Anda di halaman 1dari 6

KEBIJAKAN KRIMINAL DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

A. HUBUNGAN KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) DENGAN


KEBIJAKAN SOSIAL (SOCIAL POLICY)
1. Pengertian Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)
Secara harafiah, pengertian kebijakan berasal dari Bahasa Belanda ”Politiek” dan
Bahasa Inggris ”Policy” yang bermakna atau memiliki arti politik, kebijaksanaan.
Berbicara mengenai kebijaksanaan itu, maka kebijaksanaan yang dimaksud antara lain
meliputi: kebijakan politik kriminal, kebijakan politik sosial, kebijakan
integral/sistematik dalam penanggulangan kejahatan. Mengenai hal itu erat hubungannya
dengan pembangunan nasional yang berkaitan dengan pembangunan hukum itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri lagi, adapun pembangunan merupakan suatu proses yang
berkelanjutan (Continuance) menuju kearah perubahan yang lebih baik, serta terencana
untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun mengenai pembangunan tersebut, dikuatkan
oleh pendapat Saul M. Katz yang ditulis kembali oleh Kadri Husin, menyebutkan bahwa
pembangunan adalah perubahan dari suatu keadaan serta tingkat kondisi kemasyarakatan
sebagaimana yang diinginkan untuk menjadi yang lebih baik dibidang sosial.

Prof. Sudarto, SH mengemukakan tiga rti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :


a. Arti Sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termaksuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Arti paling luas (diambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-bdan resmi, yang bertujuan
untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat.

Kebijakan kriminal atau politik kriminal juga dapat diartikan sebagai suatu usaha
yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

2. Pengertian Kebijakan Sosial (Social Policy)


Menurut Spicker, Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan
kesejahteraan (welfare), baik dalam arti luas yang menyangkut kualitas hidup manusia
maupun dalam arti sempit yang menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan
kolektif tertentu guna melidungi kesejahteraan rakyat.

Huttman juga menyebutkan bahwa, Kebijakan sosial adalah strategi-strategi,


tindakan-tindakan atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi
kebutuhan sosial.

Dari berbagai definisi yang dikemukan oleh berbagai ahli dapat disimpulkan
bahwa kebijakan sosial merupakan salah satu kebijakan publik. Kebijakan sosial
merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat
publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak
guna menciptakan kesejahteraan sosial.

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala sesuatu usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup didalamnya
“social welfare policy” dan “social defence policy”.

3. Hubungan antara Kebijakan Kriminal dengan Kebijakan Sosial

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan


bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan
utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa politik kriminal
pada hakikatnya merupakan bagian integral dari politik sosial. Yaitu kebijakan atau
upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Secara skematis hubungan itu dapat
digambarkan sebagai berikut :
SOCIAL WELFARE POLICY

SOCIAL POLICY TUJUAN

SOCIAL DEFENCE POLICY

NON-PENAL

CRIMINAL POLICY

PENAL

Tujuan akhir dari politik kriminal atau kebijakan kriminal ialah perlindungan
masyarakat untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah,
seperti kebahagian warga masyarakat/penduduk (happiness of the citizen); kehidupan
kultural yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living), kesejahteraan
masyarakat (social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality). Secara
sederhana tujuan kebijakan kriminal itu sendiri adalah untuk memberikan perlindungan
kepada masyarakat akan rasa aman, tenteram, adil, makmur, dan sampai pada
kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Kebijakan penanggulangan kejahatan atau
penegakan hukum secara politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang luas,
sebagaimana teori G. Peter Hoefnagels ”criminal policy”, menurut teori G. Peter
Hoefnagels, upaya penanggulangan kriminal dapat ditempuh dengan:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);


3. Pengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan lewat
media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka wajarlah apabila politik kriminal


merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional untuk mencapai
masyarakat yang sejahtera dan perlindungan masyarakat sebagai perwujudan
pembangunan manusia seutuhnya. Upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana,
seperti halnya penanggulangan tindak pidana (politik kriminal) dapat ditempuh atau
dilakukan dengan menggunakan sarana kebijakan hukum pidana (penal) maupun dengan
menggunakan sarana pendekatan preventif (non-penal)

Setelah menjabarkan bagan diatas maka dapatlah di jawab bahwa hubungan


antara Kebijakan Kriminal dengan Kebijakan Sosial adalah bahwa kebijakan kriminal
merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Kebijakan sosial dilakukan dengan dua
cara yakni kebijakan kesejahteraan sosial dan kebijakan perlindungan sosial. Kebijakan
kriminal merupakan bagian dari kebijakan perlindungan sosial. Sehingga dapatlah
disimpulkan bahwa kebijakan kriminal merupakan bagian yang tidak terlepas dalam
rangka pembuatan kebijakan sosial.

B. HUBUNGAN KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) DENGAN


KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY)
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Marc Ancel menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari 3 (tiga)
komponen, yaitu; “criminology”, “criminal law”, “penal policy”. Marc Ancel juga pernah
mengemukakan mengenai kebijakan hukum pidana “penal policy” sebagaimana yang
dikutif oleh Barda Nawawi Arief, bahwa “penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan
juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan
Istilah “kebijakan” diambil dati istilah “policy”(Inggris) atau “politiek”
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana
dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. dalam kepustakaan asing istilah
“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal
policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum
maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief,
politik hukum, adalah: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari negara melalui badan-
badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan
Bertolak dari pemikiran diatas, menurut Prof Sudarto, SH, “Politik hukum
pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Melaksanakan
“politik hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana
yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang
akan datang.
Marc Ancel mengemukakan bahwa “penal policy” dinyatakan sebagai suatu ilmu
sekaligus seni bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang dirumuskan
secara lebih baik.
Menurut A. Mulder, kebijakan hukum pidana ialah kebijakan untuk menentukan:
1. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui;
2. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana h
arus dilaksanakan.

2. Hubungan Kebijakan Kriminal dengan Kebijakan Hukum Pidana

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan
atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan
perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana).
oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana
merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Disamping itu, usaha penangglangan kejahatan lewat pembuatan undang-
undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan juga merupakan bagian integral
dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pula apabila
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau
politik sosial.

Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum


pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana) juga menentukan masalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak
pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum yang kemudian
menurut pendapat Yoseph Goldstein, yaitu salah satu upaya penanggulangan tindak
pidana, yakni pertama ”total enforcement” (penegakan hukum sepenuhnya/total),
khususnya penegakan hukum pidana substansif (substansif law of crime). Penegakan
hukum secara total inipun memiliki keterbatasan, sebab aparat penegak hukum dibatasi
secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain meliputi aturan-aturan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan serta
hal lainnya. Adapun ruang lingkup yang dibatasi ini disebut ”area of no enforcement”
(area 22 dimana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Penegakan
hukum kedua, yaitu ”full enforcement” (penegakan hukum secara penuh) dalam ruang
lingkup dimana penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Hal
ini dianggap ”not a realistic expectation”, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan kesemuanya mengakibatkan
keharusan dilakukan ”discreation” dan yang ”actual enforcement”

Anda mungkin juga menyukai