Moh. Muhtador
STAIN Kudus
email: mohamadmuhtador@gmail.com
Abstract
This article specifically studied about Khaled Abou el Fadl’s thought about the authority and
authoritarianism in the interpretation. The Qur’an, divine Kalam, has the ultimate authority in
human life, where it’s part of God’s manifestation in realizing the intent and purpose. The effort to
understand the Qur’an has been done since the verse was revealed and even developed in accordance
with the times and has produced many exegetical products, such as Sufi interpretation, fiqh,
philosophy, etc. The Divine Message neatly arranged in the Qur’an has been shaped a text. The text
as a sign represents the Divine purpose in conveying its meaning. Therefore, the reader must be wise
and careful in understanding the text of the Qur’an. If the reader is careless in understanding al
Qur’an though only slightly, they will be authoritarian people.
Keywords: Struggle, authority, interpretation, hermeneutic and Abou Fadl
al-Quran, Hadis, tafsir, tata bahasa Arab, guru sejati yang otoritatif tetapi tidak pernah
tasawuf dan filsafat. Keseriusan tersebut otoriter.7 Abou Fadl mulai menyangsikan apa
terlihat di perpustakaan pribadinya yang yang telah dipelajari sebelumnya. Sejak saat
dipadati dengan kitab-kitab klasik. Sehingga itulah, Abou Fadl meyakini akan kekayaan
keahliannya pada pemikiran Islam klasik tradisi intelektual Islam. Ini menandai fase
terlihat sangat kaya.6 Pada masa remaja, Abou kedua kehidupan Abou El Fadl, yakni fase ―
Fadl bagian dari gerakan puritan Wahabi yang progresifisme-moderat, yang sebelumnya
memang tumbuh subur di lingkungannya. berada dalam fase ―tradisional-konservatif.
Kuatnya gerakan puritanisme Wahabi di Keyakinan tersebut memotivasinya untuk
Kuwait menimbulkan asumsi bahwa paham menyelami dan menggali kekayaan tradisi
tersebut adalah dasar agama yang paling intelektual Islam dengan melakukan studi di
benar, sehingga dijadikan madzhab negara Timur Tengah dan universitas-universitas
dari setiap problem keagamaan. ternama di Amerika.
Berawal dari kepindahannya ke Mesir Setelah ia pindah ke Amerika, Khaled
dan saran dari Syeikh al-Azhar untuk banyak menjadi penentang puritan Wahabi. Dalam
mempelajari dan mengambil jalan moderat. pandangan Abou Fadl, Wahabi adalah
Abou Fadl memahami tradisi Islam dari faham yang mencerminkan permusuhan
bacaan yang luas serta dukungan keluarganya, sengit terhadap bentuk pengetahuan sosial,
sehingga menemukan kesadaran bahwa akademik, atau intektualisme kritis, seperti
terdapat kontradiksi dan persoalan yang akut teori sosial, teori politik Timur dan Barat, dan
dalam konstruksi ideologis dan pemikiran juga pada tradisi intelektual Islam yang lain
puritan Wahabi. Klaim tentang masalah seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah,
keagamaan justru bertentangan dengan serta seluruh tradisi perdebatan hukum dan
semangat ulama masa lalu dalam memandang penalaran deduktif maupun teologi sufisme.
agama Islam. Dalam tradisi klasik, perbedaan Semua itu dianggap sebagai penyimpangan.
pendapat merupakan suatu keniscayaan dan Hal yang dianggap Abou Fadl sebagai
wajar serta tidak menganggap perbedaan sesuatu yang paling traumatis dalam
sendiri sebagai paling benar dan menganggap penyebaran puritanisme adalah sikap dan
yang lain salah. perlakuan terhadap perempuan. Perempuan
Titik balik puritanisme Abou Fadl merupakan tumpuan kekalahan sosial
bermula, ketika ayahnya mulai gerah dengan dan kultural umat Islam, sehingga peran
kecamannya dan membuat perjanjian dengan perempuan yang menonjol dalam masyarakat
Abou Fadl. Persetujuan tersebut berisi bahwa akan dianggap sebagai simbol dominasi barat.
Abou El Fadl diharuskan menimba ilmu agama Sedangkan sikap apapun yang membatasi dan
dari guru yang lain yang dikenal luas wawasan melarang perempuan meski tidak didukung
dan toleran. Ayahnya berjanji bahwa setelah oleh teks maupun keputusan hukum akan
belajar beberapa waktu dengan guru barunya dianggap Islami.8 Dalam pandangan Abou
dan ternyata tidak ada perubahan dalam diri Fadl, pengalaman dengan puritanisme
Abou El Fadl tentang persepsi keagamaannya, sama dengan kolonial, yaitu pengalaman
tentang apa yang dinilai benar dan salah, maka teralienasi yang dalam terhadap arti identitas
ayahnya akan mengikuti Abou El Fadl. Setelah yang sudah mengakar kuat. Kehidupan yang
beberapa saat belajar dengan guru barunya, seperti inilah yang mewarnai kehidupan
ialah Profesor Hossein Modarressi, seorang
7
Abou Fadl, Melawan Tentara Tuhan Yang
6
Nila Khoiru Amaliya, ―Kritik Hadis― Misoginis Berwenang dan Yang Sewenang-Wenang Dalam
Perspektif Khaled M Abou El Fadl‖, Jurnal Studi Wacana Islam, penerjemah Kurniawan Abdullah
Ilmu-ilmu al-Quran dan Hadis, Vol 8, No 1, Januari (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 38
2007, hlm 126
8
Abou El-Fadl, Melawan Tentara Tuhan,. hlm. 24
integrasi. Dalam hal ini, penulis mensinyalir serta legitimasi yang terkandung oleh al-
setidaknya terdapat empat komponen sebagi Quran. Para pembaca berusaha menemukan
sumber yang dapat dijadikan otoritas yaitu, kandungan dan otoritas yang terkandung,
wahyu, hasil pembuktian empiris, kekuatan sehingga pembaca menafsirkan dan
penalaran manusia, dan tradisi yang telah menemukan otoritasnya sendiri dari balik
mapan.13 kandungan teks al-Quran. Dari penemuan
Secara definitif, Wahyu adalah petunjuk tafsir ini, seseorang dapat memperoleh
dari Allah yang diturunkan hanya kepada Nabi otoritas, sebab difatwakan atas orang lain.17
dan rasul.14 Dalam bahasa Arab, wahyu (al- Begitu juga pembuktian empirik. Berkat
wahy) adalah bentuk masdar, yang menunjuk kemajuan ilmu pengetahuan mendorong
pada dua pengertian dasar yaitu tersembunyi tiap kajian dikaji secara empirik. Sehingga
dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan wahyu kebenaran empirik juga dapat menjadi
ialah informasi secara tersembunyi dan sumber otoritas. Misalnya dalam kajian
cepat yang khusus ditunjukkan kepada orang hadis, untuk mengetahui kebenaran subtansi
tertentu tanpa diketahui orang lain. Wahyu dari redaksi hadis dapat dilakukan uji
mengandung makna isyarat yang cepat. Itu empirik, hadis yang mengatakan “sembilan
terjadi biasanya melalui pembicaraan yang malaikat terus-menerus melempari bola salju
berupa simbol, terkadang melalui suara kematahari pada malam hari” yang terdapat
semata, dan terkadang juga melalui isyarat dalam kitab Silsilat Al-Ahadits Al-Dha’ifah Wal
dengan sebagaian anggota tubuh.15 Al-Maudhuah karya Nasiruddin al-Albani.
Al-Quran sebagai sumber utama wahyu Untuk menguji hadis tersebut, dilakukan
merupakan buku induk prinsipil dalam nilai- observasi ke sistem galaksi yang kadar
nilai keislaman. Meski al-Quran bukanlah kebenarannya bersifat empirik dan bukan
kitab undang-undang yang lengkap, tetapi al- lagi spekulatif. Dengan bantuan pengetahuan
Quran memuat pernyataan-pernyataan legal, empirik, kadar kebenaran informasi hadis
sebagain besar dari al-Quran terdiri atas yang bias akan rekayasa periwayat dha’if
petunjuk-petunjuk moral yang umum, garis akan segera diketahui.
besar tindakan seorang Muslim.16 Karena Hasil pantuan teleskop yang dibawa
bersumber dari wahyu, maka al-Quran satelit tidak merekam gambaran frekuensi
merupakan sumber otoritas yang selalu lemparan bola salju. Data fisika membuktikan
menjadi pedoman hidup masyarakat Muslim. bahwa yang meminimalisir bahaya radiasi dari
Dalam Islam, otoritas tertinggi adalah Allah panas matahari adalah faktor jarak dengan
yang terealisasikan dalam teks al-Quran, planet bumi kurang lebih 150 juta kilometer
al-Quran yang terdapat dalam masyarakat cahaya. Betapa keterlibatan sejumlah
setiap hari terus digeluti oleh pembaca sertas malaikat itu tergolong hal yang gaib namun
ditafsirkan untuk mendapatkan kandungan kritik subtansi matan bisa memperbantukan
sarana pengetahuan empirik.18
13
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama
Nalar memainkan peran penting sebagai
Sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Paramadina,
sumber otoritas, ketika para khalifah, qadhi,
1996), hlm. 147
14
Depertemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar dan fuqaha atau serjana hukum menafsirkan
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi hukum saat tidak ada teks yang jelas, eksplisit,
kedua, 1995), hlm. 1123 yang diwahyukan, atau saat tidak ada ijma’.
15
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al- Penalaran dengan analogis adalah bentuk
Quran, penerjemah, Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2006), hlm. 34
17
John L. Esposito, Islam Warna-Warni., hlm 60-62
16
John L. Esposito, Islam Warna-Warni, (Jakarta:
18
Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis, Versi Muhaddisin
Paramadina, 2004), hlm. 99 Dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm 122
ijtihad yang lebih terbatas dan sistematis. tersebut. Kualifikasi yang dimaksud adalah
Ketika berhadapan dengan situasi-situasi otoritas teks untuk mewakili atas nama atau
atau masalah baru, ulama harus mencari tentang Tuhan dan Rasul-Nya.
gambaran yang mirip dengan di dalam al- Sejarah pemikiran Islam telah
Quran dan Sunah. Kuncinya adalah untuk mencatat bahwa, kajian tersebut pernah
menemukan sebab atau alasan di balik dikaji oleh Theodor Noeldekke (1860)
aturan syariah. Jika alasan serupa dapat dengan pendekatan sejarah al-Qur’an
diindentifikasi dalam situasi atau kasus yang dalam merekonstruksi. Selain Noeldekke,
baru, maka hukum syariat diperluas untuk Montgomery Watt setidaknya mempunyai
menyelesaikan kasus tersebut.19 tiga persepsi tentang otentisitas al-Qur’an
Tradisi yang mapan atau juga disebut ijma’, sebagai wahyu Allah. Dalam pandangan Watt,
menjadi sumber otoritas, dalam Islam sering bahwa berdasarkan teori alam bawah sadar
disandarkan pada pernyataan Nabi “umatku kolektif (collective unconsciousness), alam
tidak akan bersepakat dalam kesesatan”. bawah sadar adalah tumpukan pengalaman
Tradisi belum berkembang sebagai suatu masa lalu yg mengkristal semakin lama
hukum sampai wafatnya Nabi. Peran penting semakin menjadi universal kemudian
yang dimiliki tradisi dalam hukum Islam melebur ke dalam mental dan materialitas
mampu memberikan sumbangan yang sangat tubuh. Dalam bawah sadar kolektif muncul
signifikan bagi kemajuan hukum atau tafsir ide-ide keagamaan yg disebut Watt sebagai
hukum. Jika pertanyaan-pertanyaan muncul wahyu. Watt juga menolak Jibril sebagai
terkait dengan makna suatu teks al-Quran pembawa wahyu. Wahyu hanya dalam bentuk
atau Sunah, atau jika wahyu dan praktik makna bukan lafadz. Dan Watt meyakini
muslim awal tidak menyatakan sesuatu, maka adanya peranan Muhammad dalam substansi
para fuqaha menggunakan ijtihad (penalaran wahyu, memungkinkan terjadinya kekeliruan
pribadi) mereka untuk menafsirkan hukum.20 dalam al-Qur’an.21
Proses panjang sejarah al-Qur’an hingga
TAFSIR: MASALAH OTENTISITAS DAN menjadi sebuat teks tentunya tidak berjalan
PEMAKNAAN TEKS secara linear. Sehingga timbul pertanyaan
Masalah otentisitas dan pemaknaan dalam fundamental terkait teks al-Qur’an, seperti
penafsiran adalah masalah komplek yang bagaimana dengan proses kesejarahan yang
dapat dikatakan tidak pernah menemukan melingkupi wahyu hingga terkodifikasi,
ujung penyelesaian. Pada bagian ini, bagaimana dengan peran yang dimainkan
penulis ingin mengungkapkan pembacaan oleh Nabi, para sahabat dalam proses
hermeneutika dalam menyikapi produk tafsir pewahyuan, penghafalan, penghimpunan,
sebagai sebagai produk pemikiran dan al- dan penulisan, apakah mungkin untuk tetap
Qur’an sebagai kalam Allah. Diharapkan akan terjaga otentisitasnya?
menjadi gambaran posisi pemaknaan dari Abou Fadl mempunyai pandangan
penafsiran al Qur’an. yang berbasis iman bahwa al-Quran adalah
a. Penetapan Otentisitas Teks firman Allah yang abadi dan terpelihara
Persoalan pertama yang harus dibahas kemurniannya dan mencoba untuk
ketika mempertimbangkan sebuah teks, menghindari pertanyaan di atas. Namun
terutama al-Qur’an-yang mengklaim berisi Abou Fadl mencoba memberikan gambaran
sesuatau tentang kehendak Tuhan atau Rasul- tentang teori kepengarangan teks secara
Nya adalah melakukan uji kualifikasi atas teks
21
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al Qur’an,
terj. Taufiq Adnan (Jakarta: Rajawali 1991) hlm.
19
Esposito, Islam Warna-Warni, hlm. 103
29-37.
20
Esposito, Islam Warna-Warni, hlm. 104
umum. dalam menganalisa sebuah teks, Nabi, karena Nabi berperan dalam menjaga
seorang harus memperhatikan rangkaian kemurnian kandungan wahyu yang diajarkan
kepengarangan teks, karena pengarang oleh malaikat Jibril.24
teks tidaklah tunggal. Pada sisi berbeda, Mengaplikasikan teori kepengarangan
pengarang teks adalah bagian dan lawan baca teks ke dalam al-Qur’an akan menghilangkan
dari teks itu sendiri. Lawan baca teks akan kesakralan al-Qur’an sebagai kitab ilahiyah.
memunculkan persepsi-persepsi yang akan Pada sisi lain, teori tekstual mengharuskan
membentuk teks-teks selanjutnya. Dalam teks berkembang sesuai dengan
bahasa sederhana, bahwa teks bisa memiliki perkembangan pembaca dan zaman yang
ragam pengarang, yaitu pengarang historis melingkupi. Sementara secara tekstual, teks
(yang menciptakan teks); pengarang produksi al-Qur’an stagnan dan tidak pernah berubah.
(yang memungkinkan mengolah teks dan Adapun yang berubaha adalah produk
mencetak teks); pengarang revisi (yang penafsiran. Selain argumentasi berbasis
menyunting, mengubah dan menuangkan teologis, Abou Fadl mempunyai prinsip
kembali teks); dan pengarang interpretasi bahwa tidak semua teori, konsep dan metode
(yang menerima dan menciptakan makna yang datang dari luar Islam dapat digunakan
dari teks).22 dalam mengkaji pemikiran keislaman, karena
Meskipun demikian, Abou Fadl tidak Islam tumbuh dan perkembangan sesuai
ingin memperdebatkan otentisitas al- dengan karakter dan wilayahnya, begitu
Qur’an sebagai wahyu Allah. Sebagaimana juga sebaliknya dengan teori di luar Islam.
yang telah diyakini oleh mayoritas umat Adapun penggunaan teori tersebut bisa
Islam bahwa al-Qur’an adalah kitab yang diakui penggunaan apabila digunakan secara
dijaga langsung oleh Allah, seperti yang terukur dan rasional.25
tertera dalam Q.S. al-Hijr: 9. Alasan tersebut
b. Penetapan Makna Teks
sebagai bagian dari sikap Abou Fadl dalam
Dalam hal ini terdapat pertanyaan radikal
menjaga perasaan umat Islam dan mencoba
yang layak diajukan terlebih dahulu ialah
untuk keluar dari perdebatan selanjutnya.
aktor yang menentukan makna dalam sebuah
Mengaplikasikan teori kepengarangan dalam
interpretasi? Setidaknya, menurut Abou
al- Qur’an sama hanya menyatakan bahwa
Fadl, pada tingkatan yang sederhana ada
al-Qur’an sudah mengalami perubahan.
tiga elemen kemungkinan yaitu, pengarang,
Teori tersebut akan menggambarkan
teks, dan pembaca.26 Kemungkinan yang
bahwa Allah adalah pengarang historis yang
pertama, bahwa makna ditentukan oleh
menciptakan teks, dan Nabi mempunyai
pengarang (berpusat pada pengarang), atau
peran sebagai pengarang produktif yang
setidaknya oleh upaya pemahaman terhadap
menyalin, menyunting dan menghimpun teks
maksud pengarang. Pengarang sebuah teks
al-Qur’an dan selanjutnya. Meskipun sejarah
tampaknya memformulasikan maksudnya
al-Qur’an melibatkan peran sahabat, bukan
dalam bentuk teks, dan pembaca berusaha
berarti al-Qur’an -secara tekstual- kitab yang
atau harus berusaha memahami maksud
dikarang oleh sahabat. Dalam hal ini, sahabat
pengarang. Abou Fadl merujuk pendapat
menjadi contoh dalam menjaga wahyu yang
E.D. Hirch, yang menyatakan bahwa “makna”
diterima oleh Nabi dengan cara menghafal
dalam konteks pengarang adalah sesuatu
dan mencatat dipelepah dan batu.23 Sikap
yang hendak disampaikan oleh seseorang
yang diambil sahabat tidak menafikan peran
24
Athaillah, Sejarah Al Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
22
Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan., hlm. 153.
Pelajar, 2010), hlm. 18.
23
Abdurrahman ibn Nashir, al Qawāidu al Hisān li
25
Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, hlm. 149.
Tafsir al Qur’ān (Riyad: Maktabah al Rasy, 1999),
26
Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, hlm. 183-185
hlm. 9.
dengan rangkaian simbol-simbol bahasa Pembacaan yang cermat dan ketat terhadap
tertentu dan kehendak itu dapat ditampung teks dapat menjadi basis kesamaan tujuan
oleh simbol-simbol bahasa tersebut. Bisa dan kepastian. Atau dengan kata lain “teks
diartikan secara lebih kongkrit, jika seorang memang memiliki realitas dan integritasnya
pengarang teks, telah memanifestasikan sendiri.” Teks juga mempunyai integritas
kehendaknya atau maksud dalam bentuk mendasar yang harus dihormati dan bahwa
teks, maka pemahaman pembaca terhadap pembaca tidak boleh menggunakan teks
kehendak pengarangan hanya sebatas, secara bebas dan tanpa batas. Kemungkinan
bagaimana seorang pembaca dengan untuk menyalahgunakan teks memang tetap
berdasar teks dimungkinkan salah dalam ada sampai kapanpun. Akan tetapi teks
memahami maksud atau kehendak yang adalah entitas yang kompleks yang maknanya
sebenarnya diinginkan oleh pengarang. Jadi bergantung pada sejarah dan konteksnya.
maksud pengarang tidak dapat diikat sebagai Kemungkinan ketiga bagi Abou Fadl
penentu makna dari proses interpretasi teks. adalah memberikan penetapan makna
Sangat tidak mungkin untuk membatasi pada pembaca. Semua pembaca membawa
pembaca dengan maksud pengarang. subjektifitas mereka ke dalam proses
Lebih jauh lagi, maksud pengarang dalam pembacaan. Pembaca memproyeksikan
menyusun makna dipandang sebagai hal yang subjektivisnya kehendak pengarang dan teks.
kompleks dan bahkan problematis. Menurut Apa yang dipahami pembaca dari sebuah teks,
Abou Fadl maksud pengarang seringkali sebagai besar bergantung pada pengalaman
berubah, tidak stabil dan bisa diahlikan. pribadinya, yang mungkin berarti bahwa
Bahkan, maksud pada dasarnya bersifat makna ditentukan secara subjektifitas atau
atributif dan merupakan hasil dari proyeksi, sepenuhnya tidak ditentukan. Konteks dan
bukan hasil pemahaman. Meskipun demikian, realitas historis adalah segalanya dalam
jika maksud pengarang sekalipun tidak dan menyusun makna. Semua penafsiran
tidak harus menjadi satu-satunya penentu tertanam secara historis, sosial, dan politik
dalam proses interpretasi, hal ini tidak dalam subjektifitas yang bersifat kontekstual.
berarti bahwa maksud pengarang dipandang Dari sudut pandang normatif, harus diakui
atau harus dipandang tidak penting dalam secara terbuka subjektifitas pemahaman
menentukan sebuah makna. dan diusahakan secara kritik untuk menguji
Kemungkinan kedua berpusat pada dan menilai dinamika kekuasaan yang
peranan teks dalam menentukan makna, dan membentuk konstruksi pemahaman. Memang
pengakuan atas tingkat otorias teks dalam dalam menentukan makna dari sebuah teks,
menentukan makna. Perdebatan apapun subjektifitas pembaca adalah penting, tetapi
seputar makna, dapat dipastikan sebagai hal ini tidak kemudian sah untuk mengabaikan
rujukan utama perdebatan adalah teks. keberadaan maksud pengarang dan teks.
Misalnya, jika seorang pengarang sebuah Lebih lanjut Abou Fadl menegaskan,
teks pada suatu ketika bersitegang di luar bahwa makna harus merupakan hasil interaksi
dinamika tekstual dengan seorang pembaca antara pengarang, teks, dan pembaca, harus
yang telah membaca dan memahami teks ada sebuah proses negosiasi antara ketiga
itu, dimana keduanya saling bersitegang pihak dan bahwa salah satu pihak tidak
mempertahankan pendapatnya tentang boleh mendominasi dalam proses penetapan
makna teks, maka rujukan dan media yang makna. Interaksi ketiganya terkandung peran
paling efektif untuk menjembataninya adalah aktif yang hidup dan dinamis antara ketiga
teks itu sendiri. Dalam hal ini, subjektifitas elemen pelaku tersebut. Dengan demikian,
dan maksud pengarang serta pemahaman ada proses penyeimbangan di antara
pembaca tidak akan menghasilkan kepastian. berbagai muatan kepentingan yang dibawa
oleh masing-masing pihak dan terjadi proses yang sesuai dengan psikologi Arab pada
negosiasi yang terus menerus, tidak kenal masa awal. Pada batas tertentu, legitimasi
henti, antar ketiga pihak. Setiap aktor harus atas penetapan seorang pembaca bergantung
dihormati dan peran masing-masing pihak pada sejauh mana pembaca itu menghormati
harus dipertimbangkan secara sungguh- integritas maksud pengarang dan teks itu
sungguh. Setiap pihak yang terlibat dalam sendiri. Meskipun demikian, kekuasaan untuk
proses diskursus tidak diperbolehkan saling membuat penetapan telah diserahkan sepada
menguasai, menekan, dan mendominasi manusia sebagai wakil Tuhan.28
pihak lain dalam menentukan makna teks
yang ingin dicari secara bersama-sama. MERAJUT MAKNA DALAM MEMAHAMI
Dengan demikian, proses pencarian makna TUJUAN AL QUR’AN
akan tetap terbuka lebar sampai kapan pun. Islam berkembang seiring dengan peradaban
Dalam proses negosiasi ini, orang biasanya tulisan menulis. Pada masa awal, ajaran Islam
berhadapan dengan dua titik ekstrem. Titik termuat dalam bentuk teks (al-Qur’an dan
ekstrem yang pertama, bisa jadi orang itu Hadis). Dalam perkembangannya, al-Qur’an
menegaskan bahwa tidak ada keterangan dan Hadis secara massif terus dikaji dan
atau teks tentang kpmpetensi atau makna dipahami sebagai usaha untuk menemukan
yang diperoleh dalam penyelidikan dan tidak pesan yang diharapkan. Dalam pandangan
ada ketetapan dari Tuhan. Namun, risiko yang Abou Fadl, ada banyak faktor yang ikut
muncul disini adalah bahwa orang tersebut mendukung proses pemahaman tersebut.
akan memiliki suatu agama yang benar-benar Tetapi pada sisi yang sama, teks sudah
subjektif, relatif, dan individual. Titik ekstrem memainkan perannya yang sangat penting
kedua, bisa jadi seseorang menyatakan dalam mengkonstuksi pemikir keagamaan
bahwa semua persoalan kompetensi dan sebagai sebuah otoritas. Secara fungsional, al-
makna dapat dipecahkan dengan pasti dan Qur’an yang berbentuk teks dipresentasikan
bahwa sang agen hanya perlu berhati-hati oleh pembaca dalam menggali makna.
dalam melaksanakan instruks-instruksi Pembacaan tersebut dilakukan sepanjang
itu secara tepat. Namun, risikonya adalah waktu bersamaan dengan kebutuhan
bahwa agama kemudian menjadi rigid, tidak manusia dalam menjawab problem, sehingga
fleksibel, dan pada akhirnya tidak praktis dan terbentuk suatu produk tafsir. Pada saat
tidak relevan.27 bersamaan, panafsir berbicara atas nama teks
Dalam konteks Islam, terutama dalam al-Qur’an, dan mengklaim telah mendapat
konteks tafsir al-Qur’an, bahasa dan maksud mandat teks al-Qur’an sebagai sumber
pengarang menempati kedudukan yang otoritas pemahamannya. Pada sisi tersebut
sangat penting. Orang-orang Islam percaya penafsir akan menemukan gejolak, yaitu
bahwa al-Qur’an adalah kitab suci dari terjadinya ketegangan antara penafsir dan
Allah yang disampaikan dengan wahyu teks al-Qur’an, sehingga secara konseptual
melalui malaikat Jibril. Dengan demikian, bisa disebut sebagai pergulatan yang otoritatif
maksud pengarang dan bahasa teks tidak dan otoriter.29
dapat diabaikan. Orang-orang Islam percaya Kaitannya dengan halal tersebut,
bahwa Allah telah memilih setiap kata dalam Abou Fadl mengingatkan akan potensi
berdasarkan berdasarkan alasan realitas otoritarianisme dalam penafsiran al Qur’an.
sosial dan alasan tertentu. Namun, kenyataan Kuatnya keterpengaruhan yang muncul
menunjukkan bahwa al-Qur’an telah
berbentuk teks sebagai sarana komunikasi
28
Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, hlm. 135
29
Khaled Abou el-Fadl, Melawan Tentara Tuhan.,
27
Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, hlm. 47-48 hlm. 54.