kegiatan harian.
Rencanakan kegiatan bersama klien, aktivitas yang dapat dilakukan
setiap hari sesuai kemampuan (kegiatan sendiri, kegiatan dengan
bantuan sebagian, kegiatan dengan bantuan total).
Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan.
Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
5) TK 5 :
Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
Beri pujian atas keberhasilan klien.
Beri dukungan yang sesuai dan positif untuk mempertahankan
kemajuan dan pertumbuhannya.
Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
6) TK 6 :
Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang cara merawat
klien dengan harga diri rendah.
Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah sesuai dengan
keadaan klien.
d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya akan menimbulkan kepercayaan klien pada
perawat sehingga akan memudahkan dalam pelaksanaan tindakan
selanjutnya.
2) R 2 :
Pujian akan meningkatkan harga diri klien.
3) R 3 :
Peningkatan kemampuan mendorong klien untuk mandiri.
4) R 4 :
Pelaksanaan kegiatan secara mandiri modal awal untuk meningkatkan harga
diri rendah.
5) R 5 :
Dengan aktivitas klien akan mengetahui kemampuannya.
6) R 6 :
Perhatian keluarga dan pengertian keluarga akan dapat membantu
meningkatkan harga diri klien.
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa
Disusun oleh :
Mahmudin Latief
19025
TK 2A
STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON
2020/2021
A. Definisi (3 definisi)
Pengertian harga diri rendah adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri
sendiri tanpa syarat walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, kegagalan, tetap
merasa penting dan berharga (Stuarti 2010)
Harga diri rendah merupakan rasa negatif pada diri sendiri termasuk kehilangan
percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada
harapan dan putus asa, (Pepnes 2011)
Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Tanda dan Gejala
- Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
- Rasa bersalah terhadap diri sendiri (menyalahkan diri sendiri)
- Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
- Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan) (Budi Anna Keliat 2011)
B. Jenis – jenis konsep diri
- Citra tubuh (body image)
Adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap
tubuhnya
- Ideal diri (self ideal)
Adalah persepsi diri tentang bagaimana iya harus berperilaku sesuai dengan
standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal individu
- Identitas diri (self identity)
- Peran diri (self role)
- Harga diri (self esteem)
C. Rentang respon
RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Mala
Adaptif
Kronis
Menurut Stuart dan Siludeen (2010) respon individu terhadap konsep dirinya
sepanjang tentang respon konsep diri yaitu adaptif dan mala adaptif.
- Autilitas diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang pengalaman
nyata yang sukses diterima
- Konsep diri positif adalah mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri.
- Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep diri
mala daptif
- Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososisal dan kepribadian dewasa yang harmonis
- Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan
dirinya dengan orang lain.
D. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadi harga diri rendah kronis adalah penolakan orang tua
yang tidak realitas, kegagalan berulang kali, kurangmempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realitas.
E. Faktor presipirasi
Faktor presipirasi terjadinya harga diri rendah biasannya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan, atau bentuk tubuh kegagalan yang
menurun
F. Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk peratahanan koping jangka pendek atau jangka
panjang serta penggunaan mekanisme peratahanan ego untuk melindungi diri
sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan, pertahanan jangka
pendek, mencangkup sebagai berikut:
- Aktivitas yang memberikan pelarian sementara dan kirsis identitas
(misalnya konser music, bekerja keras, menonton televisi secara obsesif)
- Aktivitas yang meberikan identitas penggantian sementara
(misalnya ikut serta dalam kelompok social, agama, politik, kelompok)
- Aktivitas sementara meningkatkan perasaan diri yang tidak menentu
(misalnya olahraga yang kompetitif, prestasi, akademik)
- Aktivitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk mebuat identitas diluar
dari hidup yang tidak bermakna saat ini
(misalnya penyalahgunaan norkoba)
G. Pohon masalah
Pohon masalah yang menurut Fajariyah (2012)
Isolasi sosial
HDR
No Data
J. DAFTAR PUSTAKA
ISOLASI SOSIAL
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa
Disusun oleh :
Mahmudin Latief
19025
TK 2A
2020/2021
I. Masalah Utama
isolasi sosial
A. Definisi
Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti,
2012). Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial
juga merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh
keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I
dalam Damaiyanti, 2012).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam
Direja, 2011). Isolasi sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi
dengan orang lain (Trimelia, 2011).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang yang
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin
hubungan yang baik antar sesama.
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, segera
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan
intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori:
halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan (Herman Ade,
2011).
Tingkatan
1. Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan
biologis dan psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan komunikasi
yang sangat sederhana dalam menyampaikan kebutuhannya, misalnya
menangis untuk semua kebutuhan. Konsisten ibu dan anak seperti
stimulus sentuhan, kontak mata, komunikasi yang hangat merupakan
aspek penting yang harus di bina sejak dini karena akan menghasilkan
rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Kegagalan pemenuhan
kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada orang lain kan
mengakibatkan rasa tidak percaya diri sendiri dan orang lain serta menarik
diri(Abdul Muhith,2015).
2. Prasekolah
Materson menamakan masa antara usia 18 bulan – 3 tahun yang
merupakan taraf masa pemisahan pribadi. Anak prasekolah mulai
memperluas hubungan sosialnya di luar lingkungan keluarga,khususnya
ibu (pengasuh). Anak menggunakan kemampuan berhubungan yang telah
di miliki untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga. Dalam
hal ini,anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga
khususnya pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku yang
adaptif. Hal ini merupakan dasar otonomi anak yang berguna untuk
mengembangkan kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan anak
dalam berhubungan dengan lingkungannya disertai respon keluarga yang
negatif akan mengakibatkan anak menjadi tidak mampu mengontrol diri
,tidak mandiri, ragu, menarik diri dari lingkungan, kurang percaya diri,
pesimis, takut perilakunya salah(Abdul Muhith,2015)
3. Anak anak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri dan
mulai mengenal lingkungan lebih luas,dimana anak mulai membina
hubungan dengan teman temanny. Pada usia ini anak mulai mengenal
kerjasama, kompetisi, dan kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang
tua karena pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten. Teman dengan
orang dewasa di luar keluarga (guru,orang tua teman) merupakan sumber
pendukung yang penting bagi anak. Kegagalan dalam membina hubungan
dengan teman di sekolah, kurangnya dukungan guru dan pembatasan serta
dukungan yang tidak konsisten dari orang tua mengakibatkan frustasi
terhadap kemampuannya , putus asa,merasa tidak mampu, dan menarik
diri dari lingkungan(Abdul muhith,2015)
4. Remaja
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan
orang tua dan teman sebaya. Individu belajar mengalami keputusan
dengan mempertahatikan saran dan pendapat orang lain seperti memilih
pekerjaan,memilih karier,dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan
individu menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain, dan putus asa
akan karier.
5. Dewasa Muda
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan
orang tua dan teman sebaya. Individu belajar mengambil keputusan
dengan mempertahatikan saran dan pendapat orang lain, seperti memilih
pekerjaan,memilih karier, dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan
individu dalam melanjutkan sekolah,pekerjaan,pernikahan mengakibatkan
individu menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain,dan putus asa
akan karier.
6. Dewasa Tengah
Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah tempat tinggal
dengan orang tua, khususnya individu telah menikah. Jika ia telah
menikah,maka peran menjadi orang tua dan mempunyai hubungan antar
orang dewasa merupakan situasi tempat menguji kemampuan hubungan
interdependen. Kegagalan pisah tempat tinggal dengan orang
tua,membina hubungan yang baru dan tidak mendapatkan dukungan dari
orang dewasa lain akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri
sendiri,produktivitas dan kreativitas berkurang, dan perhatian pada orang
lain berkurang.
7. Dewasa Lanjut
Pada masa ini, individu akan mengalami kehilangan,baik kehilangan
fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup (teman sebaya dan
pasangan), anggota keluarga(kematian orang tua). Individu tetap
memerlukan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Individu
yang mempunyai perkembangan yang baik dapat menerima kehilangan
yang terjadi dalam kehidupannya dan mengakui bahwa dukungan orang
lain dapat membantu dalam menghadapi kehilangannya. Kegagalan dalam
masa ini dapat menyebabkan individu merasa tidak berguna,tidak di
hargai, dan hal lain dapat membuat individu menarik diri dan rendah
diri(Abdul muhith,2015)
Klasifikasi
Terdapat banyak klasifikasi gangguan kejiwaan dengan tingkatan tertentu yang
memerlukan penanganan. Salah satunya adalah Isolasi sosial. Ada 5 tahap.
Pada tahap pengkajian, data yang dikumpulkan berupa data biologis, psikologis,
sosial dan spiritual. Data subjektif yang mungkin muncul adalah rasa malas
berinteraksi, penolakan dari orang lain dan perasaan tidak berguna. Pada data
objektif yang mungkin timbul adalah keenggaan dan kurangnya insiatif untuk
membangun sebuah percakapan dengan orang lain, mondar-mandir tanpa tujuan,
afek tumpul dan kontak mata kurang. Berdasarkan data-data tersebut dapat
dibentuk pohon masalah (Dalami et al., 2009).
Diagnosa keperawatan menyangkut respons perilaku terhadap stress yang
disebabkan dari hubungan sosial misalnya pada pasien isolasi sosial. Pada tahap
perencanaan, perawat membuat tujuan baik umum maupun khusus dan rencana
tindakan yang akan diberikan (Riyadi & Purwanto, 2009).
Pada tahap implementasi, tindakan dikelompokan untuk individu dan keluarga
misalnya dengan memberikan terapi sosialisasi untuk pasien isolasi sosial dan
terapi social skill training (SST) dan terapi suportif untuk pasien skizofrenia
(Harkomah, Arif & Basmanelly, 2018, hlm. 66). Begitupula yang dilakukan pada
tahap evaluasi.
B. Rentang Respon
Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang
antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut:
Adaptif Maladaptif
Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
impulsif,
kebersamaan, saling diri,
ketergantungan ketergantungan narsisme
a. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain
individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut
adalah sikap yang termasuk respon adaptif:
C. Faktor Predisposisi
Predisposisi adalah ada juga faktor presipitasi yang menjadi penyebab antara lain
adanya stressor sosial budaya serta stressor psikologis yang dapat menyebabkan klien
mengalami kecemasan (Arisandy, 2017).
a. Aspek Biologis
Sebagian besar faktor predisposisi pada klien yang diberikan terapi latihan
ketrampilan sosial adalah adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 66,7%. Faktor
genetik memiliki peran terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita
skizofrenia
b. Aspek Psikologis
Faktor predisposisi pada aspek psikologis sebagian besar akibat adanya riwayat
kegagalan/kehilangan (77,8%). Pengalaman kehilangan dan kegagalan akan
mempengaruhi respon individu dalam mengatasi stresornya
c. Aspek sosial budaya
Dimana pada klien kelolaan didapatkan aspek sosial budaya sebagian besar adalah
pendidikan menengah dan sosial ekonomi rendah masing-masing
D. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang
yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah
dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang
sering digunakan adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi
merupakan keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi
kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu
dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk. Sementara itu, isolasi
adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).
II. Pohon Masalah
ISOLASI SOSIAL
(core problem)
ANALISA DATA
a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
c. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi
A. Diagnosa I : Isolasi
sosial
Tum : klien dapat berinteraksi dengan orang lain. Tuk I
Intervensi :
berkenalan
Intervensi :
perasaannya
lain
Intervensi :
orang lain
apabila tidak
Intervensi :
lain
Intervensi :
Intervensi :
Mendiskusikan tentang :
ditanggapi
Tum :Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan
Intervensi :
dimiliki
Intervensi :
Intervensi :
penggunaannya
Intervensi :
kemampuannya.
Intervensi :
direncanakan.
Intervensi :
menghargai klien
Tum :Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi
halusinasi.
Tuk :
Intervensi :
komunikasi terapeutik
Menyapa dengan ramah klien
terjadi halusinasi
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika,
Yogyakarta.
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat Dalam Praktik Keperawayan Jiwa. Trans Info
Media, Jakarta.
Fitria, Nita. Dkk. 2013. Laporan Pendahuluan Tentang Masalah Psikososial. Salemba
Medika, Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa
Disusun oleh :
Mahmudin Latief
19025
TK 2A
2020/2021
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Definisi
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktifitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene) , berpakaian / berhias, makan dan BAB atau
BAK (toileting). (Sumber:Nita Fitria, 2009)
Defisit perawatan diri adalah Salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya, dan
kesejaterannya, sesuai dengan kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu
perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya.(Sumber:Dr.Amino
Gondohutomo, 2008)
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya
jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Depkes 2000).Defisit perawatan diri
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi,
berhias, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Potter Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan sesorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis,
kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya (Tarwoto dan Wartonah, 2000).
b) Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif
2) Menarik diri, isolasi diri
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
1) Interaksi kurang
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
4) Cara makan tidak teratur
5) BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak
mampu mandiri.
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
a) Data subyektif
1) Pasien merasa lemah.
2) Malas untuk beraktivitas.
3) Merasa tidak berdaya.
b) Data obyektif
1) Rambut kotor, acak-acakan.
2) Badan dan pakaian kotor dan bau.
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor.
5) Kuku panjang dan tidak terawat.
Tingkatan
Menurut Herdman (2015), batasan karakteristik Pasien dengan Defisit perawatan diri
adalah:
1. Defisit perawatan diri : mandi
a) ketidakmampuan untuk mengakses kamar mandi,
b) ketidakmampuan mengeringkan tubuh,
c) ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi,
d) ketidakmampuan menjangkau sumber air,
e) ketidakmampuan mengatur air mandi,
f) ketidakmampuan membasuh tubuh.
2. Defisit perawatan diri: Berpakaian;
a) ketidakmampuan mengancing pakaian,
b) ketidakmampuan mendapatkan pakaian,
c) ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian,
d) ketidakmampuan mengenakan sepatu,
e) ketidakmampuan mengenakan kaos kaki,
f) ketidakmampuan melepaskan atribut pakaian,
g) ketidakmampuan melepas sepatu,
h) ketidakmampuan melepas kaus kaki
i) hambatan memilih pakaian
3. Defisit perawatan diri : Makanan;
a) ketidakmampuan menambil makanan dan mengambil kemulut,
b) ketidakmampuan mengunyah makanan
c) ketidakmampuan menghabiskan makanan
d) ketidakmampuan menempatakan makanaan ke perlengkapan makanan
e) ketidakamapuan menggunakan perlengkapan makanan,
f) ketidakmampuan memakan makanan dalam cara yang dapat diterima
secara sosial
g) ketidakmampuan memakan maakan dengan cara yang aman
h) ketidakmampuan memakanan dalam jumlah memadai
4. Defisit perawatan diri : BAB/BAK
a) Ketidakmampuan melakukan hyginie eliminasi yang tepat
b) Ketidakmampuan menyiram toilet/kursi buang air ( commode)
c) Ketidakmampuan naik ke toilet atau commode
d) Ketidakmampuan memanipulasi pakaian untuk eliminasi
e) Ketidakmampuan berdiri dari toilet atau commode
f) Ketidakmampuan untuk duduk di toilet atau commode
Klasifikasi
1. Kurang perawatan diri : Mandi atau kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/ kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian
Kurang perawatan diri (mengenkan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas dandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perwatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjanah : 2004)
Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk berprilaku
adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan
perawatan diri. Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stresor kadang-
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya, Tidak melakukan perawatan diri, klien
mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
2. Jenis- jenis
Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :
a) Defisit perawatan diri: Mandi Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b) Defisit perawatan diri: Berpakaian Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas berpakaian dan berias untuk diri sendiri.
c) Defisit perawatan diri: Makan Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas sendiri.
d) Perawatan diri: Eliminasi :Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas eliminasi sendiri (Nurjannah, 2004).
C. Faktor prediposisi
1) Biologis: penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan faktor herediter.
2) Psikologis: faktor perkembangan dimana keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan pasien sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Kemampuan realitas
turun, pasien gangguan jiwa yang kemampuan realitas kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
3) Sosial: kurang dukungan dan situasi lingkungan mempengaruhi kemampuan dalam
perawatan diri
D. Faktor Presipitasi
Faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi
atau perceptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Tarwoto & Wartonah (2003: 59) faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1) Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
2) Praktik social
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan. Kebiasaan
seseorang. Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
6) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart & Sundeen,
2000) yaitu:
1) Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan
mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri
secara mandiri
2) Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.Kategorinya adalah tidak
mau merawat diri.
I. Pohon masalah
-Klien mengatakan
‘saya tidak tahu
apa-apa’
-Klien mengkritik
diri sendiri
-Klien
mengungkapkan
perasaan malu
terhadap diri
sendiri
DO :
-Klien mengatakan
ingin disuapi Menarik diri
makan
-Klien mengatakan
jarang
membersihkan alat
kelaminnya stelah
BAK/BAB
Defisit perawatan diri
DO :
-Rambut klien
kotor,gigi
kotor,kulit
berdaki,dan
berbau,serta kuku
panjang dan kotor
-Klien tidak
mampu
berpakaian/berhias
ditandai denga
rambut acak-
acakan,pakaian
kotor dan tidak
rapi,pakaian tidak
sesuai,tidak
bercukur (laki-
laki),atau tidak
Berdandan ( wanita
)
DO :
-Klien tampak
tidak bisa memilih
keputusan
sederhana
-Klien tampak
murung
-Klien tampak
tidak mau
berinteraksi
-Penampilan klien
kurang rapih
TUK III: Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi:
a) Motivasi klien untuk mandi.
b) Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan
cara memelihara kebersihan diri yang benar.
c) Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d) Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e) Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan
kebersihan diri, seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
f) Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri seperti
odol, sikat gigi, shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.
TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
a) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang
lain.
b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan prang lain.
c) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
d) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
e) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
f) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain.
g) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
h) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
LAPORAN PENDAHULUAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa
Disusun oleh :
Mahmudin Latief
19025
TK 2A
STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON
2020/2021
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Respons
ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Keliat,dkk, 2011).
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan merupakan suatu
komunikasi atau proses penyampaian pesan individu. Orang yang mengalami
kemarahan sebenarnya ingin menyampaian pesan bahwa ia “tidak setuju, merasa
tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituntut atau diremehkan”
(Yosep, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati,
2010).
Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang
ekstrim dari marah atau ketakutan ( panik ).
Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai
kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
c. Pasif : indivi du tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya
kontrol.
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu
bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang yang
mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia ”tidak
setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau
diremehkan.” Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon yang tidak normal (maladaptif).
C. Faktor predisposisi
D. Faktor presipitasi
II.Pohon Masalah
Risiko perilaku kekerasan
(pada diri sendiri, orang
lain,lingkungan, dan verbal
Effect
Perilaku kekerasan
Core problem
Harga diri rendah kronis
Causa
I. Analisa data
No Data Masalah
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.ump.ac.id/514/3/INDRI%20MULYANI%20BAB%20II.pdf
Joyal, Christian C, Gendron, Catherine, Cote, Gilles 2008, ‘Nature and Frequency Aggressive
Behaviours Among Long-Term Inpatients With Schizophrenia: A 6-Months Report Using
The Modified Overt Aggression Scale’, Canadian Journal of Psychiatry, vol. 53, no. 7,
diakses 03 September 2015, < http://media.proquest.com/>.
Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. (2012). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.