Anda di halaman 1dari 8

APPLICATION

Muhammad Rafli Hidayad1 , Muhammad Haidlor Lc2


Program Studi Teknik Konstruksi Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas
Jember1 , Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas
Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember2
Jalan Kalimantan No. 37 Kampus Tegal Boto Jember 68121
Email : 211910701029@mail.unej.ac.id1 , haifazahir@gmail.com2

ABSTRAK
Dalam sebuah masyarakat di Indonesia, kita dihadapkan dengan konsekuensi
adanya beberapa konflik yang melibatkan perselisihan ras, suku, bahkan agama.
Untuk menghindari hal tersebut toleransi diagung-agungkan untuk disosialisasikan
dan diinterealisasikan di setiap anggota masyarakat baik dari tingkat sekolah
sampai pada aktivitas lainnya. Adanya sebuah perayaan besar dimanfaatkan oleh
berbagai pihak sebagai ajang mempererat tali persaudaraan antar warga di Jember.
Setiap adanya event, selalu ada tangan-tangan lain yang ikut membantu
dikarenakan nilai luhur yang mengakar akan sebuah rasa gotong royong khas
masyarakat Jember, apapun agamanya. Tulisan ini dibuat untuk mengetahui
penyebab sebuah kebudayaan bisa diselenggarakan dalam keberagaman umat dan
menjadikannya faktor pendorong toleransi. Bangsa Indonesia berkomitmen
bahwasannya negara multi agama ini perlu adanya komitmen yang kuat akan
toleransi dan integrasi dalam pengemasannya. Kebiasaan, apresiasi, dan partisipasi
masyarakat inilah yang nantinya akan membentuk kerukunan sesuai kebiasaan uri-
uri budaya yang dilakukan guna mempersatukan perbedaan akan kesadaran kognitif
yang terintegrasi.

Keywords: Kerukunan umat beragama, toleransi di Indonesia dan Pluralitas


Agama
1. PENDAHULUAN
Dalam sejarah Indonesia, negeri ini selalu terbuka terhadap pemikiran dari
luar dan telah terbukti ramah terhadap budaya asing. Kondisi tersebut menjadikan
Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman dalam berbagai sektor
baik dari segi bahasa, adat, suku, kondisi alam, maupun agama. Dengan demikian,
Indonesia memiliki kompleksitas yang tinggi dengan jumlah agama yang dimiliki
di antaranya Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Dalam komponen agama
tersebut, Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di
Indonesia. Banyaknya agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia,
menimbulkan sejumlah problematika yang berhubungan dengan penganut antar
agama.
Pluralitas dan heterogenitas masyarakat Indonesia tercermin dalam semboyan
negara, yakni “Bhineka Tunggal Ika” serta identitas negara yang terdapat dalam 5
sila di Pancasila. Sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pondasi
dari segala sila, menjadikan warga Indonesia bebas memeluk agama dengan syarat
mengakui agama di Indonesia dan menghormatiya. Karena keberagaman wilayah
serta culturnya, agama di Indonesia menjadi beragam dan yang diakui pemerintah
Republik Indonesia secara administratif adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu (Saifudin 2000:2). Kesatuan dalam keragaman budaya
bangsa memiliki keunikan dalam menjaga kerukunan antaumat beragama yang
harus diakomodasi oleh seluruh warga negara, secara sadar berdasarkan falsafah
negara yang telah disepakati bersama yaitu Pancasila.
Indonesia sebagai negara multicultural dan nation-state dapat dijadikan
sebagai barometer negara multi-culture di dunia. Namun, kemajemukan sebuah
agama terkadang membawa potensi persoalan serta konflik antar masyarakat yang
berorientasi terhadap perpecahan bangsa. Munculnya benih konflik pada
masyarakat multikultur dapat mengakibatkan pemisahan yang menimbulkan sifat
ke-kita-an yang bukan bagian dari bangsa Indonesia (Lestari, 2015). Dari
permasalahan tersebut masyarakat yang memiliki keberagaman budaya dan agama
akan lebih rentan terhadap konflik sosial yang pecah akibat sebuah intoleran sebuah
kelompok tertentu.
Sejarah mencatat bahwa ketegangan antar umat beragama di Indonesia acap
kali terjadi, dan kebanyakan antara penganut Islam dengan Kristen. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat tentang agama dan
perkembangannya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Akhirnya,
masing-masing penganut agama tidak mengklaim bahwa hanya agama merekalah
yang paling benar. Atas dasar itu reaktualisasi kerukunan memiliki peranan penting,
terutama sekali dalam konteks sosial sehingga umat beragama dapat hidup dengan
damai.
Keberagaman agama di Jember menurut data (BPS Provinsi Jawa Timur)
tahun 2016, tercatat Jember memiliki 2..294.519 jiwa beragama Islam, 28.926 jiwa
beragama Protestan, 19.288 jiwa beragama Katolik, 1.609 jiwa beragama Hindu,
3.401 jiwa beragama Budha, dan 343 jiwa kepercayaan lainnya. Sebuah desa di
Jember yaitu Desa Sukoreno dapat memberikan gambaran dalam kerukunan uma
beragama dengan turut andil serta guyub rukun untuk mengadakan upacara
keagamaan ataupun perayaan hari raya masing-masing agama yang ada, yakni
Islam, Hindu, Katolik, dan Protestan.
Sebuah pengalaman dan pengakuan yang diwujudkan dalam realita adalah
sebuah nilai yang memang ada dan diajarkan di setiap agama dalam menjalin
hubungan sosial antar umatnya atau umat agama lain sebagai wujud keberagaman
manusia yang ada dan sesuatu yang vita dalam menjalin setiap hubungan sosisalnya
yang membudaya. Interaksi sosial terjadi akibat adanya hubungan timbal balik
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan
kelompok yang memiliki tujuan yang sama (Sujarwnto, 2012). Tak jarang di dalam
sebuah komunitas masyarakat yang mempunyai kemajemukan dalam beragama
dapat memunculkan kebudayaan bersama yang dapat mengintegrasi.
Dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, tulisan ini akan
menjelaskan bagaimana perbedaan agama beserta nilai-nilai dan norma yang
diyakininya mampu dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi,
menginternalisasikan, dan mengatur sedemikian rupa agar diterapkan oleh
masyarakat Jember. Namun, hal ini lantas berhubungan dengan nilai dan adat luhur
yang ada di sebuah desa, jika dibandingkan dengan kota. Sebuah desa sendiri
mempunyai karakteristik yang berlandaskan kegotong-royongan di mana hal ini
akan mengakar di sebuah pedesaan yang memang dalam kesehariannya intensitas
dalam berinteraksi, bertukar ide, dan bahkan norma-norma mengikat yang saling
disepakati akan terinternalisasi secara kuat.
Meskipun tidak semua masyarakat di Jember menerapkan toleransi yang
tinggi antar satu agama ke agama lain, dalam sebuah keseharian dan acara khusus,
meeka akan terdesak oleh mayoritas pelaku budaya sebagai Majority Rule.
Memahami makna terdalam dari sebuah nilai kebudayaan yang disepakati bersama
dalam membawa ketoleransian di atas keberagaman agama. Agama sebagai sistem
simbol, psikological fungsional, budaya, sosial, hingga moods dan motivasi yang
seolah dinampakkan secara realistik (Geertz, 1966:4).

2. METODE
Metode ilmiah ini saya ambil dari penelusuran pada google dengan mencari
referensi dari berbagai buku atau artikel, dengan menggabungkan informasi dari
berbagai artikel dan buku. Akan tetapi dari referensi yang saya ambil ini
bahwasannya ajaran Islam mengungkapkan hidup damai, rukun dan toleran.
3. PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Kerukunan Umat Beragama
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukunan adalah damau dan
perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya
dipergunakan dan berlak dalam dunia pergaulan. Kerukunan antar umat beragama
adalah cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antar
orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan.
Istilah “kerukunan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diartikan sebagai “hidup bersama
dalam masyarakat dengan kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan
perselisihan dan pertengkaran”. Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh
muatan makna baik dan damai. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan
kesatuan hati dan bersepakat utuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran.
Dalam pasal 1 angka (1) peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat
dinyatakan bahwa, “Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan ialah hidup damai dan tenteram
saling toleransi antara masyarakat yang beragama sama maupun berbeda, kesediaan
mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok
lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakini oleh masing-
masing masyarakat, dan kemampuan untuk menerima perbedaan. Kerukunan
mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima,
saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling
memaknai kebersamaan. Berdasarkan pemaparan di atas maka pengertian dari
kerukunan umat bergama adalah kondisi dimana antar umat beragama dapat saling
menerima, saling menghormati keyakinan masing-masing, saling tolong menolong,
dan bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama.

3.2 Kerukunan Umat Beragama Dalam Pandangan Islam


Dalam terminologi Islam, istilah yang dekat dengan kerukunan umat
beragama adalah “tasamuh”. Keduanya menunjukkan pengertian yang hampir
sama, yaitu saling memahami, saling menghormati, dan saling menghargai sebagai
sesama manusia. Konsep toleransi bergama dalam Islam bukan membenarkan dan
mengakui semua agama dan keyakinan yang ada saat ini, karena ini merupakan
persoalan akidah dan keimanan yang harus dijaga dengan baik oleh setiap pribadi
muslim. Tidak ada toleransi dalam hal akidah dan ibadah. Karena sesungguhnya
bagi orang Islam agama yang diridhai di sisi Allah hanyala Islam. Toleransi
hanyalah dalam urusan muamalah dan kehidupan sosial.
Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan
tentunya bukan toleransi yang kebablasan. Toleransi adalah mengakui adanya
keberagaman keyakinan dan kepercayaan di masyarakat, tanpa saling mencampuri
urusan keimanan, kegiatan, tatacara dan ritual peribadatan agama masing-masing.
Membenarkan keyakinan agama lain bukanlah disebut toleransi, tapi pluralisme
agama yang mengarah pada sinkretisme. Sedangkan pluralisme adalah paham yan
bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan keyakinan bahwa Islam
sajalah agama yang benar, yang diridhai Allah.
Ajaran islam yang mengungkapkan hidup damai, rukun dan toleran yaitu:
manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan berbeda-beda, perbedaan
keyakinan tidak bisa dipungkiri, tidak ada paksaan dalam beragama, mengikuti
keteladanan Rasulullah.

3.3 Wujud Toleransi Antar Agama Yang Membudaya


Asal usul nama desa Sukoreno karena di desa ini terdiri dari 4 agama yang
berbeda dan hidup berdampingan tanpa menimbulkan konflik di lingkungan
masyarakat sejak jaman dulu. Agama yang dianut warganya terdiri dari Islam,
Hindu, Katholik, Protestan, ditambah kepercayaan Sapda Dharma dan Ilmu Sejati.
Setiap agama tersebut mempunyai sebuah perayaan dalam mengiringi ibadah
mereka masing-masing. Di dalam perayaan tersebut akan memuat nilai-nilai
kebudayaan yang memang sudah ada sejak dulu, kebudayaan jawa sebelum agama
lainlah yang mereka junjung tinggi sampai sekarang.
Sukoreno adalah sebuah desa di Jember yang mendapatkan dapukan sebagai
desa Pancasila secara politis dimulai pada awal tahun 2018 semenjak pernyataan
dari Bupati Jember, Faida. Hal ini dilatarbelakangi oleh keberagaman agama dan
beberapa perayaan agama besar dan yang paling disoroti adalah pawai ogoh-ogoh
dalam menjelang hari raya nyepi (jemberkab, 2018). Agama sebuah kepercayaan
dan ritual dalam upacara yang dianut oleh sebuah kelompok masyarakat. Mereka
yang mempunyai status lantas dengan sebuah dorongan diri akan prestise akan
melakukan pretensi murni dari sebuah budaya agama tertentu yang murni
pembawaan, lalu dilakukan sebuah pretensi untuk membentuk kebudayaan baru
lagi (Budi, 2009).
Peran tokoh pamong dalam menyebarkan pandangan atau bahkan
keterlibatan dalam sebuah tradisi juga dipengaruhi oleh nilai yang ada dalam kitab
agama masing-masing, sehingga agama juga dapat digunakan sebagai alat
pengendali perilaku sebuah kelompok (Sughiarto, 2005:50). Di mana perilaku yang
didasari oleh ketaatan beragama pada sebuah kelompok ataupun individu mampu
dijadikan acuan melakukan perilaku sesuai peranan yang merupakan bagian dari
kedudukan yang bersifat dinamis, dengan cara melakukan kewajiban dan haknya
dalam peran yang didapatkan (Soerjono, 2006).
3.4 Latar Belakang Budaya dan Nilai
Masyarakat Sukoreno beranggapan bahwa agama dapat mendatangkan
kemakmuran antar masyarakat, hal tersebut terbukti setiap pelaksanaan acara besar
keagamaan Desa Sukoreno menjadi sorotan publik dan masyarakat mancanegara
maupun lokal dalam kaitannya destinasi wisata religi yang tentunya dapat menjadi
pengaruh baik bagi masyarakat sekitar dan tentunya mendongkrak perekonomian
masyarakat. Kesadaran akan adanya kebudayaan dan perayaan besar bersama,
dapat dijadikan peluang sebagai perantara menumbuhkan cipta, karsa, dan karya
dalam mempertahankan sebuah eksistensi, maka akan dilakukan secara turun
temurun untuk melangsungkan kehidupan yang harmonis bagi kelompok
(Sumarsono, et al. 2007).
Acara besar agama desa Sukoreno selalu disambut antusias wisatawan religi
dari seluruh masyarakat, acara agama dijadikan sebagai ajang perekatan antar umat
beragama yang ditunjukkan dengan adanya masing-masing pemuka agama yang
ada ikut serta dalam perayaan agama lain sebagai sikap saling menghormati dan
metolerir masyarakat agar terhindar dari kontraksi sosial yang tentunya
menimbulkan perpecahan. Unesco mengartikan sebuah toleransi adalah sikap
saling hormat, menerima, dan menghargai di tengah keberagaman budaya.

3.5 Peranan Stake Holder dalam Menjaga Keharmonisan


Kearifan lokal sendiri dapat berupa simbol, sistem keorganisasian,
pandangan, semboyan, dan budaya asli masyarakat yang dibiasakan atau diciptakan
oleh sebuah sistem komunal masyarakat dalam menuju kesejahteraan, kedamaian,
dan harmoni sosial sebagai tujuan utama kearifan tersebut (Joko, Tri. 2014).
Kearifan lokal inilah menjadi pendorong, pemersatu, dan pedoman bagi masyarakat
desa Sukoreno yang ditandai dengan pengkoordinasian antar umat beragama
mengenai sebuah kebudayaan satu agama yang dianggap bersama menjadi simbol
desa. Dari situlah muncul kesadaran kolektif yang memang dicakup oleh persamaan
akan simbol yang lantas setiap masyarakat bertanggungjawab untuk menjadi
pelestari budaya. Kebiasaan, apresiasi, dan partisipasi masyarakat inilah yang
nantinya akan membentuk kerukunan sesuai kebiasaan uri-uri budaya yang
dilakukan guna mempersatukan perbedaan akan kesadaran kognitif yang
terintegrasi (Haba, 2007).
4. SIMPULAN
Desa Sukoreno merupakan salah satu desa multikultur dengan keberagaman
agama yang berada dalam satu wilayah dan memiliki ciri khas tersendiri dalam
melakukan ritual keagamaan. Permasalahan serta ketidaksamaan dalam hal
beragama di Desa Sukoreno lantas tidak menjadikan semua komponennya
berpencar. Salah satu desa Pancasila di Jawa Timur ini menjadikan sebuah
diferensiasi tersebut sebagai citra dalam memperbaiki hubungan serta implementasi
terhadap sikap ketakwaan agama yang lebih toleransi dilandaskan interaksi,
komunikasi, pendidikan dan sistem pemerintahan yang saling mengakomodasi.
DAFTAR PUSTAKA
Erningtyas, Widianto. 2021. Toleransi antarumat beragama dan relasinya terhadap
pemeliharaan kebudayaan masyarakat Desa Pancasila, Sukoreno, Umbulsari,
Jember. Malang:Universitas Negeri Malang.
Mawardi. 2015. Reaktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam
Kemajemukan Sosial. Banda Aceh:UIN Ar-Raniry.
Rusydi, Zolehah. 2018. Makna Kerukunan Antar Umat Bergama Dalam Konteks
Keislaman dan Keindonesiaan. Wiralodra:Al-Afkar.

Anda mungkin juga menyukai