52-Article Text-71-1-10-20191214
52-Article Text-71-1-10-20191214
19
Rizaldi Siagian
Abstrak
Etnomusikologi telah melalui perjalanan panjang dalam sejarahnya, untuk bisa men-
capai kemajuan dalam kegiatan pendokumentasian seni budaya, khususnya seni musik. Tulisan
ini mencoba untuk menelusuri sejarah panjang tersebut dari perspektif peran para tokoh et-
nomusikolog dan kontribusi perkembangan teknologi media terhadap perkembangan keilmuan
dan praktek penelitian etnomusikologi itu sendiri. Penelusuran sejarah tersebut nantinya akan
berujung sebagai refleksi atas situasi perkembangan etnomusikologi di Indonesia.
mendengar, mengidentifikasi bunyi dan William Jones, yang bekerja menjadi hakim
sumber bunyi, serta menuliskannya secara kolonial di Calcutta, India, harus melakukan
akurat dalam simbol-simbol yang disepakati observasi terhadap praktik musik selama
sebagai notasi itu tidaklah mudah. Di era bertahun-tahun dan studi melalui kitab-
awal penelitian kebudayaan musik dunia, kitab kuno musik Hindu, baru kemudian
para peneliti umumnya memerlukan menulis artikel, “On the Musical Modes of
waktu yang cukup signifikan untuk bisa the Hindus,” pada tahun 1792 (Cooley &
memahami fenomena bunyi musikal, yang Barz, 2008: 7). Artikel ini kemudian dianggap
tak jarang terdengar sangat aneh dan ganjil sebagai tulisan ilmiah awal tentang tradisi
bagi si peneliti. Prosesnya sangat beragam. klasik India yang dilakukan oleh orang luar,
Terlebih-lebih, ketika penelitian dilakukan Barat.
tanpa menggunakan alat bantu seperti
teknologi rekaman yang baru ditemukan MUNCULNYA LEMBAGA PENGARSIPAN
pada akhir abad sembilan belas itu. SUARA
Berbeda dengan aliran Berlin, akan tetapi harus juga dilengkapi dengan
Amerika dalam periode yang sama kerja analisis yang dilakukan di laboratorium
mengintegrasikan penemuan teknologi (Cooley & Barz, 2008:8). Sarjana lulusan
ini dengan pengembangan teknik ilmu hukum dari Groningen ini bekerja
penelitian lapangan. Oleh karena adanya sebagai pegawai kolonial dan merangkap
kekhawatiran punahnya kebudayaan pekerjaan meneliti dan pendokumentasian,
tradisional orang-orang Indian di Amerika, mengumpulkan berbagai jenis instrumen
Smithsonian Institution’s Bureau of yang sebagian koleksinya—sekitar 400 alat
American Ethnology (BAE) menggalang dan musik nusantara—tersimpan di Museum
mensponsori proyek penelitian lapangan dan Nasional, rekaman suara di lapangan, dan
perekaman musik tradisional masyarakat film dokumenter.2 Namun, sejauh ini tidak
Indian Amerika secara besar-besaran dengan kita temui informasi apakah Jaap Kunst
menggunakan gramofon dan bahan baku meninggalkan “warisan” rekaman suara
wax-cylinder. lapangannya di lembaga-lembaga yang
Tokoh-tokoh penting yang terlibat mengurusi masalah kebudayaan pada
dalam proyek besar itu adalah para masa kolonial itu di Indonesia. Menurut
antropolog yang berkerja di lembaga ini, catatan, sampai pertengahan tahun 1930an
di antaranya Frances Densmore yang ia masih tinggal di Indonesia. Ahli hukum
secara resmi melakukan perekaman di yang baru belakangan diakui pemerintah
lapangan sejak tahun 1907. Pendekatan Belanda sebagai musikolog—dan pada
penelitian Densmore yang menempatkan tahun 1942 menjadi pengajar di Universitas
dirinya menjadi pengamat dan partisipan Amsterdam—kembali ke negerinya tahun
di tengah-tengah masyarakat Indian yang 1934, Belanda. Ia kemudian bekerja
ditelitinya kontras dengan aliran Berlin. sebagai kurator di Royal Tropical Institute of
Ia mengabdikan dirinya menjadi guru Amsterdam yang memiliki museum etnografi
dan sekaligus memperlajari, merekam, terbesar negeri itu, Tropenmuseum.
membuat transkripsi musik di lapangan, dan Materi kebudayaan seni pertunjukan
mendokumentasikan fungsi dan kegunaan yang dibawanya dari Indonesia menempatkan
musik di tengah-tengah kebudayaan museum ini diakui dunia sebagai tempat
masyarakat yang ditelitinya. Pada saat yang memiliki koleksi musikologis terbesar
pemerintah Amerika membuat kebijakan di seluruh Eropah saat itu. Koleksi yang
yang mendorong agar orang-orang Indian meliputi peralatan musik dan properti seni
mengadopsi kebiasaan Barat, Densmore pertunjukan lain seperti topeng mencapai
sebaliknya ikut melestarikan kebudayaan 5,500 item, selain 21,000 item artefak tekstil
Indian. Dalam catatan, Densmore bekerja yang sebagian besar adalah berasal dari
dan melakukan studinya selama lebih dari Indonesia. Beberapa film dokumenter (bisu),
lima puluh tahun. Ribuan koleksi rekaman seperti tarian dari Nias, juga bisa kita akses di
dalam bentuk wax-cylinder ia kumpulkan perpustakaan Universitas Amsterdam. Studi
atas nama BAE dan koleksinya disimpan di Jaap Kunst tentang Indonesia kemudian
Lybrary of Congress. Hasil rekaman yang tak menjadi referensi standar, dan pada tahun
ternilai harganya ini bisa diakses oleh para 1950-an ia menulis buku, Ethnomusicology
peneliti dan utusan suku Indian yang ingin (edisi 1 tahun 1950, edisi 3, 1959) (Cooley
mendapatkannya. & Barz, 2008 : 8), dan sarjana Belanda ini
Etnomusikolog Belanda, Jaap pula yang mengganti nama comparative
Kunst, yang banyak melakukan penelitian musicology menjadi “ethno-musicology,”
di Indonesia, terutama Jawa, menekankan dengan kata ‘etno’ dan ‘musikologi’ ditulis
bahwa penelitian lapangan sangat diperlukan, secara terpisah.3
org/?HS_InsBerlin diakses 10 Mei 2015.
2 Wawancara elektronik (chating) dengan
Nusi Lisabilla Estudiantin mantan staf bidang/
koleksi etnografi Museum Nasional, 11 Mei
2015.
3 Enciyclopedia Britannica, http://www.
Sagian Rizaldi, Mendokumentasikan Aset Budaya... 23
TEKNOLOGI DIGITAL DAN KONTEN BUDAYA ‘produser’ dan menyiarkan (up-load) konten
SENI PERTUNJUKAN apa saja yang mereka miliki atau mereka
tawarkan ke berbagai media sosial seperti
Digitalisasi di Lumbung Kebudayaan Musikal YouTube dan berbagai media lainnya. Siapa
yang Unik pun bisa menyiarkan konten yang mereka
Sejak penemuan gramofon di akhir angkat dari lingkungan kebudayaan mereka
abad sembilan belas, kekayaan kebudayaan yang unik, baik dalam bentuk budaya sekular
seni pertunjukan Nusantara yang meliputi sampai ke ritus-ritus budaya yang sangat
musik, tari, teater dan derivasinya telah sakral. Pertarungan konten di tengah-tengah
menjadi subjek/objek yang sangat menarik. era streaming global ini adalah tantangan
Terutama untuk keperluan pengembangan yang harus dijawab secara kreatif dan inovatif.
konten digital yang kebutuhannya Dalam situasi ini kekayaan kebudayaan
berkembang sangat pesat seperti sekarang. Nusantara yang unik itu menjadi sangat
Membuat rekaman suara dan visual signifikan untuk memunculkan keunggulan
bukan lagi masalah yang luar biasa di era dan keunikan.
digital sekarang ini. Selain, perangkat-
perangkat digital itu sendiri tidak hanya Strata Artistik Seni Pertunjukan Nusantara
mampu merekam konten budaya dalam Tentu saja kekayaan ekspresi seni
bentuk audio-visual saja, tetapi sekaligus budaya Nusantara yang sangat beragam
terintegrasi dengan program komunikasi dan unik itu berpotensi menjadi primadona
yang memanfaatkan sandingan teknologi yang memiliki daya tarik luar biasa. Di dalam
broadband, yaitu teknologi jaringan laporan-laporan penelitian para ahli, negeri
komunikasi berkecepatan tinggi dan mampu yang terletak di persimpangan antar benua
menyalurkan data gambar, audio, video, dan ini menyimpan kekayaan dan keunikan yang
komunikasi secara realtime melalui internet. berproses melalui sejarah persentuhan
Melalui teknologi ini sebuah peristiwa kebudayaan yang sangat panjang. Sejarah
budaya bisa dikirim/direkam dan ditampilkan yang panjang itu bukan narasi Romantisme
langsung secara bersamaan melalui internet yang seringkali dipakai untuk kerperluan
kepada pengguna yang memerlukannya di komersial produk media populer, tetapi
seluruh dunia. Pendekatan yang disebut kenyataan kultural yang bisa kita jumpai di
streaming media ini sangat populer setelah seluruh Nusantara. Etnomusikolog Australia,
jalur gelombang radio tertutup karena Margareth Kartomi, menggambarkan proses
keterbatasannya sekarang ini. Dunia pun sejarah pengayaan ini dengan membaginya
terasa semakin kecil karenanya. kedalam empat ‘strata’ artistik berdasarkan
Lembaga-lembaga permuseuman, kronologi persentuhan antar kebudayaan
perpustakaan, dan kearsipan terkemuka itu (Kartomi1980, 111:130). Masing-
dunia yang menyimpan harta kekayaan masing strata, menurutnya, bisa dibedakan
kebudayaan benda (tangible) dan tak-benda berdasarkan karakteristik reliji dan
(intangible) itu pun ikut memanfaatkan kebudayaan yang memberi warna terhadap
koleksinya menjadi konten yang ditawarkan gaya musikal ataupun seni pertunjukan yang
di pentas dunia global. Pertarungan terdapat di dalamnya. Strata paling tua, yaitu
konten digital berlangsung di dunia maya. strata artistik-animistik, hidup berdampingan
Sasarannya adalah para pengguna digital dengan bentuk-bentuk dan gaya seni yang
gadget, ‘konsumen’ yang belakangan disebut terdapat di dalam strata lebih muda dan
netizen ini. Di sisi lain, netizen pun sebaliknya baru, seperti strata artistik Hindu-Budha
berkesempatan pula untuk menjadi (contohnya Borobudur dan Prambanan),
britannica.com/EBchecked/topic/325024/Jaap-
strata yang memperlihatkan persentuhan
Kunst, diakses 11 Mei 2005.
dan pengaruh Islam, dan strata yang
24 Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 2, Des’2017 - Mei 2018
undang-undang itu tidak memerintahkan yang akan tampil di garis depan untuk
bahwa Perpustakaan Nasional berkewajiban mengumpulkan konten yang berakar dari
untuk melakukan atau mengerjakan upaya potensi kebudayaan musikal yang fenomenal
perekaman terhadap konten kebudayaan dan luar biasa itu?
seni pertunjukan yang terdapat di
Indonesia, melainkan hanya berkewajiban Kesimpulan dan Saran
“menghimpun” “karya rekam” saja. Dari catatan pengalaman
Secara implisit pasal ini memberi etnomusikologi di atas, kita belajar bahwa
kesan bahwa produk “karya rekam” yang lembaga-lembaga yang menangani produk
wajib dihimpun itu adalah karya rekam yang humanisme seringkali disalahpahami
diproduksi untuk keperluan komersial, dan hanya berfungsi sebagai gudang-gudang
pihak lembaga yang mengurusinya pun tak penyimpanan media rekam bunyi-bunyian
perlu repot-repot untuk “mengejarnya.” saja. Sejarah mencatat bahawa ternyata
Regulasi ini tidak peduli dengan potensi mereka sangat aktif berperan untuk
kebudayaan seni pertunjukan seperti mengumpulkan konten kebudayaan musikal
dipetakan Kartomi di atas. Bahkan konten- dari berbagai bangsa di dunia.
konten apa yang terdapat di dalam sebuah Kesalahpahaman ini pun tercermin
karya rekam itu tidak disebutkan secara dari persepsi kita terhadap kebudayaan
spesifik, kecuali seperti tersebut di dalam musikal dengan cara menempatkan dan
Pasal 10 Ayat (1) bahwa pengelolaan karya memperlakukannya sebagai benda, sebagai
rekam yang harus diserahkan dan disimpan artifak yang mati, tanpa menyadari bahwa
di Perpustakaan Nasional/Daerah adalah sesungguhnya hakikat dari musik itu sendiri
karya rekam dengan konten “... berupa film adalah kerja: musik adalah kerja. Ketika
cerita atau [film] dokumenter” saja. aktivitas kerja itu selesai, tidak ada lagi
gerak yang dihasilkan dari sumber-sumber
suara yang konstruksinya disusun menjadi
Pertarungan konten dalam era streaming komposisi bunyi-bunyian yang kita nyatakan
media sebagai musik itu, maka bunyi-bunyian itu
“Konsumer musik sekarang lebih pun berhenti, hilang tak berwujud. Apabila
tertarik menonton dan mendengar musik aktivitas kerja musikal itu direkam ke dalam
pop daripada membelinya” Begitu laporan bentuk media, secanggih apapun media itu,
Nielsen SoundScan terkait perkembangan maka benda-benda itu tidak akan memberi
industri musik pada pertengahan tahun 2014 makna terhadap kebudayaan. Hal yang
di Amerika (LA Time, 2014). Sebelumnya membuatnya bermakna adalah konten yang
model penjualan dalam bisnis musik adalah tersimpan di dalam benda-benda itu.
dengan cara penjualan album, kemudian Ketika alasan untuk membuat suatu
mengerucut ke penjualan track. Belakangan kebijakan pun tidak sinkron dengan sifat-sifat
model ini berubah lagi dari unggah dan dasar dari benda atau kegiatan yang ingin
streaming. Laporan Nielsen, 7 Januari 2015, dicapai, tentu kebijakan itu pun menjadi
streaming musik di Amerika Serikat tahun mubazir. Dalam bahasa lain, ketika sebuah
2014 mencapai 164 milyar kali. Sebuah undang-undang yang seharusnya menjadi
angka yang sangat fantastis. Berapa pula inspirasi untuk mengembangkan kegiatan
jumlahnya secara global? Perubahan prilaku kerja justru mengabaikan konten yang justru
dari pendekatan unggah ke streaming, akan memberi kekuatan dan keunikan sebuah
sekalipun secara spesifik diarahkan ke musik kebudayaan, maka undang-undang itu harus
Pop, tetapi peluang untuk memanfaatkan diperbaiki dan disesuaikan dengan hakekat
audiens yang begitu besar menjadi terbuka dan sifat-sifat dari konten kebudayaan
lebar. Pertanyaannya adalah siapakah yang ingin dilestarikan, dipelihara, dan
dikembangkan itu.
26 Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 2, Des’2017 - Mei 2018