Anda di halaman 1dari 12

BERPIKIR DAN LOGIKA

Pendahuluan
Pada dasarnya logika di identik dengan sebuah penalaran, sebab penalaran
merupakan suatu poses bepikir yang membuahkan pengetahuan agar pengetahuan yang
dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar sebuah kebenaran, maka proses berpikir itu harus
dilakukan suatu dengan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap shahih
(valid) kalau proses penarikan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, cara penarikan ini
disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk
berpikir secara ilmiah.

Dengan adanya logika maka setiap proses berpikir dapat menghasilkan suatu
penarikan yang pada prinsipnya mengandung dua aspek, diantaranya ada aliran yang
merasionalitaskan yang bersifat metafisika, selain itu juga ada yang merasionalitaskan
tentang empiris sesuatu yang bisa dicerna dan bisa ditangkap oleh panca inderawi manusia.
Asumsi- asumsi seperti ini yang menyebabkan timbulnya beberap aliran dalam filasafat
tersebut.

APA ITU BERPIKIR


A.    BERPIKIR
Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia untuk membedakan dengan makhluk
lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat
memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena
manusia berakal. Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Dalam arti yang luas,
berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, sedangkan dalam arti sempit berpikir
adalah mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (Puswanti, 1992 : 44).
Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : berpikir alamiah dan berpikir
ilmiah. Dalam proses berpikir alamiah, pola penalaran didasarkan pada kebiasaan sehari-hari
dari pengaruh alam sekelilingnya. Di sisi lain, dalam proses berpikir ilmiah, pola penalaran
didasarkan pada sasaran tertentu secara teratur dan sistematis.
Menurut Suriasumantri Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan
pengetahuan, Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jalan
pemikiran tertentu agar sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa pengetahuan. Oleh
karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir

1
ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan
sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat
melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir
ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa : bahasa ilmiah, logika dan
matematika, logika dan statistika ( Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996: 68). Bahasa ilmiah
merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa
merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh
proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting
dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya.
Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk
mencari konsep-konsep yang berlaku umum.

b. Proses Perpikir
Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang
terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau
pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang
dikehendaki. Menurut  J.S Suriasumantri (1997: 1) manusia tergolong ke dalam homo
sapiens, yaitu makhluk yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan
aspek kehidupannya yang terlepas dari jangkuan pikiran.
Berfikir ilmiah adalah berfikir menurut metode dan sistematika tertentu yang dapat
dibuktikan kebenarannya. Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang
pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode
ilmiah. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran
induktif dan deduktif. Fungsi sarana berpikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode
ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana
berpikir dengan baik pula, maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui
dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses
berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika
berpikir deduktif maupun logika berpikir induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya
merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.

c. BERFIKIR ILMIAH
2
Ilmu pengetahuan telah didefenisikan dengan beberapa cara dan defenisi untuk
operasional. Berfikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan dan
ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan mencari
pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan atau generalisasi. Ilmu berusaha
memahami alam sebagaimana adanya dan selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan
alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejala alam. Adapun pengetahuan adalah
segala hal yang diketahui manusia baik itu benar ataupun salah, baik itu mitos ataupun
kenyataan yang belum di uji kebenarannya. sedangkan Ilmu adalah pengetahuan yang sudah
diverifikasi kebenarannya secara ilmiah. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan,
sebaliknya setiap pengetahuan belum tentu ilmu. Untuk itu terdapat syarat-syarat yang
membedakan ilmu (science) dengan pengetahuan (knowledge), antara lain : Menurut
Prof.Dr.Prajudi Atmosudiro, sebuah ilmu harus ada obyeknya, terminologinya,
metodologinya, filosofinya dan teorinya yang khas. Menurut Prof.DR.Hadari Nawawi,
sebuah ilmu juga harus memiliki objek, metode, sistematika dan mesti bersifat universal.
sedangkan pengetahuan tidak membutuhkan metode, sistematika, teori, maupun filosofi yang
bersifat universal

Sumber-sumber pengetahuan manusia dikelompokkan atas:


 Pengalaman
 Otoritas
 Cara berfikir deduktif
 Cara berfikir induktif
 Berfikir ilmiah (pendekatan ilmiah)

Bahasa
Keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir
melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut
manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol.
Secara generik istilah ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah homo
sapiens, sebab dalam kegiatan berfikir manusia mempergunakan simbol. Bahasa
sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi. Tanpa
komunikasi apakah manusia dapat bersosialisasi, dan apakah manusia layak disebut
sebagai makhluk sosial? Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan

3
dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis dalam
menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan
berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir sebagai secara
sistematis dan teratur. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas
cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia baginya.
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran
seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah
yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan
informasi yang berupa pengetahuan, syarat-syarat: bebas dari unsur emotif,
reproduktif, obyektif, dan eksplisit.

APA YANG DI MAKSUD LOGIKA


B.    LOGIKA
Logika berasal dari kata “logos” (bahasa Yunani) yang berarti kata atau pikiran yang
benar. Jika ditinjau dari segi istilah saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau
ilmu berpikir benar ( Bakry, 1981 : 18). Dalam Kamus Filsafat, logika yang dalam bahasa
Inggris “logic”. Latin “logica”, Yunani “logike” atau “logikos” berarti apa yang dapat
dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, dan sistematis (Bagus, 1996: 519).
Dalam pengertian lain, logika merupakan ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan
adanya kekeliruan-kekeliruan di dalam rantai proses berpikir. Dengan batasan itu, logika
pada hakikatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai tujuan untuk memperjelas isi
suatu istilah. Secara definisi logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat
memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah
(Kusumah, 1986 : 2 ). Logika sebagai cabang filsafat membicarakan aturan-aturan berpikir
agar dapat mengambil kesimpulan yang benar. Menurut Louis O. Kattsoff (1986:71), logika
membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan
tertentu, oleh karena itu definisi logika secara ringkas adalah ilmu pengetahuan tentang
penarikan kesimpulan.

Sejarah logika
Secara historis munculnya ilmu logika pertama kali pada zaman Yunani Kuno
yang dipelopori oleh Aristoteles (384-322 SM). Pada awalnya Aristoteles belum
menggunakan istilah logika, untuk ajaranya tentang penalaran, aristoteles menggunakan
istilah analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan
4
perbincangan yang berdasar pada patokan duga atau pertanyaan yang tidak pasti
kebenaranya. Ketika aristoteles meninggal dunia, naskah-naskah ajaranya mengenai
penalaran (reasoning) tersebut dihimpun oleh para pengikutnya disebut organon (sarana
untuk berpikir). Istilah logika baru dipakai untuk menggantikan organon pada abad ke-2
sesudah masehi. Di dalam organon terdapat enam buah naskah, diantaranya membahas
mengenai:
a. Katagori-katagori yaitu, membahas tentang penggolongan pengertian-pengertian
umum (katagori), yaitu berupa pengertian-pengertian dasar yang merupakan dasar dari
dilaksanakanya pemikiran. Contohnya: kuantitas (jumlah), kualitas (sifat), hubungan
(relasi), tempat, waktu.
b. On interpretation (tentang penafsiran) yaitu, yang membahas tentang komposisi dan
hubungan dari keterangan-keterangan sebagai satuan pemikiran.
c. Prioranalitis (analisa yang lebih terdahulu) yang membahas teori silogisme dan
macam-macamnya.
d. Posterior analyties (analisa yang kemudian), yang membahas penerapan pemikiran
silogisme dalam pembuktian ilmiah. Disini dibicaakan metode-metode pra angapan-
par anggapan, defenisi-defenisi, dan penggolongan.
e. Topik (membahas dialektikan), yang membahas tentang persoalan penalaran yang
berdasarkan pada premis-premis yang boleh jadi benar.
f. Sophistical repupation (cara perbincangan kaum sofis), yang membahas tentang
bermacam-macam sesat pikir (fallacy). Orang-orang yang mengomentari pemikiran
aristoteles, baik dari orang yunani sendiri maupun orang-oang sekolastik, telah
menulis banyak tentang logika terutama S. Thomas yang mengarang komentar-
komentar sangat baik tentang karya-karya logis dari aristoteles.

Fungsi logika
Fungsi logika diantaranya adalah membedakan satu ilmu dengan yang lainnya jika
objeknya sama dan menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya
(Kasmadi, dkk. 1990 : 45). Sejak keberadaan manusia di muka bumi hingga sekarang, akal
pikiran selalu digunakan dalam melakukan setiap aktivitas, baik aktivitas berpikir alamiah
maupun berpikir kompleks. Fungsi logika yang lainnya adalah untuk menghasilkan pikiran
yang tepat, akurat, rasional, objektif dan kritis sehingga proses berpikir tersebut membuahkan
pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.

5
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran,
maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua
bagaian, yaitu
1.      Logika induktif
Logika induktif dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu,
penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang
mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita
kepada sebuah permasalahan mengenai benyaknya kasus yang harus kita amati sampai
kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa
penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa sawit di Kabupaten Paser, lantas bagaimana
caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis
adalah melakukan wawancara terhadap seluruh petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten
Paser. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan
mengenai  penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa sawit tersebut  di Kabupaten Paser,
tetapi kegiatan ini tentu saja akan menghadapkan kita kepada kendala tenaga, biaya, dan
waktu.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal
khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.
Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996 : 91-92), diperlukan proses penalaran sebagai berikut:
1.      Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus.
Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen.
Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk
membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.
2.      Langkah kedua adalah perumusan hipotesis.
Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan
pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis ilmiah
harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan sistematis sesuai
dengan dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta yang dijadikan fokus
kajian.
3.      Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi.
Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan
atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk
6
diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk
membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga
mencakup generalisasi untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat
dijadikan satu teori.
4.      Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil
verifikasi.

Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum ilmiah.
Persoalan yang dihadapi adalah oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis
bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk
menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk
diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus merupakan suatu
hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.Contoh penarikan
kesimpulan secara induktif adalah :
·         Manusia bernapas  (Premis minor)
·         Tumbuhan bernapas (Premis minor)
·         Hewan bernapas (premis minor)
·         Semua makhluk hidup bernapas (Konklusi).

2.      Logika deduktif


Logika deduktif yaitu suatu cara berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola berpikir silogismus yang secara sederhana digambarkan sebagai
penyusunan dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung
silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis
minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif
berdasarkan kedua premis tersebut
Dengan kata lain, penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari
penalaran induktif. Contoh penarikan kesimpulan berdasarkan penalaran deduktif adalah
·         Semua makhluk hidup perlu makan untuk mempertahankan hidup (Premis )
·         Joko adalah seorang makhluk hidup (Premis )
·         Jadi, Joko perlu makan untuk mempertahankan hidupnya (kesimpulan).

7
Kesimpulan yang diambil bahwa Joko juga perlu makan untuk mempertahankan
hidupnya adalah sah  menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis
dari dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan ini benar harus
dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis
yang mendukungnya benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga
adalah benar. Mungkin saja kesimpulannya itu salah, meskipun kedua premisnya benar,
sekiranya cara penarikan kesimpulannya tidak sah. Ketepatan kesimpulan bergantung pada
tiga hal yaitu kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan
kesimpulan

Macam-macam logika:
* Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus
sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang
subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.
* Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah
menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap
pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih
tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk
menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.

Cara-cara berfikir logis dalam rangka mendapatkan pengetahuan baru yang benar:
a. Induksi adalah cara berfikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-
kasus yang bersifat individual. Penalaran ini diawali dari kenyataan -kenyataan yang
bersifat khusus dan terbatas lalu diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
b. Deduksi adalah cara berfikir dari pernyataan yang bersifat umum menuju ke
kesimpulan yang bersifat khusus, dengan demikian kegiatan berfikir yang berlawanan
dengan induksi.
c. Analogi adalah cara berfikir dengan cara membuktikan dengan hal yang serupa dan
sudah diketahui sebelumnya. Disini penyimpulan dilakukan secara tidak langsung,
tetapi dicari suatu media atau penghubung yang mempunyai persamaan dan keserupaan
dengan apa yang akan dibuktikan.
d. Komparasi adalah cara berfikir dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
mempunyai kesamaan apa yang dipikirkan. Dasar pemikiran ini sama dengan

8
analogi yaitu tidak langsung, tetapi penekanan pemikirannya ditujukan pada
kesepadanan bukan pada perbedaannya.

Kegunaan logika
a. Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional,
kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
b. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
c. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan
mandiri.
d. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan
asas-asas sistematis

C. TAHAP-TAHAP PENGETAHUAN MANUSIA MENURUT ALIRAN


POSITIVISME
Dalam course de philosophie positive, comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-
ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat
manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan menurut aliran positivisme itu berkembang
melalui tiga tahap, yang ia sebut sebagai “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap
positif”. Ketiga tahap itu dipahami comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap
pekembangan indivudu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa dewasa.
Sehingga pada pembahasan ini, penulis akan menguraikan tahap- tahap
perkembangan pengetahuan manusia yang ditunjukkan sebagai perkembangan cara
berpikir dari aliran positivisme yang menganggap sesuatu itu bersifat logis apabila bisa
dibuktikan secara empiris dan bisa diferivikasi secara konkret. Diantara beberapa tahap
perkembangan pengetahuan manusia dibagai menjadi tiga fase. Diantaranya sebagai
berikut:
1. Tahap Teologis
Pada tahap teologis, menurut comte, umat manusia mencari sebab- sebab terakhir
di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukanya dalam kekuatan-kekuatan
manusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah di sebut dewa-dewa atau Tuhan yang Maha Esa,
di bayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampui manusia. Zaman ini lalu
dibagi menjadi tiga sub- bagian. Pada sub-tahap yang paling primitif dan kekanak-
kanakan, yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia mengangggap objek-objek fisik
itu berjiwa, berkehendak, berhasrat. Pada tahap berikutnya, politeisme, kekuatan-kekuatan
9
alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Akhirnya, pada tahap monoteisme,
dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan admanusiawi yang disebut Allah Swt.
Sehingga pada tahap ini, melihat manusia yang memiliki kuasa, merupakan
salah satu manusia yang lebih dari manusia yang lainnya. Dimana manusia yang dianggap
memiliki kelebihan, salah satu orang yang memiliki rasio dan yang dianggap paling
normal dari manusia yang lain. Akan tetapi, mereka tetap percaya akan ada sesuatu yang
lebih tinggi dalam menggerakkan manusia juga alam semesta. Sehingga pada tahap ini,
manusia dikatakan seperti fase bayi, dimana pikirannya masih statis dan masih percaya
akan hal-hal yang diluar kemampuannya dan pikrannya masih merujuk pada sesuatu yang
bersifat transedental.
Lebih jelasnya, pada zaman teologis ini sendiri dapat dapat dibagi
lagi menjadi tiga periode. Ketiga periode tersebut adalah sebagai berikut:
a. Animisme. Tahap ini merupakan tahap yang paling primitif, karena benda-
benda sendiri dianggap mempunyai jiwa.
b. Politeisme. Tahap ini merupakan perkembangan dari tahap pertama, diamana
pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing-masing
menguasai sesuatu lapang tertentu, dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar,
dan sebagainya.
c. Monotisme. Pada tahap ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya.

Karena pada tahap ini manusia hanya memandang satu Tuhan.25

2. Tahap Metafisis
Tahap metafisis, perkembangan masyarakat ditunjukkan oleh perkembangan
pemikiarn yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan konseptualisasi metafisis
melalui konsep dan prinsip-prinsip secara abstrak, seperti subtansi terdalam, esensi, causa,
dan sebagainya. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah seluruh
konsep-konsep abstark mengenai alam sebagai keseluruhan. Tidak ada lagi allah swt dan
dewa-dewa, yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.

3. Tahap Positivisme
Pada tahap ini dapat dikatan sebagai tahap pencapaian kedewasaan mentalnya
dalam tahap positif, pada zaman ini masyarakat telah mencapai tahap tertinggi dalam
perkembanganya, yaitu masyarakat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai

10
realitas berdasarkan fakta dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan melalui
kemampuan verifikasi empirik. Pada tahap ini satu-satunya bahasa mengenai realitas
adalah bahasa ilmu-ilmu positif yang diapai melalui metode ilmiah. Sebenarnya
positivisme sendiri, sebelum sampai pada puncaknya yang dikenal sebagai positivisme
logis, paling tidak menunjukkan tiga tahap perkembangan.
Penulis dapat menyimpulkan secara spesifik mengenai semua tahap perkembangan
manusia yaitu, Pada tahap Pertama, positivisme mengarahkan pengetahuan hanya pada
hal-hal yang bersifat positivistik objektif. Pada tahap Kedua, pengetahuan juga sudah
menggunakan sudut pandang psikologis yang subjektif. Barulah kemudian, pada tahap
puncak melalui kegiatan yang dilakukan oleh lingkaran wina, penganut neopotisme
menggabungkan sejumlah aliran, seperti atomisme logis dan semantika dalam
positivisme logis.
Pada tahap Ketiga, positivisme secara lebih sistematis dan cemat melakukan
pembicaraan mengenai masalah-masalah bahasa, logika simbolis, dan struktur
penyelidikan ilmiah, terutama dengan penggunaan matematika dan logika ilmiah
memasuki masalah-masalah epistimologi. Pada tahap terakhir ini, positivisme dikenal
sebagai positivisme logis lebih mengarah kepada epistimologi. Sekalipun demikian, dari
pembicaraan ini dapat ditarik pengertiran bahwa secaar ontologis ia memandang secaar
realitas objektif sebagai hakikat kenyataan yang segala hal mengenainya teelepas dari
pandangan-pandangan metafisik, tetapi pengetahuan objektif yang dapat diverifikasi.
Bahkan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan realitas kehidupan manusia,
positivisme memandangnya menurut tempat dan waktu, argumen-argumen lebih jauh
mengena positivisme, lebih condong dilakukan dalam pembahasan epistimologi.
Lalu, bagi Comte positivism merupakan suatu bentuk ruang ilmu pengetahuan
yang dimana mansuai menjadi syubjek yang mengedepankan akal dan pancan indranya
dalam melihat fenomena alam. Karena dua jenis ilmu pengetahuan alam inilah yang
menjadi model yang dikembangkan oleh Comte yakni sesuatu yang dapat dipercaya dan
faktual. Dalam pemikirannya Comte, ada asumsi dalam membangun sebuah ilmu
pengetahuan ini yakni. Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan
netralitas), karena ilmu pengetahuan berlandasan dari dua pihak yakni subjek dan objek.
Dalam objek setiap orang tidak boleh terlalu dipengaruhi oleh kekuatan alam diluar
dirinya, artinya harus mencari sebap akibat.
Dalam sisi objek, setiap fenomena alam bisa diraba dengan cara observasi dan di
ukur oleh subjek. Oleh karena itu, penjelasan teori-teori ilmiah harus mampu dijelaskan
11
fakta-fakta atau data-data yang dapat dibuktika kebenarannya. Kedua, ilmu pengetahuan
harus bersifat berulang-ulang kali, karena penjelasan ilmah merupakan sisi dalam
prediksi, karena melakukan pengkajian ilmiah itu harus mampu meletakkan sisi informasi
yang akan menjadikan orang lain dalam mencegah terjadinya keadaan yang negative
dalam suatu kehidupan. Ketiga, ilmu pengetahuan harus bersifat menyoroti setiap
fenomena atau kejadian di alam yang saling berkorelasi, sehingga tugas para ilmuan tidak
hanya melihat dari sisi fenomena saja, akan tetapi bagaimana itu terjadi dalam arti
kausalitas.
Karena pada abad ke-17 ketika terjadinya suatu perdebatan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan yakni di karenakan dua faktor utama yang menjadi pandangan dan persepsi
para ilmuan yakni rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme sebagai suhunya ilmu dan di
anggap hakiki dengan ilmu. Misalnya Rene Descaretes, yang menegaskan aku ada karena
aku yang berfikir, aku yang melihat maka aku yang mengamatinya dan membuatku berfikir,
seandainya dalam keadaan keragu-raguan, maka setidaknya kita ragu tapi kita memberikan
bukti bahwa kita sedang berfikir. Akan tetapi bagi para filsuf yang melihat empirisme salah
satu sumber ilmu yang utama dan primer, karena apa yang kita lihat maka itulah objek
daru pikiran dan rasionya manusia. Oleh karena itu, dalam sisi keilmuan itu harus mampu
menjelaskan yang nyata dan faktualitas dari sebuah fenomena alamiah atau fakta sosial.

12

Anda mungkin juga menyukai