Anda di halaman 1dari 7

AKHLAK DENGAN ALLAH SWT

Oleh: Rizali Fansuri, S.Th.I

A. Kompetensi Umum
Mengetahui akhlak kepada Allah Swt.

B. Kemampuan Akhir yang Diharapkan


Mahasiswa dapat mengenal Allah Swt. dengan baik
Mahasiswa dapat menguraikan akhlak-akhlak kepada Allah Swt.
Mahasiswa berakhlak seperti akhlak Allah Swt.

C. Uraian Materi
Penghambaan diri kepada Allah atau dalam istilah ilmu tauhid disebut al-
‘ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah Swt. Karena
kedudukan tersebut seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba
Allah yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Tuhannya,
serta menempatkan dan mengagungkan Allah Swt. Sebagai Tuhan yang Maha segalanya.

Penciptaan manusia merupakan wujud kehendak Allah untuk menampakkan sifat


dan asma-Nya yang mulia, karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk selalu
mengabdikan diri kepada Allah. Artinya seorang hamba harus melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Allah dan apa yang dilarang-Nya dengan penuh kerendahan diri, atau
dalam arti lain ialah takwa. Di dalam al-Qur’an Allah telah perintahkan kepada seluruh
umat Islam agar selalu menjaga diri dan keluarganya dari siksa api neraka. Ibnu Abbas
menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan: “artinya ajarilah adab kepada mereka
dan ajarkan ilmu pengetahuan, dengan hal tersebut terlindunglah mereka dari neraka.”1

Dalam rangka menjaga hubungan yang baik dengan Allah sang Maha Pencipta,
dan menjalin perasaan cinta kepada-Nya hendak bagi seorang hamba untuk
memperhatikan adab dan akhlak kepada-Nya. Tidak hanya kepada makhluk seseorang
harus beradab tapi juga kepada Tuhan-Nya agar mendapatkan keridhaan Allah Swt. di
dunia maupun di akhirat.

Mengenal Diri dan Tuhan


Ada sebuah riwayat yang sangat dikenal di kalangan sufi yang berbunyi:
“barangsiapa yang mengenal dirinya maka sungguh ia akan mengenal Tuhannya.” Di
dalam naskah Awwaluddin Makrifatullah wa Ma’rifaturrasul disebutkan bahwa diri itu
dibagi kepada empat macam, yaitu Diri Terdiri, Diri Terjeli, Diri Terperi, dan Diri
Diperi-perikan.

1
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), h. 194.
Hal tersebut agak sulit untuk dipahami di masyarakat awam, maka singkat kata
bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu zahir dan batin, zahir lebih dikenal dengan
sebutan jasad dan batin dikenal dengan ruh.

Zahir dan batin adalah dua aspek yang akan membentuk kesatuan integral sebagai
konsekwensi dari penerapan konsep tersebut. Sehingga hakikat dari suatu perbuatan yang
kelihatan dari luar zahirnya, itu hakikat yang ada pada dimensi dalamnya. Hal itu karena
konsep yang menggerakkan aktivitas zahir (manusia) adalah konsep yang sama yang
menggerakkan batin.2

Manusia yang diciptakan Allah tidak akan menjadi manusia yang sebenarnya,
kecuali jika di dalam dirinya terdapat konsep yang diciptakan Allah. Ketika zahirnya
berkesesuaian dengan nilai-nilai hakikinya, atau terjadi pertemuan antara zahiriah yang
dicipta Allah dengan batiniyahnya yang mencerminkan konsep Allah. Di sinilah adanya
keserasian antara zahir dan batin.3

Jika dikorelasikan dengan sabda Nabi Saw. “ketahuilah sesungguhnya di dalam


jasad ada segumpal darah, jika baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika rusak maka
rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.”4 Maka zahir harus mengikuti
apa yang ada pada batin. Dengan cara mengenal hakikat dirinya inilah ia akan mudah
mengenal Tuhannya, sehingga segala perbuatannya sesuai dengan perintah Tuhannya.
Seseorang yang mengetahui bahwa keperluan hidup zahirnya (jasad) adalah dengan cara
memberikan makanan yang diperlukan, maka makanan batin atau ruhaninya adalah amal
ibadah kepada Tuhannya.

Tuhan itu gaib dalam makna rahasia-Nya, tetapi Dia nyata di dalam kekhususan-
Nya, karena al-Haq menjadikan isim (nama) "Allah" sebagai cermin bagi manusia, bahwa
di balik tabir kekuasaan yang dimiliki manusia adalah sebagai bukti adanya kekuasaan
Allah sehingga bilamana manusia mau berpikir dalam kelogisannya sebagai hamba yang
dha'if maka ia akan melihat bahwa pada hakikatnya rahasia insan itu adalah Allah.
Sebagaimana penelusuran makna yang terkandung di dalam surah al-Hadid: 3 “Dialah
Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.”

Dia Yang Awal maknanya adalah Dia lah Yang mengawali setiap kejadian dan
penciptaan dengan sifat Kuasa-Nya yang tak terbatas. Dan Dia bersifat Qidam (Sedia),
tiada ilmu pengetahuan yang dapat mengukur keberadaan-Nya dan tiada pula Dia

2
Rohimuddin Nawawi al-Bantani, Ushul al-Fikr al-Shufi, (t.pt: Maktabah al-Nur, t.th), h. 35-36.
3
Rohimuddin Nawawi al-Bantani, Ushul al-Fikr al-Shufi, h. 36.
4
Hadits diriwayatkan oleh imam al-Bukhari di dalam kitab shahihnya nomor 52. Lihat Muhammad
ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari, vol. I, (Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), h.
21.
didahului oleh sesuatu selain dengan kudrat dan iradat-Nya jua terciptanya segala
sesuatu. Dengan keawalan-Nya inilah Dia Allah disebut Esa.

Dia Yang Akhir maknanya adalah Dia lah Yang mengakhiri setiap prasangka
adanya kekuasaan yang lain selain Dia. Dialah Zat Yang Maha Suci, tak bisa
dibandingkan atau diserupakan dengan yang lain, Dia memiliki sifat Baqa (Kekal) segala
sesuatu apapun baik berhubungan dengan penciptaan dan segala keputusan (takdir)
dikembalikan kepada-Nya, karena Dia lah Penentu atas segala sesuatu. Dan didalam sifat
Kuasa-Nya Yang absolut Dia tidaklah berawal dan berakhir, tidak seperti makhluk
ciptaan-Nya.
Dia Yang Zhahir maknanya adalah Dialah yang menciptakan alam semesta (alam
kabir) dan menciptakan makhluk (alam shagir) dengan segala bentuk rupa dan prosesnya
karena Dia memiliki sifat Maha Hidup (Al-Hayyun). Dialah Yang memiliki hak cipta
atas segala sesuatu, dan Dia dapat menghidup kan makhluk dengan segala fungsinya, Dia
Zhahir bersama eksistensi sifat Kuasa-Nya, dan kehadiran-Nya telah Dia transformasikan
kepada sifat-sifat insan, dan itulah bukti kedekatan-Nya kepada hamba-Nya yang mau
berpikir.

Dalam telaahan surah Al-Hadid tersebut dapat dipahamkan kepada mata rantai
pengantar penelusuran tentang hakikat Tuhan yang laisa kamistlihi syaiun. Dia Awal, Dia
Yang Akhir itu adalah Dia Yang Dzahir sedang Dia Yang dzahir itu adalah Dia Yang
batin sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib “Tiada yang kusaksikan atas segala
sesuatu melainkan yang kusaksikan melainkan Dia yang batin”. Ketika beliau
memberikan tanggapan terhadap perkataan Rasulullah Saw “Barang siapa menilik atau
melihat atas segala sesuatu bilamana didalam lihatnya itu bukan karena Allah adanya
maka batil”.

Sabda Nabi Muhammad Saw. tersebut dapat dikorelasikan dalam Penegasan ayat-
ayat al-Qur' an yang menghubungkan kekuasaan Allah kepada manusia terdapat di dalam
penjelasan Surah al-Shaffat: 96 “Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat".

Pengetahuan yang terdapat di antara seorang dengan Allah merupakan ilmu yang
sangat penting untuk dipelajari dan diketahui. Terlebih lagi ilmu tersebut berkaitan
dengan keimanan, karena keimanannya itu merupakan urusannya dengan Allah.5
Seseorang yang beriman tentu akan beramal shalih sebagai wujud keimanannya kepada
Allah, karena iman itu ibarat telenjang dan takwa adalah pakaiannya, perhiasannya rasa
malu dan pemahaman tentang agama hartanya.6

5
Rohimuddin Nawawi al-Bantani, Ushul al-Fikr al-Shufi, (t.pt: Maktabah al-Nur, t.th), h. 86.
6
Ini adalah perkataan Wahab bin Munabbih. Lihat Mushthafa Abdul Wahid, al-Tabshirah, vol. 2,
(Mesir: Dar al-Salam, 2012), h. 871.
Akhlak kepada Allah
Banyak di antara manusia yang memahami bahwa berakhlak yang baik hanya
sebatas interaksi kepada sesama makhluk, pemahaman seperti ini pemahaman yang
pendek. Jika berakhlak yang baik kepada sesama sangat dituntut terlebih lagi kepada
Sang Pencipta, interaksi yang terjalin kepada sang Pencipta lebih agung dan utama.

Jika adab diartikan dengan kesopanan, tingkah laku dan akhlak,7 maka akhlak
seorang hamba kepada Allah menjadi hal yang sudah seharusnya dimiliki, agar ia
mendapatkan ridha Allah sehingga bahagia dunia dan akhirat. Di antara akhlak-akhlak
kepada Allah, seperti berikut:
1. Menundukkan kepala di hadapan-Nya, yaitu pada saat beribadah kepada-Nya.
2. Merendahkan pandangan di hadapan-Nya, yaitu ketika ia bermuhasabah.
3. Menumpukan perhatian kepada-Nya, ketika dibacakan ayat-ayat Allah.
4. Mendiamkan segala anggota badan, atau dengan kata lain khusyu. Begitu juga
dengan lisan, hendaklah diam dari kata-kata yang tidak bermanfaat.
5. Bersegera mengikuti perintah-Nya. Orang yang gemar menunda-nunda
perintah-Nya akan menggelapkan hati, sehingga merasa berat untuk beribadah
kepada-Nya.
6. Menjauhi larangan-Nya.
7. Tidak merasa jengkel terhadap takdir yang tidak sesuai dengan keinginannya,
karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik baginya.
8. Selalu berdzikir dan ingat kepada Allah.
9. Melazimi berpikir (tafakkur) tentang kekuasaan-Nya.
10. Mengambil yang haq (mengikuti yang benar) dan meninggalkan yang batil.
11. Putus harapan dari makhluk (tidak berharap kepada makhluk).
12. Tunduk karena kehebatan-Nya.
13. Pecah hati karena malu dengan-Nya.
14. Merasa tenang dalam kehidupan karena percaya dengan jaminan-Nya.
15. Bertawakkal (berserah diri) kepada kelebihan-Nya karena percaya dengan
pilihannya.8

Dalam sebuah hadits disebutkan “‫ ”احفظ هللا يحفظك‬yang berarti “jagalah Allah maka
Allah akan menjagamu”. Maknanya adalah menjaga ketentuan (aturan) Allah, hak-hak-
Nya, perintah dan larangan-Nya. Maka maksud dari kata menjaga di sini ialah
mengetahui perintah-Nya dengan mengamalkan, larangan-Nya ditinggalkan, dan aturan-
Nya tidak dilanggar. Maka perbuatan tersebut menjadi wajib semuanya dan

7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1997), h. 5.
8
Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Cet. Ke-1, (Bairut: Dar al-Minhaj, 2004), h. 237-
238. Dan lihat Abdus Shamad al-Falimbani, Hidayatus Salikin, ditahqiq Ahmad Fahmi Zamzam,
(Banjarbaru: Darussalam Yasin, t.th), h. 281-284.
meninggalkan yang diharamkan.9 Ketika semua hal tersebut telah dilaksanakan maka
Allah telah berjanji untuk menjagamu, yang artinya memberikan ganjaran yang sesuai
dengan perbuatannya, seperti firman-Nya: “‫ ”فاذكروني أذكركم‬atau “‫ ”إن تنصروا هللا ينصركم‬dan
lain-lain.

Janji Allah untuk menjaga hamba-Nya terwujud dalam dua bentuk, yaitu
menjaganya dalam kemaslahatan dunia, dan menjaganya dalam agama (istiqamah
mengamalkan agama).10

Ada beberapa akhlak yang lain juga kepada Allah, yaitu agar selalu meminta
pertolongan dan memohon kepada-Nya.11 Hal ini juga diperkuat dalam ikrar seorang
hamba kepada Allah dengan selalu mengucapkan “‫”إياك نعبد وإياك نستعين‬, ayat ini
merupakan ikrar atau janji setia seorang hamba kepada Allah hanya untuk kepada-Nya
menyembah dan meminta pertolongan, tentunya tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain.

Syeikh Sa’id Abdul Azhim menyebutkan bahwa akhlak yang baik kepada
Pencipta terhimpun dalam 3 perkara:

1. Menerima berita dari Allah dengan keyakinan. (walaupun berita yang


disampaikan tersebut tidak masuk akal).
2. Menerima hukum-hukum-Nya dengan menjalankan dan melaksanakannya.
3. Menerima ketentuan (takdir) dengan sabar dan ridha.12

Wajib bagi manusia agar selalu berakhlak yang mulia kepada Allah, karena Allah
yang sangat berjasa bagi manusia, jasa yang tak terhingga dan jika dihitung jasa-jasa
Allah kepada manusia sungguh tidak akan cukup waktu untuk mengungkapkannya, pena
untuk menuliskannya, dan karena Dia Yang Menghidupkan, Dia Yang Memberikan
Rejeki, Dia Yang Mengajarkan berbicara dan segalanya. Maka dari itu tidak hanya wajib
bahkan melebihi wajib untuk berakhlak yang baik kepada-Nya.

Di kalangan sufistik ada sebuah riwayat yang juga masyhur tentang akhlak, yang
bermaksud bahwa manusia diperintahkan oleh Nabi untuk berakhlak akhlaknya Allah,
sabda Nabi Saw: “‫”تخلقوا بأخالق هللا تعالئ‬.13 Hadits ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab
hadits yang sembilan, melainkan terdapat di dalam kitab tafsir dan naskah-naskah sufi.
Perintah tersebut agar manusia semaksimal mungkin berakhlak ketuhanan. Akhlak Allah
sangatlah sempurna dan dapat ditilik melalui asma dan sifat Allah Swt. di dalam ayat lain

9
Abd al-Rahman ibn Ahmad ibn Rajab, Nur al-Iqtibas, cet. Ke-4, (Bairut: Dar al-Basyair al-
Islamiyyah, 2003), h. 41.
10
Abd al-Rahman ibn Ahmad ibn Rajab, Nur al-Iqtibas, h. 49.
11
Abd al-Rahman ibn Ahmad ibn Rajab, Nur al-Iqtibas, h. 93.
12
Sa’id Abd al-‘Azhim, Khuluq al-Muslim, (Alexandria: Dar al-Iman, 2004), h. 86.
13
Fakhru al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, vol. VII, (Bairut: Dar al-Fikr, 1981), h. 73.
Allah juga berfirman: “‫ ”وأحسن كما أحسن هللا إليك‬berbuat baik lah kamu sebagaimana Allah
berbuat baik kepadamu. (QS. Al-Qashash: 77).

D. Rangkuman
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu zahir dan batin, zahir lebih dikenal dengan
sebutan jasad dan batin dikenal dengan ruh. Seseorang yang mengetahui bahwa keperluan
hidup zahirnya (jasad) adalah dengan cara memberikan makanan yang diperlukan, maka
makanan batin atau ruhaninya adalah amal ibadah kepada Tuhannya. Maka zahir harus
mengikuti apa yang ada pada batin, agar terjadinya keselarasan antara yang zahir dan
yang batin.
Tuhan itu gaib dalam makna rahasia-Nya, tetapi Dia nyata di dalam kekhususan-
Nya, karena al-Haq menjadikan isim (nama) "Allah" sebagai cermin bagi manusia, bahwa
di balik tabir kekuasaan yang dimiliki manusia adalah sebagai bukti adanya kekuasaan
Allah sehingga bilamana manusia mau berpikir dalam kelogisannya sebagai hamba yang
dha'if maka ia akan melihat bahwa pada hakikatnya rahasia insan itu adalah Allah.

Wajib bagi manusia agar selalu berakhlak yang mulia kepada Allah bahkan di atas
wajib, karena Allah yang sangat berjasa bagi manusia, jasa yang tak terhingga dan jika
dihitung jasa-jasa Allah kepada manusia sungguh tidak akan cukup waktu untuk
mengungkapkannya, pena untuk menuliskannya, dan karena Dia Yang Menghidupkan,
Dia Yang Memberikan Rejeki, Dia Yang Mengajarkan berbicara dan segalanya.

E. Evaluasi
1. Bagaimana caranya seseorang mengenal Tuhan-Nya?
2. Mengapa seorang hamba harus berakhlak kepada Allah, padahal secara zahirnya
ia tidak dapat dilihat dengan mata?
3. Sebutkan 5 akhlak kepada Allah?
F. Kunci Jawaban
1. Salah satu caranya ialah dengan mengenal hakikat diri, ketika seseorang telah
memahami dirinya maka ia akan mengenal hakikat dirinya, dan jika ia kenal
maka ia akan kenal pula dengan Tuhannya. Karena al-Haq menjadikan nama
“Allah” sebagai cermin bagi manusia, bahwa di balik tabir kekuasaan yang
dimiliki manusia adalah sebagai bukti adanya kekuasaan Allah sehingga
bilamana manusia mau berpikir dalam kelogisannya sebagai hamba yang dha'if
maka ia akan melihat bahwa pada hakikatnya rahasia insan itu adalah Allah.
2. Karena Allah yang sangat berjasa bagi manusia, jasa yang tak terhingga dan jika
dihitung jasa-jasa Allah kepada manusia sungguh tidak akan cukup waktu untuk
mengungkapkannya, pena untuk menuliskannya, dan karena Dia Yang
Menghidupkan, Dia Yang Memberikan Rejeki, Dia Yang Mengajarkan berbicara
dan segalanya. Maka dari itu tidak hanya wajib bahkan melebihi wajib untuk
berakhlak yang baik kepada-Nya.
3. 5 adab yang harus diperhatikan ketika menuntut ilmu, yaitu:
a. Menundukkan kepala di hadapan-Nya, yaitu pada saat beribadah kepada-Nya.
b. Mendiamkan segala anggota badan, atau dengan kata lain khusyu. Begitu
juga dengan lisan, hendaklah diam dari kata-kata yang tidak bermanfaat.
c. Bersegera mengikuti perintah-Nya. Orang yang gemar menunda-nunda
perintah-Nya akan menggelapkan hati, sehingga merasa berat untuk
beribadah kepada-Nya. Dan menjauhi larangan-Nya.
d. Tidak merasa jengkel terhadap takdir yang tidak sesuai dengan keinginannya,
karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik baginya.
e. Merasa tenang dalam kehidupan karena percaya dengan jaminan-Nya. Serta
bertawakkal (berserah diri) kepada kelebihan-Nya karena percaya dengan
pilihannya.
G. Sumber Bacaan
1. Abd al-Rahman ibn Ahmad ibn Rajab. Nur al-Iqtibas. cet. Ke-4. Bairut: Dar al-
Basyair al-Islamiyyah, 2003
2. Abdus Shamad al-Falimbani. Hidayatus Salikin. Ditahqiq Ahmad Fahmi
Zamzam. Banjarbaru: Darussalam Yasin, t.th.
3. Abu Hamid al-Ghazali. Bidayah al-Hidayah. Cet. Ke-1. Bairut: Dar al-Minhaj,
2004.
4. Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi. Al-Luma’. Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960.
5. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
6. Fakhru al-Din al-Razi. Mafatih al-Ghaib. Bairut: Dar al-Fikr, 1981.
7. Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Bukhari. Shahih Bukhari. Bairut: Dar al-
Kutub al-Islamiyyah, 2009.
8. Mushthafa Abdul Wahid. al-Tabshirah. Mesir: Dar al-Salam, 2012.
9. Rohimuddin Nawawi al-Bantani. Ushul al-Fikr al-Shufi. t.pt: Maktabah al-Nur,
t.th.
10. Sa’id Abd al-‘Azhim. Khuluq al-Muslim. Alexandria: Dar al-Iman, 2004.

Anda mungkin juga menyukai