Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing: Titin Supriyatin, Ners.,M.Kep

Disusun oleh :

Mahmudin Latief

19025

TK 2A

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

Jl.Walet No.21,kertawinangun, kedawung,Cirebon,jawa Barat 45153

2020/2021
I. Masalah Utama
Halusinasi.
A. Definisi
1. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus
yang sebetul- betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada
panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya
mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).

2. Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi menurut
Prabowo (2014), adalah sebagai berikut :
a. Data Objektif
1) Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
2) Menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan respon
verbal yang lambat
3) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanann darah
4) Sulit berhubungan dengan orang lain Ekspresi muka tegang, mudah
tersinggung, jengkel dan marah.
b. Data Subjektif
1) Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari
orang
2) Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak
nyata
3) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya), dan takut
4) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik
dan berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.

3. Tingkatan
Menurut Damayanti, M., & Iskandar.(2012), Tingkatan halusinasi ada 4, yaitu :
1. Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang. Pada
tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan. Karakteristik :
Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah
dalam diri pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba
menenangkan pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui
bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa
diatasi (non psikotik). Perilaku yang teramati :
 Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
 Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
 Respon verbal yang lambat
 Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.
2. Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat berat
dan halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien. Karakteristik :
Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan
menakutkan, pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan
kendali, pasien berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang
dipersepsikan, pasien merasa malu karena pengalaman sensorinya dan
menarik diri dari orang lain (nonpsikotik). Perilaku yang teramati :
 Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan timbulnya
ansietas seperti peningkatan nadi, tekanan darah dan pernafasan
 Kemampuan kosentrasi menyempit
 Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara halusinasi dan realita.
3. Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien, pasien
berada pada tingkat ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi menguasai
pasien. Karakteristik :
Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk melawan
pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi
halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian
jika pengalaman tersebut berakhir (Psikotik) Perilaku yang teramati :
 Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya
dari pada menolak
 Kesulitan berhubungan dengan orang lain
 Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari
ansietas berat seperti : berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti
petunjuk.
4. Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat ansietas
berada pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan
saling terkait dengan delusi. Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah
halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari
apabila tidak diintervensi (psikotik). Perilaku yang teramati :
 Perilaku menyerang - teror seperti panik
 Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
 Amuk, agitasi dan menarik diri
 Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek
 Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

4. Klasifikasi
Menurut farida (2010), Halusinasi dibedakan menjadi 7, yaitu :
1) Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara
bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai
sebuah kata atau kalimat yang bermakna, biasanya suara tersebut ditunjukan
pada penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
2) Halusinasi Pengelihatan (Visual, Optic)
Stimulus visual dalam betuk kilatan atau cahaya, gambaran atau
bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau
menakutkan.
3) Halusinasi Penghidung (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan
dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau
dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu
kombinasi moral.
4) Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi
penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu seperti darah, urin atau
feses.
5) Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.
6) Halusinasi Cenesthetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernaan makan atau pembentukan urine.
7) Halusinasi kinestetika
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau
anggota badannya bergerak-gerak. Misalnya “phantom Phenomenom”.

B. Rentang Respon
Bagan Rentang Respon Halusinasi

Respon Adaptif Respon Mal


Adaptif

1. Pikiran logis 1. Distori pikiran ilusi 1. Gangguan pikir /


2. Persepsi akurat 2. Reaksi emosi yang delusi
3. Emosi konsisten berlebihan 2. Halusinasi
dengan pengalaman 3. Perilaku aneh atau 3. Sulit merespon emosi
4. Perilaku sesuai tidak biasa 4. Perilaku disorganisasi
5. Berhubungan sosial. 4. Menarik diri. 5. Isolasi sosial.

Rentang respon neurologis halusinasi (Damaiyanti dkk, 2012), yaitu :


1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif :
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman.
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.

2. Respon Psikososial
a. Proses fikir terganggu.
b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri yaitu percoban untuk menghindar interaksi dengan orang lain.

3. Respon Mal Adaptif


Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari
norma-norma sosial budaya dan lingkungan. Adapun respon maladaptif
meliputi :
a. Kelainan pikiran (waham) adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi dimana seseorang merasa kesepian tidak mau
berinteraksi dengan orang dan lingkungan.

C. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh baik
dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosisal kultural,
biokimia, psikologis, dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres.
Faktor Predisposisi klien halusinasi menurut (Damaiyanti dkk, 2012) :
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri.
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
3. Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogen neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
schizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit
ini.

D. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi
klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di
lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya
halusinasi.
Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang
tubuh mengeluarkan zat halusinogenik (Fitria 2012). Penyebab Halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu :

1. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dakam dunia nyata.
5. Dimensi Spiritual
Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas
tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual
untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas
tujuan hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya
menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan
takdirnya memburuk. (Damayanti dkk, 2012).

E. Mekanisme Koping
Menurut Prabowo (2014) ada 3 mekanisme koping pada pasien halusinasi yaitu :
1. Regresi : Menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2. Proyeksi : Menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
3. Menarik Diri : Sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.

II. Pohon Masalah


Menurut Damaiyanti (2014), pohon masalah pada pasien halusinasi adalah sebagai
berikut :

Risiko Perilaku Kekerasan (diri sendiri,


orang lain, lingkungan dan verbal)

Effect
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

Core Problem

Isolasi Sosial

Causa

III. Analisa data Dan Data Fokus Pengkajian


A. Pengkajian
1. Identitas klien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Factor perdisposisi
4. Aspek fisik atau biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Pengetahuan
11. Aspek medic.
Kemudian data yang sudah dicakup dapat di kelompokan menjadi dua
macam sebagai berikut :

1. Data Objektif
Ialah data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung pada klien.
Data ini didapatkan dari hasil pemeriksaan langsung oleh perawat.
2. Data Subjektif
Ialah data yang diperoleh dari secara langsung yang disampaikan
secara lisan kepada klien atau keluatga. Data ini diperoleh melalui wawancara
perawat kepada klien dan keluarga. Data yang langsung didapat oleh perawat
disebut sebagai data primer, dan data yang diambil dari hasil catatan tim
kesehatan lain sebagai data sekunder.

Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada


pasien dan keluarga :
1. Tanda dan gejala halusinasi dapat ditemukan dengan wawancara, melalui
pertanyaan sebagai berikut :
a. Apakah mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan?
b. Apakah melihat bayangan-bayangan yang menakutkan?
c. Apakah mencium bau tertentu yang menjijikkan?
d. Apakah merasakan sesuatu yang menjalar di tubuhnya?
e. Apakah merasakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak mengenakkan?
f. Seberapa sering mendengar suara-suara atau melihat bayangan tersebut?
g. Kapan mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
h. Pada situasi apa mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
i. Bagaimana perasaan mendengar suara atu melihat bayangan tersebut?
j. Apa yang telah dilakukan, ketika mendengar suara dan melihat bayangan
tersebut?
2. Tanda dan gejala halusinasi di dapatkan saat observasi :
a. Tampak bicara atau tertawa sendiri
b. Marah-marah tanpa sebab
c. Memiringkan atau mengarahkan telinga ke arah tertentu atau menutup
telinga
d. Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
e. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
f. Menghidu seperti membaui bau-bauan tertentu
g. Menutup hidung
h. Sering meludah
i. Muntah
j. Menggaruk permukaan kulit.

B. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alcohol dan NAPZA.
2. EEG (Elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk
melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
3. Pemindaian CT Scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan
adanya cedera atau tumor di otak.

C. Analisa Data

NO. DATA ETIOLOGI MASALAH

1. DS : Isolasi Sosial : Gangguan


1. Klien mengatakan Menarik Diri. Persepsi Sensori :
mendengar suara-suara Halusinasi.
bisikan.
2. Mendengar suara yang
mengajak bercakap-cakap.
3. Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang
berbahaya.
4. Melihat bayangan, sinar,
bentuk geometris, bentuk
kartoon, melihat hantu atau
monster.
5. Membaui bau-bauan seperti Risiko Perilaku
bau darah, urin, feses, Kekerasan (diri
kadang-kadang bau itu sendiri, orang
menyenangkan. lain, lingkungan
6. Merasakan rasa seperti dan verbal).
darah, urin atau feses.
7. Mengatakan ada serangga di
permukaan kulit Merasa
seperti tersengat listrik.

DO :
1. Kontak mata kurang saat
berbicara.
Gangguan
2. Klien saat diajak berbicara,
Persepsi Sensori :
berbicara lambat dengan
Halusinasi.
nada lemah dan terkadang
suka berbicara ngelantur.
3. Bicara atau tertawa sendiri
Marah-marah tanpa sebab
Menyedengkan telinga ke
arah tertentu Menutup
telinga.
4. Menunjuk-nunjuk ke arah
tertentu Ketakutan dengan
pada sesuatu yang tidak
jelas.
5. Menghidu seperti sedang
membaui bau-bauan tertentu.
Menutup hidung.
6. Sering meludah Muntah.
7. Menggaruk-garuk
permukaan kulit.

2. DS : Koping individu Risiko Perilaku


tidak efektif. Kekerasan (diri
1. Klien mengatakan sering sendiri, orang
emosi. lain, lingkungan
2. Klien mengatakan marah dan verbal).
jika mendengar ada yang
menyuruh (bisikan-bisikan). Halusinasi.
3. Klien mengatakan pernah
mencubit cucunya karena
merasa kesal dan jengkel.

DO : Perilaku
1. Klien terkadang bicara kekerasan.
ngelantur.
2. Klien berbicara dengan suara
cukup keras dan jelas.

Risiko menciderai
diri sendiri, orang
lain dan
lingkungan.

3. DS : Koping individu Isolasi Sosial :


1. Klien mengatakan dirinya tidak efektif. Menarik Diri.
ingin dimengerti perawat.
2. Ada ungkapan tidak ingin
berbicara dengan orang lain
karena tidak nyaman dalam
situasi sosial.
3. Meminta untuk sendiri.
4. Mengalami perasaan
berbeda dengan orang lain.
5. Merasa tidak aman ditengah
orang lain. Gangguan konsep
diri : Harga diri
rendah.

DO :
1. Sedih, efek tumpul.
2. Menjadi tidak komunikatif,
menarik diri, kosong kontak
mata kurang.
3. Asik dengan pikiran-pikiran
sendiri, menolak tindakan
yang bermakna.
4. Mengekspresikan perasaan
kesedihan.
5. Tidak kooperatif.
6. Disfungsi interaktif dengan Isolasi sosial :
teman sebaya, keluarga dan Menarik diri.
orang lain.

IV. Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan Persepsi Sensori b.d Halusinasi.
2. Risiko Perilaku Kekerasan b.d diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal.
3. Isolasi Sosial b.d Menarik Diri.

V. Rencana Tindakan keperawatan


1. Gangguan Persepsi Sensori b.d Halusinasi.
a. Tujuan :
 TUM : Klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya.
 TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya.
 TUK 2 : Klien dapat mengenal halusinasi.
 TUK 3 : Klien dapat mengontrol halusinasinya.
 TUK 4 : Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
 TUK 5 : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
 Ekspresi wajah bersahabat
 Menunjukkan rasa senang
 Ada kontak mata atau mau jabat tangan
 Mau menyebutkan nama
 Mau menyebut dan menjawab salam
 Mau duduk berdampingan dengan perawat
 Mau mengutarakan masalah yang dihadapan.
2) KH 2 :
 Pasien dapat menyebutkan isi halusinasi
 Pasien dapat menyebutkan waktu halusinasi
 Pasien dapat menyebutkan frekuensi halusinasi
 Pasien dapat menyebutkan situasi dan kondisi yang menimbulkan
halusinasi.

3) KH 3 :
 Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya
 Klien mampu menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi
 Klien dapat memilih dan mendemonstrasi kan cara mengatasi halusinasi
 Klien dapat melaksanakan cara yang di pilih untuk mengendalikan
halusinasinya.
 Pasien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
4) KH 4 :
 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
 Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan kegiatan untuk
mengendalikan halusinasi.
5) KH 5 :
 Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping
obat
 Klien dapat mendemonstrasi kan penggunaa obat secara benar
 Klien dapat memahami akibat berhenti minum obat tampa konsultasi
dengan dokter.

c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapetik.
 Sapa klien dengan ramah baik secara verbal maupun non verbal.
 Perkenalkan diri dengan sopan.
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan.
 Jujur dan menepati janji.
 Tunjukkan sikap empati dan terima klien apa adanya.
 Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

2) TK 2 :
 Adakah kontak sering dan singkat secara bertahap.
 Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal maupun
non verbal).
 Bantu klien mengenali halusinasinya :
 Jika menemukan yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada
suara yang didengar atau melihat bayangan tanpa wujud atau
mersakan sesuatu yang tidak ada.
 Jika pasien menjawab ada, lanjutkan : apa yang dikatakan/ yang di
alaminya.
 Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun
peerawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat
tanpa menuduh atau menghakimi).
 Katakan bahwa ada pasien lain yang mengalami seperti klien.
 Jika pasien tidak sedang halusinasi, klarifikasi tentang adanya
pengalaman halusinasi, diskusikan dengan pasien: isi, waktu dan
frekuensi, halusinasi (pagi, siang, sore , malam atau sering, jarang)
situasi dan kondisi yang dapat memicu mencul tidaknya halusinasi.
 Diskusikan dengan pasien tentang apa yang dirasakan saat terjadi
halusinasi.
 Diskusikan tentang dampak yang akan di alami jiak pasien menikmati
halusinasinya.
3) TK 3 :
 Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi.
 Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien :
 jika cara tersebut adaptif beri pujian.
 Jika mal adaptif diskusikan dengan klien kerugian cara tersebut.
 Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol halusinasi :
 Menghardik halusinasi katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak
nyata. “saya saya tidak mau dengar kamu” (pada saat halusinasi
terjadi).
 Menemuai orang lain (perawat/teman/an ggota keluarga) untuk
bercakapcakap atau mengatakan halusinasinya terdengar.
 Membuat jadwal kegiatan seharihari yang sudah di susun agar
halusinasi tidak muncul.
 Memberikan pendidikan kesehatan tentang menggunaan obat untuk
mengendalikan halusinasinya.
 Bantu klien memilih cara yang sudah di anjurkan dan melatihuntuk
mencobanya.
 Pantau pelaksanaan tindakan yang telah di pilih dan dilatih, jika berhasil
beri pujian.
 Libatkan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
yaitu :
 Sesi I pasien mengenal halusinasi.
 Sesi II pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik.
 Sesi III pasien mengontrol halusinasi dengan becakap-cakap.
 Sesi IV pasien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan
aktivitas.
 Sesi V pasien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum
obat.
4) TK 4 :
 Anjurkan klien untuk member tahu keluarga jka mengalami halusinasi.
 Diskusikan denga keluarga (pada saat berkunjung/pada saat
berkunjungan rumah) :
 Gejala halusinasi yang dialami klien.
 Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus
halusinasi.
 Cara merawat anggota keluarga untuk memutus halusinasi dirumah,
beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian
bersama.
 Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat
bantuan: halusinasi terkontrol dan resiko mencedrai orang lain.
5) TK 5 :
 Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi
manfaat obat.
 Pantau saat pasien minum obat.
 Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat.
 Beri reinforcemen jika pasien menggunakan obat dengan benar.
 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan
dokter.
 Anjurkan pasien berkonsultasi dengan tim kesahatan jika terjadi hal-
hal yang tidak di inginkan tentang efek samping obat yang dirasakan.
d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan
interaksi selanjutnya.
 Untuk menciptakan tras kepada pasien.
 Supaya pasien kenal dengan perawat.
 Untuk mengetahui indentitas dan nama pangilan yang di sukai pasien.
 Supaya pasien tahu tujuan kita melakukan pertemuan.
 Supaya pasien selau mempercai setian apa yang perawat katakana.
 Supaya pasien menganggap perawat juga merasakan apa yang pasien
rasakan.
 Supaya pasien merasa di perhatikan dan di hargai.
2) R 2 :
 Supaya hubungan tetap terjalin dan pasien tidak lupa pada perawat.
 Untuk mengetahui halusinasi pada pasien.
 Supaya klien tahu isi dari halusinasi dan dampak yang akan terjadi jika
pasien mengiti isi halusinasinya.
 Supaya perawat mengetahui pengalam psien tentang halusinasi, isi,
waktu dan frekuensi halusinasi.
 Supaya perawat tahu apa yang di lakukan pasien saat halusinasi terjadi.
 Supaya pasien tahu tentang dampak dari halusinasi jika mengikutinya.
3) R 3 :
 Merupakan upaya untuk memutus siklus.
 Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
 Memberi alternatif bagi klien untuk mengetahui cara mengontrol
halusinasi yaitu dengan menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain,
melakukan kegiatan, dan dengan cara patuh minum obat.
 Supaya pasien bisa melakukan ketika perawat tidak ada di sampingnya
saat halusinasi datang.
 Motivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih
salah satu cara untuk mengontrol halusinasi.
 Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interpretasi realita
klien.
4) R 4 :
 Untuk mendapatkan bantuan keluarga dalam mengontrol halusnasi.
 Untuk meningkatkan pengetahuan tentang halusinasi.
5) R 5 :
 Dengan mengetahui manfaat dan dosis kliendapat patuh untuk minum
obat.
 Untuk memastikan pasien minum obat atau tidak.
 Untuk membiasakan pasien mandiri minum obat.
 Reinforcemen positif dapat meningkatkan kemauan pasien untuk
minum obat.
 Pengobatan dapat bejalan sesuai rencana.
 Dengan mengetahui efek samping obat klien tahu apa yang harus
dilakukan setelah minum obat.

2. Risiko Perilaku Kekerasan b.d diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal.
a. Tujuan :
 TUM : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perilaku kekerasan tidak
terjadi.
 TUK 1 : Mengalihkan kemarahan dengan pukul barang-barang lunak :
Bantal.
 TUK 2 : Membimbing nafas dalam.
 TUK 3 : Memilihkan aktifitas yang sesuai dengan kemampuan.

b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Mengalihkan kemarahan dengan memukul barang-barang lunak.
2) KH 2 :
Melakukan nafas dalam.
3) KH 3 :
Melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuannya.
4) KH 4 :
Tidak mencederai diri sendiri, keluarga, orang lain.

c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Diskusikan masalah yang dirasakan dengan keluarga jelaskan pengertian,
tanda dan gejala, dan penyebab perilaku kekerasan.
2) TK 2 :
Latih Klien dan keluarga cara mengatasi rasa marah- marah : latihan nafas
dalam, pukul bantal.
3) TK 3 :
Bimbing keluarga merawat marah-marah : demontrasi latihan nafas dalam,
pukul bantal .
4) TK 4 :
Diskusikan dengan keluarga untuk memilihkan kegiatan yang sesuai dengan
kemampuan klien.
5) TK 5 :
Sarankan keluarga untuk berbicara yang halus dengan Klien jangan dengan
kata-kata kasar.

d. Rasional :
1) R 1 :
Supaya keluarga paham dengan tanda & gejala yang dialami klien.
2) R 2 :
Supaya klien menjadi tenang dan rileks.
3) R 3 :
Supaya keluarga dapat mengatasi klien jika klien marah-marah.
4) R 4 :
Untuk mengalihkan klien dari rasa marah.
5) R 5 :
Supaya klien tidak terpancing emosi.

3. Isolasi Sosial b.d Menarik Diri.


a. Tujuan :
 TUM :
Klien tidak menarik diri dan mampu berhubungan dengan orang lain secara
optimal.
 TUK 1 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
 TUK 2 :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
 TUK 3 :
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
 TUK 4 :
Klien dapat merencanakan kegiatan harian.
 TUK 5 :
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya.
 TUK 6 :
Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Ekspresi wajah bersahabat.
2) KH 2 :
Tidak acuh.
3) KH 3 :
Ada kontak mata.
4) KH 4 :
Mau berjabat tangan.
5) KH 5 :
Mau menyebutkan nama.
6) KH 6 :
Mau bercakap-cakap.
7) KH 7 :
Mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
8) KH 8 :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimilikinya.
9) KH 9 :
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
10) KH 10 :
Klien dapat merencanakan kegiatan harian.
11) KH 11 :
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya.
12) KH 12 :
Klien memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
 Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal.
 Perkenalkan diri dengan sopan.
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan.
 Jujur dan menepati janji.
 Selalu kontak mata selama interaksi.
 Tunjukkan sikap empati dan penuh perhatian pada klien.
2) TK 2 :
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
 Bantu klien mengekspresikan dan menggambarkan perasaan serta
pikirannya.
 Tentukan bahwa kekuatan untuk berubah tergantung pada klien sendiri.
 Identifikasi stressor yang relevan dan penilaian klien terhadap stressor
tersebut.
 Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang efektif.
 Utamakan memberi pujian terapeutik.
 Tingkatkan keterlibatan keluarga dan kelompok untuk memberikan
dukungan untuk mempertahankan kemajuan dan perkembangan klien.
3) TK 3 :
 Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
 Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang adaptif.
 Utamakan memberi pujian terapeutik.
 Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
4) TK 4 :
 Dukung klien untuk merencanakan kegiatan harian.
 Rencanakan kegiatan bersama klien, aktivitas yang dapat dilakukan
setiap hari sesuai kemampuan (kegiatan sendiri, kegiatan dengan
bantuan sebagian, kegiatan dengan bantuan total).
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan.
 Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
5) TK 5 :
 Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
 Beri pujian atas keberhasilan klien.
 Beri dukungan yang sesuai dan positif untuk mempertahankan
kemajuan dan pertumbuhannya.
 Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
6) TK 6 :
 Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang cara merawat
klien dengan harga diri rendah.
 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah sesuai dengan
keadaan klien.

d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya akan menimbulkan kepercayaan klien pada
perawat sehingga akan memudahkan dalam pelaksanaan tindakan
selanjutnya.
2) R 2 :
Pujian akan meningkatkan harga diri klien.
3) R 3 :
Peningkatan kemampuan mendorong klien untuk mandiri.
4) R 4 :
Pelaksanaan kegiatan secara mandiri modal awal untuk meningkatkan harga
diri rendah.
5) R 5 :
Dengan aktivitas klien akan mengetahui kemampuannya.
6) R 6 :
Perhatian keluarga dan pengertian keluarga akan dapat membantu
meningkatkan harga diri klien.

VI. Daftar Pustaka


Damayanti, M., & Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika Aditama
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Lp Dan Sp) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing: Titin Supriyatin, Ners.,M.Kep

Disusun oleh :

Mahmudin Latief

19025

TK 2A
STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

Jl.Walet No.21,kertawinangun, kedawung,Cirebon,jawa Barat 45153

2020/2021

1. Kasus (Masalah Utama)


Harga Diri Rendah

A. Definisi (3 definisi)
Pengertian harga diri rendah adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri
sendiri tanpa syarat walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, kegagalan, tetap
merasa penting dan berharga (Stuarti 2010)
Harga diri rendah merupakan rasa negatif pada diri sendiri termasuk kehilangan
percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada
harapan dan putus asa, (Pepnes 2011)
Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
 Tanda dan Gejala
- Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
- Rasa bersalah terhadap diri sendiri (menyalahkan diri sendiri)
- Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
- Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan) (Budi Anna Keliat 2011)
B. Jenis – jenis konsep diri
- Citra tubuh (body image)
Adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap
tubuhnya
- Ideal diri (self ideal)
Adalah persepsi diri tentang bagaimana iya harus berperilaku sesuai dengan
standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal individu
- Identitas diri (self identity)
- Peran diri (self role)
- Harga diri (self esteem)

C. Rentang respon
RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Mala
Adaptif

Autualisasi konsep diri HDR kerancuan


depersonalisasi

Diri positif kronis identitas

Rentang respon harga diri rendah

Kronis

Sumber : Kilat (2012)

Menurut Stuart dan Siludeen (2010) respon individu terhadap konsep dirinya
sepanjang tentang respon konsep diri yaitu adaptif dan mala adaptif.

- Autilitas diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang pengalaman
nyata yang sukses diterima
- Konsep diri positif adalah mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri.
- Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep diri
mala daptif
- Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososisal dan kepribadian dewasa yang harmonis
- Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan
dirinya dengan orang lain.
D. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadi harga diri rendah kronis adalah penolakan orang tua
yang tidak realitas, kegagalan berulang kali, kurangmempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realitas.
E. Faktor presipirasi
Faktor presipirasi terjadinya harga diri rendah biasannya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan, atau bentuk tubuh kegagalan yang
menurun
F. Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk peratahanan koping jangka pendek atau jangka
panjang serta penggunaan mekanisme peratahanan ego untuk melindungi diri
sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan, pertahanan jangka
pendek, mencangkup sebagai berikut:
- Aktivitas yang memberikan pelarian sementara dan kirsis identitas
(misalnya konser music, bekerja keras, menonton televisi secara obsesif)
- Aktivitas yang meberikan identitas penggantian sementara
(misalnya ikut serta dalam kelompok social, agama, politik, kelompok)
- Aktivitas sementara meningkatkan perasaan diri yang tidak menentu
(misalnya olahraga yang kompetitif, prestasi, akademik)
- Aktivitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk mebuat identitas diluar
dari hidup yang tidak bermakna saat ini
(misalnya penyalahgunaan norkoba)

Pertahanan jangka panjang sebagai berikut:


- Penitipan identitas : adopsi identitas premature yang diingkan oleh orang yang
terdekat tanpa memperhatikan keinginan aspirasi atau potensi diri individu
- Identitas negatif : asumsi identitas yang tidak sesuai dengan harapan yang
diterima masyarakat

G. Pohon masalah
Pohon masalah yang menurut Fajariyah (2012)
Isolasi sosial

HDR

Gangguan Citra Tubuh

A. Analisa data dan data fokus pengkajian

No Data

1 Ds : Klien mengatakan dirinya merasa malu Gangguan konsep diri:


Do : Klien terlihat mengurung diri dikamar, harga diri rendah
klien tidak mau bersosialisasi karena
merasa malu, klien ingin mencederai diri

2 Ds : klien mengatakan tidak suka tempat Isolasi sosial


ramai, klien mengatakan lebih suka
menyendiri
Do : klien terlihat menunduk, mengurung diri
dikamar
H. Diagnosa Keperawatan

- Gangguan konsep diri : harga diri rendah


- Isolasi social

I. Rencana Tindakan Keperawatan

No Tanggal Waktu Intervensi

1 4-02-2020 08.00 wib - Bina hubungan saling percaya


- Sebutkan pasien bisa
menyebabkan manrik diri
- Diskusikan dengan pasien tentang
aspek positif yang dimilikinya
- Anjurkan pasien untuk
melaksanakan kegiatan yang telah
direncanakan
- Pantau kegiatan yang
dilaksanakan pasien

2 5-02-2020 01.00 wib - Ajarkan pasien cara


bersosisalisasi dengan
orang lain
- Damping pasien saat
melakukan kegiatan
interaksi atau
bersosialisasi dengan
orang lain.
- Ajarkan kepada pasien
pentingnya bersosialisasi
- Bina hubungan saling
percaya

J. DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurafif amin dan Hardi kusuma.2013,Laporan Pendahuluan Berdasarkan


Diagnosa NANDHA NIC-NOC. Jakarta: media Action
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing: Titin Supriyatin, Ners.,M.Kep

Disusun oleh :

Mahmudin Latief

19025

TK 2A

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

Jl.Walet No.21,kertawinangun, kedawung,Cirebon,jawa Barat 45153

2020/2021
I. Masalah Utama
isolasi sosial
A. Definisi
 Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti,
2012). Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial
juga merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh
keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I
dalam Damaiyanti, 2012).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam
Direja, 2011). Isolasi sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi
dengan orang lain (Trimelia, 2011).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang yang
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin
hubungan yang baik antar sesama.

 Tanda Dan Gejala


Menurut Yosep (2009) tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua
cara yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan isolasi
sosial:
a. Gejala subjektif
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klien merasa tidak berguna.
b. Gejala objektif
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Klien berdiam diri di kamar.

4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, segera
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan
intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori:
halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan (Herman Ade,
2011).

 Tingkatan
1. Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan
biologis dan psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan komunikasi
yang sangat sederhana dalam menyampaikan kebutuhannya, misalnya
menangis untuk semua kebutuhan. Konsisten ibu dan anak seperti
stimulus sentuhan, kontak mata, komunikasi yang hangat merupakan
aspek penting yang harus di bina sejak dini karena akan menghasilkan
rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Kegagalan pemenuhan
kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada orang lain kan
mengakibatkan rasa tidak percaya diri sendiri dan orang lain serta menarik
diri(Abdul Muhith,2015).
2. Prasekolah
Materson menamakan masa antara usia 18 bulan – 3 tahun yang
merupakan taraf masa pemisahan pribadi. Anak prasekolah mulai
memperluas hubungan sosialnya di luar lingkungan keluarga,khususnya
ibu (pengasuh). Anak menggunakan kemampuan berhubungan yang telah
di miliki untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga. Dalam
hal ini,anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga
khususnya pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku yang
adaptif. Hal ini merupakan dasar otonomi anak yang berguna untuk
mengembangkan kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan anak
dalam berhubungan dengan lingkungannya disertai respon keluarga yang
negatif akan mengakibatkan anak menjadi tidak mampu mengontrol diri
,tidak mandiri, ragu, menarik diri dari lingkungan, kurang percaya diri,
pesimis, takut perilakunya salah(Abdul Muhith,2015)
3. Anak anak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri dan
mulai mengenal lingkungan lebih luas,dimana anak mulai membina
hubungan dengan teman temanny. Pada usia ini anak mulai mengenal
kerjasama, kompetisi, dan kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang
tua karena pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten. Teman dengan
orang dewasa di luar keluarga (guru,orang tua teman) merupakan sumber
pendukung yang penting bagi anak. Kegagalan dalam membina hubungan
dengan teman di sekolah, kurangnya dukungan guru dan pembatasan serta
dukungan yang tidak konsisten dari orang tua mengakibatkan frustasi
terhadap kemampuannya , putus asa,merasa tidak mampu, dan menarik
diri dari lingkungan(Abdul muhith,2015)
4. Remaja
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan
orang tua dan teman sebaya. Individu belajar mengalami keputusan
dengan mempertahatikan saran dan pendapat orang lain seperti memilih
pekerjaan,memilih karier,dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan
individu menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain, dan putus asa
akan karier.
5. Dewasa Muda
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan
orang tua dan teman sebaya. Individu belajar mengambil keputusan
dengan mempertahatikan saran dan pendapat orang lain, seperti memilih
pekerjaan,memilih karier, dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan
individu dalam melanjutkan sekolah,pekerjaan,pernikahan mengakibatkan
individu menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain,dan putus asa
akan karier.
6. Dewasa Tengah
Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah tempat tinggal
dengan orang tua, khususnya individu telah menikah. Jika ia telah
menikah,maka peran menjadi orang tua dan mempunyai hubungan antar
orang dewasa merupakan situasi tempat menguji kemampuan hubungan
interdependen. Kegagalan pisah tempat tinggal dengan orang
tua,membina hubungan yang baru dan tidak mendapatkan dukungan dari
orang dewasa lain akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri
sendiri,produktivitas dan kreativitas berkurang, dan perhatian pada orang
lain berkurang.
7. Dewasa Lanjut
Pada masa ini, individu akan mengalami kehilangan,baik kehilangan
fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup (teman sebaya dan
pasangan), anggota keluarga(kematian orang tua). Individu tetap
memerlukan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Individu
yang mempunyai perkembangan yang baik dapat menerima kehilangan
yang terjadi dalam kehidupannya dan mengakui bahwa dukungan orang
lain dapat membantu dalam menghadapi kehilangannya. Kegagalan dalam
masa ini dapat menyebabkan individu merasa tidak berguna,tidak di
hargai, dan hal lain dapat membuat individu menarik diri dan rendah
diri(Abdul muhith,2015)
 Klasifikasi
Terdapat banyak klasifikasi gangguan kejiwaan dengan tingkatan tertentu yang
memerlukan penanganan. Salah satunya adalah Isolasi sosial. Ada 5 tahap.
Pada tahap pengkajian, data yang dikumpulkan berupa data biologis, psikologis,
sosial dan spiritual. Data subjektif yang mungkin muncul adalah rasa malas
berinteraksi, penolakan dari orang lain dan perasaan tidak berguna. Pada data
objektif yang mungkin timbul adalah keenggaan dan kurangnya insiatif untuk
membangun sebuah percakapan dengan orang lain, mondar-mandir tanpa tujuan,
afek tumpul dan kontak mata kurang. Berdasarkan data-data tersebut dapat
dibentuk pohon masalah (Dalami et al., 2009).
Diagnosa keperawatan menyangkut respons perilaku terhadap stress yang
disebabkan dari hubungan sosial misalnya pada pasien isolasi sosial. Pada tahap
perencanaan, perawat membuat tujuan baik umum maupun khusus dan rencana
tindakan yang akan diberikan (Riyadi & Purwanto, 2009).
Pada tahap implementasi, tindakan dikelompokan untuk individu dan keluarga
misalnya dengan memberikan terapi sosialisasi untuk pasien isolasi sosial dan
terapi social skill training (SST) dan terapi suportif untuk pasien skizofrenia
(Harkomah, Arif & Basmanelly, 2018, hlm. 66). Begitupula yang dilakukan pada
tahap evaluasi.

B. Rentang Respon

Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang
antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut:

Adaptif Maladaptif

Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
impulsif,
kebersamaan, saling diri,
ketergantungan ketergantungan narsisme

Skema 2.1 Rentang respon isolasi sosial


sumber: Sutejo, 2017)

a. Respon Adaptif

Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain
individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut
adalah sikap yang termasuk respon adaptif:

1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang


telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang
saling membutuhkan satu sama lain.
4. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling ketergantungan
antara individu dengan orang lain
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang dari
norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk
respon maladaptif:
1. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
2. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu
melakukan penilaian secara objektif.
3. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah
marah.

C. Faktor Predisposisi
Predisposisi adalah ada juga faktor presipitasi yang menjadi penyebab antara lain
adanya stressor sosial budaya serta stressor psikologis yang dapat menyebabkan klien
mengalami kecemasan (Arisandy, 2017).
a. Aspek Biologis
Sebagian besar faktor predisposisi pada klien yang diberikan terapi latihan
ketrampilan sosial adalah adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 66,7%. Faktor
genetik memiliki peran terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita
skizofrenia
b. Aspek Psikologis
Faktor predisposisi pada aspek psikologis sebagian besar akibat adanya riwayat
kegagalan/kehilangan (77,8%). Pengalaman kehilangan dan kegagalan akan
mempengaruhi respon individu dalam mengatasi stresornya
c. Aspek sosial budaya
Dimana pada klien kelolaan didapatkan aspek sosial budaya sebagian besar adalah
pendidikan menengah dan sosial ekonomi rendah masing-masing

D. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang
yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah
dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.

E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang
sering digunakan adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi
merupakan keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi
kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu
dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk. Sementara itu, isolasi
adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).
II. Pohon Masalah

Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (effect)

ISOLASI SOSIAL
(core problem)

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah (causa)

Skema 2.2 Pohon Masalah Diagnosa Isolasi Sosial


(Sumber: Sutejo, 2017)

III. Analisa Data Dan Data Fokus Pengkajian


a. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan,
status mental, suku bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat, tanggal masuk
rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosis medis.Identitas penanggung jawab : nama,
umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien, alamat.
b. Alasan Masuk
1. Apa penyebab klien datang ke RSJ?
2. Apa yang sudah dilakukan keluarga?
3. Bagaimana hasilnya?
c. Faktor Predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan
struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami,
putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan,
dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai
Klien/perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
d. Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya dengan klien
depresi berat didapatkan pada sistem integumen klien tampak kotor, kulit lengket di
karenakan kurang perhatian terhadap perawatan dirinya bahkan gangguan aspek dan
kondisi klien .
e. Psikososial
Konsep Diri:
1) Gambaran Diri : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi.
Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif tentang tubuh.
Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
2) Ideal Diri : Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
3) Harga Diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan
kurang percaya diri.
4) Penampilan Peran : Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan
penyakit, proses menua, putus sekolah, PHK.
5) Identitas Personal : Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan
keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan.
f. Hubungan Sosial
Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan sosial dengan
orang lain terdekat dalam kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
g. Spiritual
Nilai dan keyakinan klien, pandangan dan keyakian klien terhadapap gangguan jiwa
sesuai dengan norma dan agama yang dianut pandangan masyarakat setempat tentang
gangguan jiwa. Kegiatan ibadah : kegiatan di rumah secara individu atau kelompok.
h. Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat
memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan
dengan orang lain, adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
1) Penampilan
Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak terlalu memperhatikan
penampilan, biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak seperti
biasanya (tidak tepat).
2) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume dan
karakteristik. Frekuansi merujuk pada kecepatan Klien berbicara dan volume
di ukur dengan berapa keras klien berbicara. Observasi frekuensi cepat atau
lambat, volume keras atau lambat, jumlah sedikit, membisu, dan di tekan,
karakteristik gagap atau kata-kata bersambungan.
3) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien. Tingkat aktifitas :
letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau tremor.
Gerakan tubuh yang berlebihan mungkin ada hubunganya dengan ansietas,
mania atau penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang berulang atau
kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.
4) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status emosional dan
cerminan situasi kehidupan klien. Alam perasaan dapat di evaluasi dengan
menanyakan pertanyaan yang sederhana dan
hari ini” apakah klien menjawab bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa,
sangat gembira atau ansietas.
5) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang dapat di observasi oleh
perawat selama wawancara. Afek dapat digambarkan dalam istilah sebagai
berikut : batasan, durasi, intensitas, dan ketepatan. Afek yang labil sering
terlihat pada mania, dan afek yang datar,tidak selaras sering tampak pada
skizofrenia.
6) Persepsi
Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi dan ilusi. Halusinasi di
definisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori yang salah. Ilusi adalah
persepsi atau respon yang salah terhadap stimulus sensori. Halusinasi perintah
adalah yang menyuruh klien melakukan sesuatu seperti membunuh dirinya
sendiri, dan melukai diri sendiri.
7) Interaksi Selama Wawancara
Interaksi menguraikan bagaimana klien berhubungan dengan perawat. Apakah
klien bersikap bermusuhan,tidak kooperatif, mudah tersinggung, berhati-hati,
apatis, defensive,curiga atau sedatif.
8) Proses Pikir
Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien proses diri klien
diobservasi melalui kemampuan berbicaranya. Pengkajian dilakukan lebih
pada pola atas bentuk verbalisasi dari pada isinya.
9) Isi Pikir
Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan dalam komunikasi
klien. Merujuk pada apa yang dipikirkan klien walaupun klien mungkin
berbicara mengenai berbagai subjek selama wawancara, beberapa area isi
harus dicatat dalam pemeriksaan status mental. Mungkin bersifat kompleks
dan sering disembunyikan oleh klien.
10) Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan status mental secara rutin mengkaji orientasi klien terhadap
situasi terakhir. Berbagai istilah dapat digunakan untuk menguraikan tingkat
kesadaran klien seperti bingung, tersedasi atau stupor.
11) Memori
Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan yang cepat tehadap
masalah-masalah memori yang potensial tetapi bukan merupakan jawaban
definitif apakah terdapat kerusakan yang spesifik. Pengkajian neurologis
diperlukan untuk menguraikan sifat dan keparahan kerusakan memori.
Memori didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengingat pengalaman lalu.
12) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi
Konsentrasi adalah kemampuan klien untuk memperhatikan selama jalannya
wawancara. Kalkulasi adalah kemampuan klien untuk mengerjakan hitungan
sederhana.
13) Penilaian
Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang konstruktif dan adaptif
termasuk kemampuan untuk mengerti fakta dan menarik kesimpulan dari
hubungan.
14) Daya Titik Diri
Penting bagi perawat untuk menetapkan apakahklien menerima atau
mengingkari penyakitnya.
i. Kebutuhan Persiapan Pulang
Pengkajian diarahkan pada klien dan keluarga klien tentang persiapan keluarga,
lingkungan dalam menerima kepulangan klien. Untuk menjaga klien tidak kambuh
kembali diperlukan

adanya penjelasan atau pemberian pengetahuan terhadap keluarga yang mendukung


pengobatan secara rutin dan teratur.

ANALISA DATA

Data Masalah Keperawatan

DS: Gangguan isolasi sosial


Klien hanya diam saja tidak mau
berinteraksi dengan orang lain
DO:
1. Klien tampak diam, tidak mau
bersosialisasi dengan orang lain
2. Pasien tampak menyendiri
3. Pasien tampak tidak kooperatif

IV. Diagnosa Keperawatan


Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan
gejala isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda dan
gejala isolasi sosial, maka diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:

a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
c. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

V. Rencana Tindakan keperawatan

A. Diagnosa I : Isolasi

sosial
Tum : klien dapat berinteraksi dengan orang lain. Tuk I

:klien dapat membina hubungan saling percaya

Intervensi :

 Beri salam terapeutik

 Perkenalkan nama, nama panggilan perawat, dan tujuan perawat

berkenalan

 Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien

 Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap berinteraksi

 Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien

 Buat kontak interaksi yang jelas

Tuk II : klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri

Intervensi :

 Mengkaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri

 Memberi kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan

perasaan yang menyebabkan klien tidak mau bergaul.

 Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan

perasaannya

Tuk III : klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang

lain

dan kerugian berinteraksi dengan orang lain

Intervensi :

 Mengkaji pengetahuan klien tentang keuntungan memiliki teman


 Memberi kesempatan klien untuk berinteraksi dengan orang lain

 Mendiskusikan dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan

orang lain

 Memberi pujian terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan

tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain tentan kerugian

apabila tidak

 Mengkaji pengetahuan klien berinteraksi dengan orang lain

Tuk IV : Klien Dapat Melaksanakan Interaksi Sosial secara bertahap.

Intervensi :

 Mengkaji kemapuan klien membina hubungan dengan orang lain

 Memperagakan cara berhubungan atau berinteraksi dengan orang

lain

 Mendorong klien untuk berinteraksi dengan orang lain

 Memberi pujian klien terhadap keberhasilan yang telah dicapai

 Membantu klien mengevaluasi keuntungan menjalin hubungan sosial

 Mendiskusikan jadwal harian dapat dilakukan bersama klien dalam

mengisi waktu, yaitu berinteraksi dengan orang lain

Tuk V :Klien Dapat Mengungkapkan Perasaannya setelah berinteraksi

dengan orang lain.

Intervensi :

 Mendorong klien mengungkapkan perasaannya bila berinteraksi

dengan orang lain

 Mendiskusikan bersama klien tentang perasaannya setelah


berinteraksi dengan orang lain

 Memberi pujian atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan

keuntungan berinteraksi dengan orang lain

Tuk VI : Klien dapat menggunakan system pendukung atau keluarga.

Intervensi :

 Membina hubungan saling percaya kepada keluarga

 Mendiskusikan tentang :

a. Perilaku menarik diri

b. Penebab perilaku menarik diri

c. Akibat yang terjadi apabila perilaku menarik diri tidak

ditanggapi

d. Cara keluarga menghadapi perilaku menarik diri

e. Mendorong anggota keluarga untuk memberi dukungan

kepada klien dalam berkomunikasi dengan orang lain

Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah

Tum :Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan

mampu meningkatkan harga dirinya.

Tuk I : klien dapat membina hubungan saling percaya.

Intervensi :

 Bersalaman panggil nama

 Menyebutkan nama perawat sambil berjabat tangan

 Menjelaskan maksud hubungan interaksi

 Menjelaskan kontrak yang akan dibahas

 Melakukan kontak singkat tapi sering


Tuk II : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang

dimiliki

Intervensi :

 Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

 Setiap bertemu hindarkan diri memberi penilaian negatif

 Mengutamakan memberi pujian positif

Tuk III :Kklien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.

Intervensi :

 Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dimiliki dapat

digunakan sebelum sakit

 Mendiskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan    

penggunaannya

Tuk IV :Klien dapat menetapkan, merencanakan kegiatan sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki

Intervensi :

 Merencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap

hari sesuai dengan kemampuan

 Mengingatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

 Memberi contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan


Tuk V :Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi klien dan

kemampuannya.

Intervensi :

 Merencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap


hari sesuai dengan kemampuan

 Memberi kesempatan pada klien untuk melakukan kegiatan yang

direncanakan.

 Memberi pujian atas keberhasilan klien

Tuk V I : Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Intervensi :

 Mendiskusikan mengenai tanda-tanda harga diri rendah

 Menganjurkan keluarga klien mengenal tanda-tanda dan cara

menghargai klien

 Keluarga tidak membedakan dengan anggota keluarga yang lain

Diagnosa 3 : Gangguan persepsi sensori :Halusinasi

Tum :Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi

halusinasi.

Tuk :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat mengenal halusinasinya

3. Klien dapat mengontrol halusinasi

4. Klien memiliki cara mengatasi seperti yang telah didiskusi

5. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi

6. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik

Intervensi :

 Membina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip

komunikasi terapeutik
 Menyapa dengan ramah klien

 mempererkenalkan diri dengan sopan

 Bertanya nama lengkap klien

 Menjelaskan tujuan pertemuan

 Jujur dan tepat janji

 Menunjunjukkan sikap empati

 Memberi perhatian pada klien

 Membantu antu klien mengenal halusinasi

 Mendiiskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi

 Mengidentifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika

terjadi halusinasi

 Memberi beri pujian pada klien

 Mendiiskusikan cara lain untuk memutus halusinasi

VI. DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika,
Yogyakarta.
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat Dalam Praktik Keperawayan Jiwa. Trans Info
Media, Jakarta.
Fitria, Nita. Dkk. 2013. Laporan Pendahuluan Tentang Masalah Psikososial. Salemba
Medika, Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing: Titin Supriyatin, Ners.,M.Kep

Disusun oleh :

Mahmudin Latief

19025

TK 2A

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

Jl.Walet No.21,kertawinangun, kedawung,Cirebon,jawa Barat 45153

2020/2021
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Definisi
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktifitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene) , berpakaian / berhias, makan dan BAB atau
BAK (toileting). (Sumber:Nita Fitria, 2009)
Defisit perawatan diri adalah Salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya, dan
kesejaterannya, sesuai dengan kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu
perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya.(Sumber:Dr.Amino
Gondohutomo, 2008)
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya
jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Depkes 2000).Defisit perawatan diri
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi,
berhias, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Potter Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan sesorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis,
kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya (Tarwoto dan Wartonah, 2000).

 Tanda Dan Gejala (data objektif dan subyektif)


Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut fitria (2009) adalah sebagai
berikut:
a. Mandi/hygine
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh
atau mendapatkan suber air, mengatur suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan
keluar kamar mandi.
b. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil potongan
pakaian, menenggalkan pakaian serta memperoleh atau menukar pakaian. Len
juga memiliki ketidakmampuan dalam mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik,
melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan
pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakain dan mengenakan sepatu.
c. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat
tambahan, mendapatkan makanan, memanipulasi makanan dalam mulut,
mengambil makanan dari wadah dan memasukannya ke dalam mulut,
mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
d. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat
dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah:
a) Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor
2) Rambut dan kulit kotor
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi.

b) Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif
2) Menarik diri, isolasi diri
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

c) Sosial
1) Interaksi kurang
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
4) Cara makan tidak teratur
5) BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak
mampu mandiri.
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
a) Data subyektif
1) Pasien merasa lemah.
2) Malas untuk beraktivitas.
3) Merasa tidak berdaya.
b) Data obyektif
1) Rambut kotor, acak-acakan.
2) Badan dan pakaian kotor dan bau.
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor.
5) Kuku panjang dan tidak terawat.

 Tingkatan
Menurut Herdman (2015), batasan karakteristik Pasien dengan Defisit perawatan diri
adalah:
1. Defisit perawatan diri : mandi
a) ketidakmampuan untuk mengakses kamar mandi,
b) ketidakmampuan mengeringkan tubuh,
c) ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi,
d) ketidakmampuan menjangkau sumber air,
e) ketidakmampuan mengatur air mandi,
f) ketidakmampuan membasuh tubuh.
2. Defisit perawatan diri: Berpakaian;
a) ketidakmampuan mengancing pakaian,
b) ketidakmampuan mendapatkan pakaian,
c) ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian,
d) ketidakmampuan mengenakan sepatu,
e) ketidakmampuan mengenakan kaos kaki,
f) ketidakmampuan melepaskan atribut pakaian,
g) ketidakmampuan melepas sepatu,
h) ketidakmampuan melepas kaus kaki
i) hambatan memilih pakaian
3. Defisit perawatan diri : Makanan;
a) ketidakmampuan menambil makanan dan mengambil kemulut,
b) ketidakmampuan mengunyah makanan
c) ketidakmampuan menghabiskan makanan
d) ketidakmampuan menempatakan makanaan ke perlengkapan makanan
e) ketidakamapuan menggunakan perlengkapan makanan,
f) ketidakmampuan memakan makanan dalam cara yang dapat diterima
secara sosial
g) ketidakmampuan memakan maakan dengan cara yang aman
h) ketidakmampuan memakanan dalam jumlah memadai
4. Defisit perawatan diri : BAB/BAK
a) Ketidakmampuan melakukan hyginie eliminasi yang tepat
b) Ketidakmampuan menyiram toilet/kursi buang air ( commode)
c) Ketidakmampuan naik ke toilet atau commode
d) Ketidakmampuan memanipulasi pakaian untuk eliminasi
e) Ketidakmampuan berdiri dari toilet atau commode
f) Ketidakmampuan untuk duduk di toilet atau commode

 Klasifikasi
1. Kurang perawatan diri : Mandi atau kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/ kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian
Kurang perawatan diri (mengenkan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas dandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perwatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjanah : 2004)

B. Rentang Respon, jenis, fase, komponen (jika ada)


1. Rentang Respon

Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk berprilaku
adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan
perawatan diri. Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stresor kadang-
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya, Tidak melakukan perawatan diri, klien
mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.

2. Jenis- jenis
Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :
a) Defisit perawatan diri: Mandi Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b) Defisit perawatan diri: Berpakaian Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas berpakaian dan berias untuk diri sendiri.
c) Defisit perawatan diri: Makan Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas sendiri.
d) Perawatan diri: Eliminasi :Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas eliminasi sendiri (Nurjannah, 2004).

C. Faktor prediposisi
1) Biologis: penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan faktor herediter.
2) Psikologis: faktor perkembangan dimana keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan pasien sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Kemampuan realitas
turun, pasien gangguan jiwa yang kemampuan realitas kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
3) Sosial: kurang dukungan dan situasi lingkungan mempengaruhi kemampuan dalam
perawatan diri

D. Faktor Presipitasi

Faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi
atau perceptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.

Menurut Tarwoto & Wartonah (2003: 59) faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:

1) Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
2) Praktik social
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan. Kebiasaan
seseorang. Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
6) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart & Sundeen,
2000) yaitu:
1) Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan
mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri
secara mandiri
2) Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.Kategorinya adalah tidak
mau merawat diri.

I. Pohon masalah

II. Analisa data Dan Data Fokus Pengkajian


No Data Etiologi Masalah
1. DS : Harga diri rendah Penurunan
kemampuan dan
motivasi merawat
-Klien mengatakan
diri
‘saya tidak
mampu’

-Klien mengatakan Defisit perawatan diri


‘saya tidak bisa’

-Klien mengatakan
‘saya tidak tahu
apa-apa’

-Klien mengatakan Penurunan kemampuan dan motivasi


‘saya bodoh’ merawat diri

-Klien mengkritik
diri sendiri

-Klien
mengungkapkan
perasaan malu
terhadap diri
sendiri

DO :

-Klien lebih terlihat


suka sendiri

-Klien bingung bila


disuruh memilih
alternative
tindakan
2. Ds : Faktor predisposisi dan faktor Defisit perawatan diri
presitipasi
-Klien mengatakan
dirinya malas
mandi Karen
airnya dingin atau Koping individu tidak efektif
di RS tidak tersedia
alat mandi

-Klien mengatakan Harga diri rendah


dirinya malas
berdandan

-Klien mengatakan
ingin disuapi Menarik diri
makan

-Klien mengatakan
jarang
membersihkan alat
kelaminnya stelah
BAK/BAB
Defisit perawatan diri
DO :

-Rambut klien
kotor,gigi
kotor,kulit
berdaki,dan
berbau,serta kuku
panjang dan kotor

-Klien tidak
mampu
berpakaian/berhias
ditandai denga
rambut acak-
acakan,pakaian
kotor dan tidak
rapi,pakaian tidak
sesuai,tidak
bercukur (laki-
laki),atau tidak
Berdandan ( wanita
)

3. DS : Koping individu tidak efektif Isolasi sosial :


menarik diri
-Klien mengatakan
saya tidak berguna
Gangguan konsep diri :harga diri rendah
-Klien mengatakan
tidak bisa
melakuan apa-apa
Isolasi sosial : menarik diri
-Klien mengatakan
malu pada diri
sendiri

DO :

-Klien tampak
tidak bisa memilih
keputusan
sederhana

-Klien tampak
murung

Klien tidak mau


berjabat tangan

-Klien tampak
tidak mau
berinteraksi

-Penampilan klien
kurang rapih

III. Diagnosa Keperawatan


Berdasakan data yang didapat ditetapkan diagnosa keperawatan defisit perawat diri
(kebersihan diri, makan, berdandan, defekasi/berkemih).
1) Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri.
2) Defisit perawatan diri
3) Isolasi sosial : menarik diri

IV. Rencana Tindakan keperawatan (fokus tindakan keperawatan dan kolaborasi)


Diagnosa 1 : Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri.
Tujuan Umum : Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri.
Tujuan Khusus :

TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat


Intervensi :
a) Berikan salam setiap berinteraksi.
b) Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
c) Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
d) Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
e) Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
f) Buat kontrak interaksi yang jelas.
g) Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
h) Penuhi kebutuhan dasar klien.

TUK II : Klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.


Intervensi :
a) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik
b) Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang arti bersih dan tanda- tanda bersih.
c) Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri.
d) Diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien
terhadap hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
e) Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara
kebersihan diri.
f) Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti
kebersihan diri.
g) Ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti: mandi 2 kali pagi dan
sore, sikat gigi minimal 2 kali sehari (sesudah makan dan sebelum tidur),
keramas dan menyisir rambut, gunting kuku jika panjang.

TUK III: Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi:
a) Motivasi klien untuk mandi.
b) Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan
cara memelihara kebersihan diri yang benar.
c) Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d) Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e) Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan
kebersihan diri, seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
f) Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri seperti
odol, sikat gigi, shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.

TUK IV : Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.


Intervensi :
a) Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk
mencuci rambut, menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.

TUK V : Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.


Intervensi :
a) Beri reinforcement positif jika berhasil melakukan kebersihan diri.
TUK VI : Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.
Intervensi :
a) Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga
kebersihan diri.
b) Diskusikan bersama keluarga tentang tindakanyang telah dilakukan klien selama
di RS dalam menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialami di RS.
c) Anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan yang
telah dialami di RS.
d) Jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga
kebersihan diri klien.
e) Anjurkan keluarga untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri.
f) Diskusikan bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan
diri.
g) Diskusikan dengan keluarga mengenai hal yang dilakukan misalnya:
mengingatkan pada waktu mandi, sikat gigi, mandi, keramas, dan lain-lain.

Diagnosa 2 : Defisit Perawatan Diri (kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK).


Tujuan Umum :Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri.
Tujuan Khusus :

TUK I : Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri


Intervensi :
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri

TUK II :Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik


Intervensi :
Untuk pasien laki laki, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias

TUK III : Pasien mampu melakukan makan dengan baik


Intervensi :
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
TUK IV :Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Intervensi :
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

Diagnosa 3 : Isolasi Sosial


Tujuan Umum : Klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi.
Tujuan Khusus :

TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya.


Intervensi :
a) Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas
tentang topik, tempat dan waktu.
b) Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.
c) Dengarkan dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru, tunjukkan
bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.

TUK II : Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri.


Intervensi :
a) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri
atau mau bergaul.
c) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab
yang muncul.
d) Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.

TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
a) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang
lain.
b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan prang lain.
c) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
d) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
e) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
f) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain.
g) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
h) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

TUK IV : Klien dapat melaksanakan hubungan sosial.


Intervensi :
a) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain.
b) Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain.
c) Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
d) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan.
e) Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu.
f) Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan.
g) Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan.

TUK IV : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang


lain.
Intervensi :
a) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang
lain.
b) Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang lain.
c) Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat
berhubungan dengan oranglain.

VI. Daftar Pustaka


Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik (PBK) Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing: Titin Supriyatin, Ners.,M.Kep

Disusun oleh :

Mahmudin Latief

19025

TK 2A
STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

Jl.Walet No.21,kertawinangun, kedawung,Cirebon,jawa Barat 45153

2020/2021

I. Kasus (Masalah Utama )


Resiko Perilaku Kekerasan

A. Definisi

Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Respons
ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Keliat,dkk, 2011).
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan merupakan suatu
komunikasi atau proses penyampaian pesan individu. Orang yang mengalami
kemarahan sebenarnya ingin menyampaian pesan bahwa ia “tidak setuju, merasa
tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituntut atau diremehkan”
(Yosep, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati,
2010).

 Tanda dan Gejala


1. Data objektif :
-Mata merah
-Pandangan tajam
-Otot tegang
-Nada suara tinggi
-Suka berdebat
-Sering memaksakan kehendak
-Suka merebut makanan : memukul jika tidak senang
2. Data subyektif :
-Sering merasa terancam
-Mengungkapkan perasaan tak berguna
-Mengungkapkan perasaan jengkel
-Mengungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-debar, merasa tercekik,
sesak, dan bingung.
 Tingkatan
Tingkat perilaku kekerasan menurut Jeffrey dkk (2006)
a. Ringan
Merupakan perilaku kekerasan yang di perlihatkan pasien dengan
gangguan jiwa hanya sebatas intimidasi terhadap orang orang
disekitarnya .Pasien belum melakukan kekerasan verbal tetapi sudah
menunjukan kekerasan emosional. Bentuknya merupakan emosional
verbal seperti mata melotot, melihat dengan tajam atau mengepalkan
tangan
b. Menengah (sedang )
Merupakan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan pasien tetapi
tidak mengakibatkan cedera yang berarti pasien dengan gangguan jiwa
sudah menyerang dengan intensitas yang rendah, misalnya memukul
tapi dengan jenis pukulan yang tidak terlalu keras.
c. Berat
Merupakan perilaku kekerasan yang benar benar dilakukan pasien
dengan gangguan jiwa dalam intensitas yang berat.Biasanya akan
mengakibatkan cedera serius pada orang yang diserang.
 Klasifikasi
-Irritable agression
Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Agresi ini
dipicu oleh oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses
penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional yang
tinggi (directed against an available target)
-Instrumental agression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu. Misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu dilakukan tindak
kekerasan secara sengaja dan terencana.
- Mass agression
Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan
individualitas dari masing-masing individu. Pada saat orang berkumpul
terdapat kecenderungan berkurangnya individualitas, bila ada ada seseorang
yang mempelopori tindak kekerasan maka secara otomatis semua akan ikut
melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut bisa saja
melakukan agresi instrumental (sebagai provokator) maupun agresi
permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat, 1996 dalam Muhith,
2015)
B. Rentang Respon

Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang
ekstrim dari marah atau ketakutan ( panik ).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai
kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
c. Pasif : indivi du tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya
kontrol.
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu
bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang yang
mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia ”tidak
setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau
diremehkan.” Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon yang tidak normal (maladaptif).

C. Faktor predisposisi

Menurut Sujono dan Teguh ( 2009 ) faktor-faktor yang mendukung terjadinya


perilaku kekerasan adalah
a. Faktor biologis
1) Intinctual drive theory (teori dorongan naluri) Teori ini menyatakan bahwa
perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2) Psycomatic theory (teori psikomatik) Pengalaman marah adalah akibat dari
respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.
Dalam hal ini sistem limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan
maupun menghambat rasa marah
b. Faktor psikologis
1) Frustasion aggresion theory ( teori argesif frustasi) Menurut teori ini perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi yang terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat
mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang
melalui perilaku kekerasan.
2) Behavioral theory (teori perilaku) Kemarahan adalah proses belajar, hal ini
dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung
reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah. Semua aspek ini
menstimulai individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Existential theory (teori exsistensi) Bertindak sesuai perilaku adalah
kebutuhan yaitu kebutuhan dasar manusia apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
dipenuhi melalui perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi
kebutuhannya melalui perilaku destruktif
c. Faktor sosio kultural
1) Social enviroment theory ( teori lingkungan ) Lingkungan sosial akan
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya tertutup
dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
diterima.
2) Social learning theory ( teori belajar sosial ) Perilaku kekerasan dapat
dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi.

D. Faktor presipitasi

Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat


buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh
stressor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian,
krisis dan lain-lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan dengan
seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik,
hilang kontrol, menurunnya percaya diri dan lain-lain.Selain itu lingkungan yang
terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan
dapat memicu perilaku kekerasan.
E.Mekanisme koping
1) Konstruktif Mekanisme konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan
sebagai sinyal peringatan dan individu menerima sebagai tantangan untuk
menyelesaikan masalah, menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan
diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada individu
(Yusuf, 2015)
2) Destruksif Mekanisme koping destruksif menghindari kecemasan tanpa
menyelesaikan konflik. Pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan , apabila
perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya
dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk
(Yusuf, 2015)

II.Pohon Masalah
Risiko perilaku kekerasan
(pada diri sendiri, orang
lain,lingkungan, dan verbal

Effect

Perilaku kekerasan

Core problem
Harga diri rendah kronis

Causa

I. Analisa data

No Data Masalah

1. Data Suyektif : Perilaku kekerasan


Pasien mengatakan merasa terancam dengan
Orang baru dan benda-benda yang dipegang
oleh perawat jengkel, menyalahkan orang
lain, dendam, dan benci terhadap seseorang.
Data obyektif :
- Tatapan mata tajam
- Marah-marah saat dikaji
- Mengamuk
- Wajah tegang
- Gelisah
- Nada bicara kasar dengan suara tinggi
serta membentak dan menggunakan kata-
kata kotor
- Pasien mudah terlihat curiga

2. Data subyektif : Gangguan presepsi sensori :


halusinasi pendengaran
Pasien mengatakan mendengar bisikan yang
mengatakan ingin membunuhnya dan suara
itu tidak sering muncul
Data obyektif :
- Pasien tampak marahmarah
- Mudah tersinggung
- Terlihat bicara sendiri dan tertawa sendiri

3. Data subyektif Resiko mencederai diri


Pasien mengatakan merasa terancam dengan sendiri, orang lain dan
Orang baru dan benda-benda yang dipegang lingkungan
oleh perawat jengkel, menyalahkan orang
lain, dendam, dan benci terhadap seseorang
Data obyetif :
- Tatapan mata tajam
- Marah-marah saat dikaji
- Mengamuk
- Wajah tegang
- Gelisah
- Nada bicara kasar dengan suara tinggi serta
membentak dan menggunakan katakata
kotor, Pasien mudah terlihat curiga

II. Diagnosa keperawatan


1. Resiko mencederai: diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan
3. Gangguan presepsi sensori : halusinasi penglihatan

III. Rencana tindakan keperawatan

N Diagnos Perencanaan Intervensi Rasional


o a Tujuan .kriteria hasil
1. Perilaku 1. Klien dapat 1. Klien mau 1. Beri salam/panggil Hubungan
kekerasa membina hubungan membalas salam nama klien saling percaya
n saling percaya 2. Klien mau 2. Sebut nama perawat merupakan
menjabat tangan sambil jabat tangan landasan utama
3. Klien mau 3.Jelaskan maksud dalam rencana
menyebutkan nama hubungan interaksi intervensi
4. Klien mau 4. Jelaskan tentang keperawatan
tersenyum kontrak yang akan dibuat selanjutnya.
5. Klien mau 5. Beri rasa aman dan
kontak mata sikap
6. Klien 6. Lakukan kontrak
mengetahui nama singkat tapi sering

2. Klien dapat 1. Klien dapat 1. Beri kesempatan untuk Menentukan


mengidentifikasi mengungkapkan mengungkapkan mekanisme
penyebab perilaku perasaanya perasaannya koping yang
kekerasan. 2. Klien dapat 2. Bantu klien untuk dimiliki oleh
menggungkapkan mengungkapkan klien dalam
penyebab perasaan penyebab jengkel/kesal menghadapi
jengkel/kesal (dari 3. Dengarkan penjelasan masalah selain
diri sendiri, dari klien tanpa menyela atau itu sebagai
lingkungan/orang member penilaian pada landasan awal
lain). setiap ungkapan perasaan dalam
klien. menyusun
intervensi
berikutnya

3. klien dapat 1. Anjurkan klien 1. anjurkan klien - Untuk


mengidentifikasi atau mengungkapkan mengungkapkan apa yang mengetahui hal
mengungkapkan apa yang dialami Dialami saat yang dialami
perasaan saat saat marah/jengkel. marah/jengkel 2. dan dirasa saat
mara/jengkel tanda 2. Observasi tanda Observasi tanda perilaku jengkel
perilaku kekerasan perilaku kekerasan kekerasan pada klien - Untuk
dan pada klien 3. Simpulkan bersama mengetahui
menyimpulkannya 3. Simpulkan klien tanda-tanda tanda-tanda
bersama klien jengkel/kesal yang klien
tanda-tanda dialami klien jengkel/kesal
jengkel/kesal y - Deteksi dini
dapat mencegah
tindakan yang
bisa
membahayakan
klien dan
lingkungan
sekitar
- Menarik
kesimpulan
bersama klien
supaya klien
mengetahui
secara garis
besar
tandatanda
marah/kesal

4. klien dapat 1. klien dapat 1. Anjurkan klien untuk - mengekplorasi


mengidentifikasi mengungkapkan mengungkapkan perilaku perasaan klien
perilaku kekerasan perilaku kekerasan kekerasan yang pernah terhadap
yang pernah di yang pernah di dilakukan klien perilaku
lakukan. lakukan 2. Ajak klien untuk kekerasan yang
2. Klien dapat menceritakanperasa an biasa dilakukan
mengetahui cara setelah tindakan - Untuk
yang biasa kekerasan terjadi mengetahui
dilakukan 3. Bicarakan dengan perilaku
3. Klien dapat klien apakah cara yang kekerasan yang
mengetahui cara klien lakukan masalahnya biasa dilakukan
yang biasa dapat selesai dan dengan
menyesuaikan bantuan perawat
masalah atau tidak. bisa
membedakan
perilaku
konstruksi an
destruktif
- Dapat
membantu klien
dapat
menemukan
cara yang dapat
menyelesaikan
masalah.

5. Klien dapat 1. Klien dapat 1. Bicarakan - Membantu


mengidentifikasi menjelaskan akibat akibat/kerugiaan klien untuk
akibat perilaku dari cara dari cara yang menilai perilaku
kekerasan kekerasan yang dilakukkan klien kekerasan yang
digunakannya baik terhadap diri dilakukkannya
diri sendiri, orang sendir orang lain - Dengan
lain, dan dan lingkungan mengetahui
lingkungan sekitar sekitar. akibat perilaku
2. Bersama klien kekerasan
menyimpulkan diharapkan
akibat yang klien dapat
digunakan oleh merubah
klien perilaku
destruktif yang
dilakukannya
menjadi
perilaku yang
konduktif

6. Klien dapat 1. Klien dapat 1. Tanyakan pada klien - Agar klien


mengidentifikasi cara menjelaskancaracar apakah ingin mempelajari dapat
respon konstrukif a sehat dalam cara baru yang sehat memepelajari
dalam kemarahan mengungkapkan 5. Jelaskan cara-cara cara-cara sehat
marahnya. sehat mengungkapkan dalam
2. kemarahannya. mengungkapkan
6. Berikan pujian jika kemarahannya
klien mengetahui cara - Dengan
lain yang sehat Secara mengidentifikas
fisik : i cara yang
- tarik nafas dalam jika konstruktif
sedang kesal/ memukul dalam merespon
bantal/ terhadap
kasur atau olaraga atau kemarahan
pekerjaan yang dapat
memerlukan tenaga membantu klien
Secara verbal : katakan menemukan
bahwa anda sedang cara yang baik
kesal/tersing-gung/ untuk
jengkel (saya kesal anda mengurangi
berkata seperti itu; saya kejengkelannya
marah karena mama tidak yang berpotensi
memenuhi keinginan menciderai diri
saya). Secara social : sendiri, orang
lakukan dalam kelompok lain dan
cara-cara marah yang lingkungan.
sehat; latihan asentif - Retoforcement
latihan manajemen positif dapat
perilaku kekerasan. memotivasi
- Secara spiri- tual; klien dan
anjurkan klien meningkatkan
sembayang berdoa ibadat harga dirinya
lain; meminta pada tuhan - Berdiskusi
untuk diberi kesabaran, dengan klien
mengadu pada untuk memilih
cara yang lain
sesuei dengan
kemampuan
klien

7. Klien dapat 1. Klien 1. Bantu klien memilih - Membantu


memperagakan cara memperagakan cara yang paling tepat klien dalam
mengontrol perilaku cara mengontrol 2. Bantu klien membuat
kekerasan perilaku kekerasan. mengodentifikasi manfaat keputusan
fisik : cara dipilih 3. Bantu terhadap cara
-tarik napas dalam, keluarga klien untuk yang telah
olahraga verbal : menstimulasi cara dipilihnya
- secara langsung tersebut roleplay dengan melihat
dengan tidak 4.Beweinforcement manfaatnya
menyakiti spiritual positif atau keberhasilan - Agar klien
: sembayang atau klien mensti-mulasi cara mengetahui cara
berdoa serta tersebut marah yang
kegiatan ibadah 5. Anjurkan klien untuk konstruktif
lain. menggunakan cara yang -Pujian dapat
telah Dipelajari saat meningkatkan
Jengkel/marah motivasi dan
harga diri klien
- Agar klien
dapat
melaksanakan
cara yang telah
dipilih nya jika
ia sedang kesal

8. Klien mendapat 1. Keluarga mampu 1. Identifikasi - Kemampuan


dukungan dari mengerti dan ikut kemampuan keluarga keluarga dalam
keluarga. Dapat : berpartisipasi merawat klien dari sikap mengidentifi-
keluarga dalam dalam perawatan apa yang telah dilakukan kasi akan
menyebutkan pasien keluarga terhadap klien memungkinkan
mengontrol cara selam ini. keluarga untuk
perilaku kekerasan 2.Jelaskan peran serta melakukan
keluaraga merawat klien penilaian
3. Jelaskan cara merawat terhadap
klien: terkait dengan cara perilaku
mengontrol perilaku kekerasan
marah secara kontruktif, -Meningkatkan
sikap tenang bicara pengetahuan
tenang dan pelan, keluarga
memebantu klien tentang cara
mengenal penyebab merawat klien
masalah sehingga
4. Bantu keluarga terlibat
keluargamendemostrasika dalam
n cara merawat klien perawatan klien
5. Bantu kelurgamengu - Agar keluarga
ngkapkan perasaannya dapat merawat
setelah melakukan klien dengan
demonstrasi perilaku
kekerasan
- Agar keluarga
mengetahui cara
merawat klien
melalui
demonstrasi
yang dilihat
keluarga secara
langsung
-
Mengeksplolasi
perasaan
keluarga setelah
melakukan
demonstrasi

9. . Klien dapat 1. Klien dapat 1. Jelaskan jenis obat - Klien dan


mengunakan/menyeb menyebuitkan yang diminum klien pada keluarga dapat
ut obat-obatan yang jenis, dosis, waktu klien keluarga mengetahui
di minum dan dan efek 2. Diskusikan manfaat nama-nama
kegunananya (jenis, sampingnya. minum obat dan obat yang
waktu, dan dosis). 2. Klien kerugianberhentiminum diminum oleh
Klien dapat minum memperagakan obat tanpa seizin dokter klien
obat sesuai program kepatuhan minum 3. Jelaskan prinsip benar - Klien dan
pengobatan obat sesuai jadwal minum obat baca nama keluarga dapat
yang di tetapakan. yang tertera pada botol mengetahui
3. mengevaluasi obat,dosis obat,waktu dan kegunaan obat
kemampuan dalam cara minum yang
mematuhi 4. Apakah klien minta dikonsumsi
meminum obat. obat dan minum tepat klien
waktu 5. Anjurkan klien - Klien dan
melaporkan pada keluaraga
perawat/dokter jika mengetahui
merasakan efek yang prinsip benar
tidak menyenangkan agar tidak
6. Beri pujian,jika klien terjadi
minum obat dengan kesalahan
benar. dalam
mengomsumsi
obat
- Klien dapat
memiliki
kesadaran
pentingnya
minum obat dan
dengan
kesadaran
sendiri
- Mengetahui
efek samping
sendiri mungkin
sehingga
tindakan dapat
dilakukan
segera mungkin
untuk
menghindari
komplikasi
-
Beweinfoeceme
n t positif dapat
memotivasi
keluarga
danklien serta
dapat
meningkatkan
harga diri

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.ump.ac.id/514/3/INDRI%20MULYANI%20BAB%20II.pdf

Direja, A. H. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Fontaine, K. (2009). Mental Health Nursing (7th ed.). New Jersey: Pearson Education.

Joyal, Christian C, Gendron, Catherine, Cote, Gilles 2008, ‘Nature and Frequency Aggressive
Behaviours Among Long-Term Inpatients With Schizophrenia: A 6-Months Report Using
The Modified Overt Aggression Scale’, Canadian Journal of Psychiatry, vol. 53, no. 7,
diakses 03 September 2015, < http://media.proquest.com/>.

Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. (2012). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai