Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


COVID-19 pertama kali dilaporkan di Wuhan, China pada Desember 2019.
Dalam waktu dua bulan, COVID-19 dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.
Pada tanggal 11 Maret 2020 World Health Organization (WHO) menetapkan
COVID-19 sebagai wabah pandemi.15
Spektrum klinis COVID-19 bervariasi mulai dari asimtomatik hingga
simtomatik dengan gejala ringan, sedang, dan berat. Pasien dapat mengalami
manifestasi klinis berat yang meliputi pneumonia berat, sepsis, syok sepsis,
acute respiratory distress syndrome (ARDS), dan multiple organ dysfunction
syndrome (MODS). Walaupun didominasi oleh manifestasi respiratorik,
beberapa penelitian menunjukkan kejadian outbreak berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya trombosis. Koagulopati menjadi salah satu
penyebab terjadinya thrombosis..16
Sejumlah laporan telah menemukan kejadian koagulopati pada pasien
COVID-19, baik dalam bentuk trombosis arteri maupun vena. Laporan Klok et
al pada 184 pasien COVID-19 yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU)
menemukan bahwa insidensi trombosis sebesar 31%. Jenis trombosis yang paling
umum ditemui adalah tromboemboli vena dengan insidensi 27%.29 Penelitian lain
melaporkan pada 150 pasien COVID-19 kejadian emboli paru sekitar 16,5 %.17
Helms et al turut melaporkan bahwa 16,7% (25 dari 150) pasien COVID-19
dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang dirawat di ICU
mengalami emboli paru. Pada pasien ARDS yang tidak berhubungan dengan
COVID-19, hanya 2,1% yang mengalami emboli paru. Tidak ditemukan kejadian
DIC pada pasien COVID-19 dengan ARDS.30
Peningkatan D-dimer yang signifikan dapat ditemukan pada pasien COVID-
19 berat. Hal ini menggambarkan keadaan hiperinflamasi dan prokoagulan pada
COVID-19.9 Kejadian tromboemboli, terutama tromboemboli vena (trombosis

1
vena dalam dan emboli paru) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Emboli paru diduga berkontribusi
terhadap angka mortalitas yang tinggi pada pasien COVID-19.9,10 Selanjutnya,
Fei Zhou dkk, dalam penelitiannya menyatakan, pasien dengan kadar D-dimer >
1,0 mcg/ml memiliki risiko kematian 18 kali lipat.7
Data-data tersebut menunjukkan bahwa gangguan koagulasi merupakan salah
satu penyebab kematian pasien COVID-19 derajat berat, berkaitan dengan
mortalitas dan prognosis yang buruk pada pasien COVID-19.

1.2 Tujuan Penulisan

Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang


diagnosis dan tatalaksana pasien dengan Emboli Paru.

1.3 Metode Penulisan

Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode diskusi yang


merujuk dari berbagai literatur.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. AB
Umur : 68 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Kapt. A Marjuki, RT. 03, No.57, Kel. Paal V
Masuk RS : 14/09/2021 pukul 14.33 WIB

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli Jantung dengan keluhan sesak nafas yang memberat
sejak 1 minggu SMRS. Keluhan sesak sudah timbul selama 1 bulan ini. Pasien
mengatakan awalnya lagi jalan pagi, tiba – tiba pasien merasakan sesak. Sesak
dirasakan pasien hilang timbul. Pada saat pasien istirahat sesak menghilang,
dan jika pasien jalan 2-3 langkah sesak timbul lagi. Sesak nafas tidak disertai
dengan nyeri dada, dan dada berdebar (-). Pasien tampak lemas (+). Bengkak
pada kaki, tidur menggunakan bantal tinggi, demam, batuk, pilek, nyeri
kapala disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pada bulan agustus 2021 lalu, pasien pernah di diagnosis covid 19, dan
dirawat di RS RPJ selama 2 minggu tanpa pemberian antikoagulan subkutan.
3 tahun lalu pasien pernah mengalami gejala syncope, dan di diagnosa CAD 3
VD lalu di lakukan PCI di LAD, LCX. Pada tahun 2019 lalu, pasien
melakukan pemasang ring.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat nyeri dada (-)
 Riwayat stroke (-)
3
 Riwayat hipertensi (+) sejak ± 2 tahun yang lalu.
 Riwayat DM (+) sejak tahun 2004
 Riwayat sakit jantung (+) 3 tahun lalu, pasien sempat pingsan
 Riwayat DVT (+) tungkai kiri tahun 2015
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
 Riwayat stroke (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (+) adik kandung pasien
 Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat Kebiasaan
 Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tanda Vital : TD : 150/90 mmHg
N : 100 x/menit
RR : 28 x/menit
T : 36,1 oC
SpO2 : 97 %
Kepala : Normocepal
Mata : Conjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-),
refleks cahaya (+), pupil isokor
Hidung : Sekret (-), epistaksis (-)
Telinga : Serumen minimal
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cm H2O

4
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+) basal paru, Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi :
Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (+)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (-), hepatomegali (-),
splenomegaly (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
Inferior : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

5
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Rutin RSUD H. Abdul Manap (14/09/2021)
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal
WBC 6,3 (4-10,0 103/mm3)
RBC 4,56 (3,5-5,5 106/mm3)
HGB 11,3 (11,0-16 g/dl)
HCT 34,6 (35,0-50,0 %)
PLT 358 (100-300 103/mm3)
MCV 75,8 (80-100 fl)
MCH 24.8 (27-34 pg)
MCHC 32,7 (320-360g/dl)

Rapid Test Non Reaktif

b. Faal Ginjal, Glukosa Darah 14/09/2021


Jenis Pemeriksaan Hasil Normal

Faal Ginjal
Ureum 17 (15-39mg/dL)
Creatinin 1.3 (0,55-1,3mg/dL)
Glukosa Darah
Glukosa darah sewaktu 156 (<200mg/dl)

6
c. Hematologi 14/09/2021

D-dimer 4911,13 ng/ml

d. Elektrolit 14/09/2021

Troponin I
Troponin I <0,1 (<0,1 ng/ml)

e. Glukosa Darah 15/09/2021

Glukosa Darah
Glukosa darah sewaktu 156 (<200mg/dl)

f. Faal Ginjal, Glukosa Darah 17/09/2021


Jenis Pemeriksaan Hasil Normal

Faal Ginjal
Ureum 59 (15-39mg/dL)
Creatinin 1.6 (0,55-1,3mg/dL)
Glukosa Darah
Glukosa darah sewaktu 156 (<200mg/dl)

7
g. Faal Ginjal, Glukosa Darah 18/09/2021
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal

Faal Ginjal
Ureum 48 (15-39mg/dL)
Creatinin 1.4 (0,55-1,3mg/dL)

h. Hematologi 21/09/2021

D-dimer
D-dimer 1312,93 (<500 ng/dl)

i. Wells Score

Wells Score
Wells Score 6 (Kemungkinan sedang)

j. Geneva Score

Geneva Score
Geneva Score 7 (Probabilitas Sedang)

8
k. EKG

Interpretasi EKG :
Irama : Sinus rhytm
Regularitas : Reguler
HR : 60x/menit
Axis : Normoaxis
Gel. P : 0,08
PR interval : 0,2
Komplek QRS : 0,08
ST segmen : normal
Gel. T : T inverted di V1 – V3, III, aVF
Kesimpulan
Sinus Rhytm, HR 60x/menit reguler, Normoaxis

9
l. Rontgen Thoraks (14 September 2021)

Kesan :
Identitas sesuai, trakea ditengah, tulang tampak normal, jantung membesar,
CTR 52%, diafragma dalam batas normal, kedua sudut costofrenicus lancip,
tampak infiltrat di basal paru
Kesan :
- Kardiomegali
- Dapat sesuai gambaran pneumonia

10
Echocardiography (14 September 2021)

Kesan :
Dilatasi RA,RV, dilatasi PA (-)
Paradoxical septal motion, D-shape LV , Mc Connel sign (-)
ASD/PFO (-)
Kontraktilitas LV cukup, EF 55 % (+)
RV (N), tapse 2,4 cm
Katup - katup:
Mitral regurgitasi mild
Tricuspid regurgitasi mild TVG 34 mmHg
Pulmonal Regurgitasi mild PVAT 127
Trombus (-)
IVC kolaps
Kesimpulan : Sugestif emboli paru
11
2.5 Diagnosis Kerja
- Emboli paru post covid 19 dd UAP
- CAD 3 VD post PCI di LAD, LCX
- DM tipe II
- CKD stage 3

2.6 Tatalaksana
 O2 4 liter/menit dengan nasal kanul
 IVFD RL Asnet
 Pasang kateter
 Inj. Furosemid 2 x 40 mg (IV)
 Inj. Arixtra 1x2,5 mg (SC)
 PO. Candesartan 1 x 8 mg
 PO. Spironolactone 1 x 25 mg
 PO. Bisoprolol 1 x 2,5 mg
 PO. Digoxin 1 x 0,25 mg
 PO. Simvastatin 1 x 20 mg
 PO. Glimepirid 1 x 2 mg

2.7 Follow Up
Tabel Follow Up Pasien
Tanggal Perkembangan
15/09/2021 S: sesak nafas
O: TD: 110/73 N : 64x/menit RR: 20x/menit T : 36,3 SpO2 : 98%
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra

12
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (+)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)

Pemeriksaan EKG

Interpretasi :
Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P Normal, PR interval 0,2”, Gel.
QRS 0,08”, ST segment normal, T Inverted di III, aVF, V1 – V3
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD post PCI di LAD, LCX, DM
tipe II, CKD stage 3
P:
 IVFD RL Asnet

13
 Pasang kateter
 Inj. Furosemid 2 x 40 mg (IV)
 Inj. Arixtra 1 x 2,5 mg (SC)
 PO. Candesartan 1 x 8 mg
 PO. Spironolactone 1 x 25 mg
 PO. Bisoprolol 1 x 2,5 mg
 PO. Digoxin 1 x 0,25 mg
 PO. Simvastatin 1 x 20 mg
 PO. Glimepirid 1 x 2 mg
 PO. Atorvastatin 1 x 40 mg

Saran  CTPA

16/09/2021 S: sesak berkurang


O: TD: 101/60 N : 64x/menit RR: 22x/menit T : 36,2 SpO2 : 98%
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (-)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan EKG :

14
Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P 0,08”, PR interval 0,24”, Gel.
QRS 0,08”, ST segment normal, T Inverted di III, aVF, V1 – V3
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD post PCI di LAD, LXC, DM
tipe II, CKD stage 3
P:
 Rehidrasi Post CTPA
 IVFD RL 40 cc/jam
 Inj. Arixtra 1 x 2,5 mg (SC)
 Inj. Furosemid 2x40 mg (IV)
 PO. Candesartan 1x8mg
 PO. Spironolactone 1x25mg
 PO. Bisoprolol 1x2,5mg
 PO. Glimepiride 1x2mg
 PO. Digoxin 1x0,25mg
17/09/2021 S: sesak berkurang

15
O: TD: 100/61 N : 56x/menit RR: 22x/menit T : 36,2 SpO2 : 99%
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (-)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan EKG :

Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P 0,12”, PR interval 0,28”, Gel.


QRS 0,08”, ST segment normal, T Inverted di III, V1
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD post PCI di LAD, LCX, DM

16
tipe II, CKD stage 3
P:
 Rehidrasi post CTPA
 IVFD RL 40cc/jam
 Inj. Arixtra 1x2,5mg (SC)
 Inj. Furosemid 1x20 mg (IV)
 PO. Candesartan 1x8mg
 PO. Spironolactone 1x25mg
 PO. Bisoprolol 1x2,5mg
 PO. Glimepiride 1x2mg

18/09/2021 S: sesak berkurang


O: TD: 113/71 N : 54x/menit RR: 22x/menit T : 36,0 SpO2 : 99%
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (-)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan EKG :

17
Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P 0,08”, PR interval 0,24”, Gel.
QRS 0,08”, ST segment normal, T Inverted di III, V1
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD post PCI di LAD, LCX, DM
tipe II, CKD stage 3
P:
 Rehidrasi post CTPA 60cc/jam
 Inj. Furosemid 3x20 mg (IV)
 Inj. Arixtra 1x25mg (SC)
 PO. Candesartan 1x8mg
 PO. Spironolactone 1x25mg
 PO. Bisoprolol 1x2,5mg
 PO. Glimepiride 1x2mg

18
19/10/2021 S: sesak berkurang
O: TD: 111/64 N : 62x/menit RR: 22x/menit T : 36,0 SpO2 : 99%
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (-)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan EKG :

Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P 0,08”, PR interval 0,36”, Gel.


QRS 0,08”, ST segment normal, T Inverted di III, V1

19
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD post PCI di LAD dan LCX, DM
tipe II, CKD stage 3
P:
 IVFD RL 20cc/jam
 Inj. Furosemid 2x20 mg (IV)
 PO. Simvastatin 1x20mg
 PO Candesartan 1x8mg
 PO. Spironolactone 1x25mg
 PO. Bisoprolol 1x2,5mg
 PO. Glimepiride 1x2mg
 PO. Aptor 1x40mg
 PO. Bicnat 3x500mg

20/09/2021 S: sesak berkurang


O: TD: 111/64 N : 62x/menit RR: 22x/menit T : 36,0 SpO2 : 99%
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (-)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan EKG :

20
Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P 0,08”, PR interval 0,28”, Gel.
QRS 0,08”, ST segmen normal, T Inverted di III, V1
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD post PCI di LAD, LCX, DM
tipe II, CKD stage 3
P:
 Cek ulang D-Dimer
 IVFD RL 20cc/jam
 Bledder training 3x
 Inj. Furosemid 2x20 mg (IV)
 PO. Simvastatin 1x20mg
 PO Candesartan 1x8mg
 PO. Spironolactone 1x25mg
 PO. Bisoprolol 1x2,5mg
 PO. Glimepiride 1x2mg
 PO. Aptor 1x40mg
 PO. Bicnat 3x500mg

21
21/09/2021 S: sesak berkurang, belum mobilisasi
O: TD: 127/81 N : 70x/menit RR: 22x/menit T : 36,0 SpO2 : 99%
DDimer : 1312 (meningkat)
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (-)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan EKG :

Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P 0,08”, PR interval 0,28”, Gel.

22
QRS 0,08”, ST segmen normal, T Inverted di III, AVF
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD post PCI di LAD, LCX, DM
tipe II, CKD stage 3
P:
 IVFD RL 20cc/jam
 Inj. Furosemid 2x20 mg (IV)
 Inj. Ranitidine 2x50mg (IV)
 PO. Simvastatin 1x20mg
 PO Candesartan 1x8mg
 PO. Spironolactone 1x25mg
 PO. Bisoprolol 1x2,5mg
 PO. Glimepiride 1x2mg
 PO. Aptor 1x40mg
 PO. Bicnat 3x500mg
 PO. Simarc 1x2mg

23
22/09/2021 S: sesak berkurang
O: TD: 96/65 N : 64x/menit RR: 20x/menit T : 36,0 SpO2 : 99%
Pemeriksaan Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (-), Gallop (-)
Permeriksaan paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan EKG :

Sinus Rhytm, HR 60x/menit, Normoaxis, Gel. P 0.08”, PR interval 0,28”, Gel.


QRS 0,08”, ST segmen normal, T Inverted di lead III

24
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 60x/menit regular, normoaxis
A: Emboli Paru post covid 19 dd UAP, CAD3VD Post PCI di LAD, LCX, DM
tipe II, CKD stage 3
P: Acc pulang, rawat jalan
 PO. Furosemide 1x4mg
 PO Candesartan 1x8mg
 PO. Spironolactone 1x25mg
 PO. Bisoprolol 1x2,5mg
 PO. Miniaspi 1x80mg
 PO. Simarc 1x2mg
 PO. Glimepiride 1x2mg
 PO. Atorvastatin 1x20mg
 PO. Lansoprazole 1x30mg

2.8 Tindakan
CTPA (CT Pulmonary Angiography)
Telah dilakukan CT Pulmonary Angiography (16/09/2021) dengan hasil
sebagai berikut :

25
Hasil CT-Thorax dengan dan tanpa kontras potongan axial mulai dari suprasternal
sampai abdomen atas
Temuan :
 Trakea : Normal
 Karina : Normal
 Bronkus utama kanan : Normal
26
 Bronkus utama kiri : Normal
 Bronkus lobaris ddan segmental : Normal
 Paru : Opasitas ground glass dengan konsolidasi dan retikulasi
multifocal di paru bilateral, distribusi dominan di perifer
 Fissura : Normal
 Pleura : Normal
 Perikardium : Normal
 Jantung : membesar ringan
 Mediastinum : normal
 Vena cava superior : Normal
 Aorta : Normal
 Arteri Pulmonalis : Normal
 Vena Brakhiosefalik : Normal
 Arteri subclavia kiri : Normal
 Arteri karotis komunis kiri : Normal
 Trunkus Brakhiosealik kanan : Normal
 Kelenjar Getah Bening : tidak ada
 Tulang : Perubahan Degenerative vertebrae
 Esofagus : Normal
 Gastroesofageal Junction : Normal
 Abdomen yang tervisualisasi : Normal

KESAN :
Laki-laki 68 tahun dengan keterangan klinis susp emboli paru

CT scan thorax dengan kontras didapatkan :


 Opasitas ground glass dengan konsolidasi dan retikulasi multifocal di paru
bilateral, distribusi dominan di perifer – gambaran tipikal pneumonia viral,
absorption stage involvement 25-50%
27
 Tidak tampak gambaran thrombus a. pulmonal dan percabangannya
 Cardiomegaly ringan

2.9 Prognosis
 Quo Vitam : Dubia ad bonam
 Quo Functionam : Dubia
 Quo Sanactionam : Dubia
 Pasien dipulangkan pada tanggal 22/09/2021 dan dijadwalkan kontrol pada
tanggal 29/09/2021. Pasien pulang dalam kondisi baik.

28
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Emboli Paru


3.1.1 Definisi

Emboli paru (EP) adalah penyumbatan mendadak arteri pulmonalis


(arteri paru) oleh suatu embolus yang bisa merupakan gumpalan darah
(thrombus), lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau
gelembung udara yang berasal dari vena dalam di ekstremitas bawah, rongga
perut, dan terkadang ekstremitas atas atau jantung kanan. 22,23,27

Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam


jumlah yang memadai ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian
jaringan bisa dihindari. Tetapi bila yang tersumbat adalah pembuluh yang
sangat besar atau orang tersebut memiliki kelainan paru-paru sebelumnya,
maka sebanyak 10% penderita emboli paru mengalami kematian jaringan paru-
paru, yang disebut infark paru.22,23,27

Emboli paru merupakan suatu keadaan darurat medis yang dapat


menyebabkan kematian dalam 1 sampai 2 jam pertama karena komplikasi
seperti infark paru-paru (terjadinya nekrosis jaringan paru) atau hipertensi
paru-paru (meningkatnya tekanan arteri pulmonal), perdarahan paru- paru, kor
pulmonal akut dengan gagal jantung dan disritmias (gangguan irama
jantung).22,23,27.

3.1.2 Epidemiologi

Insiden sebenarnya dari emboli paru tidak dapat ditentukan, karena


sulit membuat diagnosis klinis, tetapi emboli paru merupakan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas pasien-pasien di rumah sakit dan telah dilaporkan
sebagai penyebab dari 200.000 kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya.
Emboli paru masif adalah salah satu penyebab kematian mendadak dan

29
merupakan penyakit kardiovaskular tertinggi ketiga setelah infark miokard dan
Stroke. 22,26.
Insiden di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kira-kira terdapat 50.000
kasus penyakit ini tiap tahunnya. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
kurang dari 10% pasien emboli paru meninggal karena penyakit ini. Seluruh
insiden ini diverifikasi oleh autopsy. Bukti emboli yang baru atau lama
ditentukan pada 25% sampai 30% autopsy rutin dengan teknik khusus dan
nilainya melebihi 60%.24,25
Penyakit ini sering terjadi, namun jarang terdiagnosis sehingga laporan
mengenai penyakit ini di Indonesia jarang ditemukan.24,25

3.1.3 Patofisiologi

Thrombus dapat berasal dari arteri dan vena. Thrombus arteri terjadi karena
rusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan intima). Thrombus vena terjadi karena
aliran darah vena yang lambat, selain itu dapat pula karena pembekuan darah
dalam vena apabila terjadi kerusakan endotel vena.27

Thrombus vena dapat juga berasal dari pecahnya thrombus besar yang
terbawa aliran vena. Biasanya thrombus berisi partikel-partikel fibrin
(terbanyak), eritrosit dan trombosit. Ukurannya bervariasi, mulai dari beberapa
millimeter sampai sebesar lumen venanya sendiri. Adanya perlambatan aliran
darah vena (stasis) akan makin mempercepat terbentuknya thrombus yang makin
besar. Adanya kerusakan dinding pembuluh darah vena (misalnya operasi
rekonstruksi vena femoralis) jarang menimbulkan thrombus vena. Thrombus
yang lepas ikut aliran darah vena ke jantung kanan dan sesudah mencapai
sirkulasi pulmonal tersangkut pada beberapa cabang arteri pulmonalis, dapat
menimbulkan obstruksi total atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut.
Thrombus pada vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi
tromboemboli tetapi kira-kira 80% nya akan mengalami pencairan spontan (lisis
endogen).27

Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut Vichrow 1856


30
atau sering disebut sebagai physiological risk factors, meliputi:27

1. Adanya aliran darah lambat (statis)

2. Kerusakan dinding pembuluh darah vena

3. Keadaan darah mudah membeku (hiperkoagulasi).

Aliran darah lambat (statis) dapat ditemukan dalam beberapa


keadaan, misalnya pasien yang mengalami tirah baring cukup lama,
kegemukan, varises, dan gagal jantung kongestif. Darah yang mengalir
lambat memberi kesempatan lebih banyak untuk membeku (thrombus).
Sebagian besar pasien dengan emboli paru memiliki kondisi klinis yang
berkaitan dengan faktor-faktor predisposisi ini, seperti trauma mayor,
pembedahan dalam waktu dekat sebelumnya, obesitas dan imobilitas,
merokok, peningkatan usia, penyakit keganasan, pil kontrasepsi oral,
kehamilan, terapi suntik hormone, dan keadaan lain yang lebih jarang
(misalnya sindrom hiperviskositas, sindrom nefrotik).27

Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi misalnya akibat


operasi, trauma pembuluh darah (suntikan kateterisasi jantung) dan luka
bakar. Adanya kerusakan endotel pembuluh vena menyebabkan
dikeluarkan bahan yang dapat mengaktifkan factor pembekuan darah
(factor Hageman) dan kemudian dimulailah proses pembekuan darah.27

Keadaan darah mudah membeku (hiperkoagulabel) juga


merupakan factor predisposisi terjadinya thrombus, misalnya
keganasan, polisitemia vera, anemia hemolitik, anemia selstabil, trauma
dada, kelainan jantung bawaan, splenektomi dengan trombositosis,
hemosistinuria, penggunaan obat kontrasepsi oral (estrogen), dan
trombositopati. Selain hal diatas, thrombosis vena juga lebih mudah
terjadi pada keadaan dengan peningkatan factor V, VIII, fibrinogen
abnormal, defisiensi antitrombin III, menurunnya kadar aktivator
plasminogen pada endotel vena atau menurunnya pengeluaran activator
plasminogen akibat berbagai rangsangan, defisiensi protein C, defisiensi
31
protein S.27

Beberapa pasien dengan emboli paru memiliki abnormalitas


pembekuan primer dasar yang memudahkan mereka mengalami
hiperkoagulasi, seperti defek fibrinolisis, peningkatan kadar antibody
antifosfolipid dan defisiensi congenital antitrombin III, protein C,
protein A, atau plasminogen. Abnormalitas koagulasi ini jarang dan tes
skrining rutin tidak efektif dari segi biaya, kecuali untuk pasien yang
berusia kurang dari 50 tahun, pasien dengan riwayat keluarga dengan
tromboemboli dan pasien dengan episode emboli paru berulang tanpa
adanya penyebab yang jelas. Resistensi terhadap protein C teraktivasi,
yang disebabkan oleh mutasi gen factor V (mutasi Leiden), telah
diidentifikasi. Resistensi ini dapat terjadi pada 5% populasi,
meningkatkan risiko thrombosis sebesar 8-10 kali pada kelompok ini,
dan ditentukan pada 20% pasien dengan thrombosis.27

Gambaran 1. Pembuluh Darah Paru

3.1.4 Gejala Klinis


Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan test
diagnostik. Dispnoe merupakan gejala yang paling sering muncul, dan tachypnoe

32
adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya, dispnoe berat,
sinkop atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang mengancam
nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di
arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura.9
Emboli paru patut dicurigai pada penderita hipotensi jika :9
1. Adanya bukti trombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru
2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut)
seperti distensi vena leher, S3 gallop, pulsasi jantung kanan di dinding
dada (a right ventricular heave) , takikardia, atau takipnea
3. Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan
hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor
pulmonale dengan gambaran S1Q3T3, gambaran incomplete right bundle
branch block atau iskemia ventrikel kanan.
Wells dan kawan-kawan membuat probabilitas pretes klinik dengan
menghitung skor
Klinis (poin) seperti pada table berikut :10

Tabel 1. Sistem Skoring Wells


Variabel Jumlah skor
Tanda dan gejala klinis deep vein thrombosis 3.0
Diagnosis banding lainnya memiliki probabilitas rendah
dibandingkan dengan emboli paru 3.0
Nadi lebih dari 100 kali per menit 1.5
Immobilisasi atau tindakan operasi dalam 4 minggu terakhir 1.5
Riwayat terjadinya DVT atau emboli paru sebelumnya 1.5
Hemoptisis 1.0
Kanker (mendapatkan tatalaksana dalam 6 bulan terakhir atau
mendapatkan tatalaksana paliatif) 1.0

Berdasarkan system skoring Wells, kemungkinan terjadinya emboli paru sebagai


berikut :
1. Skor 0 – 1: kemungkinan rendah
2. Skor 2 – 6: kemungkinan sedang
33
3. Skor lebih dari 6: kemungkinan tinggi

Tabel 2. Sistem Skoring Geneva

Variabel Jumlah Score


Usia lebih dari 65 tahun 1
Riwayat terjadinya emboli paru atau DVT 3
Tindakan pembedahan atau fraktur dalam 1 bulan terakhir 2
Keganasan aktif 2
Nyeri pada tungkai bawah bersifat unilateral 3
Hemoptisis 2
Nyeri pada palpasi vena dalam pada tungkai bawah disertai 4
dengan edema unilateral
Nadi 75 hingga 94 kali per menit 3
Nadi lebih dari 95 kali per menit 5

Berdasarkan system skoring Geneva, kemungkinan untuk terjadinya emboli


paru sebagai berikut:
1. Score 0-3 probabilitas rendah, kurang lebih 8%
2. Skor 4 – 10: probabilitas sedang, kurang lebih 28%
3. Skor lebih dari 10: probablitias tinggi, kurang lebih 74%

Ada enam sindroma klinis emboli paru akut dengan gambaran sebagai berikut :9
1. Emboli Paru massif
Presentasi klinis: Sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik
persisten; khas > 50 persen obstruksi pada vaskulatur paru. Disfungsi ventrikel
kanan dapat dijumpai.
2. Emboli Paru sedang sampai besar (submassif)
Presentasi klinis: Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas > 30
persen defek pada perfusi scan paru dengan tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan
3. Emboli Paru Kecil sampai Sedang
Presentasi klinis: Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertai tanda-
tanda disfungsi ventrikel kanan

34
4. Infark Paru (Pulmonary Infarction)
Presentasi klinis: Nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural rub, atau bukti adanya
konsolidasi paru; khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai
disfungsi ventrikel kanan
5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism)
Presentasi klinis: Kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang
disertai disfungsi ventrikel kanan
6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic embolism)
Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan amnion.
Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.

3.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang emboli paru mencakup : 3,9,10,11,12,13
1. Foto Toraks
Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks
adalah tanda spesifik emboli paru. Foto toraks juga dapat menunjukkan kelainan
lain seperti efusi pleura atau atelektasis yang sering bersamaan insidensinya
dengan penyakit ini.. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan
keadaan lain khususnya pneumothorax.

2. Analisa Gas Darah


Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting
akibat ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit
menurun disebabkan oleh keadaan hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensitivitas
dan spesifisitas analisa gas darah untuk penunjang diagnostik emboli paru relatif
rendah.

3. D-dimer
Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh
proses fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan.
Pemeriksaan ini merupakan skrining yang bermanfaat dengan sensitivitas yang
35
tinggi (94%) namun kurang spesifisitas (45%). D-dimer dapat meningkat pada
beberapa keadaan seperti recent MCI . Spesifisitas D-dimer secara ELISA untuk
memprediksi emboli paru meningkat bila ratio D-dimer / fibrinogen > 1000.
Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru.
4. Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama
pada kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat
terjadi perubahan EKG antara lain :
- Pola S1 Q3 T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III,
disertai gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang
dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan.
- P Pulmonal
- Right bundle branch block yang baru
- Right ventricular strain dengan T inverted di lead V1 sampai V4

Gambar 2. EKG

5. Scanning Ventilasi-Perfusi
Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk
sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus
alergi kontras, insufisiensi ginjal, atau kehamilan.

36
6. Spiral Pulmonary Computed Tomography scanning
Test ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan
dapat dilakukan pada penderita yang tidak dapat menjalani pemeriksaan
scanning ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan injeksi
kontras medium melalui vena perifer dan dapat mencapai arteri pulmonalis yang
selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai ke cabang
segmentalnya.

7. Pulmonary Scintigraphy
Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu tekhnik
yang cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Defisit perfusi dapat
dikarenakan oleh ketidak seimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan
masalah paru seperti efusi atau kollaps paru. Untuk menambah spesifisitasnya,
tekhnik ini selalu dikombinasi dengan ventilation scan dengan menggunakan
radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan non- perfusi tapi adanya zona
ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun juga pada penderita dengan
penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostik pemeriksaan ini menjadi menurun.

8. Angiografi paru
Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik
emboli paru. Namun tekhnik ini merupakan penyelidikan invasif yang cukup
berisiko terutama pada penderita yang sudah kritis. Karenanya saat ini peran
angiografi paru sudah digantikan oleh spiral CT scan yang memiliki akurasi yang
sama.

37
6
Gambar 3. CTA Thorax

9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)


Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang sama dengan CT angiografi,
bahkan dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan
gangguan ginjal. Namun alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena
adanya bahan metal seperti infus peralatan bantu nafas, dll.

10. Duplex Ultrasound Ekstremitas


Merupakan pencitraan non invasif pada kasus dengan sangkaan trombosis
vena dalam yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relatif mudah dan
akurat. Ultrasound bermanfaat pada sangkaan emboli paru yang kuat dengan skor
Wells > 7.

11. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal muncul sebagai alat diagnostik non invasif yang
berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat
diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut menunjukkan
pergerakan dinding segmental abnormal yang spesifik yang sering disebut sebagai
tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai pergerakan apeks ventrikel kanan
yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda tidak langsung
dari beban ventrikel kanan yang berlebihan. Rasio pengukuran ventrikel kanan
dibanding ventrikel kiri ≥ 1 pada pengambilan gambar apical four chamber. Pada
38
teknik pengambilan gambar parasternal short axis akan terlihat septum
interventrikuler menjadi datar dan menyebabkan gambaran ekokardiografi D
shape ventrikel kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan adalah regurgitasi
tricuspid dengan kecepatan ≥ 2,6 m/detik dan dilatasi vena kava inferior.

Gambar 4. Echocardiografi

12. Biomarker jantung


Troponin T (Trop T) adalah marker jantung yang sangat sensitif dan
spesifik untuk suatu nekrosis sel miokard. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit
peningkatan kadar Trop T dibandingkan dengan peningkatan yang cukup tinggi
pada kasus sindroma koroner akut (nilai abnormal terendah 0,03-0,1 ng/ml).
Kadar Trop T berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan, dimana iskemi
miokard terjadi akibat gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen dari ventrikel kanan sehingga terjadi pelepasan Trop T ke dalam sirkulasi
tanpa adanya penyakit jantung koroner.
Natriuretic peptide merupakan suatu marker yang berguna untuk
diagnostik dan prognostik gagal jantung kongestif. Peregangan sel miosit jantung
akan merangsang sintesa dan sekresi BNP. Pro BNP dalam miosit ventrikel
yang masih normal tidak disimpan dalam jumlah yang besar. Peningkatan kadar
39
BNP dan Pro BNP berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan pada pasien
dengan emboli paru. Kadar BNP ≥ 50 pg/ml memberikan nilai prognostik emboli
paru yang buruk.

3.1.6 Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan kepada pasein emboli paru atau dengan


infark paru terdiri atas :27

1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien


Karena emboli paru merupakan kegawat darurat, tindakan pertama pada
pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum pasien untuk
mempertahankan fungsi-fungsi vital tubuh. Yang perlu dilakukan
misalnya: pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksemia,
memberikan cairan infus untuk mempertahankan kestabilan.

2. Pengobatan atas indikasi khusus


Emboli terutama emboli paru massif merupakan keadaan gawat darurat,
sedikit atau banyak menimbulkan gangguan terhadap fungsi jantung, maka
perlu dilakukan tindakanpengobatan terhadap gangguan pada jantung tadi,
yang dengan sendirinya diberikan atasdasar indikasi khusus sesuai masalah.
Misalnya ada indikasi untuk memberikan obat vasopressor, obat inotropik,
anti aritmia, digitasi dan sebagainya.
3. Pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru
Pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru yang sampai
sekarang dilakukan adalah pengobatan antikoagulan dengan heparin dan
warfarin serta pengobatan trombolitik. Tujuan pengobatan utama ini ialah:
segera menghambat pertumbuhan tromboemboli, melarutkan tromboemboli
dan mencegah timbulnya emboli ulang.

a). Pengobatan antikoagulan

Heparin sekarang ini merupakan pengobatan standar awal pada pasien


tromboemboli vena karena memiliki fungsi seperti membuat pelarutan
40
thrombus oleh sifat fibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh pertumbuhan
thrombus dan heparin mencegah timbulnya emboli berulang serta heparin
juga menghambat agregasi trombosit. Pemberian heparin dapat dengan
berbagai cara: Drip heparin dengan infuse IV, suntikan IV intermiten dan
suntikan subkutan.

Dosis heparin: bolus 3000-5000 unit IV diikuti sebanyak 30.000-35.000


unit/hari dalam infuse glukosa 5% atau NaCl 0,9% atau disesuaikan.
Pengobatan sampai mencapai target PTT (partial tromboplastin time)
mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Pengobatan diberikan selama 7-10 hari
lalu dilanjutkan dengan obat antikoagulan oral. Pemberian subkutan lebih
menguntungkan karena lebih mudah. Dosis mulai dengan suntikan bolus IV
3000-5000 unit bersama suntikan subkutan pertama, kemudian suntikan
subkutan diberikan 5000 unit/4 jam atau 10.000 unit/8 jam atau 15.000-
20.000 unit tiap 12jam sampai mencapai PTT 1,5-2,5 kali nilai normal.
Heparin tidak boleh diberikan intramuscular karena dapat menyebabkan
hematom pada tempat suntikan. Kesuksesan pengobatan dengan heparin
mencapai 92% dan bisa diberikan pada ibu hamil karena aman tidak
melewati plasenta.

Warfarin juga dapat digunakan sebagai pengobatan emboli paru. obat ini
bekerja dengan menghambat aktivitas vitamin K, yaitu dengan
mempengaruhi sintesis prokoagulan primer (factor II, VII dan X). Karena
awal kerjanya lambat, oleh karena itu pemberian warfarin dilakukan
setelah heparin. Warfarin diberikan pada pasien dengan thrombosis vena
atau emboli paru berulang dan pada pasien dengan factor risiko menetap.

Dosis yang diberikan ialah 10-15 mg/kg BB, dengan target sampai terjadi
pemanjangan (lebih dari 15-25%) dari nilai normal waktu protombin yang
maksimum. Pemberian warfarin adalah secara oral. Lama pemberian
warfarin sekitar 3 bulan (12minggu) terus menerus. Warfarin diberikan terus
pada pasien defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C atau S, pasien
dengan antikoagulan lupus atau antikardiolipin.
41
b). Pengobatan Trombolitik

Cara ini merupakan pengobatan difinitif karena bertujuan untuk


menghilangkan sumbatan mekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini
adalah mengadakan trombolisis. Obat yang tersedia ada dua sediaan yaitu:
streptokinase dan urokinase.

Trombolitik bekerja dengan cara memperkuat aktivitas fibrinolisis


endogen dengan lebih mengaktifkan plasmin. Plasmin dapat langsung
melisiskan dan mempunyai efek sekunder sebagai antikoagulan. Tetapi
trombolitik selain mempercepat resolusi emboli paru, juga dapat
menurunkan tekanan arteri pulmonalis dan jantung kanan serta memperbaiki
fungsi ventrikel kiri dan kanan pada kasus yang jelas menderita emboli paru.

Terapi ini sering diindikasikan pada pasien emboli paru massif akut,
thrombosis vena dalam, emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan
teradapat penyakit jantung atau paru tetapi belum mengalami perbaikan
dengan terapi heparin. Terapi trombolitik boleh diberikan bila gejala-gejala
yang timbul kurang dari 7 hari dan pasien tidak memiliki kontraindikasi
trombolitik.

Dosis awal streptokinase: 250.000 unit dalam larutan Nacl 0,9 % atau
glukosa 5%, diberikan IV selama 30 menit, dilanjutkan dosis
pemeliharaannya: 100.000 unit/jam diberikan selama 24-72 jam.

Dosis awal urokinase: 4.400 unit/kg BB, dalam larutan Nacl 0,9 % atau
glukosa 5%, diberikan IV selama 15-30 menit, dilanjutkan dosis
pemeliharaannya: 4.400 unit/kg BB/jam selama 12-24 jam. Perbaikan atau
keberhasilan terapi sudah terlihat dalam waktu 12 jam untuk urokinase dan
24 jam untuk streptokinase. Komplikasi terapi trombolitik adalah sering
terjadi perdarahan dengan insidensi 5-7%.

42
4. Pengobatan pembedahan.
Pengobatan pembedahan pada emboli paru diperuntukkan bagi pasien
yang tidak adekuat atau tidak dapat diberikan heparin. Dengan tindakan
pembedahan dapat dilakukan: venous interruption dan embolektomi paru.
Tujuan venous interruption adalah mencegah emboli ulang dari thrombus
vena dalam tungkai bawah. Sekarang yang banyak dilakukan adalah
pemasangan filter di vena kava inferior secara intravena, yang tidak
menyumbat aliran vena, dapat mencegah emboli yang lebih besar dari 2 mm
dan jarang mengalami thrombosis di filter tersebut.
Tindakan embolektomi paru ini dulu banyak dikerjakan jika terdapat
kontraindikasi terhadap pemakaian antikoagulan atau pada pasien emboli
paru kronik. Karena risiko kematian cukup besar, maka tindakan
embolektomi paru ini sekarang ditinggalkan, lebih- lebih sekarang telah ada
kemajuan terapi trombolitik.

3.1.7 Emboli Paru pada Covid 19


Sejumlah laporan telah menemukan kejadian koagulopati pada pasien
COVID-19, baik dalam bentuk trombosis arteri maupun vena. Laporan Klok et
al pada 184 pasien COVID-19 yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU)
menemukan bahwa insidensi trombosis sebesar 31%. Jenis trombosis yang paling
umum ditemui adalah tromboemboli vena dengan insidensi 27 %.29 penelitian lain
melaporkan pada 150 pasien COVID-19 kejadian emboli paru sekitar 16,5 %.17
Dari 143 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19, yang
mengalami DVT ekstremitas bawah sebesar 46,1 %, DVT proksimal sebesar
34,8% dan 65,2 % dengan DVT distal.28
Identifikasi pasien dengan risiko tromboemboli vena penting untuk
tindakan profilaksis dengan tujuan menurunkan angka kejadian tromboemboli
vena. Tanpa profilaksis, risiko pasien dengan acute medical illness akan menjadi
tromboemboli vena adalah 10-20%.28
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50-67% kasus tromboemboli vena pada
pasien pasien dengan acute medical illness dapat dicegah dengan profilaksis yang
43
tepat. Streiff dan Lau, dalam penelitian metaanalisis sembilan randomized control
trial (RCT) yang menggunakan profilaksis unfractionated heparin (UFH), low
molecular weight heparin (LMWH) atau fondaparinux pada 8.617 pasien yang
dirawat di rumah sakit, didapatkan penurunan risiko DVT 51%, emboli paru 49%
dan emboli paru fatal 54% meskipun ada kecenderungan untuk mengalami
perdarahan yang lebih besar.28

3.1.8 Pencegahan
Pencegahan emboli paru menjadi salah satu hal penting dikarenakan kelainan
ini sulit dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita
dengan klinis sugestif emboli paru wajib dilakukan stratifikasi risiko dan bila
perlu mendapat terapi profilaksis.14
Pencegahan non farmakologis yang dapat dilakukan adalah penggunaan
graduated-compression stockings , suatu alat yang memberikan kompresi berkala
dan filter vena cava inferior atau kombinasi keduanya.14

44
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien atas nama Tn. AB dengan usia 68 tahun datang ke poli Jantung dengan
keluhan sesak nafas yang memberat 1 minggu SMRS. Pasien mengatakan
awalnya lagi jalan pagi, tiba – tiba pasien merasakan sesak. Sesak dirasakan
pasien hilang timbul. Sesak timbul pada saat aktivitas ringan. Sesak sudah
dirasakan sejak 1 bulan ini. Sesak nafas tidak disertai dengan nyeri dada, dan dada
berdebar (-). Pasien tampak lemas (+). Bengkak pada kaki, tidur menggunakan
bantal tinggi, demam, batuk, pilek, nyeri kapala disangkal. BAB dan BAK tidak
ada keluhan. Pasien pernah dirawat dengan covid 19 gejala berat pada bulan
agustus 2021 di RS RPJ selama 2 minggu tanpa pemberian antikoagulan
subkutan. Pasien memiliki riwayat CAD 3VD post PCI, pemasangan 2 stent,
hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, dan DVT. Dari riwayat keluarga juga
didapatkan adanya Riwayat DM.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil vital sign terdapat TD 150/90 mmHG
dan pemeriksaan auskultasi paru terdengar rhonki di 1/3 basal paru. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan D-dimer, troponin
normal. Dari pemeriksaan EKG didapatkan adanya irama sinus dan T inverted di
lead III, aVF, V1-V3. Dari hasil rontgen thoraks didapatkan adanya kardiomegali
dan adanya gambaran pneumonia. Hasil echo didapatkan dilatasi LV dan RV baik
dengan tanda tanda peningkatan tekanan di ventrikel kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah Emboli paru post covid 19 dd UAP.
Dari wells score didapatkan score 6, Geneva score didapatkan score 7. Dimana
hasilnya kemungkinan moderate emboli paru.
Selama di RS, pasien dirawat dengan pemberian antikoagulan SC, yaitu
fondafarinux selama 5 hari, dilanjutkan dengan warfarin tablet, dan didapatkan
perbaikan dari keluhan pasien. Pasien dipulangkan pada tanggal 22/09/2021 tanpa
keluhan sesak, D-dimer mengalami perbaikan dan klinis hemodinamik stabil.
Pasien dijadwalkan kontrol ke poli jantung untuk evaluasi nilai INR tiap bulan.
45
BAB IV
KESIMPULAN

Pulmonary embolism atau Emboli paru adalah penyumbatan pembuluh


darah arteri pulmonalis yang berpotensi menimbulkan infark paru. Keadaan ini
dapat memberikan gambaran klinis dengan spektrum luas, mulai dari suatu
gambaran klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang mengancam nyawa
berupa hipotensi, shock kardiogenik dan keadaan henti jantung yang tiba-tiba
(sudden cardiac death).
Pada pasien COVID 19, insiden untuk terjadinya emboli paru sebesar 30%,
yang mengalami DVT ekstremitas bawah sebesar 46,1 %, DVT proksimal sebesar
34,8 % dan 65,2 % DVT distal. Streiff dan Lau, dalam penelitian metaanalisis
sembilan randomized control trial (RCT) yang menggunakan profilaksis
unfractionated heparin (UFH), low molecular weight heparin (LMWH) atau
fondaparinux pada 8.617 pasien yang dirawat di rumah sakit, didapatkan
penurunan risiko DVT 51%, emboli paru 49% dan emboli paru fatal 54%. Jika
tanpa profilaksis, risiko pasien dengan acute medical illness akan menjadi
tromboemboli vena adalah 10-20%.
Diagnosis emboli paru dapat ditegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Untuk mencegah terjadinya emboli paru pada
pasien COVID-19, maka diperlukan pemberian antikoagulan profilaksis sesuai
dengan derajat severitas COVID-19.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusmana D, dkk. Standar pelayanan medik RS. Jantung pembuluh darah


Harapan Kita. Edisi ke-2. Jakarta. 2003.h.209-11
2. Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute pulmonary embolism: Part II: Risk
stratification, treatment, and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838
3. Sunu I. Emboli paru: Pencegahan dan tata laksana optimal pasien rawat
inap. Dalam: Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend course on
cardiology, common soils in atherosclerosis: The base for prevention and
intervention. Jakarta. 2006.h.9-18
4. Fedullo PF: Pulmonary embolism. Dalam: Robert AO, Valentin F,
R.Wayne A, penyunting. The heart manual of cardiology. Edisi ke-11.
Boston: McGraw Hill,2005.h.351-2
5. Myerson SG, dkk: Pulmonary embolism. Dalam: Saul GM, Robin
PC,Andrew RJ, penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi ke-1. Oxford
University press,2006.h.190-194
6. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein
thrombosis. Circulation 2002;106:1436-1438
7. Julian GD: Disorders of the lungs and pulmonary circulation. Dalam:
Desmond GJ, Cowan JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi ke-8.
Edinburgh: Elsevier Saunders,2005.h.328-3
8. Grubb NR, Newby DE: Pulmonary embolism. Dalam: Neil RG, David EN,
penyunting. Cardiology. Edisi ke-1. Edinburgh: Churchill
livingstone,2000.h.181-7
9. Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow,
Braunwald, penyunting. Braunwald’s heart disease, a textbook of
cardiovascular medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier
saunders,2005.h.1789-06
10. Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CAMJ 2003;168:183-194
11. Palareti G, dkk. Predictive value of D-dimer Test for recurrent venous
thromboembolism after anticoagulation withdrawl in subjects with a
47
previuous idiopathic event and in carriers of congenital thrombophilia.
Circulation 2003;108:313-18
12. Fedullo PF, dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N Engl
J Med 2003;349:1247-56
13. Goldhaber SZ. Pulmonary embolism. N Engl J Med 1998;339:93-03
14. Janata K. Managing pulmonary embolism. BMJ 2003;326:1341-1342
15. Cucinotta D, Vanelli M. WHO declares COVID-19 a pandemic. Acta
Biomed. 2020;91(1):157-160. doi:10.23750/abm.v91i1.9397
16. Lodigiani C, Iapichino G, Carenzo L, et al. Jo ur l P of. Thromb Res.
Published online 2020.doi:10.1016/j.thromres.2020.04.024
17. Helms J, Tacquard C, Severac F, et al. High risk of thrombosis in patients
with severe SARS ‑ CoV ‑ 2 infection : a multicenter prospective cohort
study. Intensive Care Med. Published online 2020.doi:10.1007/s00134-
020-06062-x
18. Kollias A, Kyriakoulis KG, Dimakakos E, Poulakou G, Stergiou GS, Syrigos
K. Thromboembolic risk and anticoagulant therapy in COVID-19 patients:
emerging evidence and call for action. Br J Haematol. 2020;189(5):846-
847. doi:10.1111/bjh.16727
19. Greenberg CS. Advances in hematology. 2017;15(8):580-583.
20. Guan W, Ni Z, Hu Y, et al. Clinical characteristics of coronavirus disease
2019 in China. N Engl J Med. 2020;382(18):1708-1720.
doi:10.1056/NEJMoa2002032
21. Moore MP. d-Dimer testing for the exclusion of venous
thromboembolism in pregnancy. Intern Med J. 2018;48(8):1013.
doi:10.1111/imj.13978
22. Agnelli G, Becattini C. Current concepts acute pulmonary embolism. N
Engl J Med . 2010; 363(3):266-74.
23. Fedullo PF , Victor F. Tapson VF. The evaluation of suspected pulmonary
embolism. N Engl J Med. 2003; 349(13):247-56.

48
24. Deng X, Li Y, Zhou L, Liu C, Liu M, Ding N et al. Gender differences in
the symptoms, signs, disease history, lesion position and pathophysiology in
patients with pulmonary embolism. Plos One. 2015:1-9.
25. Messa IR, Junewick J, Hoff A, Blumer A, Daro R, Linna N et al. Incidence
of pulmonary emboli on chest computed tomography angiography based
upon referral patterns. Emerg Radiol. 2016.
26. Kubak MP, Lauritzan PM, Borthne A, Ruud EA, Ashraf H. Elevated d-
dimer cut-off values for computed tomography pulmonary angiography—d-
dimer correlates with location of embolism. Ann TranslMed. 2016:1-6.
27. Kostadima E, Zakythinos E. Pulmonary Embolism:
Pathophysiology,Diagnosis, Treatment. Hellenic J Cardiol. 2007; 48: 94-
107.
28. http://scholar.unand.ac.id/74553/2/2.%20BAB%201%20%28Pendahuluan%
29.pdf
29. Klok FA, Kruip MJHA, van der Meer NJM, et al. Incidence of thrombotic
complications in critically ill ICU patients with COVID-19. Thromb Res.
2020;191:145-147. doi:10.1016/j.thromres.2020.04.013
30. Helms J et al. High risk of thrombosis in patients in severe SARS-CoV-2
infection: a multicenter prospective cohort study. Intensive Care Med.
2020;46(6):1089-1098. doi: 10.1007/s0013 4-020-06062-x
31. https://www.papdi.or.id/pdfs/983/Buku%20Pedoman%20Tatalaksana%20C
OVID-19%205OP%20Edisi%203%202020.pdf

49

Anda mungkin juga menyukai