Anda di halaman 1dari 2

Sudah tiga bulan sejak hiruk pikuk dunia dimulai.

Tepatnya saat pertama kali negeri


ini ikut diserang oleh virus tak kasat mata. Awalnya hanya satu-dua korban, lama-lama
menyebar tak keruan. Penutupan jalan, gedung-gedung besar, dan segala upaya pemerintah
demi mendinginkan kembali suasana telah dilaksanakan. Termasuk munculnya istilah-istilah
work from home (WFH) dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) guna menyedikitkan kerumunan.

Namun, apa daya masyarakat yang menjadikan jalanan sebagai sumber pencaharian?
Tidak ada istilah WFH bagi mereka. Entah dari mana makanan bisa mereka dapatkan.
Jangan-jangan air hujan pun rela mereka minum demi membasahkan tenggorokan.
Setidaknya itu yang Soni pikirkan.

“Benar, kan? Aku saja yang seharian depan laptop tetap tidak menerima upah yang
seharusnya. Padahal aku yang rugi besar. Modal internet, tenaga. Bahkan kesehatan mataku
patut dipertanyakan sekarang,” ujar Soni seraya menggosok mata. Meyakini bahwa matanya
sesakit dunia saat ini.

“Tenaga apa, toh? Kau hanya duduk diam, bukan? Tak perlu menyetir ke sana-sini
lagi untuk survei.”

“Hei, duduk diam depan laptop bisa bikin kaki kesemutan, kram. Juga otak ini. Ide-
ide pertemuan yang harus dilaksanakan secara daring lebih sulit dari pada tatap muka, tahu.”
Soni bersungut-sungut. Kakaknya ini tahu apa sih soal WFH? Seorang seleb seperti dia hanya
modal berceloteh di sosial media saja uang tetap mengalir. Jadi, ya, pandemi ataupun tidak
tetap tak jadi masalah untuk bekerja di rumah. Bukan WFH dadakan seperti adiknya ini.

“Jangan kau pikir jadi aku mudah-mudah saja, Soni. Menghibur warganet juga harus
hati-hati. Salah-salah malah masuk bui nanti.”

Soni menghela napas. Ada benarnya perkataan seleb yang mengaku dirinya influencer
ini. Netizen sekarang berbahaya. Padahal niat kakaknya hendak meghibur, menjadi sumbu
api semangat di tengah pandemi yang meresahkan. Tetapi tak sedikit respon mereka yang
malah menyudutkan dan salah mengartikan. Ujung-ujungnya dibalas kata-kata jahat yang
sebenarnya kosong. Pelampiasan amarah karena berbulan-bulan terkurung di rumah semakin
membuktikan kalimat “jarimu harimaumu” benar-benar nyata.

“Ah, bisa gila aku. Mau sampai kapan coba, wabah ini terus melanda? Sudah
menginjak empat bulan. Aku saja yang bekerja kantoran ekonomi tetap melarat, bagaimana
kabar pedagang asongan, ya?”
Kakak Soni terheran-heran mendengarnya. Sejak kapan adiknya menjadi berjiwa
sosial begini? “Tumben-tumbenan kau memikirkan orang lain, Soni. Biasanya denganku pun
kau pelit minta ampun.”

“Beda cerita, Kak. Ini pasal ekonomi. Bayangkan, pedagang-pedagang asongan itu
kehilangan banyak pelanggan selama pandemi ini. Bolehlah kalau mereka paham jualan
online, jika tidak?” Soni menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkan betapa
sengsaranya mereka. Belum lagi anak-anak yang membutuhkan perangkat seluler beserta
internetnya demi meneruskan pendidikan mereka. “Pe

Anda mungkin juga menyukai