Anda di halaman 1dari 8

IJMA’

Oleh:
Irpan Maulana (10120016) Nurul Hidayah2 (10120037) Sopiatul Maula3 (10120044)
1

irpanmaulanaaja@gmail.com nurrlhidayah24@gmail.com sopiamaula1@gmail.com

FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM CIREBON
2021

Abstract
As espoused by classical Islamic jurists, ijma' is a sources in Islamic law after the Qur'an
and Sunnah. In line with acceleration of change, the concept of Islamic law has undergone a
shift especially legal istinbath through ijma'. On that basis, this article wants to presenting “new
creations” to review the position and function of ijma„ In the systematic study of ushul fiqh, is
ijma' still the source? as well as evidence after the Qur'an and Sunnah, or ijma' participate
autonomous as manhaj (method). By observing it intensely obtained a new concept of the
function of ijma' in Islamic law, that the formulation of the concepts and thoughts of scholars
regarding ijma' shows application of the theory of Islamic law adaptability to the social reality
of society, so that ijma' is no longer a stagnant legal product as legacy of classical scholars.
Furthermore, the understanding of ijma' which has been established (source or proposition), can
be readjusted according to the will of ijma' (as manhaj), which is the result of alternative
thinking methods, as answer to the needs of today's people.

Keyword: Ijma‟, Islamic Law, Ushul Fiqih

Abstrak
Sebagaimana dianut oleh pakar hukum Islam klasik, bahwa ijma„ merupakan sumber
dalam hukum Islam setelah al-Qur'an dan Sunnah. Sejalan dengan akselerasi perubahan, konsep
hukum Islam telah mengalami pergeseran terutama istinbath hukum melalui ijma„. Atas dasar
itulah, tulisan ini ingin menghadirkan “kreasi baru” untuk melihat kembali posisi dan fungsi
ijma„ dalam sistematika kajian ushul fiqh, apakah ijma„ masih sebagai sumber sekaligus dalil
setelah al-Qur'an dan sunnah, atau ijma„ berpartisipasi otonom sebagai manhaj (metode). Dengan
mencermatinya secara intens diperoleh konsep baru tentang fungsi ijma„ di dalam hukum Islam,
bahwa rumusan konsep dan pemikiran ulama tentang ijma„ menunjukkan pada aplikasi teori
adabtabilitas hukum Islam terhadap realitas sosial masyarakat, sehingga ijma„ tidak lagi sebagai
produk hukum yang stagnan sebagaimana warisan dari ulama klasik. Selanjutnya pemahaman
tentang ijma„ yang telah mapan (sumber atau dalil), dapat disesuaikan kembali dengan kehendak

1|HALAMAN
ijma„ (sebagai manhaj), yang merupakan hasil metode berpikir alternatif, sebagai jawaban atas
kebutuhan umat saat ini.

Kata Kunci: Ijma‟, Hukum Islam, Ushul Fiqih

PEMBAHASAN
A. Definisi Ijma’
Ijma‟ menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu
masa di kalangan umat islam atas hukum syara‟ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya
Rasulullag SAW. 1
Kata ijma' secara bahasa berarti "kebulatan tekad terhadap suatu persoalan" atau
"kesepakatan tentang suatu masalah". Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan 'Abdul
Karim Zaidan, "kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukun syara'pada
satu masa setelah Rasulullah wafat."
Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat bahwa ijma' sah dijadikan sebagai
dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku
kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma' yang mengikat umat Islam. Menurut Mazhab
Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma' meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk
Madinah yang dikenal dengan ijma' ahl al-Madinah. Menurut kalangan Syi'ah, ijma' adalah
kesepakatan para imam di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama, kata Muhammad
Abu Zahrah, ijma' sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama
mujtahid, dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma' baru dianggap terjadi bilamana merupakan
kesepakatan seluruh ulama mujtahid.2

B. Rukun Ijma’
Dalam definisi ijma' telah disebutkan bahwa ijma' adalah kesepakatan para mujtahid dari
umat Islam pada suatu masa atas hukum syar'i. Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan,
bahwa menurut syara' ijma tidak sah kecuali dengan empat hal, yaitu:
1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan hanya
dapat terwujud dengan beberapa pendapat, di mana masing-masing pendapat sesuai
dengan pendapat lainnya. Maka jika pada saat kejadian tidak terdapat sejumlah
1
Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fiiqih, (Semarang: Dina Utama Semarang,2014), hlm. 66.
2
Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2017), hlm. 114.

2|HALAMAN
mujtahid, misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya
ditemukan seorang mujtahid, maka secara syara' tidak akan terjadi ijma' pada waktu
itu. Oleh sebab itulah, maka tidak ada ijma' pada masa Rasulullah saw., karena hanya
beliau sendirilah mujtahid pada waktu itu.
2. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat Islam terhadap hukum syara
mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang suatu negeri,
kebangsaan, ataupun kelompok mereka. Jika yang bersepakat atas hukum syara'
mengenai suatu peristiwa hanya para mujtahid negeri Mekah dan Madinah, atau
mujtahid negeri Irak, atau mujtahid negeri Hijaz, atau para mujtahid ahli bait, atau
para mujtahid ahli sunnah, bukan mujtahid golongan Syi'ah, maka ijma' yang seperti
ini tidak sah menurut syara'. Karena ijma' hanya bisa terjadi dengan kesepakatan
umum dari semua mujtahid dunia Islam pada suatu kejadian. Oleh karena itu,
pendapat selain mujtahid tidak masuk penilaian.
3. Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-
masing mujtahid tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik
penyampaiannya secara ucapan, misalnya memberikan fatwa mengenai suatu
peristiwa ataupun perbuatan, misalnya dengan memberikan putusan mengenai suatu
peristiwa, baik mereka mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri dan setelah
pendapat-pendapat dikumpulkan jelaslah kesepakatan dari mereka, atau mereka
mengemukakan pendapat secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia Islam
mengadakan kongres pada suatu masa terjadinya peristiwa, sedang peristiwa itu
dihadapkan pada mereka, setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka
seluruhnya sepakat atas hukum mengenai peristiwa tersebut.
4. Terealisasinya kesepakatan para mujtahid terhadap suatu hukum. Jika kebanyakan
mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak bisa menjadi ijma',
manakala masih terdapat beberapa mujtahid yang berbeda pendapat. Hal tersebut
dikarenakan sepanjang masih dijumpai perbedaan pendapat, maka masih bisa
ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak
lainnya. Oleh karena itu, kesepakatan dengan jumlah terbanyak tidak bisa dijadikan
suatu kepastian dan ketetapan hujjah syar'iyyah.3

3
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 66-67.

3|HALAMAN
C. Dasar Hukum Ijma’
Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma‟ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum, hal
ini didasarkan pada surat an-Nisa‟ ayat 115:
Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golong yang menentang
Rasullullah SAW. dan mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut Muhammad Abu Zahrah,
menjelaskan wajib hukumnya mengikuti jalan orang mukmin dan termasuk hasil kesepakatan
(ijma‟) mereka.
Di dalam surat an-Nisa‟ ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri
diantara kamu.
Didalam Hadits-hadits Rasulullah, banyak sekali yang menjelaskan kedudukan ijma‟,
diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Daud danTarmizi: “Laatajtami‟u ummati „ala al
khatha‟ ” ( tidak mugkin umatku akan bersepakat dalam kesesatan), dan dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tabrani: “sa altu „azaa wajalla an laa tajtami‟u ummati „alaa
dholaalah fa a‟thaa nihaa”, (aku memohon kepada Allah agar umatku tidak bersepakat terhadap
sesuatu yang sesat, lalu Allah mengabulkannya).4
Dalam sumber lain yang ditulis oleh Abdul Hayat (2011: 25-26) menjelsakan tentang
dasar ijma‟ yaitu dalam surat An-Nisa ayat 59 bahwa lafadz ulil amri (pemegang kekuasaan)
tersebut mencakup urusan duniawi, seperti kelapa Negara, anggota perwakilan rakyat, para
menteri dan lain sebagainya. Juga mencakup pemegang urusan agama, seperti para ulama, para
mufti dan para mujtahid. Oleh karena itu bila mana masing-masing dari golongan tersebut telah
menetapkan hukum suatu peristiwa, maka wajib diikuti dan ditaati sebagaimana mentaati dan
menikuti Al-Qur‟an dan Hadits Nabi.
Dan pada hadits riwayat Ahmad:

َ ‫َم َار َاى الْ ُم ْس ِل ُم‬


ِ ّ ‫ون َح َس نًا فَه َُو ِع ْندَ ه‬
‫ رواه امحد‬.‫اّلل َح َس ٌن‬

4
Muhd Farabi Dinata, “Konsep Ijma‟ Dalam Ushul Fikih Di Era Modern”, Al-Ilmu, Vol. 6 No. 1 (2021), hlm. 42.

4|HALAMAN
Apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka di sisi Allah pun ia dipandang
baik pula. (H.R. Ahmad)
Dari isyarat beberapa nash di atas, cukup jelas memberikan petunjuk, bahwa dalam hal
tertentu utamanya dalam hal permasalahan hukum sangat utama untuk mengikuti pendapat yang
disepakati oleh kaum muslimin, ulum amri atau para mujtahid.

D. Ijma’ Dalam Hukum Islam


Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma' menurut arti istilah. Ini
dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaedah dan syarat Ijma'. Namun definisi Ijma'
yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat
Muhammad setelah wafatnya beliau pada masa tertentu atas suatu perkara agama.
Dengan demikian dari rumusan definisi ijma‟ baik secara etimologi maupun terminologi
dari seluruh kalangan ulama, maka jelaslah bahwa ijma‟ itu adalah kesepakatan, di mana yang
sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Nabi Muhammad Saw. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi
masih hidup, al-Qur‟an lah yang akan menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur'an
kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri masih sebagai tempat bertanya tentang hukum syara',
sehingga tidak diperlukan ijma‟. Ijma' itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang
ada pada masa itu, hal ini bukan berarti kesepakatan mujtahid semua masa sampai hari kiamat.5

E. Klasifikasi Ijma’
 Adapun ijma‟ ditinjau dari segi cara menghasilkannya terbagi menjadi dua macam:
1. Ijma' Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu
kasus, dengan cara mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau
putusan hukum. Maksudnya bahwa setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau
tindakan yang mengungkapkan pendapat- nya secara jelas.
2. ljma' Sukuti, yaitu pendapat yang dikemukakan secara jelas oleh sebagian mujtahid
terhadap suatu kejadian, baik berupa fatwa atau putusan hukum. Sedangkan ulama

5
Musfira, “Ijma‟: Antara Sumber Dalil dan Manhaj Dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh”, Jurnal Studi Pemikiran,
Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, Vol. 3 No. 1 (Januari, 2015), 11-12.

5|HALAMAN
yang lain hanya diam, tidak mengungkapkan pendapatnya baik dengan suatu
persetujuan atau sangkaan.
Adapun ijma' sharih adalah ijma' yang hakiki, dan ini merupakan hujjah syar'iyyah
menurut kebanyakan ulama. Sedangkan ijma' sukuti adalah ijma' i'tibari (anggapan), karena
orang yang diam tidak ada kepastian yang menandakan ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada
kepastian mengenai ter-wujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma', dan karena inilah, maka ia
masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' sukuti bukanlah
hujjah, dan bahwa ijma' tersebut tidak lebih dari sekedar pendapat sebagian para mujtahid.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ijma' sukuti adalah hujjah apabila sudah ada
ketetapan. Namun ada mujtahid yang bersikap diam ketika persoalan dihadapkan kepadanya,
disamping dikemukakan ketetapan yang telah ada mengenai kejadian tersebut. Lain dari itu,
pendapat tersebut dikemukakan sudah cukup lama dalam rangka pembentukan pendapat. Namun
mujtahid itu diam, dan tidak ada alasan untuk curiga bahwa diamnya tersebut karena takut,
karena bujukan, kelelahan, atau karena mengejek. Tetapi diamnya mujtahid adalah dalam rangka
memberi fatwa atau keterangan dan pembentukan hukum Islam, setelah melalui penyelidikan
dan pembahasan. Dan tidak adanya hal-hal yang menghalangi untuk mengajukan pendapat
adalah merupakan dalil terhadap kesepakatannya terhadap pendapat yang dikemukakan. Sebab
jika ia menolak, tentu ia berbuat sesuatu dan tidak diam.
Pendapat yang dinilai lebih unggul oleh penulis adalah pendapat jumhur ulama. Karena
seorang mujtahid yang diam, maka diamnya itu dipengaruhi oleh sejumlah kondisi dan keraguan,
baik yang bersifat psikologis maupun lainnya. Dan tidak mungkin meneliti seluruh kondisi,
kesamaran dan kepastian, dan tidak mungkin juga bisa menentukan sikap diamnya sebagai tanda
persetujuan dan menerima pendapat yang sudah ada. Maka seorang mujtahid yang diam, ia
dikategorikan sebagai orang yang tidak mengemukakan pendapat, dan tidak pula bisa
digolongkan pada orang yang setuju ataupun menentang suatu pendapat. Dan itulah, maka ijma'
yang sering kali kita temukan adalah berupa ijma' sukuti.

 Adapun ijma' ditinjau dari segi dalalah qath'i terhadap hukumnya atau dalalah zhanni,
maka dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijma' yang qath'i dalalahnya terhadap hukumnya, yaitu ijma' sharih. Maksudnya
bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak perlu memutuskan hukum yang lain

6|HALAMAN
mengenai kasus tersebut, serta tidak membutuhkan ijtihad setelah ditetapkannya ijma'
sharih atas hukum syara' mengenai suatu kasus.
2. Ijma' yang zhanni dalalahnya atas hukumnya, yaitu ijma' sukuti, ini berarti bahwa
hukum yang ditetapkan di dalamnya bersumber dari dugaan yang kuat, dan menutup
kemungkinan adanya ijtihad, sebab hasil ijtihad tersebut bukan merupakan pendapat
seluruh mujtahid.6

PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid atas
hukum syara‟ pada suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah SAW. Telah disebutkan juga
rukun-rukun ijma‟, bila mana tidak ada 4 hal tersebut maka tidak sah disebut sebagai ijma‟.
Dasar ijma‟ dalam hukum islam sudah jelas disebutkan dalam ayat al-Qur‟an pada QS.
An-Nisa ayat 59 dan 115 dan riwaat hadits, yang berisi peringatan dan ancaman terhadap mereka
yang menentang Rasulullah dan tidak mengikuti jalan orang mukmin dan cukup jelas
memberikan petunjuk, bahwa dalam hal tertentu utamanya dalam hal permasalahan hukum
sangat utama untuk mengikuti pendapat yang disepakati oleh kaum muslimin, ulum amri atau
para mujtahid.

6
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 76-78.

7|HALAMAN
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. 2014. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama.

Effendi, Satria, dan M Zein. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Dinata, M. F. (2021). “Konsep Ijma‟ Dalam Ushul Fikih Di Era Modern”. Al-Ilmu, (hlm. 6(1), 62.

Hayat, A. (2011). “Kehujjahan Ijma sebagai Dasar Hukum Fiqih Islam”. Darussalam, 12(1),
Januari-Juni, 25-26.

Musfira, M. (2015). “Ijma‟: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj Dalam Sistematika Kajian Ushul
Fiqh”. Serambi Tarbawi, 3(1), 11-12.

8|HALAMAN

Anda mungkin juga menyukai