Para sejarawan Barat menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (Magna Charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Prancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama. Menurut Adian Husaini, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak terkepas dari tiga faktor. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang behubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the medieval ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Krsiten Barat menghadapi problem otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yng orginal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Lalu dia menyimpulkan bahwa Yesus memang misterius. Dari latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen tapi mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin Trinitas, dan Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara mutlak pemisahan Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan toleransi agama. Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama dan toleransi yang sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama.
B. Dampak Liberalisasi Agama
Beberapa dampak yang disebabkan munculnya liberalisasi agama yaitu: 1. Muncul aliran-aliran dalam agama yang mengedepankan pengalaman individu sebagai jangkar dari ajarannya. 2. Menimbulkan perpecahan dalam beragama. 3. Merubah-rubah isi ajaran agama sesuai dengan perkembangan zaman, situasi ataupun keinginan suatu maksud tertentu. C. Latar Belakang Liberalisasi Agama Islam di Indonesia Masuknya pemikiran Islam liberal di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa faktor. Antara lain adanya kolonialisme Barat yang begitu panjang, karea pada dasarnya paham liberalisme berasal dari Barat. Selain itu banyaknya pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri, khususnya di Negeri Barat. Walaupun intelektual tersebut sebenarnya berasal dari Timur Tengah. Namun, karena sudah mengenyam pendidikan di luar Negeri (Barat), maka disana banyak para intelektual Islam yang pemikirannya dianggap liberal. Salah satunya, Fazlurrahman. Kelahiran pemikiran liberal ini, juga merupakan satu bentuk pemberontakan dengan mengatasnamakan kebebasan berpikir. Dalam konteks politik, gerakan pemikiran liberal lahir sebagai bukti protes terhadap otoritas kekuasaan raja yang bersanding dengan kekuasaan agama. Masuk dan berkembangnya paham Islam Liberal akarnya bisa dilihat dari para tokoh yang dianggap sebagai tokoh pra Islam Liberal, seperti Nurcholis Majid, yang pernah menempuh pendidikan diluar Negeri yaitu, Chicago dan menyelesaikan program doktornya pada tahun 1984 dengan mengambil konsentrasi filsafat/pemikiran Islam. Hal yang sama juga terjadi pada Abdurrahman wahid, pemikirannya bisa dikatakan dipengaruhi oleh intelektual timur tengah, karena ia juga pernah menempuh pendidikannya di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurun waktu dua setengah tahun. Salah satu intelektual yang berpengaruh terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid adalah Muhammad Abduh, karena Ia pernah mengajar di Universitas Al-Azhar. Kelahiran Jaringan Islam Liberal baik secara sosiologis maupun ideologis, pelopornya adalah para intelektual muda, baik dari kubu tradisionalis, maupun dari kubu modernis. Akar Liberalisme dikalangan tradisionalis terletak pada penghargaan terhadap tradisi/ budaya lokal, sedangkan adanya Modernisme akarnya terbentuk melalui interaksi intensif dengan Rasionalisme. Tokoh dari kalangan tradisionalis misalnya Ulil Abshar Abdalla dan Luthfie Assyaukani, dari kalangan modernis ada Syaiful Muzani dan Hamid Basyaib. Dalam website resmi JIL yaitu www.islamlib.com menyebutkan bahwa kelahiran JIL dilatari karena, banyaknya gerakan Islam yang bersifat Militan dan Islam Fundamentalis. Dan kelahiran JIL disini bermaksud untuk menghambat dari adanya gerakan Islam Militan maupun Islam Fundamentalis. D. Dampak Liberalisasi Agama Islam Liberalisasi pemikiran Islam melalui program westernisasi dan globalisasi dalam beberapa program diatas, memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sosial ummat Islam. Dalam bukunya Islam versus the West, Maryam Jameela, seorang keturunan Yahudi Amerika yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus, memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental. Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekuler, akan berujung pada pemusnahan Islam. Dalam bidang syari'ah, liberalisasi Islam akan berdampak pada relativitas hukum- hukum syari'at yang telah pasti dan absolute. Bagi mereka hukum-hukum Islam tersebut perlu untuk ditinjau kembali dan disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena zaman sekarang dunia dikuasai oleh pradaban Barat yang berpahamkan paham- paham sekuler dan liberal, maka secara otomatis Islam harus mengikuti nilai-nilai liberal tersebut, meskipun nilai-nilai tersebut tidak sesuai dengan pandangan agama. Akhirnya kebenaran mendasar dari agama dipandang hanya sebagai teori-teori, atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai absolut ditolak dan nilai relatif diafirmasi; tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. Relativitas nilai inilah yang kemudian banyak memberikan dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Baik bagi seluruh masyarakat dunia umumnya, maupun umat Islam secara khusus. Agama Kristen dan yahudi yang berada di Barat secara otomatis telah lebih dahulu diliberalkan, sehingga mengakibatkan pemisahan agama dari publik, dan tambah menjauhkan penganutnya dari agama. Agama akhirnya dimarginalkan dan menjadi masalah privat. Kini wacana liberalisasi pemikiran tersebut ingin digulingkan kepada agama Islam. Dari dampak diatas maka dalam ranah politik pun akan memberi dampak. Bahwa agama yang dipisah dari politik, maka tidak ada acuan khusus untuk membentuk perpolitikan ke arah yang baik. Sehingga politik akan bebas. Banyaknya kecurangan dalam politik, menyelesaikan permasalahan dengan seenaknya, hukum-hukum yang tidak seimbang, tidak meratanya ekonomi negara, dan banyak kekurangan-kekurangan lainnya.