Anda di halaman 1dari 8

TEMU ILMIAH IPLBI 2016

Eksplorasi Signifikansi Budaya Bermukim Masyarakat Riparian


Sungai Musi Palembang
Bambang Wicaksono(1), Susilo Kusdiwanggo(2)
(1)
Mahasiswa Program Studi S3 (Doktor), Ilmu Teknik BKU Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya.
(2)
Co promotor, Staf Pengajar, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya.

Abstrak

Sungai Musi sudah ada jauh sebelum keberadaan manusia. Manusia hadir mendekatkan dirinya
untuk hidup dan berkehidupan. Manusia mulai membentuk kelompok, membangun permukiman,
mengembangkan kebudayaan dan peradabannya. Keberadaan sungai memberi pengaruh terhadap
proses tersebut hingga akhirnya mengaglomerasi menjadi budaya bermukim. Terdapat tiga modus
permukiman yang telah berabad-abad dijalani masyarakat Palembang dalam menyikapi Sungai
Musi. Pertama rumah rakit di Sungai Musi, kedua permukiman pasang surut dengan rumah
panggungnya, dan ketiga permukiman daratan. Perkembangan Kota Palembang sejak masa kolonial
Belanda hingga sekarang berdampak pada budaya bermukim masyarakat, rumah rakit semakin
sedikit, rumah panggung berubah menjadi rumah bertingkat, dan rumah darat menjadi dominan
dalam budaya bermukim di Palembang. Sebelum hilang, perlu ada usaha eksplorasi mengungkap
signifikansi makna budaya bermukim masyarakat riparian tepi sungai yang masih asli. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan wawancara mendalam, studi literatur, dan
pengamatan lapangan. Hasil penelitian menyimpulkan signifikansi budaya bermukim riparian di
antara dominasi orientasi budaya bermukim darat.

Kata-kunci : budaya, bermukim, masyarakat, riparian, sungai

Pengantar ekonomi, dan kehidupan sosial tergantung dari


sungai, anak sungai, atau kanal di mana lokasi
Sebagai sebuah kebudayaan, permukiman dan dan penempatan permukimannya terkait erat
elemen bangunan penyusunnya dapat di- dengan geografi sungai (Davis dalam Oliver,
kategorikan sebagai karya arsitektur vernakular. 1997: 157). Pada gilirannya, aktivitas bermukim
Istilah arsitektur vernakular menunjukkan keter- warga akan mencerminkan budaya dan
kaitannya dengan penduduk pribumi, suku, peradaban sungai. Sungai Musi sudah ada jauh
rakyat, petani, dan arsitektur tradisional itu sebelum keberadaan manusia. Manusia hadir
sendiri. Terkait dengan konteks lingkungan mendekatkan dirinya untuk hidup dan ber-
hidup dan sumber daya yang tersedia, mereka kehidupan. Manusia mulai membentuk kelompok,
lazimnya pemilik atau komunitas yang dibangun, membangun permukiman, mengkristalisasi nilai-
menggunakan teknologi tradisional. Semua nilai kepercayaan, melekatkan religi, mengem-
bentuk vernakular dibangun untuk memenuhi bangkan kebudayaan, & menciptakan per-
kebutuhan spesifik, mengakomodasi nilai-nilai, adabannya. Keberadaan sungai memberi penga-
ekonomi dan cara hidup budaya yang meng- ruh terhadap proses-proses tersebut yang pada
hasilkan mereka (Oliver, 1997: xxi-xxiii). akhirnya mengaglomerasi menjadi budaya ber-
Permukiman vernakular berkaitan dengan mukim. Terdapat tiga modus permukiman yang
aktivitas bermukim (dwellings) dengan berbagai telah berabad-abad dijalani oleh masyarakat
jenis mata pencaharian (livelihood) secara lokal. Palembang dalam menyikapi Sungai Musi. Per-
Sementara itu permukiman riparian atau tepi tama, permukiman air berupa rumah-rumah
sungai dapat dipahami sebagai permukiman rakit di Sungai Musi, kemudian kedua per-
yang memiliki kehidupan agrikultur, kehidupan mukiman di kawasan pasang surut dengan

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 021


Eksplorasi Signifikansi Budaya Bermukim Masyarakat Riparian Sungai Musi Palembang
rumah-rumah panggungnya, dan ketiga per- data kualitatif yang digunakan untuk meng-
mukiman yang berada di daratan. Perubahan ungkap temuan.
orientasi pembangunan Kota Palembang sejak
masa kolonial Belanda hingga sekarang yang
lebih berorientasi ke darat berdampak pada
transformasi budaya bermukim masyarakat,
rumah rakit semakin sedikit dan mengalami
penurunan fungsi, rumah panggung berubah
menjadi rumah bertingkat, dan rumah darat
menjadi dominan dalam budaya bermukim Gambar 1. Suasana pasar terapung di Muara Sungai
masyarakat tepi Sungai Musi Palembang. Ogan - Sungai Musi 1 Ulu Palembang yang meng-
hilang sejak dibangunnya Pasar Inpres Kertapati
Metode
Tahun 1980. (sumber: Observasi Lapangan, 2016)

Jenis metode yang digunakan: kualitatif eks-


ploratif (Creswell, 2008); atau kategori sifat
penelitian: deskriptif (Groat & Wang, 2002).
Penelitian ini dikondisikan sebagai penelitian
dengan pendekatan kualitatif melalui strategi
studi kasus. Langkah-langkah penelitian di-
bangun berdasarkan logika induktif di mana
teorisasi dibangun dari bawah. Penelitian ini Gambar 2. Rumah Rakit masih terdapat di sepanjang
akan melihat keragaman budaya, keragaman 1 Ulu hingga 7 Ulu Sungai Musi Palembang. (sumber:
tradisi, dan keragaman kriteria. Oleh karena itu, Observasi Lapangan, 2016)
penelitian ini cenderung berkarakteristik idio-
grafik.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan,


yaitu observasi atau arsip, disertai rincian
penggunaan metode tersebut. Penelitian ini Gambar 3. Rumah Panggung Permukiman Pasang
difokuskan pada pencarian makna dari konsep Surut 7 Ulu Tepi Sungai Musi Palembang. (sumber:
budaya bermukim pada masyarakat tepi Sungai Observasi Lapangan, 2016)
Musi. Tujuan penelitian ini adalah menggali
Permukiman di tepian Sungai Musi merupakan
signifikansi budaya bermukim untuk mem-
permukiman tua yang sudah ada sejak jaman
bongkar, mengungkap, dan membuka konsep
Sriwijaya. Daerah 3-4 Ulu Palembang merupa-
budaya bermukim dalam rangka menjaga nilai- kan daerah yang terdahulu ditinggali oleh suku
nilai komunitas dan identitas pada gugus-gugus Palembang. Suku ini dianggap sebagai pendiri
masyarakat tepi sungai Musi dan/atau anak daerah tersebut yang mempunyai adat istiadat
sungainya. Dalam upaya meraih tujuan, pene- maupun arsitektur tradisional sendiri. Arsitektur
litian ini memiliki tiga sasaran secara bertahap tradisional suku Palembang kemudian meng-
dan segmental melalui tiga kelompok studi alami perubahan setelah terjadinya penyebaran
kasus di salah satu atau beberapa lokus gugus penduduk dan masuknya kaum pendatang serta
penduduk pada bagian hulu, hilir, dan muara. adanya kemajuan teknologi. Maka sedikit demi
sedikit arsitektur tradisional suku Palembang
Setiap segmen lokus akan dikaji per tahunnya
mulai terdesak dan terjadilah perubahan dan
secara bertahap.
pengaruh pada bagian-bagian tertentu sehingga
terjadi penggabungan antara tradisional dengan
Metode Analisis Data
arsitektur yang dibawa oleh kaum pendatang.
Bentuk permukiman di tepian Sungai Musi
Metode analisis data yang digunakan untuk berupa rumah-rumah panggung di atas tiang
mengungkap temuan penelitian yaitu analisis yang ditancapkan di tepian Sungai Musi dengan
G 022 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Bambang Wicaksono
atap limasan yang kemudian disebut Rumah bergantung dari sungai. Mereka memilih tinggal
Limas dan Rumah Limas Gudang. Tetapi ada di rumah rakit karena kebutuhan transportasi,
juga rumah-rumah yang didirikan di atas Sungai dekat dengan mata pencaharian dan sebagian
Musi berupa rakit-rakit yang disebut Rumah karena biaya hidup di atas rumah rakit lebih
Rakit. Dalam catatan sejarah tersebut, pertum- murah dibandingkan tinggal di darat yang biaya
buhan permukiman pertama di Palembang hidupnya sangat mahal.
berawal dari permukiman yang berada di tepian
Sungai Musi. Pola perkembangan permukiman Analisis dan Interpretasi
yang terjadi memanjang mengikuti aliran Sungai
Musi, yaitu di sisi kanan dan kiri sungai. Sungai Musi mengalir dari Kepahiang hingga ke
Pengaruh sungai bagi masyarakat Palembang Selat Bangka sepanjang 720 km. Sungai Musi
dinyatakan dalam pemberian nama kampung- membelah Kota Palembang yang relatif berada
kampung mereka yang selalu berorientasi ke di muara menjadi dua kawasan, yaitu Seberang
sungai. Daerah sebelah utara Sungai Musi di- Ilir di Utara dan Seberang Ulu di selatan. Mereka
sebut Seberang Ilir, dan daerah sebelah selatan menjadi gugus pendudukan yang berbeda satu
Sungai Musi disebut Seberang Ulu. (Hanafiah, sama lain. Demikian pula dengan beberapa
1990). gugus penduduk yang dilewati Sungai Musi,
seperti gugus Besemah yang relatif berada di
daerah hulu, juga telah mengembangkan
kebudayaan dan peradabannya dengan ke-
khasannya masing-masing. Berbagai kelompok
gugus tersebut memiliki karakteristik budaya
dan/atau sub budaya yang berbeda dan khas,
walaupun masih dalam satu konteks aliran
Sungai Musi. Setidaknya terdapat dua belas
gugus penduduk, yaitu Komering, Palembang,
Gambar 4. Peta Lama Permukiman Tepi Sungai Musi
Gumai, Semendo, Lintang, Kayu Agung,
Palembang, sebelum Jembatan Ampera dibangun
Tahun 1962 (Santun, 2011). Lematang, Ogan, pasemah, sekayu, Rawas, dan
Banyuasin.

Berbagai gugus penduduk tersebut membentuk


klan dalam satu kelompok bermukim. Mereka
beraktivitas, mendiami, berhuni, dan bergene-
rasi memperkuat kebudayaan berhuni (dwelling
culture) di sepanjang tepian Sungai Musi.
Perbedaan gugus penduduk yang membentuk
Gambar 5. Peta Permukiman Tepi Sungai Musi negara dan yang tidak, menjadikan produk
Palembang, setelah Jembatan Ampera dibangun kebudayaan mereka, terutama pada aspek
(http://www.arch.nus.edu.sg/archive/research- bangunan dapat dibedakan dalam dua pers-
projects/completed/jwdatabase/indo_palembang_1998 pektif. Hasil kebudayaan pada gugus masya-
-2.html). rakat pembentuk negara dapat dilihat dalam
tradisi besar (grand design tradition) yang pada
Sungai Musi sejak awal pertumbuhan Kota akhirnya membeku menjadi sifat tradisional,
Palembang mempunyai peranan yang penting sedangkan gugus masyarakat bukan pembentuk
dalam perkembangan permukiman di Kota negara dapat dipandang dalam kategori tradisi
Palembang. Begitu besar arti Sungai Musi bagi rakyat (folk tradition) yang bermuara pada sifat
masyarakat pada waktu itu sehingga untuk vernakular (Rapoport, 1969). Apakah ragam
melangsungkan kehidupan sehari-hari mereka gugus penduduk di sepanjang tepian Sungai
memilih tinggal di tepian sungai dan membentuk Musi sebagai mozaik yang berserak dapat
kelompok permukiman berdasarkan adat istiadat, dirangkai menjadi potret budaya bermukim yang
suku dan sosial budaya. Mata pencaharian utuh? Pandangan berbeda dikemukakan oleh
masyarakat tepian Sungai Musi sebagian besar Turan (Rapoport, 1990), bahwa arsitektur ver-
adalah sebagai nelayan, pedagang, dan buruh nakular lebih merujuk kepada kegiatan atau tin-
harian. Sampai saat ini penduduk yang bertahan dakan praktis semata dalam memenuhi kebu-
tinggal di tepian sungai adalah penduduk yang tuhan lingkungan untuk kelompok masyarakat
telah turun-temurun tinggal dan hidupnya tertentu, alih-alih sebagai ilmu pengatahuan.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| G 023
Eksplorasi Signifikansi Budaya Bermukim Masyarakat Riparian Sungai Musi Palembang
Rapoport cenderung mendeskripsikan arsitektur Toraja, Bali, Kampung Naga, Minangkabau, Nias
vernakular sebagai suatu proses dan produk, Selatan, maupun Dayak Kenyah (Wiryomartono,
yaitu bagaimana arsitektur vernakular didesain, 2014). Beberapa diantara permukiman yang
dibangun dan digunakan. Cara ini disebut tersebar di Nusantara justru dirangkum menjadi
dengan istilah polythetic. Dalam pendekatan pengetahuan lokal kompre-hensif (Waterson,
monothetic, arsitektur vernakular dipelajari se- 1990). Sedangkan penelitian budaya bermukim
cara segmental dan parsial, sehingga tidak berdasarkan atas suatu puncak-puncak
mampu menjelaskan fenomena secara utuh. kebudayaan lokal yang dimiliki oleh permukiman
Dengan pendekatan polythetic semua atribut tersebut, seperti konsep sakral-profan pada
lingkungan binaan dapat dipertimbangkan se- desa-desa di Bali (Parimin, 1986), konsep
cara sistematis dengan uraian kriteria lebih rinci, pengaturan tempat di Kampung Naga (Rahaju,
yang dibedakan ke dalam dua karakteristik, 2005), Bincar-Bonom pada Permukiman Desa
yaitu proses dan produk (Rapoport, 1990). Singengu berlokus pegu-nungan (Nuraini, 2014),
Kebudayaan dan peradaban seringkali disama- Pancer-Pangawinan pada permukiman berbasis
kan atau bahkan dipertentangkan. Dalam budaya padi di Kasepuhan Ciptagelar berlokus
definisi Chudoba (1951), kebudayaan adalah pe-gunungan (Kusdiwanggo, 2015), konsep
kegiatan kreatif dan hidup dari nilai-nilai baru pangayoman dan punden pada Desa Kapencar,
yang bersifat dinamik. Sementara itu, perada- di Lereng Gunung Sindoro (Rejeki, 2012).
ban adalah gagasan-gagasan, karya-karya, alat- Peluang dan potensi penelitian permukiman
alat, adat-kebiasaan, dan hukum-hukum (pra- berlokus tepi sungai masih sangat besar. Namun
nata) dalam masa lampau yang tidak bisa demikian, peluang dan potensi tersebut
diubah dan bersifat statik. Sekarang, kebudaya- berbanding lurus dengan kesulitan dan
an tidak hanya mencakup hasil-hasil material hambatan yang dihadapi.
melainkan juga termasuk cara menghayati
kematian, cara melaksanakan perkawinan. Sebagai sebuah kebudayaan bermukim tentu
Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegi- memiliki beragam aspek kajian, seperti sosiologi,
atan berpikir (mitos, idiologi, ilmu), komunikasi sejarah, filsafat, antropologi, psikologi, maupun
(sistem masyarakat), kerja (ilmu-ilmu alam dan etnologi. Berdasarkan pada konteks keter-
teknonogi), dan kegiatan-kegiatan lain yang kaitannya terhadap penduduk pribumi, suku,
lebih sederhana. Saat ini, kebudayaan dilihat rakyat, dan arsitektur tradisional itu sendiri,
sebagai kata kerja, dipahami sebagai kegiatan banyak penelitian permukiman vernakular
produktif, bukan produksinya. Kebudayaan lebih menggunakan konsep dan pendekatan seperti
dilihat sebagai mana dinamis, alih-alih statik antropologis, arkeologis, ekologis, etnografis,
seperti sebelumnya. Kebudayaan bukan sesuatu folkloris, geografis, fenomenologis, maupun
yang beku dan jadi, melainkan sesuatu yang strukturalis. Semua aspek kajian tersebut se-
senantiasa dalam proses dan perubahan. harusnya tidak berdiri sendiri. Panjangnya
Kebudayaan sendiri memiliki beragam definisi. Sungai Musi turut memberi andil munculnya
Setidaknya ada 160 definisi kata kebudayaan gejala segmentasi paparan kebudayaan. Namun
(AL. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, 1952). demikian tidak menutup kemungkinan, bahwa
Simpang siurnya makna kebudayaan secara kebudayaan bermukim tepi Sungai Musi dapat
etimologis, menjadikan maka budaya sebaiknya dirangkai dan dijalin menjadi satu keutuhan
diturunkan dari konvensi, yaitu dari pemakaian dalam pemahaman kebudayaan bermukim yang
kata budaya itu pada masyarakat pemakai holistik.
bahasa yang bersangkutan (emic). Dalam hal ini
masing-masing gugus penduduk yang berada di Sekitar tahun 1960an, mulai berkembang
sepanjang tepian Sungai Musi akan memiliki pendekatan-pendekaan baru dalam antropolgi.
makna kebudayaannya masing-masing. Pendekatan baru tersebut juga mempengaruhi
bidang penelitian permukiman vernakular.
Kebudayaan bermukim (dwelling culture) Penelitian saat itu lebih menekankan pada aspek
masyarakat tepi Sungai Musi ( riparian) merupa- kemanusiannya, yaitu pengintegrasian bangun-
kan ranah penelitian yang belum banyak diram- an dengan lingkungan sekitarnya secara organik
bah. Tepian Sungai Musi merupakan kategori (Rudofsky, 1965). Tujuan utama aspek antro-
lokus berdasarkan posisi geografi. Beberapa pologi tidak hanya mendeskripsikan dan meng-
penelitian budaya bermukim yang terkait klasifikasikan bentuk, tetapi juga menyertakan
dengan lokus geografi lainnya antara lain, Tana pemahaman terhadap konteks lokalnya

G 024 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016


Bambang Wicaksono
(Schefold, 1997). Rapoport (1969) meneliti kontribusi pada pengetahuan tentang arsitektur
pengaruh fisik dan kekuatan sosial seperti vernakular.
klimatologi atau kondisi ekologi, ketersediaan Pada arkeologi modern, kajian arsitektur
material, pengetahuan teknis dan aturan-aturan vernakular dimasukkan sebagai bagian dari
ekonomi lokal terhadap ke-ragaman bentuk arkeologi permukiman. Arkeologi permukiman
arsitektur. Aspek kebudayaan lain yang fokus pada alam, distribusi hunian, dan struktur-
berpengaruh pada bentuk bangunan adalah struktur diberbagai skala ruang atau tingkatan.
konsepsi simbolis. Aspek ini menekankan pada Penelitian Arkeologi permukiman berusaha keras
hubungan antara sosial dan kosmik yang mendapatkan kembali informasi perilaku spasial
berperan aktif menentukan proses pem- manusia di masa lalu melalui kajian hubungan
bangunan. Kosmologi mengekspresikan sebuah spasial antara unit-unit arsitektural, artefak, sifat,
simbolisasi antropomorfik esoterik yang tersaji, rute, dan sumber-sumber. Kajian arkeologi
baik pada denah rumah maupun per- modern pada arsitektur vernakular merupakan
mukimannya. pendekatan multidisipliner yang mengkombi-
Pada akhir tahun 1970an Levi-Strauss (1963) nasikan kajian antropologi lintas-budaya dalam
memperkenalkan pandangan strukturalisme melihat kegunaan ruang dan lingkungan
yang berdampak pada pendekatan antropologis terbangun dengan pendekatan kognitif, geo-
arsitektur. Levi-Straus mengkritisi pandangan grafis, sosial, dan ekologis. Pendekatan baru ini
Brown (Arifin, 2010), bahwa hubungan sosial disebut etnoarkeologi, yaitu berdasar pada
hanyalah bahan mentah untuk menyusun model kajian arkeologi yang menghubungkan antara
(struktur sosial) yang akan dibangun. Struktur perilaku dan materi budaya (Fedick, 1997).
sosial merupakan alat yang dipakai untuk Kajian etnografis yang memfokuskan pada
menyusun hubungan sosial untuk meng- hunian tradisional dan permukiman, memiliki
gambarkan masyarakat. Struktur sosial bukanlah catatan monografi yang luar biasa. Rumah
gambaran dari sebuah fenomena atau realitas menjadi inti dari ruang; semua aktivitas
sosial, melainkan sebuah metode yang diguna- berfokus kepadanya. Aktivitas menghuni selalu
kan untuk mendeskripsikan fenomena atau berdampak pada jaringan spasial yang ter-
realitas yang ada. Struktur sosial tidak ada hubung pada sesuatu yang lain. Etnografi
hubungannya dengan realitas atau fenomena arsitektural yang fokus pada hunian, telah
empiris yang bisa diamati dan diobservasi dalam membuka luas kajian etnografis dari sisi
kehidupan sosial sebagaimana digambarkan hubungan antara (1) ruang dengan obyek, (2)
Radcliffe-Brown (1952). Struktur sosial merupa- aktivitas harian dan ritual dalam jaringan
kan model yang dibangun oleh peneliti simbolis dengan makna semantik, dan (3)
berdasarkan fenomena empiris yang dilihatnya, artefak dengan perilaku. Kajian etnografis telah
kemudian digunakan untuk menjelaskan feno- membawa wawasan baru pada semua level
mena yang ada. Artinya sruktur sosial bukanlah pengembangan kebudayaan (Egenter, 1997).
perwujudan nyata dari fenomena yang dapat Kajian etnografi mampu menampung beberapa
diamati secara langsung, tetapi sebagai metodologi penelitian, seperti deskriptif,
penataan abstrak (model) yang dibangun oleh si fenomenologis, maupun etnologi arsitektur.
peneliti untuk menjelaskan fenomena yang Beberapa penelitian terkait dengan Sungai Musi
diteliti. telah mengawali dan setidaknya menjadi
Pendekatan arkeologis pada kajian arsitektur wawasan penelitian ini dikerjakan. Beberapa
vernakular dikembangkan dari aspek antropologi diantaranya adalah penelitian permukiman di
kognitif, arsitektur, sosiologi, dan psikologi muara pada daerah Sungsang (Nugroho, 1999).
lingkungan atau perilaku, serta analogi Nugroho bermaksud mengidentifikasi ka-
entografik (Kent, 1993). Interpretasi arkeologi rakteristik tradisional perumahan muara Sungai
pada permukiman prasejarah telah memberikan Musi dengan memperhatikan aspek filosofi dan
sumbangan teori spasial arkeologis pada bentukan fisik permukiman. Nugroho ber-
pengembangan perilaku manusia dalam geografi kesimpulan bahwa permukiman muara di
dan ekonomi. Kajian arkeologis ditujukan pada Sungsang adalah produk kebudayaan yang
aspek arsitektur domestik, pola permukiman, dapat dikembangkan menjadi lokasi menarik
atau mengungkap perubahan sosial dan bagi pariwisata. Sedangkan, Siswanto (1999)
korespondensinya terhadap lingkungan ter- permukiman vernakular di Sumatra Selatan
bangun. Pada intinya arkeologi turut ber- seperti rumah limas dan rumah rakit dari sudut
pandang material bangunan dan system

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| G 025


Eksplorasi Signifikansi Budaya Bermukim Masyarakat Riparian Sungai Musi Palembang
strukturnya. Sementara itu, Barendregt (1997) partisipan tersebut berdasarkan signifikansi,
menyoroti perubahan secara arsitektural dalam kerusakan, dan aksesibilitasnya. Catatan
proses migrasi di dataran tinggi Sumatra Selatan. lapangan yang sangat rinci ini digunakan dalam
Berasarkan pendekatan analisis komparatif pada menginterpretasikan dan menganalisis seluruh
tradisi arsitektural yang berbeda di wilayah bangunan; (3) Piyalada Devakula (Groat &
Sumatra Selatan dan melalui cara pandang Wang, 2002) yang menggunakan teknik
gugus masyarakat sendiri secara tradisi tutur lapangan etnografik seperti pengamat partisipan
(folkloris), dihasilkan puyang sebagai salah satu (participant observer) dan wawancara bebas
wawasan dalam orientasi spasial. Lokus (tidak terstruktur) untuk mengetahui identitas
penelitian Barendregt berada di Pasemah dan kualitas pengalaman dan makna pada rumah
Serawai dengan beberapa kasus rumah, seperti tradisional Thailand pada konteks aslinya dan
rumah tumbal, rumah bari, dan rumah ulu. sekarang; (4) Lai (1999) menerapkan pen-
Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik, Taal dekatan lintas budaya yang bersifat multidisiplin
(1997) melihat perubahan dan diversifikasi untuk meneliti arsitektur tradisional di Asia
fungsi pada rumah limas di Palembang. Di Tenggara yang sangat heterogen. Pendekatan
bawah pengaruh material bangunan dan fungsi, tersebut dipilih karena (1) dapat diterapkan
rumah limas selalu mengalami perubahan. untuk rancangan penelitian cross-sectional dan
Perubahan sosial berdampak pada aspek-aspek korelasional; (2) memungkinkan analisis per-
budaya. Sejalan dengan perubahan sosial, bandingan beberapa entitas sosial yang ber-
tingkat preferensi masyarakat terhadap keluarga beda; dan (3) dapat dilakukan analisis yang
kecil, lebih praktis dan modern turut menjadi lebih holistik dan mendalam terhadap subjek
penyebab pergeseran fungsi rumah limas. kajian karena bersifat multidisipliner.
Rumah limas semakin tidak istimewa dan tidak Ke depan penelitian permukiman vernakular
penting lagi dalam mengekspresikan status akan lebih banyak mengalami tantangan.
empunya. Terdapat tiga panduan yang perlu diperhatikan
Beberapa penelitian di atas memberi gambaran, dalam penelitian arsitektur vernakular (Asquith
sedikit sekali yang melihat budaya bermukim dan Velingga, 2006). Pertama, arsitektur
dari aspek-aspek budaya secara menyeluruh. vernakular harus diperlakukan secara eksplisit
Kebanyakan penelitian budaya bermukim sebagai sebuah proses budaya, alih-alih sebagai
terjebak pada masalah fisik atau benda semata, produk material saja. Tradisi vernakular
bukan sebagai kegiatan manusia dalam berpikir, (vernacular tradition) bersifat dinamis,
berkomunikasi, atau bekerja yang bermuatan dibangkitkan melalui interaksi yang dialektis dan
dinamis. Penelitian Barendregt cenderung terus-menerus dari sifat-sifat statik dan dinamik;
mendekati rujukan terakhir, tetapi masih perlu preseden dan kreativitas; stabilitas dan inovasi.
komprehensif. Interaksi ini memungkinkan tradisi berubah
Camille Wells (1986), menyatakan bahwa menurut waktu dan tempat, tetapi tetap
penelitian arsitektur vernakular telah ber- memiliki makna yang relevan dalam masa kini.
kembang selama sepuluh tahun terakhir (1970- Penerimaan sifat dinamis dan adaptatif pada
1980-an) dengan pesat di bawah pengaruh teori tradisi vernakular membuka peluang bagi
dan metode geografi kultural, sosiologi, folklore, pengembangan lingkup bidang kajian vernakular.
dan khususnya sejarah sosial dan antropologi. Dengan demikian pemaknaan vernakular akan
Para peneliti mengenali bangunan sebagai membuka tradisi baru. Kedua, penelitian
artefak budaya untuk dikaji lebih instensif. vernakular di masa depan harus menekankan
Sering kali dijumpai bahwa metode field pada pendekatan yang integratif, meng-
research (etnografik) menjadi metode atau gabungkan perspektif dan metodologi dari
pendekatan dalam penelitian arsitektur berbagai disiplin keilmuan, menerapkan per-
vernakular. bandingan teoritis dan empiris, berfokus pada
Banyak penelitian arsitektur vernakular yang hubungan timbal balik yang dinamis antara
menggunakan metode field research, antara lain tradisi membangun, identitas kultural dan
adalah; (1) Gerald L. Pocius (1982) yang budaya bermukim. Ketiga, penelitian arsitektur
menggunakan field study didukung dengan vernakular di masa kini harus senantiasa dikritisi
analisis struktural; (2) Orlando Ridout V (1982) dan berorientasi ke depan, dengan mem-
yang memiliki kelompok partisipan terdiri dari perhatikan keberhasilan dan kegagalan tradisi
arsitek, folkloris, dan sejarawan sosial. Dalam vernakular, serta menghindari tendensi roman-
penelitiannya, beberapa bangunan dicatat oleh tisasi dan eksotisisme.

G 026 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016


Bambang Wicaksono
Dalam rangka mencari wawasan yang lebih luas komitmen atas nilai-nilai budaya tepi sungai.
tentang bagaimana peran dan kedudukan Dalam hal ini perlu dikaji nilai-nilai apa saja
budaya bermukim pada masyarakat tepi Sungai yang muncul dan eksis dan dijadikan sebagai
Musi, maka budaya bermukim bisa diselami pemersatu komitmen permukiman tepi sungai.
lebih dalam dengan lebih mengkritisi makna
kebudayaan konvensional dalam tiga perspektif. Kesimpulan
Pertama, permukiman tepi sungai tidak dilihat
lagi sebagai unsur kebendaan, melainkan dilihat Berdasarkan wawasan tersebut di atas dapat
sebagai disimpulkan beberapa hal sebagai signifikansi
a) Produk atas proses interaksi dinamis dengan budaya, antara lain:
segala kebudayaan lain di sekitarnya, 1. Sungai menunjukkan bahwa hidup dan
sehingga membuka peluang terjadinya kehidupan di sekitarnya merupakan prioritas
proses pinjam-meminjam/adopsi/asimilasi utama. Secara sosial, Sungai Musi tidak
/appropriasi/inkulturasi/enkulturasi/transform sekadar sebagai jalur transportasi dan
asi baik melalui nilai-nilai maupun artefak. mencari nafkah semata. Lebih dari itu Sungai
Keberadaan lingkungan sekitar permukiman Musi adalah wujud eksistensi kedaulatan
tepi sungai dalam konteks geokultural budaya Palembang.
menjadi penting untuk diperhatikan. 2. Permukiman tepi sungai bukan merupakan
b) Permukiman bisa ditempatkan di tengah- artefak arkeologis atau puing-puing
tengah tegangan internal dan eksternal peradaban, melainkan sosok fisik pada
dalam masyarakat. Tegangan internal- lingkungan masyarakat yang masih hidup
eksternal bisa bermakna tradisional- dan menghidupinya.
modernitas. Makna permukiman tepi sungai 3. Pada diri permukiman tepi sungai tidak
bisa saja berubah antar generasi. Makna hanya melekat keanggunan pola spasial
saat ini bisa berbeda dengan makna semata, melainkan juga memuat nilai-nilai
sebelumnya. Makna permukiman tepi sungai keteladanan, filosofis, dan kepercayaan
terwujud karena proses perubahan- primordial Palembang dalam latar belakang
perubahan pola respon. Keberadaan budaya tepi sungai yang sarat makna
permukiman tepi sungai hadir bersama sebagai substansi bangun pengetahuan
dengan peristiwanya. Setiap peristiwa bisa Nusantara.
memberikan respon yang beragam. Temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai
c) Permukiman tepi sungai dilihat sebagai titik berangkat terhadap penelitian-penelitian
proses yang diperbarui terus-menerus berikutnya. Peluang dan kesempatan meneliti
melalui tahapan transmisi, transformasi, arsitektur yang berbasis pada budaya Nusantara
seleksi, dan emansipasi (pembebasan). pada umumnya dan budaya bermukim tepi
Kedua, permukiman tepi sungai tidak dilihat lagi sungai pada khususnya masih sangat terbuka
sebagai kesatuan sistemik yang utuh, namun lebar. Masih banyak kelompok (gugus
setiap penyusun permukiman berisikan penduduk) dan suku bangsa berada di pusat
tegangan dalam dinamika proses. Sistem peradaban awal tepi sungai. Banyak kekayaan
penyusun permukiman tidak pernah utuh dan budaya bangsa Indonesia yang belum terangkat
solid, mereka terdiri dari subsistem-subsistem dan terungkap, terutama dalam wilayah
yang bisa bergerak dinamis dan otonom. Setiap vernakularnya.
subsistem bisa menghadirkan makna baru dan Luasnya cakupan wilayah dan banyaknya
mensubversi yang lama terutama saat material penelitian memungkinkan dibentuknya
permukiman tepi sungai melintas antar generasi. jaringan kerjasama antar institusi secara
Setiap generasi boleh memberikan makna regional bahkan nasional. Setiap institusi dapat
sebagai ciri polanya. Dalam hal ini sangat berkolaborasi sebagai bentuk kemitraan dan
diperlukan pemetaan sub sistem-sub sistem berkontribusi terhadap pengetahuan lokalnya
penyusun sistem permukiman yang berada di masing-masing. Dengan ditunjang oleh tekno-
sekitarnya. Semacam subsistem yang berserak logi informasi seperti saat ini, setiap institusi
untuk kemudian disusun menjadi mozaik yang lokal dapat membangun basis datanya masing-
utuh (kembali). masing. Terkoneksinya antar-jaringan basis data,
Ketiga, konsep permukiman tidak lagi dilihat menjadikan data dan informasi semakin mudah
sebagai prinsip baku tatanan sosial-kultur tepi diakses. Masyarakat, akademisi, maupun pe-
sungai yang kaku, melainkan dipandang sebagai mangku kepentingan lainnya dapat meman-

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| G 027


Eksplorasi Signifikansi Budaya Bermukim Masyarakat Riparian Sungai Musi Palembang
faatkan kemudahan akses ini sesuai dengan Oliver, Paul (1997). Encyclopedia of Vernacular
batasan etika akademik untuk kepentingannya Architecture of the World. Chambrige University
masing-masing, seperti pendidikan, kebijakan Press.
Pocius Gerald L. (1982). Architecture on
publik, termasuk sebagai inspirasi penelitian
Newfoundland's SouthernShore: Diversity and the
bagi bidang lain. Emergence of New WorldForms, Perspectives in
VernacularArchitecture, Vol. 1, pp. 217-232.
Daftar Pustaka Radcliffe-Brown, A.R. (1952). Structure and Function
in Primitive Society. Illinois: The Free Press.
Rahaju, SLT. (2005). Gagasan PengaturanTempat
A.L. Kroeber and Clyd E Kluckhohn. (1952). Culture:
pada Masyarakat Kampung Naga
A Critical Review of Concepts and Definitions.
KabupatenTasikmalaya Jawa Barat. Disertasi.
Massachusetts: The Museum.
Bandung: ITB.
Arifin, Zainal. (2010).Dualisme Minangkabau
Rapoport, Amos. (1969). House Form and Culture:
(DalamKajianstrukturalisme Levi-Strauss). Jurnal
Foundation of Cultural Geography Series. Pre New
Antropologi, VI (9), hal. 81-94.
Jersey: Prentice-Hall.
Asquith, Lindsay and Marcel Velingga. (2006).
Rapoport, Amos. (1990). Defining Vernacular Design,
Vernacular Architecture in the Twenty-First Century:
in Turan, M. (ed), Vernacular Architecture-Paradigm
Theory, Education and Practice.Taylor and Francis
of Enviromental ResponseI. Avebary: Gower
Group.
Publishing Company Limited.
Barendregt, Bart. (1997). Architectural Transformation
Rejeki, VG Sri. (2012). Tata Permukiman berbasis
in the Process of Migration The South Sumatran
Punden Desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro,
Highlands, in Transformation of House and
Kabupaten Wonosobo. Disertasi. Yogyakarta: UGM.
Settlements in Western Indonesia: Changing Values
Rudofsky, B. (1965). Architecture without Architects.
and Meaning of Built Forms in History and the
New York: The Modern of Modern Art.
Process of Modernisation. Leiden: Leiden University.
Schefold, Reimar (1997). Antrophological, in Paul
Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative,
Oliver (ed). 1997. Encyclopedia of Vernacular
Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
Architecture of the World.Chambrige University
California: Sage Publications, Inc.
Press, pp. 6-8.
Davis, Howard. (1997). Riparian, in Paul Oliver (ed).
Santun, Dedi Irwanto Muhammad Santun (2011).
1997. Encyclopedia of Vernacular Architecture of
Venesia Dari Timur Memaknai Produksi dan
the World. Chambrige University Press, pp. 149-150.
Reproduksi Simbolik Kota Palembang; Dari Kolonial
Egenter, Nold. (1997). Etnographical, in Paul Oliver
Sampai Pascakolonial, Yogyakarta: Ombak, 2011.
(ed). 1997. Encyclopedia of Vernacular Architecture
Siswanto, Ari. (1999). Vernacular Settlement of South
of the World.Chambrige University Press, pp. 34-35.
Sumatra as an Answer to Settlement ProblemArised
Fedick, Scott L. (1997). Archaeological, in Paul Oliver
Today in Vernaculat Settlement: The Role of Local
(ed). 1997. Encyclopedia of Vernacular Architecture
Knowledge in Built Environment. Seminar
of the World.Chambrige University Press, pp. 9-11.
Proceeding. Depok: UI.
Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research
Taal, Sandra. (1997). Change and Diversification in
Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
the Function of the Limas House of Palembang, in
Hanafiah, Djohan. (1990). Palembang Zaman Bari:
Transformation of House and Settlements in
Citra Palembang Tempo Doeloe, Palembang: Humas
Western Indonesia: Changing Values and Meaning
Pemerintah Kotamadya Tingkat II Palembang
of Built Forms in History and the Process of
Kent, Susan. (1993).Domestic Architecture and the
Modernisation. Leiden: Leiden University.
Use of Space: An Interdisciplinary Cross-Cultural
Waterson, Roxana. (1990).The Living House: An
Study. Cambridge University Press.
Anthropology of Architecture in South-East Asia.
Kusdiwanggo, Susilo. (2015). Pancer-Pangawinan
Singapore/Oxford/New York: Oxford University
sebagai Konsep Spasial Masyarakat Adat Budaya
Press.
Padi Kasepuhan Ciptagelar. Disertasi. Bandung: ITB.
Wells, Camille, (1986). Old Claims and New Demands:
Levi-Strauss, Claude. (1963). Structural Anthropology.
Vernacular Architecture Studies Today.Perspectives
New York: Basic Books, Inc.
in Vernacular Architecture, Vol. 2 (1986), pp. 1-10.
Nugroho, Setyo. (1999). Traditional Estuary
Wiryomartono, Bagoes. (2014). Perspectives on
Settlement of Sungsang Area South Sumatera in
Traditional Settlements and Communities: Home,
Vernaculat Settlement: The Role of Local
Form and Culture in Indonesia. Springer.
Knowledge in Built Environment. Seminar
http://www.arch.nus.edu.sg/archive/research-
Proceeding. Depok: UI.
projects/completed/jwdatabase/indo_palembang_1
Nuraini, Cut. (2014). Bincar-Bonom sebagai Basis Tata
998-2.html, diakses: 12/10/2016 06:45.
Ruang Permukiman Desa Singengu. Disertasi.
Yogyakarta: UGM.
Parimin, Ardi P. (1986). Fundamental Study on Spatial
Formation of Island Village : Environmental
Hierarchy of Sacred-Profane Concepts in Bali.
Dissertation, Osaka: Osaka University.
G 028 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

Anda mungkin juga menyukai