Anda di halaman 1dari 44

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A221021/ November 2021


**Pembimbing dr. Yanrike Harahap,SpPD

OBSTRUKTIF JAUNDICE EC KOLELITIASIS

Heta Apriana, S.Ked*


dr. Yanrike Harahap,SpPD**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MANAP

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

“OBSTRUKTIF JAUDICE EC KOLELITIASIS”

Oleh :

Heta Apriana, S.ked

G1A221021

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manap

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, November 2021
Pembimbing

dr. Yanrike Harahap,SpPD


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Obstruktif Jaudice Ec Kolelitiasis”. Tulisan ini dimaksudkan sebagai syarat
untuk menyelesaikan pendidikan Program Profesi Dokter di bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUD H Abdul Manap Jambi.
Terwujudnya case report session ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari dr.Yanrike Harahap,SpPD selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan ilmu kepada
penulis, sehingga sebagai ungkapan hormat dan penghargaan penulis mengucapkan
banyak terima kasih.
Penulis menyadari bahwa case report session ini masih memiliki banyak
keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya.
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, November 2021

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS........................................................................... 2
2.1 Identitas Pasien....................................................................................... 2
2.2 Anamnesis .............................................................................................. 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 6
2.5 Diagnosis................................................................................................ 9
2.6 Diagnosis Banding.................................................................................. 9
2.7 Pemeriksaan Anjuran ........................................................................... 9
2.8 Tatalaksana............................................................................................ 10
2.9 Prognosis ............................................................................................... 10
2.11 Follow Up ........................................................................................... 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 11
3.1 Obstruktif Jaundice ................................................................................ 11
3.2 Anatomi ................................................................................................ 21
3.3 Kolelitiasis .......................................................................................... 24
BAB IV ANALISA KASUS .......................................................................... 38
BAB V KESIMPULAN................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 41
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat


diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena
belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan
ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau
saat operasi untuk tujuan yang lain. Dengan perkembangan peralatan dan teknik
diagnosis yang baru USG, maka banyak penderita batu kandung empedu yang
ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi.1,2
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
konsentrasi bilirubin serum yang menyebabkan manifestasi klinis berupa
kulit dan sklera yang kuning. Ini bisa disebabkan adanya obstruksi parsial
atau total dari empedu dan komponen dari hati ke saluran cerna (kolestasis).
Kolestasis dapat muncul di dalam hati maupun di saluran empedu karena
adanya obstruksi mekanis (ikterus obstruksi). Ikterus obstruksi bukan
merupakan diagnosis definitif dan dibutuhkan diagnosis yang cepat karena
dapat muncul keadaan patologis jika tidak segera ditangani.3

1.2 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang
diagnosis dan tatalaksana pasien dengan Obstruktif Jaundice ec Kolelitiasis.

1.3 Metode Penulisan


Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode diskusi yang
merujuk dari berbagai literatur.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Z
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : JL.P.Hidaya
Pekerjaan : Supir
MRS : 9 November 2021

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 9 november 2021
Keluhan Utama:
Kulit tampak kuning ± 6 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
± 6 hari SMRS Os mengeluhkan kulitnya dan mata terlihat kuning
yang muncul tiba-tiba dan terus menerus. Keluhan kuning disertai dengan
perubahan warna air seni menjadi lebih gelap seperti air celupan teh yang
pekat. Keluhan perubahan volume, frekuensi, ataupun nyeri saat buang air
kecil disangkal. Selain itu keluhan juga disertai dengan perubahan warna tinja
yang menjadi seperti warna dempul namun masih ada beberapa bagian
kotoran yang berwarna kuning dengan konsistensi cair namun masih terdapat
ampasnya.
± 13 hari SMRS Os juga mengeluhkan nyeri perut kanan atas hilang
timbul, nyeri dirasakan seperti melilit, seperti ditarik, dan terasa panas yang
menjalar ke punggung sebelah kanan. Nyeri dirasakan memburuk saat diberi
makan dan membaik dengan posisi membungkuk atau miring ke sebelah kiri.

2
Keluhan nyeri disertai dengan perasaan mual dan pasien sering memuntahkan
semua makanan yang masuk. Isi muntah berupa makanan, cairan dan muntah
tidak disertai dengan darah. Riwayat kontak dengan penderita penyakit kuning
sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat sakit maag (+)
- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat sakit kuning (-)
- Riwayat penyakit ginjal (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat asam urat (-)
- Riwayat sakit kuning (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes (-)

Riwayat Pekerjaan dan Sosial :


- Pasien bekerja sebagai supir
- Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak.
Kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok disangkal oleh pasien.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: 15
Vital Sign

3
Tekanan Darah : 91/61 mmHg
HR : 13 x/menit, regular, isi cukup
RR : 22x/menit, Reguler
Suhu : 36,7oC
SpO2 : 98%
Status Gizi
BB: 50 Kg TB : 160 cm
IMT : BB( 50 Kg )/TB2 (1,6 x 1,6 m)
: 19,53 (normoweight)

Kulit
 Warna : Ikterik (+)
 Efloresensi : (-)
 Jaringan parut : (-)
 Turgor : normal, kembali cepat
 Lainnya : Ikterik (+)

Kepala dan Leher


 Rambut : warna hitam, lurus, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
 Kepala : bentuk simetris, normocephal, deformitas (-)
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+), edema
palpebral (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+),
exopthalmus (-/-)
 Hidung : deviasi septum (-), epistaksis (-), sekret (-)
 Mulut : bentuk normal, sianosis (-), bibir kering (-), pucat (-)
 Tenggorokan : faring dan tonsil hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Telinga : sekret minimal, liang telinga hiperemis (-/-), nyeri

4
tekan tragus (-/-)
 Leher : deviasi trakea (-) pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-), JVP 5-2 cmH2O.

Thorax
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V di linea midclavicularis sinistra, luas
1 jari kuat angkat
Perkusi : Batas Jantung :
- Atas : ICS II linea parasternal sinistra
- Kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
- Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
- Pinggang Jantung : ICS III linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, spider
naevi (-), bekas operasi (-), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri di semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, spider nervi (-), sikatriks (-), caput medusa (-)
Palpasi : nyeri tekan kanan atas (+),di regio hipochondrium kanan, region
epigastrium. murphy sign (+). Hepar, lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

5
Ekstremitas
Superior :
Dextra : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), eritem (-), sianosis (-)
Sinistra : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), eritem (-), sianosis (-)
Inferior :
Dextra : akral hangat, CRT <2 detik, bengkak pada tungkai atas (+), nyeri
tekan gastrocnemius (+)
Sinistra: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11.5 11.5-16.5g/dL
Hematokrit 37 35-55%
Eritrosit 4.02 3.5-5.5 x1012/L
MCV 86.6 75.0-100.0 fL
MCH 28.7 255-35 pg
MCHC 33.1 31-38 g/dL
RDW 16.5 11.0-16.0%
Trombosit 230 150-400 x109/L
PCT 0.17 0.01-9.99 %
MPV 9,8 8.0-11.0 fL
PDW 11.3 0.1-99.9 fL
Leukosit 7.9 4.0-10.0 x109/L
Kesan: Normal

6
Faal Hati (10/11/2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Bilirubin Total 15,1 < 1.0 mg/L
Bilirubin Direk 8,7 < 0.2 mg/L
Bilirubin Indirek 6,4 < 0.2 mg/L
SGOT 20 < 40 mg/L
SGPT 17 < 41 mg/L
Kesan: Hiperbilirubinemia

Pemeriksaan Serologi/Imunologi (10/11/2021)


Pemeriksaan Hasil
HbsAG (-) Negatif

7
Pemeriksaan USG Whole Abdomen (10/11/2021)

Hasil Pemeriksaan:

- Hepar
ukuran dan bentuk baik, tepi tajam, dan dinding tipis Ekshostruktur homogeny
sitim billier dan vaskuler normal. Tak tampak lesi patologis
- KE
Bentuk dan ukuran Normal dinding regular tampak batu multife (3) tersebar
ukuran 0,5 cm.
- Lien
Bentuk dan ukuran normal, Ekhostruktur parenkim homogeny SLO (-)

8
- Ginjal
Bentuk dan ukuran normal Ekhostruktur parenkim ginjal baik, dift cortek dan
medulla tegas system pelviokalises tak melebar, tampak batu/kalsifikasi,
parenkim multiel bilateral.
- Pankreas
Bentuk dan ukuran baik, Ekhostruktur parenkim homogeny, SOL(-) Duktus
pankratikus tak melebar.
- Aorta
Kaliber normal, tak tampak pembesaran pada KGB para-aorta.
- Vesika urinaria
Ukuran dan bentuk normal mukosa tak menebal regular, batu (-)
KESAN :
cholelitiasis multife (3) tersebar ukuran 0,5 cm.
Nefrocalsinosis multife bilateral.

2.5 Diagnosa
Diagnosa Primer : Obstruktif Jaudice Ec Kolelitiasis
diagnosa Sekunder : Hiperbilirubinemia

2.6 Diagnosa Banding


- Hepatitis
- Kolangitis
- Choledolitiasis

2.7 Pemeriksaan anjuran


- Urinalisa
- Cek SGOT/SGPT dan kadar bilirubin per 3 hari
- HBeAg
- Anti-HCV

9
- HCV-RNA
- USG Hepatobilier
- CT Scan Abdomen

2.8 Tatalaksana
Non Farmakologi
1. Tirah baring
2. Diet tinggi kalori tinggi protein
3. Edukasi pada pasien tentang penyakitnya dan pencegahan penularannya.

Farmakologi
1. IVFD RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 1x1 gr
3. Inj. Ondansentron 2 x 40 mg
4. Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
5. UDCA 3 x 250 mg

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Obstruktif Jaundice


3.1.1 Definisi
Ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis “jaune” yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya. Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa)
yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan
cincin heme, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah. Ikterus sebaiknya
diperiksa di bawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata. Ikterus yang
ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl. Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat
dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%.1

3.1.2 Metabolisme bilirubin normal


Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui
proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan,
transportasi, asupan, konjugasi, dan ekskresi bilirubin. 4,5
3.1.2.1 Fase Pre-hepatik
1. Pembentukan bilirubin.
Bilirubin berasal dari katabolism protein heme, dimana 75% berasal
dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit
yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom,
katalase, dan peroksidase. Pembentukannya berlangsung di sistem
retikoloendotelial. Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang
dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin
yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh

11
enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan
hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
2. Transport plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke hati
melalui plasma, harus berikatan dengan albumin plasma terlebih dahulu
oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.
3.1.2.2 Fase Intra-Hepatik
3. Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan sinusoid
hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit melalui ssistem
transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin akan berikatan dengan
ligandin, yang membantu bilirubin tetap larut sebelum dikonjugasi.
4. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak
terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat yang
dapat larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim
uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T) membentuk
bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu.
3.1.2.3 Fase Post-Hepatik
5. Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang diperantarai oleh
protein membran kanalikuli, dikenal sebagai multidrug-resistance
associated protein-2 (MRP-2).
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung empedu,
bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu bilirubin
terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar, glukoronida

12
dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan
bilirubin kemudian direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok
senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut urobilinogen. Di ileum
terminal dan usus besar, sebagian kecil urobilinogen direabsorpsi dan
diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk siklus urobilinogen
enterohepatik. Pada keadaan normal, urobilinogen yang tak berwarna dan
dibentuk di kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi urobilin
(senyawa berwarna) dan diekskresikan di tinja.

3.1.3 Epidemiologi
Kasus ikterus obstruksi post-hepatik terbanyak mengenai usia 50 – 59 tahun
29,3%. Kasus ikterus obstruksi post-hepatik dapat mengenai jenis kelamin laki-laki
dan perempuan dimana jenis kelamin laki-laki sebanyak 65,9%. Hatfield et al,
melaporkan bahwa kasus ikterus obstruktif terbanyak adalah 70% karena karsinoma
kaput pankreas, 8% pada batu common bile duct, dan 2% adalah karsinoma kandung
empedu.6

3.1.4 Etiologi
Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif ekstrahepatik. Ikterus obstruktif
intrahepatik pada umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli
bilier sedangkan ikterus obstruktif ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh
karena adanya sumbatan pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang
menyebabkan terjadinya ikterus obstruktif adalah sebagai berikut:
1. Ikterus obstruktif intrahepatik :
Ikterus obstruktif intrahepatik umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau
membrane kanalikuli. Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatic adalah
hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis
autoimun.

13
Peradangan intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan
menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan
dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan
C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi dapat
berjalan kronik dan menahun, dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau
bahkan sudah menjadi sirosis hati. Alkohol dapat mempengaruhi gangguan
pengambilan empedu dan sekresinya, sehingga mengakibatkan kolestasis.7

2. Ikterus obstruktif ekstrahepatik :


a. Kolelitiasis dan koledokolitiasis
Batu saluran empedu mengakibatkan retensi pengaliran bilirubin
terkonjugasi ke dalam saluran pencernaan sehingga mengakibatkan aliran
balik bilirubin ke dalam plasma menyebabkan tingginya kadar bilirubin
direk dalam plasma.8
b. Tumor ganas saluran empedu
Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita dengan
kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-laki dan perempuan
tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi tidak jarang
didapatkan pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan adenokarsinoma pada
duktus hepatikus atau duktus koledokus.8
c. Atresia bilier
Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan
hambatan aliran empedu, sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin direk.
Atresia bilier merupakan penyebab kolestatis ekstrahepatik neonatal yang
terbanyak. Terdapat dua jenis atresia biliaris, yaitu ekstrahepatik dan
intrahepatik. Bentuk intrahepatik lebih jarang dibandingkan dengan
ekstrahepatik.8

14
d. Tumor kaput pankreas
Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus dan
sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma duktus
pankreas, dan sebagian besar kasus (70%) lokasi kanker adalah pada kaput
pankreas. Pada stadium lanjut, kanker kaput pankreas sering bermetastasis
ke duodenum, lambung, peritoneum, hati, dan kandung empedu.8

3.1.5 Patofisiologi
Bilirubin metabolisme dapat berlangsung dalam tiga tahap: prehepatik,
intrahepatik, dan posthepatik. Fase prehepatik mencakup produksi bilirubin
dari pemecahan produk heme dan transportasi ke hati. Mayoritas hasil heme
dari metabolism eritrosit dan sisanya dari heme yang mengandung senyawa
organic lain seperti mioglobin dan sitokrom. Dalam hati, bilirubin larut tak
terkonjugasi kemudian terkonjugasi menjadi asam glukuronat untuk
memungkinkan melarut dalam empedu dan diekskresikan. Fase posthepatik
bilirubin terdiri dari ekskresi bilirubin larut melalui sistem bilier ke
duodenum. Disfungsi dalam salah satu fase ini dapat menyebabkan ikterus.
Pada ikterus posthepatik biasanya akibat dari obstruksi intrinsik atau
ekstrinsik dari sistem duktus biliaris yang mencegah aliran empedu ke
duodenum. Obstruksi intrinsik dapat terjadi karena penyakit biliaris, termasuk
cholelithiasis, choledocholithiasis, cholangitis, striktur bilier jinak dan ganas,
cholangiocarcinoma. Kompresi ekstrinsik pada kandung empedu biasanya
karena gangguan pankreas. Pasien dengan pankreatitis, pseudokista, dan
keganasan dapat disertai dengan ikterus karena kompresi eksternal dari sistem
biliaris. Terjadinya obstruksi dari pasase bilirubin direk membuat bilirubin
tidak dapat diekskresikan ke dalam usus halus dan akibatnya terjadi aliran
balik ke dalam pembuluh darah. Akibatnya kadar bilirubin direk meningkat
dalam aliran darah dan penderita menjadi ikterik. Ikterik paling pertama
terlihat adalah pada jaringan ikat longgar seperti sublingual dan sklera. Karena

15
kadar bilirubin direk dalam darah meningkat, maka sekresi bilirubin dari
ginjal akan meningkat sehingga urine akan menjadi gelap dengan bilirubin
urin positif. Sedangkan karena bilirubin yang diekskresikan ke feses
berkurang, maka pewarnaan feses menjadi berkurang dan feses akan menjadi
berwarna pucat seperti dempul (acholis).8

3.1.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis yang dikeluhkan oleh pasien dengan ikterus obstruktif,
bergantung pada jenis penyakit yang menyebabkan obstruksi sehingga menyebabkan
terjadinya ikterus. Berikut ini merupakan manifestasi klinis yang secara umum
dikeluhkan oleh pasien yang mengalami ikterus, yaitu berupa:8
1. Warna kuning pada sklera mata, sublingual, dan jaringan lainnya
Hal ini diakibatkan karena adanya peningkatan kadar bilirubin dalam plasma
yang terdeposit pada jaringan ikat longgar, salah satu diantaranya adalah sklera
dan sublingual.
2. Warna urin gelap seperti teh
Adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang larut dalam air,
menyebabkan tingginya kadar bilirubin dalam plasma, sehingga kadar bilirubin
yang berlebih dalam plasma tersebut akan diekskresikan melalui urin dan
menyebabkan warna urin menjadi lebih gelap seperti teh.
3. Warna feses seperti dempul
Perubahan warna feses menjadi dempul disebabkan karena berkurangnya
ekskresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan.

3.1.7 Pemeriksaan penunjang


3.1.7.1 Pemeriksaan laboratorium10
Pemeriksaan rutin
1. Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya meningkat,
maka berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah terdapat peningkatan

16
prothrombin time (PT) atau tidak, karena apabila prothrombin time
meningkat, maka perlu dicurigai adanya penyakit hepar, atau obstruksi
bilier.
2. Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah kecoklatan
seperti teh secara makroskopis, serta terdapat kandungan bilirubin dalam
urin atau tidak. Apabila urin berwarna gelap kecoklatan, perlu dicurigai
adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang diekskresikan melalui urin
yang mengarah pada ikterus obstruktif.
3. Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau tidak. Feses
yang berwarna dempul, menandakan bahwa terdapatnya gangguan aliran
bilirubin direk ke dalam saluran intestinal akibat adanya suatu sumbatan
pada aliran empedu.
3.1.7.2 Tes faal hati
Merupakan tes untuk mengetahui gambaran kemampuan hati untuk
mensintesa protein (albumin, globulin, faktor koagulasi), dan memetabolisme zat
yang terdapat dalam darah, meliputi:
1. Albumin
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi
air dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport beberapa
komponen darah, seperti ion, bilirubin, hormone, enzim, dan obat. Apabila nilai
albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya gangguan fungsi hepar, infeksi
kronis, edema, ascites, sirosis, serta perdarahan.
2. Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT)
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat
pada jantung, otot, dan ginjal, namun ALT lebih banyak terdapat di dalam hati,
dan lebih spesifik menunjukan fungsi hati daripada AST. Apabila terjadi
peningkatan kadar ALT, maka perlu dicurigai adanya penyakit hepatoseluler,
sirosis aktif, obstruksi bilier, dan hepatitis. Nilai peningkatan yang signifikan
adalah adalah dua kali lipat dari nilai normal.

17
3. Aspartase Aminotransferase (AST/SGPT)
AST merupakan enzim yang memiliki aktivitas metabolism yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfe, pankreas dan paru-paru.
Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan, atau kematian sel pada
jaringan tersebut akan mengakibatkan enzim ini terlepas ke dalam sirkulasi.
Apabila terjadi peningkatan, dapat dicurigai adanya penyakit hati, pancreatitis
akut, juga penyakit jantung seperti MI.
4. Alkali fosfatase
Enzim ini merupakan enzim yang berasal dari tulang, hati, dan plasenta.
Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli bilier, ginjal, dan usus halus.
Pada penyakit hati, kadar alkali fosfatase akan meningkat karena ekskresinya
terganggu akibat obstruksi saluran bilier.
5. Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi akibat adanya penyakit
hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi peningkatan bilirubin direk biasanya
terjadi karena adanya obstruksi pada aliran ekskresi empedu.
3.1.7.3 Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan ikertus obstruktif, dan merupakan langkah awal sebelum melangkah ke
pemeriksaan yang lebih lanjut apabila diperlukan. Yang perlu diperhatikan adalah:
1. Besar, bentuk, dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung empedu
yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2-3 x 6 cm, dengan ketebalan sekitar 3
mm.
2. Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. bila saluran empedu
lebih dari 5 mm berarti terdapat dilatasi. Apabila terjadi sumbatan pada daerah
duktus biliaris, yang paling sering terjadi adalah pada bagian distal, maka akan
terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat kemudian diikuti pelebaran
bagian proksimal. Perbedaan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dapat
dibedakan. Pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal, tidak tampak pelebaran

18
duktus biliaris komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra
hepatal, maka ini disebut dengan obstruksi letak rendah (distal).
3. Ada atau tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas tinggi
disertai bayangan akustik (acoustic shadow), dan ikut bergerak pada perubahan
posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor, akan terlihat masa
padat pada ujung saluran empedu dengan densitas rendah dan heterogen.
3.1.7.4 PTC (Percutaneus Transhepatic Cholaniography)
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat duktus biliaris serta untuk
menentukan letak penyebab sumbatan. Dengan pemeriksaan ini dapat diperoleh
gambaran saluran empedu di proksimal sumbatan. Bila kolestasis karena batu, akan
memperlihatkan pelebaran pada duktus koledokus dengan didalamnya tampak batu
radiolusen. Bila kolestasis karena tumor, akan tampak pelebaran saluran empedu
utama (common bile duct) dan saluran intrahepatik dan dibagian distal duktus
koledokus terlihat ireguler oleh tumor.
3.1.7.5 ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)
Pemeriksaan ERCP merupakan tindakan langsung dan invasif untuk
mempelajari traktus biliaris dan system duktus pankreatikus. Indikasi pemeriksaan
ERCP, yaitu:
1. Penderita ikterus yang tidak atau belum dapat ditentukan penyebabnya
apakah sumbatan pada duktus biliaris intra atau ekstra hepatic, seperti:
1) Kelainan di kandung empedu
2) Batu saluran empedu
3) Striktur saluran empedu
4) Kista duktus koledokus
2. Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kelainan pancreas
serta untuk menentukan kelainan, baik jinak ataupun ganas, seperti:
1) Keganasan pada sistem hepatobilier
2) Pankreatitis kronis
3) Tumor panreas

19
4) Metastase tumor ke sistem biliaris atau pancreas

3.1.8 Tatalaksana
Tatalaksana ikterus sangat tergantung pada penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hepatoseluler, biasa ikterus akan menghilang sejalan
dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya
gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya
sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan ireversibel seperti sirosis bilier primer
biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 mg/hari per oral dalam dosis terbagi
dua yang akan mengikat garam empedu di usus atau dapat juga diberikan
antihistamin. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat. Hipoprotrombinemia
biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K) 5-10 mg/hari sub kutan
untuk 2-3 hari.2,3
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang
ireversibel. Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut
lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian
lemak dalam diet. Sumbatan bilier ekstrahepatik (kolelitiasis) biasanya membutuhkan
tindakan bedah yaitu kolesistektomi laparoskopik. Selain itu, perlu modifikasi diet
berupa diet rendah lemak dan gula serta tinggi serat.2,3

3.2 Anatomi
3.2.1 Vesica Fellea
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat
yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan
berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum
visceral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati
oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat
bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang
disebut kantong Hartmann7

20
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk
bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan
dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus
komunis membentuk duktus koledokus7,8.

3.2.2 Ductus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding
lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang
memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan
aliran keluarnya. Saluran empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum
hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya
distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari
saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan
sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke
duktus hepatikus di hilus.

Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak
muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum
menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater
yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi
oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.
Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama oleh duktus
koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah 8,9

3.2.3 Perdarahan

21
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan.
V. cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang
sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu 8,9

3.2.4 Pembuluh limfe dan persarafan


Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici
coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus (2).

Gambar 3.2 Gambaran anatomi kandung empedu8,9

22
3.3 Kolelitiasis
3.3.1 Definisi
Kolelithiasis adalah istilah medis yang digunakan pada penyakit batu empedu.
Batu empedu (gallstones) adalah massa padat yang terbentuk dari endapan mineral
pada saluran empedu. Batu empedu terbentuk secara perlahan dan terkadang
asimtomatik selama beberapa dekade. Migrasi batu empedu ke ductus cysticus dapat
menghalangi aliran pada kandung empedu selama terjadinya kontraksi pada proses
sekresi. Akibat dari peningkatan tegangan dinding kandung empedu memberi sensasi
nyeri (kolik bilier). Tersumbatnya ductus cysticus dalam jangka waktu lebih dari
beberapa jam, dapat menyebabkan peradangan kandung empedu akut (kolesistitis
akut).

Batu empedu di saluran empedu dapat mempengaruhi bagian distal pada ampula
Vater, titik di mana saluran empedu dan saluran pankreas bergabung sebelum keluar
ke duodenum. Obstruksi aliran empedu oleh batu di titik ini dapat menyebabkan sakit
perut dan sakit kuning. Cairan empedu akan stagnan di atas sebuah batu yang
mengahalangi saluran empedu akan sering mengalami infeksi, dan bakteri dapat
menyebar dengan cepat ke hati melalui saluran empedu yang dapat mengancam jiwa,
disebut ascending cholangitis. Obstruksi saluran pankreas dapat memicu aktivasi
enzim pencernaan pankreas itu sendiri, mengarah ke pankreatitis akut.

Dalam waktu yang lama, batu empedu di kandung empedu dapat menyebabkan
fibrosis progresif dan hilangnya fungsi kandung empedu, suatu kondisi yang dikenal
sebagai kolesistitis kronis. Kolesistitis kronis predisposisi kanker kandung empedu.7,8

3.3.2 Epidemiologi
Prevalensi cholelithiasis kolesterol dalam budaya Barat lainnya mirip dengan di
Amerika Serikat, tetapi tampaknya agak lebih rendah di Asia dan Afrika. Sebuah
studi epidemiologi Swedia menemukan bahwa insidensi batu empedu adalah 1,39 per
100 orang-tahun. Dalam sebuah penelitian di Italia, 20% wanita memiliki batu, dan

23
14% pria memiliki batu. Dalam studi Denmark, prevalensi batu empedu pada orang
yang berusia 30 tahun adalah 1,8% untuk pria dan 4,8% untuk wanita; Prevalensi
batu empedu pada orang yang berusia 60 tahun adalah 12,9% untuk pria dan 22,4%
untuk wanita.9

Prevalensi choledocholithiasis lebih tinggi secara internasional daripada di


Amerika Serikat, terutama karena masalah tambahan batu saluran empedu utama
umum yang disebabkan oleh infestasi parasit dengan cacing hati seperti Clonorchis
sinensis.

3.3.3 Etiologi dan Patofisiologi10


Pembentukan batu empedu terjadi akibat adanya zat tertentu dalam empedu
yang mengalami peningkatan konsentrasi hingga mendekati batas kelarutannya.
Ketika empedu terkonsentrasi di kandung empedu, kelarutan empedu akan menjadi
jenuh dengan zat ini, yang kemudian akan mengendap menjadi larutan kristal
mikroskopis. Kristal terjebak dalam larutan kandung empedu, kandung empedu akan
memproduksi lumpur. Seiring waktu, kristal tumbuh dan membentuk agregasi dan
akhirnya berupa batu makroskopik. Oklusi saluran oleh lumpur dan / atau batu akan
menyebabkan komplikasi dari penyakit batu empedu. 2 zat utama yang terlibat dalam
pembentukan batu empedu adalah kolesterol dan kalsium birubinate.

Sel-sel hati mensekresi kolesterol ke dalam empedu bersama dengan fosfolipid


(lesitin) dalam bentuk gelembung membran kecil bulat, disebut vesikel unilamellar.
Sel-sel hati juga mengeluarkan garam empedu, yang bersifat emulsi kuat yang
nantinya diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak makanan. Garam
empedu dalam empedu memisahkan vesikel unilamelar untuk membentuk agregat
larut disebut mixed micelles. Hal ini terjadi terutama di kandung empedu, di mana
empedu terkonsentrasi oleh reasorpsi elektrolit dan air. Dibandingkan dengan vesikel
(yang dapat menimpan hingga 1 molekul kolesterol untuk setiap molekul lesitin),
mixed micelles memiliki daya dukung rendah kolesterol (sekitar 1 molekul kolesterol

24
untuk setiap 3 molekul lesitin). Jika cairan empedu mengandung proporsi yang relatif
tinggi kolesterol, akan membentuk empedu terkonsentrasi, pemisahan vesikel secara
progresif dapat menyebabkan keadaan di mana vesikel residual terlampaui.

Pada tahap ini, empedu jenuh dengan kolesterol, dan akan terbentuknya kristal
kolesterol monohidrat. Dengan demikian, faktor utama yang menentukan apakah
batu empedu kolesterol akan membentuk adalah.

1) jumlah kolesterol yang disekresikan oleh sel-sel hati, relatif terhadap lecithin dan
garam empedu, dan
2) tingkat konsentrasi dan tingkat stasis empedu di kandung empedu.

3.3.3.1 Kalsium, bilirubin, dan pigmen batu empedu

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke empedu oleh sel-sel hati. Sebagian besar bilirubin dalam empedu berupa
konjugat glukuronida, yang cukup larut air dan stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari
bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya, cenderung membentuk endapan tidak larut dengan
kalsium. Kalsium akan memasuki empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain
Dalam situasi tinggi kadar heme, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak
terkonjugasi dapat hadir dalam empedu dengan konsentrasi lebih tinggi dari
normalnya. Kalsium bilirubinate kemudian dapat membentuk kristal dari larutan dan
akhirnya akan menjadi batu. Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin
akan membentuk pigmen berwarna hitam pekat, disebut dengan batu empedu pigmen
hitam 9,

3.3.4 Faktor Resiko


1) Batu Kolesterol
2) Faktor demografis / genetik: Prevalensi tertinggi di Amerika Utara
- Orang India, orang Indian Chili, dan Hispanik Chili, lebih besar di Utara

25
- Eropa dan Amerika Utara daripada di Asia, terendah di Jepang; riwayat
keluarga
- watak; aspek keturunan
3). Obesitas, sindrom metabolik: asam empedu normal dan sekresi tetapi
peningkatan sekresi kolesterol biliaris.
- Berat badan: Mobilisasi kolesterol jaringan menyebabkan peningkatan
biliarii dan sekresi kolesterol sementara sirkulasi enterohepatik dari asam
empedu menurun
4). Hormon sex wanita
- Estrogen menstimulasi reseptor lipoprotein hati, meningkatkan
penerimaan diet kolesterol, dan meningkatkan sekresi kolesterol bilier
- Estrogen alami, estrogen lain, dan kontrasepsi oral mengarah ke
penurunan sekresi garam empedu dan penurunan konversi kolesterol
untuk ester cholesteryl
5.) Kehamilan: Penguraian kandung empedu terganggu yang disebabkan oleh
progesterone dikombinasikan dengan pengaruh estrogen, yang meningkatkan
sekresi kolesterol bilier
6). Meningkatnya usia: Peningkatan sekresi kolesterol biliaris, ukuran menurun
dari asam empedu, penurunan sekresi garam empedu
7). Hipomotilitas kandung empedu menyebabkan stasis dan pembentukan
endapan
- Nutrisi parenteral berkepanjangan
- Puasa
- Kehamilan
- Obat-obatan seperti oktreotid
8). Infeksi saluran empedu kronis, infeksi parasit.

26
3.3.5 Tanda dan Gejala
Penyakit batu empedu dapat diketahui melalui 4 tahap:

a. Keadaan litogenik, di mana kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya


pembentukan batu empedu.
b. Batu empedu asimtomatik (silent stones).
c. Batu empedu simtomatik, dengan karakteristik adanya kolik bilier episodik.
d. Komplikasi kolelitiasis.
Tanda dan gejala dari komplikasi batu empedu akibat dari efek yang terjadi di
dalam kandung empedu atau dari batu yang keluar dari kandung empedu.

3.3.5.1 Batu Empedu Asimtomatik

Batu empedu mungkin dapat ditemukan didalam kantung empedu selama


beberapa dekade tanpa disertai tanda dan gejala dari komplikasinya sendiri. Pada
kebanyakan kasus, batu empedu asimtomatik tidak membutuhkan terapi (4).
Dispepsia yang terjadi ketika megkonsumsi makanan berlemak sering disalah artikan
dengan batu empedu, ketika iritasi lambung atau gastroesophageal reflux merupakan
tanda dan gejala utama (4).

3.3.5.2 Colic Bilier

Kolik kandung empedu biasanya mencakup 1-5 jam nyeri konstan, paling
sering pada epigastrium atau kuadran kanan atas. Iritasi peritoneal melalui kontak
langsung dengan kandung empedu melokalisasi nyeri ke kuadran kanan atas. Nyeri
yang parah, tumpul, konstan (tidak kolik), dan bisa menyebar ke daerah scapular
kanan atau punggung. Pasien cenderung bergerak untuk mengurangi dari rasa sakit.
Onset nyeri berkembang beberapa jam setelah makan, sering terjadi pada malam hari,
dan membangunkan pasien dari tidur. Gejala terkait termasuk mual, muntah, nyeri
pleuritik, dan demam8.

27
3.3.6 Diagnosis
a Anamnesis
Kebanyakan batu empedu (60-80%) tidak menunjukkan gejala pada waktu
tertentu. Batu yang lebih kecil lebih cenderung menjadi gejala dari pada yang
lebih besar. Namun, hampir semua pasien mengalami gejala sebelum
komplikasi, seperti nyeri yang menetap di hipokondrium kanan atau
epigastrium, mual, muntah, dan demam. Serangan akut sering dipicu oleh
makanan besar atau berlemak.
Gangguan pencernaan, bersendawa, kembung, dan intoleransi makanan
berlemak dianggap sebagai gejala khas batu empedu; Namun, gejala-gejala ini
sama umum pada orang tanpa batu empedu dan sering tidak sembuh dengan
kolesistektomi5,6
b Pemeriksaan Fisik
Seperti pada semua pasien dengan nyeri perut, lakukan pemeriksaan fisik
lengkap, termasuk pemeriksaan rektal dan pelvis pada wanita. Pemeriksaan
perut pada kolik kantung empedu dan kolesistitis ditemukan nyeri tekan luar
biasa epigastrik atau kanan kuadran kanan atas dan perut tertahan. Tanda
Murphy (jeda inspirasi pada palpasi kuadran kanan atas) dapat ditemukan
pada pemeriksaan perut. Singer et al mencatat bahwa tanda Murphy positif
sangat sensitif (97%) dan prediktif (nilai prediktif positif [PPV], 93%) untuk
kolesistitis. Namun, pada pasien usia lanjut, sensitivitas ini dapat menurun.
Kepenuhan yang teraba dalam RUQ dapat diapresiasi dalam 20% kasus
setelah 24 jam gejala, tetapi temuan ini jarang hadir di awal perjalanan klinis.
Ketika diamati, tanda-tanda peritoneal harus dianggap serius. Sebagian besar
kolesistitis tanpa komplikasi tidak memiliki tanda peritoneum; dengan
demikian, cari komplikasi (misalnya perforasi, gangren) atau sumber nyeri
lainnya.5,6

28
c Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan kolelitiasis tanpa komplikasi atau kolik bilier sederhana
biasanya memiliki hasil uji laboratorium normal. Pengujian laboratorium
umumnya tidak dilakukan kecuali kolesistitis menjadi acuan (4).
Batu empedu asimtomatik sering ditemukan secara kebetulan melalui foto
polos, sonogram abdomen, atau CT-Scan untuk pemeriksaan dari proses
lainnya. Foto polos ambdomen memiliki sedikit peran dalam mendiagnosis
batu empedu. Kolesterol dan pigmen batu yang radiopak akan terlihat pada
radiografi hanya 10 – 30 % dari kasus, tergantung sejauh mana proses
kalsifikasinya.5,6
d Pemeriksaan Darah
Pada pasien suspek batu empedu komplikasi, darah rutin dapat dilakukan
untuk menentukan diagnosis banding, fungsi hati, amilase, dan lipase.
Pada kasus koledokolitiasis obstruksi bisanya menghasilkan peningkatan
SGOT dan SGPT, diikuti dengan peningkatan serum bilirubin setiap jamnya.
Peningkatan bilirubin mengindikasikan adanya obstruksi. Hal ini di dapatkan
pada 60% pasien dengan peningkatan serum bilirubin > 3 mg/dL. Bila
obstruksi menetap akan mengalami penurunan vitamin K akibat dari absorbsi
empedu. Obstruksi pada ampula Vater akan memberikan hasil peningkatan
serum lipase dan amilase.1,2
e Ultrasonography (USG)
USG merupakan pemeriksaan utama pada kasus batu empedu; snsitivitas,
spesifisitas, noninvasif, dan murah dapat mendeteksi adanya batu empedu.
USG sangat berguna untuk mendiagnosis kolesistitis akut tanpa komplikasi.
Fitus sonografi kolesistitis akut termasuk penebalan kandung empedu (> 5
mm), cairan pericholecystic, kandung empedu distensi (> 5 cm), dan Murphy
sign sonografi. Batu empedu dapat dilihat dengan tampak masa echogenic.
Dapat bergerak bebas dengan perubahan posisi dan membentuk bayangan
akustik.2,3

29
Gambar 3.3 Garis hyperechoic merupakan tepi batu empedu berkumpul. Acoustic
Shadow yang mudah terlihat. Saluran empedu dapat dilihat di atas vena porta

3.3.7 Diagnosis Banding


1. Hepatitis
2. Kolesistitis
3. Koledolitiasis

30
3.3.8 Tatalaksana2,3,4

1. Diet
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah
memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk
memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu
untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat badan dan
keseimbangan cairan tubuh (4). Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena
pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita
obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan
makanan juga harus dihindarkan.
Sedikit bukti menunjukkan bahwa komposisi makanan mempengaruhi sejarah
alami penyakit batu empedu pada manusia. Obesitas pasien yang melakukan
program penurunan berat badan agresif atau menjalani operasi bariatric
beresiko untuk mengembangkan batu empedu; profilaksis jangka pendek
dengan asam ursodeoxycholic harus dipertimbangkan. Konsumsi kopi
tampaknya dikaitkan dengan penurunan risiko penyakit batu empedu. Olahraga
teratur dapat mengurangi frekuensi kolesistektomi.
2. Medikamentosa
Obat disolusi batu empedu dapat dicoba dengan pemberian ursodiol. Agen ini
menekan sekresi kolesterol pada hati dan menghambat penyerapan kolesterol
pada usus. Ursodiol adalah obat yang paling umum digunakan. Kolesterol ini
dilarutkan dalam michel dan bertindak mendispersikan kolesterol ke dalam
media air (5). Pada pasien yang dipilih dengan hati-hati dengan kantung
empedu dan dengan batu radiolusen <10 mm diameter, peleburan batu dapat
dicapai pada 50% pasien dalam 6 bulan hingga 2 tahun. Untuk hasil yang baik
dalam jangka waktu yang wajar, terapi ini seharusnya terbatas pada batu
radiolusen yang berdiameter lebih kecil dari 5 mm. Itu dosis UDCA harus 10–
15 mg / kg per hari.

31
Batu berukuran lebih dari 10 mm jarang larut. Batu pigmen tidak
responsive terapi UDCA. Mungkin ≤10% pasien dengan kolelitiasis simtomatik
adalah untuk perawatan semacam itu. Namun, selain masalah yang batu
berulang (30-50% selama 3–5 tahun tahun tindak lanjut), ada juga faktor
mengambil obat mahal untuk hingga 2 tahun. Keuntungan dan keberhasilan
kolesistektomi laparoskopi sebagian besar telah mengurangi peran pelarutan
batu empedu pasien yang ingin menghindari atau tidak kandidat untuk
kolesistektomi elektif. Namun, penderita penyakit batu empedu kolesterol yang
mengembangkan choledocholithiasis berulang setelah kolesistektomi harus
menjalani pengobatan jangka panjang dengan UDCA.

3. Cholecystectomy
Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan
pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi batu empedu, kecuali usia
pasien dan mahalnya biaya operasi. Pada beberapa kasus ahli bedah dapat
membuat fistula antara saluran empedu distal dan duodenum sehingga
berdekatan (choledochoduodenostomy), sehingga memungkinkan batu empedu
dengan mudah keluar ke dalam usus. Jadi, rekomendasi untuk kolesistektomi
pada pasien dengan Batu empedu mungkin harus didasarkan pada penilaian tiga
faktor:
1) adanya gejala yang cukup sering atau cukup parah untuk mengganggu
rutinitas umum pasien;
2) adanya komplikasi sebelumnya penyakit batu empedu, yaitu, riwayat
kolesistitis akut, pankreatitis, fistula batu empedu, dll.; atau
3) keberadaan kondisi yang mendasari predisposisi pasien untuk
meningkatkan risiko komplikasi batu empedu (misalnya, kalsifikasi atau
porcelain gallbladder dan / atau serangan kolesistitis akut sebelumnya
terlepas dari status simtomatik saat ini). Penderita dengan sangat besar
batu empedu (berdiameter> 3 cm) dan pasien menyimpan batu empedu di

32
dalamnya suatu empedu anomali kongenital mungkin juga
dipertimbangkan kolesistektomi profilaksis.
Kolesistektomi laparoskopi adalah pengobatan dengan akses minimal untu
menghilangkan kantong empedu beserta batu. Keuntungannya adalah rawat
inap di rumah sakit yang sangat singkat, cacat minimal, dan biaya yang lebih
rendah, dan itu adalah prosedur pilihan untuk kebanyakan pasien yang dirujuk
untuk kolesistektomi elektif. Dari beberapa penelitian yang melibatkan> 4000
pasien yang menjalani kolesistektomi laparoskopi, poin-poin kunci berikut ini
muncul:
1) komplikasi berkembang pada ∼4% pasien,
2) konversi menjadi laparotomi terjadi pada 5%,
3) tingkat kematian sangat rendah (yaitu, <0,1%), dan
4) tingkat cedera duktus biliaris rendah (yaitu, 0,2–0,6%)

dan sebanding dengan kolesistektomi terbuka. Data ini menunjukkan


alasannya kolesistektomi laparoskopi telah menjadi "standar emas" untuk
mengobati cholelithiasis simtomatik.2,3,8

3.3.9 Komplikasi
a) Kolesistitis Akut7
Komplikasi paling umum dari batu-batu empedu adalah kolesistitis akut.
Kolesistitis akut biasanya disebabkan oleh impaksi batu empedu di duktus
sistikus. Yang terperangkap empedu di kandung empedu menyebabkan
kerusakan pada mukosa kandung empedu dan radang dinding kandung
empedu. Presentasi klinis yang khas adalah nyeri perut, benar nyeri tekan
kuadran atas, demam (biasanya <102 ° F), dan leukositosis sederhana
(<16.000). Penatalaksanaan optimal pada pasien dengan kolesistitis adalah
kolesistektomi. Dugaan kolesistitis akut dikonfirmasi oleh ultrasonografi
kuadran kanan atas dan cholescintigraphy.

33
b) Choledocholithiasis7
Choledocholithiasis dapat didiagnosis dan diobati dengan
kolangiografi endoskopi atau perkutaneus. Ini adalah komplikasi yang terjadi
ketika batu empedu menjadi
dipindahkan ke saluran empedu umum. Sedangkan batu empedu di kandung
empedu biasanya menghasilkan kondisi yang relatif jinak seperti kolik bilier
berulang atau akut cholecystitis, choledocholithiasis dapat mengakibatkan
kondisi yang mengancam jiwa seperti kolangitis (infeksi bakteri dari empedu
yang terganggu) atau pankreatitis akut.
Choledocholithiasis disebabkan oleh migrasi kolesterol atau batu
pigmen hitam dari kantong empedu ke saluran empedu umum. Gejala terkait
dengan tingkat onset dan tingkat obstruksi dan kontaminasi bakteri potensial
dari empedu yang terganggu. Kondisi seringkali bisa tanpa gejala tetapi, jika
ada, adalah sama seperti kolik bilier. Temuan fisik sering tidak hadir jika
obstruksi intermiten; Namun, jika obstruksi terjadi, bisa terjadi ikterus. Jika
ikterus terjadi berhubungan dengan rasa sakit, maka batu adalah penyebab
yang mungkin. Studi laboratorium menunjukkan peningkatan bilirubin dan
alkalin fosfatase jika obstruksi terletak pada saluran empedu, sedangkan
peningkatan lipase pankreas dan amilase terjadi jika batu empedu
menyebabkan obstruksi duktus pankreas. Standar emas untuk diagnosis dan
pengobatan batu empedu yang menghalangi saluran empedu dan / atau saluran
utama pankreas adalah ERCP.
c) Cholecystenteric Fistulae7
Fistula kollecystenteric terbentuk ketika sebuah batu besar mengikis melalui
dinding kandung empedu ke loop usus yang berdekatan. Jika batu itu sangat
besar (> 25 mm), mungkin menghasilkan obstruksi usus kecil, yang dikenal
sebagai ileus batu empedu, ditemukan umumnya di terminal ileum.
Diagnosis melibatkan radiografi polos, x-ray mampu menunjukkan udara di

34
pohon empedu dan kemungkinan obstruksi usus kecil dalam kasus ileus batu
empedu. Perawatan melibatkan kolesistektomi dan usus reseksi.
d) Sindrom Mirizzi
Sindrom Mirizzi adalah hasil dari batu empedu yang menghalangi
saluran kistik dan mengakibatkan peradangan dan kompresi saluran
empedu umum. Itu gejala dan tanda melibatkan sakit kuning dan
nyeri. Diagnosis dan pengobatan melibatkan ERCP.
e) Gallbladder Porselen
Kandung empedu porselin adalah komplikasi yang jarang terjadi di
mana ada kalsifikasi intramural dari dinding kandung empedu,
biasanya berhubungan dengan batu empedu. Yang paling serius
komplikasi akhir dari kondisi ini adalah kandung empedu kandung
empedu. Perawatan melibatkan kolesistektomi profilaksis.
f) Komplikasi yang Jarang Terjadi
Ada komplikasi lain yang kurang umum dari penyakit calculous pada
saluran empedu. Kolesistitis emfisematosa terjadi ketika dinding
kandung empedu sekunder terinfeksi mikroba bakteri pembentuk gas.
Kondisi ini lebih mungkin terjadi pada pria lanjut usia dan penderita
diabetes, sering terjadi tanpa batu. Klinisnya presentasi mirip dengan
kolesistitis akut tetapi lebih beracun. Radiografi polos akan
menunjukkan gas di fossa kandung empedu, yang dapat dikonfirmasi
dengan ultrasonografi atau CT scan. Perawatan membutuhkan
antibiotik dengan cakupan anaerobik dan kolesistektomi dini.

3.3.10 Prognosis9
Kurang dari separuh pasien dengan batu empedu menjadi gejala.
Angka kematian untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan morbiditas
kurang dari 10%. Angka kematian untuk kolesistektomi yang muncul adalah
3-5% dengan morbiditas 30-50% (4).

35
Setelah kolesistektomi, batu dapat muncul kembali di saluran empedu.
Secara terpisah, kolesistektomi laparoskopi satu-insisional tampaknya terkait
dengan tingkat hernia insisional 8%, dengan usia (≥50 tahun) dan indeks
massa tubuh (BMI) (≥30 kg / m2) sebagai faktor prediktif independent
(4).Sekitar 10-15% pasien memiliki choledocholithiasis terkait.

Prognosis pada pasien dengan choledocholithiasis tergantung pada


keberadaan dan tingkat keparahan komplikasi. Dari semua pasien yang
menolak operasi atau tidak layak untuk menjalani operasi, 45% tetap
asimtomatik dari choledocholithiasis, sementara 55% mengalami berbagai
tingkat komplikasi.

36
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien Tz. Umur 41 alamat Jl.P.Hiday MRS tanggal 09 Nopember 2021.


Berdasarkan anamnesis keluhan yang dialami pasien tersebut merupakan gejala dan
tanda obstruktif jaundice ec cholelitiasis yaitu terdapatnya gejala klinis:
Pada anamnesis didapatkan Os mengeluhkan kulitnya dan mata terlihat
kuning, disertai nyeri perut yang tiba-tiba dan hilang timbul, tetapi nyeri perut kanan
atas semakin memberat ± 1 SMRS dan terus menerus. Os juga mengatakan adanya
keluhuan BAK dan BAB, perubahan warna air seni menjadi lebih gelap seperti air teh
yang pekat. Keluhan perubahan volume, frekuensi, ataupun nyeri saat buang air kecil
disangkal. Sedangkan untuk BAB Os mengatakan perubahan warna feses yang
menjadi seperti warna dempul. Hal ini mendandakan adanya obstruksi biliaris.
Sesuai dengan patofisiologi, Akibatnya kadar bilirubin direk meningkat
dalam aliran darah dan penderita menjadi ikterik kuning. Hal ini terjadi karena
adanya obstruksi intrinsik atau ekstrinsik dari sistem duktus biliaris yang mencegah
aliran empedu ke duodenum. Obstruksi intrinsik dapat terjadi karena penyakit biliaris,
termasuk cholelithiasis, choledocholithiasis, cholangitis, striktur bilier jinak dan
ganas, cholangiocarcinoma. Kompresi ekstrinsik pada kandung empedu biasanya
karena gangguan pankreas. Terjadinya obstruksi dari pasase bilirubin direk membuat
bilirubin tidak dapat diekskresikan ke dalam usus halus dan akibatnya terjadi aliran
balik ke dalam pembuluh darah. Akibatnya kadar bilirubin direk meningkat dalam
aliran darah dan penderita menjadi ikterik.
Ikterik paling pertama terlihat adalah pada jaringan ikat longgar seperti
sublingual dan sklera. Karena kadar bilirubin direk dalam darah meningkat, maka
sekresi bilirubin dari ginjal akan meningkat sehingga urine akan menjadi gelap
dengan bilirubin urin positif sehingga muncul keluhan ini pada Os. Selain itu

37
manifestasi klinis yang memang umum terjadi pada pasien dengan ikterus adalah
adanya keluhan mualdan nyeri epigastrium yang juga dikeluhkan oleh Os.
Dari pemeriksaaan fisik didapatkan sklera ikterik dan kulit ikterus. Pada
pemeriksaan abdomen ditemukan kelainan nyeri perut bagian kanan atas dan murphy
sign (+) Pemeriksaan penunjang darah rutin dalam batas normal sedangkan Kimia
darah Bilirubin total pada hari pertama dirawat yaitu: 15,1 Bilirubin direk : 8,7.
Bilirubin indirek Pemeriksaan HBsAg merupakan petanda yang pertama kali
diperiksa secara rutin, pada pasien didapatkan hasil HbsAg negatif. Pada kasus ini hal
ini sesuai dengan literature mengenai colelitiasis dimana setelah diperiksa terdapat
peningkatan dari nilai bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, dan hal ini
mengarah kepada kelainan di intrahepatik.
Dari hasil USG whole abdomen didapatkan kesan gambaran cholelitiasis
multife (3) tersebar ukuran 0,5 cm. Nefrocalsinosis multife bilateral. Menurut
literatur, nilai ketepatan dan kepekaan USG untuk diagnosis batu saluran empedu
mencapai 90-95%.

38
BAB V
KESIMPULAN

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Ikterus yang ringan dapat dilihat
paling awal pada sklera mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah
berkisar antara 2-2,5 mg/dl. Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka
bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%.
Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif ekstrahepatik. Ikterus obstruktif
intrahepatik pada umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli
bilier sedangkan ikterus obstruktif ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh
karena adanya sumbatan pada saluran atau organ diluar hepar.
Kolelitiasis dipengaruhi oleh beberapa factor, di antaranya etnis, jenis kelamin,
komorbiditas, dan genetic. Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah sekitar 10-20
%, dan biasanya terjadi pada orang dewasa tua dan lanjut usia. Prevalensi kolelitiasis
di Asia dan Africa lebih rendah daripada negara Barat. Angka kejadian pada wanita
lebih banyak 2-3 kali lebih banyak daripada pria. Risiko terjadinya kolelitiasis juga
meningkat dengan bertambahnya umur. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu
kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta
batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Pada Asia
lebih banyak batu pigmen.
Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan
penyakit kandung empedu dan saluran empedu. Pengobatan pada kolelitiasis
tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak ada gejala maka tidak diperlukan
kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala, maka diperlukan
kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan penanganan non operatif dengan cara
konservatif yaitu melalui obat (ursodioksilat) dan ESWL.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus K,


Setiati Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II. Edisi VI. Jakarta : Internal
publishing FKUI; 2014.
2. Sulaiman, Ali. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In: Aru W Sudoyo, et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 5th Ed. Jakarta: Penerbit FKUI; 2007.
3. Bonheu JL, Ells PF. Billiary Obstruction. 2009. Available at
http://www.emedicine.com diunduh 18 Maret 2019.
4. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. The liver bilirubinemias. In: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States of America: Mc Graw
Hill; 2007.
5. Murray RK, Granner DK. Biokimia Harper. 27th ed. Jakarta: EGC; 2005.
6. Brama Ragil. Karakteristik dan evaluasi kadar bilirubin direct pre-operatif dan
post-operatif pada pasien ikterik obstruksi post-hepatik. Jurnal Kedokteran
Universitas Jambi. 2013.
7. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah. 3th Ed. Jakarta: Penerbitan buku
kedokteran EGC; 2010.
8. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 2007. 1028-1029.
9. Sulaiman A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta : Jayabadi; 2007
10. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 2007. 1028-1029

40

Anda mungkin juga menyukai