Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif
nonreversible atau reversible parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkhitis kronik sendiri ditandai dengan
adanya batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya.
Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronis juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversible penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK.1,2
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting dari PPOK, jauh lebih penting daripada faktor penyebab lainnya. Selain
itu, faktor risiko lain yang dapat menyebabkan PPOK diantaranya adalah
hipereaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang, dan riwayat
terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja.2,3
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986,
asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai
penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes
RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis, dan
emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia. Faktor yang berperan dalam peningkatan tersebut diantaranya adalah
kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%), polusi
udara terutama di kota besar, dan industrialisasi. Karena jumlah dan tingkat
mortalitas akibat kasus PPOK di Indonesia adalah tinggi, maka sebagai dokter
umum harus dapat mengenali dan melakukan terapi pada PPOK.3
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI

Nama : Tn. A
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Agama : Islam
Alamat : Negeri Agung
Tanggal Masuk : 19 Oktober 2014
Tanggal Periksa : 19 Oktober 2014
No RM : 01.68.31

ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak yang bertambah hebat sejak 7 hari SMRS

Keluhan tambahan
Nyeri ulu hati sejak 7 hari SMRS

Riwayat perjalanan penyakit


Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien juga mengeluh sesak, sesak dipengaruhi
aktivitas bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, nafas
bunyi mengi (+), pasien mengeluh batuk yang tidak berdahak, darah tidak ada.
Demam ada tapi tidak terlalu tinggi (+), keringat malam hari (+), nafsu makan
menurun (+), berat badan menurun (+), BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian
berobat ke puskesmas dan dirawat selama 10 hari. Pasien mengkonsumsi obat
paket selama 6 bulan. Pasien berhenti minum obat setelah dinyatakan sembuh
oleh dokter yang meratwat.
± 1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas
(+) bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, sering
terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, bunyi
mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 1 sendok teh, demam (+)
ada tidak terlalu tinggi , nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu
makan turun (+), keringat malam (+) BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian
berobat ke praktek dokter. Dan mengalami perbaikan, batuk dan sesak berkurang.
± 7 hari SMRS pasien mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak
dipengaruhi aktivitas (+) bila berjalan sejauh ±10 meter, nafas bunyi mengi (+),
batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 2 sendok teh, demam ada namun
tidak terlalu tinggi. Pasien mengeluh sering terbangun di malam hari karena sesak
(-), pasien tidur dengan 1 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak
(-), nafsu makan menurun (+). Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati (+), mual (+),
mutah (-), perut terasa penuh (+), selalu bersendawa (+). BAB dan BAK biasa.
Pasien kemudian berobat ke SpPd namun tidak ada perbaiakan. Kemudian pasien
berobat ke RSMH dan dirawat.

Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat nafas berunyi mengi (+) sejak 2 tahun yang lalu, pencetus mengi
udara dingin, pasien menggunakan obat yang disemprot setiap kali
serangan.
- Riwayat alergi makanan tidak ada.
- Riwayat bersin-bersin udara dingin ada.
- Riwayat sakit darah tinggi disangkal.
- Riwayat kencing manis disangkal.
- Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat minum obat-obatan NSAID disangkal.

Riwayat kebiasaan
- Riwayat merokok sejak umur 10 tahun hingga 2 tahun 1 bungkus per hari.
Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat penyakit di keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat sosioekonomi
- Status ekonomi kurang

Status gizi
Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi satu piring.
Variasi diet:
Karbohidrat : nasi, sebanyak 1 piring
Protein : tahu, tempe sering
Lemak : ikan, ayam, daging, ± 1potong, jarang
Sayur : sering, sayur bayam atau kangkung
Susu : jarang

II. PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan Tanggal 26 Maret 2012)


Keadaan umum : Tampak sakit
Keadaan sakit : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : kurang
Dehidrasi :-
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78 x/ menit
Pernapasan : 22x/ menit
Suhu : 36,8°C
BB : 44 kg
TB : 165 cm
IMT : 16,16 kg/m3
Keadaan spesifik
Kulit
Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar
(-), keringat umum (-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki
(-), pertumbuhan rambut normal.

KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula
serta tidak ada nyeri penekanan.

Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformitas (-), rambut putih, lurus,
tidak mudah dicabut.

Mata
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+) normal,
pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-).

Telinga
Tophi (-), nyeri tekan prosesus mastoideus (-), pendengaran baik.

Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah
(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan,
pursed lips breathing (-).
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), Hipertrofi
musculus sternocleidomastoideus (+), JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-).

Dada
Dada simetris pada kondisi statis, bentuk barrel chest, sela iga melebar. Pada
kondisi dinamis dada kanan dan kiri tidak ada yang tertinggal, retraksi
suprasternal (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok di dada (-), krepitasi (-).

Paru-paru
I : Statis simetris, dinamis kanan = kiri tidak ada yang tertinggal, sela iga
melebar (+), retraksi suprasternal (-)
P : Stem fremitus melemah pada kedua lapangan paru-paru, sela iga melebar
(+).
P : Perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS
VII
A : Vesikuler (+) melemah pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang
pada kedua apeks paru, wheezing (+).

Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikularis sinistra
P : Sulit dinilai
A : HR: 78x/ menit, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
I : Datar
P : Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae, tajam,
rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba.
P : thympani, nyeri ketok (-), nyeri tekan (+) di epigastrium
A : BU (+) Normal
Alat kelamin
Tidak diperiksa

Ekstremitas atas
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-),
jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali
cepat.

Ektremitas bawah
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema
pretibial (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat,
turgor kembali cepat.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


PEMERIKSAAN LABORATORIUM (19 Maret 2012)
Hasil Pemeriksaan Hematologi:
Pemeriksaan Hasil Normal
Hb 13,8 g/dl 14-18 g/dl
Eritrosit 4.240.000 4,5-5,5 juta/mm3
Ht 39 vol% 40-48 vol%
Leukosit 9.200/mm3 5000-10.000/mm3
Trombosit 314.000/ mm3 200.000-500.000/ mm3
LED 10 mm/jam L < 10 mm/jam, P < 15 mm/jam

Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 3% 1-3%
Batang 0% 2-6%
Segmen 60% 50-70%
Limfosit 24% 20-40%
Monosit 8% 2-8%
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik:

Pemeriksaan Hasil Normal


BSS 80 mg/dl
Cholesterol Total 142 mg/dl < 200 mg/dl
Ureum 27 mg/dl 15-39 mg/dl
Creatinin 0,8 mg dl L 0,9-1,3 mg/dl, P 0,6-1,0
mg/dl
Bilirubin total 1,14 mg/dl 0,1-1,0 mg/dl
Bilirubin direk 0,24 mg/dl <0,25 mg/dl
Bilirubin indirek 0,9 mg/dl <0,75 mg/dl
SGOT 17 U/I <40 U/I
SGPT 10 U/I <41 U/I
Natrium 148 mmol/l 135-155 mmol/l
Kalium 5,1 mmol/l 3,5-5,5 mmol/l

Pemeriksaan radiologi
Foto thorax PA (tanggal 19 Maret 2012)

Gambar 1: Foto rontgen thorax

- Kualitas foto kurang baik


- asimetris
- Trakea di tengah
- Tulang-tulang baik
- Sela iga melebar
- Diafragma tenting (-)
- CTR < 50%
- Sudut costophrenicus tumpul
- Parenkim paru : infiltrat di apeks kiri dan kanan, hiperaerasi
Kesan : TB aktif lesi sedang, PPOK.

RESUME
Seorang laki-laki berinisial Tn.B, berumur 70 tahun, MRS tanggal 21
Maret 2012 dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah hebat sejak ± 7
hari SMRS.
Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien juga mengeluh sesak, sesak dipengaruhi
aktivitas bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, nafas
bunyi mengi (+), pasien mengeluh batuk yang tidak berdahak, darah tidak ada.
Demam ada tapi tidak terlalu tinggi (+), keringat malam hari (+), nafsu makan
menurun (+), berat badan menurun (+), BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian
berobat ke puskesmas dan dirawat selama 10 hari. Pasien mengkonsumsi obat
paket selama 6 bulan. Pasien berhenti minum obat setelah dinyatakan sembuh
oleh dokter yang meratwat.
± 1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas
(+) bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, sering
terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, bunyi
mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 1 sendok teh, demam (+)
ada tidak terlalu tinggi , nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu
makan turun (+), keringat malam (+) BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian
berobat ke praktek dokter. Dan mengalami perbaikan, batuk dan sesak berkurang.

± 7 hari SMRS pasien mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak


dipengaruhi aktivitas (+) bila berjalan sejauh ±10 meter, nafas bunyi mengi (+),
batuk makin sering (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 2 sendok teh, demam
ada namun tidak terlalu tinggi. Pasien mengeluh sering terbangun di malam hari
karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (-),
kaki bengkak (-), nafsu makan menurun (+). Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati
(+), mual (+), mutah (-), perut terasa penuh (+), selalu bersendawa (+). BAB dan
BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke SpPd namun tidak ada perbaiakan.
Kemudian pasien berobat ke RSMH dan dirawat.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak


sakit sedang, keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 110/70 mmHg, nadi
78 x/menit, pernafasan 22 x/menit, pada pemeriksaan paru didapatkan barrel
chest, sela iga melebar, hipersonor pada kedua lapangan paru, stemfremitus
menurun pada kedua lapangan paru, vesikuler (+) melemah pada kedua lapangan
paru, ronki basah sedang di kedua apex paru. Pada pemeriksaan jantung
didapatkan batas jantung sulit dinilai. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
hepar teraba 1 jari dibawah arkus kosta, permukaan rata, tepi tajam, konsistensi
kenyal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan adanya nyeri tekan di daerah
epigastrium.
Dari pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya kelainan. Dari
pemeriksaan rontgen thorak didapatkan kesan adanya infiltrat di kedua apex paru,
sudut costofrenikus >90%, sela iga melebar, dan hiperaerasi.

Diagnosis kerja:
PPOK eksaserasi akut + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom
dispepsia

Diagnosis banding:
Asma attack + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom dispepsia

Penatalaksanaan:
Nonfarmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.

Farmakologis
 IVFD D5% gtt X/menit (mikro) + Aminophillin I amp gtt xx
 OBH sirup 3x1 c
 Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
 Salbutamol 3x1 mg tab
 Neulizer combivent jika sesak
 Omeprazol 1x20 mg
 Antasid sirup 3x1 c

Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin

Prognosis:
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam

PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT INAP

Tanggal 22 Maret 2012


S: Sesak nafas (+), batuk (+), nyeri ulu
hati (+)
O: keadaan umum
- Sensorium -compos mentis
- TD (mmHg) -100/60 mmHg
- Nadi (x/mnt) -100x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) -30x/mnt

- Suhu (°C) -36,8°C

Keadaan spesifik
-conjunctiva palpebra pucat (-)
Kepala
- sklera ikterik (-)

-(5-2) cmH2O
Leher
-pembesaran KGB (-)

Thoraks
I: Ictus cordis tidak terlihat.
Cor:
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)

I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel


Pulmo:
chest (+), sela iga melebar, retraksi
.
dinding dada (+), penggunaan alat
bantu pernafasan (+)
Dinamis: simetris kanan dan kiri,
pergerakan dinding dada tertinggal (-)
P: stem fremitus menurun di kedua
lapangan paru, sela iga melebar (+).
P: hipersonor dikedua lapangan paru,
batas paru-hepar padan ICS VII.
A: vesikuler (+) menurun di kedua
lapangan paru, RBS di kedua apex paru,
wheezing (+) ekspirasi, ekspirasi
memanjang.

Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Clubing Finger(+), edema pretibial (-),


akral dingin (-)

A: PPOK eksaserbasi akut + suspek kasus


kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom
dispepsia.

P: Nonfarmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.
Farmakologis
 O2 2 L/mnt
 IVFD D5% gtt X/menit (mikro)
+ Aminophillin I amp gtt xx
 OBH sirup 3x1 c
 Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
 Omeprazol 1x20 mg
 Antasid sirup 3x1 c
 Salbutamol 3x1 mg tab
 Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin

Tanggal 23 Maret 2012


S: Sesak nafas (+), batuk (+), nyeri ulu hati
(+) berkurang.
O: keadaan umum
- Sensorium -compos mentis
- TD (mmHg) -110/60 mmHg
- Nadi (x/mnt) -80x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) -26x/mnt

- Suhu (°C) -36,8°C

Keadaan spesifik
-conjunctiva palpebra pucat (-)
Kepala
- sklera ikterik (-)

-(5-2) cmH2O
Leher
-pembesaran KGB (-)

Thoraks
I: Ictus cordis tidak terlihat.
Cor:
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)

I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel


Pulmo: chest (+), sela iga melebar, retraksi
. dinding dada (+), penggunaan alat
bantu pernafasan (+)
Dinamis: simetris kanan dan kiri,
pergerakan dinding dada tertinggal (-)
P: stem fremitus menurun di kedua
lapangan paru, sela iga melebar (+).
P: hipersonor dikedua lapangan paru,
batas paru-hepar padan ICS VII.
A: vesikuler (+) menurun di kedua
lapangan paru, RBS di kedua apex paru,
wheezing (+) ekspirasi, ekspirasi
memanjang.

I: datar
Abdomen: P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal

Clubing Finger(+), edema pretibial (-),


Ekstremitas : akral dingin (-)
A: PPOK eksaserbasi akut + suspek kasus
kambuh TB paru lesi sedang + sindrom
dispepsia dengan perbaikan

P: Nonfarmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.

Farmakologis
 Aminophillin 3x1 tab
 OBH sirup 3x1 c
 Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
 Omeprazol 1x20 mg
 Antasid sirup 3x1 c
 Salbutamol 3x1 mg tab
 Nebulizer combivent jika sesak

Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin

Tanggal 24 Maret 2012


S: Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+)
berkurang , nyeri ulu hati (+) berkurang
O: keadaan umum
- Sensorium -compos mentis
- TD (mmHg) -110/70 mmHg
- Nadi (x/mnt) -88x/mnt
- Pernapasan (x/mnt) -24x/mnt
- Suhu (°C) -36,8°C

Keadaan spesifik
Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-)
- sklera ikterik (-)

Leher -(5-2) cmH2O


-pembesaran KGB (-)

Thoraks
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat.
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel

. chest (+), sela iga melebar, retraksi


dinding dada (-), penggunaan alat
bantu pernafasan (-)
Dinamis: simetris kanan dan kiri,
pergerakan dinding dada tertinggal (-)
P: stem fremitus menurun di kedua
lapangan paru, sela iga melebar (+).
P: hipersonor dikedua lapangan paru,
batas paru-hepar padan ICS VII.
A: vesikuler (+) menurun di kedua
lapangan paru, RBS di kedua apex paru,
wheezing (+) ekspirasi, ekspirasi
memanjang.

Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Clubing Finger(+), edema pretibial (-),


akral dingin (-)

A: PPOK eksaserbasi akut dengan


perbaikan + suspek kasus kambuh TB
paru lesi sedang + Sindrom dispepsia
dengan perbaikan

P: Nonfarmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.

Farmakologis
 Aminofilin tab 3x1
 OBH sirup 3x1 c
 Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
 Omeprazol 1x20 mg
 Antasid sirup 3x1 c
 Salbutamol 3x1 mg tab
 Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin

Tanggal 25 Maret 2012


S: Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+)
berkurang, nyeri ulu hati (+) berkurang
O: keadaan umum
- Sensorium -compos mentis
- TD (mmHg) -120/80 mmHg
- Nadi (x/mnt) -80x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) -22x/mnt

- Suhu (°C) -36,8°C

Keadaan spesifik
-conjunctiva palpebra pucat (-)
Kepala
- sklera ikterik (-)

-(5-2) cmH2O
Leher
-pembesaran KGB (-)

Thoraks
I: Ictus cordis tidak terlihat.
Cor:
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel
. chest (+), sela iga melebar, retraksi
dinding dada (-), penggunaan alat
bantu pernafasan (-)
Dinamis: simetris kanan dan kiri,
pergerakan dinding dada tertinggal (-)
P: stem fremitus menurun di kedua
lapangan paru, sela iga melebar (+).
P: hipersonor dikedua lapangan paru,
batas paru-hepar padan ICS VII.
A: vesikuler (+) menurun di kedua
lapangan paru, RBS di kedua apex paru,
wheezing (-) ekspirasi.

Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Clubing finger(+), edema pretibial (-),


akral dingin (-)

A: PPOK eksaserbasi akut dengan


perbaikan + suspek kasus kambuh TB
paru lesi sedang + sindrom dispepsia
dengan perbaikan
P: Nonfarmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.

Farmakologis
 OBH sirup 3x1 c
 Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
 Omeprazol 1x20 mg
 Antasid sirup 3x1 c
 Salbutamol 3x1 mg tab
 Nebulizer combivent jika sesak

Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin

Tanggal 26 Maret 2012


S: Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+)
berkurang , nyeri ulu hati (+) berkurang
O: keadaan umum
- Sensorium -compos mentis
- TD (mmHg) -100/60 mmHg
- Nadi (x/mnt) -80x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) -28x/mnt


- Suhu (°C) -36,8°C

Keadaan spesifik
Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-)
- sklera ikterik (-)

Leher -(5-2) cmH2O


-pembesaran KGB (-)
Thoraks
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat.
P: Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicularis.
P: Batas jantung sulit dinilai.
A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel


. chest (+), sela iga melebar, retraksi
dinding dada (-), penggunaan alat
bantu pernafasan (-)
Dinamis: simetris kanan dan kiri,
pergerakan dinding dada tertinggal (-)
P: stem fremitus menurun di kedua
lapangan paru, sela iga melebar (+).
P: hipersonor dikedua lapangan paru,
batas paru-hepar padan ICS VII.
A: vesikuler (+) menurun di kedua
lapangan paru, RBS di kedua apex paru,
wheezing (-) ekspirasi.

Abdomen: I: datar
P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah
arkus kosta, tepi tajam, kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri
tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-)
A: Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Clubing finger(+), edema pretibial (-),


akral dingin (-)

A: PPOK eksaserasi akut dengan


perbaikan + suspek kasus kambuh TB
paru lesi sedang + sindrom dispepsia
dengan perbaikan

P: Nonfarmakologis
 Istirahat
 Diet nasi biasa tinggi kalori
tinggi protein.
Farmakologis
 OBH sirup 3x1 c
 Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV
 Omeprazol 1x20 mg
 Antasid sirup 3x1 c
 Salbutamol 3x1 mg tab
 Nebulizer combivent jika sesak

Rencana Pemeriksaan
o Spirometri
o Sputum I,II,III
o Kultur MTB dan uji resistensi
o Analisis gas darah
o Feces rutin

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)


3.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial., bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh
proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat
memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat
diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya.1

3.1.2 Epidemiologi
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda
dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika
kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang
berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.
Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan
kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah
dari partikel yang terinhalasi individu tersebut. Insidensi pada pria lebih banyak
daripada wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat dengan
semakin bertambahnya jumlah perokok wanita.2

3.1.3 Faktor Risiko


Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-
partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya.1,3
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK
bergantung pada “dosis merokok” nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut
merokok.
Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat mengalami
gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif
tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru “terbakar”.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu
bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk
memasak, pemanas, dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Ini
memungkinkan bahwa wanita di negara berkembang memiliki angka kejadian
yang tinggi terhadap kejadian PPOK.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena
dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini
prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh
perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal tersebut masih
kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok
wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok pria. Di
negara berkembang wanita lebih banyak terkena paparan polusi udara yang
berasal dari asap saat mereka memasak.
7. Status sosioekonomi dan status nutrisi
8. Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadang-kadang
berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun banyak
penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium memiliki
prioritas utama.
9. Asma
10. Usia
11. Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan
12. Faktor Genetik
13. Faktor kompleks genetik dengan lingkungan menjadi salah satu penyebab
terjadinya PPOK, meskipun penelitian Framingham pada populasi umum
menyebutkan bahwa faktor genetik memberi kontribusi yang rendah dalam
penurunan fungsi paru.

3.1.4 Patofisiologi
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas,
parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian paru
dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel
radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien
B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan
inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting
yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar
(central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru dan
vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang
pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan
jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus.
Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya
siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan
menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran napas dengan
peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang
menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada
parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler.
Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa
terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed.
Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh
darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang
pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan
infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah
lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding
pembuluh darah bertambah tebal.
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak.
Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (<2mm)
menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.1
3.1.5 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan:1
3.1.5.1 Gambaran klinis
a. Anamnesis:
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh

3.1.5.2 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan rutin:1
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
b. Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit.
c. Radiologi
 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
 Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus
menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan
pembuluh darah pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.

Normal Hyperinflation

Gambar 2. Peredaan paru normal dan hiperinflasi pada foto thoraks.

 Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


a. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.

3.1.6 Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi Gejala Spirometri
Penyakit
Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau VEP > 80%
bila exercise prediksi
- Tidak ada gejala waktu istirahat VEP/KVP < 75%
tetapi gejala ringan pada latihan
sedang (misal : berjalan cepat, naik
tangga)
Sedang - Tidak ada gejala waktu istirahat VEP 30 - 80%
tetapi mulai terasa pada latihan / prediksi
kerja ringan (misal : berpakaian) VEP/KVP <
- Gejala ringan pada istirahat 75%
Berat - Gejala sedang pada waktu istirahat VEP1<30%
- Gejala berat pada saat istirahat prediksi
- Tanda-tanda korpulmonal VEP1/KVP <
75%

3.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :1
1. Edukasi
2. Obat-obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi

a. Edukasi
Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Secara umum bahan edukasi yang
harus diberikan adalah :
 Pengetahuan dasar tentang PPOK
 Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari pencetus (merokok)
 Penyesuaian aktifitas
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.
Edukasi berdasarkan derajat penyakit:
Ringan
 Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
 Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara
lain berhenti merokok
 Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
 Menggunakan obat dengan tepat
 Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
 Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
 Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
 Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
 Penggunaan oksigen di rumah

b. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran nafas), nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik, golongan
agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-2 dan golongan xantin.
b. Anti inflamasi
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (diminum) atau
injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi untuk menekan
inflamasi yang terjadi. Dipilih golongan metilpradnisolon atau prednison.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan untuk lini
pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua diberikan
amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon
dan makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Digunakan N-
asetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik (pengencer dahak)
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.

c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam sel dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.

d. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik.
Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau tanpa
intubasi.

e. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan terjadinya
hipermetabolisme.

f. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat
dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim Program
rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan.
Prinsip Penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Beberapa
hal yang harus diperhatikan meliputi:
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
2. Terapi oksigen adekuat
Tujuan terapi oksigen adalah untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa. Sebaiknya dipertahankan PaO2> 60
mmHg atau Sat O2> 90%, evaluasi ketat hiperkapnoe. Bila terapi oksigen
tidak dapat mencapai kondisi oksigen adekuat, harus gunakan ventilasi
mekanik, bila tidak berhasil gunakan intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang adekuat
 Antibiotik
 Bronkodilator
 Kortikosteroid
4. Tidak terlalu diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan intravena. Pemerian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan hasil yang lebih baik, tetapi banyak menimbulkan efek
samping.
5. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas.
6. Ventilasi mekanik
7. Kondisi lain yang berkaitan
 Monitor balans cairan elektrolit
 Pengeluaran sputum
 Gagal jantung aritmia.
 Evaluasi ketat progresivitas penyakit

3.2 Tuberkulosis
3.2.1 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus
TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu
350 per 100.000 penduduk.5
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3
juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.5
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan
usia.5

3.2.2 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.6

3.2.3 Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.7
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan
Perjalanan Penyembuhannya5

3.2.4 Klasifikasi
3.2.4.1 Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.9
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan
satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologik.9

3.2.4.2 Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

3.2.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.

3.2.5.1 Gejala klinik


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).9
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
& kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

3.2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
& S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”

Gambar 4. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior5

3.2.5.3 Pemeriksaan Bakteriologik


1. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas
foto toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) :
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan, disebut ragu-ragu.
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dengan
metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid,
uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul.

3.2.5.4 Pemeriksaan Radiologik


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5, serta tidak dijumpai
kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

3.2.5.7 Pemeriksaan Lain


1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.

3.2.6 Penyebaran Penyakit


Cara penularan7
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

3.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
3.2.7.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Prinsip pengobatan9
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

c. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
Tabel 2. Kategori obat OAT
Regimen pengobatan
Fase Fase
KategoriKriteria penderita
Awal Lanjutan
I Kasus baru BTA (+) 2 RHZE (RHZS) 6 EH
Kasus baru BTA (-) 2 RHZE (RHZS) 4 RH
Ro” (+) sakit berat 2 RHZE (RHZS)* 4 R3H3*
Kasus TBEP berat
II Kasus BTA positif 2 RHZES atau 5 RHE
Kambuh 1 RHZE 5 R3H3E3*
Gagal 2 RHZES atau
Putus berobat 1 RHZE*
III Kasus baru BTA (-) 2 RHZ 6 EH
TBEP ringan 2 RHZ 4 RH
2 RHZ* 4 R3H3*
IV Kasus kronik Obat-obat sekunder

3.7.1.2 Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila
efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan
tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr. Streptomisin dapat menembus barrier
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak
syaraf pendengaran janin.

Tabel 3. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 4. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik
disingkirkan) menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(suspect drug-induced dan lakukan uji fungsi
pre-icteric hepatitis) hati
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

3.2.8 Pengobatan Suportif / Simptomatik


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat

3.2.9 Terapi Pembedahan


lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

3.2.10 Evaluasi Pengobatan


Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.9
a. Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
b. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensiEvaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
c. Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks
Dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan
d. Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman
e. Evalusi keteraturan berobat
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
f. Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto
toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh.
3.4 Sindrom Dispepsia
3.4.1 Definisi
    Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.
Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan
regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia
terbagi dua, yaitu10,12 :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
    Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut
bagian atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh
atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat
terkena dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat
terkena dispepsia dalam beberapa waktu11.

3.4.2  Etiologi
    Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid
reflux. Jika anda memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas
menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke
dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan,
seperti obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang
penyebab dispepsia belum dapat ditemukan12.
    Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi)
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung

3. Iritasi lambung (gastritis)

4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis

5. Kanker lambung

6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis)

7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan


produknya)

8. Kelainan gerakan usus


9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi

10. Infeksi Helicobacter pylory

3.4.3 Manifestasi Klinis


    Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan
gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar

d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia),
dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan

c. Mual

d. Muntah

e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)

f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan


3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)10.

    Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
    Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa
mengurangi nyerinya.  
Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan
flatulensi (perut kembung).
 Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. 

3.4.4 Pemeriksaan
    Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil
pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9 .
2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus
dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan10.

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau


usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari
lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop
untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori.
Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik
sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi
adalah:
a. CLO (rapid urea test)

b. Patologi anatomi (PA)

c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan

d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka


penelitian

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD


dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test
(belum tersedia di Indonesia)10. Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap
saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada
refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esophagus yang
menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang
masuk ke intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan
terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang
terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler,
semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung secara radiologis,
akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker,
bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon
cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang
disebut  sentinal loops.

5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi


kerongkongan atau respon kerongkongan terhadap asam.

3.4.5 Penatalaksanaan
    Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori
1996 pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan
menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid
jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi
rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun
dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa
MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik
yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3.   Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin, dan famotidin. 
4.   Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5.   Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian
atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance)10.
7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti-
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor
kejiwaan seperti cemas dan depresi.
  
3.4.6 Pencegahan
    Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya
dispepsia bahkan memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung.  
 Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk
mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia :
1. Atur pola makan seteratur mungkin.
2. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat
pengosongan isi lambung (coklat, keju, dan lain-lain).

3. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol,


kubis, kentang, melon, semangka, dan lain-lain).

4. Hindari makanan yang terlalu pedas.

5. Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.

6. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti


obat anti-inflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin,
naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk
mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.

7. Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.


8. Jika anda perokok, berhentilah merokok.

9. Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan


sebelum waktu tidur.

10. Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu,


seperti makan terlalu banyak, terutama makanan berat dan berminyak, makan
terlalu cepat, atau makan sesaat sebelum olahraga.

11. Pertahankan berat badan sehat

12. Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa


hari seminggu) untuk mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang
akan mengurangi dispepsia.

13. Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan


dispepsia. Baik itu antasid, PPI, penghambat histamin-2 reseptor, dan obat
motilitas.  
 
BAB IV
ANALISIS KASUS

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan, sampai gejala yang berat. Namun diagnosa PPOK dapat ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Pada gambaran klinis,
bila ditemukan sesak nafas yang kronik dan progresif, serta riwayat terpajan oleh
faktor-faktor resiko. Maka diagnosa dari PPOK harus dipertimbangkan, dan
kemudian dikonfirmasi dengan melakukan spirometri.9,13,16
Pada kasus ini, seorang laki-laki berusia 70 tahun dengan keluhan utama
sesak nafas yang bertambah hebat sejak 7 hari SMRS dan dengan keluhan
tambahan nyeri ulu hati dan batuk sejak 7 hari SMRS. Dari anamnesis, ditemukan
adanya sesak yang bertambah hebat yang dipengaruhi oleh aktifitas disertai bunyi
mengi, dan batuk berulang yang berdahak dengan produksi dahak yang
meningkat, dan ada riwayat terpajan faktor resiko (merokok 1 bungkus perhari
selama 58 tahun). Kemudian pada pemeriksaan fisik, peningkatan frekuensi
pernafasan, pada inspeksi dada ditemukan adanya barrel shaped chest, penderita
kurus, sela iga melebar, sudut kosto frenikus > 900, retraksi dinding dada dan
penggunaan otot bantu nafas. Pada palpasi stem fremitus menurun pada kedua
lapangan paru dan sela iga melebar. Pada perkusi didapatkan hipersonor dikedua
lapangan paru, batas paru hepar ICS VII, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae
dengan tepi tajam, kosistensi kenyal. Pada auskultasi didapatkan vesikuler
menurun pada kedua lapangan paru, terdapat wheezing ekspirasi, dan ekspirasi
memanjang. Dari data tersebut kecurigaan adanya PPOK eksaserasi akut karena
terdapat peningkatan gejala yaitu bertambahnya sesak dan bertambahnya jumlah
sputum. Dari hasil rontgen thorax AP menunjang diagnosis PPOK, dimana
ditemukannya batas paru hepar memanjang, sudut costophrenikus tumpul
(diafragma mendatar), hiperlusen parenkim paru, dan sela iga melebar
(hiperinflasi).9,16
Dari seluruh hasil pemeriksaan di atas kami menyimpulkan bahwa
diagnosis pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut. Maka terapi farmakologis
yang dilakukan adalah pemberian oksigen, bronkodilator, antibiotik spektrum
luas, dan ekspektoran.
Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis/pemeriksaan fisik, foto thorax, pemeriksaan sputum BTA, dan laboratorium
penunjang. Gejala klinis pada penderita TB paru dibagi menjadi gejala sistemik
dan gejala respiratorik. Gejala sistemik berupa demam dan berkeringat pada
malam hari, badan terasa lemah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat
badan. Gejala respiratorik berupa batuk, sesak napas dan rasa nyeri dada. Batuk
biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum mukoid
atau purulen. Batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek, sesak
napas biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut.9,13,16
Pada pasien ini, ditemukan juga gejala klinis berupa batuk >3 minggu,
keringat dan demam lama pada malam hari, serta nafsu makan dan berat badan
menurun, dan adanya riwayat mengkonsumsi obat OAT sekitar 1 tahun yang lalu
yang kemudian berhenti karena dinyatakan sembuh oleh dokter.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas dan
kelainan struktural paru. Pemeriksaan fisik dapat normal pada lesi minimal,
kelainan umumnya terletak pada daerah apikal/posterior lobus atas dan daerah
apikal lobus bawah. Kelainan yang dapat ditemukan antara lain berupa bentuk
dada yang tidak simetris, pergerakan paru yang tertinggal, peningkatan
stemfremitus, redup pada perkusi, suara napas bronkial/amforik/vesikuler
melemah,/ronkhi basah ataupun tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum.9,15
Kelainan pulmo yang dapat ditemukan pada Tn. B adalah auskultasi
ditemukan vesikuler (+) menurun pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang
pada apex kedua paru.
Dari pemeriksaan foto thorax standar pada TB paru yaitu foto thorax PA
ditemukan gambaran lesi yang menyokong ke arah TB paru aktif biasanya berupa
infiltrat nodular berbagai ukuran di lobus atas paru, kavitas (terutama lebih dari
satu), bercak milier ataupun adanya efusi pleura unilateral. Gambaran lesi tidak
aktif biasanya berupa fibrotik, atelektasis, kalsifikasi, penebalan pleura, penarikan
hilus dan deviasi trakea. Berdasarkan luas lesi pada paru, ATS (American
Thoracic Society) membaginya atas lesi minimal, lesi sedang dan lesi luas.9,13,15
Pada foto thorax pasien ini tampak infiltrat pada parenkim paru kanan dan
kiri. Berdasarkan gambaran lesi tersebut, lesi paru pada pasien ini termasuk
dalam lesi sedang.
Terminologi tipe penderita TB dibagi menjadi enam kelompok, yaitu
kasus baru, kasus kambuh, kasus gagal, kasus pindahan, kasus berobat setelah
lalai, dan kasus kronik. Kasus baru adalah penderita TB paru yang belum pernah
mendapat OAT atau yang pernah mendapat OAT tetapi kurang dari satu bulan.
Kasus kambuh adalah penderita TB paru dengan BTA positif yang sebelumnya
sudah dinyatakan sembuh, tetapi kini datang lagi dan pada pemeriksaan BTA
memberikan hasil positif. Kasus gagal adalah penderita TB paru dengan BTA
positif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA positif pada 1 bulan
sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. Batasan ini juga berlaku
untuk penderita TB paru dengan BTA negative yang sudah mendapat OAT, tetapi
sputum BTA justru menjadi positif pada akhir pengobatan fase awal. Kasus
pindahan adalah penderita TB paru dari kabupaten/kota lain yang sekarang
menetap di kabupaten/kota ini. Kasus berobat setelah lalai adalah penderita TB
paru yang menghentikan pengobatan (2 bulan atau lebih) dalam keadaan belum
dinyatakan sembuh dan kini datang lagi untuk berobat dengan BTA positif. Kasus
kronik adalah penderita Tb paru dengan BTA yang tetap positif, walaupun sudah
mendapatkan ulang yang adekuat dengan pengawasan yang baik. Pasien ini
mempunyai riwayat minum OAT selama 6 bulan dan berhenti dari terapi karena
setelah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi pasien ini termasuk pasien dengan
suspek kasus kambuh TB paru.
Terminologi diagnosis dibagi dalam 3 kelompok, yaitu TB paru BTA
positif, TB paru BTA negatif dan bekas TB paru. Yang termasuk TB paru BTA
positif apabila sputum BTA positif ≥2 kali, sputum BTA positif ≥1 kali dengan
kultur positif atau sputum BTA positif ≥1 kali dengan klinis/radiologis sesuai
dengan TB paru. TB paru negatif apabila klinis dan radiologis sesuai dengan TB
paru, sputum BTA negatif dan kultur negatif atau positif. Bekas TB paru apabila
sputum dan kultur negatif, gejala klinis tidak menunjang dan gambaran radiologis
menunjukkan gambaran tak aktif.9,17 Pada pasien belum bisa diketahui termasuk
kedalam kelompok TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif ataukah bekas TB
paru karena belum didapatkan hasil pemeriksaan sputum. Dari seluruh hasil
pemeriksaan di atas kami menyimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah
suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang.
Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang, dan sering bersendawa. Dispepsia dapat disebabkan oleh kalainan
organik (misalnya tukak peptik, gastritis, kolesistitis, dan lainnya), maupun yang
bersifat fungsional. Berdasarkan kriteria Roma II tahun 2000 dispepsia
didefnisikan sebagai dyspepsia refers to pain or discomfort centered in upper
abdomen. Dispepsia fungsional dibagi atas 3 subgrup yaitu: (a) dispepsia mirip
ulkus {ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominant adalah nyeri ulu hati; (b)
dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-likedyspepsia) bila gejala dominant
adalah kembung, mual, cepat kenyang; dan (c) dyspepsia non-spesifik yaitu bila
gejalanya tidak sesuai dengan (a) maupun (b).11,12
Pada pasien ini, selain mengeluh sesak dan batuk, pasien juga mengeluh
adanya mual, sakit pada ulu hati, perasaan cepat penuh, dan sering bersendawa.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien ini kami diagnosis sebagai PPOK eksaserbasi akut + suspek kasus kambuh
TB paru lesi sedang + sindrom dispepsia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad, Rasyid. Etiopatogenesis Penyakit Paru Ostruktif Kronik dalam


Work-Shop Pulmonology. 2002. Palembang: Subbagian Pulmonologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
2. Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan.
Jakarta.
3. Hedge, BM et all. Chronic Ostructive Pulmonary Disease. Kuwait Medical
Journal. 2011. 43: 3 [diakses pada tanggal 26 Maret 2012, tersedia di:
http://www.kma.org.kw/KMJ/journals/Full%20Isslue%20September
%202011.pdf ]
4. WHO. Chronic Ostructive Pulmonary Disease (COPD). 2012. [diakses
pada tanggal 26 Maret 2012, tersedia di:
http://www.who.int/respiratory/copd/en/ ]
5. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2002. Jakarta.
6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta,
2007; 3-4.
7. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan
Keluarga FKUI. 2002.
8. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga
Kesehatan Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. 2004. Bogor: IPB.
9. Ahmad, Zen. Tuberkulosis Paru dalam Work-Shop Pulmonology. 2012.
Palembang: Subbagian Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
10. Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi
Ketiga. Jakarta.: 488-491
11. Bazaldua, O.V. et al. 2006. Dyspepsia: What It Is and What to Do About
It. http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/dyspe
psia.html, Desember 2006
12. D Dharmika. Dispepsia fungsional. In : Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid I. 5 th Ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009.p.529-33.
13. Ravigliane, Maria C, O’Brien, Richard J. 2008. Tuberculosis. In: Fauci
AS, Braunwald E, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th
edition. New York; McGraw Hill. p: 953-965
14. Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et all 2011. Inhaled
Corticosteroids in Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Journal of American Medical Association, p. 2408-2416.
15. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI, p. 984-5.
16. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI; 2006
17. Kreider, Marry Elizabeth, Rossman, Milton D. 200. Treatment of
Tuberculosis. In: Fishman, Alfred P, editor. Fishman’s Pulmonary
Diseases and Disorders. 4th edition. New York; McGraw Hill. p: 2467-
2486

…test………mm…mnmnmnmnkmkml

Anda mungkin juga menyukai