Anda di halaman 1dari 6

ITIKAD BAIK DALAM PER JANJIAN

ARBITRASE DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA

Nabila Ahzahra
Program Studi Ilmu Hukum
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
Jl. Boegenville No.16, Karawang Timur
Nabilaazahra592@gmail.com

Abstrak : Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase semakin diminati kalangan dunia
usaha karena dianggap mempunyai berbagai kelebihan dibanding penyelesaian melalui pengadilan,
terutama putusannya yang bersifat putusan terakhir dan mengikat. Akan tetapi di Indonesia,
putusan arbitrase sangat sulit untuk dieksekusi karena adanya upaya- upaya yang dilakukan pihak
yang tidak beritikad baik untuk membatalkan putusan tersebut melalui permohonan pembatalan
kepada pengadilan negeri. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pengaturan itikad baik
dalam perjanjian arbitrase dihubungkan dengan arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa.
Kata Kunci: Itikad Baik, Perjanjian Arbitrase, Penyelesaian Sengketa.

Abstract : Settlement of business dispute through arbitration is increasingly in demand


among the business community because it is considered to have many advantages over the
settlement through the courts, especially its decision which is the final and binding decision.
However, in Indonesia, the arbitral award is very difficult to execute because of the efforts made
by the parties who have no good intentions to cancel the verdict through the cancellation request
to the district court.
Keywords: Good Faith, Arbitration Agreement, Dispute Settlement.

1
A.PENDAHULUAN disebut dengan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) yang didirikan oleh
Perkembangan perekonomian pada Kamar Dagang Indonesia (KADIN).6
era globalisasi dan modernisasi dewasa ini,
menimbulkan pengaruh terhadap Arbitrase semakin dikenal di
berkembangnya transaksi-transaksi bisnis Indonesia sejak diundangkannya Undang-
yang melibatkan pihak-pihak tertentu Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
dalam suatu kegiatan perdagangan. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Kegiatan perdagangan merupakan salah Sengketa (selanjutnya disebut UUAAPS)
satu bentuk yang menunjang kegiatan pada tanggal 12 Agustus 1999. Kehadiran
perekonomian dalam masyarakat dan juga UUAAPS sekaligus memberikan dampak
memiliki peranan yang sangat besar dalam yang signifikan terhadap jumlah perkara
mempengaruhi kondisi perekonomian bisnis yang diselesaikan melalui jalur
nasional. Selain itu, perdagangan juga arbitrase. Berdasarkan data dari Badan
memiliki arti yang sangat penting dalam Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
meningkatkan pertumbuhan ekonomi setelah diundangkannya UUAAPS, jumlah
secara berkesinambungan. perkara yang masuk untuk ditangani BANI
meningkat hingga mencapai 300%
Kegiatan perdagangan merupakan dibandingkan sebelum diundangkannya
salah satu bentuk hubungan hukum undang-undang tersebut
perikatan yang lahir karena perjanjian.
Perjanjian diawali dengan negosiasi Sepanjang 2010 sampai 2014,
(bargaining process) para pihak sehingga BANI telah menangani sekitar 310 kasus
menghasilkan kesepakatan yang tertuang sengketa bisnis. Menurut data yang dirilis
secara tertulis dalam kontrak perdagangan. BANI, dalam lima tahun terakhir, sengketa
Kontrak perdagangan dapat dikatakan sah yang paling banyak terdaftar di BANI
menurut hukum apabila memenuhi syarat adalah sengketa di sektor konstruksi,
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal porsinya mencapai 30,8% dari total
1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka sengketa. Sektor lainnya yang juga cukup
yang mengikatkan dirinya, cakap untuk sering ditangani BANI adalah dari
membuat suatu perjanjian, suatu hal sektor leasing, yakni mencapai 20,8%.
tertentu dan suatu sebab yang halal (R. Selebihnya merupakan perkara dari sektor
Subekti, 2002:15).1 pertambangan dan energi, investasi,
keagenan, transportasi, asuransi, dan lain
sebagainya
Arbitrase merupakan salah satu walaupun pembatalan putusan
metode penyelesaian sengketa bisnis di arbitrase dibenarkan oleh UUAAPS,
luar pengadilan. Penyelesaian sengketa dibutuhkan ketentuan yang jelas dan tegas
melalui arbitrase serta konsistensi pengadilan dalam
berkembang pesat setelah abad ke-18 menentukan sebab-sebab pembatalan
dengan lahirnya berbagai konvensi putusan arbitrase sehingga tidak akan
arbitrase internasional dan pusat arbitrase mengganggu asas kepastian hukum dalam
internasional maupun arbitrase nasional. arbitrase.
Hampir setiap negara telah memiliki pusat Upaya-upaya penolakan terhadap
arbitrase nasional (Sophar Maru putusan arbitrase dilakukan melalui
Hutagalung, 2012:315).5 Indonesia juga berbagai modus, seperti berusaha
memiliki pusat arbitrase nasional yang membatalkan perjanjian pokok, meminta

2
pembatalan putusan arbitrase dengan hlm. 6. Subekti berpendapat bahwa:
berbagai alasan dan lain sebagainya. “sistem hukum adalah suatu susunan atau
Padahal penggunaan arbitrase sebagai tataan yang teratur, suatu keseluruhan
lembaga penyelesai sengketa merupakan yang terdiri dari atas bagian-bagian yang
pilihan yang telah disepakati para pihak berkaitan satu sama lain, tersusun menurut
dan dituangkan dalam perjanjian arbitrase. suatu rencana atau pola hasil dari suatu
Kewenangan arbitrase tidak mungkin ada penulisan untuk mencapai suatu tujuan”.
tanpa adanya perjanjian arbitrase yang Setiap sistem mengandung beberapa asas
dibuat oleh para pihak. yang menjadi pedoman dalam
pembentukannya dan dapat dikatakan
Arbitrase sebagai perjanjian diatur bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas
secara tegas dalam Pasal 1 angka (1) dari asas-asas yang mendukungnya dengan
UUAAPS yang menyatakan bahwa: demikian sifat sistem itu menyeluruh dan
“Arbitrase adalah cara berstruktur yang keseluruhan komponen-
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar komponennya bekerja sama dalam
peradilan umum yang didasarkan keseluruhannya, akan tetapi disamping
perjanjian arbitrase yang dibuat secara yang positif itu asas hukum berisi
tertulis oleh para pihak yang penilaian susila, pemisahan yang baik dari
bersengketa”.selanjutnya dalam Pasal 1 yang buruk, yang menjadi landasan hukum
angka (3) UUAAPS dinyatakan bahwa:
“Perjanjian arbitrase adalah suatu Satjipto Rahardjo menyatakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase bahwa asas hukum, bukan peraturan
yang tercantum dalam suatu perjanjian hukum. Namun, tidak ada hukum yang
tertulis yang dibuat para pihak sebelum bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas
timbul sengketa, atau suatu perjanjian hukum yang ada di dalamnya, karena asas
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak hukum ini memberi makna etis kepada
setelah timbul sengketa”. peraturan-peraturan hukum dan tata
hukum. Asas hukum adalah unsur yang
penting dan pokok dari peraturan hukum.
Satjipto selanjutnya mengibaratkan asas
B.PEMBAHASAN DAN PENELITIAN hukum sebagai jantung peraturan hukum.
Pandangan ini didasarkan atas dasar bahwa
Kajian atas hukum perjanjian juga asas hukum merupakan “landasan yang
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan paling luas” bagi lahirnya sebuah
prinsip atau asas hukum yang mendasari peraturan hukum. Ini berarti bahwa
bangunan hukum kontrak. Bangunan peraturan-peraturan hukum itu pada
hukum kontrak yang dikatakan sebagai akhirnya bisa dikembalikan kepada asas
sistem hukum kontrak memuat sejumlah hukum. Asas hukum juga layak disebut
asas hukum yang menjadi fundamen bagi sebagai” alasan” atau merupakan ratio
bangunan hukum kontrak. Paul Scholten legis dari peraturan hubungan
menyebut asas hukum sebagai pernyataan fungsional. Kalau dikataka bahwa
mengenai hukum positif yang langsung hukum itu sebagai suatu sistem, artinya
menjadi jelas. Asas hukum itu ditemukan suatu susunan atau tataan teratur dati
dalam hukum positif, dalam sistem aturan-aturan hidup. Misalnya dalam
peraturan-peraturan, keputusan- keputusan hukum perdata sebagai sistem hukum
dan lembaga-lembaga positif.

Diucapkan di Hadapan Rapat Senat Asas mengandung nilai-nilai dan


Terbuka Universitas Sumatera Utara, tuntutan-tuntutan etis, oleh karena itu
Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, maka asas hukum diibaratkan sebagai

3
jembatan antara peraturan-peraturan melakukan penafsiran sebagai semacam
hukum dengan cita-cita sosial dan pelengkap. Disinilah menafsirkan aturan
pandangan etis masyarakatnya (Satjipto hukum itu bukanlah berarti menafsirkan
Rahardjo, 2006:45).18 aturan dalam arti conventional
Asas hukum adalah suatu pikiran
yang bersifat umum dan abstrak yang
melatarbelakangi hukum positif. Dengan Asas hukum berfungsi baik di
demikian asas hukum tersebut tidak dalam maupun di belakang sistem hukum
tertuang dalam hukum yang konkrit. positif. Asas hukum itu dapat berfungsi
Pengertian tersebut dapat ditarik dari demikian karena berisi ukuran nilai.
pendapat Sudikno Mertokusumo, yang Sebagai kaidah penilaian, asas hukum itu
memberi penjelasan sebagai berikut: mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari
Pengertian asas hukum atau prinsip hukum suatu sistem hukum positif. Itu sebabnya
bukanlah peraturan hukum konkrit, asas-asas hukum itu adalah fondasi dari
melainkan merupakan pikiran dasar yang sistem tersebut. Asas hukum itu terlalu
umum sifatnya atau merupakan latar umum untuk dapat berperan sebagai
belakang dari peraturan yang konkrit yang pedoman bagi perbuatan. Karena itu, asas
terdapat dalam dan di belakang setiap hukum harus dikonkritisasikan.
sistem hukum yang terjelma dalam Pembentuk undang-undang
peraturan perundang-undangan dan membentuk aturan hukum, yang di
putusan hakim yang merupakan hukum dalamnya ia merumuskan kaidah perilaku.
positif dan dapat dikemukakan dengan Selanjutnya konkritisasi dalam kaidah
peraturan konkrit terebut perilaku ini terjadi melalui generalisasi
putusan-putusan hakim. Jika
Asas hukum berfungsi sebagai pengkonkritisasian telah terjadi dan sudah
fondasi yang memberikan arah, tujuan ditetapkan (terbentuk) aturan-aturan
serta penilaian fundamental, mengandung hukum positif dan putusan-putusan, maka
nilai-nilai dan tuntutan etis. Bahkan dalam asas hukum tetap memiliki sifat sebagai
suatu mata rantai sistem, asas, norma dan kaidah penilaian. Dengan itu maka fungsi
tujuan hukum berfungsi sebagai pedoman kedua asas hukum tampil ke permukaan.
dan ukuran atau kriteria bagi perilaku Ukuran nilai yang diberikan asas hukum
manusia. Melalui asas hukum, norma itu sulit untuk diwujudkan secara
hukum berubah sifatnya menjadi bagian sepenuhnya. Dengan itu, asas hukum dapat
suatu tatanan etis yang sesuai dengan nilai tetap berada berhadapan dengan sistem
kemasyarakatan. Pemahaman tentang hukum positif dan berfungsi sebagai batu-
kebenaran suatu norma hukum dapat uji kritis
ditelusuri dari ratio legis-nya. Meskipun
asas hukum bukan norma hukum, namun Hukum perjanjian, dalam
tidak ada norma yang dapat dipahami perkembangannya juga tidak terlepas dari
tanpa mengetahui asas-asas hukum yang eksistensi dan pengandalan asas- asas
terdapat di dalamnya (Satjipto Rahardjo, hukum. Kedudukan asas hukum
2006:46).20 merupakan dasar pokok dalam
Dalam hal aturan-aturan hukum memperkuat kokohnya bangunan hukum
yang ada tidak dapat menetapkan kontrak. Beberapa asas pokok dalam
mengenai hukum sesuatu atau hukum kontrak adalah asas konsensualitas,
memecahkan persoalan, akan dibutuhkan asas kebebasan berkontrak dan asas itikad
bantuan asas-asas hukum untuk baik. Ketiga asas ini menjadi pilar utama
memberikan makna terhadap aturan-aturan tegaknya bangunan hukum kontrak. Asas
hukum yang sudah ada. Setiap kasus konsensualitas (consensus) menentukan
(hukum) harus dipecahkan dengan momentum lahir dan mengikatnya kontrak,

4
yakni saat tercapainya kesepakatan atau Pengaturan itikad baik dalam
persesuaian kehendak terhadap hal- hal UUAAPS sangatlah tidak memadai karena
pokok dari kontrak. Bila para pihak telah hanya menyebutkan “itikad baik” tanpa
mencapai persesuaian kehendak, kontrak sedikitpun memberi pengaturan lebih
yang dibuat menjadi mengikat sebagai lanjut tentang itikad baik yang dimaksud.
undang- undang bagi mereka yang Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor
memberikan kesepakatan. 30 Tahun 1999 menyebutkan, “Sengketa
atau beda pendapat perdata dapat
Karena itu asas kekuatan mengikat diselesaikan oleh para pihak melalui
kontrak sebagai undang-undang pada alternatif penyelesaian sengketa yang
dasarnya merupakan konsekuensi dan didasarkan pada itikad baik dengan
implementasi dari asas konsensualitas. mengesampingkan penyelesaian secara
Akibatnya, kontrak tidak dapat ditarik litigasi di Pengadilan Negeri”.
kembali, kecuali dengan sepakat kedua
belah pihak Asas kekuatan mengikatnya
kontrak menjadi dasar penting di dalam
hukum bahwa orang harus mematuhi janji.
Dengan perkataan lain, asas inilah yang
menjadi landasan bahwa para pihak di C.KESIMPULAN
dalam kontrak terikat atau wajib
melaksanakan perjanjian. Secara yuridis 1.Implementasi koordinasi
asas ini diakui keberadaannya oleh Pasal penyidikan tindak pidana korupsi antar
1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang lembaga penegak hukum belum berjalan
Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal ini maksimal karena adanya ego sektoral yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang memicu disintegrasi dan melahirkan
dibuat secara sah berlaku sebagai undang- rivalitas antar institusi penegak hukum
undang bagi yang membuatnya. serta dipengaruhi kualitas teknis dan taktis
aparat penyidik. Lemahnya koordinasi
Sementara itu, dalam sistem civil penyidikan mengakibatkan terjadinya
law di Indonesia, itikad baik dalam tarik-menarik kewenangan dalam
hubungan kontraktual diatur melalui Buku penyidikan tindak pidana korupsi terutama
ke-III KUHPerdata yakni Pasal 1338 ayat yang melibatkan personel Kepolisian,
(3) yang berbunyi “perjanjian harus Kejaksaan dan KPK yang menciptakan
dilaksanakan dengan itikad baik.” Makna situasi disharmonis antar lembaga penegak
itikad baik ini dikaitkan dengan Pasal 1339 hukum dan berujung terjadinya
KUHPerdata yang menyebutkan “Suatu pelambatan penyelesaian perkara tindak
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal- pidana korupsi
hal yang dengan tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu 2.Penyidikan tindak pidana korupsi
yang menurut sifat perjanjian diharuskan selama ini hanya memberi ruang
oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang- koordinasi kepada penyidik dan penuntut
Undang”.kaidah normatif tentang itikad umum tetapi tidak dengan dengan hakim
baik dalam Pasal 1338 ayat (3) jo. Pasal Tipikor. Ketiadaan koordinasi dan
1339 KUHPerdata pada dasarnya kerjasama antara penyidik, penuntut umum
mengatur pelaksanaan kontrak tidak dengan hakim dalam realitasnya selalu
semata-mata berdasarkan apa yang memunculkan perbedaan pandangan pada
diperjanjikan secara eksplisit di dalam tahap pemeriksaan di persidangan dan
kontrak, akan tetapi harus memperhatikan melahirkan putusan yang jauh dari
kepatutan, kebiasaan dan undang- undang. tuntutan.

5
3.Kejaksaan dan KPK sebaiknya penyidik, penuntut umum dengan hakim
mengesampingkan ego sektoral agar Tipikor melalui pembentukan Undang-
koordinasi berjalan baik dan menciptakan undang yang mengatur tentang koordinasi
keserempakan, diperkuat dengan adanya antar lembaga penegak hukum atau
pelatihan- pelatihan khusus kepada para diintegrasikan dalam RUU KUHAP
penyidik, penuntut umum maupun hakim mendatang dan ditindaklanjuti dengan
untuk meningkatkan kualitas, teknik dan penerbitan SEMA oleh Mahkamah Agung
manajemen peradilan yang sebagai petunjuk dan pedoman bagi para
memprioritaskan percepatan penyelesaian hakim untuk berkoordinasi dengan
dan pengurangan tunggakan perkara tindak penyidik dan penuntut umum dalam
pidana korupsi untuk mencapai asas menilai kasus tindak pidana korupsi,
peradilan cepat, sederhana dan biaya sehingga melalui koordinasi diharapkan
ringan. dapat mendorong terwujudnya sistem
peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system).
D.SARAN

Pelaksanaan koordinasi penyidikan


tindak pidana korupsi mengalami
persoalan karena adanya situasi
disharmonis dan rivalitas antar lembaga
penegak hukum yang menghambat
pecepatan penyelesaian kasus. Oleh
karena itu, disarankan kepada penegak
hukum Kepolisian, Kejaksaan dan KPK
sebaiknya mengesampingkan ego sektoral
agar koordinasi berjalan baik dan
menciptakan keserempakan,diperkuat
dengana danya
pelatihan pelatihan khusus E.DAFTAR PUSTAKA
kepada para penyidik, penuntut umum
maupun hakim untuk meningkatkan R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT.
kualitas, teknik dan manajemen peradilan Intermassa, Jakarta, 2002.
yang memprioritaskan percepatan Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
penyelesaian dan pengurangan tunggakan (Cetakan Keenam), Bandung: Citra Aditya
perkara tindak pidana korupsi untuk Bakti, 2006.
mencapai asas peradilan cepat, sederhana
dan biaya ringan. Siti Soemarti Hartono, Penuntun
untuk menciptakan sinkronisasi dalam Mempelajari Hukum Perdata
dan keserempakan antar lembaga penegak Belanda: Bagian Umum, University Press,
hukum Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Yogyakarta, 1992.
hakim Tipikor memerlukan koordinasi
yang simultan dan sinergis dari hulur Sophar Maru Hutagalung, Praktik
sampai ke hilir. Untuk itu disarankan Peradilan Perdata dan Alternatif
kepada lembaga legislatif (DPR) untuk Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar
membuka ruang koordinasi antara Grafika, 2012.

Anda mungkin juga menyukai