Anda di halaman 1dari 11

NAMA : ARYANI KEMALA N

NIM : 1730302046

MK : FILSAFAT YUNANI

A. Sejarah Filsafat pada Abad Pertengahan

Filsafat abad pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal

abad ke-17. Namun, ada yang mengatakan pada abad ke-2 sampai abad ke14.

Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476 M, yakni masa berakhirnya

kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma, dan munculnya kerajaan

Romawi Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel sebagai data awal zaman

abad pertengahan dan tahun 1492 sebagai data akhirnya.

Runtuhnya kerajaan Yunani sejak wafatnya Alexander disusul oleh

kebangkitan Romawi yang kekuasaannya meliputi kawasan lebih luas

dibandingkan dengan wilayah kekuasaan Yunani. Tidak terbayangkan wilayah

Yunani yang semula terbentang dari Laut Tengah hingga Persia akhirnya tidak

mampu bertahan menghadapi kebangkitan kekaisaran Romawi.

Mengingat begitu luasnya kekuasaan Romawi, maka pantaslah berlaku

sebutan Imperium Romanum. Wilayah yang dikuasai Imperium Romanum


meliputi benua Eropa, wilayah Timur Tengah, dan Afrika Utara. Bersamaan

dengan meluasnya wilayah Imperium Romanum itu meningkat pula peran

gereja sebagai pusat spiritual yang mengembangkan filsafat sesuai dengan

ajaran agama.

Filsafat dijadikan sebagai pendukung teologi; ajaran agama harus dijadikan

tolak ukur kebanaran; kegiatan penalaran dan filsafat tidak boleh menghasilkan

kesimpulan yang menggoyahkan keimanan, apalagi bertentangan dengan

tafsiran resmi yang diajarkan berdasarkan wibawa gereja. Pengembangan

penalaran tidak dilarang, namun usaha tersebut harus disesuaikan dan diabdikan

pada keyakinan beragama.

Meskipun dalam kurun waktu itu mulai dilakukan penerjemahan karya-

karya Yunani, Arab, dan Yahudi ke dalam bahasa Latin, sehingga terjangkau

khalayak pembaca yang semakin meluas, namun kegiatan filsafat ini banyak

dilakukan oleh tokohtokoh terkemuka di lingkungan gereja serta terpusat pada

biara-biara, dan baru kemudian beralih ke kalangan perguruan tinggi yang

masih amat terbatas jumlahnya.

Sejak akademi Plato dan berbagai perguruan filsafat yang berkembang di

Yunani dibubarkan atas perintah kaisar Justinianus pada tahun 529 M, banyak

sekali sumber belajar filsafat yang hilang, apalagi karena perintah penutupan
pusat-pusat belajar, selain itu juga karena adanya larangan atas beredarnya

naskah-naskah peninggalannya.

Pada saat itu, agama Kristen dijadikan sebagai agama negara dalam

kekaisaran Romawi Timur oleh Kaisar Theodosius I pada tahun 391 M. Dengan

demikian, agama Kristen mendapat dukungan yang sedemikian rupa dan gereja

sendiri menjadi kekuatan politik. Dalam perkembangan selanjutnya, gereja

memperoleh peluang besar untuk menentukan jalan hidup manusia sebagai

individu maupun sebagai warga Negara.

Sehingga pada saat itu dalam usaha penalaran pun harus disesuaikan dan

diabdikan pada keyakinan beragama. Hal inilah yang mengawali munculnya

filsafat abad pertengahan dengan ciri khas bahwa alam pikiran harus

disesuaikan dengan ajaran agama.

B. Karakteristik dan Ciri Filsafat pada Abad Pertengahan

Ciri yang mendasar pada filsafat abad pertengahan ialah filsafat lebih

bercorak “Theosentris”, artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan filsafat

sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan. Suatu

karya filsafat dinilai benar jika tidak menyimpang dari ajaran agama. Dengan

kata lain, filsafat abad pertengahan ditandai dengan adanya hubungan yang erat

antara agama Kristen dan filsafat.


Periode abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan

abad sebelumnya. Perbedan itu terletak pada dominasi agama. Timbulnya

agama Kristen yang diajarkan oleh nabi Isa AS pada permulaan abad masehi

membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan. Agama Kristen

menjadi problem kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang

merupakan kebenaran sejati.

Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa

kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Karena mereka belum

mengenal adanya wahyu.Filsafat abad pertengahan juga dapat dikatakan

sebagai abad gelap. Berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat itu

tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak lagi

memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam

dirnya.

Para ahli pikir saat itu juga tidak memiliki kebebasan berpikir. Apalagi

terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama dan

gereja. Siapapun orang yang mengemukakannya akan mendapat hukuman yang

berat. Pihak gereja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan rasio

terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama (teologi) yang tidak

berdasarkan pada ketentuan gereja akan mendapat larangan yang ketat.


Yang berhak mengadakan penelitian terhadap agama adalah gereja.

Walaupun demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka

dianggap orang yang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi).

Pengejaran terhadap orang-orang murtad ini mencapai puncaknya saat di bawah

pimpinan Paus Innocentius III di akhir abad XII.Abad pertengahan ini juga

dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring

manusia ke dalam kehidupan/system kepercayaan yang fanatik, dengan

menerima ajaran gereja yang membabi buta.

Karena itulah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Masa

ini penuh dengan dominasi gereja yang tujuannya membimbing umat ke arah

hidup yang baik. Tetapi di sisi lain, dominasi gereja ini dilakukan tanpa

diselaraskan dengan memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang

mempunyai perasaan, pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk menentukan masa

depannya sendiri. Adapun ciri pemikiran filsafat pada abad pertengahan ialah :

1. Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja.

2. Berfilsafat dalam lingkungan ajaran Aristoteles.

3. Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus.

C. Periodisasi Filsafat pada Abad Pertengahan


Sejarah filsafat abad pertengahan dibagi menadi dua zaman atau periode

yakni periode patristik dan periode skolastik.

1. Periode Patristik (100-700 M)

Patristik berasal dari kata latin patres yang berarti bapak-bapak gereja, ialah

ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen. Di dunia Barat,

agama Katolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia,

dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkannya maka mereka

mempergunakan filsafat Yunani dan memperkembangkannya lebih lanjut,

khususnya mengenai soal-soal tentang kebebasan manusia, kepribadian,

kesusilaan,dan sifat Tuhan.

Pada periode ini ahli-ahli agama Kristen itu berusaha untuk memperlihatkan

bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran yang dalam dari manusia. Mereka

berhasil membela ajaran-ajaran Kristiani terhadap tuduhan dari pemikirpemikir

kafir. Tulisan-tulisan bapak gereja merupakan suatu sumber yang kaya dan luas.

Filsuf yang terkenal pada periode Patristik ini ialah Tertualianus (160-222),

Origenes (185-254), Agustinus (354- 430).

2. Periode Skolastik

Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti

sekolah. Atau dari kata schuler yang mempunyai arti kurang lebih sama, yaitu
ajaran atau sekolahan. Periode ini ditandai dengan diajarkannya filsafat pada

sekolah-sekolah biara dan universitasuniversitas dengan mempergunakan

kurikulum yang tetap yang berisi tentang hubungan hakikat Tuhan, antropologi,

etika, dan politik. Secara garis besar, periode skolastik pada abad pertengahan

dibagi menjadi dua, yaitu periode skolastik Kristen dan periode skolastik Islam.

D. Perkembangan Filsafat pada Abad Pertengahan

Tokoh gereja yang menonjol pada awal abad pertengahan ialah Aurelius

Agustinus (354-430), yang kemudian juga terkenal sebagai Santa Agustinus.

Dialah yang meletakkan dasar untuk memperpadukan filsafat degan teologi.

Menurutnya, dalam hal terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan.

Artinya, Tuhan lah yang menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta,

Tuhan menghasilkan ciptaan dari ketiadaan.

Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat dualisme

antara Tuhan (kebaikan) dengan material (keburukan). Karena segala sesuatu

timbul oleh penciptaan dari Tuhan, maka segala sesuatu juga diambil dalam bagian

kebaikan Tuhan. Dengan kata lain, alam material mempunyai bentuk kebaikan

sendiri. Tuhan menciptakan alam semesta serta waktu dari keabadian, gagasan

penciptaan tidak bertentangan dengan alam abadi.


Kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula, tetapi filsafat

tidak mampu membuktikan hal itu. Seperti halnya filsafat juga tidak bisa

membuktikan bahwa alam semesta tidak berawal mula. Agustinus menghasilkan

sejumlah besar karya yang selama berabad-abad membekaskan pengaruhnya

terhadap para filsuf dari lingkungan gereja, tanpa adanya pertentangan dari

lingkungan lain.

Baru ketika pada awal abad ke-12 bermunculan lingkungan belajar yang

bersifat pendidikan tinggi (cikal-bakal universitas), berbagai interpretasi dan tesis

yang diwariskan oleh Agustinus menghadapi ujian. Di Paris, para cendekiawan

bergabung dalam suatu perhimpunan yang disebut Universitas Magistrorum et

Scholarium. Otonomi perhimpunan ini dikukuhkan berdasarkan dekrit pimpinan

tertinggi gereja (Paus) dan dengan demikian perguruan tinggi mendapat

keleluasaan untuk menyelenggarakan pelajaran dan pengembangan pemikiran

dalam lingkungannya.

Itu sebabnya mengapa Paris dianggap sebagai kota universitas pertama.

Paris dipandang sebagai Athena-nya abad pertengahan. Kemudian nama

Universitas Magistrorum et Scholarium diubah menjadi Universitas Literarum,

yang secara harfiah artinya perguruan tinggi kesusastraan, namun dalam arti

luasnya juga meliputi filsafat. Dalam lingkungan ini diterapkan Studium Generale

sebagai cara mengajar.


Akan tetapi karena semakin banyaknya bidang khusus yang menjadi sasaran

pembahasan, maka tersusunlah pengelompokkan yang lebih terbatas dan terdiri

atas orang-orang yang sesama berminat terhadap bidang tertentu, sehingga

terbentuklah apa yang disebut collegium. Berbeda dengan universitas yang

memiliki kurikulum untuk berbagai bidang studi dan masa belajarnya diakhiri

dengan ujian dan pemberian gelar, kurikulum collegium terbatas pada satu bidang

studi khusus dan tidak menyelenggarakan ujian akhir maupun pemberian gelar.

Collegium juga melaksanakan studi generalia sesuai dengan bidang studi masing-

masing.

Bentuk inilah yang didirikan oleh Robert do Sorbon (1201-1274) di Paris

pada tahun 1253, yang kemudian menjadi cikal-bakal universitas terkemuka di

Prancis. Di berbagai kota mulai bermunculan perguruan tinggi, baik yang

berbentuk universitas atau collegium. Di antara bentuk universitas yang didirikan

sejak abad ke-12 dan bertahan hingga masa kini ialah universitas Paris, Oxford,

dan Al-Azhar. Pada umumnya universitas itu semula memusatkan perhatian pada

bidang studi filsafat, teologi, hukum, dilanjutkan kemudian dengan bidang lainnya.

Dalam lingkungan perguruan tinggi ini ditempuh cara belajar dan mengajar

yang khas. Pada pagi hari disajikan lectiones (kuliah) oleh para pengajar, kemudian

di sore harinya disusul dengan disputationes (pembahasan) antara pengajar dan

murid-muridnya maupun antara sesama murid. Dari bahan perkuliahan dan


pembahasan itu bisa saja timbul hal-hal yang harus dirumuskan sebagai quastiones,

yaitu berbagai persoalan yang masih perlu dicarikan penyelesaiannya.

Dalam suasana otonomi yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi itu,

pembahasan berbagai persoalan berlangsung jauh lebih bebas dibandingkan

dengan dalam masa sebelumnya, tatkala ajaran agama secara a priori harus

diunggulkan di atas kesimpulan atau penafsiran yang dihasilkan berdasarkan

penalaran. Dengan berlakunya otonomi dalam lingkungan perguruan tinggi, maka

berbagai doktrin keagamaan mendapat tantangan yang tidak pernah dialami

sebelumnya.

Kemantapan doktrin agama dan wibawa gereja yang selama berabad-abad

diandalkan pada karya Agustinus mulai rawan menghadapi perkembangan alam

pikiran para cendekiawan dalam lingkungan perguruan tinggi yang memiliki

otonomi dengan kebebasan mimbarnya sendiri. Dalam suasana baru ini muncul

tokoh gereja yang namanya terkait erat dengan perkembangan filsafat dalam masa

skolastik, yaitu Thomas Aquinas (1225-1274), yang dijuluki sebagai ‘pangeran

masa skolastik’.

Jika karya Agustinus terkesan banyak mengacu pada filsafat Plato, maka

Thomas Aquinas tampaknya lebih dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Pada

waktu itu karya Aristoteles telah hilang selama berabad-abad. Namun, setelah
tersedianya karya-karya Aristoteles dalam bahasa Latin yang didasarkan pada

penerjemahan oleh Ibn Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averos) karya Aristoteles

kembali menjadi pembahasan yang meluas di lingkungan perguruan tinggi.

Anda mungkin juga menyukai