Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSEP BRONKOPNEUMONIA

diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Anak 2


dosen pengampu Eva Supriatin, S.Kp., M.Kep.

Disusun oleh :

Kelompok 7

Asep Kamal Muarip (218006)

Melania Nurrul Safitri Mustofa (218021)

Noor Aziziyyah (218028)

Pani Nur Padilah (218029)

Prodi : S1-3A

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI JAWA BARAT

BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Dengan memohon rahmat dan ridho Allah SWT serta mengucap syukur kepada Nya atas segala
limpahan karuniaNya kami diberi kekuatan untuk menyusun makalah yang berjudul “KONSEP
BRONKOPNEUMONIA” Tujuan dari makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas keperawatan
anak 2 yang diampu olehEva Supriati, S. Kp., M.KepKami memiliki harapan yang sangat besar
bahwa karya ini bisa memberikan manfaat kepada semua pihak, khususnya bagi para pembaca
untuk memperluas wawasan dan juga pengetahuan Kami sangat menyadari bahwa karya tulis ini
masih sangat jauh dari kata sempurna karena berbagai keterbatasan yang kami miliki. Oleh
karena itu, berbagai bentuk kritikan dan juga saran yang membantu akan sangat kami harapkan
untuk makalah ini.

Bandung, September 2020

Penyusun

i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................................ii
BAB 1..............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................................................1
1.4 Manfaat..................................................................................................................................2
BAB 2..............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................3
2.1 Konsep Penyakit...............................................................................................................3
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi.....................................................................................................3
2.1.2 Definisi............................................................................................................................7
2.1.3 Etiologi............................................................................................................................8
2.1.4 Patofisiologi.....................................................................................................................9
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................................15
2.1.7 Penatalaksanaan.............................................................................................................16
2.1.8 Komplikasi....................................................................................................................18
BAB 3............................................................................................................................................19
PENUTUP.....................................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................19
3.2 Saran................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bronkopneumonia adalah penyakit infeksi saluran pernafasan bawah, yang melibatkan


parenkim paru-paru, termasuk alveoli dan struktur pendukungnya (Reeves, 2001).
Bronkopneumonia adalah proses inflamatori permukaan bagian bawah yang mengenai
parenkim paru yang umumnya disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur
dan benda asing.( Smeltzer dan Bare, 2001).
Bronkopneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Sudoyo,
2006).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bronkopneumonia
adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratoris dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur maupun parasit.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem pernafasan?
b. Bagaimana etiologi bronkopneumonia?
c. Bagaimana patofisiologi terjadinya bronkopneumonia?
d. Bagaimana manifestasi klinis pada bronkopneumonia?
e. Bagaimana penatalaksanaan bronkopneumonia?
f. Apa saja komplikasi pada bronkopneumonia?
g. Apa saja pemeriksaan penunjang pada bronkopneumonia?

1.3 Tujuan

Untuk memahami bronkopneumonia berdasarkan definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi


klinis, penatalaksanaan, komplikasi, diagnosis dan pemeriksaan penunjang.

1
1.4 Manfaat

Hasil penugasan makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan pada setiap
pembaca agar memiliki wawasan mengenai konsep bronkopneumonia dan dapat bermanfaat
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan keperawatan dalam materi tentang
bronkopneumonia.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi

Organ pernafasan berguna bagi transportasi gas-gas di mana organ-organpernafasan


tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir yaitu rongga hidung, faring,
laring dan trakea serta bagian paru-paru yang berfungsi melakukan pertukaran gas-gas
antara udara dan darah. Sebagian besar saluran pernafasan (dilalui udara) yaitu bronkus,
berada di dalam paru-paru. Laring juga berguna untuk menghasilkan suara. Organ
penciuman (hidung) mengatur udara yang dihirup, membantu orientasi dalam lingkungan
dan bersama-sama dengan saraf-saraf sensorik mukosa hidung membantu melindungi
manusia. Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Organ-organ pernafasan meliputi,
hidung, faring, laring, trakea, paru-paru.

a. Hidung

Merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi),
dipisahkan dengan sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang
berguna untuk menyaring udara, debu dan kotoran-kotoran yang masuk ke dalam
lubang hidung. Bagian luar dinding terdiri dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot
dan tulang rawan, lapisan dalam 9 terdiri dari selaput lendir yang barlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung (konka nasalis).

b. Faring (tekak)

3
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan.
Terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rogga hidung dan mulut sebelah depan
ruas tulang leher.

c. Laring (tenggorok)

Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak di


depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di
bawahnya.

d. Trakea (batang tenggorok)


Trakea berjalan dari laring sampai kirakira ketinggian vertebra torakalis kelima dan
di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus. Yang memisahkan trakea menjadi
bronkus kiri dan kanan disebut karina. Panjang trakea 9- 11 cm, sebelah dalam diliputi
oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia).
e. Paru-Paru

Merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan terletak di rongga dada atau
toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar
memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan basis
(dasar). Pembuluh darah paru, bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki
tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. 10 Paru kanan lebih besar
daripada paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi
menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai
dengan segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen, sedangkan paru kiri
dibagi menjadi 9 segmen. Proses patologis seperti pneumonia sering kali hanya terbatas
pada satu lobus dan segmen saja. Paru-paru dilapisi 2 macam : Pleura parietal yang
melapisi rongga toraks sedangkan pleura viseral yang menutupi setiap paru-paru. Di
antara pleura pariental dan pleura viseral terdapat cairan pleura seperti selaput tipis yang
memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan satu sama lain selama respirasi,
dan mencegah pemisahan toraks dan paru-paru. Bagian paru-paru meliputi
bronkus,bronkeolus, alveoli.

1) Bronkus

4
Yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira-kira vertebra torakalis
kelima, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri tidak simetris. Bronkus kanan lebih pendek, lebih
besar dan merupakan lanjutan trakea dengan sudut yang lebih lancip. Tabung
endotrakhea terletak sedemikian rupa sehingga terbentuk saluran udara paten, yang
mudah masuk ke dalam cabang utama bronkus kanan kalau tidak tertahan pada mulut
atau hidung. Kalau udara salah jalan, maka tidak dapat masuk ke dalam paru-paru kiri
sehingga paru-paru akan kolaps (atelektasis). Cabang utama bronkus kanan dan kiri
bercabang-cabang lagi menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronkus.

2) Bronkeolus

Percabangan ini terus menerus sampai pada cabang terkecil yang dinamakan
bronkhiolus terminalis yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tak
mengandung alveolus. Bronkhiolus terminal kurang lebih bergaris tengah 1 mm. Semua
saluran udara di bawah tingkat bronkhiolus terminalis disebut saluran penghantar udara
karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas
paru-paru. Di luar bronkhiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit
fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkhiolus
respiratorius, yang kadangkadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli yang
berasal dari dinding mereka. Duktus alveolaris, yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus
dan sakus alveolaris terminalis merupakan struktur akhir paru-paru (Syaifuddin, 2006).

3) Alveoli

Kelompok sakus alveolaris menyerupai anggur yang membentuk sakus terminalis


yang dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding tipis atau septum. Lubang kecil
pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn. Lubang ini memungkinkan hubungan atau
aliran udara antar sakus alveolaris terminalis. Alveolus hanya mempunyai satu lapis sel
yang diameternyalebih kecil dibandingkan dengan diameter sel darah merah. Dalam
setiap paru terdapat sekitar 300 juta alveolus dengan luas permukaan seluas sebuah
lapangan tenis (Syaifuddin, 2006). Gambar 2.1 menunjukan gambar sistem pernafasan.

5
2. Fisiologi

Bernafas berarti melakukan inspirasi dan ekspirasi secara bergantian, teratur,


berirama dan terus-menerus. Bernafas merupakan gerak reflek yang terjadi pada otot-otot
pernafasan. Reflek bernafas ini diatur oleh pusat pernafasan yang terletak di dalam
sumsum penyambung (medulla oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan,
memperlambat, atau mempercepat nafasnya, ini berarti reflek bernafas ini juga di bawah
pengaruh korteks serebri. Pusat pernafasan sangat peka terhadap kelebihan kadar CO2
dalam darah dan kekurangan dalam darah.

Inspirasi terjadi bila muskulus diafragma telah dapat rangsangan dari nervus prenikus
lalu mengkerut datar. Muskulus Interkostalis yang letaknya miring, setelah dapat
rangsangan kemudian mengkerut dan tulang iga (kusta) menjadi datar. Dengan demikian
jarak antara sternum (tulang dada) dan vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada

6
membesar maka pleura akan berbalik dengan demikian akan menarik paru-paru maka
tekanan di dalammya berkurang, masuklah udara dari luar dan dilembabkan. Ketiga
proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi.

Ekspirasi, pada suatu saat otot akan kendor lagi (diafragma akan menjadi cekung,
muskulus interkostalis) dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka
udara di dalam keluar. Jadi 14 proses respirasi atau pernafasan ini terjadi karena adanya
tekanan antar rongga pleura dan paru (Syarifudin, 2006). Bernafas dalam paru-paru
terjadi pertukaran zat antara O2 ditarik dari udara masuk ke dalam darah dan CO2 akan
dikeluarkan dari darah secara osmosis seterusnya CO2 akan dikeluarkan melalui traktus
respiratorius (jalan pernafasan) dan masuk ke dalam tubuh melaui kapiler-kapiler vena
pulmonalis kemudian masuk ke serambi kiri jantung (atrium sinistra) ke aorta seluruh
tubuh (jaringan-jaringan dan sel-sel) di sini terjadi oksidasi (pertukaran) sebagai ampas
(sisa) dari pembakaran adalah CO2 dan zat ini dikeluarkan melalui peredaran darah vena
masuk ke jantung (serambi kanan/atrium dekstra) ke otak kanan (ventrikel dekstra) dan
dari sini keluar melalui arteri pulmonaris ke jaringan-jaringan paru-paru akhirnya
dikeluarkan menembus lapisan epitel dan alveoli. Proses pengeluaran sisa dari
metabolisme lainnya akan dikeluarkan melalui traktus urogenetalis dan kulit. Diafragma
merupakan otot berbentuk lengkungan yang membentuk dasar rongga toraks dan
memisahkan rongga tersebut dari rongga abdomen (Price & Wilson, 2005)

2.1.2 Definisi

Bronkopneumonia adalah suatu cadangan pada parenkim paru yang meluas sampai
bronkioli atau dengan kata lain peradangan yang terjadi pada jaringan paru melaui cara
penyebaran langsung melalui saluran pernafasan atau melaui hematogen sampai ke
bronkus (Sujono & Sukarmin, 2009). Bronkopneumonia adalah suatu infeksi akut pada
paru–paru yang secara anatomi mengenai begian lobulus paru mulai dari parenkim paru
sampai perbatasan bronkus yang dapat disebabkan oleh bermacam–macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing ditandai oleh trias (sesak nafas, pernafasan cuping
hidung, sianosis sekitar hidung atau mulut). (Mansjoer, 2000. Dalam Dewi, 2013).
Bronkopneumonia adalah suatu konsolidasi subsegmental yang multipel atau konsolidasi
lobus yang tampak pada lapangan bawah paru (Djojodibroto, 2009).

7
2.1.3 Etiologi

Penyebab tersering bronkopneumoni pada anak adalah pneumokokus sedang penyebab


yang lainnya adalah: streptoccocus pneumoniae, stapilokokus aureus, haemophillus
influenzae, jamur (seperti candida albicans), dan virus. Pada bayi dan anka kecil ditemukan
stapilokokus aureus sebagai penyebab terberat, serius dan sangat progresif dengan
mortalitas tinggi (Sujono & Sukarmin, 2009). Terjadinya bronkopneumonia bermula dari
adanya peradangan paru yang terjadi pada jaringan paru atau alveoli yang biasanya
didahului oleh infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Factor
penyebab utamam adalah bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ridha, 2014).

Smeltzer & Bare (2001) menyebutkan beberapa penyebab bronkopneumonia adalah


bakteri, virus, mikroplasma, jamur dan protozoa. Bronkopneumonia juga dapat berasal dari
aspirasi makanan, cairan, 15 muntah atau inhalasi kimia, merokok dan gas. Bakteri
penyebab bronkopneumonia meliputi :

1. Bakteri gram positif


a. Streptococcus pneumonia (biasanya disertai influenza dan meningkat pada
penderita PPOM dan penggunaan alkohol).
b. Staphylococcus (kuman masuk melalui darah atau aspirasi, sering
menyebabkan infeksi nasokomial).
2. Bakteri gram negatif
a. Haemaphilius influenza (dapat menjadi penyebab pada anak-anak dan
menyebabkan gangguan jalan nafas kronis).
b. Pseudomonas aerogmosa (berasal dari infeksi luka, luka bakar, trakeostomi,
dan infeksi saluran kemih).
c. Klebseila pneumonia (insiden pada penderita alkoholis).
3. Bakteri anaerob (masuk melalui aspirasi oleh karena gangguan kesadaran,
gangguan menelan).
4. Bakteri atipikal (insiden mengingat pada usia lanjut, perokok dan penyakit
kronis).

8
2.1.4 Patofisiologi

Bakteri masuk kedalam jaringan paru- paru melalui saluran pernafasan dari atas untuk
mencapai bronchiolus dan kemudian alveolus sekitarnya. Kelainanyang timbul berupa
bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru- paru, lebih banyak pada bagian basal
(Riyadi & Sukarmin, 2009).

Bronkopneumonia dapat terjadi akibat inhalasi mikroba yang ada di udara, aspirasi
organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi jauh. Bakteri
yang masuk ke paru melalui saluran nafas masuk ke bronkioli dan alveoli, menimbulkan
reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli
dan jaringan interstitial. Kuman pneumokokus dapat meluas melalui porus kohn dari
alveoli ke seluruh segmen atau lobus. Eritrosit mengalami perembesan dan beberapa
leukosit dari kepiler paru- paru. Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema
yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi
melebar. Paru menjadi tidak berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat
lebih lanjut, aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit
eritrosit. Kuman pneumokokus di fagositosis oleh leukosit dan sewaktu resolusi
berlangsung, makrofag masuk kedalam alveoli dan menelan leukosit bersama kuman
pneumokokus di dalamnya. Paru masuk dalam tahap hepatisasi abu- abu dan tampak
berwarna abu- abu kekuningan. Secara perlahan- lahan sel darah merah yang mati dan
eksudat fibrin di buang dari alveoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal
kembali tanpa kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas (Riyadi & Sukarmin, 2009).

9
Bakteri penyebab bronchopneumonia masuk ke dalam jaringan paru-paru melalui
saluran pernafasan atas ke bronchioles, kemudian kuman masuk ke dalam alveolus ke
alveolus lainnya melalui poros kohn, sehingga terjadi peradangan pada dinding bronchus
atau bronkhiolus dan alveolus sekitarnya. Kemudian proses radang ini selalu dimulai pada
hilus paru yang menyebar secara progresif ke perifer sampai seluruh lobus (Ridha, 2014).

Akan tetapi apabila proses konsolidasi tidak dapat berlangsung dengan baik maka
setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus maka membran dari alveolus akan
mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan proses diffusi osmosis oksigen
pada alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang
dibawa oleh darah. Penurunan itu yang 8 secara klinis penderita mengalami pucat sampai
sianosis. Terdapatnya cairan purulent pada alveolus juga dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan pada paru, selain dapat berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen dari
luar juga mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru. Penderita akan berusaha melawan
tingginya tekanan tersebut menggunakan otot- otot bantu pernafasan (otot interkosta) yang
dapat menimbulkan peningkatan retraksi dada (Riyadi & Sukarmin, 2009).

Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel) mikroorganisme yang


terdapat didalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah terjadi fase peradangan lumen
bronkus bersebukan sel radang akut, terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus
dan sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit yang banyak pada saat awal
peradangan dan bersifat fagositosis) dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan
mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul
bronkiektasis. Selain itu organisme eksudat dapat terjadi karena absorbsi yang lambat.
Eksudat pada infeksi ini mula- mula encer dan keruh, mengandung banyak kuman
penyebab (streptokokus, virus, dan lain- lain). Selanjutnya eksudat berubah menjadi
purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat
mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas (Riyadi &
Sukarmin, 2009).

Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan mengakibatkan peningkatan
produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga timbul
peningkatan reflek batuk (Riyadi & Sukarmin, 2009).

10
Perjalanan patofisiologi diatas bisa berlangsung sebaliknya yaitu didahului dulu
dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi infeksi pada paru (Riyadi &
Sukarmin, 2009). Dengan daya tahan tubuh yang menurun, terjadilah infeksi pada traktus
respiratorius atau jalan nafas. Pneumatokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh
streptokokus Aureus pada neonatus atau bayi kecil karena Streptokokus Aureus
menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolizin, leukosidin, stafilokinase, dan
koagulase. Toksin dan enxim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi,
koagulase berinteraksi dengan 9 faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin hingga terjadi eksudat fibrinopurulen.

Sistem imun merupakan kumpulan mekanisme dalam suatu mahluk hidup yang
melindunginya terhadap infeksi dengan mengidentifkasi dan membunuh substansi patogen.
Sistem ini dapat mendeteksi bahan patogen, mulai dari virus sampai parasit dan cacing
serta membedakannya dari sel dan jaringan normal. Pembuluh limfe dan kelenjar limfe
merupakan bagian dari sistem sirkulasi khusus yang membawa cairan limfe, suatu cairan
transparan yang berisi sel darah putih terutama limfosit. Cairan limfe membasahi jaringan
tubuh, sementara pembuluh limf mengumpulkan cairan limfe serta membawanya kembali
ke sirkulasi darah. Kelenjar limfe berisi jala pembuluh limfe dan menyediakan media bagi
sel sistem imun untuk mempertahankan tubuh terhadap agen penyerang. Limfe juga
merupakan media dan tempat bagi sel sistem imun memerangi benda asing. Sel imun dan
molekul asing memasuki kelenjar limfe melalui pembuluh darah atau pembuluh limfe.
Semua sel imun keluar dari sistem limfatik dan akhirnya kembali ke aliran darah. Begitu
berada dalam aliran darah, sel sistem imun, yaitu limfosit dibawa ke jaringan di seluruh
tubuh, bekerja sebagai suatu pusat penjagaan terhadap antigen asing (Sudiono, 2014).

a. Imunosupresi

Respons imun dapat dimanipulasi dengan tujuan untuk menekan respons sesuai
dengan yang diinginkan. Hal ini dilakukan pada keadaan seperti autoimunitas, alergi,
dan penolakan transplantasi. Obat imunosupresan digunakan untuk mengontrol
kelainan autoimun atau keadaan in!amasi ketika terjadi kerusakan jaringan yang
berlebihan dan juga untuk mencegah penolakan transplantasi sesudah transplantasi
suatu organ dilakukan. Obat anti-in!amasi sering digunakan untuk mengontrol efek

11
in!amasi, dalam hal ini kortikosteroid yang merupakan obat paling kuat. Namun, obat
tersebut dapat mempunyai efek samping yang toksik dan penggunaannya harus
terkontrol. Obat antiinflmasi dosis rendah sering digunakan dalam kaitannya dengan
pemakaian obat sitotoksik atau imunosupresan. Obat sitotoksik menghambat respons
imun dengan mematikan sel seperti sel T yang teraktivasi. Namun, pembunuhan ini
tidakselektif dan organ lain serta tipe sel lain ikut terkena. Obat imunosupresan
seperti siklosporin mencegah sel T memberi respons yang benar terhadap sinyal
dengan menghambat jalan penyaluran sinyal.Sebaliknya, respons proteksi sistem
imun dapat pula distimulasi. Stimulasi respons imun digunakan untuk memerangi
bahan patogen yang pada umumnya menghindari sistem imun.

b. Kanker

Ketika sel normal berubah menjadi sel kanker, beberapa antigen sel kanker
mengalami perubahan. Sel kanker seperti kebanyakan sel tubuh pada umumnya,
secara konstan melepaskan sedikit protein dari permukaan sel ke dalam sistem
sirkulasi. Sering kali antigen tumor merupakan salah satu protein di antara protein
yang dicurahkan. Antigen yang dicurahkan ini menyebabkan aksi pertahanan sistem
imun termasuk sel T-sitotoksik, NK (natural killer), dan makrofag. Sel yang
berpatroli dalam sistem imun menyediakan immunesurveilance yang kontinu dan
luas bagi tubuh, yang menangkap dan mematikan sel yang sedang mengalami
transformasi ke-ganasan. Kanker berkembang saat immune surveillance ini rusak
atau be kerja tidak tepat.

c. Kuman

Patogen Keberhasilan serangan suatu bahan patogen bergantung pada


kemampuannya untuk menghindari respons imun tubuh. Selanjutnya, bahan patogen
mengembangkan berbagai cara untuk membuatnya berhasil menginfeksi tubuh
dengan menghindari pengrusakan oleh sistem imun. Misalnya, bakteri sering
mengalah-kan barier fisik dengan menyekresi enzim yang mencerna barier atau
dengan cara menyuntikkan proteinnya ke dalam tubuh hospes yang dapat
menghentikan pertahanan tubuh hospes. Sementara strategi yang digunakan oleh
beberapa bahan pato gen untuk mengalahkan sistem imun innate adalah dengan repli

12
kasi intraselular yang juga dinamakan patogenesis intraselular. Patogen
menghabiskan hampir seluruh siklus hidupnya di dalam sel hospes yang digunakan
sebagai benteng pertahanan ter hadap kontak langsung dengan sel imun, antibodi,
dan komplemen. Beberapa contoh bahan patogen intraselular antara lain adalah virus,
bakteri yang menyebabkan keracunan makanan (salmonella), dan parasit yang
menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum). 11 Bakteri lain seperti
Mycobacterium tuberculosis, hidup di dalam kapsul pelindung yang melindunginya
dari efek lisis dari komplemen. Banyak bahan patogen menyekresi substansi yang
mengurangi atau menyimpangkan respons imun. Ada pula bakteri yang membentuk
biofilm untuk melindungi diri dari sel dan protein sistem imun. Biofilm ini
ditemukan pada banyak infeksi. Ada juga bakteri yang membentuk protein
permukaan yang terikat pada antibodi sehingga membuat antibodi menjadi tidak
efektif, contohnya antara lain streptokokus (protein G) dan stafilokokus aureus
(protein A). Mekanisme yang digunakan virus untuk menghindari sistem imun
adaptif bersifat lebih kompleks. Cara sederhana adalah dengan cepat mengubah
epitop yang tidak esensial (asam amino dan atau gula) pada permukaannya,
sementara mempertahankan epitop esensial tetap tersembunyi. Sebagai contoh adalah
HIV, yang secara teratur memutasikan protein pada kapsulnya untuk dapat
memasukkan dirinya ke dalam sel target. Perubahan antigen virus yang sangat sering
terjadi ini dapat digunakan sebagai penjelasan untuk kegagalan vaksinasi yang
menggunakan protein virus secara langsung. Strategi lain yang umum digunakan
oleh virus adalah dengan menyelubungi antigen virus dengan molekul hospes demi
untuk menghindar agar tidak dikenali oleh sistem imun. Pada HIV, kapsul yang
menyelubungi virion (partikel lengkap virus) dibentuk dari lapisan luar sel hospes
sebagai mantel virus yang membuat virus menjadi sulit teridentifkiasi sebagai “non-
self” protein oleh sistem imun.

d. Fagositosis

Contoh sel fagosit adalah sel neutrofil, monosit, dan makrofag. Seperti tipe lain
dari sel darah putih, sel fagosit berasal dari sel pumca (stem) pluripoten dalam
sumsum merah tulang. Neutrofil dan monosit/makrofag merupa kan sel yang cukup

13
efisien dalam fagositosis sehingga dinamakan fagosit profesional. Fagositosis oleh
neutrofil lebih bersifat primitif dari pada fagositosis oleh makrofag dalam sistem
imun. Sel fagosit tertarik ke tempat infeksi oleh proses kemotaksis. Contoh faktor
kemotaksis adalah produk dari mikrobial, sel jaringan dan leukosit yang rusak,
komponen komplemen (misal C5a), dan sitokin tertentu. Fagositosis merupakan
proses multitahap dengan sel fagosit 12 memakan dan merusak agen infeksius.
Fagositosis merupakan proses pencernaan partikel (dalam ukuran yang dapat terlihat
oleh mikroskop cahaya) oleh sel. Fagositosis dilakukan dalam fagosom, suatu
vakuola yang struktur membrannya tidak jelas dan berisi bahan patogen. Sistem imun
melakukan opsonisasi, yaitu mekanisme melapisi patogen dengan suatu molekul
antibodi atau protein komplemen yang membuat fagosit dapat mengikat dan
mencerna patogen itu. Selanjutnya proses dilanjutkan dengan penyatuan membran
plasma sel fagosit dengan permukaan mikroorganisme. Kemudian terjadi perluasan
membran plasma (pseudopodia) dan sel fagosit menelan patogen. Terbentuk fagosom
(vakuol fagosistik) yang menyatu dengan lisosom sehingga patogen dapat dicerna
oleh enzim pencernaan yang sesuai (misalnya lisosim) dan bahan kimiawi
bakterisidal.Saat mikroba dapat dicerna, mikroba ini akan dapat dibunuh. Fagosit
membunuh bakteri dengan 2 mekanisme, yaitu mekanisme berdasarkan reduksi
oksigen yang dinamakan mekanisme oksidatif dan mekanisme nonoksidatif.
Mekanisme oksidatif membutuhkan keberadaan oksigen, potensi oksidasi reduksi.
Mekanisme ini tidak optimal dilakukan di daerah krevikular gingiva. Jadi, fagosit
juga harus me miliki mekanisme pembunuh bakteri dengan mekanisme non-
oksidatif. Neutrofil tidak membutuhkan oksigen untuk energi dan dapat berfungsi
dalam kondisi anaerob. Mekanisme non-oksidatif membutuhkan penyatuan fago som
dan lisosom membentuk fagolisosom yang menghasilkan sekresi komponen lisosom
ke dalam fago lisosom. Neutrofil mempunyai 2 macam lisosom atau granula.
Granula yang pertama adalah granula spesifik untuk sekresi ekstraselular dan
intrafagolisosom dan yang ke dua adalah granula azurofil terutama untuk sekresi
intrafagolisosom. Bahan yang dicerna dikeluarkan dari sel (eksositosis).

14
2.1.5 Manifestasi Klinik

Bronkopneumonia pada anak biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratorius bagian
atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40ᵒC dan
kadang disertai kejang karena demam yang sangat tinggi. Anak akan gelisah, dispnea,
pernapasan cepat dan dangkal, pernapasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung dan
mulut. Kadang disertai muntah dan diare. Batuk tidak ditemukan pada permulaan penyakit,
tetapi akan timbul setelah beberapa hari. Hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luas
daerah auskultasi yang terkena. Pada auskultasi didapatkan suara napas tambahan berupa
ronchi basah yang nyaring halus atau sedang.

Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat
bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas) perkusi pekak,fremitus melemah,
suara nafas melemah dan ronchi. Pada neonates dan bayi kecil tanda pneumonia tidak
selalu jelas. Efusi pleura pada bayi akan menimbulkan pekak perkusi (Sujono & Sukarmin,
2009). Gejala Bronkopneumonia yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal berupa muntah atau diare, keluhan respiratori yang
nampak yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, nafas cuping hidung, air hunger,
merintih dan sianosis (Fadhila, 2013).

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap Hitung darah lengkap menunjukkan leukositosis, dapat
mencapai 15.000- 40.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri (Yasmara & Nursiswati,
2016). Pada klien Bronkopneumonia terjadi leukositosis, ini terjadi karena selama
infeksi terjadi mekanisme yang mendorong meningkatnya leukosit yang berguna
untuk menanggulangi infeksi (Sujono & Sukarmin, 2009). Dapat ditemukan juga
leukopenia yang menandakan prognosis buruk dan dapat ditemukan anemia ringan
atau sedang (Sujono & Sukarmin, 2009).Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia
jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%) (Duke, et al., 2016).
a) Kultur darah positif terhadap organisme penyebab.
b) Nilai analisis gas darah arteri menunjukkan hipoksemia (normal : 75-100
mmHg).

15
c) Kultur jamur atau basil tahan asam menunjukkan agen penyebab.
d) Pemeriksaan kadar tanigen larut legionella pada urine.
e) Kultur sputum, pewarnaan gram, dan apusan mengungkap organisme penyebab
infeksi.
2) Pemeriksaan Radiologi Pada pemeriksaan radiologi bronkopneumonia terdapat bercak-
bercak konsolidasi yang merata pada lobus dan gambaran bronkopneumonia difus atau
infiltrat pada pneumonia stafilokok (Sujono & Sukarmin, 2009).
3) Pemeriksaan Cairan Pleura
4) Pemeriksaan cairan mikrobiologi, dapat dibiakkan dari spesimen usap tenggorok, sekresi
nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea, fungsi pleura atau
aspirasi paru (Mansjoer, A 2000 dalam (Sujono & Sukarmin, 2009)).

2.1.7 Penatalaksanaan

Yang dapat diberikan pada anak dengan bronkopnemonia adalah sebagai berikut :

a. Non Farmakologi
1) Menjaga kelancaran pernapasan
2) Kebutuhan istirahat klien Klien ini sering hiperpireksia maka klien perlu cukup
istirahat, semua kebutuhan klien harus ditolong ditempat tidur.
3) Kebutuhan Nutrisi dan Cairan Klien dengan bronkopneumonia hampir selalu
mengalami masukan makanan yang kurang karena proses perjalanan pnyakit yang
menyababkan peningkatan secret pada bronkus yang menimbulkan bau mulut tidak
sedap yang selanjutnya menyebabkan anak mengalami anoreksia. Suhu tubuh yang
tinggi selama beberapa hari dan masukan cairan yang kurang dapat menyebabkan
dehidrasi. Untuk mencegah dehidrasi dan kekurangan kalori dipasang infus dengan
cairan glukosa 5% dan NaCl 0,9%.
4) Mengontrol Suhu Tubuh Klien dengan bronkopneumonia biasanya mengalami
kenaikan suhu tubuh sangat mendadak sampai 39-40ᵒC dan kadang disertai kejang
karena demam yang sangat tinggi. External cooling merupakan salah satu tindakan
untuk menurunkan demam. External cooling dilakukan dengan menggunakan
kompres hangat. Tindakan ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah dan
mempercepat pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan, serta menurunkan

16
suhu tubuh pada bagian perifer. Intervensi pemberian kompres hangat dalam
menangani demam dapat dilakukan pada beberapa area permukaan tubuh. Kompres
hangat dapat diberikan di daerah temporal/ frontal (dahi), axilla (ketiak), leher
(servikal) dan inguinal (lipatan paha) (Perry, 2008). Pemberian kompres hangat pada
daerah axilla dapat menurunkan suhu tubuh lebih besar dibandingkan dengan
pemberian kompres hangat di frontal. Hal ini terjadi karena pada daerah axilla
banyak terdapat pembuluh darah besar dan kelenjar keringat apokrin (Corwin, 2001).
b. Farmakologi

Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi. Akan tetapi karena hal
itu perlu waktu dan klien perlu terapi secepatnya maka biasanya diberikan antibiotika
Prokain 50.000 U/kgBB/hari secara IM, dan Kloramfhenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4
dosis secara IM/IV atau Ampicilin 100 mg/kgBB/hari diagi dalam 4 dosis IV dan
Gentamicin 5 mg/kgBB/hari secara IM dalam 2 dosis perhari. Pengobatan ini diteruskan
sampai bebas demam 4-5 hari. Karena sebagian besar klien jatuh kedalam asidosis
metabolik akibat kurang makan dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai
dengan hasil analisis gas darah arteri (Nurarif & Kusuma, 2015).

Adapun penatalaksanaan pada klien anak dengan bronkopneumonia adalah sebagai


berikut (Ridha, 2014):

1) Oksigen 2 liter/menit 17
2) IVFD (Intra Vena Fluid Drip)
3) Jenis cairan yang digunakan adalah 2A-K CL (1-2 mek/kgBB/24 jam atau KCL 6
mek/500 ml).
4) Kebutuhan cairannya adalah Kebutuhan cairan anak usia 9 bulan dengan
bronkopneumonia (Ridha, 2014). KgBB Kebutuhan (ml/kgBB/hari) 3-10 kgBB 11-
15 kgBB >15 kgBB 105 85 65 Apabila ada kenaikan suhu tubuh, maka setiap
kenaikan suhu 1ᵒC kebutuhan cairan ditambah 12%.
5) Kortikosteroid Pemberian kortison asetat 15 mg/kgBB/hari secara IM diberikan bila
ekspirasi memanjang atau secret banyak sekali. Berikan dalam 3 kali pemberian.

17
2.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah :

1. Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
2. Otitis media akut adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid (Brunner & Suddarth,
2002).
3. Atelektasis adalah penyakit restriktif akut yang mencangkup kolaps jaringan paru
(alveoli) atau unit fungsional paru (Soemantri, 2008).
4. Emfisema adalah gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran
ruang udara di dalam paru-paru disertai destruktif jaringan (Soemantri, 2008).
5. Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang menutupi otak dan
medula spinalis). Komplikasi tidak terjadi bila diberikan antibiotik secara tepat
(Ngastiyah, 2014).

18
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Bronkopneumonia adalah suatu cadangan pada parenkim paru yang meluas sampai
bronkioli atau dengan kata lain peradangan yang terjadi pada jaringan paru melaui cara
penyebaran langsung melalui saluran pernafasan atau melaui hematogen sampai ke
bronkus.
Patogen penyebab bronkopneumonia bervariasi tergantung pada usia (menentukan
jenis bakteri dan virus), mikroplasma, jamur dan protozoa. Bronkopneumonia juga dapat
berasal dari aspirasi makanan, cairan, 15 muntah atau inhalasi kimia, merokok dan gas.
Pada stadium permulaan sukar diagnosis dengan pemeriksaan fisik, tetapi dengan
adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan
hidung.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia yaitu
pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan radiologi cairan pleura dan pemeriksaan cairan
mikrobiologi.
Penatalaksanaan pneumonia yaitu dengan Farmakologi dan Non Farmakologi

3.2 Saran

Penyakit bronkopneumonia merupakan penyakit yang dapat sembuh dan juga dapat lebih
parah, itu semua tergantung pada pola hidup klien. Penyebab dari bronkopneumonia salah
satunya adalah paparan asap rokok. Jika klien dapat menghindari faktor pencetus
timbulnya bronkopneumonia dan kemudian menjalankan pola hidup bersih maka akan
sembuh. Jadi klien dan keluarga perlu mengerti faktor pencetus timbulnya penyakit
bronkopneumonia supaya tidak kambuh lagi dan juga untuk mencegah penyakit tersebut
pada anggota keluarga yang lain.

19
DAFTAR PUSTAKA
H.Rusdiantihttps://repository.unej.ac.id/

https://digilib.unimus.ac.id/

20

Anda mungkin juga menyukai