Disusun Oleh:
Muhammad Dafa Murtado 17240
21
17240
Ghestiar Kharisma Kusumo
47
17240
Lalu Gde M Neq Mas Prabu TL
48
17240
Mita Nur Bulan Sari
62
17240
Tasya Almira Syah Putri 69
1.2.1 Tujuan
Tujuan dari laporan ini yaitu mengidentifikasi filsafat budaya di kota Yogyakarta dan
kota Surakarta.
1.2.2 Sasaran
1. Untuk Indentifikasi Sumbu Imaginier Kota Yogyakarta
2. Untuk Mengetahui Fungsi Pembagian Ruang Di Taman Sari
3. Mengindentifikasi Ruang Publik Di Jalan Malioboro
4. Untuk Mengidentifikasi Kota Surakarta Dalam Konteks Budaya
Kota Solo merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang
dalam perkembangannya. Semenjak terbentuk dari zaman kerajaan hingga sekarang,
pertumbuhan dan perkembangan Kota Sala sangat dipengaruhi oleh dinamika pemerintahannya.
Dualisme kepemimpinan yang terjadi pada masa kerajaan, yaitu antara Kraton Surakarta dengan
Pemerintah Kolonial, menentukan pola bentukan ruang kota dengan unsur nilai dan simbol
kebudayaan yang dianut dua penguasa tersebut. Kebudayaan Solo yang masih kental hadir
disetiap sudut kota, menjadikan keunikan tersendiri bagi Solo. Tiap sudut kota juga berhiaskan
ornamen khas Solo yang masih bertahan hingga sekarang, seperti gapura berlukiskan motif batik,
patung-patung wayang menghias jalan-jalan, lampu kota ala zaman dahulu juga masih
tergantung indah, restoran-restoran dengan suasana tempo dulu, belum lagi beberapa gedung
perkantoran yang tetap dipertahankan keaslian arsitekturnya dari zaman ke zaman. Pemandangan
ini membawa wisatawan yang singgah merasa betah. Pada masa kerajaan, Kota Sala merupakan
ibu kota baru yang memiliki kekhususan dibanding semua ibu kota kerajaan dari Kota Gede
sampai Kartasura. Dilihat dari pola dan morfologi pusat kotanya, Kota Sala tampak meniru pola
yang ada di Kartosuro. berbeda dengan Plered dan Kota Gede, karena letak geografisnya, kedua
kota ini mengambil Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan sebagai orientasi
makrokosmosnya. Di Kartosuro hal ini tidak mungkin, karena lokasinya berada disebelah timur
gunung Merapi. Sehingga kemudian dikembangkan sumbu timur-barat yang melintang alun-alun
(lor) sejak pusat kota Kartosuro agar tidak kehilangan legitimasi spiritual. Di Kota Sala sumbu
timur-barat juga hadir. Meskipun tidak dalam satu garis lurus di tengah alun-alun karena adanya
masjid Agung.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Budaya
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, beberapa definisi tentang budaya
yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu menurut
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli dapat disimpulkan bahwa budaya adalah
suatu kebiasan yang berasal dari kehidupan masa lalu baik itu kepercayaan, pengetahuan, adat
istiadat, perilaku maupun kesenian yang tetap di pertahankan hingga saat ini yang masih
dipercaya oleh masyarakat tentang keberadaannya baik itu dari alam maupun yang diwariskan
dari orang dahulu.
1. alat-alat teknologi
2. sistem ekonomi
3. keluarga
4. kekuasaan politik
• Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
1. sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
2. organisasi ekonomi
3. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama)
4. organisasi kekuatan (politik)
• Adapun unsur-unsur kebudayaan universal menurut Koentjaraningrat (2002: 203), adalah:
“unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universals. 7 unsur kebudayaan itu
adalah:
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi,
7. Kesenian,
Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud
kebudayaan terurai di atas, yaitu wujudnya sistem budaya, berupa sistem sosial, dan berupa
unsurunsur kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 2009: 164-165).
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas,
dan artefak.
Budaya bermukim yang dianut masyarakat di suatu tempat merupakan bagian dari budaya
masyarakat keseluruhan seperti halnya adat istiadat. Kelompok masyarakat tradisional memiliki
tata cara turun temurun yang diwarisi sebagai bagian yang tak terlepaskan seperti halnya sebuah
nama yang melekat pada diri seseorang. Lain tempat akan lain pula situasinya, sehingga pola-
pola perilaku masyarakatnya berbeda-beda.
Dalam waktu yang telah berlangsung lama, (beberapa generasi) telah memiliki budaya
bermukim yang memiliki ciri khas tersendiri. Dan diakui dalam waktu yang lebih lama konsep
yang dikembangkan secara evaluasi dan adaptasi itu dianggap sebagai konsep yang cocok dalam
tatanan kehidupan komunitasnya. Konsep permukiman beberapa masyarakat adat di masing-
masing daerah memiliki ciri khas tersendiri yang memiliki kelebihan dan kekuranganya sejauh
itu dikaitkan dengan budaya dan kondisi alamnya. Tatanan komunitas yang cocok dalam
masyarakat selalu berusaha dipertahankan lebih lama sesuai dengan kemampuan dan
perkembangan yang terjadi. Masyarakat pada dasarnya akan berusaha membentuk keseimbangan
yang dapat mempertahankan konsep-konsep yang baik serta terus berusaha meningkatkannya
menjadi lebih baik lagi. Jarang sekali masyarakat melakukan perubahan sporadis terhadap
kondisi yang sudah ada, kecuali revolusi
Dalam konteks budaya berkait dengan ruang permukiman, Yi-Fu Tuan (1977: 5) menyatakan
untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat (place)dan
ruang(space)harus dikaitkan dengan budaya. Budaya sifatnya unik, antara satu tempat dengan
tempat lain bisa sangat berbeda maknanya. Selanjutnya manusia akan mengekspresikan dirinya
pada lingkungan dimana dia hidup, sehingga lingkungan tempat tinggalnya akan diwujudkan
dalam berbagai simbolisme sesuai dengan budaya mereka. Bagaimana manusia me-milih tempat
tertentu dan menggunakan berbagai kelengkapan, ataupun berbagai cara untuk berko-munikasi
pada dasarnya merupakan “bahasa” manusia. Pola ini tidaklah semata dilihat dalam kaitan
dengan lingkungan semata, akan tetapi pada waktu yang bersamaan juga merupakan perwujudan
budaya mereka (Locher, 1978: 171).
Pada awal perkembangannya permukiman kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros
besar Selatan Utara, Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh
di sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan Malioboro
dan kemudian hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung
dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya.
Pada awal abad ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat
dan padat. Istana atau Kraton yang terletak di pusat kota dikelilingi oleh bangunan benteng dan
wilayah yang ada di dalamnya dikenal sebagai daerah “Jero Benteng” atau “Jeron Benteng” atau
“Dalam benteng”. Daerah di dalam benteng itu melingkupi Alun-alun Utara, Tratag, Pagelaran,
Sitihinggil, Prabayaksa, Kraton Kilen, tempat tinggal raja, dan Alun-alun Kidul. Sebagian dari
para bangsawan kerabat dekat raja juga tinggal di dalam Jero Benteng. Selain itu di dalam Jero
Benteng juga terdapat sejumlah kampung tempat abdi dalem kraton yang bertugas sehari-hari
melayani kraton.
BAB III
METODE PEMBAHASAN
4.1.1 Data
Kota Surakarta juga disebut Solo adalah wilayah otonom dengan status kota di bawah
Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng
pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m diatas permukaan air
laut. Dengan Luas sekitar 44 Km2, Kota Surakarta terletak diantara 110 45` 15″ – 110 45` 35″
Bujur Timur dan 70` 36″ – 70` 56″ Lintang Selatan. Kota dengan luas 44 km2. Kota ini juga
merupakan kota terbesar ketiga di pulau Jawa bagian selatan setelah Bandung dan Malang
menurut jumlah penduduk. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu
lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Surakarta merupakan pewaris
Kesultanan Mataram yang dipecah melalui Perjanjian Giyanti, pada tahun 1755. secara
administrasi batas wilayah Kota Surakarta adalah sebagai berikut:
Banyak istilah yang diukir untuk kota yang terkenal dengan kesultanannya ini. Dengan
tata ruang yang memiliki banyak filosofi maka pantaslah Yogyakarta memiliki gelar istimewa.
Salah satunya yaitu perjalanan dari Krapyak menuju Tugu. Planologi kota Yogyakarta juga
didasarkan pada keserasian makna filosofis sumbu imaginer yang merupakan garis lurus
Krapyak-Kraton-Tugu, yang masing-masing di antaranya berdiri bangunan-bangunan yang
mempunyai arti dan makna tentang proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai mati.
Panggung Krapyak
4. Keraton
Keraton Yogjakarta merupakan salah satu peninggalan kebudayaan tradisional yang
dimiliki masyarakat Jawa. Berbagai lambang di keraton banyak diketemukan dalam segala
segi kehidupan, misalnya saja bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penempatan
tempat duduk, menyimpan dan memelihara barang pusaka keraton dan seterusnya. Dirsiti
Soeratman menjelaskan bahwa keraton menyimpan dan melestarikan nilai-nilai lama,
mengenai folklor dan beberapa mitos. Mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan budaya,
yang menjadi model atau referensi tindakan serta sikap manusia (PS. Hary Susanto, 1986: 71-
72).
Kawasan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bangunan cagar budaya yang
terdiri dari serangkaian ruang dan bangunan yang memiliki nama, fungsi, pelingkup serta
vegetasi tertentu. Serangkaian ruang-ruang terbuka di dalam keraton disebut plataran.
Setiap plataran dihubungkan dengan regol atau gerbang yang merupakan pembatas
antara plataran satu dengan yang lainnya.
Di sisi selatan terdapat tanah yang ditinggikan sekitar 150cm dari permukaan tanah
disekitar, hal ini mengandung makna dan artinya kenaikan sukma atau kondisi bayi dalam
kandungan ibu yang sudah menunggu saatnya untuk lahir yang di sebut sasana inggil atau Siti
Hinggil, dimana Komplek Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk penyelenggaraan
upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada tanggal 19 Desember 1949 digunakan untuk
meresmikan Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah dan
sekitarnya dengan jarak 2 jenjang untuk naik. Di sisi utara dan selatan diantara Komplek
pagelaran dan Siti Hinggil juga ditanami dengan sederetan pohon Gayam. Bangsal Siti
Hinggil sendiri merupakan bangunan yang tertinggi di Keraton. Siti Hinggil atau tanah yang
ditinggikan mengandung arti dan makna Kenaikan Sukma. Kedudukan Sultan yang sedang
berada di Siti Hinggil dan duduk (sinewoko) di bangsal Manguntur Tangkil diibaratkan
sebagai Kalifatullah yaitu wakil Tuhan di muka bumi. Bangsal Siti Hinggil merupakan
bangsal \yang mengandung nilai spiritual. Pada saat Sultan duduk di atas singgasana maka
pandangan beliau harus lurus menuju ke utara bersatu dengan titik di ujung Tugu Pal Putih
yang melambangkan Manunggaling Kawula – Gusti.
Di sekeliling bangunan Siti Hinggil ini terdapat jalan yang menuju ke halaman
Kemagangan. Bangsal kemagangan berada di tengah halaman besar digunakan sebagai
tempat upacara Bedhol songsong dahulu berfungsi sebagai tempat berlatih pada abdi dalem,
pada saat ini bangsal kemagangan digunakan untuk pementasan wayang kulit maupun
beberapa kegiatan lainnya. Setelah meninggalkan Siti Hinggil, sebelum memasuki pagelaran
akan dijumpai Tarub Hagung tepat di depan Tratag Siti Hinggil. Bangunan ini berdiri di atas
4 tiang tinggi berupa pilar besi dan mempunyai bentuk bujur sangkar. Bangunan ini
mempunyai arti bahwa siapa yang sedang samadi akan merasa selalu dalam keagungan.
Jalan di kiri kanan Siti Hinggil ini disebut Pamekang. Pamekang berasal dari kata
mekangkang, posisi yang kaki yang berjauhan satu sama lain. Posisi ini mennujukkan
keadaan seorang ibu yang akan melahirkan. Pamekang menurut Puspodiningrat artinya
adalah mengungkap atau mengeluakan (melahirkan). Bagian kiri dan kanan tratag Siti
Hinggil terdapat tanaman gayam yang bungannya berwarna. Hal ini mmpunyai makna ayom
– ayem (tentram) dan ngrembaka (berkembang). Dari jalan Pamekang ini ke arah utara terus
menuju regol dan halaman Kemandhungan.
Kemandungan berasal dari kata kandungan. Kandungan ibu yang siap melahirkan dan
akan melahirkan. Bayi yang lahir pada saat ini dan seterusnya dilambangkan akan melalui
regol Gadhungmlati, yang warnanya hijau putih, melambangkan bayi yang masih suci dan
tentram.
Bangsal Kemagangan
Bangsal ini berfungsi sebagai tempat persiapan bagi abdi dalem kraton yang hendak
diwisuda (baik menjadi abdi dalem baru atau kenaikan pangkat) oleh Penguasa Kraton
Kasultanan Yogyakarta. Selain itu di dalam bangsal ini juga digunakan sebagai tempat
Upacara Tumplak Wajik atau prosesi awal pembuatan gunungan grebeg. Lokasi Bangsal
Magangan Kraton Kasultanan Yogyakarta berada di sebelah selatan Bangsal Kencono yang
dipisahkan oleh tembok kraton.
Menuju ke utara yaitu memasuki kawasan halaman Kedhaton berbagai gugusan bangunan
dan pepohonan yang ada melambangkan proses kehidupan manusia yang mencapai
kemapanan. Di selatan Komplek Sri Manganti terdapat Regol Donoratomo, dimana regol ini
menghubungkan antara Komplek Sri Menanti dan Komplek Kedhaton.
Sri Manganti Gerbang Rego Donoratomo
Komplek ini juga terdapat Bangsal Trajumas yang berada di sebelah timur. Dahulu tempat ini
menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan pada saat menyambut para tamu.
Sedangkan versi lain mengatakan, kemungkinan tempat ini menjadi Balai Pengadilan. Sekarang
tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka di antaranya lain berupa tandu dan
meja hias. Bangsal-bangsal ini pernah runtuh pada gempa bumi yang mengguncang Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah tanggal 27 Mei 2006. Setelah diadakan proses restorasi
yang memakan waktu lumayan lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah kembali
lagi berdiri pada tempatnya semula. Sedangkan di timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam
buatan Sultan Hamengkubuwono II yang terlihat mengapit sebuah prasasti berbahasa dan
berhuruf Cina.
Bangsal Trajumas
Secara lahir dan batin sudah siap untuk menjalankan dan mengembangkan
kehidupannya. Di pelataran Kedhaton ditanam pohon sawo kecik, hal ini melambangkan
bahwa proses kehidupan tersebut harus dijalani secara baik. Tahapan tersebut merupakan
sebuah persiapan manusia untuk dapat menjalankan amanah sebagai seorang pemimpin.
Keberadaan beberapa bangunan yaitu Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencono dan Gedhong
Jene melambangkan hal itu.
Kompleks Kedhaton
Bangsal Kencono
Di dalam Bangsal Prayeksa tersimpan Api Abadi atau Kyai Wiji. Api yang tidak pernah
padam, yang melambangkan benih yang tidak akan punah berkat Tuhan Yang Maha Esa.
Semua ini melambangkan perjalanan manusia yang seharusnya dituntun oleh cahaya yang
agung, yang terang benderanguntuk sampai pada satu tempat tertentu yang abadi dan
langgeng.
5. Alun-alun Lor
Alun-alun utara atau dalam Bahasa Jawa disebut Alun-alun Lor merupakan salah satu
land mark Kota Yogyakarta yang berupa sebuah tanah lapang yang berada di depan Keraton
Yogyakarta. Disebut Alun-alun Lor karena di Kota Yogyakarta terdapat dua alun-alun yang
letaknya di sebelah selatan dan utara dari Keraton Yogyakarta. Alun-alun Lor yang terletak di
depan Pagelaran merupakan gambaran suasana yang ngelangut yakni suasana tanpa tepi,
suasana hati manusia dalam samadi yang di dalamnya ada banyak godaan atau cobaan yang
tercermin dari luasnya alun-alun sebagai gambaran luasnya masyaralat dengan berbagai dan
sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk madhep (menghadap) Tuhan. Dua buah
pohon beringin yang terletak di tengah-tengah Alun-alun Lor menggambarkan kesatuan
antara mikrokosmos dan makrokosmos. Pohon beringin di tengah alun-alun ini dinamakan
Janandaru dan Dewandaru. Kyai Janandaru melambangkan hubungan manusia dengan
manusia lainnya sedangkan Kyai Dewandaru melambangkan hubungan antara manusia
dengan Tuhan.
Dahulu permukaan alun-alun adalah pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat
latihan perang-perangan prajurit, tempat mengadu macan dengan binatang atau manusia
(rampogan), tempat mengumpulkan kawula/prajurit, yang bertujuan untuk unjuk kehebatan di
hadapan Sultan. Sultan dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu bagian muka
keraton yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi para prajuritnya. Alun-
alun Lor juga digunakan untuk Tapa Pepe, yaitu suatu bentuk unjuk diri dari rakyat agar
didengar dan mendapat perhatian dari sultan. Alun-alun juga digunakan untuk tempat
penyelenggaraan pasar malam menjelang Upacara Garebeg Sekaten. Bahkan juga sering
digunakan untuk berbagai keperluan (olah raga, rapat akbar, perayaan hari besar agama
maupun hari besar nasional lainnya), untuk mengumpulkan orang dalam keperluan tertentu
dan darurat.
Konsep alun-alun ini dikelilingi empat unsur penting sebuah pemerintahan, yakni istana di
bagian selatan dari alun-alun, masjid di sisi barat alun-alun, pasar di utara alun-alun, dan
penjara di sisi timur alun-alun. Hal tersebut masih dapat dilihat di Keraton Kasultanan
Yogyakarta. Pasar berada di timur-utara keraton, yakni Pasar Beringharjo yang letaknya
dengan masjid dipisahkan oleh satu ruas jalan untuk menunjukkan pemisahan makna simbolik
keduanya, dimana yang satu melambangkan keduniawian sedangkan yang lain
melambangkan kesucian (kehidupan rohaniah). Empat lokasi penting tersebut melambangkan
empat penjuru mata angin.
Alun-alun Lor
6. Tugu Pal Putih
Tugu Pal Putih dapat ditemui di persimpangan antara Jalan Margo Utomo (dulu dikenal
dengan Jalan Pangeran Mangkubumi), Jalan A.M. Sangaji, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan
P. Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus
menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta. Makna filosofis dari Tugu Pal Putih
adalah langkah awal atau langkah pertama dalam perjalanan menuju ke alam keabadian. Tugu
Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Tugu Pal Putih
melambangkan lingga (alat kelamin laki-laki). Lingga adalah asal dari keluarnya sperma atau
benih kehidupan. Secara filosofis Tugu Pal Putih ini bernilai cerita awal perjalanan manusia
untuk menghadap Sang Pencipta. Manusia akan selalu dimulai pada saat kelahirannya dan
kelahirannya didahului dengan proses benih kehidupan yang ada di rahim perempuan. Tugu
ini secara simbolik menunjukkan kesadaran kepada manusia agar bersatu dalam kebersamaan
menuju Sang Pencipta. Konsep ini didalam budaya Jawa yang sering disebut sebagai
Manunggaling Kawula Kalawan Gusti atau bersatunya hamba (manusia) dengan Sang
Pencipta.
Gempa yang mengguncang Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867 membuat bangunan
tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna
persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu. Keadaan benar-benar berubah pada
tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk
persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat
dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing.
Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih
rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau
Tugu Pal Putih.
7. Gunung Merapi
Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat
kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang
digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan
Laut Kidul - Panggung Krapyak - Keraton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi.
Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai
menghadap kepada sang Maha Pencipta.
Gunung Merapi sebagai terminal akhir dalam proses “Sumbu Imajiner” diyakini pula
sebagai Surga pangratunan, yang berasal dari kata antu, yang artinya menanti, yakni menanti
sevelum roh diinjinkan masuk surga, yaitu kembali kepada Sang Pencipta.
Setiap tanggal 30 bulan Rajab, di Merapi dilaksanakan upacara tahunan Labuhan Merapi.
Labuhan Merapi merupakan upacara tahunan yang dilaksanakan keraton Ngayogyakarta
dengan waktu pelaksanaan selama dua hari. Labuhan Merapi diadakan dalam rangka
memperingati Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X, sekaligus bentuk rasa syukur dan doa
bagi keselamatan raja keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Upacara Labuhan ini dimaknai
sebagai sebuah persembahan doa kepada Tuhan yang Maha Esa juga tanda penghormatan
bagi leluhur keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, serta memberi sedekah kepada makhluk
halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari
marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila
perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.
Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi
merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan
murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak
harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu
diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaidah-kaidah keseimbangan alam, yang
selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.
4.2.2 Taman Sari
Tamansari dibangun pada masa awal pembangunan Kraton Yogyakarta atau pada
masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785 M. Pembangunan
Tamansari merupakan penghargaan kepada istrinya yang turut menderita sewaktu
Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I berperang. Tamansari
memiliki arti “taman yang indah”. Lokasi Tamansari terletak 500 meter arah barat daya
Kraton.
Pada zaman dahulu, Tamansari merupakan taman air yang indah dan mutakhir
dengan area antara tenggara taman sampai perempatan kota oleh karena itu Tamansari
sering disebut dengan Istana Air (Water Castle). Tamansari terletak pada area yang
disebut Kampung Segaran yang dahulu kala terisi dengan air. Area ini sekarang
dinamakan Suryoputran. Segaran berasal dari bahasa jawa yang berarti laut buatan. Air
yang ada di Komplek Tamansari ini dialirkan dari sungai Winongo yang mengalir di
sebelah barat Tamansari. Air tersebut dialirkan kesegaran yang merupakan tempat
mengumpulkan dan mengatur air yang akan digunakan untuk mengisi kolam-kolam
melalui parit-parit buatan. Dahulu di Komplek Tamansari terdapat kebun buah-buahan,
namun sekarang kebun-kebun tersebut sudah berubah menjadi pemukiman penduduk.
Bangunan yang difungsikan ntuk aktivitas religi dan meditasi bagi Sultan
yaitu Pulo Panembung dan Kolam Segaran. Pulo Panembung berada di Selatan
Pulo Kengan dan Sumur Gumuling berada di Barat Pulo Kenangan.
4. Gedong Sekawan
6. Gedong Temanten
7. Gedong Pengunjukan
8. Gerbang Kenari
Bagi sebagaian pedagang, malioboro adalah denyut dari kehidupan atau tempat
menjejalkan diri dengan kesibukan demi sesuap nasi, lain bagi wisatawan yang berkunjung ke
malioboro adalah surga tempat berbelanja memuaskan hasrat hedonism, sedangkan bagi
mahasiswa, Malioboro adalah tempat pilihan dalam melepas penat setelah berkutat dengan
kegiatan perkuliahan. Menghabiskan malam dengan nongkrong di angkringan pinggir jalan
Bersama teman atau sekedar menikmati kesibukan kota malam hari serta sambal melihat ratusan
langkah kaki dan pertokoan di sepanjang jalan. Bagi para masyarakat sementara maloboro punya
arti tersendiri, tidak hanya sekedar ruang secara fisik (wadah untuk melakukan berbagai
aktivitas) namun juga ruang untukmenyimpan cerita nostalgia.
Malioboro menunjukan bahwa ruang public yang terbuka bagi semua dan divergen
adalah ruang yang paling baik. Ruang yang tidak melupakan nilai sosial masyarakat yang
semenjak dulu telah menjadi core sebuah kota. Dijalan Malioboro juga sering dilakukannya
pertunjukan atau pagelaran seni budaya supaya para wisatawan yang berada di jalan Malioboro
dapat mengetahui lebih luas tentang berbagai macam budaya yang berada di Indonesia,
contohnya pagelaran seni budaya yang pernah ditampilkan di jalan Malioboro yaitu:
1. Pawai Pembukaan, tanggal 4 Juli 2019 Pawai Pembukaan FKY 2019 akan dimulai dari 2
titik, yaitu Kepatihan dan Alun-alun Pakualaman. Rombongan kemudian akan bertemu di
kawasan 0 kilometer, tepatnya di depan Gedung Museum Sonobudoyo (eks-KONI).
2. Program Wirama - Wiraga - Wirasa, tanggal 8 sampai 6 Juli 2019 Wirama adalah
program berupa pameran seni rupa yang dilaksanakan di Gedung Museum Sonobudoyo.
Wiraga adalah pameran instalasi publik berupa odong-odong yang dihias aksara Jawa dan
dilaksanakan di Alun-alun Kidul Yogyakarta. Selain pameran, pada hari pertama Wiraga
juga akan digelar wayang kulit semalam suntuk. Wirasa merupakan event lokakarya yang
dipandu seniman musik untuk membuat komposisi musik 'Kinanthi Sandung' di pendapa
Taman Siswa.
Beberapa penampilan yang pernah tayang di jalan malioboro diantaranya adalah YK
Brass Ensemble di Inna Garuda, Pemutaran film di Perpustakaan Malioboro, Pentas
Wayang Beber, orchestra youth camp MSO, tarian reog, cakil squad macapatan di
Malioboro mal. Sementara ada penampilan music jazz di coffee corner pertigaan jalan
Dagen; Lelaku Gamelan Virtual, videowall exhibition di depan Hotel Mutiara; Dialog
Budaya dan Gelar Seni “Yogya Semesta” di gerbang barat Kepatihan; Gelar Seni dan
Potensi UKM Ekspos Sejarah di Plaza SO1 Maret: Pembelajaran Pantomim di titik nol
kilometer; Barongsai Hoo Happ Hwee di Gapura Ketandan; Workshop dan performance
di depan Hamzah Batik; campursari di depan Pasar Beringharjo.
Pertunjukan Pagelaran Peresean, Tarian Adat Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat
Pertunjukan Gendang Beleq Di Jalan Malioboro
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan diatas adalah dimana di kota Yogyakarta terdapat sumbu
imajiner dimana garis ini membentang dari pantai selatan sampai ke gunung merapi, yang
memiliki urutan yaitu Pantai Selatan - Panggung Krapyak - Alun – alun Selatan - Keraton -
Alun-alun Lor - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi, dimana garis imajiner tersebut memiliki arti
Sumbu imajiner ini melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam. Dan dari setiap objek memiliki
filisofi berbeda – beda contohnya Panggung Krapyak ke utara hingga Kraton melambangkan
sejak bayi dari lahir, beranjak dewasa, berumah tangga hingga melahirkan anak , Tugu ke Kraton
melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta. Serta pusat dari sumbu imajiner
tersebut ada di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimana keraton ini merupakan tempat yang
di anggap suci oleh orang Yogyakarta karena keraton merupakan tempat tinggal raja.