Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fathorrahman El-Kindy

NIM : 18.07.158
Semester : IV

LIBERALISME AGAMA

A. Sejarah Liberalisme Agama di Barat


Para sejarawan Barat menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan,
kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (Magna
Charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada
otoritas adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri
manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume
(Inggris), Rousseau, Diderot (Prancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap
selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang
otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam
catatan Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya
menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free
thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga,
sikap longgar dan semena-mena dalam beragama.
Menurut Adian Husaini, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak
terkepas dari tiga faktor. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang behubungan dengan
dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya,
peradaban Barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka
sebut ‘zaman kegelapan’ (the medieval ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman
pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat
runtuh pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan
dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil
Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan
melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi.
Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Krsiten Barat menghadapi problem
otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak
diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa
Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi.
Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait
dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yng orginal saat ini, dan
(2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang
lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek
(Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan
adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3
dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang
cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Lalu dia
menyimpulkan bahwa Yesus memang misterius.
Dari latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat
cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen tapi
mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka
meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin Trinitas, dan
Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara mutlak pemisahan
Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan toleransi agama.
Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama dan toleransi yang
sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama.

B. Dampak Liberalisasi Agama


Beberapa dampak yang disebabkan munculnya liberalisasi agama yaitu:
1. Muncul aliran-aliran dalam agama yang mengedepankan pengalaman individu
sebagai jangkar dari ajarannya.
2. Menimbulkan perpecahan dalam beragama.
3. Merubah-rubah isi ajaran agama sesuai dengan perkembangan zaman, situasi
ataupun keinginan suatu maksud tertentu.
C. Latar Belakang Liberalisasi Agama Islam di Indonesia
Masuknya pemikiran Islam liberal di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa
faktor. Antara lain adanya kolonialisme Barat yang begitu panjang, karea pada dasarnya
paham liberalisme berasal dari Barat. Selain itu banyaknya pelajar Indonesia yang
menempuh pendidikan di luar negeri, khususnya di Negeri Barat. Walaupun intelektual
tersebut sebenarnya berasal dari Timur Tengah. Namun, karena sudah mengenyam
pendidikan di luar Negeri (Barat), maka disana banyak para intelektual Islam yang
pemikirannya dianggap liberal. Salah satunya, Fazlurrahman.
Kelahiran pemikiran liberal ini, juga merupakan satu bentuk pemberontakan
dengan mengatasnamakan kebebasan berpikir. Dalam konteks politik, gerakan pemikiran
liberal lahir sebagai bukti protes terhadap otoritas kekuasaan raja yang bersanding dengan
kekuasaan agama.
Masuk dan berkembangnya paham Islam Liberal akarnya bisa dilihat dari para
tokoh yang dianggap sebagai tokoh pra Islam Liberal, seperti Nurcholis Majid, yang
pernah menempuh pendidikan diluar Negeri yaitu, Chicago dan menyelesaikan program
doktornya pada tahun 1984 dengan mengambil konsentrasi filsafat/pemikiran Islam. Hal
yang sama juga terjadi pada Abdurrahman wahid, pemikirannya bisa dikatakan
dipengaruhi oleh intelektual timur tengah, karena ia juga pernah menempuh
pendidikannya di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurun waktu dua setengah
tahun. Salah satu intelektual yang berpengaruh terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid
adalah Muhammad Abduh, karena Ia pernah mengajar di Universitas Al-Azhar.
Kelahiran Jaringan Islam Liberal baik secara sosiologis maupun ideologis,
pelopornya adalah para intelektual muda, baik dari kubu tradisionalis, maupun dari kubu
modernis. Akar Liberalisme dikalangan tradisionalis terletak pada penghargaan terhadap
tradisi/ budaya lokal, sedangkan adanya Modernisme akarnya terbentuk melalui interaksi
intensif dengan Rasionalisme. Tokoh dari kalangan tradisionalis misalnya Ulil Abshar
Abdalla dan Luthfie Assyaukani, dari kalangan modernis ada Syaiful Muzani dan Hamid
Basyaib.
Dalam website resmi JIL yaitu www.islamlib.com menyebutkan bahwa kelahiran
JIL dilatari karena, banyaknya gerakan Islam yang bersifat Militan dan Islam
Fundamentalis. Dan kelahiran JIL disini bermaksud untuk menghambat dari adanya
gerakan Islam Militan maupun Islam Fundamentalis.
D. Dampak Liberalisasi Agama Islam
Liberalisasi pemikiran Islam melalui program westernisasi dan globalisasi dalam
beberapa program diatas, memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan
sosial ummat Islam. Dalam bukunya Islam versus the West, Maryam Jameela, seorang
keturunan Yahudi Amerika yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus,
memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental.
Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup
Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekuler, akan berujung
pada pemusnahan Islam.
Dalam bidang syari'ah, liberalisasi Islam akan berdampak pada relativitas hukum-
hukum syari'at yang telah pasti dan absolute. Bagi mereka hukum-hukum Islam tersebut
perlu untuk ditinjau kembali dan disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman.
Karena zaman sekarang dunia dikuasai oleh pradaban Barat yang berpahamkan paham-
paham sekuler dan liberal, maka secara otomatis Islam harus mengikuti nilai-nilai liberal
tersebut, meskipun nilai-nilai tersebut tidak sesuai dengan pandangan agama. Akhirnya
kebenaran mendasar dari agama dipandang hanya sebagai teori-teori, atau dibuangnya
sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai absolut ditolak dan nilai relatif diafirmasi; tidak ada yang
pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti.
Relativitas nilai inilah yang kemudian banyak memberikan dampak negatif bagi
kehidupan sosial masyarakat. Baik bagi seluruh masyarakat dunia umumnya, maupun
umat Islam secara khusus. Agama Kristen dan yahudi yang berada di Barat secara
otomatis telah lebih dahulu diliberalkan, sehingga mengakibatkan pemisahan agama dari
publik, dan tambah menjauhkan penganutnya dari agama. Agama akhirnya
dimarginalkan dan menjadi masalah privat. Kini wacana liberalisasi pemikiran tersebut
ingin digulingkan kepada agama Islam.
Dari dampak diatas maka dalam ranah politik pun akan memberi dampak. Bahwa
agama yang dipisah dari politik, maka tidak ada acuan khusus untuk membentuk
perpolitikan ke arah yang baik. Sehingga politik akan bebas. Banyaknya kecurangan
dalam politik, menyelesaikan permasalahan dengan seenaknya, hukum-hukum yang tidak
seimbang, tidak meratanya ekonomi negara, dan banyak kekurangan-kekurangan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai