Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa merupakan salah satu tanaman yang terpenting dalam

perekonomian Indonesia. Hampir semua bagian dari tanaman kelapa baik dari

batang, daun dan buah mempunyai nilai ekonomi sosial yang cukup tinggi. Jika

dinilai dari aspek ekonomi, kelapa memiliki nilai ekonomi yang cukup

menguntungkan jika dilakukan pengolahan dan pemanfaatan baik dari sabut,

tempurung dan buah kelapa. Batang kelapa yang sudah tua dapat dijadikan bahan

bangunan, seperti bahan bangunan rumah dan jembatan darurat. Kayu dari batang

kelapa juga dapat dimanfaatkan untuk kerangka perahu dan kayu bakar maupun

mebel dengan tekstur yang menarik. Daun kelapa yang masih muda sering

digunakan untu hiasan dalam berbagai acara adat dan keagamaan, sedangkan

daun yang sudah tua dapat digunakan sebagai atap rumah, barang anyaman, sapu

lidi dan tususk sate.

Lignoselulosa merupakan sebuah komponen organik yang jumlahnya

berlimpah dan terdiri dari tiga polimer yaitu selulosa (35% - 50%), hemiselulosa

(20% - 35%) dan lignin (10% - 25%). Komponen ini merupakan sumber utama

dalam menghasilkan gula dari hasil fermentasi, bahan kimia, dan bahan

bakar cair. Bahan lignoselulosa bisa diperoleh dari berbagai sumber, misalnya

tangkai kayu, jerami padi, daun, rumput dan sebagainya. Proses degradasi,
2

menggunakan asam sulfat harus melalui beberapa tahapan antara lain

delignifikasi untuk melepas selulosa dan hemiselulosa dari ikatan kompleks lignin

dan depolimerisasi untuk mendapatkan gula bebas (Anindyawati, 2010).

Lignin adalah polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi dan

tersusun atas unit-unit fenil propan. Meskipun tersusun atas karbon, hidrogen dan

oksida, tetapi lignin bukanlah suatu karbohidrat. Lignin terdapat di antara sel-sel

dan didalam dinding sel. Di antara dinding sel lignin berfungsi sebagai pengikat

untuk sel-sel secara bersama-sama. Proses pemisahan atau penghilangan lignin

dari serat selulosa dapat disebut juga dengan delignifikasi atau pulping

(Paskawati, dkk 2010).

Asam format merupakan salah satu pelarut organik yang sering digunakan

sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp. Keunggulan utama asam format

dibanding pelarut organik lain sebagai larutan pemasak adalah proses pembuatan

pulp dapat dilakukan pada suhu dan tekanan lebih rendah dan selektifitas tinggi

untuk mempertahankan selulosa terdegradasi (Muurinen 2000).


3

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2019) yaitu Pembuatan pulp dari

limbah sabut kelapa muda dengan menggunakan metode organosolv

menggunakan pemanas microwave dengan memvariasikan konsentrasi larutan

etanol sebagai larutan reaksi (5%, 10% dan 15%) pada level microwave 300 dan

400 W dan variasi waktu reaksi (30, 60, dan 90) menit. Digunakannya larutan

etanol sebagai larutan reaksi karena sangat ramah dengan lingkungan, harga yang

terjangkau dan dapat menjaga selulosa yang terdegradasi pada suatu cairan dan

padatan tertentu. Kondisi optimum yang didapat pada proses pembuatan pulp

adalah konsentrasi etanol 5%, dengan level microwafe 300 W, dan waktu

pemasakan 30 menit dengan kadar lignin 1,875%.

Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari., dkk (2015) yaitu delignifikasi

batang jagung dengan proses organosolv menggunakan pelarut asam format

dengan memvariasikan konsentrasi asam format (70, 80 dan 90)% dengan

konsentrasi katalis asam klorida 0,2% dan variasi waktu reaksi (0, 15, 30, 45, 60,

75, 90, 105, 120, 135, 150, 165 dan 180) menit dengan perbandingan nisbah

padatan dan larutan 10:1. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa batang

jagung dapat dijadikan pulp dengan proses organosolv dan menghasilkan yield

pulp 31,88-47,01% dan kadar lignin pulp 10-14,31%.

Penelitian lain juga menggunakan pelarut asam organik konsentrasi rendah

dengan campuran antara asam format dan hydrogen peroxide sebagai pelarut
4

dalam mendelegnifikasi bahan lignoselulosa, seperti yang dilakukan oleh Nazir.,

dkk (2013) ekstraksi selulosa dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dilakukan

dengan menggunakan campuran dari 20% asam format dan 10% hydrogen

peroxide dengan perbandingan 1 : 1 (v/v) menggunakan alat autoclave yang

dipanaskan dengan air pada suhu 85°C selama 2 jam kemudian dilakukan

perendaman dengan hidrogen peroksida pH 11 selama 90 menit pada suhu 60°C.

pH di netralkan dengan larutan NaOH 10%. Hasil ekstraski selulosa di dapatkan

yield pulp sebesar 64%.

Penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2019), Puspitasari., dkk (2015),

dan Nazir., dkk (2013), didapatkan beberapa kelemahan dalam penelitian yang

dilakukan oleh Puspitasari., dkk (2015) jika disandingkan dengan penelitian yang

telah dilakukan oleh Nazir., dkk (2013) yaitu dalam peningkatan yield pulp.

Penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2019) mengalami penurunan konsentrasi

yield lignin dimana penurunan tersebut dikarenakan proses delignifikasi sangat

cepat. Pada penelitian Puspitasari., dkk (2015) mengalami penurunan perolehan

yield lignin seiring meningkatnya waktu reaksi dan konsentrasi asam formiat.

Kenaikan konsentrasi asam farmiat dari 70% menjadi 90% menyebabkan

terjadinya peningkatan derajat delignifikasi sehingga yield lignin dalam pulp

menurun karena semakin banyak lignin yang berhasil disisihkan dan larut dalam

pelarut.

Sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan perbaikan untuk

mendapatkan hasil yang terbaik dan optimal dalam proses mendapatkan pulp

dengan yield lignin yang rendah, untuk itu maka metode penelitian yang
5

dilakukan adalah dengan menggunakan metode organosolv atau metode

pembuatan pulp dengan pelarut organik yaitu dengan menggunakan asam format.

Bahan baku yang digunakan yaitu sabut kelapa dengan memvariasikan

konsentrasi hidrogen peroksida (5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%)

menggunakan katalis hidrogen peroksida dengan konsentrasi dalam proses

delignifikasi adalah 10% dengan harapan hasil yield lignin yang didapatkan

memiliki nilai yield lignin terbaik, serta mengetahui pengaruh konsentrasi

hidrogen peroksida terhadap penurunan kadar lignin.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi

hidrogen peroksida dalam tahapan bleaching terhadap penurunan kadar lignin dari

sabut kelapa.

Manfaat penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah sabut kelapa

sebagai sumber bahan baku energi alternative dalam bahan baku pembuatan pulp.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pulp

Pulp adalah hasil pemisahan serat dari bahan baku berserat. Pulp dapat

dibuat dari bahan kayu, non kayu dan kertas bekas. Pulp adalah bahan berupa

serat berwarna putih yang diperoleh melalui proses penyisihan lignin dari

biomassa (delignifikasi). Pulp digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan

kertas dan dapat juga dikonversi menjadi senyawa turunan selulosa termasuk

selulosa asetat.

Tabel 2.1 Standar Kualitas Pulp

Komponen Kadar (%)


Selulosa Min 40
Lignin Maks 16
Ash Maks 3
Air Maks 7
Sumber: Balai Besar Pulp, 1989 (sesuai dengan SNI 7274)

2.2 Kelapa

2.2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan salah satu anggota tanaman palma

yang paling dikenal dan banyak tersebar di daerah tropis. Pohon kelapa

merupakan jenis tanaman berumah satu dengan batang tanaman tumbuh lurus ke

atas dan tidak bercabang. Tinggi pohon kelapa dapat mencapai 10-14 meter lebih,

daunnya berpelepah dengan panjang dapat mencapai 3-4 meter lebih dengan sirip-

sirip lidi yang menopang tiap helaian.


7

Kelapa merupakan salah satu dari tanaman perkebunan atau industri

dengan batang tanaman yang lurus dan tinggi. Menurut Cook, et al,

kata coco pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama, atau dapat juga

disebut nux indica, al-djanz al-kindi, ganz-ganz, nargil, narli, tenga,

temuai, atau coconut. Kelapa juga disebut sebagai pohon kehidupan.

Kelapa (Cocos nucifera L) merupaakan salah satu anggota tanaman

palmae yang paling dikenal dan banyak tersebar di daerah tropis. Daunnya

panjang dapat mencapai sekitar 3-4 meter lebih dengan sirip-sirip lidi yang

menopang pada tiap helaian. Dalam taksonomi tumbuh-tumbuhan, maka tanaman

kelapa dimasukkan ke dalam klasifikasi sebagai berikut :

- Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

- Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

- Sub-divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

- Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)

- Ordo : Palmales

- Famili : Palmae

- Genus : Cocos

- Spesies : Cocos nucifera L (Nurul, 2007)

Tanaman kelapa mempunyai nilai ekonomi tinggi dan tumbuh baik di

daerah tropis dengan suhu sekitar 27 oC dan dapat dijumpai baik di dataran rendah

maupun dataran tinggi. Pohon kelapa ini dapat tumbuh dan berbuah dengan baik

di daerah dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m dari permukaan laut. Pada

dataran tinggi dengan ketinggian antara 450 - 1000 m dari permukaan laut,
8

walaupun pohon ini dapat tumbuh, waktu berbuahnya lebih lambat, produksinya

lebih sedikit dan kadar minyaknya rendah (Amin, 2009).

Gambar 2.1 Kelapa (Cocos nucifera)


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa

2.2.2 Sabut Kelapa

Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus

tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas

lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium

mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali,

karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi

jok kursi/mobil dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan 0,4 kg

sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas

selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium

(Rindengan, et al., 1995). India dan Sri Lanka adalah produsen terbesar produk-

produk dari sabut dengan volume ekspor tahun 2000 masing-masing 55.352 ton

dan 127.296 ton dan masing-masing terdiri atas 6 dan 7 macam produk. Pada saat

yang sama, Indonesia hanya mengekspor satu jenis produk (berupa serat mentah)
9

dengan volume 102 ton. Angka ini menurun tajam dibandingkan ekspor tertinggi

pada tahun 1996 yang mencapai 866 ton (Ditjenbun, 2002; BPS, 2002).

Sabut kelapa jika diurai akan menghasilkan serat sabut (cocofibre) dan

serbuk sabut (cococoir). Namun produk inti dari sabut adalah serat sabut. Dari

produk cocofibre akan menghasilan aneka macam derivasi produk yang

manfatnya sangat luar biasa. Menurut Choir Institute, kelebihan serat sabut kelapa

antara lain anti ngengat, tahan terhadap jamur dan membusuk, memberikan

insulasi yang sangat baik terhadap suhu dan suara, tidak mudah terbakar, flame-

retardant, tidak terkena oleh kelembaban dan kelembaban, alot dan tahan lama,

resilient, mata kembali ke bentuk konstan bahkan setelah digunakan, totally statis,

mudah dibersihkan serta mampu menampung air 3x dari beratnya. Sabut 15 kali

lebih lama daripada kapas untuk rusak dan 7 kali lebih lama dari rami untuk rusak

sedangkan kabut Geotextiles adalah 100% bio-degradable dan ramah lingkungan.

Gambar 2.2 Sabut Kelapa

Sabut kelapa dapat diolah menjadi beragam produk jadi dan setengah jadi

yang memiliki nilai jual tinggi. Produk tersebut antara lain: tali sabut, keset, serat
10

sabut (cocofibre), serbuk sabut (cocopeat), serbuk sabut padat (cocopeatbrick),

cocomesh, cocopot, cocosheet, coco fiber board (CFB) dan cococoir.

2.2.3 Komposisi Serat Sabut Kelapa

Hasil uji komposisi serat sabut kelapa berdasarkan SNI yang dilakukan

Sarana Riset dan Standarisasi dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Sabut Kelapa

Komposisi Jumlah (% berat kering)

Selulosa 27,02

Hemiselulosa 56,82

Lignin 36,9

Zat Ekstraktif dalam


3,62
alkohol-benzen

Ash pada suhu 525oC 3,1

Sumber: Jincy et. al., 2015

2.2.3.1 Lignin

Lignin merupakan senyawa yang sangat kompleks dengan berat molekul

tinggi. Lignin terdapat diantara sel – sel dan di dalam dinding sel. Dimana fungsi

lignin yang terletak diantara sel adalah sebagai perekat untuk mengikat/ perekat

antar sel, sehingga tidak dikehendaki. Sementara dalam dinding sel lignin sangat

erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi untuk memberi ketegaran pada

sel. Lignin dapat diisolasi dari tanaman sebagai sisa yang tak larut setelah

penghilangan polisakarida dengan hidrolisis. Secara alternatif, lignin dapat


11

dihidrolisis dan diekstraksi ataupun diubah menjadi turunan yang larut. Adanya

lignin menyebabkan warna menjadi kecoklatan sehingga perlu adanya pemisahan

melalui pemutihan. Banyaknya lignin juga berpengaruh terhadap konsumsi bahan

kimia dalam pemasakan dan pemutihan (Wibisono, 2002) dalam Putera 2012.

Lignin ini merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit

fenil propana melalui ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Bila

lignin berdifusi dengan larutan alkali maka akan terjadi pelepasan gugus metoksil

yang membuat lignin larut dalam alkali. Reaksi dengan senyawa tertentu banyak

dimanfaatkan dalam proses pembuatan pulp dimana lignin yang terbentuk dapat

dipisahkan, sedangkan reaksi oksidasi terhadap lignin digunakan dalam proses

pemutihan. Lignin dapat mengurangi daya pengembangan serat serta ikatan antar

serat.

Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang

tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin

terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh,

2007). Pada suasana asam, lignin cenderung melakukan kondensasi, yakni fraksi

lignin yang sudah terlepas dari selulosa dan larut pada larutan pemasak. Dimana

peristiwa ini cenderung menyebabkan bobot molekul lignin bertambah, dan lignin

yang terkondensasi akan mengendap (Achmadi, 1990).

Disamping terjadinya reaksi kondensasi lignin yang mengendap,

proses pemasakan yang berlangsung pada suasana asam dapat pula menurunkan

derajat kerusakan pulp sehingga mengurangi degradasi selulosa dan hemiselulosa.


12

Suhu, tekanan, dan konsentrasi larutan pemasak selama proses pulping

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi pelarutan

lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa tak akan rusak saat proses

pelarutan lignin jika konsentrasi larutan pemasak yang digunakan rendah dan

suhu yang digunakan sesuai. Pemakaian suhu di atas 180⁰C menyebabkan

degradasi selulosa lebih tinggi, dimana pada suhu ini lignin telah habis

terlarut (Casey, 1980). Adapun struktur dasar lignin ditunjukkan pada Gambar

2.3 berikut.

Sumber : Lankinen, 2004

Gambar 2.3 Struktur Lignin


13

2.3 Delignifikasi

Lignin mengandung substansi yang kompleks dan merupakan suatu

gabungan beberapa senyawa, yaitu karbon, hidrogen, dan oksigen. Proses

pemisahan atau penghilangan lignin dari serat selulosa disebut dengan

delignifikasi atau pulping. proses pemisahan lignin dapat dibedakan menjadi

3, yaitu : (Paskawati, dkk. 2010)

a. Proses mekanis, yaitu proses pembuatan pulp yang seluruhnya

menggunakan proses mekanis. Pulp yang dihasilkan mempunyai kekuatan rendah;

b. Proses semi kimia, yaitu proses pembuatan pulp yang melalui proses

kombinasi antara proses mekanis dan proses kimia. Mula – mula bahan baku

dihancurkan dengan larutan kimia selanjutnya melakukan pemisahan serat dengan

cara mekanik;

c. Proses kimia, yaitu bahan baku berserat ditambah dengan bahan kimia.

Berdasarkan bahan kimia yang digunakan terdapat bermacam-macam proses

kimia, di antaranya sebagai berikut:

1. Proses Organosolv

Bahan kimia yang digunakan adalah asam organik seperti asam format

(CH2O2), asam asetat (CH3COOH), glikol, phenol, aseton, serta ammonia dan

amine.

2. Proses kraft/proses sulfat

Bahan kimia yang digunakan adalah natrium sulfat (Na2SO4), soda api

(NaOH), dan soda abu (Na2CO3). Bahan dasar yang digunakan adalah kayu lunak

maupun kayu keras;


14

3. Proses Sulfit

Bahan kimia yang digunakan adalah asam sulfit (H2SO3), asam sulfat (H2SO4),

dan magnesium bisulfit (Mg(HSO3)2). Bahan dasar yang digunakan bisa kayu

lunak, maupun kayu keras. Proses ini sangat baik untuk membuat kertas

berkualitas tinggi;

4. Proses nitrat

Bahan kimia yang digunakan adalah asam nitrat (HNO3) dan soda api (NaOH);

5. Proses soda

Bahan kimia yang digunakan soda api (NaOH). Bahan dasar yang biasa

digunakan untuk proses ini adalah jerami, ampas tebu, dan rerumputan serta bahan

non kayu lainnya. Pulp yang dihasilkan cukup baik untuk membuat kertas buku,

majalah dan lain lainnya. Untuk proses pembuatan pulp dari bahan non kayu

biasanya menggunakan proses soda. Skema proses delignifikasi di ilustrasikan

pada gambar 2.4 berikut.

(a)
15

(b)
Gambar 2.4 (a) Skema dari Selulosa, Hemiselulosa, dan Lignin (b) Skema

Proses Delignifikasi (Harimurti, 2010)

2.4 Organosolv

Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) merupakan

salah satu proses alternatif dalam pembuatan pulp. Prinsip proses orgonosolv

adalah memilah komponen utama biomassa (selulosa, hemiselulosa, dan lignin)

dengan tanpa banyak merusak dan mengkonversinya menjadi sejumlah produk

tertentu (Muurinen 2000). Selain itu, proses organosolv juga memiliki beberapa

keunggulan, seperti prosesnya yang relatif mudah, ramah lingkungan dan

membutuhkan energi lebih sedikit dibanding proses pembuatan pulp

konvensional. Beberapa pelarut organik yang digunakan sebagai larutan pemasak

dalam pembuatan pulp adalah alkohol, asam organik, amina, keton, ester dan

fenol (Shatalov 2006).

Asam format merupakan salah satu pelarut organik yang sering digunakan

sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp. Keunggulan utama asam formiat

dibanding pelarut organik lain sebagai pelarut organik adalah proses pembuatan
16

pulp dapat dilakukan pada suhu dan tekanan lebih rendah dan selektifitas tinggi

untuk mempertahankan selulosa terdegradasi (Muurinen 2000). Beberapa peneliti

telah membuktikan bahwa asam format, sebagai larutan pemasak dalam

pembuatan pulp, mampu menyisihkan lignin secara selektif untuk berbagai

biomassa dan menghasilkan pulp dengan kualitas yang baik (Kham et al. 2005).

Katalis hidrogen peroksida menambah kelarutan lignin dan meningkatkan

selektifitas delignifikasi (Muurinen 2000). Sebagaimana proses pembuatan pulp

orgnosolv lainnya, pada proses pembuatan pulp menggunakan asam format terjadi

proses delignifikasi dan hidrolisis polisakarida secara serempak. Kedua proses

tersebut akan mempengaruhi yield dan kemurnian pulp. (Zulfansyah., dkk 2010)

2.5 Asam Format

Asam format atau asam metanoat yang juga dikenal sebagai asam semut

adalah senyawa organik yang mengandung gugus karboksil (-CO2H) dan

merupakan bagian dari senyawa asam karboksilat. Asam format ini pertama kali

diperoleh oleh ahli kimia pada abad pertengahan melalui proses penyulingan

semut merah dengan rumus molekul HCOOH atau CH2O2.

Sifat dari asam format ini adalah mudah terbakar, tidak berwarna, berbau

tajam/menusuk dan mempunyai sifat korosif yang cukup tinggi. Asam format ini

mudah larut dalam air dan beberapa pelarut organik, tetapi sedikit larut dalam

benzene, karbon tetraklorida dan toluene, serta tidak larut dalam karbon alifatik.

Asam format mempunyai bobot molekul 46,03 g/mol dan merupakan asam paling

kuat dari deretan gugus asam karboksilat serta berfungsi sebagai reduktor. Asam
17

format dalam keadaan murninya mempunyai titik leleh 8 oC, titik didih 101oC

(Fesenden, 1995)

Pelarut asam format merupakan asam organik yang dapat dijadikan

larutan pemasak (media fraksionasi) untuk berbagai biomassa bukan kayu seperti

batang gandum (Kham 2005). Asam format memiliki keunggulan dibandingkan

pelarut organik lainnya karena penggunaan pelarut asam format dapat

dilakukan dengan proses tanpa atau menggunakan katalis, pada suhu dan

tekanan rendah dengan harganya yang relatif murah. (Fatmayati 2017)

Kenaikan yield selulosa disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi

asam format, maka semakin banyak lignin yang terhidrolisis. Lignin mempunyai

sifat mengikat selulosa, sehingga semakin banyak lignin yang terhidrolisis maka

semakin banyak pula selulosa yang terlepas dari ikatan lignin. Oleh karena itu

yield α-selulosa dalam pulp akan meningkat (Paskawati, dkk. 2010).

2.6 Proses Pemutihan

Pemutihan (bleaching) merupakan proses yang bertujuan untuk

menghilangkan kandungan lignin (delignifikasi) didalam pulp atau serat sehingga

diperoleh tingkat kecerahan warna yang tinggi dan stabil (Greschik, 2008). Proses

pemutihan serat harus menggunakan bahan kimia yang reaktif untuk melarutkan

kandungan lignin yang ada didalam serat agar diperoleh derajat kecerahan yang

tinggi (Tutus, 2004). Namun demikian, harus dijaga agar pengunaan bahan kimia

tersebut tidak menyebabkan pencemaran lingkungan yang berbahaya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemutihan antara lain :


18

1. Konsentrasi

Reaksi dapat ditingkatkan dengan memperbesar konsentrasi bahan

pemutih. Penggunaan bahan kimia pemutih yang berlebih tidak akan

meningkatkan derajat kecerahan karena derajat kecerahan yang dicapai

telah maksimal. Konsentrasi hidrogen peroksida yang dipakai untuk proses

pemutihan antara 1% hingga 10% (Tutus, 2004).

2. Waktu Reaksi

Pada umumnya, perlakuan bahan kimia pemutih terhadap serat akan

menjadi lebih reaktif dengan memperpanjang waktu reaksi. Namun, waktu

reaksi yang terlalu lama akan merusak rantai selulosa dan hemisellulosa

pada serat tersebut (Onggo, 2004).

3. Suhu

Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi pada

reaksi pemutihan. Pemutihan ditentukan pada penggunaan bahan kimia

pemutih. Suhu pemutihan biasanya diatur berkisar antara 40-100°C

(Daam, 2002).

4. pH

Nilai pH bergantung pada jenis penggunaan bahan pemutih (bleaching

agent). Pada proses pemutihan dengan hidrogen peroksida diperlukan

suasana basa antara pH 8 sampai pH 12 (Tutus, 2004)

5. Rasio bahan dan zat bleaching

Semakin kecil perbandingan rasio bahan yang diputihkan dengan bahan

pemutih akan meningkatkan reaksi pemutihan. Tetapi dengan rasio yang


19

semakin kecil akan mengurangi efisiensi penggunaan zat pemutih. Pada

proses pemutihan (bleaching) umumnya dipakai rasio bahan dengan zat

bleaching antara 8:1 hingga 20:1 (Daam, 2002).

2.6.1 Teori Pemutihan atau Bleching

Warna pada pulp yang belum diputihkan pada umumnya disebabkan oleh

lignin yang tersisa. Penghilangan lignin dapat lebih banyak pada proses

delignifikasi, tetapi akan mengurangi hasil cukup banyak dan merusak serat

sehingga menghasilkan kualitas pulp yang rendah. Oleh karena itu, harus

dilakukannya proses pemasakan dengan benar-benar cukup dan sesuai. Variabel

dasar pada proses pemutihan antara lain bahan kimia, temperatur, dan pH.

Tujuan utama proses pemutihan secara umum yakni sebagai berikut :

- Memperbaiki brightness/ kecerahan dan kemurnian

- Degradasi serat selulosa seminimum mungkin

2.6.2 Zat Pemutih

Zat – zat pemutih menurut sifatnya dibagi menjadi dua yaitu, zat pemutih

yang bersifat oksidator dan yang bersifat reduktor. Zat pemutih oksidator

berfungsi untuk mendegradasi dan menghilangkan zat penyebab warna yaitu

lignin. Zat pemutih reduktor berfungsi mendegradasi lignin secara hidrolisa dan

membantu pelarutan senyawa lignin terdegradasi yang dihasilkan pada proses

pemutihan sebelumnya.
20

Zat pemutih yang bersifat oksidator, pada umumnya digunakan untuk

pemutihan serat – serat selulosa dan beberapa diantaranya dapat pula dipakai

untuk serat-serat binatang dan sintesis. Contohnya: Kaporit (CaOCl2), Sodium

Chlorite (NaClO2), Hidrogen peroksida (H2O2), Natrium peroksida (Na2O2), dan

lain-lain. Zat – zat pengelantang yang bersifat reduktor hanya dapat dipakai untuk

serat-serat protein (binatang). Contohnya: Sulfur dioksida (SO2), Natrium bisulfit

(NaHSO3), dan Natrium hidrosulfit (Na2S2O4).

2.6.2.1 Hidrogen peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida adalah zat pemutih yang digunakan untuk

memutihkan serat kapas, rayon, wol dan sutera. Hidrogen peroksida ini memiliki

suhu optimum yaitu 80 - 85⁰C. Bila suhu pada saat proses kurang dari 80⁰C maka

proses akan berjalan lambat, sedangkan kalau lebih dari 85⁰C hasil proses tidak

sempurna.

Hidrogen peroksida termasuk zat oksidator yang bisa digunakan sebagai

pemutih pulp yang ramah lingkungan. Di samping itu, hidrogen peroksida juga

mempunyai beberapa kelebihan antara lain pulp yang diputihkan mempunyai

ketahanan yang tinggi serta penurunan kekuatan serat sangat kecil. Achmadi

(1990) menyatakan bahwa suasana asam pada lignin cenderung sangat stabil, pada

kondisi basa mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat oleh

naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemutihan dengan hidrogen peroksida

dalam suasana basa adalah perhydroxyl anion (HOO-) (Dence and Reeve,
21

1996). Anion ini terbentuk dari penambahan alkali terhadap hidrogen peroksida

sebagaimana persamaan (1) (Lachenal, 1996):

HOOH + HO- ↔ HOO- + H2O (1)

Ion HOO- ini yang mempunyai peran aktif di dalam proses pemutihan,

peruraian hidrogen peroksida sebagaimana persamaan (1) dikenal dengan

deprotonation. Dengan adanya logam-logam transisi seperti Fe, Mn, dan

Cu, dekomposisi dari hidrogen peroksida dalam larutan basa dianggap

berlangsung sebagaimana reaksi ionik berikut:

H2O2 + HO2 → H2O + O2 + HO (2)

Logam-logam transisi bertindak sebagai katalis yang mengarahkan

dekomposisi H2O2 mengikuti persamaan reaksi (2) (Duke, Haas 1961). Pada

kondisi basa, dengan adanya katalisator, hasil-hasil dekomposisi hidrogen

peroksida antara lain radikal-radikal anion hidroksil dan superoksid sebagai

zat intermadiate sebagaimana persamaan (2) (Agnemo et al, 1979). Pada

pemutihan dengan hidrogen peroksida diharapkan yang terjadi adalah persamaan

reaksi (1), sedang reaksi dekomposisi yang disebabkan dari pengaruh katalis

ion-ion logam transisi harus dicegah, karena tidak memberikan dampak yang

efektif pada proses pemutihan (Brelid, 1998). Ion HOO- merupakan oksidator

kuat yang berperan pada proses bleaching karena zat warna alam yang merupakan
22

senyawa organik yang mempunyai ikatan rangkap dioksidasi menjadi senyawa

yang lebih sederhana atau menjadi senyawa yang memiliki ikatan tunggal,

sehingga dihasilkan serat yang lebih cerah (jayanudin, 2010).

Hidrogen peroksida (H2O2) dalam perdagangan berupa larutan dan

distabilkan dengan asam. Peroksida murni merupakan cairan yang bereaksi agak

asam, larut dalam air pada berbagai perbandingan. Karena kemampuannya

melepaskan oksigen maka sangat efektif dipakai sebagai bahan pemutih.

H2O2 → H2O + On

On yang terjadi akan bekerja sebagai oksidator untuk memutihkan bahan,

sehingga penguraian hidrogen peroksida dapat terkontrol dan berlangsung

perlahan-lahan.

Selama proses delignifikasi berlangsung, terjadi reaksi pemutusan ikatan

makromolekul lignin/lignoselulosa. Reaksi pemutusan tersebut terjadi karena

adanya ion hidrogen (H+) yang menyebabkan ikatan lignin lepas dari

lignoselulosa dan menghasilkan fraksi lignin. Fraksi lignin ini yang kemudian

larut dalam pelarut, menyebabkan lignin mudah dipisahkan dari bahan baku

(Villaverde, ligero, & de Vega, 2010) dalam Fatmayati, dan Deli, 2017. Katalis

hidrogen peroksida dalam larutan pemasak akan meningkatkan jumlah ion

hidrogen (H+) dalam media pemasak, dan mempercepat reaksi penyisihan lignin

(Sarkanen, 1990) dalam Zulfansyah, dkk, 2010. tahapan bleaching juga bertujuan

untuk menghilangkan sisa lignin dan karbohidrat yang tidak terpisah sempurna

dalam pulp (Widia dan Wathoni, 2014).

Faktor yang mempengaruhi penguraian Hidrogen peroksida, antara lain :


23

- Pengaruh pH, Hidrogen peroksida stabil dalam suasana asam. Di

dalam suasana alkali mudah terurai melepaskan oksigen. Makin besar

pH, penguraiannya makin cepat.

- Pengaruh Suhu, Penguraian Hidrogen peroksida juga dipengaruhi oleh

suhu. Pemutihan dengan Hidrogen peroksida biasanya dilakukan pada

suhu 80-85⁰C. Apabila suhu pengerjaannya kurang dari 85⁰C maka proses

akan berjalan lambat. Diatas suhu tersebut proses akan berjalan cepat.

- Pengaruh stabilisator, Stabilisator berguna untuk memperlambat

penguraian walaupun pada pH dan suhu tinggi.

- Pengaruh logam atau oksida logam, Beberapa logam atau oksida

logam tertentu dapat mempercepat penguraian Hidrogen peroksida

seperti besi, tembaga, kobal dan nikel. Logam-logam tersebut disebut

pembawa oksigen (oxygen carrier).

Pemutihan dengan H2O2 ini memiliki beberapa keuntungan yaitu :

- Waktu pengerjaannya singkat, karena pada saat proses pengerjaan dengan

menaikkan suhu hingga 85⁰C secara konstan selama ± 1 jam, maka serat

akan lebih cepat diputihkan.

- Hasil pemutihan baik dan rata, dengan menggunakan proses

pemanasan maka warna asli pada serat dapat terurai dan bahan

menjadi lebih putih dan rata. Hasil derajat putih yang dihasilkan juga

stabil, tidak mudah menjadi kuning.

- Kemungkinan kerusakan kecil, karena daya oksidasi Hidrogen

peroksida lebih kecil, kerusakan yang dihasilkan juga kecil. Demikian


24

juga karena pengaruh penggunaan Natrium silikat sebagai stabilisator

yang memperlambat penguraian dari Hidrogen peroksida sehingga

kerusakan lebih kecil.

Pembuangan limbah bekas proses dilakukan dengan pengaliran

dengan air hingga seencer mungkin. Pada dasarnya diukur dari jumlahnya sedikit

dan tidak mengubah kondisi air, seperti warna, bau, rasa dan suhu. Faktor pH juga

penting, agar menyesuaian pH air buangan dengan pH air netral yaitu 7. Namun

demikian, dalam keseharian tidak semua pelaku usaha dapat menerapkan

pengukuran pH.

2.7 Bilangan Kappa

Kappa Number digunakan untuk menyatakan berapa jumlah lignin yang

masih tersisa di dalam pulp setelah pemasakan. Pengujian kappa number yang

dilakukan di dalam industri pulp memiliki dua tujuan yaitu : 1. merupakan

indikasi terhadap derajat delignifikasi akan tercapai selama proses delignifikasi,

artinya kappa number digunakan untuk mengontrol pemasakan 2. menunjukkan

kebutuhan bahan kimia yang akan digunakan untuk proses selanjutnya yaitu

proses pemutihan. Pada pengujian kappa number, sejumlah larutan kalium

permanganat yang sudah diketahui konsentrasinya ditambahkan ke dalam sample

pulp. Setelah waktu tertentu, jumlah permanganate yang bereaksi dengan pulp

ditentukan dengan menitrasi sample. Kappa number selanjutnya didefenisikan

sebagai jumlah milliliter KMnO 4 0,1N yang dikonsumsi oleh 10 gram pulp

selama 10 menit pada temperature 25 C.


25

2.8 FTIR (Fourier Transform Infra-red)

Salah satu metode spektroskopi yang sangat populer digunakan

adalah metode spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra-red). Dalam hal

ini metode spektroskopi yang digunakan adalah metode spektroskopi absorbsi,

yaitu metode spektroskopi yang didasarkan atas perbedaan penyerapan radiasi

inframerah oleh molekul suatu materi. Absorbsi inframerah oleh suatu materi

dapat terjadi jika dipenuhi dua syarat, yakni kesesuaian antara frekuensi radiasi

inframerah dengan frekuensi vibrasional molekul sampel dan perubahan

momen dipol selama bervibrasi (Chatwall, 1995).

Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) merupakan salah satu

teknik analitik yang sangat baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu

senyawa. Kesulitan-kesulitan yang ditemukan dalam identifikasi dengan

spektroskopi FTIR dapat ditunjang dengan data yang diperoleh dengan

menggunakan metode spektroskopi yang lain.

Pada karakterisasi di penelitian ini, Spektrum Fourier Transform Infrared

(FTIR) direkam dengan pemisahan spektrum 2 cm−1, pada suhu 20 oC dengan

metoda pelet KBr. Gambar 2.9 menunjukkan skema peralatan dari FTIR.

Gambar 2.5 Skema Peralatan FTIR


26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2019 hingga Januari 2020.

Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Jurusan Teknik Kimia,

Politeknik Negeri Samarinda. Sampel bahan baku, yaitu sabut kelapa yang

diambil di Pasar Kedondong, Samarinda.

3.2 Rancangan Penelitian


3.2.1. Variabel Berubah
- Konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) : 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan

30%

3.2.2. Variabel Tetap

- Waktu delignifikasi : 2 jam

- Suhu delignifikasi : 85oC

- Konsentrasi asam format : 65%

- Konsentrasi CH2O2 sebagai pencuci : 10%

- pH larutan H2O2 dalam proses bleaching : 11

- Suhu pemanasan dalam proses bleaching : 60oC

- Waktu pemanasan dalam proses bleaching : 90 menit

- Konsentrasi NaOH sebagai pengatur pH : 10%

- Konsentrasi NaOH dalam proses bleaching : 10%


27

3.2.3. Variabel Respon

- Rendemen Pulp

- Yield

3.3 Alat & Bahan


3.3.1 Alat
➢ Gelas ukur 100 mL

➢ Termometer

➢ Indikator Universal

➢ Hot Plate

➢ Bulb

➢ Neraca Analitik

➢ Kaca Arloji

➢ Gegep

➢ Desikator

➢ Pipet Volume 10 mL, 25 mL

➢ Pipet Ukur 5 mL, 10 mL

➢ Water bath

➢ Oven

➢ Kertas Saring Whatman 42

➢ Botol Sampel

➢ Batang pengaduk

➢ Labu leher dua

➢ Gelas kimia 50 ml, 100 ml, 500 ml

➢ Labu ukur 25 ml, 50 ml, 100 ml


28

➢ Erlenmeyer 100 ml, 250 mL

➢ Pipet Tetes

➢ Buret

➢ Statif

➢ Blender

➢ Magnetik Stirrer

3.3.2 Bahan

• Sabut kelapa

• Asam Format (CH2O2) 90% teknis

• Hidrogen peroksida (H2O2) 35% teknis

• Aquades

• Natrium Hidroksida (NaOH) p.a

• Asam Sulfat (H2SO4) p.a

• Natrium Thiosulfat (Na2S2O3) p.a

• Kalium Iodida (KI) p.a

• Kalium Permanganat (KMnO4) p.a

• Inndikator Amilum

• Etanol 99%

3.4 Prosedur Penelitian


29

3.4.1 Diagram Alir Penelitian

Sabut Kelapa

Analisa kadar selulosa > 40%


Analisa kadar lignin < 25%

Pencacahan

Asam Format+
Hidrogen Proses Pemasakan 1
peroksida (Delignifikasi),
o
85 C selama 2 jam

Suspensi

Padatan Cairan
Penyaringan

Pencucian Cairan Pencuci Cairan Pemasak


Asam Format Sisa Sisa
dan Akuades

Serat selulosa

Bleaching 2 Dinetralkan Dinetralkan


Hidrogen
( 90 menit dan 60o C) pHnya kemudian pHnya kemudian
peroksida
dibuang dibuang
Penstabil pH,
NaOH

Akuades Penyaringan

Pengeringan Kadar Air

Rendemen Pulp

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian


30

3.4.2 Prosedur Penelitian


3.4.2.1 Preparasi Sabut Kelapa
1. Melepaskan serat sabut kelapa dari kulit luar sehingga serat sabut

kelapa menjadi ukuran yang panjang – panjang.

2. Melakukan pencucian dengan air ledeng.

3. Mengeringankan sabut kelapa secara langsung dengan sinar matahari

selama 3 hari.

4. Menghaluskan serat sabut kelapa dengan menggunakan blender

5. Menyeragamkan ukuran serat sabut kelapa dengan menggunakan alat

screening dimana ukuran sabut kelapa yang digunakan adalah sabut

kelapa dengan ukuran partikel yang lolos di 20 mesh dan tertahan di 16

mesh.

3.4.2.2 Proses Ekstraksi Selulosa dari Sabut Kelapa

1. Menimbang 8 gram sabut kelapa 20 mesh dimasukkan kedalam labu

leher dua dan menambahkan dalam campuran asam format (65% v/v)

70 ml dan hydrogen peroksida 10% 70 ml dengan perbandingan 1:1

(v/v) sampai terendam kemudian dipanaskan dalam water bath pada

suhu 85°C selama 2 jam.

2. Setelah dilakukan pemasakan, mengeluarkan labu lalu didinginkan

hingga mencapai suhu ruang.

3. Menyaring larutan dan memisahkan residu dan filtrat, kemudian residu

diambil dan di cuci dengan larutan asam format 10% 20-50 ml dan

dibilas dengan aquadest beberapa kali sampai pHnya netral.


31

4. Melakukan perendaman dengan hydrogen peroksida 50 ml dengan

variasi konsentrasi (5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 35%) (v/v) pH 11

pada suhu 60°C selama 90 menit. Kemudian larutan diatur pH nya

dengan menggunakan larutan NaOH 10% 11 ml.

5. Menyaring larutan dan memisahkan residu dan filtrat, kemudian residu

diambil dan di cuci dengan aquadest beberapa kali sampai bewarna

bening.

6. Mengeringkan padatan dalam oven pada suhu 105°C selama 2 jam

atau berat konstan, kemudian mendinginkan dalam desikator.

7. Menimbang padatan yang telah dikeringkan (berat pulp). Selanjutnya

dianalisa perolehan pulp.

𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒑𝒖𝒍𝒑 (𝒈𝒓)


Perolehan pulp (yield) = 𝒙 𝟏𝟎𝟎% ..... (3.1)
𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒌𝒖 𝒌𝒆𝒓𝒊𝒏𝒈 (𝒈𝒓)

3.4.2.3 Standarisasi Larutan Kalium Permanganat (KMnO4)

1. Memipet 10 ml larutan asam oksalat (H2C2O4) yang telah diketahui

konsentrasinya kedalam Erlenmeyer 250 ml.

2. Menambahkan 5 ml asam sulfat (H2SO4) 2N.

3. Memanaskan hingga suhu kurang dari 80°C.

4. Menitrasi segera dengan kalium permanganate (KMnO4) sampai

terbentuk warna merah muda yang bertahan sampai 10 detik. Lakukan

secara duplo.

𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝑯𝟐𝑪𝟐𝑶𝟒 (𝒎𝒍)𝒙 𝑵𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑯𝟐𝑪𝟐𝑶𝟒


Normalitas KMnO4 = …..(3.2)
𝒗𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝑲𝑴𝒏𝑶𝟒 (𝒎𝒍)
32

3.4.2.4 Standarisasi Larutan Natrium Thiosulfat (Na2S2O3)

1. Menimbang kalium dikromat sebanyak 0,5 gram kemudian dilarutkan

dalam gelas kimia dan dimasukkan kedalam labu ukur 100ml dan

diencerkan hingga tanda batas.

2. Melarutkan kalium dikromat dipipet sebanyak 15 ml masukkan

kedalam elenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 15 ml kalium

iodide (KI) 20% dan 15 ml asam klorida (HCL) 4N.

3. Menitrasi dengan larutan thiosulfate hingga bewarna kuning pucat dan

menambahkan 3 tetes indicator amilum 1%.

4. Menitrasi lagi dengan larutan natrium thiosulat hingga larutan bewarna

jernih. Lakukan secara duplo.

𝒎𝒈 𝑲𝟐𝑪𝒓𝟐𝑶𝟕
Normalitas Na2S2O3 = (3.3)
𝒇𝒑 𝒙 𝒗𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝑵𝒂𝟐𝑺𝟐𝑶𝟑 𝒙 𝑩𝑬

3.4.2.5 Analisa Kadar Lignin (SNI 0494-2008 Uji Bilangan Kappa)

1. Menimbang kaca arloji kosong kemudian menimbang sebanyak 0,5


gram rendemen pulp.
2. Blender pulp yang telah ditimbang sampai halus dengan menambahkan
62,5 mL aquadest.
3. Kemudian tuang hasil blenderan kedalam beaker glass (500 ml + 250
ml diatas hotplate) + bersihkan sisa-sisa blender dengan menggunakan
aquades sebanyak 36,5 mL.
4. Masukkan magnetic stirrer dan aduk selama 30 menit putaran 4,5
Rpm. Setelah 30 menit berlalu diamkan larutan tersebut.
5. Pipet KMnO4 (kalium permanganate) 12,5 ml kemudian masukkan ke
glass beker 500 ml + tambahkan asam sulfat 12,5 ml.
33

6. Masukkan campuran kalium permanganat dan asam sulfat 4N kedalam


larutan pulp dan diamkan selama 10 menit sambil diaduk kemudian
simpan ditempat gelap. Kemudian tambahkan KI (kalium iodide 1,0
N) 2,5 ml sehingga larutan berubah menjadi warna kuning kemudian
larutan tersebut disaring sehingga yang tersisa adalah filtratnya.
7. Isi buret dengan Na2S2O3 (Natrium Thiosulfat) kemudian titrasi larutan
no.6 kemudian tambahkan indicator kanji 3-5 tetes dan filtratnya
dititrasi sampai bening.
8. Kadar lignin dalam bubur kertas dihitung menurut rumus berikut ini:

(𝒃−𝒂) 𝑵
𝒑= …. (3.4)
𝟎,𝟏

𝒑𝒙𝒇
𝑲= …. (3.5)
𝒘

Sisa Lignin = K x 0,15 .... (3.6)

Ref. Jahan (2006)

3.4.2.6 Blanko Lignin


1. Mengisi beaker glass dengan aquades sebanyak 99 ml jaga temperature
25°C
2. Campurkan kalium permanganat 12,5 ml dan asam sulfat 12,5 ml
kedalam beaker glass yang berisikan aquadest 99 ml dan diamkan
ditempat gelap selama 10 menit, kemudian tambahkan kalium idodida
12,5 ml lalu titrasi kemudian tambahkan 3-5 tetes indikator kanji dan
dititasi sampai bewarna bening

3.4.2.7 Analisa Bahan Baku Lignin (Metode Klason SNI 0494-2008)

1. Sebelum diuji, timbang 1 gram pulp kering dilarutkan terlebih dahulu

dengan etanol 99% selama 8 jam. Kemudian dicuci dengan air panas.
34

2. Sampel dipindahkan ke gelas piala 100 ml, tambahkan asam sulfat 72%

sebanyak 15 ml, penambahan dilakukan pelan-pelan dan dibiarkan

selama 2-3 menit.

3. Setelah terdispersi sempurna, tutup dengan kaca arloji dan biarkan

selama 2 jam.

4. Sampel tersebut lalu dipindahkan kegelas piala 500 ml dan diencerkan

dengan aquades sampai tanda batas.

5. Larutan dipanaskan sampai mendidih dan dibiarkan selama 4 jam.

6. Endapan dibiarkan mengendap sempurna dan dipindahkan ke kertas

saring yang telah diketahui beratnya, endapan lignin dicuci dengan air

panas sampai airnya jernih.

7. Kertas saring (berikut endapan) dikeringkan didalam oven pada suhu

105°C selama 60 menit dan ditimbang sampai beratnya konstan.

8. Kadar lignin dalam pulp dihitung menurut rumus :

𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒏 𝒍𝒊𝒈𝒏𝒊𝒏 (𝒈𝒓)


Kandungan Lignin = 𝒙 𝟏𝟎𝟎% ….(3.7)
𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒌𝒖 𝒌𝒆𝒓𝒊𝒏𝒈 (𝒈𝒓)
35

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi hidrogen

peroksida dalam tahapan bleaching terhadap penurunan kadar lignin dari sabut

kelapa sebagai bahan baku dalam pembuatan pulp. Setelah melakukan penelitian

pembuatan pulp dengan limbah sabut kelapa didapatkan komponen komponen

pada serat sabut kelapa, diantaranya yaitu bilangan kappa dan kadar lignin.

Komponen ini sangat dibutuhkan dalam pembuatan pulp adapun variasi yang

digunakan pada penelitian ini yaitu variasi konsentrasi hidrogen peroksida sebagai

bleaching atau pemutih. Langkah awal yang dilakukan adalah sabut kelapa

dipisahkan dari cangkang kelapa kemudian dicuci dan dikeringkan lalu digunting

kecil-kecil dan dihancurkan dengan menggunakan blender kemudian dilakukan

penyeragaman ukuran partikel dengan menggunakan screening nomor 20 yang

memiliki ukuran partikel 20 mesh. Sabut kelapa yang telah dipreparasi tersebut

merupakan bahan baku dalam pembuatan pulp yang kemudian akan dilakukan

proses delignifikasi dengan menggunakan pelarut asam format 65% pada

temperatur 85°C selama 2 jam, kemudian dilakukan proses bleaching dengan

menggunakan campuran larutan hidrogen peroksida (H2O2) (5%, 10%, 15%, 20%,

25% dan 30%) dan NaOH 10% pada pH 11 dengan temperatur 60°C selama 90

menit. Kemudian dioven dihitung berat konstannya kurang lebih 2 jam. Analisa

yang digunakan yaitu Analisa yield lignin (SNI 0494-2008 Metode bilangan

kappa dan SNI 0492-2008 metode klason), dan Analisa FTIR. Data hasil analisa

lignin variasi konsentrasi hidrogen peroksida dapat dilihat pada table 4.1 berikut.
36

Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Lignin Variasi Konsentrasi Hidrogen Peroksida
Konsentrasi Hidrogen Rendemen Pulp Yield Lignin
Peroksida (%) (%) (%)
5 21,28 10,12
10 26,37 10,00
15 30,98 9,95
20 32,38 9,87
25 29,48 9,71
30 23,94 9,58

4.1 Pengaruh Konsentrasi Hidrogen Peroksida Terhadap Perolehan Pulp

Secara umum rendemen pulp cenderung berkurang dengan bertambahnya

konsentrasi hidrogen peroksida. Nilai rendemen yang diharapkan pada pulp hasil

delignifikasi yaitu pulp dengan rendemen tinggi. Besarnya rendemen yang

diperoleh menentukan efektifitas proses pulping yang dilakukan. Semakin tinggi

nilai rendemen, maka proses pulp akan semakin efektif. Rendemen dapat

digunakan untuk memprediksi jumlah pulp yang dihasilkan oleh bahan baku yang

dimasak. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dibuat grafik yang menunjukkan

hubungan antara konsentrasi hidrogen peroksida terhadap rendemen pulp pada

gambar 4.1.
37

33
32
31
rendemen Pulp (%) 30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
5 10 15 20 25 30
konsentrasi Hidrogen Peroksida (%)

Gambar 4.1 Grafik Hubungan antara konsentrasi Hidrogen Peroksida terhadap


Rendemen Pulp

Berdasarkan grafik pada gambar 4.1 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan

rendemen pulp sebesar 21,28% sampai 32,38% hal ini disebabkan karena semakin

tinggi konsentrasi hidrogen peroksida, maka semakin banyak lignin yang

terhidrolisis. Lignin mempunyai sifat mengikat selulosa, sehingga semakin

banyak lignin yang terhidrolisis maka semakin banyak pula selulosa yang terlepas

dari ikatan lignin. Oleh karena itu selulosa dan rendemen pulp akan meningkat

(Paskawati, 2010). Warna pulp yang belum diputihkan pada umumnya disebabkan

oleh lignin yang tersisa. Penghilangan lignin dapat lebih banyak pada proses

delignifikasi, tetapi akan mengurangi hasil cukup banyak dan merusak serat

sehingga menghasilkan kualitas pulp yang rendah. Rendemen tertinggi diperoleh

dari perlakuan dengan konsentrasi hidrogen peroksida sebesar 20% dan semakin

menurun seiring bertambahnya konsentrasi hidrogen peroksida. Hal ini

disebabkan hidrogen peroksida merupakan oksidator kuat dan dapat merusak

komponen kimia yang ada pada pulp seperti komponen penyusun pulp yaitu
38

lignoholoselulosa. Semakin tinggi konsentrasi H2O2 maka penguraian terhadap

komponen lignoholoselulosa pada pulp semakin tinggi yang mengakibatkan

rendemen pulp semakin rendah.

4.2 Pengaruh Konsentrasi Hidrogen Peroksida Terhadap Yield Lignin

10.15
10.1
10.05
10
kadar Lignin (%)

9.95
9.9
9.85
9.8
9.75
9.7
9.65
9.6
9.55
5 10 15 20 25 30
Konsentrasi Hidrogen Peroksida (%)

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara konsentrasi Hidrogen Peroksida terhadap


yield lignin

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa penurunan terbesar terjadi

pada konsentrasi hidrogen peroksida 30% yaitu sebesar 9,58%. Selama proses

delignifikasi berlangsung, terjadi reaksi pemutusan ikatan makromulekul

lignin/ligniselulosa. Reaksi pemutusan tersebut terjadi karena adanya ion hidrogen

(H+) yang menyebabkan ikatan lignin lepas dari lignoselulosa dan menghasilkan

fraksi lignin. Fraksi lignin ini yang kemudian larut dalam pelarut, menyebabkan

lignin mudah dipisahkan dari bahan baku (Villaverdo, 2010). Katalis hidrogen

peroksida dalam larutan pemasak akan meningkatkan jumlah ion hidrogen (H +)


39

dalam media pemasak, dan mempercepat reaksi penyisihan lignin (sarkanen,

1990) dalam Zulfansyah, dkk, 2010. Sifat hidrogen peroksida yang selektif dalam

meleaching lignin dari dalam bahan, sehingga terjadi penyisihan lignin yang

cukup banyak pada proses delignifikasi. Tahapan bleaching juga bertujuan untuk

menghilangkan sisa lignin yang tidak terpisah sempurna dalam pulp (Widia,

2014). Achmadi (1990) menyatakan bahwa suasana asam pada lignin cenderung

sangat stabil, pada kondisi basa mudah terurai. Peristiwa ini menyebabkan bobot

molekul lignin bertambah, dan dalam keadaan asam lignin yang terkondensasi ini

mengendap. Lignin yang mengendap ini akhirnya larut dalam air pada proses

pencucian pulp. Dalam air hidrogen peroksida akan terurai menjadi H+ dan HOO-

dimana HOO- berperan untuk mendegradasi lignin. Zat reaktif dalam sistem

pemutihan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa adalah perhydroxyl

anion (HOO-) (Dence and Reeve, 1996). Semakin basa larutan maka jumlah

gugus anion HOO- yang terbentuk tiap waktu semakin banyak sehingga pada saat

proses degradasi lignin akan semakin cepat. Ion HOO- merupakan oksidator kuat

yang berperan pada proses bleaching karena zat warna alam yang merupakan

senyawa organik yang mempunyai ikatan rangkap dioksidasi menjadi senyawa

yang lebih sederhana atau menjadi senyawa yang memiliki ikatan tunggal,

sehingga dihasilkan pulp yang lebih cerah (jayanudin, 2010). Kemudian Ion HOO-

mengoksidasi unit non-fenolik lignin melalui pelepasan satu elektron dan

membentuk radikal kation yang kemudian terurai secara kimiawi. Kemudian

hidrogen peroksida akan memutuskan ikatan Cα-Cβ mulekul lignin dan mampu

membuka cincin lignin sehingga terbentuk turunan aldehid. Kemudian


40

perhydroxyl anion mereduksi senyawa fenolik sehingga terjadi pemutusan lanjut

dan terurai menghasilkan alkohol sehingga lignin yang ada didalam semakin

berkurang. Untuk kualitas bahan baku pembuatan pulp Kandungan lignin disini

diharapkan sekecil mungkin, karna lignin dapat merusak kualitas pulp dan pulp

akan menjadi kuning atau kecoklatan.


41

4.3 Hasil Analisa Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)

konsentrasi H2O2 20%

3675.56

2134.92
95

1507.60
90

2850.92

1645.95
85

1201.50
1369.40
80

2917.13

897.02
75

1264.27
1159.21
3334.61

1424.87
70
%T

65

1315.68

1102.64
60

661.17
55

50

45

40

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500


Wavenumbers (cm-1)

Gambar 4.3 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)

Gambar 4.3 merupakan Analisa lignin menggunakan FTIR. Hasil

pengukuran spectrum FTIR menunjukkan kelompok gugus fungsi dan

memberikan informasi hasil ekstraksi dari bahan baku serat sabut kelapa dengan

larutan pengekstraksi berupa pelarut asam format dengan variasi hidrogen

peroksida sebagai bleaching.

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil uji FTIR menunjukkan

serat sabut kelapa masih menyisakan sebagian kadar lignin yang ditunjukkan

dengan masih terdapatnya peak gugus aromatik C=C pada rentang 1200-1300 cm-
1
. Serapan C-H aromatik lignin masih terlihat pada bilangan gelombang 1504 cm-

1 spektrum inframerah HSc yang menunjukkan bahwa proses delignifikasi masih

menyisakan lignin.
42

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

- Pembuatan pulp sabut kelapa dengan bleaching hydrogen peroksida

menghasilkan pulp dengan rendemen sebesar 21,28-32,38% dan yield

lignin sebesar 9,58-10,12%

- Pengaruh konsentrasi hidrogen peroksida terhadap kadar lignin mengalami

penurunan yang tidak signifikan.

5.2 Saran

- Untuk penelitian selanjutya sebaiknya dilakukan variasi konsentrasi

bleaching dengan hidrogen peroksida dibawah 10% untuk menghasilkan

rendemen pulp yang tinggi dan yield lignin yang rendah agar kualitas

bahan baku pembuatan pulp sesuai dengan standar SNI.

Anda mungkin juga menyukai