Anda di halaman 1dari 39

KOTA KULTURAL II

(Studi Kasus: Filsafat Kota Yogyakarta & Solo)

Disusun Oleh:
Muhammad Dafa Murtado 17240
21
17240
Ghestiar Kharisma Kusumo
47
17240
Lalu Gde M Neq Mas Prabu TL
48
17240
Mita Nur Bulan Sari
62
17240
Tasya Almira Syah Putri 69

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
MALANG
2019
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya merupakan ciptaan masyarakat yang berkembang dan dimiliki suatu kelompok,
kemudian dikembangkan menjadi suatu kebiasaan aktifitas turun-temurun. Kebudayaan oleh
Kaplan dimaknai sebagai suatu sistim simbolik atau sistim perlambangan. Sebagai cara
memahami perangkat lambang budaya tertentu, orang lebih dahulu harus melihatnya dalam
kaitan keseluruhan tempat sistim perlambang itu manjadi bagian (Kaplan, 1999:239). Menurut
Masinambow, budaya adalah simbol kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengatur dan
penataan kehidupan bermasyarakat (Masinambow, 2002:13). Budaya berkembang pada
masyarakat sebagai pengatur kehidupan dalam bermasyarakat secara turun-temurun.

Warisan kebudayaan secara turun-temurun dijadikan oleh kelompok masyarakat sebagai


pegangan hidup dan kebiasaan kelompok masyarakat. Selain itu, kebudayaan berupa peninggalan
benda-benda bersejarah maupun bangunan bersejarah dapat dijadikan ilmu pengetahuan oleh
masyarakat untuk mengetahui perkembangan sejarah. Melalui perkembangan sejarah,
masyarakat bisa menjadikan suatu aktifitas dan kebiasaan sebagai peranan kehidupan. Salah satu
contoh kebudayaan yang merupakan aktifitas atau kebiasaan dalam masyarakat yaitu sikap
disiplin.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai banyak keanekaragaman


budaya yang sangat menarik dan unik. Salah satu kota yang masih mempertahankan
kebudayaanya yaitu Yogyakarta. Yogyakarta sering di sebut sebagai “kota pelajar” juga menjadi
daerah tujuan wisata penting di Indonesia yang bertumpu pada sumberdaya ekonomi kreatif
(cultural economic) yaitu kebudayaan, terutama pada kekhasan sejarah, pusat pendidikan, dan
berbagai kesenian seperti perayaan adat dan pesta rakyatnya.
1.2 Tujuan dan Sasaran

1.2.1 Tujuan
Tujuan dari laporan ini yaitu mengidentifikasi filsafat budaya di kota Yogyakarta dan
kota Surakarta.

1.2.2 Sasaran
1. Untuk Indentifikasi Sumbu Imaginier Kota Yogyakarta
2. Untuk Mengetahui Fungsi Pembagian Ruang Di Taman Sari
3. Mengindentifikasi Ruang Publik Di Jalan Malioboro
4. Untuk Mengidentifikasi Kota Surakarta Dalam Konteks Budaya

1.2.3 Lingkup Materi


Ruang lingkup materi dalam laporan ini meliputi filsafat budaya kota Yogyakarta dan
Solo dimana kota Yogyakarta memiliki garis imaginer dimana Keraton Yogyakarta jadi pusat
rencana tata ruangan di DIY. Tata ruangan daerah ini punyai kelebihan berbentuk garis lurus
imajiner filosofis terbentang dari Gunung Merapi, Kraton, sampai laut selatan. Sumbu filosofis
itu melambangkan keseimbangan pada jalinan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan
sesama manusia, dan manusia dengan alam. Panggung Krapyak ke utara sampai Kraton
melambangkan mulai sejak bayi dari lahir, beranjak dewasa, berumah tangga sampai melahirkan
anak. Sedangkan dari Tugu ke Kraton melambangkan perjalanan manusia kembali pada Sang
Pencipta. Dari kesemuanya itu, Keraton Yogyakarta jadi pusatnya, Keraton Yogyakarta
dipandang suci karna diapit enam sungai dengan cara simetris yakni sungai Code, Gajah Wong,
Opak Winongo, Bedhog serta sungai Progo. Ada juga Gunung Merapi serta Pantai Selatan
sebagai ujung garis imajiner, dengan Keraton ada pas di tengahnya keduanya. Kraton
Yogyakarta dan merapi mempunyai hubungan bahwa pintu masuknya melalui 2 pohon ringin
yang berada di Alun-Alun utara. Kraton Yogyakarta berfungsi sebagai tempat tinggal, pusat
pemerintahan, dan pusat budaya, khususnya budaya Jawa. Yogyakarta sebagai kota yang
mempunyai ciri khas dan keunikan, secara khusus mempunyai struktur bermakna filosofis-
simbolis, yaitu berdasarkan garis imajiner yang diyakini membentuk garis lurus. Pada
perkembangan kota Yogyakarta pada saat ini, sumbu imajiner sudah banyak mengalami
perkembangan namun masih tetap mempertahankan kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik,
etik, simbol, dan filosofis-religius eksistensinya yang mempunyai keterkaitan dengan berbagai
rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya.

Kota Solo merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang
dalam perkembangannya. Semenjak terbentuk dari zaman kerajaan hingga sekarang,
pertumbuhan dan perkembangan Kota Sala sangat dipengaruhi oleh dinamika pemerintahannya.
Dualisme kepemimpinan yang terjadi pada masa kerajaan, yaitu antara Kraton Surakarta dengan
Pemerintah Kolonial, menentukan pola bentukan ruang kota dengan unsur nilai dan simbol
kebudayaan yang dianut dua penguasa tersebut. Kebudayaan Solo yang masih kental hadir
disetiap sudut kota, menjadikan keunikan tersendiri bagi Solo. Tiap sudut kota juga berhiaskan
ornamen khas Solo yang masih bertahan hingga sekarang, seperti gapura berlukiskan motif batik,
patung-patung wayang menghias jalan-jalan, lampu kota ala zaman dahulu juga masih
tergantung indah, restoran-restoran dengan suasana tempo dulu, belum lagi beberapa gedung
perkantoran yang tetap dipertahankan keaslian arsitekturnya dari zaman ke zaman. Pemandangan
ini membawa wisatawan yang singgah merasa betah. Pada masa kerajaan, Kota Sala merupakan
ibu kota baru yang memiliki kekhususan dibanding semua ibu kota kerajaan dari Kota Gede
sampai Kartasura. Dilihat dari pola dan morfologi pusat kotanya, Kota Sala tampak meniru pola
yang ada di Kartosuro. berbeda dengan Plered dan Kota Gede, karena letak geografisnya, kedua
kota ini mengambil Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan sebagai orientasi
makrokosmosnya. Di Kartosuro hal ini tidak mungkin, karena lokasinya berada disebelah timur
gunung Merapi. Sehingga kemudian dikembangkan sumbu timur-barat yang melintang alun-alun
(lor) sejak pusat kota Kartosuro agar tidak kehilangan legitimasi spiritual. Di Kota Sala sumbu
timur-barat juga hadir. Meskipun tidak dalam satu garis lurus di tengah alun-alun karena adanya
masjid Agung.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Budaya

2.1.1 Pengertian Budaya


Menurut E.B. Tylor dalam bukunya yang berjudul “primitive culture” bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan lain, serta
kebiasaan yang didapat manusia sebagai angota masyarakat. Pada sisi yang agak berbeda,
Koentjaningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil
kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat‖.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, beberapa definisi tentang budaya
yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu menurut

• Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala


sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
 Kebudayaan menurut Ellwood (dikutip: Abu Ahmadi, 2007: 60) ini, dinyatakan
bahwa “kebudayaan ini mencakup benda-benda material dan spiritual, yang pada
kedua-duanya diperoleh dalam interaksi kelompok atau dipelajari dalam kelompok.
Juga kebudayaan itu menurut Ellwood mencakup kekuatan untuk menguasi alam dan
dirinya sendiri”.
 Menurut Linton (1999:96) budaya adalah “keseluruhan dari pengetahuan, sikap, dan
pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota
suatu masyarakat tertentu”. Menurut ilmu antropologi “kebudayaan” adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat,
2009: 153).
 Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
 Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli dapat disimpulkan bahwa budaya adalah
suatu kebiasan yang berasal dari kehidupan masa lalu baik itu kepercayaan, pengetahuan, adat
istiadat, perilaku maupun kesenian yang tetap di pertahankan hingga saat ini yang masih
dipercaya oleh masyarakat tentang keberadaannya baik itu dari alam maupun yang diwariskan
dari orang dahulu.

2.1.2 Unsur-unsur Budaya


Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

• Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

1. alat-alat teknologi
2. sistem ekonomi
3. keluarga
4. kekuasaan politik
• Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
1. sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
2. organisasi ekonomi
3. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama)
4. organisasi kekuatan (politik)
• Adapun unsur-unsur kebudayaan universal menurut Koentjaraningrat (2002: 203), adalah:
“unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universals. 7 unsur kebudayaan itu
adalah:
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi,
7. Kesenian,

Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud
kebudayaan terurai di atas, yaitu wujudnya sistem budaya, berupa sistem sosial, dan berupa
unsurunsur kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 2009: 164-165).

2.1.3 Wujud Budaya


Kebudayaan memiliki pengertian sebagai segala tingkah laku manusia dalam
kehidupannya yang diperoleh melalui proses belajar. Namun, seringkali kebudayaan hanya
bermakna atau berkaitan dengan bidang seni. Sebaliknya, segala hal yang berkaitan dengan
perilaku manusia dalam kehidupannya bisa dikategorikan sebagai kebudayaan. Misalnya, cara
makan, sopan santun, upacara perkawinan hingga cara memilih pimpinan pun merupakan bentuk
kebudayaan manusia. Definisi kebudayaan dalam antropologi adalah segala tingkah laku
manusia yang layak dipandang dari sudut kebudayaan sehingga bisa dikategorikan sebagai
kebudayaan.

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas,
dan artefak.

1. Gagasan (Wujud ideal)


Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat
diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam
pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu
dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan
didokumentasikan.
3. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud
kebudayaan.

2.2 Budaya Bermukim


Tempat tinggal dan lingkungan telah ada sejak manusia mulai merasa mampu
mengorganisasikan diri, berhenti mengembara dalam perburuan, bercocok tanam, menjinakkan
dan mengembangbiakkan ternak, serta sedikit menguasai alam sekitarnya. Sejak dari fungsi
rumah sebagai tempat bernaung yang sederhana hingga kini fungsi rumah lebih dari sekedar
simbol status sosial, pengertian dan konsep budaya bermukim terus berkembang sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Perkembangan itu sendiri akan terus berlanjut
sampai batasnya dimana peradaban tidak dapat mengembangkan dirinya melebihi kapasitas alam
yang tak terhingga. Keterkaitan antara perkembangan budaya bermukim dan peradaban telah
ditandai dari pengamatan historis terhadap hunian Indian yang sederhana di Tierra del Fuego
sampai pada tempat bernaung orang Eskimo yang relatif lebih maju.

Budaya bermukim yang dianut masyarakat di suatu tempat merupakan bagian dari budaya
masyarakat keseluruhan seperti halnya adat istiadat. Kelompok masyarakat tradisional memiliki
tata cara turun temurun yang diwarisi sebagai bagian yang tak terlepaskan seperti halnya sebuah
nama yang melekat pada diri seseorang. Lain tempat akan lain pula situasinya, sehingga pola-
pola perilaku masyarakatnya berbeda-beda.

Dalam waktu yang telah berlangsung lama, (beberapa generasi) telah memiliki budaya
bermukim yang memiliki ciri khas tersendiri. Dan diakui dalam waktu yang lebih lama konsep
yang dikembangkan secara evaluasi dan adaptasi itu dianggap sebagai konsep yang cocok dalam
tatanan kehidupan komunitasnya. Konsep permukiman beberapa masyarakat adat di masing-
masing daerah memiliki ciri khas tersendiri yang memiliki kelebihan dan kekuranganya sejauh
itu dikaitkan dengan budaya dan kondisi alamnya. Tatanan komunitas yang cocok dalam
masyarakat selalu berusaha dipertahankan lebih lama sesuai dengan kemampuan dan
perkembangan yang terjadi. Masyarakat pada dasarnya akan berusaha membentuk keseimbangan
yang dapat mempertahankan konsep-konsep yang baik serta terus berusaha meningkatkannya
menjadi lebih baik lagi. Jarang sekali masyarakat melakukan perubahan sporadis terhadap
kondisi yang sudah ada, kecuali revolusi

2.3 Budaya Bermukim Berbasis Budaya


Pembentukan suatu lingkungan permukiman pada dasarnya sangat ditentukan oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah budaya masyarakat setempat. Bagaimana individu berhubungan
dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya sudah tentu berbeda antara satu budaya dengan
budaya lainnya, selanjutnya bagaimana ruang itu ditata dan dirancang sangat tergantung pada
pandangan hidup masing-masing (Dansby, 1993:137). Salah satu bagian yang penting untuk
diketahui dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah pemahaman tentang
bagaimana ruang diorganisasikan tergantung pada tujuan manusia itu sendiri (Aspinall, 1993:
337).

Dalam konteks budaya berkait dengan ruang permukiman, Yi-Fu Tuan (1977: 5) menyatakan
untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat (place)dan
ruang(space)harus dikaitkan dengan budaya. Budaya sifatnya unik, antara satu tempat dengan
tempat lain bisa sangat berbeda maknanya. Selanjutnya manusia akan mengekspresikan dirinya
pada lingkungan dimana dia hidup, sehingga lingkungan tempat tinggalnya akan diwujudkan
dalam berbagai simbolisme sesuai dengan budaya mereka. Bagaimana manusia me-milih tempat
tertentu dan menggunakan berbagai kelengkapan, ataupun berbagai cara untuk berko-munikasi
pada dasarnya merupakan “bahasa” manusia. Pola ini tidaklah semata dilihat dalam kaitan
dengan lingkungan semata, akan tetapi pada waktu yang bersamaan juga merupakan perwujudan
budaya mereka (Locher, 1978: 171).

Pada awal perkembangannya permukiman kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros
besar Selatan Utara, Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh
di sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan Malioboro
dan kemudian hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung
dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya.
Pada awal abad ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat
dan padat. Istana atau Kraton yang terletak di pusat kota dikelilingi oleh bangunan benteng dan
wilayah yang ada di dalamnya dikenal sebagai daerah “Jero Benteng” atau “Jeron Benteng” atau
“Dalam benteng”. Daerah di dalam benteng itu melingkupi Alun-alun Utara, Tratag, Pagelaran,
Sitihinggil, Prabayaksa, Kraton Kilen, tempat tinggal raja, dan Alun-alun Kidul. Sebagian dari
para bangsawan kerabat dekat raja juga tinggal di dalam Jero Benteng. Selain itu di dalam Jero
Benteng juga terdapat sejumlah kampung tempat abdi dalem kraton yang bertugas sehari-hari
melayani kraton.
BAB III
METODE PEMBAHASAN

3.1 Study Literatur


Metode study literature yaitu, metode dengan mengumpulkan, mengidentifikasi, serta
mengolah data tertulis yang diperoleh dan dapat digunakan sebagai input dalam proses analisa.
Pengumpulan dilakukan dengan cara kompilasi data yang diperoleh dari referensi-referensi
seperti jurnal, karya ilmiah, hasil penelitian sebelumnya, maupun buku-buku referensi lainnya
yang mendukung pembuatan laporan ini.

3.2 Pengamatan Lapangan


Pengamatan Lapangan (Observasi) adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan
langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dalam
hal ini, peneliti dengan berpedoman kepada desain penelitiannya perlu mengunjungi lokasi
penelitian untuk mengamati langsung berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan. Penemuan
ilmu pengetahuan selalu dimulai dengan observasi dan kembali kepada observasi untuk
membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan tersebut. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan
cara pengamatan dan pencatatan mengenai pelaksanaan pembelajaran dikelas.
BAB IV
DATA DAN ANALISA

4.1 Kajian Kota Solo

4.1.1 Data
Kota Surakarta juga disebut Solo adalah wilayah otonom dengan status kota di bawah
Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng
pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m diatas permukaan air
laut. Dengan Luas sekitar 44 Km2, Kota Surakarta terletak diantara 110 45` 15″ – 110 45` 35″
Bujur Timur dan 70` 36″ – 70` 56″ Lintang Selatan. Kota dengan luas 44 km2. Kota ini juga
merupakan kota terbesar ketiga di pulau Jawa bagian selatan setelah Bandung dan Malang
menurut jumlah penduduk. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu
lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Surakarta merupakan pewaris
Kesultanan Mataram yang dipecah melalui Perjanjian Giyanti, pada tahun 1755. secara
administrasi batas wilayah Kota Surakarta adalah sebagai berikut:

 Batas Utara : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali


 Batas Selatan : Kabupaten Sukoharjo
 Batas Timur : Kabupaten Karanganyar
 Batas Barat : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali
Kota Surakarta terdiri dari 5 kecamatan, 51 kelurahan, 604 RW dengan jumlah RT
sebanyak 2.714 dan jumlah KK sebanyak 169.772 jiwa pada tahun 2015. Jumlah RW terbesar
terdapat di Kecamatan Banjarsari yaitu sebanyak 176 dengan jumlah RT sebanyak 877. Jumlah
RW dan RT yang paling kecil adalah Kecamatan Serengan yaitu hanya sebesar 72 dan 312.

Tabel 2.1. Data Kecamatan di Kota Surakarta tahun 2015


No Kecamatan Luas Wilayah (km2 ) Jumlah Kelurahan Jumlah RW Jumlah RT 1 Laweyan 8,64
11 105 457 2 Serengan 3,19 7 72 312 3 Pasar Kliwon 4,82 9 100 422 4 Jebres 12,58 11 151 646
5 Banjarsari 14,81 13 176 877 Jumlah 44,04 51 604 2.714 Sumber: Surakarta Dalam Angka,
2016
4.1.2 Analisa

4.2 Kajian Kota Jogja

4.2.1 Sumbu Imajiner Yogyakarta


Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota yang unik dalam hal bentuk pola tata ruangnya.
Keunikan ini disebabkan karena dalam tata ruang kota terdapat suatu poros sumbu imajiner.
Poros ini membentang dari arah Utara – Selatan (Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton
Yogyakarta – Panggung Krapyak – Laut Selatan) membentuk suatu jalur linear dan
menghubungkan beberapa simbol-simbol fisik yang mempunyai makna nilai filosofis. Filsofi
Sumbu imajiner ini melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam

Banyak istilah yang diukir untuk kota yang terkenal dengan kesultanannya ini. Dengan
tata ruang yang memiliki banyak filosofi maka pantaslah Yogyakarta memiliki gelar istimewa.
Salah satunya yaitu perjalanan dari Krapyak menuju Tugu. Planologi kota Yogyakarta juga
didasarkan pada keserasian makna filosofis sumbu imaginer yang merupakan garis lurus
Krapyak-Kraton-Tugu, yang masing-masing di antaranya berdiri bangunan-bangunan yang
mempunyai arti dan makna tentang proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai mati.

Sumbu Imaginer Jogja


1. Laut Selatan
Laut selatan atau Segara Kidul terletak lebih kurang 27 Km sebelah Selatan Kota
Yogyakarta. Sebagai bagian dari sumbu imajiner. Lautan memiliki makna kosmologis sebagai
tempat yang sangat luas dan merupakan gelombang dan dinamika masyarakat. Masyarakat
adalah tempat manusia secara individual untuk ngangsu kawruh. Oleh karena itu laut dan
dalamnya ilmu pengetahuan sering disebut denga idiom lautan ilmu.
Dalam kaitannya dengan Keraton, seorang raja sebagai panutan dan Kalifatullah tentunya
harus memiliki hubungan dan pemahaman yang sangat mendalam terhadap segara sebagai
cerminan dinamika masyarakat dan segara sebagai lautan ilmu. Karena manusia yang telah
disinari oleh ilmu dan Nur Illahi diharapkan mampu bejalan lurus mulai dari awal kehidupan
(Panggung Krapyak) sampai kepada kehidupan yang langgeng dan kokoh (Gunung Merapi).
Seorang raja dianggap menusia pilihan yang telah memiliki keserdasan untuk dapat menyerap
lautan ilmu dan mencontohkan kepada seluruh masyarakat. Pantai selatan (parangkusumo)
terdapat dua buah batu sebagai tempat duduk raja penguasa laut selatan, dan mengadakan
ritual di pantai parangkusumo yang tujuannya untuk menjadi raja.
Bagi kalangan kerabat Keraton, hari-hari khusus yang berkaitan dengan Sultan (Raja),
seperti Tinggalan Dalem, peringatan Jumenengan, selalu diadakan labuhan, yaitu melarung
seperangkat pakaian raja beserta dengan segala sesaji ke Laut Selatan. Secara mistis bagi
sebagian masyarakat hal ini dianggap merupakan sikap ngabekti terhadap Kerajaan Laut
Selatan yang diperintahkan oleh Ratu Kidul. Tetapi secara simbolik sesungguhnya peristiwa
ini merupakan peringatan bagi seorang raja untuk dapat selalu memberi kepada rakyatnya,
dan melarung sebagian miliknya sebagai simbol pembersihan harta benda dan ketidak sucian
duniawi. Dimana untuk kaum laki-laki memkai baju sarjen dan wanita memakai baju kemben.
Kawasan pantai Parangkusumo terdapat dua buah batu yang disebut Selo Gilang sebagai
tempat pertemuan antara pendiri dinasti Mataram Panembahan Senopati dengan penguasa
pantai selatan Kanjeng Ratu Kidul. Dua buah batu itu juga sering disebut dengan 'Batu Cinta”.
Dua buah batu, dipercaya sebagai tempat duduk bertemunya Panembahan Senopati dengan
Kanjeng Ratu Kidul. Batu gilang yang berada di sisi utara adalah tempat duduk Panembahan
Senopati. Sedangkan batu gilang satunya lagi yang lebih kecil berada di selatannya adalah
tempat duduk Ratu Kidul.
Batu Cinta (Sego Gilang)
2. Panggung Krapyak
Panggung Krapyak adalah salah satu bangunan cagar budaya yang berlokasi di Dusun
Krapyak, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, DIY. Panggung
Krapyak merupakan rangkaian Sumbu Filosofis yang dibuat oleh Sultan Hamengku Buwana I
(1755-1792). Secara garis besar Sumbu Filosofis ini menggambarkan atau menyimbolkan
perihal sangkan paraning dumadi (asal muasal manusia berada), secara simbolik
melambangkan pertemuan antara wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak
sebagai yoni (alat kelamin wanita) dengan Tugu Pal putih sebagai Lingga, melambangkan
proses kelahiran manusia. Bila dibaca dari Panggung Krapyak ke utara, maka hal ini
melambangkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan-dewasa-dan melahirkan anak.
Sedangkan bila dibaca dari utara (Tugu Pal Putih) ke selatan, maka hal ini melambangkan
perjalanan manusia menuju Sang Khalik.
Panggung Krapyak berbentuk menyerupai kotak ini memiliki ukuran luas 17,6 m x 15 m
dan tinggi 10 m. Arsitektur bangunannya cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah
pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela ditutup dengan pagar besi yang tidak rapat
sehingga bagian dalam bisa terlihat dari luar. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk
persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid.
Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Pada lantai atas berupa ruangan terbuka yang cukup luas
dan dibatasi pagar dengan ketinggian sedang dan juga masih ditemukan sumur dan sisa-sisa
kolam yang masih berasosiasi dengan Bangunan Panggung Krapyak ini.
Panggung Krapyak dahulu merupakan hutan lebat. Beragam jenis hewan liar terdapat di
sini, salah satunya rusa atau dalam bahasa Jawa disebut menjangan sehingga digunakan raja –
raja Mataram sebagai tempat untuk berburu binatang, khususnya rusa atau menjangan, kolam
Krapyak dan Sumur Krapyak kemungkinan merupakan tempat untuk membersihkan hasil
buruan, Selain itu, panggung krapyak ini digunakan sebagai pos pertahanan. Konon, dari
tempat ini gerakan musuh dari arah selatan bisa dipantau sehingga bisa memberikan
peringatan dini kepada Kraton Yogyakarta bila terjadi serangan. Para prajurit secara
bergantian ditugaskan untuk berjaga di tempat ini, sekaligus berlatih berburu dan olah
kanuragan (kemampuan berperang).

Panggung Krapyak

3. Alun – alun Selatan


Alun alun kidul Jogja merupakan ikon kota Yogyakarta selain Malioboro. dahulu tempat
ini adalah peninggalan dari Kerajaan Yogyakarta dan sekarang sudah menjadi tempat wisata
bagi para penduduk Jogja dan wisatawan. Alun-alun Selatan juga dikenal dengan nama Alun-
Alun Pengkeran (Alun-Alun Belakang). Letaknya masih berada di dalam benteng keraton, di
tengahnya ditanam dua buah pohon beringin. Beringin ini dinamakan supit urang dan diberi
pagar keliling sehingga juga dikenal sebagai Ringin Kurung. Pagar yang mengelilingi dua
batang pohon ini diberi ornamen berupa bulatan dan bentuk-bentuk busur. Sedang di bagian
pinggirnya terdapat pohon pakel (mangga) dan pohon kweni, sebagai perlambang kedewasaan
(akil baligh) dan keberanian (wani).
Alun-Alun Selatan yang berukuran 150 x 150 meter dikelilingi pagar setinggi 2 meter dan
lima bukaan sebagai jalan keluar masuk. Kelima jalan tersebut adalah Jalan Langenastran
Kidul, Jalan Langenastran Lor, Jalan Ngadisuryan, Jalan Patehan Lor, dan Jalan Gading.
Jalan-jalan ini melambangkan kelima indera manusia. Pada sisi sebelah barat, dekat Jalan
Ngadisuryan, terdapat kandang gajah milik keraton. Permukaan alun-alun ditutup dengan
pasir. Hamparan pasir tersebut adalah perlambang bahwa indera kita masih labil dan mudah
berubah serta tidak teratur, laksana pasir. Inilah yang terjadi pada manusia saat memasuki
masa-masa akil balig, yang dilambangkan dengan wujud pertemuan pemuda dan pemudi
dalam bentuk beringin tadi.
Fungsi utama Alun-alun Selatan ini dulunya adalah sebagai tempat berlatih para prajurit
kraton, serta sebagai tempat pemeriksaan pasukan menjelang upacara Grebeg. Kini Alun-
Alun Selatan menjadi tempat orang berwisata. Pada malam hari banyak penjaja makanan dan
kereta kayuh yang disewakan. Terdapat juga kegiatan masangin, yaitu masuk di antara pohon
beringin. Pengunjung berusaha berjalan melewati kedua pohon beringin dengan menggunakan
penutup mata.

4. Keraton
Keraton Yogjakarta merupakan salah satu peninggalan kebudayaan tradisional yang
dimiliki masyarakat Jawa. Berbagai lambang di keraton banyak diketemukan dalam segala
segi kehidupan, misalnya saja bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penempatan
tempat duduk, menyimpan dan memelihara barang pusaka keraton dan seterusnya. Dirsiti
Soeratman menjelaskan bahwa keraton menyimpan dan melestarikan nilai-nilai lama,
mengenai folklor dan beberapa mitos. Mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan budaya,
yang menjadi model atau referensi tindakan serta sikap manusia (PS. Hary Susanto, 1986: 71-
72).
Kawasan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bangunan cagar budaya yang
terdiri dari serangkaian ruang dan bangunan yang memiliki nama, fungsi, pelingkup serta
vegetasi tertentu. Serangkaian ruang-ruang terbuka di dalam keraton disebut plataran.
Setiap plataran dihubungkan dengan regol atau gerbang yang merupakan pembatas
antara plataran satu dengan yang lainnya.
Di sisi selatan terdapat tanah yang ditinggikan sekitar 150cm dari permukaan tanah
disekitar, hal ini mengandung makna dan artinya kenaikan sukma atau kondisi bayi dalam
kandungan ibu yang sudah menunggu saatnya untuk lahir yang di sebut sasana inggil atau Siti
Hinggil, dimana Komplek Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk penyelenggaraan
upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada tanggal 19 Desember 1949 digunakan untuk
meresmikan Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah dan
sekitarnya dengan jarak 2 jenjang untuk naik. Di sisi utara dan selatan diantara Komplek
pagelaran dan Siti Hinggil juga ditanami dengan sederetan pohon Gayam. Bangsal Siti
Hinggil sendiri merupakan bangunan yang tertinggi di Keraton. Siti Hinggil atau tanah yang
ditinggikan mengandung arti dan makna Kenaikan Sukma.  Kedudukan Sultan yang sedang
berada di Siti Hinggil dan duduk (sinewoko) di bangsal Manguntur Tangkil diibaratkan
sebagai Kalifatullah yaitu wakil Tuhan di muka bumi. Bangsal Siti Hinggil merupakan
bangsal \yang mengandung nilai spiritual. Pada saat Sultan duduk di atas singgasana maka
pandangan beliau harus lurus menuju ke utara bersatu dengan titik di ujung Tugu Pal Putih
yang melambangkan Manunggaling Kawula – Gusti.

Gambar Siti Hinggil

Di sekeliling bangunan Siti Hinggil ini terdapat jalan yang menuju ke halaman
Kemagangan. Bangsal kemagangan berada di tengah halaman besar digunakan sebagai
tempat upacara Bedhol songsong dahulu berfungsi sebagai tempat berlatih pada abdi dalem,
pada saat ini bangsal kemagangan digunakan untuk pementasan wayang kulit maupun
beberapa kegiatan lainnya. Setelah meninggalkan Siti Hinggil, sebelum memasuki pagelaran
akan dijumpai Tarub Hagung tepat di depan Tratag Siti Hinggil. Bangunan ini berdiri di atas
4 tiang tinggi berupa pilar besi dan mempunyai bentuk bujur sangkar. Bangunan ini
mempunyai arti bahwa siapa yang sedang samadi akan merasa selalu dalam keagungan.

Jalan di kiri kanan Siti Hinggil ini disebut Pamekang. Pamekang berasal dari kata
mekangkang, posisi yang kaki yang berjauhan satu sama lain. Posisi ini mennujukkan
keadaan seorang ibu yang akan melahirkan. Pamekang menurut Puspodiningrat artinya
adalah mengungkap atau mengeluakan (melahirkan). Bagian kiri dan kanan tratag Siti
Hinggil terdapat tanaman gayam yang bungannya berwarna. Hal ini mmpunyai makna ayom
– ayem (tentram) dan ngrembaka (berkembang). Dari jalan Pamekang ini ke arah utara terus
menuju regol dan halaman Kemandhungan.

Kemandungan berasal dari kata kandungan. Kandungan ibu yang siap melahirkan dan
akan melahirkan. Bayi yang lahir pada saat ini dan seterusnya dilambangkan akan melalui
regol Gadhungmlati, yang warnanya hijau putih, melambangkan bayi yang masih suci dan
tentram.

Bangsal Kemandungan Gapura Kemandungan

Dari regol ini seterusnya akan memasuki halaman Kemagangan, dari kata magangyang


berarti berguru sebagai manusia yang akan hidup di dunia dengan segala dinamika dan
persoalan hidupnya. Kemagangan merupakan gambaran sang bayi yang telah lahir dengan
selamat dan magang menjadi calon manusia. Karena kebutuhan seorang bayi yang sedang
magang sebagai calon manusia ini melulu makan dan dipelihara, kepadanya telah tersedia
makan yang cukup. Hal ini dilambangkan dengan adanya dapur keratin Gebulen yang ada di
sebelah barat Kemagangan dan Sekullangen, dapur yang ada di sebelah timur Kemagangan.
Di sekeliling halaman Kemagangan ini juga ditanami pohon Kepel, Cengkir Gading dan
Pelem. ada ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks kamagangan terdapat sebuah
gerbang yaitu Regol Gadung melati yang menghubungkan kompleks kamagangan dengan
Kompleks Kamandungan Kidul. Dinding penyekat pada gerbang ini memiliki ornamen yang
sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. di komplek Kamandungan Kidul
terdapat bangunan utama yang bernama Bangsal kemandungan. Bangsal-bangsal ini konon
berasal dari kata Desa Pandak Karang Nangka di daerah Sukowati yang pernah menjadi
tempat Sri Sultan Hamengkubuwono 1 bermarkas saat perang tahta III.
Jalan besar di kanan kiri Kemagangan menggambarkan juga pengaruh negatif dan positif
atas perkembangan sang anak. Hendaknya sang anak dididik mengarahkan cita-citanya lurus
ke utara ke keraton, tempat sri sultan bersemayam. Di sini ia dapat mencapai yang dicita-
citakan asal mau bekerja keras dengan baik, patuh pada aturan, setia dan selalu ingat kepada
Tuhan, semua ini digambarkan oleh apa yang dapat kita lihat di keraton sampai sekarang.

Bangsal Kemagangan

Bangsal ini berfungsi sebagai tempat persiapan bagi abdi dalem kraton yang hendak
diwisuda (baik menjadi abdi dalem baru atau kenaikan pangkat) oleh Penguasa Kraton
Kasultanan Yogyakarta. Selain itu di dalam bangsal ini juga digunakan sebagai tempat
Upacara Tumplak Wajik atau prosesi awal pembuatan gunungan grebeg. Lokasi Bangsal
Magangan Kraton Kasultanan Yogyakarta berada di sebelah selatan Bangsal Kencono yang
dipisahkan oleh tembok kraton. 

Menuju ke utara yaitu memasuki kawasan halaman Kedhaton berbagai gugusan bangunan
dan pepohonan yang ada melambangkan proses kehidupan manusia yang mencapai
kemapanan. Di selatan Komplek Sri Manganti terdapat Regol Donoratomo, dimana regol ini
menghubungkan antara Komplek Sri Menanti dan Komplek Kedhaton.
Sri Manganti Gerbang Rego Donoratomo

Komplek ini juga terdapat Bangsal Trajumas yang berada di sebelah timur. Dahulu tempat ini
menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan pada saat menyambut para tamu.
Sedangkan versi lain mengatakan, kemungkinan tempat ini menjadi Balai Pengadilan. Sekarang
tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka di antaranya lain berupa tandu dan
meja hias. Bangsal-bangsal ini pernah runtuh pada gempa bumi yang mengguncang Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah tanggal 27 Mei 2006. Setelah diadakan proses restorasi
yang memakan waktu lumayan lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah kembali
lagi berdiri pada tempatnya semula. Sedangkan di timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam
buatan Sultan Hamengkubuwono II yang terlihat mengapit sebuah prasasti berbahasa dan
berhuruf Cina. 

Bangsal Trajumas
Secara lahir dan batin sudah siap untuk menjalankan dan mengembangkan
kehidupannya. Di pelataran Kedhaton ditanam pohon sawo kecik, hal ini melambangkan
bahwa proses kehidupan tersebut harus dijalani secara baik. Tahapan tersebut merupakan
sebuah persiapan manusia untuk dapat menjalankan amanah sebagai seorang pemimpin.
Keberadaan beberapa bangunan yaitu Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencono dan Gedhong
Jene melambangkan hal itu.
Kompleks Kedhaton

Di bagian pelataran Kedaton yaitu Bangsal Kencono yang menghadap ke timur


merupakan balairung utama istana. Di tempat ini sering dilaksanakan berbagai upacara untuk
keluarga Kerajaan. Selain itu juga upacara kenegaraan. Pada keempat sisi bangunan ini
terdapat Tratag Bangsal Kencana, yang dahulunya digunakan untuk latihan menari. Bangsal
Kencono mempunyai warna kuning keemasan, hal itu melambangkan sifat bahwa segala
sesuatunya harus bersandar kepada apa yang berasal dari Keagungan Tuhan. Gedhong Jene
yang bercat kuning melambangkan tempat roh yang sudah hening, bening dan murni, yaitu
surga yang abadi.

Bangsal Kencono

Di dalam Bangsal Prayeksa tersimpan Api Abadi atau Kyai Wiji. Api yang tidak pernah
padam, yang melambangkan benih yang tidak akan punah berkat Tuhan Yang Maha Esa.
Semua ini melambangkan perjalanan manusia yang seharusnya dituntun oleh cahaya yang
agung, yang terang benderanguntuk sampai pada satu tempat tertentu yang abadi dan
langgeng.

5. Alun-alun Lor
Alun-alun utara atau dalam Bahasa Jawa disebut Alun-alun Lor merupakan salah satu
land mark Kota Yogyakarta yang berupa sebuah tanah lapang yang berada di depan Keraton
Yogyakarta. Disebut Alun-alun Lor karena di Kota Yogyakarta terdapat dua alun-alun yang
letaknya di sebelah selatan dan utara dari Keraton Yogyakarta. Alun-alun Lor yang terletak di
depan Pagelaran merupakan gambaran suasana yang ngelangut yakni suasana tanpa tepi,
suasana hati manusia dalam samadi yang di dalamnya ada banyak godaan atau cobaan yang
tercermin dari luasnya alun-alun sebagai gambaran luasnya masyaralat dengan berbagai dan
sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk madhep (menghadap) Tuhan. Dua buah
pohon beringin yang terletak di tengah-tengah Alun-alun Lor menggambarkan kesatuan
antara mikrokosmos dan makrokosmos. Pohon beringin di tengah alun-alun ini dinamakan
Janandaru dan Dewandaru. Kyai Janandaru melambangkan hubungan manusia dengan
manusia lainnya sedangkan Kyai Dewandaru melambangkan hubungan antara manusia
dengan Tuhan.
Dahulu permukaan alun-alun adalah pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat
latihan perang-perangan prajurit, tempat mengadu macan dengan binatang atau manusia
(rampogan), tempat mengumpulkan kawula/prajurit, yang bertujuan untuk unjuk kehebatan di
hadapan Sultan. Sultan dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu bagian muka
keraton yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi para prajuritnya. Alun-
alun Lor juga digunakan untuk Tapa Pepe, yaitu suatu bentuk unjuk diri dari rakyat agar
didengar dan mendapat perhatian dari sultan. Alun-alun juga digunakan untuk tempat
penyelenggaraan pasar malam menjelang Upacara Garebeg Sekaten. Bahkan juga sering
digunakan untuk berbagai keperluan (olah raga, rapat akbar, perayaan hari besar agama
maupun hari besar nasional lainnya), untuk mengumpulkan orang dalam keperluan tertentu
dan darurat.
Konsep alun-alun ini dikelilingi empat unsur penting sebuah pemerintahan, yakni istana di
bagian selatan dari alun-alun, masjid di sisi barat alun-alun, pasar di utara alun-alun, dan
penjara di sisi timur alun-alun. Hal tersebut masih dapat dilihat di Keraton Kasultanan
Yogyakarta. Pasar berada di timur-utara keraton, yakni Pasar Beringharjo yang letaknya
dengan masjid dipisahkan oleh satu ruas jalan untuk menunjukkan pemisahan makna simbolik
keduanya, dimana yang satu melambangkan keduniawian sedangkan yang lain
melambangkan kesucian (kehidupan rohaniah). Empat lokasi penting tersebut melambangkan
empat penjuru mata angin.

Alun-alun Lor
6. Tugu Pal Putih
Tugu Pal Putih dapat ditemui di persimpangan antara Jalan Margo Utomo (dulu dikenal
dengan Jalan Pangeran Mangkubumi), Jalan A.M. Sangaji, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan
P. Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus
menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta. Makna filosofis dari Tugu Pal Putih
adalah langkah awal atau langkah pertama dalam perjalanan menuju ke alam keabadian. Tugu
Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Tugu Pal Putih
melambangkan lingga (alat kelamin laki-laki). Lingga adalah asal dari keluarnya sperma atau
benih kehidupan. Secara filosofis Tugu Pal Putih ini bernilai cerita awal perjalanan manusia
untuk menghadap Sang Pencipta. Manusia akan selalu dimulai pada saat kelahirannya dan
kelahirannya didahului dengan proses benih kehidupan yang ada di rahim perempuan. Tugu
ini secara simbolik menunjukkan kesadaran kepada manusia agar bersatu dalam kebersamaan
menuju Sang Pencipta. Konsep ini didalam budaya Jawa yang sering disebut sebagai
Manunggaling Kawula Kalawan Gusti atau bersatunya hamba (manusia) dengan Sang
Pencipta.
Gempa yang mengguncang Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867 membuat bangunan
tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna
persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu. Keadaan benar-benar berubah pada
tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk
persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat
dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing.
Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih
rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau
Tugu Pal Putih.

7. Gunung Merapi
Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat
kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang
digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan
Laut Kidul - Panggung Krapyak - Keraton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi.
Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai
menghadap kepada sang Maha Pencipta.
Gunung Merapi sebagai terminal akhir dalam proses “Sumbu Imajiner” diyakini pula
sebagai Surga pangratunan, yang berasal dari kata antu, yang artinya menanti, yakni menanti
sevelum roh diinjinkan masuk surga, yaitu kembali kepada Sang Pencipta.
Setiap tanggal 30 bulan Rajab, di Merapi dilaksanakan upacara tahunan Labuhan Merapi.
Labuhan Merapi merupakan upacara tahunan yang dilaksanakan keraton Ngayogyakarta
dengan waktu pelaksanaan selama dua hari. Labuhan Merapi diadakan dalam rangka
memperingati Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X, sekaligus bentuk rasa syukur dan doa
bagi keselamatan raja keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Upacara Labuhan ini dimaknai
sebagai sebuah persembahan doa kepada Tuhan yang Maha Esa juga tanda penghormatan
bagi leluhur keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, serta memberi sedekah kepada makhluk
halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari
marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila
perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.
Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi
merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan
murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak
harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu
diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaidah-kaidah keseimbangan alam, yang
selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.
4.2.2 Taman Sari
Tamansari dibangun pada masa awal pembangunan Kraton Yogyakarta atau pada
masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785 M. Pembangunan
Tamansari merupakan penghargaan kepada istrinya yang turut menderita sewaktu
Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I berperang. Tamansari
memiliki arti “taman yang indah”. Lokasi Tamansari terletak 500 meter arah barat daya
Kraton.

Pada zaman dahulu, Tamansari merupakan taman air yang indah dan mutakhir
dengan area antara tenggara taman sampai perempatan kota oleh karena itu Tamansari
sering disebut dengan Istana Air (Water Castle). Tamansari terletak pada area yang
disebut Kampung Segaran yang dahulu kala terisi dengan air. Area ini sekarang
dinamakan Suryoputran. Segaran berasal dari bahasa jawa yang berarti laut buatan. Air
yang ada di Komplek Tamansari ini dialirkan dari sungai Winongo yang mengalir di
sebelah barat Tamansari. Air tersebut dialirkan kesegaran yang merupakan tempat
mengumpulkan dan mengatur air yang akan digunakan untuk mengisi kolam-kolam
melalui parit-parit buatan. Dahulu di Komplek Tamansari terdapat kebun buah-buahan,
namun sekarang kebun-kebun tersebut sudah berubah menjadi pemukiman penduduk.

4.2.2.1 Fungsi Tamansari

Tamansari selain sebagai Kawasan Cagar Budaya di Kota Yogyakarta memiliki 3


fungsi yang berubah – ubah seiring perkembangan zaman, berikut fungsi dari Tamansari :

1. Tempat Pertahanan dan Perlindungan, terlihat dari :


 Adanya benteng keliling yang tinggi.
 Adanya bastion (Baluwer) untuk menempatkan senjata.
 Gerbang atau gapura yang dilengkapi dengan beberapa tempat penjagaan
para prajurit dan abdi dalem.
 Adanya jalan bawah tanah yang dapat menghubungkan dari suatu tempat
ke tempat lainya: Margi Inggil ke Pulau Kenangan; Pula Kenangan ke
Sumur Gumuling; Sumur Gemuling ke Gerbang Segarasan sisi Barat
Tamanasari.
2. Tempat Religius

Bangunan yang difungsikan ntuk aktivitas religi dan meditasi bagi Sultan
yaitu Pulo Panembung dan Kolam Segaran. Pulo Panembung berada di Selatan
Pulo Kengan dan Sumur Gumuling berada di Barat Pulo Kenangan.

3. Tempat Persiar dan Rekreasi

Indikasi sebagai tempat pesiar dan peristirahatan dapat diketahui dari


adanya beberapa fasilitas antara lain: Umbul, Pasiramanan, Kolam, Segaran dan
Pertamanan. Perlu diketahui bahwa dahulu segaran dulu tersebut membentang
dari Pulo Kenangan sampai dengan Segaran Pulo Gedong di sisi Timur Kraton.
Air segaran dialirkan dari Bendungan Bendalole di Sungai Winanga daerah
Pingit, Barat Laut Kota melalui parit yang disebut Kali Larangan. Fasilitas
lainnya yang berkaitan dengan air, yaitu berupa kolam dan umbul, antara lain:
Umbul Binangun, Kolam Garjiwati, Pasiraman Umbulsari, dan Kolam Ngaluntak.

4.2.2.2 Pembagian Kompleks Tamasari

Tamansari terbagi menjadi 4 bagin kompleks, yaitu :

1. Danau buatan yang terletak di sebelah Barat.


2. Bangunan yang berada di sebelah Selatan danau buatan yaitu Pemandian Umbul
Binangan.
3. Paserean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di Selatan bagian
kedua.
4. Bagian sebelah Timur bagian pertama dan kedua meluas ke arah Timur sampai
Tenggara kompleks Magangan.

4.2.2.3 Bangunan di Tamansari

1. Gedong Gaoura Hageng

Gapura ini menghubungkan antara halaman segi delapan pertama


(pesaban) dengan halaman segi delapan kedua (Gedong Lopak - Lopak).
Merupakan pintu gerbang utama taman raja – raja pada zamannya.
2. Gedong Lopak – Lopak

Bangunan Gedong lopak – lopak terletak di tengah – tengah halam segi


delapan kedua. Dahulu berfungsi sebagai tempat mempersiapkan keperluan bagi
raja dan kerabtan Kraton untuk perjamuan buah – buahan ketika sedang berada di
Tamansari.

3. Pasiraman Umbul Binangun

Pada kompels Pasiraman Umbul Biangun terdapat tiga kolam, yaitu


Umbul Muncar, Umbul Kuras, dan Umbul Binangun serta dua bangunan. Kolam
pemadian di area ini dibagi menjadi tiga kolam Umbul Kawitan (kolam untuk
putra – putri Raja), Umbul Pamuncar (kolam untuk para selir), dan Umbul
Panguras (kolam untuk Raja).

4. Gedong Sekawan

Nama Gedong Sekawan diambil sesuai dengan jumlah bangunan yang


berada pada lokasi yaitu terdapat bangunan yang masing – masing berbentuk
persegi panjang berukuran 5,50 m x 6,50 m dan tinggi keseluruhan 5 m. Di
masing – masing depan pintu terdapat trap setengah lingkaran dan selasar di
sekeliling gedong.

5. Gedong Gapura Panggung

Gedong Gapura Panggung mempunyai lambang tahun dari dibangunnya


Tamansari yaitu dibangun pada tahun 1684 Jawa yaitu kira – kira pada tahun
1758 Masehi. Bangunan ini merupakan pintu masuk utama bagi wisatwan untuk
memasuki kompleks situs Pesanggrahan Tamansari.

6. Gedong Temanten

Gedong Temanten merupakan bangunan yang dahulu digunakan sebagai


salah satu tempat piket jaga yang disebut pecaosan abdi dalem. Jumlah bangunan
tersebut ada dua buah di kiri dan kanan jalan yang sejajar simetris. Nama
temanten sendiri berkaitan dengan keberadaan gedong yang jumlahnya dua buah
dan simetris seperti dengan bangunan “Sepasang temanten”.

7. Gedong Pengunjukan

Gedong Pengunjukan merupakan bangunan yang dahulu digunakan


sebagai tempat untuk mempersiapkan minuman bagi abdi dalem. Jumlah
bangunan tersebut berjumlah dua buah di kiri dan kanan jalan menuju Gapura
Panggung.

8. Gerbang Kenari

Gerbang kenari merupakan gerbang yang dahulu memiliki fungsii sebagai


pintu belakang di Pesanggrahan Tamansari, Kondisi dari gerbang pada saat ini
merupakan pintu depan utama untuk memasuki kawasan Tamansari. Gerbang ini
merupakan satu kesatuan dengan pagar yang membujur arah utara selatan di Jl.
Taman, KelurahanPatehan, Kecamatan Kraton.

9. Gerbang Taman Umbulsari (Gapura Umbulsari)

Gapura Tamansari yang menjadi gerbang pintu memasuki lingkangan ke


lingkungan bangunan Gedong Blawong Taman Umbulsari, dan sekitarnya. Letak
dari gapura ini segaris lurus dengan Gdong Malang yang terletak di sebelah timur
dan Gedong Blawong di sebelah barat. Pada saat ini Gerbang Taman Umbulsari
di bagian timur tertutup tembok bata sebuah bangunana baru, bangunan tersebut
merupakan bangunan sekolah.

10. Paserean Ledoksari

Paserean Ledoksari merupakan bangunan yang dahulu digunakan sebagai


tempat peraduan Sri Sultan dan garwa (isteri). Bentuk atap bangunan tersebut
model kampung dengan plesteran motif sirap. Ada tiga gugusan bangunan.
Keberadaan bangunan gedong paserean terpisah dengan bangunan lainnya,
sebagai penghubung terdapat fasilitas bangunan pendukung di kiri – kanannya.
Ntuk memasuki kompleks ini terdapat dua pintu, yaitu selatan dari arah Gedong
Blawong dan barat dari Gedong Madaran.
11. Gedong Madaran

Gedong Madara dahulu merupakan dapur atau tempat untuk


mempersiapkan konsumsi atau memasak untuk Sri Sultan beserta istrri dan
kerabatnya ketika berada di Tamansari. Indikasi sebagai dapur ditunjukan, dengan
adanya cerobong asap dari pasangan bata berplester yang terdapat di sisi timur
laut dan beberapa struktur menyerupai meja. Letak bangunan di sebelah tenggara
Gedong Carik dan barat Ledoksari. Bangunan Gedong madaran terbagi menjadi
enam ruangan yang masing – masing dihungkan dengan pintu dan dilengkapi
dengan jendela. Struktur dindin gedong utara menyatu dengan pasar yang
membujur dari arah Gedong Carik.

12. Pasiraman Umbul Sari

Pasiraman Umbulsari merupakan bangunan pasiraman yang terletak pada


satu kompeks dengan Paserean Ledoksari. Letaknya senderi berada di sebelah
selatan Gedong Blawong, untuk menuju ke Pasiraman Umbulsari dari gedong
tersebut dihubungkan dengan sebuah jalan berplester.

13. Gedong Blawong

Gedong Blawong merupakan bangunan yang dahulu digunakan sebagai


tempat mempersiapkan makanan bagi Sri Sultan, istri dan kerabatnya yang
berkunjung ke Tamansari. Letak gedong tersebut berada di sebelah selatan
Paserean Ledoksari.

14. Gedong Garjitawati

Gedong Garjitawati dahulu digunakan sebagai tempat para abdi dalem


ketika sedang melaksanakan tugas – tugasnyanya melayani Sri sultan di
lingkungan Paserean Ledoksari. Bangunan Gedong Garjitawati terletak di sebelah
utara kolam atau pasiraman.

15. Gedong Carik


Dahulu Gedong Carik digunakan sebagai tempat untuk menjalankan
kegiatan kesekretarian dan kepentingan birokrasi Kraton. Terutama pada saat Sri
Sultann sedang berada di Tamansari. Gedong tersebut juga merupakan sebuah
gerbang untuk memasuki Paserean Ledoksari dan Gedong Madaran.

16. Pongangan Barat atau Dermaga Peksi Beri

Dermaga Peksi Beri atau yang dikenal Pongangan Barat dahulu


merupakan tempat yang memiliki fungsi sebagai dermaga atau tempat perahu
berlabuh, terutama untuk Sri Sultan dan kerabatnya. Penamaan banguan tersebut
dikaitkan dengan adanya hiasan manuk beri di atas atap ponganan. Bangunan
memiliki bentuk empat persegi panjang, pada bagian utara terdapat ruang terbuka
sebagai pagar untuk tempat pemberhentian perahu.

17. Pogangan Timur

Pogangan Timur memiliki fungsi yang sama seperti dengan Pongangan


Bara, yaitu sebagai dermaga atau pelabuhan perahu. Perahu - perahu yang
berlabuh ialah perahu yang digunakan abdi dalem yang ada di Tamansari. Letak
bangunan ini berada di Pagar Segaran pada sisi selatan sebelah timur gerbang
menuju urung – urung atau jalan bawah tanah.

18. Gerbang Sumur Gumuling

Gerbang Sumur Gemuling merupakan pintu menuju ke Sumur Gemuling


yang dahulu memiliki dua pintu masuk yaitu pada bagian timur dan barat. Pintu
pada bagian barat sudah runtuh, sehingga untuk masuk ke tempat tersebut hanya
dapat diakses melalui pintu pada bagian timur yang terletak pada sebelah barat
Pulau Kenanga.

19. Sumur Gumuling

Sumur Gemuling dahulu memiliki fungsi sebagai tempat ibadah atau


kegiata – kegiatan religious, hal ini dapat dilihat pada bangunan tersebut yang
memiliki semacam mihrab atau tempat pengimaman. Bangunan Sumur Gemuling
berbentuk bulat atau lingkaran berlantai dua.
20. Pulo Panembung (Sumur Gumantung)

Pulo Panembung atau Sumur Gumantung merupakan tempat yang


berfungsi sebagai Sri Sultan melakukan kegiatan religious atau sprirituap seperti
bersemedi atau kontemplasi. Hal ini sesuai dengan nama Panembung yang
memiliki arti dari kata “nembung” atau “tembung” yang artinya sebagai tempat
untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa. Letak dari bangunan ini berada di
tengah – tengah antara Pulo Kenangan dan Margi Inggil di Pasar Segaran pada
sisi selatan.

21. Pulo Kenanga


Pulo kenanga merupakan bangunan tertinggi yang ada di Tamansari
dibandingkan dengan bangunan lainnya dan sekitarnya. Gedong Pulo Kenanga
memiliki fungsi sebagai tempat peristirahatan dan pelaksanaan beberapa kegiatan
kesenian seperti pertunjukan tari, musik, kerajinan batik dan lainnya. Bagian atas
Gedong Pulo kenga sebagai tempat untuk melihat panorama sekitar kompleks
Pesanggrahan Tamansari dan sekitar Kraton. Nama “Kenanga” sesuai dengan
keberadaan taman bunga kenanga yang berada di sekitar halaman gedong
tersebut.

4.2.3 Ruang Publik Malioboro


Malioboro dalam Bahasa sansekerta mempunyai arti “Kenganan Bunga”. Hal ini
dikarenakan jalan malioboro dulu sering dipakai untuk meletakan karangan bunga saat peryaan
hari besar keraton Yogyakarta Hadiningrat. Namun, fungsinya mulai berubah menjadi jantung
kegiatan ekonomi semenjak pasar tradisional Bringharjo didirikan di Kawasan 250 tahun silam.
Lambat laun pertokoan mulai tumbuh subur dan memadati kanan-kiri jalan. Dan kini malioboro
bukan hanya sekedar sebagai kegiatan ekonomi, namun juga magnet pariwisata sekaligus sebagai
salah satu ikon kota Yogyakarta.

Bagi sebagaian pedagang, malioboro adalah denyut dari kehidupan atau tempat
menjejalkan diri dengan kesibukan demi sesuap nasi, lain bagi wisatawan yang berkunjung ke
malioboro adalah surga tempat berbelanja memuaskan hasrat hedonism, sedangkan bagi
mahasiswa, Malioboro adalah tempat pilihan dalam melepas penat setelah berkutat dengan
kegiatan perkuliahan. Menghabiskan malam dengan nongkrong di angkringan pinggir jalan
Bersama teman atau sekedar menikmati kesibukan kota malam hari serta sambal melihat ratusan
langkah kaki dan pertokoan di sepanjang jalan. Bagi para masyarakat sementara maloboro punya
arti tersendiri, tidak hanya sekedar ruang secara fisik (wadah untuk melakukan berbagai
aktivitas) namun juga ruang untukmenyimpan cerita nostalgia.

Malioboro menunjukan bahwa ruang public yang terbuka bagi semua dan divergen
adalah ruang yang paling baik. Ruang yang tidak melupakan nilai sosial masyarakat yang
semenjak dulu telah menjadi core sebuah kota. Dijalan Malioboro juga sering dilakukannya
pertunjukan atau pagelaran seni budaya supaya para wisatawan yang berada di jalan Malioboro
dapat mengetahui lebih luas tentang berbagai macam budaya yang berada di Indonesia,
contohnya pagelaran seni budaya yang pernah ditampilkan di jalan Malioboro yaitu:

1. Pawai Pembukaan, tanggal 4 Juli 2019 Pawai Pembukaan FKY 2019 akan dimulai dari 2
titik, yaitu Kepatihan dan Alun-alun Pakualaman. Rombongan kemudian akan bertemu di
kawasan 0 kilometer, tepatnya di depan Gedung Museum Sonobudoyo (eks-KONI).

2. Program Wirama - Wiraga - Wirasa, tanggal 8 sampai 6 Juli 2019 Wirama adalah
program berupa pameran seni rupa yang dilaksanakan di Gedung Museum Sonobudoyo.
Wiraga adalah pameran instalasi publik berupa odong-odong yang dihias aksara Jawa dan
dilaksanakan di Alun-alun Kidul Yogyakarta. Selain pameran, pada hari pertama Wiraga
juga akan digelar wayang kulit semalam suntuk. Wirasa merupakan event lokakarya yang
dipandu seniman musik untuk membuat komposisi musik 'Kinanthi Sandung' di pendapa
Taman Siswa.
Beberapa penampilan yang pernah tayang di jalan malioboro diantaranya adalah YK
Brass Ensemble di Inna Garuda, Pemutaran film di Perpustakaan Malioboro, Pentas
Wayang Beber, orchestra youth camp MSO, tarian reog, cakil squad macapatan di
Malioboro mal. Sementara ada penampilan music jazz di coffee corner pertigaan jalan
Dagen; Lelaku Gamelan Virtual, videowall exhibition di depan Hotel Mutiara; Dialog
Budaya dan Gelar Seni “Yogya Semesta” di gerbang barat Kepatihan; Gelar Seni dan
Potensi UKM Ekspos Sejarah di Plaza SO1 Maret: Pembelajaran Pantomim di titik nol
kilometer; Barongsai Hoo Happ Hwee di Gapura Ketandan; Workshop dan performance
di depan Hamzah Batik; campursari di depan Pasar Beringharjo.

Pentas Wayang Di Jalan Malioboro, Dalang Cilik 3 Tahun


Belasan Ogoh – Ogoh Di Arak Sepanjang Jalan Malioboro

Pertunjukan Seni Music Angklung Di Jalan Malioboro

Pertunjukan Pagelaran Peresean, Tarian Adat Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat
Pertunjukan Gendang Beleq Di Jalan Malioboro
BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan diatas adalah dimana di kota Yogyakarta terdapat sumbu
imajiner dimana garis ini membentang dari pantai selatan sampai ke gunung merapi, yang
memiliki urutan yaitu Pantai Selatan - Panggung Krapyak - Alun – alun Selatan - Keraton -
Alun-alun Lor - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi, dimana garis imajiner tersebut memiliki arti
Sumbu imajiner ini melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam. Dan dari setiap objek memiliki
filisofi berbeda – beda contohnya Panggung Krapyak ke utara hingga Kraton melambangkan
sejak bayi dari lahir, beranjak dewasa, berumah tangga hingga melahirkan anak , Tugu ke Kraton
melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta. Serta pusat dari sumbu imajiner
tersebut ada di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimana keraton ini merupakan tempat yang
di anggap suci oleh orang Yogyakarta karena keraton merupakan tempat tinggal raja.

Anda mungkin juga menyukai