Anda di halaman 1dari 40

Membangun Kewirausahaan:

antara Digital Enterpreneur dan Human Enterpreneur


Oleh: Moch. Fuad

Entrepreneurship requires an actor’s capacity to respond to its environment by


capturing or creating opportunities, becoming involved in the creation and
innovation process, mobilizing resources as well as ensuring target fulfilment despite
the risks and uncertainties involved.

Capacity refers to aspects such as knowledge and maximization work process


through digital technology utilization. However, it also encompasses advanced
thinking, creativity, consistent action, and wisdom in determining a response for a
multitude of possible scenarios.

The emerging of the ‘digital economy’ that has been made possible by advancements
in information and communication technology (ICT) is discussed in conjunction with
the idea of ‘human economy’; the latter term refers to an economic activity that
focuses on human welfare.

The paper discusses the initiatives in encouraging entrepreneurship by assessing two


contrasting approaches: (1) Capacity-building through smart machine or artificial
intelligence via digitalization, and (2) Entrepreneurial character-building that
cannot be replaced by artificial intelligence. The conclusion of the paper reveals that
these approaches are complementary to one another.

Pengantar

Di tengah tatanan kehidupan bermasyarakat yang kian dinamis - diantaranya


disebabkan oleh kemajuan teknologi dengan penerapan yang tak terduga - kajian
tentang kewirausahaan (‘entrepreneurship’) menjadi semakin penting karena spirit
yang disandangnya menggambarkan hakikat kemampuan manusia untuk, tak hanya
bertahan dalam kehidupan namun juga memperkaya makna berkehidupan.

1
Dinamika kehidupan masyarakat secara ekonomi, sosial, dan kultural sebagian besar
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang dari waktu ke waktu merubah struktur
industri, yang pada gilirannya mempengaruhi pola interaksi dan transaksi.

Teknologi digital telah sampai pada kemampuan melipatgandakan hasil dari berbagai
kegiatan ekonomi dan sosial, dengan kemajuan yang tampak tanpa batas.
Kemampuan teknologi yang memungkinkan substitusi berbagai peran yang selama
ini dijalankan oleh manusia merupakan kabar baik karena memberi peluang
optimalisasi kapasitas manusia sebagai makhluk cerdas dan berkarakter untuk fokus
pada penciptaan budi daya dan berkontribusi pada aktualisasi peran yang lebih
bermakna. Di sisi lain, pemanfaatan kecerdasan buatan (‘artificial intelligent’_AI)
sebagai fase tingkat tinggi dari perkembangan teknologi digital, dipandang sebagai
ancaman bagi humanisme atas potensinya dalam mensubstitusi keberadaan manusia
pekerja, dan kecenderungan berkembangnya ketergantungan yang mengurangi
pemenuhan kadar kemanusiaan.

Seraya menggagas upaya membangun kewirausahaan di tengah era digitalisasi


(‘Digital Economy’) dan kebutuhan yang semakin tinggi akan perhatian pada
kesejahteraan manusia sebagai titik sentral aktivitas ekonomi (‘Human Economy’);
tulisan ini melakukan telaah atas hakekat digitalisasi dan efeknya bagi pembangunan
manusia serta kemampuan untuk hidup dalam kebermaknaan (‘well being’).

Perspektif Kewirausahaan

Entrepreneurship dengan asal kata ‘entrepreneur’, berasal dari bahasa Perancis


‘enterprendre’ yang berarti ‘mengambil alih’ (to undertake), pada awal abad ke-16
merupakan sebutan bagi pemimpin ekspedisi militer. Peran penting entrepreneurship
dalam bidang ekonomi diperkenalkan oleh Ekonom Perancis, Richard Cantillon pada
awal abad 18. Cantillon melihat bahwa diskrepansi antara permintaan dan penawaran
menciptakan kesempatan untuk membeli lebih murah dan menjual dengan harga
lebih tinggi, yang pada akhirnya akan menciptakan keseimbangan pada pasar
yang kompetitif. Orang yang

2
mengambil keuntungan dari peluang untuk memperoleh profit yang semula tak
disadari ini disebut sebagai ‘entrepreneur’ (Landström, 2005, Rocha, 2012)

Secara sederhana, entrepreneurship, selanjutnya disebut sebagai kewirausahaan,


diartikan sebagai upaya untuk menciptakan nilai melalui kemampuan menangkap
dan/atau menciptakan peluang , memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, dan
mengelola risiko serta ketidakpastian.

Kegiatan kewirausahaan mengasumsikan adanya peluang yang ditangkap (discovery


theory) dan/atau diciptakan (creative theory) oleh pelaku usaha. Kedua teori tersebut,
dengan penekanan yang berbeda, menyatakan bahwa peluang senantiasa ada; namun
hanya individu tertentu yang dapat menemukan peluang atau bahkan menciptakan
peluang tersebut, disertai kemampuan menanggung risiko serta ketidakpastian.
(Shane & Venkataraman, 2000; Shane, 2003; Venkataraman, 2003; Schumpeter,
1934; Loasby, 2002;
Casson 1982)

Kirzner (1973), menyatakan bahwa seorang wirausahawan memiliki kewaspadaan


(entrepreneurial alertness). Kewaspadaan ini merupakan sikap (kondisi emosional
yang diikuti dengan kecenderungan untuk melakukan tindakan) berupa keinginan
atau kesigapan untuk menerima peluang pasar yang sering dilewatkan oleh banyak
orang. Seorang wirausahawan memindai lingkungan secara konstan sehingga mampu
menemukan ketidaksempurnaan pasar yang akan menginspirasi aktivitas baru.

Seorang wirausahawan memiliki karakteristik khusus berupa kemampuan


menangkap dan menciptakan peluang serta menggagas hal baru untuk mengisi dan
menciptakan kebutuhan pasar. Dari perspektif ekonomi, gagasan baru mewujud
dalam bentuk nilai tambah sebagai hasil daya kreasi untuk membantu pemenuhan
kebutuhan hidup manusia/masyarakat, yang besaran manfaatnya dipertukarkan
dengan materi lain.

Sementara kewirausahaan merupakan elemen yang esensial bagi kemajuan ekonomi


sebagaimana ditunjukkan secara mendasar dalam peran pentingnya untuk: a)
mengidentifikasi, menilai, dan memanfaatkan peluang bisnis; b) menciptakan usaha
baru dan/atau memperbaharui yang sudah ada dengan cara membuatnya lebih

3
dinamis; dan c) dengan memajukan ekonomi melalui inovasi, kompetensi,
penciptaan kerja, dan secara

4
umum dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Cuervo, Ribeiro, Roig,
2007), upaya untuk memahami bagaimana kewirausahaan dapat dikembangkan perlu
dikaji dari berbagai perspektif.

Peran sentral kewirausahaan melekat pada elemen ‘human’, karena berkaitan dengan
karakter dan motif berupa kemauan untuk menerima risiko, toleransi dalam
menghadapi ketidakpastian, kebutuhan untuk mencapai atau menghasilkan sesuatu,
serta daya kreasi dan kapasitas untuk melakukan pengendalian. Pada tingkat ini
kajian kewirausahaan sebagai individu mengarah pada analisis karakteristik personal,
baik dimensi psikologis sebagaimana disebutkan, ataupun variabel non-psikologis
seperti latar belakang pendidikan, pengalaman, keluarga, jejaring sosial, dan aspek
lain yang mempengaruhi kapabilitas kewirausahaannya.

Kapabilitas kewirausahaan dan intensitas serta intensinya tidak mewujud dalam


ruang kosong. Aspek sosio-kultural, institusional, dan variabel lingkungan ekonomi,
struktur pasar, teknologi, serta dinamika industri merupakan faktor pendorong yang
memberi daya bagi tumbuhnya aktivitas kewirausahaan.

Sejalan dengan itu, Cuervo et.al. (2007) merangkum tiga gagasan dasar yang
menjelaskan kehadiran aktivitas kewirausahaan. Gagasan pertama fokus pada
individu, atau dengan kata lain disebutkan bahwa tindakan kewirausahaan dipahami
sebagai atribut ‘human’, dengan karakteristik individu yang membedakan wirausaha
dengan anggota masyarakat lainnya. (dari Kihlstrom dan Laffont, 1979; Mc Clelland,
1961). Gagasan fundamental kedua menekankan faktor ekonomi dan lingkungan lain
yang mendorong dan memungkinkan terjadinya aktivitas kewirausahaan, seperti
dimensi pasar dan dinamika perubahan teknologi (dari Tushman dan Anderson,
1986), struktur pasar- normatif dan demografis- (dari Acs dan Audretsch, 1990),
atau hanya sekedar dinamika industri. Faktor ketiga berkaitan dengan berfungsinya
institusi, budaya, dan nilai-nilai sosial. Dinyatakan bahwa pendekatan ini tidaklah
eksklusif, karena aktivitas kewirausahaan merupakan aktivitas ‘human’ dan tidak
serta merta terjadi semata-mata karena perubahan lingkungan ekonomi atau
teknologi, ataupun karena perubahan normatif atau demografis.

5
Meskipun demikian, gagasan dasar tersebut cukup memberi petunjuk akan perlunya
identifikasi berbagai faktor yang akan mempengaruhi tumbuhnya aktivitas
kewirausahaan, sebagai acuan untuk menetapkan strategi membangun
kewirausahaan.

Elemen kunci yang diidentifikasi dalam tiga gagasan dasar tersebut terelaborasi
melalui berbagai perspektif teori kewirausahaan, yang dirangkum oleh Simpeh, 2011,
yaitu:

a) Economic Entrepreneurship Theory, mengeksplorasi faktor ekonomi yang


memperkuat perilaku kewirausahaan berdasarkan teori klasikal, neo-klasikal, dan
Austrian Market Process;
b) Psychological Entrepreneurship Theory, mencakup aspek sifat kepribadian (locus of
control) dan kebutuhan akan prestasi (need for achievement); Simpeh mengutip Frees
dan Gielnik (2014) yang mengidentifikasi elemen mental-kognitif dalam memahami
perilaku kewirausahaan.
c) Sociological Entrepreneurship Theory, fokus pada konteks sosial, dengan unit
analisis masyarakat, dengan mengidentifikasi empat konteks sosial yang
berhubungan dengan kesempatan berwirausaha, yaitu jejaring sosial, tahap
kehidupan yang dilalui seseorang, identifikasi etnik, dan ekologi populasi;
d) Anthropological Entrepreneurship Theory, menyatakan bahwa agar berhasil memulai
suatu usaha, konteks sosial budaya perlu menjadi pertimbangan. Model ini
menyatakan bahwa usaha baru tercipta karena pengaruh latar budaya seseorang.
Praktik budaya mengarah pada perilaku kewirausahaan seperti inovasi yang berujung
pada perilaku penciptaan bentuk usaha.
e) Opportunity-Based Theory, menegaskan bahwa wirausahawan tidak menyebabkan
perubahan, namun mengeksploitasi peluang yang diciptakan oleh perubahan.
Wirausahawan selalu mencari perubahan, merespon perubahan tersebut, dan
memanfaatkannya sebagai peluang. Ditambahkan ambahkan bahwa seorang
wirausaha memiliki kapasitas ‘resourcefulnes’ (bersumberdaya);
f) Resource-Based Entrepreneurship Theories, mengutarakan bahwa akses terhadap
sumber daya merupakan prediktor penting bagi aktivitas kewirausahaan. Teori ini
menekankan pentingnya sumber daya yang dikategorikan dalam tiga kelas teori,
yaitu (i)Teori Modal Finansial/Likuiditas yang menekankan peran pendanaan untuk
memperlancar pembentukan usaha baru; (ii) Teori Modal Sosial dan Jejaring Sosial,
untuk memungkinkan akses terhadap peluang dan merubah menjadi usaha baru; (iii)
Teori Modal Insani (Human Capital), didasari oleh dua faktor yaitu pendidikan dan
pengalaman yang akan mempengaruhi perbedaan pemahaman atas identifikasi dan
pemanfaatan peluang.

Menyadari perlunya kelengkapan kajian untuk menggagas pengembangan


kewirausahaan, tulisan ini lebih menekankan pembahasan pada gagasan dasar,
dengan berfokus pada individu sebagai aktor utama kewirausahaan di tengah
dinamika kemajuan teknologi dan pergeseran ekonomi, serta perubahan tatanan
sosial budaya, dalam konteks ekonomi digital dan ekonomi human.

6
Digital versus Human dalam Kewirausahaan

Karakteristik utama dalam kewirausahaan adalah kemampuan aktor atau agen untuk
menangkap atau menciptakan peluang yang diakibatkan oleh perubahan (pasar,
teknologi, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain).

Teori kewirausahaan fokus pada keragaman keyakinan atas nilai dari sumberdaya.
Dinyatakan bahwa wirausahawan memiliki sumberdaya individual yang spesifik,
yang memfasilitasi pengenalan peluang baru dan menggabungkan berbagai
sumberdaya baru untuk mengelola usaha yang dibangun (Alvarez dan Busenitz,
2001:756).

Lebih jauh, penelitian menunjukkan bahwa orang-orang tertentu lebih mampu


mengenali dan memanfaatkan peluang dibanding yang lain karena mereka memiliki
akses yang lebih baik terhadap informasi dan pengetahuan (Aldrich, 1999,
Anderson & Miller, 2003, Shane 2000, 2003, Shane & Venkataraman, 2000).

Kedua pernyataan tersebut terkait dengan opportunity-based dan resource-based


theory dalam hal pentingnya peran teknologi pada penyediaan informasi dan
pengetahuan, serta mengindikasikan peran utama aktor dengan modal insaninya
dalam hal keyakinan dan kemampuan menggagas.

Selain kapasitas mental-kognitif yang mengetengahkan sisi ‘human’ dalam


memahami cara kerja wirausaha; telah disebutkan bahwa kemampuan untuk
mengenali dan memanfaatkan peluang untuk ditransformasikan dalam kegiatan
bisnis atau perubahan institusional, ditentukan oleh akses terhadap informasi dan
pengetahuan.

Perkembangan teknologi digital dan digitalisasi telah memungkinkan perolehan


informasi dan pengetahuan dengan cara yang mudah dan cepat, sehingga dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dewasa ini setiap individu memiliki peluang yang
relatif sama terhadap informasi dan pengetahuan.

Digitalisasi atau transformasi digital adalah perubahan yang dikaitkan dengan

7
penerapan teknologi digital dalam semua aspek kehidupan manusia. Digitalisasi
berkaitan dengan

8
proses digitasi “….the action or process of digitizing; the conversion of analogue
data (esp. in later use images, video, and text) into digital form” (Parviainen,
Tihinen, Teppola,
Kaariainen, 2017: 64). Disebut pula bahwa digitalisasi adalah ‘kemampuan untuk
merubah produk atau jasa yang ada ke dalam bentuk digital sehingga menawarkan
keuntungan yang melebihi produk berwujud’. Secara lebih ringkas Brennen dan
Kreiss (2014) menyatakan bahwa digitalisasi berkaitan dengan adopsi atau
peningkatan penggunaan teknologi digital atau komputer oleh organisasi, industri,
negara, dan sebagainya.

Digitalisasi merambah banyak aspek kehidupan, terutama merubah cara kerja,


berkomunikasi dan berinteraksi yang kemudian mempengaruhi cara bisnis dijalankan
hinggaperubahan tatanan sosial, budaya, ekonomi, politik.

Parviainen, et.al. (2017) mengidentifikasi beberapa perubahan yang disebabkan oleh


digitalisasi dalam tataran sebagai berikut: a) tataran proses, mengadopsi peralatan
digital baru dan melakukan efisiensi proses dengan mengurangi aktivitas manual; b)
tataran organisasi, menawarkan layanan baru dan membuang praktik lama yang
sudah usang serta menawarkan layanan yang ada dengan cara baru; c) tataran domain
bisnis, merubah peran dan rantai nilai dalam ekosistem; d) tataran masyarakat,
perubahan struktur masyarakat (diantaranya jenis pekerjaan, cara mempengaruhi
pengambilan keputusan).

Secara spesifik, Accenture Technology Vision (2015, dalam WEF 2016)


mengidentifikasi kecenderungan perkembangan teknologi digital yang membantu
pertumbuhan organisasi dan strateginya sebagai berikut:
(1) The Internet of me: melalui personalisasi aplikasi dan layanan, teknologi
internet pada gelombang ketiga menempatkan pengguna pada berbagai
pengalaman digital.
(2) Outcome economy: sejalan dengan bertumbuhnya teknologi sensor dan
konektivitas, semakin mudah bagi organisasi untuk mengukur hasil dari
layanan yang dihantarkan.
(3) The Platform (r)evolution: kemajuan yang cepat dalam hal konektivitas
‘mobile & cloud’ meluruhkan hambatan tekonologi dan mengurangi biaya
pengembangan ‘platforms’ global yang menawarkan potensi luar biasa
bagi inovasi dan hantaran jasa generasi mendatang.
(4) The intelligent entreprise: kombinasi kemajuan sains dalam pendataan,
teknologi kognitif dan kekuatan ‘prosessing’ membuka kemungkinan untuk
mengembangkan mesin dan peranti lunak cerdas.
(5) Workforce re-imagined: ekonomi digital menciptakan kebutuhan yang lebih

9
besar atas kerjasama yang lebih efektif antara mesin dan manusia.
Kecanggihan perangkat, kemampuan operasi ‘antarmuka’, dan mesin pintar
membuka kesempatan baru untuk mengoptimalkan talenta manusia melalui
teknologi.

10
Kehadiran mesin dan peranti lunak cerdas telah sampai pada tingkatan yang
mengarah pada pewujudan kecerdasan buatan (artificial intelligence_AI) yang
mampu menggantikan fungsi berpikir otak dan menjalankan peran manusia dalam
berbagai bentuk. AI didefinisikan:… as
machines equalling or exceeding human performance across the complete range of
cognitive
tasks. (OECD, 2018:8)

Tak perlu menunggu masa depan, saat ini AI telah mentransformasi berbagai aspek
kehidupan, baik di rumah maupun tempat kerja. Berbagai bentuk digital/intelligence
assistance (diantaranya Alexa dari Amazon, Siri dari Apple, Chatbots dari IBM)
yang menjalankan fungsi pengaturan cahaya, membuka kunci mobil, program
otopilot, bantuan layanan kesehatan, bantuan layanan pelanggan, bantuan wawancara
untuk mengidentifikasi talenta pegawai, sampai dengan menggantikan peran asisten
pengajar terus dikembangkan
2
dan dimanfaatkan.

Pada titik ini, perkembangan teknologi digital mempengaruhi dua kelompok


masyarakat secara berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok produsen, pelaku
ekonomi aktif yang pada dasarnya sudah memiliki karakteristik wirausaha.
Teknologi digital atau digitalisasi berpotensi dan dalam banyak hal telah
terbukti meningkatkan produktivitas usaha.
Kewirausahaan digital dengan ekosistemnya berperan signifikan sebagai akselerator
usaha
3
baru (start-ups) yang berbasis digital.

Gambar 1.
Ekspansi Pendanaan
AI Global* (dalam
milyar EU)

11
Sumber: EPSC Strategic Notes (2018)

2
Lihat berbagai perkembangan fungsi asisten digital dalam businessinside.com dan
futurism.com
3
Corallo, Passiante, Prencipe (2007) mendefinisikan digital ekosistem sebagai
infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang mendukung kerjasama,
penyebaran pengetahuan, dan pengembangan ekosistem bisnis.

12
Secara global, pendanaan untuk bisnis pemula yang mengembangkan aplikasi AI
tumbuh dengan perkembangan tahunan mencapai 85% dari tahun 2012 hingga 2017.

Kecanggihan AI yang dikembangkan sedemikian rupa hingga memungkinkan


digantikannya fungsi kerja yang biasa dijalankan manusia sebagaimana digambarkan
dalam gagasan sains masa depan mengantar pada kehirauan ekstrim, untuk tidak
disebut sebagai kekhawatiran, akan musnahnya manusia atau peran kemanusiannya.
Para ahli bidang teknologi meyakini bahwa AI memiliki potensi untuk
mentransformasi dunia, namun tidak sepakat atas efek yang akan ditimbulkan oleh
transformasi tersebut terhadap individu. Beberapa percaya bahwa manusia akan
hidup lebih baik di tangan sistem AI yang canggih, sementara sebagian lainnya
berpikir bahwa hal tersebut akan membawa kejatuhan manusia dan kemanusiaan.
(Rubin, 2003; Caughil, 2017).

Individu adalah kelompok masyarakat kedua yang akan terkena efek digitalisasi,
yaitu kelompok konsumen, pelaku pasif pengguna manfaat teknologi. Tidak dalam
bentuk kekhawatiran seperti dinyatakan oleh fisikawan Stephen Hawking dan
astronom senior Seth
4
Shostak, yang dikutip Caughil (2017) , dalam konteks kewirausahaan kecanggihan
teknologi
digital dapat mengakselerasi kemampuan wirausahawan dalam melakukan perubahan
yang dibutuhkan masyarakat, namun di sisi lain dapat melemahkan kemampuan
individu yang pasif (average person) dalam merespon tuntutan lingkungan,
menangkap peluang, dan menggagas serta melakukan perubahan yang bermakna.

Li, Du, Yin (2017) mengidentifikasi tiga jenis kewirausahaan, yaitu business
entrepreneurship, knowledge entrepreneurship, dan institutional entrepereneurship.
Business entrepreneurship adalah jenis kewirausahaan yang mengantar terbentuknya
usaha/bisnis baru. Knowledge entrepreneurship berkaitan dengan pencarian peluang
berdasarkan informasi dan pengetahuan, menciptakan basis pengetahuan dalam
bidang tertentu dan membangun usaha yang berkaitan dengan bidang pengetahuan
tersebut. Institutional entrepreneurship

13
4
Hawking menyatakan bahwa jika robot menjadi lebih cerdas daripada manusia
maka mesin tersebut akan menciptakan senjata yang tak terbayangkan dan
memanipulasi para pemimpin (manusia) dengan mudah. Shostak meyakini bahwa AI
akan melampaui manusia sebagai mahluk tercerdas di planet ini. : “The first
generation (of AI) is just going to do what you tell them; however by the third
generation, then they will have their own agenda.”

14
didefinisikan sebagai aktivitas aktor yang memiliki kepedulian/kepentingan dan
memiliki sumber daya untuk menciptakan kelembagaan baru atau merubah yang
sudah ada.

Battilana, Leca, Boxenbaum (2009) mengartikan institutional entrepreneur


(wirausahawan institusional_intrapreneur) sebagai aktor yang memobilisasi sumber
daya untuk menciptakan kelembagaan baru atau mentransformasi yang sudah ada.
Untuk dikatakan sebagai wirausahawan institusional, aktor harus memenuhi dua
kondisi, yaitu menginisiasi perubahan dan berpartisipasi secara aktif untuk
mengimplementasikan perubahan. Seorang wirausaha institusional adalah agen
perubahan, namun tidak semua agen perubahan dapat disebut sebagai wirausaha
institusional. Wirausahawan institusional membuat sesuatu yang baru, melibatkan
diri dan memobilisasi sumber daya untuk mewujudkannya.

Karakteristik kewirausahaan tersebut menegaskan bahwa seorang wirausaha perlu


memiliki paket utuh, untuk dapat menangkap atau menciptakan peluang, menggagas
usaha untuk menciptakan nilai tambah, dan melakukan pelakukan perubahan yang
dibutuhkan sebagai tuntutan untuk bertumbuhkembangnya entitas organisasi.

Kemampuan menggagas adalah ciri utama manusia sebagai mahluk intelektual, yang
memiliki totalitas pengertian atau kesadaran disertai kesempurnaan akal budi. Di sini
karakteristik ‘human’ dalam praktik kewirausahaan menjadi dominan. Kemampuan
menggagas ini berhubungan dengan entrepreneurial alertness. Dalam kaitannya
dengan aspek perilaku yang dikaji dalam teori psikologi kewirausahaan, selain
kewaspadaan dalam pencarian informasi yang berhubungan dengan peluang, Gagli &
Katz (2001) dalam Frese & Gielnik (2014) mengartikan entrepreneurial alertness
sebagai skema kognitif yang memungkinkan orang untuk berpikir dengan cara-cara
baru yang tidak biasa. Berpikir dengan cara baru dan tidak biasa membantu
wirausahawan untuk mengidentifikasi peluang bisnis yang inovatif.

Lebih dalam, kapasitas kognitif mendasar seperti kemampuan mental secara umum
dan kreativitas ditekankan sebagai fondasi bagi entrepreneurial alertness.
Kemampuan mental umum dan kreativitas merupakan kapasitas kognitif yang
mempengaruhi cara bagaimana para aktor memproses informasi, dalam arti

15
memahami dan membuat asosiasi antara berbagai informasi (Baron & Ensley 2006;
Shane & Venkataraman 2000), untuk kemudian

16
melakukan tindakan. Studi empirik mendukung hipotesis bahwa kreativitas (dan
kemampuan mental secara umum) berkontribusi bagi pengidentifikasian peluang
(Baron & Tang 2011; DeTienne & Chandler 2004; Gielnik et al. 2012).

Kemewahan teknologi digital yang memberi banyak kemudahan membuat individu


tertentu menggantungkan proses berpikir dan kerja otak kepada mesin. Sementara itu
dipahami bahwa cara kerja otak akan mempengaruhi kemampuan manusia untuk
bertahan dan meningkatkan kualitas hidup.

Daya kerja otak berkaitan dengan kreativitas. Secara umum kreativitas didefinisikan
sebagai sikap, kapasitas dan perilaku yang mengarah pada hasil yang inovatif.
Kreativitas merefleksikan penguatan intensitas persepsi, kognisi, dan ekspresi yang
terjadi baik secara spontan atau dimunculkan oleh stimulus untuk menghubungkan
atau mengintergrasikan variabel-variabel yang terkait secara unik satu sama lain.
Kreativitas berhubungan dengan sejumlah fungsi dan karakteristik otak, yang disebut
sebagai plastisitas dan kemampuan untuk mengelaborasi keragaman skema mental
dan visi dunia. Perilaku kreatif berkaitan dengan besaran kapasitas berpikir yang
berubah dan menguat selama pengembangan fungsi otak, melalui proses adaptasi dan
pengalaman dalam mengidentifikasi alternatif respon dan pemecahan masalah.
(Breunings,2018; Oliverio , 2008)

Kebutuhan untuk mengoptimalkan kapasitas kognitif dan aktivitas mental sebagai


pemicu kreativitas untuk mendorong aksi kewirausahaan mengindikasikan perlunya
proses pendidikan dan pengalaman yang berperan dalam peningkatan kecerdasan
individu. Lebih jauh, kecerdasan tak hanya mencakup pengetahuan namun lebih jauh
menyentuh kapasitas ‘wisdom’ yang terbentuk oleh kompetensi dan karakter
(kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan sosial, kecerdasan spiritual).

Sejauh apapun optimalisasi kapasitas mesin (komputer), selain kenyataan bahwa -


sejauh ini- kapasitas otak manusia jauh melampuai kapasitas dan spesifikasi komputer
(Sashikala, Banu, Melwin, Solomon D, 2014), terdapat berbagai argumen terkait
ketidakmampuan mesin untuk merasakan pengalaman mental, menciptakan budi
daya, dan terlebih argumen teologis bahwa ‘berpikir’ adalah fungsi dari jiwa yang
imortal, yang dianugerahkan oleh Yang Maha Pencipta bagi manusia, tidak kepada

17
hewan dan mesin. (Turing, 1950)

18
Kewirausahaan mengandalkan kapasitas aktor dalam merespon lingkungan,
dengan menangkap atau menciptakan peluang, terlibat dalam proses kreasi dan
inovasi, memobilisasi sumber daya, dan memastikan terhantarnya gagasan di
tengah berbagai risiko dan ketidakpastian. Kapasitas ini menuntut, tidak hanya
pengetahuan dan proses kerja yang dapat dilipatgandakan hasilnya oleh
teknologi digital, namun lebih jauh mensyaratkan kematangan berpikir, daya
imajinasi, keselarasan bertindak, dan kebijaksanaan dalam menentukan respon
atas berbagai skenario lingkungan. Faktor kecerdasan yang disebut belakangan
tidak dapat dihantarkan dan karenanya tak dapat pula digantikan oleh
kecerdasan mesin.

Pengembangan kapabilitas insani melalui optimalisasi kapasitas berpikir, merasa, dan


bertindak dengan demikian merupakan prioritas bagi upaya pengembangan karakter
kewirausahaan. Aspek human berupa akal dan keluhuran budi merupakan pencetus
kehirauan akan berbagai permasalahan masyarakat, upaya pemenuhan kebutuhan
hidup, dan pencarian solusi bagi penghidupan yang lebih baik.

Kewirausahaan diantara Digital Economy dan Human

EconomyDigital Economy sebagai Peluang

Teknologi digital merupakan dasar bagi berkembangnya ekonomi digital. Secara


umum ekonomi digital diartikan sebagai aktivitas ekonomi yang mendunia, berupa
keterbukaan akses terhadap barang dan jasa, dimana jejaring informasi dan
pengetahuan menjadi faktor produksi utama, melalui pemanfaatan teknologi digital;
atau secara ringkas dapat disebut sebagai ekonomi berbasis digital (British Computer
Society, 2014; House of Commons, 2016; G20 DETF, 2016; Rouse, 2106; OUP,
2017, dalam Bukht dan Hiks, 2017).

Dalam ekonomi digital teknologi menjadi bagian integral bagi organisasi. Teknologi
digital yang secara praktis mewujud dalam pertumbuhan fungsi serta peran teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) menjadi pendorong pertumbuhan bisnis dan
memungkinkan berkembangnya bisnis pemula. Pelaku bisnis lokal serta merta dapat
menjangkau pasar yang lebih luas melalui personalisasi aplikasi dan layanan serta

19
kemudahan konektivitas.

20
Kecanggihan sains data, teknologi kognitif, dan kekuatan pemrosesan menjadi
kombinasi yang membuka kemungkinan dioperasikannya ‘intelligent enterprises’.
Pemanfaatan mesin pintar dan kecerdasan peranti lunak membuat perusahaan mampu
mencapai tingkat efisiensi operasional dan inovasi yang lebih tinggi.

Pertumbuhan ekonomi digital pada dasarnya tergantung kepada pemanfaatan


teknologi digital oleh individu, perusahaan, dan pemerintah. Agar perangkat keras,
perangkat lunak, dan konektivitas berperan dalam penciptaan nilai dan peningkatan
produktivitas, teknologi digital harus dimanfaatkan secara efektif.

Gambar 2.
Persentase Perusahaan yang menggunakan Konektivitas Pita Lebar (Broadband), di
Berbagai Negara, Berdasarkan Ukuran Organisasi (mengacu kepada jumlah pegawai),
tahun 2016

Sumber: OECD Digital Economic Outlook 2107

Pemanfaatan teknologi digital secara efektif menuntut keahlian individu dan


manajemen perusahaan atau institusi pada umumnya. Secara umum, organisasi usaha
yang lebih besar memanfaatkan ICT secara lebih intensif, bukan hanya karena skala
operasinya yang lebih komoleks, namun juga karena hambatan yang lebih besar bagi
usaha kecil atas pemanfaatan ICT disebabkan kurangnya keahlian dan kemampuan

21
finansial. Kurangnya keahlian membuat jarak pemisah digital yang lebih besar antara
orang-orang yang berkemampuan dengan yang

22
tidak. Hanya 25% individu menggunakan peranti lunak sederhana seperti ‘word
processors’ dan ‘spreadsheets’ dalam pekerjaan sehari-harinya. Menurut survei yang
dilakukan OECD mengenai keahlian orang dewasa, lebih dari 40% individu tidak
memiliki keahlian dan pemanfaatan ICT yang efektif. (OECD, 2017)

Perusahaan, terutama yang berskala kecil sesungguhnya mempunyai potensi


pemanfaatan ICT secara lebih efektif dan meraih peluang baru bagi bisnisnya.
Faktanya, saat ini sebagian besar bisnis memanfaatkan ICT, namun usaha-usaha kecil
masih tertinggal. Berikut adalah gambaran perbandingan pemanfaatan ICT
perusahaan di berbagai negara, berdasarkan ukuran organisasinya.

Tampak secara umum pemanfaatan ICT dalam hal konektivitas pita lebar (Gambar 2)
dan situs web serta laman (Gambar 3) berbagai perusahaan di tahun 2016 mengalami
kenaikan dibanding dengan tahun 2010. Secara spesifik pemanfaatan didominasi oleh
perusahaan besar dengan jumlah pegawai di atas 250 orang, diikuti oleh perusahaan
dengan pegawai berjumlah 50 sampai 249 orang, sementara perusahaan kecil dengan
pegawai berjumlah 10 sampai 49 orang masih tertinggal.
Gambar 3.
Persentase Perusahaan yang memanfaatkan Situs Web atau Laman, di Berbagai
Negara, Berdasarkan Ukuran Organisasi (mengacu kepada jumlah pegawai), tahun
2016

Sumber: OECD Digital Economic Outlook 2107

Selain dua indikator tersebut, OECD (2017) juga mengidentifikasi pemanfaatan

23
ICT berupa peranti lunak untuk ‘enterprise planning’, layanan komputasi berbasis
‘cloud’, dan

24
pemanfaatan ‘big data analysis’ dengan pola pemanfaatan yang sama berdasarkan
ukuran organisasi, dengan pertumbuhan signifikan sejak tahun 2010.

Hal tersebut menunjukkan bahwa era digitalisasi yang membentuk ekonomi


digital merupakan perubahan nyata dan tak dapat dihindari dalam tatanan hidup
masyarakat dunia. Keberadaan teknologi yang semakin canggih mempermudah
berbagai aktivitas bisnis, ekonomi, dan sosial dan berkecenderungan mempengaruhi
budaya masyarakat.

Kemewahan tersebut menjadi peluang besar bagi bertumbuhnya aktivitas


kewirausahaan. Ketertinggalan pemanfaatan ICT oleh pelaku usaha kecil, jika
disertai kemampuan untuk mengidentifikasi, menangkap atau menciptakan, dan
memanfatkan peluang justru memberi ruang pertumbuhan yang besar. Ekonomi
digital adalah lingkungan yang didorong oleh dan menjadi pendorong
perubahan perilaku individu dan wirausahawan; teknologi digital adalah alat
yang jika dimanfaatkan secara efektif akan menjadi ‘enabler’ bagi
perkembangan keahlian, pemicu kreativitas dan inovasi, serta pertumbuhan
usaha dan transformasi organisasi.

Accenture Technology Vision (2015) menekankan peran manusia sebagai penyangga


keberhasilan di dunia yang terus menerus memperbaharui diri dengan kecepatan yang
tak terduga. Dinyatakan bahwa ekonomi digital menciptakan tuntutan yang jauh lebih
besar akan kolaborasi efektif antara mesin dan manusia. Kecanggihan
perangkat, antar muka
5
alami (Natural User Interface_NUI) , dan mesin pintar membuka peluang
baru untuk
memperkuat talenta insani melalui teknologi.

Dengan pemanfaatan teknologi secara bijaksana dan berdaya guna, perkembangan


industri akan mengantar peradaban manusia pada tingkatan yang lebih maju. Sejarah
mencatat bahwa cara pemenuhan kebutuhan hidup dan aktivitas ekonomi ber-evolusi
dan ber-revolusi mulai dari pemenuhan kebutuhan hidup yang dicirikan oleh
aktivitas

25
5
NUI adalah sistem interaksi antara manusia dan komputer yang dioperasikan
melalui aksi intuitif yang bersifat alami, mengikuti pola perilaku manusia sehari-hari.
Diantara NUI yang telah dikembangkan adalah teknologi layar sentuh, antar muka
yang dapat mengenali gerak isyarat (gesture recognition), interaksi melalui perintah
yang diucapkan (speech recognition), sistem navigasi dengan menggunakan gerakan
mata (gaze tracking interface) hingga brain machine interface yang mampu
membaca sinyal syaraf dan menggunakan perangkat lunak untuk menterjemahkannya
menjadi instruksi. (UniteUX.com)

26
hunter-gathered (society 1.0), agraris (society 2.0), industrial (society 3.0),
hingga era
6
masyarakat informasi (society 4.0) yang segera disusul oleh society 5.0.

Human Economy sebagai Tantangan

Menarik bahwa tatanan kehidupan dunia membentuk keseimbangannya sendiri.


Hiruk pikuk perkembangan teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi di
satu sisi telah membangun kehirauan di sisi lain. Teralihkannya berbagai peran dan
pekerjaan kepada ‘mesin pintar’ dengan kecenderungan kemampuan untuk
menjalankan peran yang semakin kompleks melalui pemanfaatan kecerdasan buatan
dengan berbagai generasi (tingkat kecanggihan), mendorong tingkat kebutuhan
manusia pada hirarki yang lebih tinggi, yaitu kebermaknaan atau aktualisasi diri.

Kebermaknaan dalam konteks human economy atau ekonomi human dapat diartikan
dalam dua sudut pandang. Bagi pelaku ekonomi yang berdaya (produsen, konsumen,
pemerintah), kebermaknaan didapat ketika dengan sumber daya yang dimilikinya,
sebagai hasil dari aktivitas ekonomi, mampu berbagi kesejahteraan dengan pelaku
ekonomi yang belum dimunculkan keberdayaannya (masyarakat kurang dan pra
sejahtera). Bagi pelaku ekonomi yang disebut terakhir, peningkatan kesejahteraan
dan rasa berdaya itulah yang menjadi kebermaknaan dalam hidupnya.

Ekonomi human adalah gagasan, yang diformulasikan dalam konsep ekonomi dan
alat analisisnya, yang ditujukan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia
dengan memperhatikan keseimbangan ekologi. (Rotering, 2003).

Hart (2008:2) menyatakan: “by calling the economy human we put people first,
making their thoughts, actions and lives our main concern”. Kemanusiaan adalah
kualitas moral, yang

6
Society 5.0 adalah masyarakat super pintar, yang tercipta melalui inovasi yang
dikembangkan dalam revolusi industri generasi ke-empat (industry 4.0), yang
berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan segala kemajuan dan

27
tantangan sosial serta perubahan komposisi demografi, Jepang adalah salah satu
negara yang sudah meng-klaim inisiasi pertumbuhan ekonomi dan kemasyarakatan
menuju era society 5.0 (lihat Mayumi Fukuyama,2018, Society 5.0: Aiming for a New
Human Centered Society. Japan SPOTLIGHT – www.jef.or.jp/ journal)

28
mengimplikasikan bahwa jika kita ingin menjadi manusia yang baik, kita harus
memperlakukan sesama dengan baik.

Dalam ekonomi human, aktivitas ekonomi yang melibatkan pasar dan uang sebagai
alat tukar bagi penjual dan pembeli, merupakan alat. Hart (2008) menegaskan bahwa
uang memungkinkan seseorang untuk memperluas kapasitas guna menstabilkan
identitas pribadi dengan memiliki sesuatu yang tahan lama, yang merupakan
perwujudan hasratnya, sekaligus mensejahterakan seluruh anggota masyarakat.

Ekonomi yang berorientasi pada kemanusiaan bukanlah gagasan baru; namun dewasa
ini gagasan ini semakin penting untuk diwujudkan. Perkembangan teknologi dan
industri bukan hanya memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan manusia,
namun juga membawa dampak pada berbagai aspek kehidupan. Timbulnya
kerusakan lingkungan dan kecenderungan personalisasi kesejahteraan sebagai milik
mereka yang berusaha dan mampu melipatgandakan kekayaan (kapitalisasi)
menyebabkan ketimpangan distribusi kesejahteraan yang semakin lebar.

Gambar 4.
Distribusi Kekayaan Global tahun 2015

Sumber: OXFAM (2016) dalam Lovins, Wijkman, Fullerton, Wallis,


Maxton (2016)

29
Satu persen masyarakat yang kaya memiliki lebih banyak kekayaan dibanding 99%
masyarakat yang lain. Jumlah kekayaan 62 orang sama dengan jumlah kekayaan 3,5
milyar orang lainnya, sebagaimana terlihat pada gambar 4.

Dorongan untuk mempraktikan ekonomi human telah berkembang. Diperlukan


dukungan untuk menciptakan pola pikir baru untuk merancang ekonomi yang tujuan
utamanya adalah untuk memberi manfaat bagi yang 99%. Kelompok yang harus
diuntungkan secara disproporsional adalah kaum miskin. Ekonomi human
memerlukan material dasar untuk mengatasi masalah yang yang berkontribusi pada
krisis ketimpangan dewasa ini (OXFAM, 2017), yaitu:

(1) Pemerintah bekerja untuk yang 99%;


(2) Pemerintah berbagai negara bekerjasama, bukan berkompetisi;
(3) Perusahaan bekerja untuk keuntungan setiap orang;
(4) Mengakhiri konsentrasi kekayaan yang ekstrim untuk mengakhiri
kemiskinan ekstrim;
(5) Ekonomi human bekerja secara sama bagi laki-laki dan perempuan;
(6) Teknologi dimanfaatkan untuk kepentingan yang 99%;
(7) Ekonomi human dikuatkan oleh energi terbarukan yang berkesinambungan;
(8) Menilai dan mengukur sesuatu yang benar-benar penting (bergerak
melampaui PDB).

Melihat kecenderungan belakangan ini, pewujudan ekonomi human merupakan


tantangan yang tidak mudah dihadapi; namun dengan mengandalkan peri
kemanusiaan dan upaya untuk menghidupkan kembali hakekat keberadaan manusia
secara spiritual, kita dapat berharap untuk mendekati pencapaian cita-cita tersebut.
Diperlukan upaya bersama bersama (global) yang luar biasa; tidak mudah namun
prosesnya harus dijalankan.

Seidman (2014) menggambarkan gagasan ekonomi human dengan cara yang mudah.
Dinyatakan bahwa perekonomian ditandai berdasarkan kegiatan utama yang
dikerjakan orang-orang dalam aktivitas ekonominya. Ekonomi industrial
menggantikan ekonomi agraris ketika orang-orang meninggalkan ladang untuk
bekerja di pabrik; kemudian ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy)
menarik mereka dari pabrik ke gedung perkantoran. Ketika itu terjadi, cara pekerja
melakukan pertambahan nilai berubah. Bukannya mengandalkan otot, perusahaan
berinvestasi atas otak; tidak lagi mempekerjakan

30
tangan, namun mempekerjakan kepala. Dalam ekonomi human, pekerja yang paling
bernilai akan dihargai karena hatinya.

Jelas bahwa sekedar kepemilikan pengetahuan dan kemampuan berpikir yang


sebagian sudah dapat dikerjakan oleh mesin, tidak lagi istimewa. Manusia diandalkan
karena karakteristik personal yang tidak dapat disubstitusi. Empati, kreativitas,
inisiatif, serta keinginan untuk berbuat baik adalah kekhususan yang dimiliki
manusia, melampaui kapasitas mesin.

Sekali lagi, faktor human dengan karakteristik kemanusiaan dan kecerdasannya yang
utuh merupakan pemeran utama perubahan tatanan dunia, terutama dalam mengatasi
ketimpangan kesejahteraan yang menjauhi ideal, melalui praktik ekonomi human.

Kemanusiaan bersandar pada talenta yang luar biasa, kekayaan yang berlimpah, dan
imajinasi tak terbatas (OXFAM, 2017). Ekonomi human karenanya menuntut
peran komunitas yang tak hanya mengandalkan pengetahuan (kognisi) namun
juga mengandalkan hati (afeksi) serta wawasan moral dan etikal yang
membentuk karakter human yang utuh, yang memampukannya untuk
mensejahterakan diri dan anggota komunitas lainnya.

Perlunya kapasitas kekayaan untuk diciptakan dan didistribusikan dalam berbagai


bentuk meneguhkan peran kewirausahaan. OECD Meeting di Paris (2017)
mengidentifikasi bahwa a) bisnis dalam skala kecil dan menengah (SMEs) berperan
penting dalam menghantar globalisasi dan pertumbuhan yang lebih inklusif, b) SMEs
berkontribusi bagi kesejahteraan ekonomi dan sosial (diantaranya melalui penciptaan
lapangan kerja) yang dapat lebih diperkuat, c) lingkungan bisnis merupakan hal yang
kritikal untuk memperkuat partisipasi SME dalam dan untuk memperoleh manfaat
dari ekonomi yang terbuka dan terintegrasi.

Ekosistem yang kondusif bagi berkembangnya aktivitas kewirausahaan dengan


demikian merupakan hal yang esensial, selain karakter kewirausahaan yang
disyarakan bagi para aktor.

31
7
Global Entrepreneurship Monitoring (2017) melakukan survei dan mencatat bahwa
dari 12
dimensi kerangka kerja kewirausahaan yang membentuk ekosistemnya, faktor
pendidikan kewirausahaan pada usia sekolah merupakan kekurangan yang paling
menghambat tumbuhnya aktivitas kewirausahaan di negara pada semua kelompok
tingkat perkembangan
8
ekonomi (factor driven, efficiency driven, innovation driven) . Selain itu adalah
kebijakan
pemerintah dalam hal pajak dan regulasi serta birokrasi, transfer riset dan
pengembangan (R&D transfer), dukungan kebijakan pemerintah dan aspek relevan
lainnya. Lemahnya program kewirausahaan yang digagas pemerintah dirasakan oleh
negara dengan ekonomi berbasis faktor sumberdaya (factor driven) dan berbasis
efisiensi (efficiency driven). Secara khusus kelompok ekonomi factor driven menilai
bahwa kondisi pasar internal yang membebani atau aturan untuk memulai bisnis
(entry regulation) merupakan faktor penghambat; sementara kelompok negara
dengan ekonomi berbasis inovasi merasa bahwa hambatan diantaranya disebabkan
oleh faktor pandanaan.

Berdasarkan hasil survei tersebut, faktor pendidikan, kebijakan pemerintah, dan


transfer R&D merupakan faktor yang perlu ditingkatkan daya dukungnya untuk
membangun kewirausahaan. Hal ini mengindikasikan perlunya kolaborasi antara
Institusi Pendidikan (Academics) , Industri (Businesses) , dan Pemerintah
(Government). Kolaborasi sinergis dari ketiganya tak hanya akan berperan dalam
pengembangan kapabilitas insani (kompetensi dan karakter) yang menjadi dasar
bertumbuhnya sikap dan aksi kewirausahaan melalui proses pendidikan, namun juga
memperkuat kapasitas bisnis yang dibangun melalui pemanfaatan ICT yang
dikembangkan oleh kelompok industri, didukung oleh kebijakan dan aturan
pemerintah yang kondusif bagi tumbuhnya kewirausahaan.

Pola dan program pendidikan yang mampu menumbuhkan kompetensi dan


mengembang-kan karakteristik kewirausahaan sejak dini (usia sekolah) hingga
penguatannya pada proses pendidikan pasca sekolah disertai kesempatan
bereksperimen menjadi salah satu fokus utama dalam memupuk kebijaksanaan
berpikir dan bertindak yang dibutuhkan wirausahawan. Selain itu, dukungan

32
kebijakan pemerintah memungkinkan terciptanya lahan subur bagi
bertumbuhkembangnya aktivitas kewirausahaan, disertai kerjasama dengan
akademisi untuk memastikan terjadinya transfer R&D. Lebih jauh, produk

7
Lihat ke-12 dimensi tersebut dalam GEM Global Report Highlight 2017/18
8
Lihat World Economic Forum tentang Global Competitiveness Index Framework.
www.weforum.org

33
industri berupa teknologi digital dengan perkembangannya yang tak terduga perlu
dimanfaatkan secara optimal sebagai alat untuk melipatgandakan hasil, menjangkau
kebermanfaatan yang lebih luas, dan mencapai tujuan: kebermaknaan hidup dan
kesejahteraan untuk semua.

Penutup

Sementara digitalisasi dan humanisasi dipahami sebagai dua sisi ekstrim dalam
suatu garis kontinum, kajian literatur yang dilakukan menghasilkan simpulan bahwa
keduanya bersifat saling melengkapi; membangun keseimbangan.

Dalam konteks yang lebih makro, kehadiran ekonomi digital merupakan peluang
bagi bertumbuhnya aktivitas kewirausahaan global . Potensi peningkatan
kesejahteraan yang terdistribusi secara lebih merata dapat menjadi jawaban atas
tantangan akan kehirauan pada ekonomi human yang menjadikan manusia dan
kesejahteraannya sebagai prioritas kegiatan ekonomi.

Karena kemanusiaan bersandar pada talenta yang luar biasa, kekayaan yang
berlimpah, dan imajinasi tak terbatas; pengembangan kewirausahaan perlu dilakukan
melalui penciptaan lingkungan atau ekosistem yang secara sinergis mendukung
bertumbuhnya kegiatan usaha.

Kewirausahaan yang bertumbuh kembang dalam ekosistem yang kondusif, melalui


pemanfaatan teknologi digital, dengan mengusung kemanusiaan dan keadilan,
memungkinkan penciptaan kesejahteraan yang relatif lebih merata, menjangkau
kelompok masyarakat (99%) yang kurang beruntung, dimanapun mereka berada di
desa global ini.

Daftar Referensi

Accenture. 2015. Gearing Up For Growth Using


Multi-Speed IT. Aldrich, H.E. 1999.
Organisations Evolving. Sage Publication.

34
Alvarez, S.A. & Busenitz, L.W. 2001. The Entrepreneurship of Resource-Based
Theory. Journal of Management, 27, 755-775.

35
Anderson, A. & Miller, C. 2003. Class Matters: Human and Social Capital in The
Entrepreneurial Process. The Journal of Socio-Economics, 32, 17-36.
Baron, R.A, Ensley, M.D. 2006. Opportunity Recognition as The Detection of
Meaningful Patterns: Evidence From Comparisons of Novice and
Experienced Entrepreneurs. Management Science.52(9):1331–1344
Baron, R.A., Tang J. 2011. The Role of Entrepreneurs in Firm-Level Innovation:
Joint Effects of Positive Affect, Creativity, and Environmental Dynamism.
Journal of Business Venture. 26(1):49–6
Battilana, J., Leca, B., Boxenbaum, E. 2009. How Actor Change Institutions:
Towards a Theory of Institutional Entrepreneurship. The Academy of
Management Annals. Vol.3, No.1, 65-107
Brennen,S., Kreiss, D. 2014. Digitalization and Digitization [Online]:
http://culturedigitally.org/2014/09/digitalization-and-digitization/
Bukht, R., Heeks, R. 2017. Defining, Conceptualising and Measuring the Digital
Economy. Global Development Institute. SEED. Paper No.68
Casson, M. 1982. The Entrepreneur: An Economic Theory. Oxford: Martin
Robertson, 2nd ed. Edward Elgar
Caughil,P. 2017. Artificial Intelligence is Our Future. But will it safe or destroy
humanity?. online.https://futurism.com.
Cuervo, A., Ribeiro, D, Roig, S. 2007. Entrepreneurship.Concepts, Theory, and
Perspective. Springer.
Verlag.Berlin.Heidelberg.
DeTienne, D.R, Chandler ,G.N. 2004. Opportunity Identification and Its Role in The
Entrepreneurial Classroom: A Pedagogical Approach and Empirical Test.
Academic Management Learning Education. 3(3):242–257
European Political Strategic Centre. 2018. The Age of Artificial Intelligence:
Towards a European Strategy for Human-Centric Machines. EPSC Strategic
Notes. Issue 29.
Frese, M., & Gielnik , M.M. 2014. The Psychology of Entrepreneurship .
Annual Reviews.
Organizational Psychology and Organizational Behavior, 1: 413-438
Gielnik, M.M., Frese, M., Graf, J.M., Kampschulte, A. 2012. Creativity in The
Opportunity Identification Process and The Moderating Effect of Diversity of
Information. Journal of Business Venture. 27(5):559–576
Global Eentrepreneurship Monitoring. 2018. Global Reports 2017/18. Global
Entrepreneurship Research Association (GERA).
Hart, K. 2008. The Human Economy. Goldsmith University, UK. School of
Development Studies, University of Kwazulu-Natal, Durban. ISSN 2073-
4158
Kirzner, I. 1973, Competition and Entrepreneurship. Chicago and London:
University of Chicago Press Landström, H. 2005. Pioneers in Entrepreneurship and
Small Business Research. International Studies

36
in Entrepreneurship Series, Volume 8, Springer.
Li, D., Lin W., Yin, J., 2017. Digital Entrepreneurship Ecosystem as a New form of
Organizing: The Case of Zhongguancun. Frontiers of Business Research.
China, 11:5
Loasby,B. 2001. The Organizational Basis if Cognition and The Cognitive Basis of
Organization. In M. Augier & J.G. March. The Economics of Choice, Chane
and Organization, Essays in Memory of Richard M Cyert. Chektenham, UK,
Edward Elgar.

37
Lovins,H., Wijkman, A., Fullerton, J., Wallis, S., Maxton,G. 2016. A Finer Future is
Possible: How humanity can avoid system collapse and craft a better economic
system. KR Foundation. Denmark
OECD Digital Economic Outlook 2017. OECD Publishing
OECD. 2017. Enhancing the Contributions of SMEs in a Global and Digitalised
Economy. Report.
Meeting of the OECD Council at Minstrial Level. Paris.
OECD.Digital Economy papers. 2018. AI: Intelligent Machines, Smart Policies.
Conference Summary.
OECD Publishing. Number 270:8.
Oliviero, A., 2008. Brain and Creativity. Progress of Theoretical Physics
Supplement. No. 173. Daniel Bovet Center for Neurobiology. University of
Rome La Sapienza. Rome. Italy.
OXFAM. 2017. An Economy for The 99%. Briefing Paper. Summary.
Parviainen, P., Tihinen, M., Teppola, S., Kaariainen, J. 2017. Tackling the
Digitalization Challenge: How to Benefit from Digitalization in Practice.
International Journal of Information System and Project Management –
www.sciencespere.org/ijispm
Rocha, V.C. 2012. The Entrepreneur in Economic Theory: From an Invosible Man
Toward a New Research Field. Working Paper. CEF.UP, FEP, Faculty of
Economics of University of Porto, Portugal.
Rotering, F. 2003. Putting Humanity and The Environment Before Profit. Feasta
Review No 2
Rubin, Charles T. 2003. Artificial Intelligence and Human Nature. The New
Atlantis. Number 1, pp.
88-100.
Schumpeter,J.1934. Theory of Economic Development: An Iquiiry into Profits,
Capital, Credit, Interest and the Business Cycle. Cambridge, Harvard University
Press.
Seidman, D. 2014. From the Knowledge Economy to The Human Economy. Harvard
Business Review. Shane ,S., Venkataraman, S. 2000. The Promise of
Entrepreneurship as A Field Of Research. Academic
Management Review. 25(1):217–226
Shane, S. 2003. A General Theory of Entrepreneurship. The Individual-
Opportunity Nexus.
Massachusetts. Edward Elgar Publishing, Inc.
Shane, S., & Venkataraman,S. 2000. The Promise of Entrepreneurship as a
Field of Research.
Academy of Management Review, 21 (1): 217-226
Shane, S.A. 2000, Prior Knowledge and The Discovery of Entrepreneurial
Opportunities. Organisation Science, 11, 448-469
Simpeh, K.N. 2011. Entrepreneurship Theories and Empirical Research: A Summary

38
Review of Literature. European Journal of Business and Management, Vol 3,
No.6.
Solomon, D.S.A.,Sashikala,Banu, Melwin. 2014. Superiority of Human Brain over
the Computer World in terms of Memory, Network, Retrieval, and Processing.
American Journal of Engineering Research. Volume-03, Issue-05, pp-230-239
Turing, A.M. 1950. Computing Machinery and Intelligence. Mind 49: 433-460.
Venkataraman,S.2003. Preface. In, Shane, A General Theory of Entrepreneurship.
Yhe Individual-Opportunity Nexus. Massachusetts, Edward Elgar Publishing,
Inc.
World Economic Forum. 2016. Digital Transformation of industries: Digital
Enterprise. White Paper.
In collaboration with Accenture.

39
40

Anda mungkin juga menyukai