PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif
nonreversible atau reversible parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkhitis kronik sendiri ditandai dengan
adanya batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya.
Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronis juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversible penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK.1,2
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting dari PPOK, jauh lebih penting daripada faktor penyebab lainnya. Selain
itu, faktor risiko lain yang dapat menyebabkan PPOK diantaranya adalah
hipereaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang, dan riwayat
terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja.2,3
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986,
asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai
penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes
RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis, dan
emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia. Faktor yang berperan dalam peningkatan tersebut diantaranya adalah
kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%), polusi
udara terutama di kota besar, dan industrialisasi. Karena jumlah dan tingkat
mortalitas akibat kasus PPOK di Indonesia adalah tinggi, maka sebagai dokter
umum harus dapat mengenali dan melakukan terapi pada PPOK.3
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTIFIKASI
Nama : Tn. A
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Agama : Islam
Alamat : Negeri Agung
Tanggal Masuk : 19 Oktober 2014
Tanggal Periksa : 19 Oktober 2014
No RM : 01.68.31
ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak yang bertambah hebat sejak 7 hari SMRS
Keluhan tambahan
Nyeri ulu hati sejak 7 hari SMRS
Riwayat kebiasaan
- Riwayat merokok sejak umur 10 tahun hingga 2 tahun 1 bungkus per hari.
Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat penyakit di keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat sosioekonomi
- Status ekonomi kurang
Status gizi
Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi satu piring.
Variasi diet:
Karbohidrat : nasi, sebanyak 1 piring
Protein : tahu, tempe sering
Lemak : ikan, ayam, daging, ± 1potong, jarang
Sayur : sering, sayur bayam atau kangkung
Susu : jarang
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula
serta tidak ada nyeri penekanan.
Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformitas (-), rambut putih, lurus,
tidak mudah dicabut.
Mata
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+) normal,
pergerakan mata ke segala arah baik.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-).
Telinga
Tophi (-), nyeri tekan prosesus mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah
(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan,
pursed lips breathing (-).
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), Hipertrofi
musculus sternocleidomastoideus (+), JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-).
Dada
Dada simetris pada kondisi statis, bentuk barrel chest, sela iga melebar. Pada
kondisi dinamis dada kanan dan kiri tidak ada yang tertinggal, retraksi
suprasternal (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok di dada (-), krepitasi (-).
Paru-paru
I : Statis simetris, dinamis kanan = kiri tidak ada yang tertinggal, sela iga
melebar (+), retraksi suprasternal (-)
P : Stem fremitus melemah pada kedua lapangan paru-paru, sela iga melebar
(+).
P : Perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS
VII
A : Vesikuler (+) melemah pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang
pada kedua apeks paru, wheezing (+).
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikularis sinistra
P : Sulit dinilai
A : HR: 78x/ menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : Datar
P : Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae, tajam,
rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba.
P : thympani, nyeri ketok (-), nyeri tekan (+) di epigastrium
A : BU (+) Normal
Alat kelamin
Tidak diperiksa
Ekstremitas atas
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-),
jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali
cepat.
Ektremitas bawah
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema
pretibial (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat,
turgor kembali cepat.
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 3% 1-3%
Batang 0% 2-6%
Segmen 60% 50-70%
Limfosit 24% 20-40%
Monosit 8% 2-8%
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik:
Pemeriksaan radiologi
Foto thorax PA (tanggal 19 Maret 2012)
RESUME
Seorang laki-laki berinisial Tn.B, berumur 70 tahun, MRS tanggal 21
Maret 2012 dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah hebat sejak ± 7
hari SMRS.
Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien juga mengeluh sesak, sesak dipengaruhi
aktivitas bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, nafas
bunyi mengi (+), pasien mengeluh batuk yang tidak berdahak, darah tidak ada.
Demam ada tapi tidak terlalu tinggi (+), keringat malam hari (+), nafsu makan
menurun (+), berat badan menurun (+), BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian
berobat ke puskesmas dan dirawat selama 10 hari. Pasien mengkonsumsi obat
paket selama 6 bulan. Pasien berhenti minum obat setelah dinyatakan sembuh
oleh dokter yang meratwat.
± 1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas
(+) bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, sering
terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, bunyi
mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 1 sendok teh, demam (+)
ada tidak terlalu tinggi , nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu
makan turun (+), keringat malam (+) BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian
berobat ke praktek dokter. Dan mengalami perbaikan, batuk dan sesak berkurang.
Diagnosis kerja:
PPOK eksaserasi akut + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom
dispepsia
Diagnosis banding:
Asma attack + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom dispepsia
Penatalaksanaan:
Nonfarmakologis
Istirahat
Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.
Farmakologis
IVFD D5% gtt X/menit (mikro) + Aminophillin I amp gtt xx
OBH sirup 3x1 c
Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
Salbutamol 3x1 mg tab
Neulizer combivent jika sesak
Omeprazol 1x20 mg
Antasid sirup 3x1 c
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin
Prognosis:
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Keadaan spesifik
-conjunctiva palpebra pucat (-)
Kepala
- sklera ikterik (-)
-(5-2) cmH2O
Leher
-pembesaran KGB (-)
Thoraks
I: Ictus cordis tidak terlihat.
Cor:
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Nonfarmakologis
Istirahat
Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.
Farmakologis
O2 2 L/mnt
IVFD D5% gtt X/menit (mikro)
+ Aminophillin I amp gtt xx
OBH sirup 3x1 c
Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
Omeprazol 1x20 mg
Antasid sirup 3x1 c
Salbutamol 3x1 mg tab
Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin
Keadaan spesifik
-conjunctiva palpebra pucat (-)
Kepala
- sklera ikterik (-)
-(5-2) cmH2O
Leher
-pembesaran KGB (-)
Thoraks
I: Ictus cordis tidak terlihat.
Cor:
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)
I: datar
Abdomen: P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Nonfarmakologis
Istirahat
Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.
Farmakologis
Aminophillin 3x1 tab
OBH sirup 3x1 c
Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
Omeprazol 1x20 mg
Antasid sirup 3x1 c
Salbutamol 3x1 mg tab
Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin
Keadaan spesifik
Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-)
- sklera ikterik (-)
Thoraks
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat.
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Nonfarmakologis
Istirahat
Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.
Farmakologis
Aminofilin tab 3x1
OBH sirup 3x1 c
Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
Omeprazol 1x20 mg
Antasid sirup 3x1 c
Salbutamol 3x1 mg tab
Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin
Keadaan spesifik
-conjunctiva palpebra pucat (-)
Kepala
- sklera ikterik (-)
-(5-2) cmH2O
Leher
-pembesaran KGB (-)
Thoraks
I: Ictus cordis tidak terlihat.
Cor:
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel
. chest (+), sela iga melebar, retraksi
dinding dada (-), penggunaan alat
bantu pernafasan (-)
Dinamis: simetris kanan dan kiri,
pergerakan dinding dada tertinggal (-)
P: stem fremitus menurun di kedua
lapangan paru, sela iga melebar (+).
P: hipersonor dikedua lapangan paru,
batas paru-hepar padan ICS VII.
A: vesikuler (+) menurun di kedua
lapangan paru, RBS di kedua apex paru,
wheezing (-) ekspirasi.
Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal
Farmakologis
OBH sirup 3x1 c
Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
Omeprazol 1x20 mg
Antasid sirup 3x1 c
Salbutamol 3x1 mg tab
Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin
Keadaan spesifik
Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-)
- sklera ikterik (-)
Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal
P: Nonfarmakologis
Istirahat
Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.
Farmakologis
OBH sirup 3x1 c
Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
Omeprazol 1x20 mg
Antasid sirup 3x1 c
Salbutamol 3x1 mg tab
Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda
dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika
kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang
berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.
Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan
kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah
dari partikel yang terinhalasi individu tersebut. Insidensi pada pria lebih banyak
daripada wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat dengan
semakin bertambahnya jumlah perokok wanita.2
3.1.4 Patofisiologi
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas,
parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian paru
dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel
radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien
B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan
inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting
yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar
(central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru dan
vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang
pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan
jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus.
Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya
siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan
menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran napas dengan
peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang
menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada
parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler.
Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa
terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed.
Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh
darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang
pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan
infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah
lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding
pembuluh darah bertambah tebal.
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak.
Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (<2mm)
menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.1
3.1.5 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan:1
3.1.5.1 Gambaran klinis
a. Anamnesis:
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Normal Hyperinflation
3.1.6 Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi Gejala Spirometri
Penyakit
Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau VEP > 80%
bila exercise prediksi
- Tidak ada gejala waktu istirahat VEP/KVP < 75%
tetapi gejala ringan pada latihan
sedang (misal : berjalan cepat, naik
tangga)
Sedang - Tidak ada gejala waktu istirahat VEP 30 - 80%
tetapi mulai terasa pada latihan / prediksi
kerja ringan (misal : berpakaian) VEP/KVP <
- Gejala ringan pada istirahat 75%
Berat - Gejala sedang pada waktu istirahat VEP1<30%
- Gejala berat pada saat istirahat prediksi
- Tanda-tanda korpulmonal VEP1/KVP <
75%
3.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :1
1. Edukasi
2. Obat-obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
a. Edukasi
Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Secara umum bahan edukasi yang
harus diberikan adalah :
Pengetahuan dasar tentang PPOK
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (merokok)
Penyesuaian aktifitas
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.
Edukasi berdasarkan derajat penyakit:
Ringan
Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara
lain berhenti merokok
Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
Menggunakan obat dengan tepat
Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
Penggunaan oksigen di rumah
b. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran nafas), nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik, golongan
agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-2 dan golongan xantin.
b. Anti inflamasi
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (diminum) atau
injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi untuk menekan
inflamasi yang terjadi. Dipilih golongan metilpradnisolon atau prednison.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan untuk lini
pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua diberikan
amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon
dan makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Digunakan N-
asetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik (pengencer dahak)
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.
c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam sel dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
d. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik.
Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau tanpa
intubasi.
e. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan terjadinya
hipermetabolisme.
f. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat
dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim Program
rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan.
Prinsip Penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Beberapa
hal yang harus diperhatikan meliputi:
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
2. Terapi oksigen adekuat
Tujuan terapi oksigen adalah untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa. Sebaiknya dipertahankan PaO2> 60
mmHg atau Sat O2> 90%, evaluasi ketat hiperkapnoe. Bila terapi oksigen
tidak dapat mencapai kondisi oksigen adekuat, harus gunakan ventilasi
mekanik, bila tidak berhasil gunakan intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang adekuat
Antibiotik
Bronkodilator
Kortikosteroid
4. Tidak terlalu diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan intravena. Pemerian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan hasil yang lebih baik, tetapi banyak menimbulkan efek
samping.
5. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas.
6. Ventilasi mekanik
7. Kondisi lain yang berkaitan
Monitor balans cairan elektrolit
Pengeluaran sputum
Gagal jantung aritmia.
Evaluasi ketat progresivitas penyakit
3.2 Tuberkulosis
3.2.1 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus
TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu
350 per 100.000 penduduk.5
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3
juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.5
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan
usia.5
3.2.2 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.6
3.2.3 Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.7
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan
Perjalanan Penyembuhannya5
3.2.4 Klasifikasi
3.2.4.1 Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.9
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan
satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologik.9
3.2.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5, serta tidak dijumpai
kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.
3.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
3.2.7.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Prinsip pengobatan9
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan
tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr. Streptomisin dapat menembus barrier
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak
syaraf pendengaran janin.
3.4.2 Etiologi
Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid
reflux. Jika anda memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas
menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke
dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan,
seperti obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang
penyebab dispepsia belum dapat ditemukan12.
Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi)
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung
5. Kanker lambung
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia),
dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa
mengurangi nyerinya.
Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan
flatulensi (perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
3.4.4 Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil
pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9 .
2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus
dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan10.
3.4.5 Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori
1996 pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan
menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid
jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi
rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun
dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa
MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik
yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian
atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance)10.
7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti-
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor
kejiwaan seperti cemas dan depresi.
3.4.6 Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya
dispepsia bahkan memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung.
Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk
mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia :
1. Atur pola makan seteratur mungkin.
2. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat
pengosongan isi lambung (coklat, keju, dan lain-lain).
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan, sampai gejala yang berat. Namun diagnosa PPOK dapat ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Pada gambaran klinis,
bila ditemukan sesak nafas yang kronik dan progresif, serta riwayat terpajan oleh
faktor-faktor resiko. Maka diagnosa dari PPOK harus dipertimbangkan, dan
kemudian dikonfirmasi dengan melakukan spirometri.9,13,16
Pada kasus ini, seorang laki-laki berusia 70 tahun dengan keluhan utama
sesak nafas yang bertambah hebat sejak 7 hari SMRS dan dengan keluhan
tambahan nyeri ulu hati dan batuk sejak 7 hari SMRS. Dari anamnesis, ditemukan
adanya sesak yang bertambah hebat yang dipengaruhi oleh aktifitas disertai bunyi
mengi, dan batuk berulang yang berdahak dengan produksi dahak yang
meningkat, dan ada riwayat terpajan faktor resiko (merokok 1 bungkus perhari
selama 58 tahun). Kemudian pada pemeriksaan fisik, peningkatan frekuensi
pernafasan, pada inspeksi dada ditemukan adanya barrel shaped chest, penderita
kurus, sela iga melebar, sudut kosto frenikus > 900, retraksi dinding dada dan
penggunaan otot bantu nafas. Pada palpasi stem fremitus menurun pada kedua
lapangan paru dan sela iga melebar. Pada perkusi didapatkan hipersonor dikedua
lapangan paru, batas paru hepar ICS VII, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae
dengan tepi tajam, kosistensi kenyal. Pada auskultasi didapatkan vesikuler
menurun pada kedua lapangan paru, terdapat wheezing ekspirasi, dan ekspirasi
memanjang. Dari data tersebut kecurigaan adanya PPOK eksaserasi akut karena
terdapat peningkatan gejala yaitu bertambahnya sesak dan bertambahnya jumlah
sputum. Dari hasil rontgen thorax AP menunjang diagnosis PPOK, dimana
ditemukannya batas paru hepar memanjang, sudut costophrenikus tumpul
(diafragma mendatar), hiperlusen parenkim paru, dan sela iga melebar
(hiperinflasi).9,16
Dari seluruh hasil pemeriksaan di atas kami menyimpulkan bahwa
diagnosis pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut. Maka terapi farmakologis
yang dilakukan adalah pemberian oksigen, bronkodilator, antibiotik spektrum
luas, dan ekspektoran.
Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis/pemeriksaan fisik, foto thorax, pemeriksaan sputum BTA, dan laboratorium
penunjang. Gejala klinis pada penderita TB paru dibagi menjadi gejala sistemik
dan gejala respiratorik. Gejala sistemik berupa demam dan berkeringat pada
malam hari, badan terasa lemah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat
badan. Gejala respiratorik berupa batuk, sesak napas dan rasa nyeri dada. Batuk
biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum mukoid
atau purulen. Batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek, sesak
napas biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut.9,13,16
Pada pasien ini, ditemukan juga gejala klinis berupa batuk >3 minggu,
keringat dan demam lama pada malam hari, serta nafsu makan dan berat badan
menurun, dan adanya riwayat mengkonsumsi obat OAT sekitar 1 tahun yang lalu
yang kemudian berhenti karena dinyatakan sembuh oleh dokter.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas dan
kelainan struktural paru. Pemeriksaan fisik dapat normal pada lesi minimal,
kelainan umumnya terletak pada daerah apikal/posterior lobus atas dan daerah
apikal lobus bawah. Kelainan yang dapat ditemukan antara lain berupa bentuk
dada yang tidak simetris, pergerakan paru yang tertinggal, peningkatan
stemfremitus, redup pada perkusi, suara napas bronkial/amforik/vesikuler
melemah,/ronkhi basah ataupun tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum.9,15
Kelainan pulmo yang dapat ditemukan pada Tn. B adalah auskultasi
ditemukan vesikuler (+) menurun pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang
pada apex kedua paru.
Dari pemeriksaan foto thorax standar pada TB paru yaitu foto thorax PA
ditemukan gambaran lesi yang menyokong ke arah TB paru aktif biasanya berupa
infiltrat nodular berbagai ukuran di lobus atas paru, kavitas (terutama lebih dari
satu), bercak milier ataupun adanya efusi pleura unilateral. Gambaran lesi tidak
aktif biasanya berupa fibrotik, atelektasis, kalsifikasi, penebalan pleura, penarikan
hilus dan deviasi trakea. Berdasarkan luas lesi pada paru, ATS (American
Thoracic Society) membaginya atas lesi minimal, lesi sedang dan lesi luas.9,13,15
Pada foto thorax pasien ini tampak infiltrat pada parenkim paru kanan dan
kiri. Berdasarkan gambaran lesi tersebut, lesi paru pada pasien ini termasuk
dalam lesi sedang.
Terminologi tipe penderita TB dibagi menjadi enam kelompok, yaitu
kasus baru, kasus kambuh, kasus gagal, kasus pindahan, kasus berobat setelah
lalai, dan kasus kronik. Kasus baru adalah penderita TB paru yang belum pernah
mendapat OAT atau yang pernah mendapat OAT tetapi kurang dari satu bulan.
Kasus kambuh adalah penderita TB paru dengan BTA positif yang sebelumnya
sudah dinyatakan sembuh, tetapi kini datang lagi dan pada pemeriksaan BTA
memberikan hasil positif. Kasus gagal adalah penderita TB paru dengan BTA
positif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA positif pada 1 bulan
sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. Batasan ini juga berlaku
untuk penderita TB paru dengan BTA negative yang sudah mendapat OAT, tetapi
sputum BTA justru menjadi positif pada akhir pengobatan fase awal. Kasus
pindahan adalah penderita TB paru dari kabupaten/kota lain yang sekarang
menetap di kabupaten/kota ini. Kasus berobat setelah lalai adalah penderita TB
paru yang menghentikan pengobatan (2 bulan atau lebih) dalam keadaan belum
dinyatakan sembuh dan kini datang lagi untuk berobat dengan BTA positif. Kasus
kronik adalah penderita Tb paru dengan BTA yang tetap positif, walaupun sudah
mendapatkan ulang yang adekuat dengan pengawasan yang baik. Pasien ini
mempunyai riwayat minum OAT selama 6 bulan dan berhenti dari terapi karena
setelah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi pasien ini termasuk pasien dengan
suspek kasus kambuh TB paru.
Terminologi diagnosis dibagi dalam 3 kelompok, yaitu TB paru BTA
positif, TB paru BTA negatif dan bekas TB paru. Yang termasuk TB paru BTA
positif apabila sputum BTA positif ≥2 kali, sputum BTA positif ≥1 kali dengan
kultur positif atau sputum BTA positif ≥1 kali dengan klinis/radiologis sesuai
dengan TB paru. TB paru negatif apabila klinis dan radiologis sesuai dengan TB
paru, sputum BTA negatif dan kultur negatif atau positif. Bekas TB paru apabila
sputum dan kultur negatif, gejala klinis tidak menunjang dan gambaran radiologis
menunjukkan gambaran tak aktif.9,17 Pada pasien belum bisa diketahui termasuk
kedalam kelompok TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif ataukah bekas TB
paru karena belum didapatkan hasil pemeriksaan sputum. Dari seluruh hasil
pemeriksaan di atas kami menyimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah
suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang.
Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang, dan sering bersendawa. Dispepsia dapat disebabkan oleh kalainan
organik (misalnya tukak peptik, gastritis, kolesistitis, dan lainnya), maupun yang
bersifat fungsional. Berdasarkan kriteria Roma II tahun 2000 dispepsia
didefnisikan sebagai dyspepsia refers to pain or discomfort centered in upper
abdomen. Dispepsia fungsional dibagi atas 3 subgrup yaitu: (a) dispepsia mirip
ulkus {ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominant adalah nyeri ulu hati; (b)
dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-likedyspepsia) bila gejala dominant
adalah kembung, mual, cepat kenyang; dan (c) dyspepsia non-spesifik yaitu bila
gejalanya tidak sesuai dengan (a) maupun (b).11,12
Pada pasien ini, selain mengeluh sesak dan batuk, pasien juga mengeluh
adanya mual, sakit pada ulu hati, perasaan cepat penuh, dan sering bersendawa.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien ini kami diagnosis sebagai PPOK eksaserbasi akut + suspek kasus kambuh
TB paru lesi sedang + sindrom dispepsia.
DAFTAR PUSTAKA
…test………mm…mnmnmnmnkmkml