Dosen pengasuh:
Zayanti Mandasari
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Abdul Aziz 190102030076
Deny Yusuf 190102030029
Lutfi Andika 190102030060
Zaitun 190102030065
1
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita panjatkan rasa syukur kita kepada Allah karena dengan
taufik-Nya lah kita bias melakukan aktifitas-aktifitas sehari-hari demi mewujudkan cita-
cita yang luhur dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Dengan ini saya berharap kepada seluruh teman teman mahasiswa apabila dalam
pembuatan makalah ini masih kurang sempurna kami mohon untuk mengkritik makalah
ini, karna kami sadar kemampuan kami jauh dari kata sempurna maka dari itu untuk
mengevaluasi apa yang telah kami cetak, dengan tujuan supaya penulisan selanjutnya
bias lebih baik.
Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………………2
Daftar Isi…………………………………………………………………………….....3
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang…………………………………………………………………4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………......7
C. Tujuan penulisan………………………………………………………………7
BAB II
Pembahasan
A. Definisi Akad…………………………………………………………………4
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan………………………………………………………………...…11
B. Kritik danSaran……………………………………………………………….11
Daftar Pustaka………………………………………………………………...............12
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Aturan hukum sangat diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan tidak
hanya antar individu tetapi juga antar lembaga atau badan hukum lainnya. Hukum adalah tata
aturan sebagai suatu sistem aturan aturan-aturan tentang perilaku manusia. Dengan demikian
hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal, tetapi seperangkat aturan yang memilki
suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak
mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Pernyataan bahwa
hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa tata hukum
hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan kondisi tertentu yang terkait
dengan perilaku manusia. Setiap aturan hukum mengharuskan manusia melakukantindakan
tertentu atau tidak melakukan tertentu dalam kondisi tertentu. Kondisi tersebut tidak harus
berupa tindakan manusia, tetapi dapat juga berupa suatu kondisi. Namun, kondisi
tersebut baru dapat masuk dalam suatu aturan jika terkait dengan tindakan manusia, baik
sebagai kondisi atau sebagai akibat. Setiap pelanggar hukum yang ada, aka dikenakan sanksi
berupa hukuman sebagai reaksiterhadap perbuatan yang melanggar mhukum yang dilakukan.
Untuk menjaga agar peraturan- peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima
oleh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak
bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut.
Pertanyaan mengenai ”apa itu hukum” tampaknya adalah suatu pertanyaan yang
sangat mendasar dan sangat tergantung dari konsep pemikiran dari hukum itu sendiri,
sehingga jawabannya pun mungkin akan terus berkembang sesuai mazhab dan aliran-aliran
yang dikemukakan dalam melakukan pendekatan secara kualitatif tentang makna hukum.
Yang jelas perlu dipahami bahwa tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang
didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum ini
tentunya akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian antara kepastian
hukum dengan kesebanding hukum sehingga akan menghasilkan suatu keadilan.1
1
Edmon Makarin, Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.13
4
Perkembangan masyarakat akan mengakibatkan kebutuhan masyarakat terhadap
hukum juga semakin kompleks, banyak bermunculan pemikiran dari pakar-pakar hukum
yang melahirkan aliran-aliran atau mzhab-mazhab. Salah satu aliran yang akan dibahas
adalah aliran utilitarianisme yang dapat dimasukkan dalam ajaran moral-praktis. Penganut
aliran utilitarianisme ini menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata adalah memberikan
kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga
masyarakat. Pandangannya didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat
mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya. Hukum harus mampu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat dan memberikan rasa kesehjateraan.
Salah satu penganut aliran utilitarianisme adalah Jeremy Bentham yang inti ajarannya
yaitu “tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan the greatest heppines of
the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya
orang)”.2
Sistem hukum Indonesia sebagai sebuah sistem aturan yang berlaku di negara
Indonesia adalah sistem yang sedemikian rumit dan luas, yang terdiri atas unsur-unsur
hukum, dimana diantara unsur hukum yang satu dan yang lain saling berkaitan, saling
mempengaruhi serta saling mengisi. Oleh karenanya pembicaraan satu bidang atau unsur
subsistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang lain, sehingga
mirip dengan tubuh manusia, unsur hukum bagaikan suatu organ yang keberadaannya tidak
bisa dipisahkan dari organ yang lain.3
Kajian Filsafat hukum dapat membawa pada pemikiran dalam menemukan hukum
yang hakiki. Setiap Aliran dalam Filsafat hukum memberi sumbangsih pada perjalanan
hukum, Salah satu aliran Filsafat Hukum itu akan dikaji dengan melihat relevansinya pada
hukum di Indonesia. Aliran utilitarianisme merupakan salah satu aliran yang menarik untuk
dikaji karena merupakan aliran yang melihat tujuan hukum sebagai kemanfaatan bagi
masyarakat.
2
Teguh Prasetyo & Abdul Alim.2007, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Yokyakarta. Pustaka pelajar, h 100.
3
Ilham Basrih, Sistem Hukum Indonesia : Prinsip - Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h 39.
5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana relevansi aliran utilitarianisme dalam hukum di Indonesia?
2. Bagaimana Implementasi prinsip-prinsip aliran utilitarianisme pada pencapaiian tujuan
hukum modern di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana relevansi aliran utilitarianisme dalam hukum di Indonesia
2. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi prinsip-prinsip aliran utilitarianisme pada
pencapaiian tujuan hukum modern di Indonesia.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Kita akan mengetahui prinsip-prinsip aliran utilitarianisme dari masing-masing pakar ilmu
hukum yang menganut aliran ini. Penganut utilistis ini adalah Jeremy bentham, John Stuart Mill
dan Rudolf von Jhering. Namun demikian terdapat perbedaan diantara keduanya. Jeremy
Bentham dikenal sebagai bapak utilitarianisme individual, sedangkan utilitarianisme sosiologis
Rudolf von Jhering adalah bapak utilitarisme.4
Ada yang menyebut utilitarianisme individual dan sosiologis ini sebagai utilitarianisme
perbuatan, selain itu dikenal juga utilitarianisme aturan dari filosof Richard B.Brand yang
melihat adanya sistem aturan moral.
Jeremy Bentham sangat percaya bahwa hukum harus dibuat secara utiltarianistik, melihat
gunanya dengan patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan dan kepuasan
manusia. Dalam hukum tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi
atau yang tertinggi dalam ukuran nilai. Bentham berpandangan bahwa tujuan hukum adalah
hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu. Bentham
mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan
yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau pederitaan yang diakibatkannya terhadap
para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang merugikan orang lain, menurut Bentham
sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal. Pemindahan, menurut Bentham, hanya bisa
diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan lebih besar.5
4
Teguh Prasetyo & Abdul Alim. Op cit
5
Muh.Erwin,SH,MH. 2011. Refleksi Kritis Terhadap Hukum . Rajawali Pers, hlm 180-181..
7
1. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-
individu baru orang banyak. Prinsip utiliti Bentham berbunyi ”the greatest heppines of the
greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.
2. Prinsip itu harus diterpkan secara Kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama.
3. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus
mencapai empat tujuan :
John Stuart Mill (1806) seorang filsuf besar Inggris, dalam bukunya utilitarianism (1864).
1) Mill mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur
secara kuantitaf. Menurutnya, kulaitasnya juga perlu dipertimbangan, karena ada kesenangan
yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kualitas kebahagiaan disini diukur secara
empiris
2) Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan yang terlibat dalam suatu
kejadian, bukan kebahgiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama.
Bodenheimer (1974: 88) menguraikan pandangan Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia
untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa
saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap
kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari
8
itu, sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan
mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan manusia.6
Keseluruhan ajaran Jhering tentang hukum dapat diihktisarkan dalam beberapa butir :7
1) Jhering menolak pandangan von Savigy yang berpendapat bahwa hukum timbul dari jiwa
bangsa secara spontan. Menurut Jhering, contoh Hukum
2) Romawi, dapat dikaterisir sebagai suatu System des disciplin Egoismus (sitem egoisme yang
berdisiplin). Disini hukum digabungkan dengan egoisme bangsa. Penggabungan itu dianggap
berguna bagi bangsa yang dapat diterima sebagai hukum. Jadi Jhering menganut positivisme
utilistis.
3) Karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara, maka tentu saja hukum itu
tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan
perkembangan kebutuhan negara. Jhering mengakui ada pengaruh jiwa bangsa, tetapi tidak
spontan, yang penting bukan jiwa bangsa, tetapi pengelolahan secara rasional dan sistematis, aga
menjadi hukum positif.
4) pengelolahan hukum dinamai Jhering dengan istilah Tekhnik Hukum. Teknik Hukum ini
tidak hanya diperhatikan materi atau isi kaidah-kaidah hukum, melainkan memperhatikan segi
formalnya. Teknik hukum adalah metode yang digunakan pakar-pakar hukum untuk menguasai
hukum positif secara rasional, dengan tujuan agar hukum dapat diterapkan secara tepat pada
perkara-perkara konkret.
5) Rasionalisai hukum dalam teknik hukumnya Jhering itu berlangsung dua tahap :
a) Penyerdehaan bahan hukum dari sudut kuantitas. Bermaksud demi rasionalisasi hukum,
maka kaidah-kaidah hukum sedapat mungkin dikurangi jumlahnya. Caranya adalah
6
Damang,SH, Aliran Utilitarianisme, http://www.negarahukum.com/hukum/aliran-utilitarianisme.html, 2011,
diakses Tanggal 5 Desember 2011 Pukul 16.23 Wita
7
Teguh Prasetyo & Abdul Alim. Loc cit
9
- Konsentrasi logis : bahan hukum dipandang dalam lingkup ide-ide tertentu
- Sistemetik yuridis : bahan hukum diberi suatu aturan yang tepat
- Penetuan terminoligis : dicari terminologi yang cocok bagi ilmu hukum.
- Ekojomi yuridis : jumlah aturan semaksimalnya dikurangi. Tinjauan ekonmus ini menguasai
seluruh proses ini, yakni diusahakan untuk menghemat pikiran.
b) Peneyederhanaan tahap kedua adalah penyederhanaan bahan hukum dari sudut kualitas.
Rasionalisasi kedua ini bahwa hukum ditingkatkan menjadi ide-ide dan institusi-institusi hukum.
Caranya ialah :
- Mencari aturan intern tata hukum. Ditujukann pada suatu pengertian menyeluruh tentang
tata hukum tertentu.
- Mempertimbangkan kualitas dan nilai bagian-bagian tata hukum untuk dapat sampai pada
suatu keseimbangan antara bagian-bagian itu.
6) Teknik hukum ini, khususnya yang kedua, menjadikan bahan hukum bersifat rasional
semata, logis dan abstrak. Karena itu ajaran Jhering ini dinamai : begriffjurisprudenz (keahlian
hukum berdasarkan logika)
7) Tetapi kemudian Jhering meninggalkan begriffjurisprudenz dan berganti pandangan bahwa
yang menentukan dalam hukum, bukanlah ide-ide rasional, melainkan kepentingan masyarakat.
Dengan ini teorinya beralih ke interssenjurisprudenz (keahlian hukum berdasarkan kepentingan
sosial). Hal ini tampak dibawah ini :
....the essense of law a expressed in tis purpose, which was the protection of the interest of
sicoety and the individual by coordinating those interest, thus minimazing circumstances likely
to laki to conflict. Under the law, interest of society will have precedences in the event or
conflict. Tehe needs of men within sosiecty dominanted Jhering’s concept of law.
(Esensi hukum yang tercermin dalam tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan-
kepentingan tersebut, termasuk memperkecil kemungkinan terjadinya konflik. Dibawah hukum,
kepentingan-kepentingan masyarakat harus lebih didahulukan jika terjadi konflik dengan
10
kepentingan individu. Kebutuhan manusia sebagai warga masyarakat mendominasi konsep-
konsep hukum Jhering)
”Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured by the
power of the state through the sense of the external compulsion.”
(hukum adalah seperangkat kondisi-kondisi kehidupan sosial dalam pengertian yang sangat luas
yang ditegakkan oleh kekuasaan negara melalui usaha paksaan dari luar).
9) Paksaaan dan kekuasaan merupakan uansur esensial hukum, dalam hubungan ini Jhering
mengemukakan bahwa :
Legal rules necessitate compulsion and force; without them the rules were like a fire which does
not burn.
(Aturan hukum membutuhkan kekuasaan;tanpa itu aturan-aturan bagikan api yang tidak panas).
10) The function of the law to secure and to maintain the foundation of social life.
11) Fungsi hukum adalah untuk menjamin dan memelihara pondasi kehidupan sosial.
12) Jhering memandang esensi hukum merupakan kehendak nyata untuk melindungi
kepentingan kehidupan bersama dan kepentingan individu, melalui kordinasi, kemungkinan
konflik bisa diperkecil. Di bawah hukum, kepentingan masyarakat harus lebih didahulukan.
13) Jhering memandang bahwa aktivitas kemasyarakatan diri warga masyarakat seharusnya
dikorbankan dan ini hanya mungkin tercapai melalui :asas-asas gerak sosial” (social motion).
Gerak sosial ini mendapat tiga jenis pengaruh :
Pengaruh egoistis ini dari imbalan dan paksaan, dapat digunakan untuk mengorbankan aktivitas
kemasyarakatan berupa :
- Kegiatan perdagangan melalui paham mementingkan diri sendiri demi keuntungan pribadi,
seperti memberi hadiah
- Implikasi perlakuan unsur paksaan membuat ide hukum dan negar dapat dilaksanakan.
11
b) Pengaruh altruistik
- mixed legal, yaitu aspek-aspek kehidupan manusia yang tidak berhubungan dengan hukum
paksaan, misalnya self preservation.
- Purely legal, yaitu aspek-aspek kehidipan yang berhubungan seacara keseluruhan dengan
perintah-perintah hukum, misalnya membayar pajak.
c) Kombinasi pengunaan kedua pengaruh di atas, memungkinkan tercapainya tujuan sosial.
Hasilnya adalah bahwa masyarakat dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yang
terdiri dari tiga jenis.
Filosof Richard B Brant mengusulkan agar sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan
prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan aturan
yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi masyarakat.8
Utilitarianisme aturan ini merupakan sebuah varian menarik dari Utilitarianisme. diakui bahwa
dengan demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarianisme
perbuatan. Namun demikian, utilitarianisme aturan ini sendiri tidak tanpa kesulitan juga.
Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya, seorang kepala
keluarga mencuri auang utnuk dapat membeli obat tersebut, segera ia akan mati. Bapak itu sudah
berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang yang sangat diperlukan itu, tetapin selalu
gagal. Tinggal kemungkinan terakhir ini : mencuri. Di sini terdapat konflik antara dua aturan
moral :”orang tidak boleh mencuri” dan ”orang tua harus sekuat tenaga untuk menyelematkan
anaknya”. Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini
harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa dalam
situasi konkret tadi kepala keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia tidak terlalu
merugikan orang lain.9
8
Muh.Erwin,SH,MH. Op cit. h.188, (Kutipan K Bartens. Etika. PT.Gramedia Pustaka utama. Jakarta.2001)
9
Ibid
12
B. PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS
Roscoe Pound sebagai salah seorang pendasar aliran Sociological Jurisprudence yang tumbuh
dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12 (dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua
belas konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan
gagasan tentang hak-hak asasi yang sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa
sebenarnya hukum itu, dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin haruslah sedikit hukum itu,
karena hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan itu
walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi
adanya 12 konsepsi Pound tentang hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung
sebagian besarnya di dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan pendek mengenai
gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan sangat berguna dalam mepelajari
tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound tentang hukum tersebut terdiri
dari:10
a. Pertama, boleh kita kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang
diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-undang Nabi Musa,
atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh Dewa Matahari setelah selesai disusun,
atau undang-undang Manu yang didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu
namanya, di depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.
b. Ada satu gagasan tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata
dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh ditempuh manusia
dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan
gaib di dalam alam yang banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam
ketakutan kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan demikian
ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib tersebut. Kesalahan umum
menuntut supaya orang melakukan hanya apa yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara
yang digariskan oleh kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang
tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang tradisional akan dicatat,
10
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, (Jakarta :Bhratara, 1996), hh. 28-32.
13
yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan
hukum primitif yang merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi
ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi yang sama tetapi
dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang sebagai yang telah diwahyukan oleh
Tuhan.
c. Gagasan ini rapat dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan
yang dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang selamat, atau jalan
kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila satu kebiasaan tradisional dari keputusan
dan kebiasaan tindakan telah dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan
dianggap sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum Masehi dapat
melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.
d. Hukum dapat dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft,
yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya
dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah, gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya
merupakan cangkokan dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang
hukum sebagai perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan memahamkan
tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsa-bangsa yang semata-mata sebagai
pernyataan atau pencerminan dari asas-asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus
diukur, dibentuk, ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli
filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk lain,
e. Sehingga kelima hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari
satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
f. Ada satu gagasan mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia
di dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan antara
yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu pandangan demokratis tentang identifikasi
hukum dengan kaidah hukum, dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang
diperbincangkan di dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah Demosthenes
menganjurkan kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin dengan teori serupa itu, satu gagasan
filsafat akan menyokong gagasan politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan
14
dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati persetujuan yang mereka buat
di dalam majelis rakyat.
g. Hukum dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta
ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan yang masih dilakukan, yang ditujukan
kepada mahkluk lain selain manusia. Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai
penganut banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.
h. Hukum telah dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di
dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang
harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa
saja yang dianggap terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapan-
anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan masa klasik mengenai hukum positif.
Dan karena Kaisar memegang kedaulatan rakyat Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka
Institutiones dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan bahawa kemauan kaisar mempunyai
keuatan satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu cocok dengan pikiran-pikiran ahli-ahli
hukum yang giat menyokong kekuasaan raja dalam memusatkan kerajaan Perancis pada abad ke-
16 dan ke-17, dan dengan perantaraan ahli-ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam
hukum publik. Rupanya dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di
tanah Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot. Demikianlah dia
dicocokkan dengan satu teori politik tentang kedaulatan rakyat yang menurut teori itu, rakyat
dianggap sebagai pengganti parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi
Amerika, atau sebagai pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis.
i. Satu gagasan yang menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh
pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia perseorangan akan
mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan serupa itu pula, yang
diberikan kepada kemauan orang-orang lain. Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk
oleh mazhab sejarah, telah membagi ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai
perintah dari pemegang kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang abad yang lalu.
Menurut anggapan pada masa itu, pengalaman manusia yang menemukan prinsip hukum
ditentukan dengan sesuatu cara yang tak dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya
15
manusia yang dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatu
gagasan mengenai hak dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang mewujudkan dirinya
di dalam pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau oleh kerja-kerja hukum yang biologis atau
psikologis atau tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan sistem hukum daru
suatu masa dan suatu bangsa yang bersangkutan.
j. Orang menganggap hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat
dan dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum dan putusan
pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu kehidupan lahir manusia diukur
oleh akal, atau pada taraf lain, dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak
diselaraskan dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19 sesudah
ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi pikiran hukum selama dua
abad, dan filsafat diminta untuk memberikan satu terhadap kritik susunan sistematik dan
perkembangan detail.
k. Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di
dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat memajukan kepentingan
kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari
hukum ini banyak bentuknya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah
pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam satu bentuk
sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan kelas atau satu perjuangan untuk
hidup di lapangan perekonomian, dan hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum
yang terlibat atau menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis,
hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang
ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh
kepentingan mereka sendiri. Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan dari stabilitas
kematangan hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum dapat
mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan
ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan
ilmu ekonomi. Tambahan lagi pada masa undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-
undangan yang dundangkan mudah dianggap orang sebagai type darimperintah hukum, dan satu
16
percobaan hendak membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif
dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.
l. Akhirnya ada satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi
dan sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam masyarakat, yang
ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman
manusia mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan
peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19, tatkala orang mulai mencari dasar fisik
dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang
ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial yang
terakhir dengan pengamatan dan mengembangkan kesimpulan yang logis dari kenyataan itu,
mirip seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi dari suatu
kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial, yang lebih
besar kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang dikenal dengan “Law
as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat penggolongan atas kepentingan-
kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :11
17
11) kepentingan individu;
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound mengikuti garis
pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum
sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Penggolongan
kepentingan tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jhering.
Oleh karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan
Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan Bentham.
Tujuan hukum sudah timbul di dalam pemikiran yang sadar, kita mengenal tiga gagasan dalam
sejarah hukum.
Tujuan hukum yang paling sederhana ialah hukum diadakan supaya terjaga ketenteraman dalam
masyarakat tertentu, tujuan hukum yang demikian ini sangat penting artinya bagi masyarakat,
karena dalam masyarakat yang disusun dalam suatu kekerabatan, yang acapkali di dalamnya
terjadi benturan-benturan kepentingan sehingga timbul perselisihan.
Tujuan hukum ialah untuk menjaga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja, dan dipelihara
dengan mengorbankan apa saja. Pengertian hukum yang demikian ini disebut sebagai hukum
yang primitif, alasannya ialah bahwa perdamaian antara kekerabatan yang satu dengan
kekerabatan lain , antara orang-orang yang sekutu, dan penduduk yang bertambah banyak.
18
Sehingga dimungkinkan terjadi benturan-benturan kepentingan. Oleh karena itu, hukum
dibentuk.
Tujuan hukum ketiga ini timbul, untuk mencegah pergeseran antar sesama masyarakat. Hal ini
disebabkan sistem kekerabatan semakin hilang dan digeser oleh orang-orang yang kehilangan
kekerabatan serta para pendatang, sementara itu orang-orang yang memiliki kekerabatan masih
berkuasa, sehingga gagasan mengenai tujuan hukum ketiga dapat juga disebut untuk menjaga
ketertiban sosial.
a. Seiring dengan perkembangan ekonomi dalam masyarakat, semakin terasa akan adanya
perlindungan hukum untuk kegiatan yang terkait ekonomi, yaitu tujuan Penyingkiran
Pembatasan Kegiatan Ekonomi yang Bebas.
Hukum ditujukan untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi yang bebas,
yang bertumpuk-tumpuk selama jaman pertengahan sebagai insiden dari sistem kewajiban di
dalam hubungan antar manusia dan sebagai pengucapan dari gagasan tentang penetapan orang
di tempatnya masing-masing di dalam suatu masyarakat yang statis.
Tujuan ini berkembang pada saat hukum dagang memberikan efek kepada apa yang dilakukan
orang menurut kehendaknya, yang menilik niat bukan bentuknya, yang menafsirkan keamanan
umum sebagai keamanan bagi transaksi dan mencoba melaksanakan kemauan tiap orang untuk
menciptakan akibat hukum. Tujuan konstruktif ini dikembangkan dari hukum Romawi dan
kebiasaan saudagar dengan perantaraan teori hukum mengenai hukum alam.
Pada akhir abad ke-19, timbul pandangan hukum adalah keburukan, karena pada hakekatnya
hukum mengekang kebebasan orang, sehingga para sarjana hukum dan pembuat undang-undang
dengan senang hati membiarkan masyarakat melakukan kemauannya untuk mencapai
kesenangannya maupun kesengsaraannya. Oleh karena itu pada akhir abad ke-19 gagasan hukum
yang ada dipergunakan untuk mencapai kebebasan secara maksimum.
19
C. Sistem Negara Modern
Sistem negara modern muncul di Eropa antara awal abad ke-12 dan akhir abad ke-17. Amerika
mulai mengganti bentuk-bentuk organisasi politik yang ada pada Abad Pertengahan di Eropa
ketika aktor kunci, menanggapi beragam rangkaian insentif politik dan ekonomi, membentuk
koalisi yang mempengaruhi satu set pengaturan politik, feodalisme, dan secara bertahap diganti
dengan yang lain yakni negara berdaulat. Pada tahun 1648, Perdamaian Westphalia menciptakan
satu set prinsip yang disepakati sebagai peraturan yang sah yang memberikan dasar normatif
pertama untuk sistem negara modern. Selanjutnya, perkembangan sistem negara modern
diteruskan dengan munculnya negara kota perdagangan Italia. Tidak ketinggalan juga peristiwa
Revolusi Perancis disertai gagasan tentang penentuan nasib sendiri oleh rakyat Perancis saat itu.
D. Ciri-ciri Sistem Negara Modern Berdasarkan sejarah dan latar belakang munculnya sistem
negara modern yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri-ciri sistem negara modern tidak lain
adalah ciri-ciri negara Batas-batas wilayah yang jelas bangsa (nation-state), yakni: dan tetap
Struktur kekuasaan impersonal Legitimasi diambil dan disepakati oleh rakyat Memonopoli
penggunaan kekuatan :12
1. Jenis-jenis Negara Modern Ada beberapa jenis negara modern, yakni: Negara
Konstitusional (Constitutional State) : Negara yang kegiatannya dipandu oleh seperangkat
aturan. o Republik Indonesia
2. Negara Liberal (Liberal State) : Negara dipisahkan dari pihak swasta. Demokrasi Perwakilan
(Representative Democracy) : Indiciduindividu mewakili kehendak orang banyak. o Amerika
Serikat
12
Deden Habibi Ali Alfathimy, Sistem Negara Modern, 2010 www.scribd.com/doc/39960334/Sistem-Negara-
Modern+sistem+negara+moder, diakses Tanggal 6 Desember 2011 Pukul 16.33 Wita
Diposkan 6th April 2012 oleh Muammar El Valdanito
20
B. Implementasi prinsip-prinsip aliran utilitarianisme pada pencapaiian tujuan hukum modern di
Indonesia
Pembahasan rumusan masalah pertama adalah membahas relevansi aliran utilitarianisme. Dari
prinsip dasar di atas, jelas diketahui relevansi aliran utilitarianisme dalam hukum di Indonesia
yaitu memberikan pandangan bahwa tujuan hukum itu juga harus memberikan kemanfatan.
Tujuan hukum kemanfaatan itu merupakan salah satu tujuan hukum positif di Indonesia.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan pembahasan dari rumusan masalah tersebut.
Aliran utilitarianisme memberikan sumbangsih pemikiran hukum pada hukum, dalam hal ini
hukum di indonesia. Relevansinya itu merupakan salah satu pemikiran yang mengkaji bagaimana
tujuan hukum itu. Aliran utilsme yang menjelaskan bahwa tujuan hukum adalah memberi
kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai
kebahagiaan (happines). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada
apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini
selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti
tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu
dalam masyarakat (bangsa Indonesia) tersebut.
21
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat faham
ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan
ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
jumlah orang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan cerminan perintah penguasa juga, bukan
pencerminan dari rasio semata.
Kehadiran tradisi negara modern yang mengikat dan tidak bisa dihindari menyebabkan sulitnya
tercapai tujuan hukum yang sebenarnya, namun aliran ini dapat dijadikan pemikiran hukum
sepanjang masa karena garis pemikirannya berupa pendekatan terhadap hukum ke arah tujuan
sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Dalam perkembanngan masyarakat yang
semakin kompleks, tujuan hukum selain untuk menjaga ketertiban umum juga dapat menjaga
perdamaian kekerabatan yang satu dengan kekerabatan lain , antara orang-orang yang sekutu,
dan penduduk yang bertambah banyak yang dimungkinkan terjadi benturan-benturan
kepentingan, di sini berarti menjaga ketentraman bagi orang banyak.
2. Implementasi prinsip-prinsip aliran utilitarianisme pada pencapaiian tujuan hukum modern
di Indonesia
Maksud dari Bentham tidak lain memandang bahwa ukuran baik-buruk suatu perbuatan manusia
tergantung kepada apakah perbuatan itu mengandung kebahagiaan atau tidak. Sebagai salah
ilustrasi yang ditawarkan Bentham suatu pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan
dan betapa kerasnya pidan itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah
dilakukannya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan
harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar.
Pendapat yang hampir sama dengan Bentham adalah John Stuart Mill, namun Mill malah
memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan sebagai salah satu sumber kesadaran
keadilan tidak hanya terletak pada asas ‘kemanfaatan” semata, melainkan rangsangan dalam
rangka mempertahankan diri dan perasaan simpati.
22
merupakan kombinasi pemikiran tiga pemikir dalam aliran pemikiran ilmu hukum yakni
Bentham, Mill dan John Austin sebagaimana ia menolak anggapan aliran sejarah yang
berpendapat, hukum adalah hasil kekuatan-kekuatan historis murni yang direncanakan dan tidak
disadari. Menurut Jhering, hukum mesti dibuat oleh negara atau dasar sepenuhnya untuk
mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya kita melihat lagi keadaan Indonesia saat ini, dimana sedang menuju negara modern,
hal itu dapat dilihat dengan ikut campur tangan negara dalam mengurusi kepentingan
masyarakat. Negara berperan aktif mengatur urusan rakyat. Begitu banyak produk hukum yang
tercipta untuk mengatur kepentingan warga negara dengan tujuan hukum yang ingin dicapai
adalah menjaga kestabilan & ketertiban hukum. Perkembangan masa yang berlangsung
mengakibatkan perubahan secara mendasar atas peranan dan fungsi fungsi yang diselenggarakan
pemerintah. Negara selaku integritas kekuasaan massa, sudah tentu membutuhkan suatu tingkat
kestabilan khusus dalam sistem sosialnya untuk tetap mempertahankan keseimbangan antara
peranan atau penyelenggaraan fungsi fungsinya dengan tujuan tujuan yang dicapai. Dalam upaya
mencapai hal tersebut, tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan tujuan yang dikehendaki
oleh kelompok kelompok social maupun kelompok ekonomi yang terdapat pada Negara, akan
tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan social
yang dikehendaki masyarakat.
Sistem negara hukum modern di Indonesia cukup baik. Hal ini terlihat dari proses berjalannya
pengimplementasian sistem pada beberapa dekade terakhir. Semuanya menujukkan situasi yang
cukup stabil baik secara domestik maupun internasional Namun, bukan berarti dengan baiknya
performa sistem ini menujukkan bahwa mengejawantahkan sistem ini merupakan suatu
keharusan. Walaupun, di antara yang lain, sistem ini merupakan yang terbaik hampir disegala
aspek ( militer, ekonomi, pemerintahan, dan lain-lain), tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
selanjutnya akan terbentuk sistem-sistem negara yang baru.Sistem negara modern yang ada saat
ini masih tergolong muda untuk menjadi yang terakhir. Banyak hal yang tak terduga yang bisa
memaksanya untuk menyesuaikan diri. sistem negara modern memang seharusnya menyesuaikan
diri dengan tuntutan zamannya. Bahkan tak menutup kemungkinan juga bila dalam suatu waktu,
pelaksanaan sistem negara modern di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Mungkin
23
namanya akan kekal dan tak tergantikan. Tetapi, substansinya akan senantiasa berubah seiring
berputarnya roda kehidupan manusia
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Relevansi aliran utilesme dalam hukum Indonesia yaitu aliran ini merupakan salah satu
pemikiran yang mengkaji bagaimana tujuan hukum itu. Aliran utilsme yang menjelaskan bahwa
tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di
sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi dapat diukur efektif tidaknya suatu hukum di
Indonesia dengan melihat baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum dengan bergantung kepada
apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini
24
selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti
tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu
dalam masyarakat (bangsa Indonesia) tersebut.
2. Pencapaian tujuan hukum indonesia sebagai negara modern menurut aliran utilisme
mengarah ke arah yang lebih baik walaupun kurang efektif.
Dalam penulisan makalah ini penulis memohon kritik dan saran dari pembaca terutama
pada guru pembimbing, karena didalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna tentunya yang terdapat didalam makalah ini hanyalah kekurangan dan mungkin
kekeliruan semata.
25
DAFTAR PUSTAKA
Basrih, Ilham. Sistem Hukum Indonesia : Prinsip - Prinsip & Implementasi Hukum di
Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Erwin, Muh. 2001 (Kutipan K Bartens. Etika. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka utama).
Pound, Roscoe. 1996. Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad Radjab. Jakarta : Bhratara.
Prasetyo, Teguh & Abdul Alim. 2007. Ilmu Hukum & Filsafat Hukum. Yokyakarta : Pustaka
pelajar.
Website :
Damang,SH,AliranUtilitarianisme,http://www.negarahukum.com/hukum/aliran-
utilitarianisme.html, 2011, diakses Tanggal 5 Desember 2011 Pukul 16.23 Wita
[1] Edmon Makarin, Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.13
[2] Teguh Prasetyo & Abdul Alim.2007, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Yokyakarta. Pustaka
pelajar, h 100.
[3] Ilham Basrih, Sistem Hukum Indonesia : Prinsip - Prinsip & Implementasi Hukum di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 39.
26
[4] Teguh Prasetyo & Abdul Alim. Op cit
[5] Muh.Erwin,SH,MH. 2011. Refleksi Kritis Terhadap Hukum . Rajawali Pers, hlm 180-181..
[8] Muh.Erwin,SH,MH. Op cit. h.188, (Kutipan K Bartens. Etika. PT.Gramedia Pustaka utama.
Jakarta.2001)
[9] Ibid
[10] Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, (Jakarta :Bhratara,
1996), hh. 28-32.
[11] Ibid
27